SlideShare a Scribd company logo
1 of 11
Dividen
Pengenalan
Pada bab sebelumnya, telah dibahas macam-macam penghasilan dari aktif baik kegiatan
usaha dari badan hukum (perusahaan) maupun kegiatan usaha personal. Selanjutnya adalah
penghasilan pasif, atau yang sering diartikan sebagai penghasilan dari investasi.
Macam-macam penghasilan pasif :
1. pendapatan yang timbul dari instrumen ekuitas, yaitu dividen;
2. pendapatan yang timbul dari instrumen utang, yaitu bunga (umumnya);
3. pendapatan yang timbul dari hak untuk menggunakan properti tidak berwujud, yaitu
royalti;
4. pendapatan yang timbul dari penggunaan properti tidak bergerak, yaitu sewa; dan
5. keuntungan dari penjualan, penjualan atau pengalihan lain atau transmisi aktiva atau
kewajiban, yaitu capital gains.
Namun, yang akan dibahas pada bab ini adalah penghasilan dividen.
Ketika Residen negara R memperoleh penghasilan pasif dari Negara S, biasanya Negara S
menerapkan pajaknya sendiri terhadap pendapatan yang diperoleh sesuai dengan hukum
nasionalnya. Pajak ini adalah withholding tax yang dikenakan atas pembayaran pendapatan
kepada non-residen pada saat pembayaran. Meskipun pajak dikenakan atas pendapatan
yang diperoleh oleh non-residen, kewajiban untuk membayar withholding tax biasanya
dibebankan kepada wajib pajak negara S. Mekanisme ini hanya bertujuan untuk memudahkan
pemungutan pajak terhadap non-residen dan tidak mengubah konsep dasar bahwa pajak
tetap dikenakan atas pendapatan non-residen.
Mekanisme pemungutan pajak ini tidak unik untuk pembayaran pendapatan pasif kepada
investor non-residen, karena ketentuan ini juga diterapkan di bidang perpajakan lain, seperti
pembayaran upah dan gaji kepada karyawan, pembayaran tertentu kepada kontraktor
independen, dan pendapatan pasif diperoleh oleh investor residen. Perbedaan mendasar
dalam kasus non-residen yang memperoleh pendapatan pasif dari Negara S adalah bahwa
non-residen dapat mengklaim manfaat DTA antara Negara R dan Negara S dimana DTAakan
membatasi jumlah pajak yang dikenakan oleh Negara S daripada jika menggunakan
ketentuan domestik negara S.
Perpajakan internasional untuk pendapatan pasif didasarkan pada beneficial owner dari
pendapatan itu. Dalam bab ini, kami menyelidiki konsep beneficial owner dan mencatat
beberapa kesulitan dengan penerapan praktis dari gagasan tersebut.
Definisi Dividen
Dividen pada umumnya dianggap sebagai pembayaran formal, atau pengalihan nilai, oleh
perusahaan, yang didanai oleh pemegang sahamnya, kepada pemegang saham sehubungan
dengan kepemilikan saham mereka. Istilah "dividen" juga dapat diartikan sebagai distribusi
laba yang dilakukan sehubungan dengan saham dalam kemitraan terbatas .
Termasuk dalam pengertian dividen adalah (tidak harus dibayarkan tunai)
1. Distribusi dalam bentuk barang oleh perusahaan kepada pemegang saham mereka,
yaitu dengan cara distribusi aset perusahaan atau dengan cara saham baru di
perusahaan (bonus saham atau dividen saham) adalah dividen tetap, dan umumnya
dikenakan pajak dengan cara yang sama seperti uang tunai dividen.
2. Lebih jauh, pajak dividen juga mencakup pembayaran modal saham tertentu,
pembayaran bunga tertentu (misalnya pembayaran bunga yang dilakukan
sehubungan dengan efek hutang yang juga berpartisipasi dalam laba perusahaan atau
pembayaran bunga yang dianggap berlebihan sesuai dengan kapitalisasi tipis suatu
negara aturan, atau pembayaran bunga panjang nonantes antara orang-orang terkait,
sering disebut sebagai "dividen konstruktif").
Ketentuan Domestik Pajak atas Dividen
Undang-undang pajak domestik di Negara S akan mengenakan pajak atas dividen yang
diperoleh oleh non-residen Negara S, dan juga residennya, jika negara itu ingin memajaki
orang asing yang berinvestasi di Negara S. Dalam sistem pajak modern, terdapat ketentuan
yang mewajibkan pembayar dividen untuk mengenakan pajak atas dividen yang kemudian
dibayarkan kepada otoritas pajak pada saat pembayaran dividen dengan tarif yang ditentukan
oleh ketentuan pajak domestik yang berlaku untuk residen dan non-residen.
Pemugutan pajak tersebut dilakukan terhadap jumlah kotor (bruto) pembayaran dividen yang
dibayarkan kepada para pemegang saham. Meskipun pajak penghasilan dikenakan atas
penghasilan bersih (neto), yaitu jumlah bersih setelah dikurangi biaya yang dikeluarkan untuk
memperoleh pendapatan itu. Sulit untuk menentukan biaya yang dikeluarkan oleh pemegang
saham untuk mendapatkan dividen.
Ketidaksesuaian konsep perpajakan yang dikenakan terhadap laba bersih dan penerapan
withholding tax atas jumlah pendapatan bruto dapat diatasi dengan
(i) Menerapkan tarif pemungutan di negara sumber yang lebih rendah terhadap
pendapatan kotor daripada tarif yang dikenakan pada laba bersih (yang ditentukan
tahunan)
Pendekatan ini sering diadopsi untuk efisiensi administrasi, dimana untuk mengurangi
biaya operasional administrasi pajak, beberapa wajib pajak dikenakan pemotongan
pajak final pada sumber sehingga meminimalkan wajib pajak yang melaporkan pajak
tiap tahun. Untuk mempertahankan keadilan, maka tarif withholding tax terhadap
pendapatan kotor ditetapkan lebih rendah dan tetap menghasilan jumlah pajak yang
pungut sama dengan jika menggunakan net income.
Namun, meskipun begitu, hal ini terkadang memberikan masalah kepada wajib pajak
karena beberapa dari mereka memiliki beban yang besar untuk menghasilkan
pendapatan dividen sedangkan yang lainnya mungkin memiliki beban yang sedikit atau
tidak ada sama sekali, atau mungkin mengalami kerugian pada kegiatan yang lainnya.
(ii) Memperlakukan masalah sebagai satu waktu, yaitu (potensi) perpajakan yang
berlebihan di negara sumber dikoreksi pada penilaian tahunan.
Dalam kasus penghasilan berupa dividen, dividen yang dibayarkan oleh perusahaan S
(residen negara S) kepada pemegang saham non-residen (residen negara R), pemagang
saham tersebut dapat dikenakan pajak atas dividen berdasarkan ketentuan domestik negara
sumber. Dalam hal ini, pajak berganda akan muncul, untuk menjaga capital-export neutrality,
negara harus adil dalam mempajaki investor residen yang berinvestasi di dalam negeri dan di
luar negeri, sehingga biasanya negara tersebut mengenakan pajak atas world-wide income,
termasuk dividen luar negeri.
Oleh karena itu, biasanya Negara S akan mengenakan pungutan pajak final terhadap non-
residen atas pendapatan dividen yang berasal dari Perusahaan S. jika pemegang saham telah
mengeluarkan biaya dalam memperoleh pendapatan dividen itu, misalnya membayar bunga
atas dana pinjaman yang diperoleh dengan tujuan memperoleh sahamnya di Perusahaan S,
pemegang saham tidak dapat memperhitungkan beban-beban tersebut di Negara S untuk
menghitung laba bersih yang dikenakan pajak.
Di sisi lain, pemegang saham biasanya akan membayar pajak atas pendapatan dividen luar
negeri di Negara R berdasarkan laba bersih karena Negara R mengizinkan pengurangan
untuk pengeluaran pemegang saham dalam memperoleh pendapatan dividennya. Ketika
Negara R memberikan relief untuk pajak final yang dibayarkan di Negara S atas pendapatan
dividennya, ada ketidakselarasan konseptual: Negara R mengizinkan kredit pajak untuk
jumlah pajak yang dihitung berdasarkan pendapatan kotor tetapi dalam menerapkan metode
kredit pajak biasa, membatasi jumlah kredit tersebut menjadi jumlah yang ditentukan
berdasarkan laba bersih. (intinya adalah pajak yang dibayar dinegara S dihitung dengan nilai
bruto sedangkan kredit pajak atas pajak yang dipungut dinegara S tersebut dihitung dan
dibatasi terhadap laba neto terhadap pajak yang terutang di negara R)
Hak perpajakan berdasarkan P3B (DTA)
Pajak atas dividen bervariasi pada berbagai macam Model DTA.
OECD Model DTA
Pasal 10 OECD Model DTA membahas pengenaan pajak dividen yang berasal dari Negara
S oleh residen Negara R. Pasal 10(1) memungkinkan Negara R untuk mengenakan pajak
dividen (may be taxed) tersebut.
Perlu diperhatikan bahwa Negara R tidak harus mengenakan pajak atas dividen tetapi dapat
melakukannya jika diinginkan, dengan kata lain, apabila berdasarkan hukum domestik,
negara R mengenakan pajak atas dividen, maka ketentuan DTA tidak menghalanginya.
Selain itu, Pasal 10(2) juga memungkinkan Negara S untuk mengenakan pajak dividen yang
sama (beneficial owner atas penerima dividen adalah residen negara R), tetapi terbatas pada
jumlah pajak yang dikenakan, yaitu :
a) 5% dari jumlah kotor dividen jika beneficial owner adalah perusahaan (selain
partnership) yang memiliki secara langsung setidaknya 25% dari modal perusahaan
yang membayar dividen;
b) 15% dari jumlah kotor dividen dalam semua kasus lainnya.
Pasal 10(2) juga menginstruksikan otoritas dari setiap negara yang berkontrak untuk
menyelesaikan melalui mutual agreement tentang cara penerapan pembatasan di atas pada
hak-hak perpajakan Negara S. Pasal ini merupakan pasal yang menguntungkan negara R
karena membatas hak perpajakan oleh negara S dimana negara R hanya diharuskan
melepaskan sedikit hak-nya atas pajak dividen.
UN Model DTA
Pasal 10(2) UN Model DTA tidak cukup murah hati kepada Negara R seperti OECD Model
DTA. UN Model DTA lebih memperhatikan negara-negara sumber, dan ini tercermin dalam
Pasal 10(2) bahwa, dimana dividen juga dapat dikenakan pajak (may be taxed) di negara S
dan menurut hukum negara S, tetapi jika beneficial owner dividen adalah residen negara R,
maka pajak yang dikenakan tidak boleh melebihi :
a) ... % (persentase harus ditetapkan melalui negosiasi bilateral) dari jumlah kotor dividen
jika pemilik manfaat adalah perusahaan (selain kemitraan) yang memegang langsung
setidaknya 10% dari modal perusahaan yang membayar dividen;
b) ... % (persentase harus ditetapkan melalui negosiasi bilateral) dari jumlah kotor dividen
dalam semua kasus lainnya.
Dengan membiarkan batasan persentase tidak ditentukan, UN Model DTA memberikan
keleluasaan yang lebih besar kepada Negara S untuk menegosiasikan tarif pajak yang lebih
tinggi ketimbang OECDModel DTA, yang dapat mengenakan pajak atas dividen yang berasal
dari Negara S, dengan mengorbankan Negara R.
CARICOM Agreement
CARICOM Agreement sangat menguntungkan negara sumber, dimana negara sumber
memiliki hak tunggal atas pembagian pajak. Pasal 11(1) menyatakan bahwa "dividen yang
dibayarkan oleh perusahaan yang merupakan residen [Negara S] kepada residen [Negara R]
hanya akan dikenakan pajak di [Negara S]."
Namun anehnya, Pasal 11(2) menolak kemampuan Negara S untuk mengenakan pajak apa
pun: "Tarif pajak atas dividen bruto harus nol persen." Kebijakan ini memungkinkan
pendapatan dividen sepenuhnya bebas pajak di semua negara yang berkontrak, untuk
memfasilitasi penyertaan modal yang lebih besar di antara mereka.
Berdasarkan penjelasan diatas, muncul suatu pertanyaan, sebagai berikut :
Apa arti “dividen”?
Pasal 10(3) OECDdan UN Model DTA, menjelaskan Istilah "dividen" sebagaimana digunakan
dalam Pasal ini berarti penghasilan dari saham, saham kenikmatan (jouissance – hak atas
nilai sisa, jika ada, dalam hal terjadi reorganisasi atau likuidasi), saham pertambangan, saham
pendiri atau hak-hak lain, bukan klaim hutang, berpartisipasi dalam laba, serta pendapatan
dari hak-hak perusahaan lainnya yang dikenai perlakuan perpajakan yang sama dengan
pendapatan dari saham oleh hukum [Negara S].
Dalam beberapa DTA sungguhan, definisi “dividen” punya arti yang lebih luas, seperti hak-
hak perusahaan lain yang dikenakan perlakuan perpajakan yang sama seperti pendapatan
dari saham oleh hukum negara sumber, contoh distribusi kepada penerima trust; pendapatan
dari jenis partisipasi ekuitas lainnya dalam suatu perusahaan, contoh partner pasif dalam
firma; penghasilan dari saham dan pendapatan lain yang berasimilasi dengan pendapatan
dari saham, yang merupakan pengertian yang lebih luas dari definisi tradisional dividen,
termasuk saham yang mempunyai karakter khusus.
Kenapa pajak memberikan keuntungan lebih bagi investor yang berpartisipasi lebih besar
dalam perusahaan?
Dividen Partisipan dan Portofolio
Untuk tujuan penentuan hak perpajakan negara sumber, Pasal 10(2) OECD dan UN Model
membedakan antara dividen partisipan dan portofolio. Pasal 10(2a) berkaitan dengan dividen
partisipasi sementara Pasal 10(2b) membahas dividen portofolio. Perpajakan dividen
portofolio didasarkan pada sistem perpajakan klasik sedangkan perpajakan dividen partisipasi
mencoba untuk mengatasi economic double taxation dividen yang melekat dalam sistem
pajak penghasilan klasik.
"Partisipasi" mengacu pada "hak istimewa afiliasi”, yaitu keringanan pajak yang diberikan
kepada perusahaan sehubungan dengan distribusi yang timbul dari kepemilikan saham di
perusahaan lain yang melebihi persentase minimum tertentu (semacam holding).
Ketika satu perusahaan memiliki semua saham perusahaan lain, perusahaan induk akan
berpartisipasi aktif dalam anak perusahaannya dan perusahaan induk berhak untuk
mengontrol fungsi pengambilan keputusan dari anak perusahaan. Dengan demikian, kedua
perusahaan dapat dianggap sebagai satu unit ekonomi. Ada sedikit pembenaran substansi
untuk mengenakan pajak pada distribusi antara kedua perusahaan dalam situasi ini.
Batas minimum saham dalam perusahaan anak yang seharusnya, sebelum kepemilikan
saham berubah dari partisipatif menjadi investasi portofolio semata.
Menurut OECD Model DTA Pasal 10 (2a) menetapkan ambang itu dengan kepemilikan 25%
atas lebih di perusahaan lain secaraotomatis diperlakukan sebagai memiliki partisipasi dalam
perusahaan investee, dan memenuhi syarat untuk tarif pajak 5% di negara sumber sesuai
pasal 10 (2a) OECD Model DTA.
Dalam kasus anak perusahaan yang sepenuhnya dimiliki, tidak boleh ada pajak pada
distribusi sama sekali, jika dasar untuk konsesi adalah kesatuan ekonomi. Eropa menetapkan
"pengecualian partisipasi", yang mengarahkan pembayaran dividen dari sebuah perusahaan
yang bertempat tinggal di satu Negara Anggota kepada pemegang saham perusahaan di
Negara Anggota lainnya yang memiliki setidaknya 25% saham di perusahaan investee harus
tidak dikenakan pajak sama sekali oleh oleh negara sumber.
Menurut UN Model DTA, ambang batas kepemilikan saham minimum yang ditentukan pasal
10 (2a) hanya 10%, karena :
