1. Dokumen tersebut membahas mengenai Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), pidana perpajakan karena kealpaan dan kesengajaan, pengertian penghasilan dan pajak penghasilan, serta pemotongan dan pemungutan pajak penghasilan.
1. STUDI KASUS UMUM PERPAJAKAN
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT)
Pada dasarnya Direktorat Jenderal Pajak mempunyai wewenang untuk menerbitkan SKPKBT.
Namun, penerbitan itu hanya dilakukan dalam keadaan tertentu sesuai dengan syarat-syarat yang
ditetapkan dalam undang-undang.
Fungsinya merupakan koreksi terhadap penetapan pajak yang sudah dilakukan
Syarat-syarat penerbitan SKPKBT adalah:
1. terdapat data baru yang belum terungkap sebelumnya, baik diketahui oleh administrasi
perpajakan atau diketahui oleh Wajib Pajak;
2. sudah pernah diterbitkan SKPKB, SKP Nihil atau SKP Lebih Bayar;
3. dalam hal tidak terjadi perbuatan pidana, SKPKBT hanya dapat diterbitkan dalam jangka
waktu tertentu.
Pidana Perpajakan karena Kealpaan
Pidana di bidang perpajakan adalah perbuatan melawan hukum yang diancam dengan hukuman
pidana, dan ancaman hukumannya diatur di dalam undang-undang perpajakan. Perbuatan
melawan hukum ini ada dua jenis, yaitu yang dapat menimbulkan kerugian bagi pendapatan
negara dan yang tidak menimbulkan kerugian bagi pendapatan negara.
Adapun pengelompokan perbuatan melawan hukum yang dapat dikenakan hukuman pidana
semula dibedakan dalam kategori pelanggaran dan kejahatan, dalam revisi undang-undang telah
diubah menjadi perbuatan melawan hukum yang dilakukan karena kealpaan dan yang dilakukan
karena kesengajaan. Adapun perbuatan melawan hukum yang dikelompokkan pada masing-
masing perbuatan melawan hukum itu diatur dalam pasal-pasal undang-undang itu sendiri.
Adapun ancaman hukuman perbuatan pidana di bidang perpajakan yang dilakukan karena
kekhilafan ancaman hukumannya lebih rendah daripada ancaman hukuman perbuatan pidana
2. yang dilakukan dengan kesengajaan. Namun, undang-undang tidak merumuskan unsur-unsur
yang membedakan kedua perbuatan melawan hukum itu.
Pidana Perpajakan karena Kesengajaan
Tindak pidana di bidang perpajakan yang dilakukan karena kesengajaan meliputi perbuatan
seperti tidak menyampaikan SPT, tidak mendaftarkan diri, menyampaikan SPT dilampiri dengan
dokumen yang tidak benar, menolak untuk dilakukan pemeriksaan, tidak menyetorkan Pajak
yang telah dipotong atau dipungut, tidak memperlihatkan dokumen pencatatan dan pembukuan
serta tidak menyelenggarakan pembukuan. Perbuatan melawan hukum itu harus dapat
menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.
Dalam hal ini telah diperkenalkan adanya perbuatan percobaan melakukan tindak pidana di
bidang perpajakan. Dalam hal percobaan perbuatan pidana maka kerugian negara tidak timbul.
Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan
Tindakan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan hanya dilakukan dalam hal terdapat
indikasi adanya perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Wajib Pajak atau orang-orang
yang ada kaitannya dengan Wajib Pajak yang dapat merugikan keuangan negara. Indikasi
perbuatan melawan hukum itu dapat diketahui melalui pengawasan terhadap kepatuhan Wajib
Pajak maupun setelah dilakukan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak.
Penyidikan pajak adalah tindakan membuat terang terjadinya perbuatan melawan hukum,
mencari bahan bukti, menemukan tersangka, dan para saksi. Proses penyidikan itu sendiri
dilakukan oleh para penyidik yang diangkat oleh Menteri Kehakiman dan HAM dan tunduk pada
KUHAP.