(a) semakin rendah ambang batas kepemilikan saham minimum semakin jauh kita dari
kesatuan ekonomi antara investor dan perusahaan investee, dan semakin dekat kita
dengan investor yang hanya menjadi investor portofolio di perusahaan investee; dan
(b) karena tarif pajak yang lebih rendah berlaku di negara sumber untuk dividen partisipan
yang berasal dari negara itu, negara sumber merelakan penerimaan pajak lebih dari
yang seharusnya, jika ambang batas kepemilikan saham minimum ditetapkan pada
tingkat 25% dalam OECDModel DTA. (karena hak pemajakan dividen ini lebih diberikan
kepada negara residen)
UN Model DTA ini bertujuan untuk mendorong investasi yang lebih besar oleh investor asing
di perusahaan yang berlokasi di negara sumber dan untuk tujuan hukum pajak domestik
norma yang diterima secara internasional untuk batas kepemilikan saham untuk investasi
portofolio pada tingkat 10%, dan pasal (2a) UN Model DTA konsisten dengan ambang batas
itu. Ambang batas pada DTA sungguhan biasanya sangat bervariasi.
Dalam mengatasi economic double taxation, salah satu cara adalah memberikan relief pada
level shareholder melalui sistem imputasi dividen, dimana pemegang saham (residen negara
R) tetap memperoleh kredit pajak untuk pajak yang sudah dibayarkan oleh perusahaan atas
keuntungan dividen yang dibayarkan. Jika tarif pajak marjinal pemegang saham lebih rendah
dari tarif pajak perusahaan, pemegang saham bisa mendapatkan pengembalian pajak
berlebih tersebut (atau membawa kredit imputasi berlebih ke depan (atau kembali) dan
diimbangi dengan pendapatan tahun depan (atau lebih awal) tahun). Di bawah beberapa DTA,
negara-negara yang menerapkan sistem imputasi dividen penuh memperluas kredit pajak
kepada pemegang saham yang merupakan residen negara lainnya atas dasar timbal balik.
Hal ini dirancang untuk memastikan netralitas karena perlakuan pajak yang sama diberikan
kepada pemegang saham residen dan bukan residen.
Dividen diterima oleh suatu bentuk usaha tetap
Pasal 10(4) OECD Model DTA menyediakan perlakuan khusus untuk dividen yang diterima
oleh suatu bentuk usaha tetap dari non-residen di negara sumber. Secara khusus,
menyebutkan bahwa pasal 7 (business profit) akan berlaku.
UN Model DTA memperluas ketentuan ini melebihi permament establishment tetapi juga fixed
base di Negara S untuk penyedia layanan pribadi independen, pasal 14 (layanan pribadi
independent) di UN Model DTA akan berlaku. Termasuk pasal 10(4), ketika cabang
perusahaan dari Negara R, yang menjalankan bisnis di Negara S, membeli saham pesaing di
Negara S, dari akumulasi profit cabang.
Konsekuensinya adalah dividen diperlakukan sebagai laba usaha atau pendapatan dari
layanan pribadi independan (UN Model DTA), berlaku di mana kepemilikan saham yang
menghasilkannya "secara efektif terhubung dengan" suatu bentuk usaha tetap atau fixed base
non-residen yang diiliki di negara sumber, dan tarif pajak negara sumber dalam Pasal 10(2)
menjadi tidak dapat diterapkan. Sebagai gantinya, dividen dikenakan pajak sebagai business
profit dari PE atau pendapatan dari penyedia layanan pribadi independen atas dasar
pendapatan bersih, yaitu setelah penyisihan untuk pengeluaran yang dapat dikurangkan yang
dikeluarkan untuk menghasilkan pendapatan sesuai pasal 7 atau pasal 14 UN Model DTA,
mana yang berlaku.
Dividen yang diperoleh dari suatu bentuk usaha tetap dapat muncul dalam tiga skenario:
(1) dimana bentuk usaha tetap berada di negara di mana perusahaan yang menjadi
bentuk usaha tetap tersebut adalah residen, yaitu di Negara R; atau
Di sini, tidak ada masalah yang diperdebatkan: DTA antara Negara R dan Negara S
diterapkan dengan cara biasa sehingga dividen yang dibayarkan oleh Perusahaan S
ditangani berdasarkan pasal 10(1) dan (2). Beneficial owner dividen adalah Perusahaan
R. Bentuk usaha tetap menerimadividen dalam kapasitasnya sebagai bagian konstituen
dari Perusahaan R (dan juga merupakan bagian konstituen yang terletak di Negara R).
Pasal 10(4) berlaku hanya ketika Perusahaan R menjalankan bisnis melalui suatu
bentuk usaha tetap yang terletak di Negara S.
(2) dimana permanent establishment berada di negara di mana perusahaan yang
membayar dividen adalah residen, yaitu di Negara S; atau
Sekarang bentuk usaha tetapnya terletak di Negara S, negara yang menjadi sumber
deviden. Dengan dasar bahwa fungsi PE adalah untuk memegang saham di
Perusahaan S, dividen yang dibayarkan oleh Perusahaan S ke Perusahaan R berada
di bawah Pasal 10(4). Perhatikan bahwa tidak masalah apakah dividen dibayarkan
kepada PE di Negara S atau ke bagian lain Perusahaan R (baik di Negara S atau di
tempat lain).
Pengujiannya sederhana apakah dividen yang dibayarkan timbul sehubungan dengan
kepemilikan saham yang "secara efektif terhubung" dengan PE di Negara S. Setelah
ditetapkan, Pasal 7 berlaku sebagai pengganti Pasal 10(1) dan 10(2).
(3) dimana permanent establishment berada di negara ketiga, bukan Negara R atau
S.
Skenario ketiga adalah "segitiga" kasus, bahwa kekhawatiran pembayaran dividen
Negara S, dapat melibatkan (i) Perusahaan S membayar dividen ke permanent
establishment dari Perusahaan R, yang terletak di Negara T, atau (ii) sebuah
perusahaan di Negara T membayar dividen kepada permament establishment
Perusahaan R, yang terletak di Negara S.
Di sini DTA antara Negara R dan Negara S diterapkan secara normal. Baik Perusahaan
R maupun Perusahaan S adalah residen Negara T; karenanya, setiap DTA antara
Negara R dan Negara T, atau antara Negara S dan Negara T, tidak berlaku untuk
pembayaran dividen. Dividen yang diterima masih berasal dari Perusahaan R, residen
Negara R, meskipun pembayaran dividen dilakukan kepada BUT Perusahaan R yang
berlokasi di Negara T dan timbul dari kepemilikan saham BUT di Perusahaan S. Ingat
bahwa BUT secara hukum masih merupakan bagian dari Perusahaan R. Selanjutnya,
Pasal 10(4) DTA antara Negara R dan Negara S tidak dapat diterapkan karena bentuk
usaha tetap tidak terletak di Negara S.
Sekarang DTA antara Negara R dan Negara S tidak dapat diterapkan karena dividen
dibayarkan oleh perusahaan yang bertempat tinggal di negara ketiga, Negara T, kepada
residen Negara R, meskipun demikian dividen tersebut secaraefektif terhubung dengan
permanent establishment yang terletak di Country S. Pasal 10(1) dan 10(2) dari DTA
antara Negara R dan Negara S tidak bisa berlaku karena dividen tidak dibayarkan oleh
perusahaan yang merupakan residen dari salah satu negara yang berkontrak.
Ketidakberlakuan Pasal 10(1) dan 10(2) juga menjadikan Pasal 10(4) tidak bisa
diterapkan. DTA yang relevan dalam keadaan ini adalah DTA antara Negara R dan
Negara T.
Larangan pajak ekstra teritorial atas dividen
Dalam pasal 10(5) OECD dan UN Model DTA, disebutkan :
Dimana sebuah perusahaan yang merupakan residen (Negara R) memperoleh
keuntungan atau pendapatan dari (Negara S), (Negara S) tidak boleh mengenakan
pajak atas dividen yang dibayarkan oleh perusahaan, kecuali sejauh dividen tersebut
dibayarkan kepada penduduk (Negara S) atau sejauh kepemilikan sehubungan dengan
pembayaran dividen secara efektif terkait dengan bentuk usaha tetap [atau tempat
tetap] yang berlokasi di [Negara S], tidak juga membebankan pajak atas laba yang
belum dibagikan kepada laba perusahaan yang belum dibagikan, bahkan jika dividen
yang dibayarkan atau keuntungan yang tidak dibagikan seluruhnya atau sebagian terdiri
dari keuntungan atau pendapatan yang timbul di [Negara S].
Aturan ini pertama-tama mencegah Negara S dari pajak dividen yang didistribusikan oleh
Perusahaan R (menjadi residen Negara R shg bukan residen Negara S) hanya karena
keuntungan yang didistribusikan oleh Perusahaan R melalui dividen mungkin berasal dari
kegiatan atau investasi yang dilakukan oleh Perusahaan R di Negara S. Biasanya, Negara S
akan siap memajaki laba ketika berasal dari Negara S oleh Perusahaan R. Ketentuan ini juga
dirancang untuk memastikan bahwa Negara S tidak dapat mengenakan pajak kepada
Perusahaan R atas laba yang tidak terdistribusi, bahkan jika mereka diperoleh di Negara S.
Ketentuan ini sedikit bertentangan dengan CFC.
Branch Profit Tax
US Model DTAtidak mengikuti OECDModel DTA dalam hal ini. US Model DTAsecara khusus
memungkinkan pengenaan Branch Profit Tax atas laba PE milik asing, dipersamakan dengan
pemungutan pajak dividen yang dibayarkan oleh anak perusahaan kepada perusahaan
induknya.
Siapa beneficial owner dari dividen?
Beneficial Owner
Dalam pasal 10(2) OECD dan UN Model DTA, prasyarat untuk penerapan tarif pajak yang
berlaku di Negara S untuk dividen yang dibayarkan oleh perusahaan S kepada pemegang
saham residen Negara R adalah bahwa pemegang saham harus menjadi "beneficial owner
dari dividen".
Begitu pula pasal 10(4), yang mengesampingkan pasal 10(1) dan (2) jika pemegang saham
non-residen menjalankan bisnis di Negara S melalui suatu bentuk usaha tetap di Negara S
dan kepemilikan saham secara efektif terkait dengan bentuk usaha tetap itu, tergantung pada
non-residen yang menjadi beneficial owner dari dividen. Persyaratan ini juga berlaku untuk
bunga yang dibayarkan oleh peminjam yang merupakan residen Negara S kepada pemberi
pinjaman yang merupakan residen Negara R, dan untuk royalty yang dibayarkan oleh
pengguna aset tidak berwujud sebagai residen Negara S kepada pemilik aset tak berwujud
yang merupakan residen Negara R.
Sayangnya, makna "Beneficial Ownership" tidak begitu jelas. persyaratan beneficial owner
tampaknya merupakan tindakan anti-voidance. Untuk mengilustrasikan, anggaplah bahwa
Perusahaan C (residen Negara R) memiliki subsidiary company, yaitu Perusahaan D, yang
berdomisili di Negara S. Tarif pajak pemotongan menurut undang-undang pajak domestik
Negara S, berlaku untuk dividen yang dibayarkan oleh Perusahaan D kepada Perusahaan C,
adalah 20% dari jumlah kotor dividen. Tidak ada DTA antara Negara R dan Negara S.
Situasi yang berlaku dapat diilustrasikan sebagai berikut:
Perusahaan C mendapatkan pembebanan pajak Negara S. kemudian ia melalukan “treaty
shopping" dan menemukan bahwa Negara S dan Negara T memiliki DTA, dimana tidak ada
negara yang dapat mengenakan pajak atas dividen yang dibayarkan kepada residen negara
lain. Selain itu, Negara T tidak mengenakan pajak apa pun atas dividen yang dibayarkan
kepada pemegang saham bukan residen menurut undang-undang perpajakan domestiknya.
Tidak ada DTA antara County R dan Negara T.
Untuk mengambil keuntungan dari jaringan DTA ini, Perusahaan C menggabungkan
perusahaan perantara di Negara T (Intermediary T) dan kemudian mengatur untuk
Intermediary T untuk mengakuisisi saham Perusahaan D dari Perusahaan C sebagai
pertimbangan untuk Intermediary T yang menerbitkan modal sahamnya (dengan nilai yang
samadengan saham di Perusahaan D) ke Perusahaan C.Sekarang, alih-alih dividen mengalir
langsung dari Perusahaan D ke Perusahaan C, dan menimbulkan pajak 20% dari Negara S,
mereka akan mengalir dari Perusahaan D ke Intermediary T tanpa pengenaan pajak, yang
dilarang di DTA antara Negara S dan Negara T. Dividen kemudian akan dialihkan dari
Intermediary T ke Perusahaan C, lagi tanpa pengenaan pajak karena Negara T tidak
mengenakan pajak atas dividen yang dibayarkan oleh perusahaan yang berada di Negara T
kepada pemegang saham non-residen. Oleh karena itu, dengan mengadopsi struktur
perusahaan baru ini, Perusahaan C menghindari pajak Negara S sama sekali.
Pengaturan baru dapat diilustrasikan sebagai berikut:
Meskipun uji Benefit Ownership diperkenalkan dalam OECD Model DTA dengan tujuan
sebagai anti- penyalahgunaan treaty, investigasi sampai pada alasan mengapa transaksi
tertentu dilakukan sedemikian rupa, bukan bagian dari penerapan tes Beneficial Ownership
di bawah Pasal 10(11) dan 10(12) OECD dan UN Model DTA. Oleh karena itu, tidak ada
hubungan langsung antara hasil uji beneficial owner dan tujuan anti-avoidance-nya.
Gagasan tentang Beneficial Ownership berakar pada yurisdiksi common law, yang
membedakan antara hak milik pada suatu properti yang sama terhadap orang yang berbeda,
yaitu pemilik sah dan pemilik manfaat dari satu aset yang pada akhirnya memiliki hak atas
hak atas kepemilikan aset. Pemilik manfaat telah dianggap sebagai orang dengan "atribut
kepemilikan" terbesar, yang meliputi "hak untuk memiliki, menggunakan [dan] mengelola ...
pendapatan [dan] modal [aset] (termasuk kekuatan untuk melepaskan dan bebas untuk
mengkonsumsi, membuang atau menghancurkan), ditambah risiko depresiasi dan harapan
akan apresiasi." Hukum perdata umumnya tidak membuat perbedaan dalam kepemilikan.
Tentu saja, dalam banyak kasus, keduanya adalah satu orang yang sama. Namun, dalam
situasi wali amanat, agen, biasanya adalah pemilik sah (dan bukan penerima manfaat) dari
aset dalam kapasitasnya sebagai "perwakilan" orang lain, pemilik yang menguntungkan.
Dengan kata lain, pemilik sah di sini memiliki kewajiban fidusia kepada pemilik manfaat untuk
bertindak, sehubungan dengan properti, untuk kepentingan pemilik manfaat, dan bukan untuk
keuntungan atau keuntungannya sendiri.
Dalam contoh di atas, pertanyaan Beneficial Ownership adalah apakah Intermediary T adalah
pemilik manfaat dari dividen yang diterimanya dari Perusahaan D. Atau apakah kita "look-
through" Intermediary T ke Perusahaan C sebagai pemilik manfaat "nyata" karena
Perusahaan C mengontrol Intermediary T? Apakah elemen kontrol memaksa Intermendiary
T untuk membayar dividen kepada Perusahaan C, sehingga menghilangkan Intermediary T
dari atribut kepemilikan yang terkait dengan dividen? Dapat diperdebatkan bahwa, karena
Intermediary T tidak menerima dividen atas nama Perusahaan C dalam suatu agensi atau
kapasitas penyajian kembali lainnya, Perusahaan C bukanlah pemilik manfaat dari dividen
tersebut. Pandangan ini hanya memperlakukan pemilik manfaat sebagai kebalikan dari agen
atau perwakilan serupa. Kesulitan praktisnya adalah menentukan dimana kendali perusahaan
induk atas anak perusahaannya mentransformasikan titik di mana hubungan agen secara
substansi muncul, mengingat bahwa dalam istilah hukum yang ketat, anak perusahaan
biasanya bukan agen, yang menerima jumlah atas nama dari perusahaan induknya.

More Related Content

What's hot

Pajak Internasional atas Penghasilan dari Aset Tidak Bergerak
Pajak Internasional atas Penghasilan dari Aset Tidak BergerakPajak Internasional atas Penghasilan dari Aset Tidak Bergerak
Pajak Internasional atas Penghasilan dari Aset Tidak BergerakIlham Sousuke
 
makalah pajak (pph 24)
makalah pajak (pph 24)makalah pajak (pph 24)
makalah pajak (pph 24)Eka Esti
 
pph pasal 24 25 dan 26
pph pasal 24 25 dan 26pph pasal 24 25 dan 26
pph pasal 24 25 dan 26muh wilyam
 
Makalah pph 24 isi
Makalah pph 24 isiMakalah pph 24 isi
Makalah pph 24 isianisa_13
 
pph pasal 24
pph pasal 24pph pasal 24
pph pasal 241l2j3n
 
Pencegahan penghindaran pajak
Pencegahan penghindaran pajakPencegahan penghindaran pajak
Pencegahan penghindaran pajakkaromah95
 
PPh Pasal 26 - Pengertian, Subjek, Objek, Tarif dan Perhitungannya - Riki Ardoni
PPh Pasal 26 - Pengertian, Subjek, Objek, Tarif dan Perhitungannya - Riki ArdoniPPh Pasal 26 - Pengertian, Subjek, Objek, Tarif dan Perhitungannya - Riki Ardoni
PPh Pasal 26 - Pengertian, Subjek, Objek, Tarif dan Perhitungannya - Riki ArdoniRiki Ardoni
 
Pph orang pribadi brevet c
Pph orang pribadi brevet cPph orang pribadi brevet c
Pph orang pribadi brevet ckaromah95
 
Bab 6 pajak penghasilan pasal 23 & 26
Bab 6 pajak penghasilan pasal 23 & 26Bab 6 pajak penghasilan pasal 23 & 26
Bab 6 pajak penghasilan pasal 23 & 26Sidik Abdullah
 
Pajak Penghasilan Pasal 24 (Penghasilan Luar Negeri) - by Riki Ardoni
Pajak Penghasilan Pasal 24 (Penghasilan Luar Negeri) - by Riki ArdoniPajak Penghasilan Pasal 24 (Penghasilan Luar Negeri) - by Riki Ardoni
Pajak Penghasilan Pasal 24 (Penghasilan Luar Negeri) - by Riki ArdoniRiki Ardoni
 
Npwp & spt 2008 1770s
Npwp & spt 2008 1770sNpwp & spt 2008 1770s
Npwp & spt 2008 1770sKppkp Bangil
 

What's hot (19)

Pajak Internasional atas Penghasilan dari Aset Tidak Bergerak
Pajak Internasional atas Penghasilan dari Aset Tidak BergerakPajak Internasional atas Penghasilan dari Aset Tidak Bergerak
Pajak Internasional atas Penghasilan dari Aset Tidak Bergerak
 
makalah pajak (pph 24)
makalah pajak (pph 24)makalah pajak (pph 24)
makalah pajak (pph 24)
 
2016 ak2 a_kelompok2_pph24
2016 ak2 a_kelompok2_pph242016 ak2 a_kelompok2_pph24
2016 ak2 a_kelompok2_pph24
 
PPh PASAL 24
PPh PASAL 24PPh PASAL 24
PPh PASAL 24
 
pph pasal 24 25 dan 26
pph pasal 24 25 dan 26pph pasal 24 25 dan 26
pph pasal 24 25 dan 26
 
Makalah pph 24 isi
Makalah pph 24 isiMakalah pph 24 isi
Makalah pph 24 isi
 
pph pasal 24
pph pasal 24pph pasal 24
pph pasal 24
 
Spt op
Spt opSpt op
Spt op
 
2016 ak2a kelompok2_pphpasal24
2016 ak2a kelompok2_pphpasal242016 ak2a kelompok2_pphpasal24
2016 ak2a kelompok2_pphpasal24
 
Pajak penghasilan umum
Pajak penghasilan umumPajak penghasilan umum
Pajak penghasilan umum
 
Pencegahan penghindaran pajak
Pencegahan penghindaran pajakPencegahan penghindaran pajak
Pencegahan penghindaran pajak
 
PPh Pasal 26 - Pengertian, Subjek, Objek, Tarif dan Perhitungannya - Riki Ardoni
PPh Pasal 26 - Pengertian, Subjek, Objek, Tarif dan Perhitungannya - Riki ArdoniPPh Pasal 26 - Pengertian, Subjek, Objek, Tarif dan Perhitungannya - Riki Ardoni
PPh Pasal 26 - Pengertian, Subjek, Objek, Tarif dan Perhitungannya - Riki Ardoni
 
Pph orang pribadi brevet c
Pph orang pribadi brevet cPph orang pribadi brevet c
Pph orang pribadi brevet c
 
Bab 6 pajak penghasilan pasal 23 & 26
Bab 6 pajak penghasilan pasal 23 & 26Bab 6 pajak penghasilan pasal 23 & 26
Bab 6 pajak penghasilan pasal 23 & 26
 
P ph badan oleh pm
P ph badan oleh pmP ph badan oleh pm
P ph badan oleh pm
 
Pajak Penghasilan Pasal 24 (Penghasilan Luar Negeri) - by Riki Ardoni
Pajak Penghasilan Pasal 24 (Penghasilan Luar Negeri) - by Riki ArdoniPajak Penghasilan Pasal 24 (Penghasilan Luar Negeri) - by Riki Ardoni
Pajak Penghasilan Pasal 24 (Penghasilan Luar Negeri) - by Riki Ardoni
 
KUP A kelompok 1
KUP A kelompok 1KUP A kelompok 1
KUP A kelompok 1
 
Npwp & spt 2008 1770s
Npwp & spt 2008 1770sNpwp & spt 2008 1770s
Npwp & spt 2008 1770s
 