STUDI KASUS UMUM PERPAJAKAN
Pengertian Penghasilan
Pajak Penghasilan tergolong sebagai pajak subjektif, sehingga perlu dipahami benar siapakah
yang termasuk subjek pajak baik subjek pajak dalam negeri maupun subjek pajak luar negeri.
3. Subjek pajak inilah yang akan dibebani dengan kewajiban untuk membayar PPh atas penghasilan
yang mereka peroleh. Sebagai kelaziman di dunia internasional dalam undang-undang juga
terdapat pengecualian subjek pajak seperti para wakil negara lain yang bertugas di Indonesia,
yang diuraikan pada Pasal 3 .
Pada dasarnya konsep penghasilan yang dianut dalam undang-undang Pajak Penghasilan adalah
pengertian penghasilan dalam arti luas (World wide income) yang tujuannya adalah agar
pemerintah memperoleh banyak sumber pendanaan bagi operasional kegiatan pembangunan.
Pengertian penghasilan tidaklah terbatas pada hasil penjualan atau gaji, namun yang penting
adalah esensi dari apa yang diperoleh atau diterima oleh subjek pajak; sehingga undang-undang
merumuskan dengan kata penambahan kemampuan ekonomis dengan nama dan dalam bentuk
apapun. Walaupun begitu untuk memperoleh keadilan dan memberikan perangsang bagi
kegiatan investasi pemerintah telah mengecualikan penghasilan-penghasilan tertentu sebagai
objek pajak.
Pengertian dan Tatacara Pembayaran Pajak Penghasilan
Undang-undang Pajak Penghasilan menganut paham World Wide Income untuk mengenakan
penghasilan yang menjadi Objek Pajak bagi subjek pajak dalam negeri. Adapun bagi Wajib
Pajak BUT objek pajak yang dikenakan terbatas hanya pada penghasilan dari kegiatan di
Indonesia. Undang-undang telah menentukan berbagai penghasilan yang tidak dikenakan pajak
penghasilan.
Dalam menetapkan besarnya Penghasilan Kena Pajak telah ditetapkan cara menghitungnya baik
bagi Wajib Pajak dalam negeri yang menyelenggarakan pembukuan maupun yang tidak
melaksanakan pembukuan bagi Wajib Pajak BUT, Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri.
Undang-undang juga telah menetapkan pengeluaran yang dapat menjadi pengurang penghasilan
bruto. Berbagai pengurang yang tidak boleh dikurangkan, dan pengurang berupa Penghasilan
Tidak Kena Pajak.
Pembayaran Pajak Penghasilan yang terutang dapat diangsur selama tahun berjalan dengan
membayar sendiri besarnya angsuran bulanan maupun dengan cara dipungut oleh pihak lain.
Pembayaran tersebut pada akhir tahun pajak dapat dikreditkan terhadap utang pajak tahun yang
4. sama.
Pemotongan dan Pemungutan Pajak Penghasilan
Secara konseptual saat terutangnya Pajak Penghasilan adalah pada akhir tahun pajak, sehingga
setelah berakhirnya tahun pajak, setiap Wajib Pajak harus menghitung dan menetapkan besarnya
pajak terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan dan membayarnya. Kalau hal seperti ini
dilakukan, maka bisa dibayangkan betapa beratnya kewajiban membayar tersebut, dan bagi
negara berarti penerimaan pajak akan bertumpuk pada akhir tahun pajak. Untuk meringankan
beban pembayaranpajak yang bertumpuk pada akhir tahun, dan untuk membantu pemerintah
memperoleh pendapatan berupa pajak selagi Wajib Pajak memiliki dana (liquid) telah diadopsi
sistem pemotongan atau pemungutan pajak pada tahun berjalan melalui pihak ketiga (Witholding
tax System).
Sistem ini memberikan wewenang kepada subjek pajak yang memberikan penghasilan pada
subjek pajak lain untuk memotong pajak atas penghasilan yang diberikan atau dibayarkan kepada
subjek pajak lain. Dan selanjutnya pihak pemotong pajak wajib menyetorkan dan melaporkan ke
Direktur Jenderal Pajak.