Presentasi
PresentasiPresentasi
Presentasi
 

Similar to OPTIMASI DIVIDEN

MEYSI_RESYANTI_AKTPAJAK_SURYANIH_PSAK46_STIAMITANGERANG
MEYSI_RESYANTI_AKTPAJAK_SURYANIH_PSAK46_STIAMITANGERANGMEYSI_RESYANTI_AKTPAJAK_SURYANIH_PSAK46_STIAMITANGERANG
MEYSI_RESYANTI_AKTPAJAK_SURYANIH_PSAK46_STIAMITANGERANGMeysi Resyanti
 
AKT_PAJAK, TANTO CHANDRA, SURYANIH, STIAMI, PSAK 46
AKT_PAJAK, TANTO CHANDRA, SURYANIH, STIAMI, PSAK 46AKT_PAJAK, TANTO CHANDRA, SURYANIH, STIAMI, PSAK 46
AKT_PAJAK, TANTO CHANDRA, SURYANIH, STIAMI, PSAK 46TANTO CHANDRA
 
AKT_PAJAK, TANTO CHANDRA, SURYANIH, STIAMI, PSAK46
AKT_PAJAK, TANTO CHANDRA, SURYANIH, STIAMI, PSAK46AKT_PAJAK, TANTO CHANDRA, SURYANIH, STIAMI, PSAK46
AKT_PAJAK, TANTO CHANDRA, SURYANIH, STIAMI, PSAK46TANTO CHANDRA
 
ALFIAOKTAVIANI_AKTPAJAK_SURYANIH_PSAK46_STIAMITANGERANG_CA116222093
ALFIAOKTAVIANI_AKTPAJAK_SURYANIH_PSAK46_STIAMITANGERANG_CA116222093ALFIAOKTAVIANI_AKTPAJAK_SURYANIH_PSAK46_STIAMITANGERANG_CA116222093
ALFIAOKTAVIANI_AKTPAJAK_SURYANIH_PSAK46_STIAMITANGERANG_CA116222093Alfia Oktaviani
 
Modul rekonsiliasi-fiskal
Modul rekonsiliasi-fiskalModul rekonsiliasi-fiskal
Modul rekonsiliasi-fiskalYABES HULU
 
PSAK 46 PAJAK KELOMPOK 5 UNIV WP SBY.pptx
PSAK 46 PAJAK KELOMPOK 5 UNIV WP SBY.pptxPSAK 46 PAJAK KELOMPOK 5 UNIV WP SBY.pptx
PSAK 46 PAJAK KELOMPOK 5 UNIV WP SBY.pptxtempehienak3
 
AKT_Pajak,Maghfury,Suryanih,PSAK46,STIAMI Tangerang
AKT_Pajak,Maghfury,Suryanih,PSAK46,STIAMI TangerangAKT_Pajak,Maghfury,Suryanih,PSAK46,STIAMI Tangerang
AKT_Pajak,Maghfury,Suryanih,PSAK46,STIAMI TangerangHabibie Reza
 
Mengenal Pajak Internasional
Mengenal Pajak InternasionalMengenal Pajak Internasional
Mengenal Pajak InternasionalIlham Sousuke
 
STUDI KASUS UMUM PERPAJAKAN
STUDI KASUS UMUM PERPAJAKANSTUDI KASUS UMUM PERPAJAKAN
STUDI KASUS UMUM PERPAJAKANhendri van jr
 
Akt_Pajak,Angga Septiawan,Suryanih,PSAK46,STIAMI
Akt_Pajak,Angga Septiawan,Suryanih,PSAK46,STIAMIAkt_Pajak,Angga Septiawan,Suryanih,PSAK46,STIAMI
Akt_Pajak,Angga Septiawan,Suryanih,PSAK46,STIAMIAngga Septiawan
 
Pengenaan PPh atas dividen - Riki Ardoni
Pengenaan PPh atas dividen - Riki ArdoniPengenaan PPh atas dividen - Riki Ardoni
Pengenaan PPh atas dividen - Riki ArdoniRiki Ardoni
 
PErnyataan ini bertujuan mengatur perlakuan akuntansi untuk pajak penghasilan
PErnyataan ini bertujuan mengatur perlakuan akuntansi untuk pajak penghasilanPErnyataan ini bertujuan mengatur perlakuan akuntansi untuk pajak penghasilan
PErnyataan ini bertujuan mengatur perlakuan akuntansi untuk pajak penghasilanchuichoco
 
AKT_Pajak,Muhtaromi,Suryanih,TentangPSAK46,STIAMI Tangerang
AKT_Pajak,Muhtaromi,Suryanih,TentangPSAK46,STIAMI TangerangAKT_Pajak,Muhtaromi,Suryanih,TentangPSAK46,STIAMI Tangerang
AKT_Pajak,Muhtaromi,Suryanih,TentangPSAK46,STIAMI TangerangHabibie Reza
 
AKT_Pajak, PSAK 46, Muhtaromi, Suryanih, STIAMI TANGERANG
AKT_Pajak, PSAK 46, Muhtaromi, Suryanih, STIAMI TANGERANGAKT_Pajak, PSAK 46, Muhtaromi, Suryanih, STIAMI TANGERANG
AKT_Pajak, PSAK 46, Muhtaromi, Suryanih, STIAMI TANGERANGmuhtaromi muhtaromi
 
Psak 46 muhtaromi, suryanih, stiami pinang
Psak 46 muhtaromi, suryanih, stiami pinangPsak 46 muhtaromi, suryanih, stiami pinang
Psak 46 muhtaromi, suryanih, stiami pinangmuhtaromi muhtaromi
 
Slide_6_Rekonsiliasi_Fiskal.pptx
Slide_6_Rekonsiliasi_Fiskal.pptxSlide_6_Rekonsiliasi_Fiskal.pptx
Slide_6_Rekonsiliasi_Fiskal.pptxEviDewigc
 
Revisi Tugas Kelompok 2_Perpajakan.pptx
Revisi Tugas Kelompok 2_Perpajakan.pptxRevisi Tugas Kelompok 2_Perpajakan.pptx
Revisi Tugas Kelompok 2_Perpajakan.pptxmatius7
 
Perencanaan pajak berdasarkan uu domestik
Perencanaan pajak berdasarkan uu domestikPerencanaan pajak berdasarkan uu domestik
Perencanaan pajak berdasarkan uu domestikAyuni Annisah
 

Similar to OPTIMASI DIVIDEN (20)

MEYSI_RESYANTI_AKTPAJAK_SURYANIH_PSAK46_STIAMITANGERANG
MEYSI_RESYANTI_AKTPAJAK_SURYANIH_PSAK46_STIAMITANGERANGMEYSI_RESYANTI_AKTPAJAK_SURYANIH_PSAK46_STIAMITANGERANG
MEYSI_RESYANTI_AKTPAJAK_SURYANIH_PSAK46_STIAMITANGERANG
 
AKT_PAJAK, TANTO CHANDRA, SURYANIH, STIAMI, PSAK 46
AKT_PAJAK, TANTO CHANDRA, SURYANIH, STIAMI, PSAK 46AKT_PAJAK, TANTO CHANDRA, SURYANIH, STIAMI, PSAK 46
AKT_PAJAK, TANTO CHANDRA, SURYANIH, STIAMI, PSAK 46
 
AKT_PAJAK, TANTO CHANDRA, SURYANIH, STIAMI, PSAK46
AKT_PAJAK, TANTO CHANDRA, SURYANIH, STIAMI, PSAK46AKT_PAJAK, TANTO CHANDRA, SURYANIH, STIAMI, PSAK46
AKT_PAJAK, TANTO CHANDRA, SURYANIH, STIAMI, PSAK46
 
ALFIAOKTAVIANI_AKTPAJAK_SURYANIH_PSAK46_STIAMITANGERANG_CA116222093
ALFIAOKTAVIANI_AKTPAJAK_SURYANIH_PSAK46_STIAMITANGERANG_CA116222093ALFIAOKTAVIANI_AKTPAJAK_SURYANIH_PSAK46_STIAMITANGERANG_CA116222093
ALFIAOKTAVIANI_AKTPAJAK_SURYANIH_PSAK46_STIAMITANGERANG_CA116222093
 
Psak 46-pajak-penghasilan
Psak 46-pajak-penghasilanPsak 46-pajak-penghasilan
Psak 46-pajak-penghasilan
 
Modul rekonsiliasi-fiskal
Modul rekonsiliasi-fiskalModul rekonsiliasi-fiskal
Modul rekonsiliasi-fiskal
 
PSAK 46 PAJAK KELOMPOK 5 UNIV WP SBY.pptx
PSAK 46 PAJAK KELOMPOK 5 UNIV WP SBY.pptxPSAK 46 PAJAK KELOMPOK 5 UNIV WP SBY.pptx
PSAK 46 PAJAK KELOMPOK 5 UNIV WP SBY.pptx
 
AKT_Pajak,Maghfury,Suryanih,PSAK46,STIAMI Tangerang
AKT_Pajak,Maghfury,Suryanih,PSAK46,STIAMI TangerangAKT_Pajak,Maghfury,Suryanih,PSAK46,STIAMI Tangerang
AKT_Pajak,Maghfury,Suryanih,PSAK46,STIAMI Tangerang
 
Mengenal Pajak Internasional
Mengenal Pajak InternasionalMengenal Pajak Internasional
Mengenal Pajak Internasional
 
STUDI KASUS UMUM PERPAJAKAN
STUDI KASUS UMUM PERPAJAKANSTUDI KASUS UMUM PERPAJAKAN
STUDI KASUS UMUM PERPAJAKAN
 
Stuktur P3B
Stuktur P3BStuktur P3B
Stuktur P3B
 
Akt_Pajak,Angga Septiawan,Suryanih,PSAK46,STIAMI
Akt_Pajak,Angga Septiawan,Suryanih,PSAK46,STIAMIAkt_Pajak,Angga Septiawan,Suryanih,PSAK46,STIAMI
Akt_Pajak,Angga Septiawan,Suryanih,PSAK46,STIAMI
 
Pengenaan PPh atas dividen - Riki Ardoni
Pengenaan PPh atas dividen - Riki ArdoniPengenaan PPh atas dividen - Riki Ardoni
Pengenaan PPh atas dividen - Riki Ardoni
 
PErnyataan ini bertujuan mengatur perlakuan akuntansi untuk pajak penghasilan
PErnyataan ini bertujuan mengatur perlakuan akuntansi untuk pajak penghasilanPErnyataan ini bertujuan mengatur perlakuan akuntansi untuk pajak penghasilan
PErnyataan ini bertujuan mengatur perlakuan akuntansi untuk pajak penghasilan
 
AKT_Pajak,Muhtaromi,Suryanih,TentangPSAK46,STIAMI Tangerang
AKT_Pajak,Muhtaromi,Suryanih,TentangPSAK46,STIAMI TangerangAKT_Pajak,Muhtaromi,Suryanih,TentangPSAK46,STIAMI Tangerang
AKT_Pajak,Muhtaromi,Suryanih,TentangPSAK46,STIAMI Tangerang
 
AKT_Pajak, PSAK 46, Muhtaromi, Suryanih, STIAMI TANGERANG
AKT_Pajak, PSAK 46, Muhtaromi, Suryanih, STIAMI TANGERANGAKT_Pajak, PSAK 46, Muhtaromi, Suryanih, STIAMI TANGERANG
AKT_Pajak, PSAK 46, Muhtaromi, Suryanih, STIAMI TANGERANG
 
Psak 46 muhtaromi, suryanih, stiami pinang
Psak 46 muhtaromi, suryanih, stiami pinangPsak 46 muhtaromi, suryanih, stiami pinang
Psak 46 muhtaromi, suryanih, stiami pinang
 
Slide_6_Rekonsiliasi_Fiskal.pptx
Slide_6_Rekonsiliasi_Fiskal.pptxSlide_6_Rekonsiliasi_Fiskal.pptx
Slide_6_Rekonsiliasi_Fiskal.pptx
 
Revisi Tugas Kelompok 2_Perpajakan.pptx
Revisi Tugas Kelompok 2_Perpajakan.pptxRevisi Tugas Kelompok 2_Perpajakan.pptx
Revisi Tugas Kelompok 2_Perpajakan.pptx
 
Perencanaan pajak berdasarkan uu domestik
Perencanaan pajak berdasarkan uu domestikPerencanaan pajak berdasarkan uu domestik
Perencanaan pajak berdasarkan uu domestik
 

More from Ilham Sousuke

Pajak Internasional atas Bunga
Pajak Internasional atas BungaPajak Internasional atas Bunga
Pajak Internasional atas BungaIlham Sousuke
 
Hubungan Istimewa (associated enterprises) dalam Pajak Internasional
Hubungan Istimewa (associated enterprises) dalam Pajak InternasionalHubungan Istimewa (associated enterprises) dalam Pajak Internasional
Hubungan Istimewa (associated enterprises) dalam Pajak InternasionalIlham Sousuke
 
Pajak Internasional atas Jasa Independen
Pajak Internasional atas Jasa IndependenPajak Internasional atas Jasa Independen
Pajak Internasional atas Jasa IndependenIlham Sousuke
 
Bentuk Usaha Tetap dalam Pajak Internasional (Permanent Establishment)
Bentuk Usaha Tetap dalam Pajak Internasional (Permanent Establishment)Bentuk Usaha Tetap dalam Pajak Internasional (Permanent Establishment)
Bentuk Usaha Tetap dalam Pajak Internasional (Permanent Establishment)Ilham Sousuke
 
Residensi dalam Pajak Internasional
Residensi dalam Pajak InternasionalResidensi dalam Pajak Internasional
Residensi dalam Pajak InternasionalIlham Sousuke
 
Lingkup Material dalam Pajak Internasional
Lingkup Material dalam Pajak InternasionalLingkup Material dalam Pajak Internasional
Lingkup Material dalam Pajak InternasionalIlham Sousuke
 
Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda
Perjanjian Penghindaran Pajak BergandaPerjanjian Penghindaran Pajak Berganda
Perjanjian Penghindaran Pajak BergandaIlham Sousuke
 
Kedudukan Hukum dan Interpretasi P3B
Kedudukan Hukum dan Interpretasi P3BKedudukan Hukum dan Interpretasi P3B
Kedudukan Hukum dan Interpretasi P3BIlham Sousuke
 
Pajak Internasional atas Royalti
Pajak Internasional atas RoyaltiPajak Internasional atas Royalti
Pajak Internasional atas RoyaltiIlham Sousuke
 
(Pert 7) bab 20 audit payroll and personnel cycles
(Pert 7) bab 20 audit payroll and personnel cycles(Pert 7) bab 20 audit payroll and personnel cycles
(Pert 7) bab 20 audit payroll and personnel cyclesIlham Sousuke
 
(Pert 6) bab 22 siklus akuisisi capital dan repayment
(Pert 6) bab 22 siklus akuisisi capital dan repayment(Pert 6) bab 22 siklus akuisisi capital dan repayment
(Pert 6) bab 22 siklus akuisisi capital dan repaymentIlham Sousuke
 
(Pert 6) bab 21 siklus inventory dan warehousing
(Pert 6) bab 21 siklus inventory dan warehousing(Pert 6) bab 21 siklus inventory dan warehousing
(Pert 6) bab 21 siklus inventory dan warehousingIlham Sousuke
 
(Pert 5) bab 19 penyelesaian siklus akuisisi dan pemabayaran
(Pert 5) bab 19 penyelesaian siklus akuisisi dan pemabayaran(Pert 5) bab 19 penyelesaian siklus akuisisi dan pemabayaran
(Pert 5) bab 19 penyelesaian siklus akuisisi dan pemabayaranIlham Sousuke
 
(Pert 4) bab 15 penyelesaian siklus penjualan dan penagihan
(Pert 4) bab 15 penyelesaian siklus penjualan dan penagihan(Pert 4) bab 15 penyelesaian siklus penjualan dan penagihan
(Pert 4) bab 15 penyelesaian siklus penjualan dan penagihanIlham Sousuke
 
(Pert 5) bab 18 siklus akuisisi dan pembayaran
(Pert 5) bab 18 siklus akuisisi dan pembayaran(Pert 5) bab 18 siklus akuisisi dan pembayaran
(Pert 5) bab 18 siklus akuisisi dan pembayaranIlham Sousuke
 
(Pert 4) bab 14 siklus penjualan dan penagihan test of control & substa...
(Pert 4) bab 14 siklus penjualan dan penagihan   test of control & substa...(Pert 4) bab 14 siklus penjualan dan penagihan   test of control & substa...
(Pert 4) bab 14 siklus penjualan dan penagihan test of control & substa...Ilham Sousuke
 
(Pert 3) bab 24 penyelesaian audit
(Pert 3) bab 24 penyelesaian audit(Pert 3) bab 24 penyelesaian audit
(Pert 3) bab 24 penyelesaian auditIlham Sousuke
 
(Pert 3) bab 8 perencanaan audit dan prosedur analitis
(Pert 3) bab 8 perencanaan audit dan prosedur analitis(Pert 3) bab 8 perencanaan audit dan prosedur analitis
(Pert 3) bab 8 perencanaan audit dan prosedur analitisIlham Sousuke
 
(Pert 3) bab 13 strategi audit dan program audit
(Pert 3) bab 13 strategi audit dan program audit(Pert 3) bab 13 strategi audit dan program audit
(Pert 3) bab 13 strategi audit dan program auditIlham Sousuke
 
(Pert 2) bab 10 pengendalian internal
(Pert 2) bab 10 pengendalian internal(Pert 2) bab 10 pengendalian internal
(Pert 2) bab 10 pengendalian internalIlham Sousuke
 

More from Ilham Sousuke (20)

Pajak Internasional atas Bunga
Pajak Internasional atas BungaPajak Internasional atas Bunga
Pajak Internasional atas Bunga
 
Hubungan Istimewa (associated enterprises) dalam Pajak Internasional
Hubungan Istimewa (associated enterprises) dalam Pajak InternasionalHubungan Istimewa (associated enterprises) dalam Pajak Internasional
Hubungan Istimewa (associated enterprises) dalam Pajak Internasional
 
Pajak Internasional atas Jasa Independen
Pajak Internasional atas Jasa IndependenPajak Internasional atas Jasa Independen
Pajak Internasional atas Jasa Independen
 
Bentuk Usaha Tetap dalam Pajak Internasional (Permanent Establishment)
Bentuk Usaha Tetap dalam Pajak Internasional (Permanent Establishment)Bentuk Usaha Tetap dalam Pajak Internasional (Permanent Establishment)
Bentuk Usaha Tetap dalam Pajak Internasional (Permanent Establishment)
 
Residensi dalam Pajak Internasional
Residensi dalam Pajak InternasionalResidensi dalam Pajak Internasional
Residensi dalam Pajak Internasional
 
Lingkup Material dalam Pajak Internasional
Lingkup Material dalam Pajak InternasionalLingkup Material dalam Pajak Internasional
Lingkup Material dalam Pajak Internasional
 
Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda
Perjanjian Penghindaran Pajak BergandaPerjanjian Penghindaran Pajak Berganda
Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda
 
Kedudukan Hukum dan Interpretasi P3B
Kedudukan Hukum dan Interpretasi P3BKedudukan Hukum dan Interpretasi P3B
Kedudukan Hukum dan Interpretasi P3B
 
Pajak Internasional atas Royalti
Pajak Internasional atas RoyaltiPajak Internasional atas Royalti
Pajak Internasional atas Royalti
 
(Pert 7) bab 20 audit payroll and personnel cycles
(Pert 7) bab 20 audit payroll and personnel cycles(Pert 7) bab 20 audit payroll and personnel cycles
(Pert 7) bab 20 audit payroll and personnel cycles
 
(Pert 6) bab 22 siklus akuisisi capital dan repayment
(Pert 6) bab 22 siklus akuisisi capital dan repayment(Pert 6) bab 22 siklus akuisisi capital dan repayment
(Pert 6) bab 22 siklus akuisisi capital dan repayment
 
(Pert 6) bab 21 siklus inventory dan warehousing
(Pert 6) bab 21 siklus inventory dan warehousing(Pert 6) bab 21 siklus inventory dan warehousing
(Pert 6) bab 21 siklus inventory dan warehousing
 
(Pert 5) bab 19 penyelesaian siklus akuisisi dan pemabayaran
(Pert 5) bab 19 penyelesaian siklus akuisisi dan pemabayaran(Pert 5) bab 19 penyelesaian siklus akuisisi dan pemabayaran
(Pert 5) bab 19 penyelesaian siklus akuisisi dan pemabayaran
 
(Pert 4) bab 15 penyelesaian siklus penjualan dan penagihan
(Pert 4) bab 15 penyelesaian siklus penjualan dan penagihan(Pert 4) bab 15 penyelesaian siklus penjualan dan penagihan
(Pert 4) bab 15 penyelesaian siklus penjualan dan penagihan
 
(Pert 5) bab 18 siklus akuisisi dan pembayaran
(Pert 5) bab 18 siklus akuisisi dan pembayaran(Pert 5) bab 18 siklus akuisisi dan pembayaran
(Pert 5) bab 18 siklus akuisisi dan pembayaran
 
(Pert 4) bab 14 siklus penjualan dan penagihan test of control & substa...
(Pert 4) bab 14 siklus penjualan dan penagihan   test of control & substa...(Pert 4) bab 14 siklus penjualan dan penagihan   test of control & substa...
(Pert 4) bab 14 siklus penjualan dan penagihan test of control & substa...
 
(Pert 3) bab 24 penyelesaian audit
(Pert 3) bab 24 penyelesaian audit(Pert 3) bab 24 penyelesaian audit
(Pert 3) bab 24 penyelesaian audit
 
(Pert 3) bab 8 perencanaan audit dan prosedur analitis
(Pert 3) bab 8 perencanaan audit dan prosedur analitis(Pert 3) bab 8 perencanaan audit dan prosedur analitis
(Pert 3) bab 8 perencanaan audit dan prosedur analitis
 
(Pert 3) bab 13 strategi audit dan program audit
(Pert 3) bab 13 strategi audit dan program audit(Pert 3) bab 13 strategi audit dan program audit
(Pert 3) bab 13 strategi audit dan program audit
 
(Pert 2) bab 10 pengendalian internal
(Pert 2) bab 10 pengendalian internal(Pert 2) bab 10 pengendalian internal
(Pert 2) bab 10 pengendalian internal
 

Recently uploaded

ppt-modul-6-pend-seni-di sd kelompok 2 ppt
ppt-modul-6-pend-seni-di sd kelompok 2 pptppt-modul-6-pend-seni-di sd kelompok 2 ppt
ppt-modul-6-pend-seni-di sd kelompok 2 pptArkhaRega1
 
PELAKSANAAN + Link2 Materi TRAINING "Effective SUPERVISORY & LEADERSHIP Sk...
PELAKSANAAN  + Link2 Materi TRAINING "Effective  SUPERVISORY &  LEADERSHIP Sk...PELAKSANAAN  + Link2 Materi TRAINING "Effective  SUPERVISORY &  LEADERSHIP Sk...
PELAKSANAAN + Link2 Materi TRAINING "Effective SUPERVISORY & LEADERSHIP Sk...Kanaidi ken
 
Aksi nyata disiplin positif Hj. Hasnani (1).pdf
Aksi nyata disiplin positif Hj. Hasnani (1).pdfAksi nyata disiplin positif Hj. Hasnani (1).pdf
Aksi nyata disiplin positif Hj. Hasnani (1).pdfDimanWr1
 
Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 4 Fase B
Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 4 Fase BModul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 4 Fase B
Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 4 Fase BAbdiera
 
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptx
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptxDESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptx
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptxFuzaAnggriana
 
Paparan Refleksi Lokakarya program sekolah penggerak.pptx
Paparan Refleksi Lokakarya program sekolah penggerak.pptxPaparan Refleksi Lokakarya program sekolah penggerak.pptx
Paparan Refleksi Lokakarya program sekolah penggerak.pptxIgitNuryana13
 
Modul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase C
Modul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase CModul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase C
Modul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase CAbdiera
 
Kelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdf
Kelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdfKelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdf
Kelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdftsaniasalftn18
 
PPT Integrasi Islam & Ilmu Pengetahuan.pptx
PPT Integrasi Islam & Ilmu Pengetahuan.pptxPPT Integrasi Islam & Ilmu Pengetahuan.pptx
PPT Integrasi Islam & Ilmu Pengetahuan.pptxnerow98
 
KONSEP KEBUTUHAN AKTIVITAS DAN LATIHAN.pptx
KONSEP KEBUTUHAN AKTIVITAS DAN LATIHAN.pptxKONSEP KEBUTUHAN AKTIVITAS DAN LATIHAN.pptx
KONSEP KEBUTUHAN AKTIVITAS DAN LATIHAN.pptxawaldarmawan3
 
Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5
Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5
Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5KIKI TRISNA MUKTI
 
Tugas 1 ABK di SD prodi pendidikan guru sekolah dasar.docx
Tugas 1 ABK di SD prodi pendidikan guru sekolah dasar.docxTugas 1 ABK di SD prodi pendidikan guru sekolah dasar.docx
Tugas 1 ABK di SD prodi pendidikan guru sekolah dasar.docxmawan5982
 
Materi Pertemuan Materi Pertemuan 7.pptx
Materi Pertemuan Materi Pertemuan 7.pptxMateri Pertemuan Materi Pertemuan 7.pptx
Materi Pertemuan Materi Pertemuan 7.pptxRezaWahyuni6
 