Bagi pihak yang dipotong, pembayaran pajak yang dipotong pihak lain dapat dijadikan kredit
pajak (diperhitungkan dengan utang pajak untuk tahun bersangkutan) seperti dimaksud pada
Pasal 20 pada waktu menyusun Surat Pemberitahuan Tahunan. Oleh karenanya sistem
pemotongan pajak melalui pihak lain ini disebut sebagai cara pelunasan atau angsuran pajak
dalam tahun berjalan.
Namun demikian harus diperhatikan beberapa ketentuan yang merupakan pengecualian, karena
terdapat pemotongan tertentu melalui Pasal 21 atau Pasal 23 yang pemotongan PPh nya bersifat
final.
Pemotongan Pajak Penghasilan diberlakukan kepada para subjek pajak (penerima penghasilan)
baik berstatus terhadap subjek pajak dalam negeri, maupun subjek pajak luar negeri. Adapun
sifat pemotongan pajak penghasilan terhadap Subjek pajak luar negeri bersifat final, dan
besarnya tarif harus memperhatikan ada atau tidaknya tax treaty (Perjanjian Penghindaran Pajak
5. Berganda) antara negara Indonesia dengan negara domisili Subjek Pajak luar negeri.
Penghasilan yang dipotong Pajak Penghasilan yang Bersifat Final ( pasal 4 ayat 2 UU PPh)
Secara konseptual, semua aliran masuk berupa dana yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak
merupakan objek pajak yang terutang Pajak Penghasilan (kecuali penghasilan tertentu yang oleh
undang-undang dinyatakan bukan objek pajak). Pasal 4 ayat (2) telah menetapkan adanya jenis-
jenis objek pajak yang pengenaannya menyimpang, dan akan diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pertama kali ketentuan ini dimaksudkan untuk mengenakan pajak atas penghasilan yang
diperoleh Wajib Pajak dari bunga deposito dan atau tabungan lainnya, namun kemudian
diperluas untuk transaksi-transaksi lainnya, seperti transaksi penjualan surat berharga di bursa
saham, transaksi pengalihan harta tetap, transaksi sewa menyewa harta tetap, pengenaan pajak
atas hadiah atau undian dan sebagainya.
Pemungutan pajak yang diatur berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2) ini tergolong pemungutan
oleh pihak lain (withholding tax), namun tidak termasuk kategori pelunasan pajak dalam tahun
berjalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 UU PPh, karena pemungutan tersebut bersifat
final (walaupun ada pengecualian untuk transaksi tertentu).
Makna pemungutan pajak final adalah : 1) pelunasan tersebut tidak dapat dijadikan kredit pajak
pada akhir tahun pajak; 2)waktu menghitung Penghasilan Kena Pajak pada waktu menyusun SPT
Tahunan penghasilan yang diperoleh dari transaksi-transaksi yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2)
tidak digabungkan dengan penghasilan objek pajak lainnya.
Ditinjau dari kacamata penerimaan negara, pemungutan pajak final tersebut sangat membantu,
karena pajak langsung dibayar pada saat Wajib Pajak memiliki dana (liquid), dan sederhana serta
mudah melaksanakannya.
Namun demikian harus diperhatikan adanya pengecualian seperti dalam kasus transaksi
pengalihan harta berupa tanah dan atau bangunan oleh Wajib Pajak yang bidang kegiatannya
mengalihkan harta berupa tanah dan atau bangunan, karena tidak bersifat final.
6. Kekurangan Pembayaran Pajak Penghasilan
Apabila Wajib Pajak melaksanakan kewajiban dengan tertib pelunasan pajak dalam tahun
berjalan, maka pelunasan pajak yang sebenarnya terutang tidak akan memberatkan Wajib Pajak.
Bila dirasakan jumlah kredit pajak akan lebih besar dari pada jumlah pajak terutang yang
sebenarnya, Wajib Pajak dapat minta keringanan untuk dibebaskan dari pengenaan pajak seperti
PPh Pasal 22 (kalau mengimpor barang). Pembebasan diberikan dengan menerbitkan Surat
Keterangan Bebas (SKB). Hanya saja ketentuan ini tidak berlaku untuk pemungutan Pajak secara
final.