BAHAN SOSIALISASI PPDB SMA-SMK NEGERI DISDIKSU TP. 2024-2025 REVISI.pptx
BAHAN SOSIALISASI PPDB SMA-SMK NEGERI DISDIKSU TP. 2024-2025 REVISI.pptxBAHAN SOSIALISASI PPDB SMA-SMK NEGERI DISDIKSU TP. 2024-2025 REVISI.pptx
BAHAN SOSIALISASI PPDB SMA-SMK NEGERI DISDIKSU TP. 2024-2025 REVISI.pptxJamhuriIshak
 
Lembar Catatan Percakapan Pasca observasidocx
Lembar Catatan Percakapan Pasca observasidocxLembar Catatan Percakapan Pasca observasidocx
Lembar Catatan Percakapan Pasca observasidocxbkandrisaputra
 
Aksi nyata Malaikat Kebaikan [Guru].pptx
Aksi nyata Malaikat Kebaikan [Guru].pptxAksi nyata Malaikat Kebaikan [Guru].pptx
Aksi nyata Malaikat Kebaikan [Guru].pptxsdn3jatiblora
 
tugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docx
tugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docxtugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docx
tugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docxmawan5982
 
Modul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdf
Modul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdfModul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdf
Modul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdfSitiJulaeha820399
 
tugas 1 tutorial online anak berkebutuhan khusus di SD
tugas 1 tutorial online anak berkebutuhan khusus di SDtugas 1 tutorial online anak berkebutuhan khusus di SD
tugas 1 tutorial online anak berkebutuhan khusus di SDmawan5982
 
AKSI NYATA NARKOBA ATAU OBAT TERLARANG..
AKSI NYATA NARKOBA ATAU OBAT TERLARANG..AKSI NYATA NARKOBA ATAU OBAT TERLARANG..
AKSI NYATA NARKOBA ATAU OBAT TERLARANG..ikayogakinasih12
 

Recently uploaded (20)

ppt-modul-6-pend-seni-di sd kelompok 2 ppt
ppt-modul-6-pend-seni-di sd kelompok 2 pptppt-modul-6-pend-seni-di sd kelompok 2 ppt
ppt-modul-6-pend-seni-di sd kelompok 2 ppt
 
PELAKSANAAN + Link2 Materi TRAINING "Effective SUPERVISORY & LEADERSHIP Sk...
PELAKSANAAN  + Link2 Materi TRAINING "Effective  SUPERVISORY &  LEADERSHIP Sk...PELAKSANAAN  + Link2 Materi TRAINING "Effective  SUPERVISORY &  LEADERSHIP Sk...
PELAKSANAAN + Link2 Materi TRAINING "Effective SUPERVISORY & LEADERSHIP Sk...
 
Aksi nyata disiplin positif Hj. Hasnani (1).pdf
Aksi nyata disiplin positif Hj. Hasnani (1).pdfAksi nyata disiplin positif Hj. Hasnani (1).pdf
Aksi nyata disiplin positif Hj. Hasnani (1).pdf
 
Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 4 Fase B
Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 4 Fase BModul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 4 Fase B
Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 4 Fase B
 
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptx
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptxDESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptx
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptx
 
Paparan Refleksi Lokakarya program sekolah penggerak.pptx
Paparan Refleksi Lokakarya program sekolah penggerak.pptxPaparan Refleksi Lokakarya program sekolah penggerak.pptx
Paparan Refleksi Lokakarya program sekolah penggerak.pptx
 
Modul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase C
Modul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase CModul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase C
Modul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase C
 
Kelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdf
Kelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdfKelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdf
Kelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdf
 
PPT Integrasi Islam & Ilmu Pengetahuan.pptx
PPT Integrasi Islam & Ilmu Pengetahuan.pptxPPT Integrasi Islam & Ilmu Pengetahuan.pptx
PPT Integrasi Islam & Ilmu Pengetahuan.pptx
 
KONSEP KEBUTUHAN AKTIVITAS DAN LATIHAN.pptx
KONSEP KEBUTUHAN AKTIVITAS DAN LATIHAN.pptxKONSEP KEBUTUHAN AKTIVITAS DAN LATIHAN.pptx
KONSEP KEBUTUHAN AKTIVITAS DAN LATIHAN.pptx
 
Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5
Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5
Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5
 
Tugas 1 ABK di SD prodi pendidikan guru sekolah dasar.docx
Tugas 1 ABK di SD prodi pendidikan guru sekolah dasar.docxTugas 1 ABK di SD prodi pendidikan guru sekolah dasar.docx
Tugas 1 ABK di SD prodi pendidikan guru sekolah dasar.docx
 
Materi Pertemuan Materi Pertemuan 7.pptx
Materi Pertemuan Materi Pertemuan 7.pptxMateri Pertemuan Materi Pertemuan 7.pptx
Materi Pertemuan Materi Pertemuan 7.pptx
 
BAHAN SOSIALISASI PPDB SMA-SMK NEGERI DISDIKSU TP. 2024-2025 REVISI.pptx
BAHAN SOSIALISASI PPDB SMA-SMK NEGERI DISDIKSU TP. 2024-2025 REVISI.pptxBAHAN SOSIALISASI PPDB SMA-SMK NEGERI DISDIKSU TP. 2024-2025 REVISI.pptx
BAHAN SOSIALISASI PPDB SMA-SMK NEGERI DISDIKSU TP. 2024-2025 REVISI.pptx
 
Lembar Catatan Percakapan Pasca observasidocx
Lembar Catatan Percakapan Pasca observasidocxLembar Catatan Percakapan Pasca observasidocx
Lembar Catatan Percakapan Pasca observasidocx
 
Aksi nyata Malaikat Kebaikan [Guru].pptx
Aksi nyata Malaikat Kebaikan [Guru].pptxAksi nyata Malaikat Kebaikan [Guru].pptx
Aksi nyata Malaikat Kebaikan [Guru].pptx
 
tugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docx
tugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docxtugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docx
tugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docx
 
Modul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdf
Modul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdfModul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdf
Modul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdf
 
tugas 1 tutorial online anak berkebutuhan khusus di SD
tugas 1 tutorial online anak berkebutuhan khusus di SDtugas 1 tutorial online anak berkebutuhan khusus di SD
tugas 1 tutorial online anak berkebutuhan khusus di SD
 
AKSI NYATA NARKOBA ATAU OBAT TERLARANG..
AKSI NYATA NARKOBA ATAU OBAT TERLARANG..AKSI NYATA NARKOBA ATAU OBAT TERLARANG..
AKSI NYATA NARKOBA ATAU OBAT TERLARANG..
 

OPTIMASI DIVIDEN

  • 1. Dividen Pengenalan Pada bab sebelumnya, telah dibahas macam-macam penghasilan dari aktif baik kegiatan usaha dari badan hukum (perusahaan) maupun kegiatan usaha personal. Selanjutnya adalah penghasilan pasif, atau yang sering diartikan sebagai penghasilan dari investasi. Macam-macam penghasilan pasif : 1. pendapatan yang timbul dari instrumen ekuitas, yaitu dividen; 2. pendapatan yang timbul dari instrumen utang, yaitu bunga (umumnya); 3. pendapatan yang timbul dari hak untuk menggunakan properti tidak berwujud, yaitu royalti; 4. pendapatan yang timbul dari penggunaan properti tidak bergerak, yaitu sewa; dan 5. keuntungan dari penjualan, penjualan atau pengalihan lain atau transmisi aktiva atau kewajiban, yaitu capital gains. Namun, yang akan dibahas pada bab ini adalah penghasilan dividen. Ketika Residen negara R memperoleh penghasilan pasif dari Negara S, biasanya Negara S menerapkan pajaknya sendiri terhadap pendapatan yang diperoleh sesuai dengan hukum nasionalnya. Pajak ini adalah withholding tax yang dikenakan atas pembayaran pendapatan kepada non-residen pada saat pembayaran. Meskipun pajak dikenakan atas pendapatan yang diperoleh oleh non-residen, kewajiban untuk membayar withholding tax biasanya dibebankan kepada wajib pajak negara S. Mekanisme ini hanya bertujuan untuk memudahkan pemungutan pajak terhadap non-residen dan tidak mengubah konsep dasar bahwa pajak tetap dikenakan atas pendapatan non-residen. Mekanisme pemungutan pajak ini tidak unik untuk pembayaran pendapatan pasif kepada investor non-residen, karena ketentuan ini juga diterapkan di bidang perpajakan lain, seperti pembayaran upah dan gaji kepada karyawan, pembayaran tertentu kepada kontraktor independen, dan pendapatan pasif diperoleh oleh investor residen. Perbedaan mendasar dalam kasus non-residen yang memperoleh pendapatan pasif dari Negara S adalah bahwa non-residen dapat mengklaim manfaat DTA antara Negara R dan Negara S dimana DTAakan membatasi jumlah pajak yang dikenakan oleh Negara S daripada jika menggunakan ketentuan domestik negara S. Perpajakan internasional untuk pendapatan pasif didasarkan pada beneficial owner dari pendapatan itu. Dalam bab ini, kami menyelidiki konsep beneficial owner dan mencatat beberapa kesulitan dengan penerapan praktis dari gagasan tersebut. Definisi Dividen Dividen pada umumnya dianggap sebagai pembayaran formal, atau pengalihan nilai, oleh perusahaan, yang didanai oleh pemegang sahamnya, kepada pemegang saham sehubungan dengan kepemilikan saham mereka. Istilah "dividen" juga dapat diartikan sebagai distribusi laba yang dilakukan sehubungan dengan saham dalam kemitraan terbatas . Termasuk dalam pengertian dividen adalah (tidak harus dibayarkan tunai) 1. Distribusi dalam bentuk barang oleh perusahaan kepada pemegang saham mereka, yaitu dengan cara distribusi aset perusahaan atau dengan cara saham baru di
  • 2. perusahaan (bonus saham atau dividen saham) adalah dividen tetap, dan umumnya dikenakan pajak dengan cara yang sama seperti uang tunai dividen. 2. Lebih jauh, pajak dividen juga mencakup pembayaran modal saham tertentu, pembayaran bunga tertentu (misalnya pembayaran bunga yang dilakukan sehubungan dengan efek hutang yang juga berpartisipasi dalam laba perusahaan atau pembayaran bunga yang dianggap berlebihan sesuai dengan kapitalisasi tipis suatu negara aturan, atau pembayaran bunga panjang nonantes antara orang-orang terkait, sering disebut sebagai "dividen konstruktif"). Ketentuan Domestik Pajak atas Dividen Undang-undang pajak domestik di Negara S akan mengenakan pajak atas dividen yang diperoleh oleh non-residen Negara S, dan juga residennya, jika negara itu ingin memajaki orang asing yang berinvestasi di Negara S. Dalam sistem pajak modern, terdapat ketentuan yang mewajibkan pembayar dividen untuk mengenakan pajak atas dividen yang kemudian dibayarkan kepada otoritas pajak pada saat pembayaran dividen dengan tarif yang ditentukan oleh ketentuan pajak domestik yang berlaku untuk residen dan non-residen. Pemugutan pajak tersebut dilakukan terhadap jumlah kotor (bruto) pembayaran dividen yang dibayarkan kepada para pemegang saham. Meskipun pajak penghasilan dikenakan atas penghasilan bersih (neto), yaitu jumlah bersih setelah dikurangi biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan itu. Sulit untuk menentukan biaya yang dikeluarkan oleh pemegang saham untuk mendapatkan dividen. Ketidaksesuaian konsep perpajakan yang dikenakan terhadap laba bersih dan penerapan withholding tax atas jumlah pendapatan bruto dapat diatasi dengan (i) Menerapkan tarif pemungutan di negara sumber yang lebih rendah terhadap pendapatan kotor daripada tarif yang dikenakan pada laba bersih (yang ditentukan tahunan) Pendekatan ini sering diadopsi untuk efisiensi administrasi, dimana untuk mengurangi biaya operasional administrasi pajak, beberapa wajib pajak dikenakan pemotongan pajak final pada sumber sehingga meminimalkan wajib pajak yang melaporkan pajak tiap tahun. Untuk mempertahankan keadilan, maka tarif withholding tax terhadap pendapatan kotor ditetapkan lebih rendah dan tetap menghasilan jumlah pajak yang pungut sama dengan jika menggunakan net income. Namun, meskipun begitu, hal ini terkadang memberikan masalah kepada wajib pajak karena beberapa dari mereka memiliki beban yang besar untuk menghasilkan pendapatan dividen sedangkan yang lainnya mungkin memiliki beban yang sedikit atau tidak ada sama sekali, atau mungkin mengalami kerugian pada kegiatan yang lainnya. (ii) Memperlakukan masalah sebagai satu waktu, yaitu (potensi) perpajakan yang berlebihan di negara sumber dikoreksi pada penilaian tahunan. Dalam kasus penghasilan berupa dividen, dividen yang dibayarkan oleh perusahaan S (residen negara S) kepada pemegang saham non-residen (residen negara R), pemagang saham tersebut dapat dikenakan pajak atas dividen berdasarkan ketentuan domestik negara sumber. Dalam hal ini, pajak berganda akan muncul, untuk menjaga capital-export neutrality, negara harus adil dalam mempajaki investor residen yang berinvestasi di dalam negeri dan di
  • 3. luar negeri, sehingga biasanya negara tersebut mengenakan pajak atas world-wide income, termasuk dividen luar negeri. Oleh karena itu, biasanya Negara S akan mengenakan pungutan pajak final terhadap non- residen atas pendapatan dividen yang berasal dari Perusahaan S. jika pemegang saham telah mengeluarkan biaya dalam memperoleh pendapatan dividen itu, misalnya membayar bunga atas dana pinjaman yang diperoleh dengan tujuan memperoleh sahamnya di Perusahaan S, pemegang saham tidak dapat memperhitungkan beban-beban tersebut di Negara S untuk menghitung laba bersih yang dikenakan pajak. Di sisi lain, pemegang saham biasanya akan membayar pajak atas pendapatan dividen luar negeri di Negara R berdasarkan laba bersih karena Negara R mengizinkan pengurangan untuk pengeluaran pemegang saham dalam memperoleh pendapatan dividennya. Ketika Negara R memberikan relief untuk pajak final yang dibayarkan di Negara S atas pendapatan dividennya, ada ketidakselarasan konseptual: Negara R mengizinkan kredit pajak untuk jumlah pajak yang dihitung berdasarkan pendapatan kotor tetapi dalam menerapkan metode kredit pajak biasa, membatasi jumlah kredit tersebut menjadi jumlah yang ditentukan berdasarkan laba bersih. (intinya adalah pajak yang dibayar dinegara S dihitung dengan nilai bruto sedangkan kredit pajak atas pajak yang dipungut dinegara S tersebut dihitung dan dibatasi terhadap laba neto terhadap pajak yang terutang di negara R) Hak perpajakan berdasarkan P3B (DTA) Pajak atas dividen bervariasi pada berbagai macam Model DTA. OECD Model DTA Pasal 10 OECD Model DTA membahas pengenaan pajak dividen yang berasal dari Negara S oleh residen Negara R. Pasal 10(1) memungkinkan Negara R untuk mengenakan pajak dividen (may be taxed) tersebut. Perlu diperhatikan bahwa Negara R tidak harus mengenakan pajak atas dividen tetapi dapat melakukannya jika diinginkan, dengan kata lain, apabila berdasarkan hukum domestik, negara R mengenakan pajak atas dividen, maka ketentuan DTA tidak menghalanginya. Selain itu, Pasal 10(2) juga memungkinkan Negara S untuk mengenakan pajak dividen yang sama (beneficial owner atas penerima dividen adalah residen negara R), tetapi terbatas pada jumlah pajak yang dikenakan, yaitu : a) 5% dari jumlah kotor dividen jika beneficial owner adalah perusahaan (selain partnership) yang memiliki secara langsung setidaknya 25% dari modal perusahaan yang membayar dividen; b) 15% dari jumlah kotor dividen dalam semua kasus lainnya. Pasal 10(2) juga menginstruksikan otoritas dari setiap negara yang berkontrak untuk menyelesaikan melalui mutual agreement tentang cara penerapan pembatasan di atas pada hak-hak perpajakan Negara S. Pasal ini merupakan pasal yang menguntungkan negara R karena membatas hak perpajakan oleh negara S dimana negara R hanya diharuskan melepaskan sedikit hak-nya atas pajak dividen.
  • 4. UN Model DTA Pasal 10(2) UN Model DTA tidak cukup murah hati kepada Negara R seperti OECD Model DTA. UN Model DTA lebih memperhatikan negara-negara sumber, dan ini tercermin dalam Pasal 10(2) bahwa, dimana dividen juga dapat dikenakan pajak (may be taxed) di negara S dan menurut hukum negara S, tetapi jika beneficial owner dividen adalah residen negara R, maka pajak yang dikenakan tidak boleh melebihi : a) ... % (persentase harus ditetapkan melalui negosiasi bilateral) dari jumlah kotor dividen jika pemilik manfaat adalah perusahaan (selain kemitraan) yang memegang langsung setidaknya 10% dari modal perusahaan yang membayar dividen; b) ... % (persentase harus ditetapkan melalui negosiasi bilateral) dari jumlah kotor dividen dalam semua kasus lainnya. Dengan membiarkan batasan persentase tidak ditentukan, UN Model DTA memberikan keleluasaan yang lebih besar kepada Negara S untuk menegosiasikan tarif pajak yang lebih tinggi ketimbang OECDModel DTA, yang dapat mengenakan pajak atas dividen yang berasal dari Negara S, dengan mengorbankan Negara R. CARICOM Agreement CARICOM Agreement sangat menguntungkan negara sumber, dimana negara sumber memiliki hak tunggal atas pembagian pajak. Pasal 11(1) menyatakan bahwa "dividen yang dibayarkan oleh perusahaan yang merupakan residen [Negara S] kepada residen [Negara R] hanya akan dikenakan pajak di [Negara S]." Namun anehnya, Pasal 11(2) menolak kemampuan Negara S untuk mengenakan pajak apa pun: "Tarif pajak atas dividen bruto harus nol persen." Kebijakan ini memungkinkan pendapatan dividen sepenuhnya bebas pajak di semua negara yang berkontrak, untuk memfasilitasi penyertaan modal yang lebih besar di antara mereka. Berdasarkan penjelasan diatas, muncul suatu pertanyaan, sebagai berikut : Apa arti “dividen”? Pasal 10(3) OECDdan UN Model DTA, menjelaskan Istilah "dividen" sebagaimana digunakan dalam Pasal ini berarti penghasilan dari saham, saham kenikmatan (jouissance – hak atas nilai sisa, jika ada, dalam hal terjadi reorganisasi atau likuidasi), saham pertambangan, saham pendiri atau hak-hak lain, bukan klaim hutang, berpartisipasi dalam laba, serta pendapatan dari hak-hak perusahaan lainnya yang dikenai perlakuan perpajakan yang sama dengan pendapatan dari saham oleh hukum [Negara S]. Dalam beberapa DTA sungguhan, definisi “dividen” punya arti yang lebih luas, seperti hak- hak perusahaan lain yang dikenakan perlakuan perpajakan yang sama seperti pendapatan dari saham oleh hukum negara sumber, contoh distribusi kepada penerima trust; pendapatan dari jenis partisipasi ekuitas lainnya dalam suatu perusahaan, contoh partner pasif dalam firma; penghasilan dari saham dan pendapatan lain yang berasimilasi dengan pendapatan dari saham, yang merupakan pengertian yang lebih luas dari definisi tradisional dividen, termasuk saham yang mempunyai karakter khusus. Kenapa pajak memberikan keuntungan lebih bagi investor yang berpartisipasi lebih besar dalam perusahaan?
  • 5. Dividen Partisipan dan Portofolio Untuk tujuan penentuan hak perpajakan negara sumber, Pasal 10(2) OECD dan UN Model membedakan antara dividen partisipan dan portofolio. Pasal 10(2a) berkaitan dengan dividen partisipasi sementara Pasal 10(2b) membahas dividen portofolio. Perpajakan dividen portofolio didasarkan pada sistem perpajakan klasik sedangkan perpajakan dividen partisipasi mencoba untuk mengatasi economic double taxation dividen yang melekat dalam sistem pajak penghasilan klasik. "Partisipasi" mengacu pada "hak istimewa afiliasi”, yaitu keringanan pajak yang diberikan kepada perusahaan sehubungan dengan distribusi yang timbul dari kepemilikan saham di perusahaan lain yang melebihi persentase minimum tertentu (semacam holding). Ketika satu perusahaan memiliki semua saham perusahaan lain, perusahaan induk akan berpartisipasi aktif dalam anak perusahaannya dan perusahaan induk berhak untuk mengontrol fungsi pengambilan keputusan dari anak perusahaan. Dengan demikian, kedua perusahaan dapat dianggap sebagai satu unit ekonomi. Ada sedikit pembenaran substansi untuk mengenakan pajak pada distribusi antara kedua perusahaan dalam situasi ini. Batas minimum saham dalam perusahaan anak yang seharusnya, sebelum kepemilikan saham berubah dari partisipatif menjadi investasi portofolio semata. Menurut OECD Model DTA Pasal 10 (2a) menetapkan ambang itu dengan kepemilikan 25% atas lebih di perusahaan lain secaraotomatis diperlakukan sebagai memiliki partisipasi dalam perusahaan investee, dan memenuhi syarat untuk tarif pajak 5% di negara sumber sesuai pasal 10 (2a) OECD Model DTA. Dalam kasus anak perusahaan yang sepenuhnya dimiliki, tidak boleh ada pajak pada distribusi sama sekali, jika dasar untuk konsesi adalah kesatuan ekonomi. Eropa menetapkan "pengecualian partisipasi", yang mengarahkan pembayaran dividen dari sebuah perusahaan yang bertempat tinggal di satu Negara Anggota kepada pemegang saham perusahaan di Negara Anggota lainnya yang memiliki setidaknya 25% saham di perusahaan investee harus tidak dikenakan pajak sama sekali oleh oleh negara sumber. Menurut UN Model DTA, ambang batas kepemilikan saham minimum yang ditentukan pasal 10 (2a) hanya 10%, karena : (a) semakin rendah ambang batas kepemilikan saham minimum semakin jauh kita dari kesatuan ekonomi antara investor dan perusahaan investee, dan semakin dekat kita dengan investor yang hanya menjadi investor portofolio di perusahaan investee; dan (b) karena tarif pajak yang lebih rendah berlaku di negara sumber untuk dividen partisipan yang berasal dari negara itu, negara sumber merelakan penerimaan pajak lebih dari yang seharusnya, jika ambang batas kepemilikan saham minimum ditetapkan pada tingkat 25% dalam OECDModel DTA. (karena hak pemajakan dividen ini lebih diberikan kepada negara residen) UN Model DTA ini bertujuan untuk mendorong investasi yang lebih besar oleh investor asing di perusahaan yang berlokasi di negara sumber dan untuk tujuan hukum pajak domestik norma yang diterima secara internasional untuk batas kepemilikan saham untuk investasi portofolio pada tingkat 10%, dan pasal (2a) UN Model DTA konsisten dengan ambang batas itu. Ambang batas pada DTA sungguhan biasanya sangat bervariasi.
  • 6. Dalam mengatasi economic double taxation, salah satu cara adalah memberikan relief pada level shareholder melalui sistem imputasi dividen, dimana pemegang saham (residen negara R) tetap memperoleh kredit pajak untuk pajak yang sudah dibayarkan oleh perusahaan atas keuntungan dividen yang dibayarkan. Jika tarif pajak marjinal pemegang saham lebih rendah dari tarif pajak perusahaan, pemegang saham bisa mendapatkan pengembalian pajak berlebih tersebut (atau membawa kredit imputasi berlebih ke depan (atau kembali) dan diimbangi dengan pendapatan tahun depan (atau lebih awal) tahun). Di bawah beberapa DTA, negara-negara yang menerapkan sistem imputasi dividen penuh memperluas kredit pajak kepada pemegang saham yang merupakan residen negara lainnya atas dasar timbal balik. Hal ini dirancang untuk memastikan netralitas karena perlakuan pajak yang sama diberikan kepada pemegang saham residen dan bukan residen. Dividen diterima oleh suatu bentuk usaha tetap Pasal 10(4) OECD Model DTA menyediakan perlakuan khusus untuk dividen yang diterima oleh suatu bentuk usaha tetap dari non-residen di negara sumber. Secara khusus, menyebutkan bahwa pasal 7 (business profit) akan berlaku. UN Model DTA memperluas ketentuan ini melebihi permament establishment tetapi juga fixed base di Negara S untuk penyedia layanan pribadi independen, pasal 14 (layanan pribadi independent) di UN Model DTA akan berlaku. Termasuk pasal 10(4), ketika cabang perusahaan dari Negara R, yang menjalankan bisnis di Negara S, membeli saham pesaing di Negara S, dari akumulasi profit cabang. Konsekuensinya adalah dividen diperlakukan sebagai laba usaha atau pendapatan dari layanan pribadi independan (UN Model DTA), berlaku di mana kepemilikan saham yang menghasilkannya "secara efektif terhubung dengan" suatu bentuk usaha tetap atau fixed base non-residen yang diiliki di negara sumber, dan tarif pajak negara sumber dalam Pasal 10(2) menjadi tidak dapat diterapkan. Sebagai gantinya, dividen dikenakan pajak sebagai business profit dari PE atau pendapatan dari penyedia layanan pribadi independen atas dasar pendapatan bersih, yaitu setelah penyisihan untuk pengeluaran yang dapat dikurangkan yang dikeluarkan untuk menghasilkan pendapatan sesuai pasal 7 atau pasal 14 UN Model DTA, mana yang berlaku. Dividen yang diperoleh dari suatu bentuk usaha tetap dapat muncul dalam tiga skenario: (1) dimana bentuk usaha tetap berada di negara di mana perusahaan yang menjadi bentuk usaha tetap tersebut adalah residen, yaitu di Negara R; atau
  • 7. Di sini, tidak ada masalah yang diperdebatkan: DTA antara Negara R dan Negara S diterapkan dengan cara biasa sehingga dividen yang dibayarkan oleh Perusahaan S ditangani berdasarkan pasal 10(1) dan (2). Beneficial owner dividen adalah Perusahaan R. Bentuk usaha tetap menerimadividen dalam kapasitasnya sebagai bagian konstituen dari Perusahaan R (dan juga merupakan bagian konstituen yang terletak di Negara R). Pasal 10(4) berlaku hanya ketika Perusahaan R menjalankan bisnis melalui suatu bentuk usaha tetap yang terletak di Negara S. (2) dimana permanent establishment berada di negara di mana perusahaan yang membayar dividen adalah residen, yaitu di Negara S; atau Sekarang bentuk usaha tetapnya terletak di Negara S, negara yang menjadi sumber deviden. Dengan dasar bahwa fungsi PE adalah untuk memegang saham di Perusahaan S, dividen yang dibayarkan oleh Perusahaan S ke Perusahaan R berada di bawah Pasal 10(4). Perhatikan bahwa tidak masalah apakah dividen dibayarkan kepada PE di Negara S atau ke bagian lain Perusahaan R (baik di Negara S atau di tempat lain). Pengujiannya sederhana apakah dividen yang dibayarkan timbul sehubungan dengan kepemilikan saham yang "secara efektif terhubung" dengan PE di Negara S. Setelah ditetapkan, Pasal 7 berlaku sebagai pengganti Pasal 10(1) dan 10(2). (3) dimana permanent establishment berada di negara ketiga, bukan Negara R atau S. Skenario ketiga adalah "segitiga" kasus, bahwa kekhawatiran pembayaran dividen Negara S, dapat melibatkan (i) Perusahaan S membayar dividen ke permanent establishment dari Perusahaan R, yang terletak di Negara T, atau (ii) sebuah perusahaan di Negara T membayar dividen kepada permament establishment Perusahaan R, yang terletak di Negara S.
  • 8. Di sini DTA antara Negara R dan Negara S diterapkan secara normal. Baik Perusahaan R maupun Perusahaan S adalah residen Negara T; karenanya, setiap DTA antara Negara R dan Negara T, atau antara Negara S dan Negara T, tidak berlaku untuk pembayaran dividen. Dividen yang diterima masih berasal dari Perusahaan R, residen Negara R, meskipun pembayaran dividen dilakukan kepada BUT Perusahaan R yang berlokasi di Negara T dan timbul dari kepemilikan saham BUT di Perusahaan S. Ingat bahwa BUT secara hukum masih merupakan bagian dari Perusahaan R. Selanjutnya, Pasal 10(4) DTA antara Negara R dan Negara S tidak dapat diterapkan karena bentuk usaha tetap tidak terletak di Negara S. Sekarang DTA antara Negara R dan Negara S tidak dapat diterapkan karena dividen dibayarkan oleh perusahaan yang bertempat tinggal di negara ketiga, Negara T, kepada residen Negara R, meskipun demikian dividen tersebut secaraefektif terhubung dengan permanent establishment yang terletak di Country S. Pasal 10(1) dan 10(2) dari DTA antara Negara R dan Negara S tidak bisa berlaku karena dividen tidak dibayarkan oleh perusahaan yang merupakan residen dari salah satu negara yang berkontrak. Ketidakberlakuan Pasal 10(1) dan 10(2) juga menjadikan Pasal 10(4) tidak bisa diterapkan. DTA yang relevan dalam keadaan ini adalah DTA antara Negara R dan Negara T. Larangan pajak ekstra teritorial atas dividen Dalam pasal 10(5) OECD dan UN Model DTA, disebutkan : Dimana sebuah perusahaan yang merupakan residen (Negara R) memperoleh keuntungan atau pendapatan dari (Negara S), (Negara S) tidak boleh mengenakan pajak atas dividen yang dibayarkan oleh perusahaan, kecuali sejauh dividen tersebut
  • 9. dibayarkan kepada penduduk (Negara S) atau sejauh kepemilikan sehubungan dengan pembayaran dividen secara efektif terkait dengan bentuk usaha tetap [atau tempat tetap] yang berlokasi di [Negara S], tidak juga membebankan pajak atas laba yang belum dibagikan kepada laba perusahaan yang belum dibagikan, bahkan jika dividen yang dibayarkan atau keuntungan yang tidak dibagikan seluruhnya atau sebagian terdiri dari keuntungan atau pendapatan yang timbul di [Negara S]. Aturan ini pertama-tama mencegah Negara S dari pajak dividen yang didistribusikan oleh Perusahaan R (menjadi residen Negara R shg bukan residen Negara S) hanya karena keuntungan yang didistribusikan oleh Perusahaan R melalui dividen mungkin berasal dari kegiatan atau investasi yang dilakukan oleh Perusahaan R di Negara S. Biasanya, Negara S akan siap memajaki laba ketika berasal dari Negara S oleh Perusahaan R. Ketentuan ini juga dirancang untuk memastikan bahwa Negara S tidak dapat mengenakan pajak kepada Perusahaan R atas laba yang tidak terdistribusi, bahkan jika mereka diperoleh di Negara S. Ketentuan ini sedikit bertentangan dengan CFC. Branch Profit Tax US Model DTAtidak mengikuti OECDModel DTA dalam hal ini. US Model DTAsecara khusus memungkinkan pengenaan Branch Profit Tax atas laba PE milik asing, dipersamakan dengan pemungutan pajak dividen yang dibayarkan oleh anak perusahaan kepada perusahaan induknya. Siapa beneficial owner dari dividen? Beneficial Owner Dalam pasal 10(2) OECD dan UN Model DTA, prasyarat untuk penerapan tarif pajak yang berlaku di Negara S untuk dividen yang dibayarkan oleh perusahaan S kepada pemegang saham residen Negara R adalah bahwa pemegang saham harus menjadi "beneficial owner dari dividen". Begitu pula pasal 10(4), yang mengesampingkan pasal 10(1) dan (2) jika pemegang saham non-residen menjalankan bisnis di Negara S melalui suatu bentuk usaha tetap di Negara S dan kepemilikan saham secara efektif terkait dengan bentuk usaha tetap itu, tergantung pada non-residen yang menjadi beneficial owner dari dividen. Persyaratan ini juga berlaku untuk bunga yang dibayarkan oleh peminjam yang merupakan residen Negara S kepada pemberi pinjaman yang merupakan residen Negara R, dan untuk royalty yang dibayarkan oleh pengguna aset tidak berwujud sebagai residen Negara S kepada pemilik aset tak berwujud yang merupakan residen Negara R. Sayangnya, makna "Beneficial Ownership" tidak begitu jelas. persyaratan beneficial owner tampaknya merupakan tindakan anti-voidance. Untuk mengilustrasikan, anggaplah bahwa Perusahaan C (residen Negara R) memiliki subsidiary company, yaitu Perusahaan D, yang berdomisili di Negara S. Tarif pajak pemotongan menurut undang-undang pajak domestik Negara S, berlaku untuk dividen yang dibayarkan oleh Perusahaan D kepada Perusahaan C, adalah 20% dari jumlah kotor dividen. Tidak ada DTA antara Negara R dan Negara S. Situasi yang berlaku dapat diilustrasikan sebagai berikut: Perusahaan C mendapatkan pembebanan pajak Negara S. kemudian ia melalukan “treaty shopping" dan menemukan bahwa Negara S dan Negara T memiliki DTA, dimana tidak ada
  • 10. negara yang dapat mengenakan pajak atas dividen yang dibayarkan kepada residen negara lain. Selain itu, Negara T tidak mengenakan pajak apa pun atas dividen yang dibayarkan kepada pemegang saham bukan residen menurut undang-undang perpajakan domestiknya. Tidak ada DTA antara County R dan Negara T. Untuk mengambil keuntungan dari jaringan DTA ini, Perusahaan C menggabungkan perusahaan perantara di Negara T (Intermediary T) dan kemudian mengatur untuk Intermediary T untuk mengakuisisi saham Perusahaan D dari Perusahaan C sebagai pertimbangan untuk Intermediary T yang menerbitkan modal sahamnya (dengan nilai yang samadengan saham di Perusahaan D) ke Perusahaan C.Sekarang, alih-alih dividen mengalir langsung dari Perusahaan D ke Perusahaan C, dan menimbulkan pajak 20% dari Negara S, mereka akan mengalir dari Perusahaan D ke Intermediary T tanpa pengenaan pajak, yang dilarang di DTA antara Negara S dan Negara T. Dividen kemudian akan dialihkan dari Intermediary T ke Perusahaan C, lagi tanpa pengenaan pajak karena Negara T tidak mengenakan pajak atas dividen yang dibayarkan oleh perusahaan yang berada di Negara T kepada pemegang saham non-residen. Oleh karena itu, dengan mengadopsi struktur perusahaan baru ini, Perusahaan C menghindari pajak Negara S sama sekali. Pengaturan baru dapat diilustrasikan sebagai berikut: Meskipun uji Benefit Ownership diperkenalkan dalam OECD Model DTA dengan tujuan sebagai anti- penyalahgunaan treaty, investigasi sampai pada alasan mengapa transaksi tertentu dilakukan sedemikian rupa, bukan bagian dari penerapan tes Beneficial Ownership di bawah Pasal 10(11) dan 10(12) OECD dan UN Model DTA. Oleh karena itu, tidak ada hubungan langsung antara hasil uji beneficial owner dan tujuan anti-avoidance-nya. Gagasan tentang Beneficial Ownership berakar pada yurisdiksi common law, yang membedakan antara hak milik pada suatu properti yang sama terhadap orang yang berbeda, yaitu pemilik sah dan pemilik manfaat dari satu aset yang pada akhirnya memiliki hak atas
  • 11. hak atas kepemilikan aset. Pemilik manfaat telah dianggap sebagai orang dengan "atribut kepemilikan" terbesar, yang meliputi "hak untuk memiliki, menggunakan [dan] mengelola ... pendapatan [dan] modal [aset] (termasuk kekuatan untuk melepaskan dan bebas untuk mengkonsumsi, membuang atau menghancurkan), ditambah risiko depresiasi dan harapan akan apresiasi." Hukum perdata umumnya tidak membuat perbedaan dalam kepemilikan. Tentu saja, dalam banyak kasus, keduanya adalah satu orang yang sama. Namun, dalam situasi wali amanat, agen, biasanya adalah pemilik sah (dan bukan penerima manfaat) dari aset dalam kapasitasnya sebagai "perwakilan" orang lain, pemilik yang menguntungkan. Dengan kata lain, pemilik sah di sini memiliki kewajiban fidusia kepada pemilik manfaat untuk bertindak, sehubungan dengan properti, untuk kepentingan pemilik manfaat, dan bukan untuk keuntungan atau keuntungannya sendiri. Dalam contoh di atas, pertanyaan Beneficial Ownership adalah apakah Intermediary T adalah pemilik manfaat dari dividen yang diterimanya dari Perusahaan D. Atau apakah kita "look- through" Intermediary T ke Perusahaan C sebagai pemilik manfaat "nyata" karena Perusahaan C mengontrol Intermediary T? Apakah elemen kontrol memaksa Intermendiary T untuk membayar dividen kepada Perusahaan C, sehingga menghilangkan Intermediary T dari atribut kepemilikan yang terkait dengan dividen? Dapat diperdebatkan bahwa, karena Intermediary T tidak menerima dividen atas nama Perusahaan C dalam suatu agensi atau kapasitas penyajian kembali lainnya, Perusahaan C bukanlah pemilik manfaat dari dividen tersebut. Pandangan ini hanya memperlakukan pemilik manfaat sebagai kebalikan dari agen atau perwakilan serupa. Kesulitan praktisnya adalah menentukan dimana kendali perusahaan induk atas anak perusahaannya mentransformasikan titik di mana hubungan agen secara substansi muncul, mengingat bahwa dalam istilah hukum yang ketat, anak perusahaan biasanya bukan agen, yang menerima jumlah atas nama dari perusahaan induknya.