Ada kebutuhan untuk legislasi veteriner yang efektif untuk mengatur domain veteriner dan memungkinkan otoritas kompeten menjalankan fungsi untuk kesehatan hewan dan keamanan pangan."
1. PERATURAN INTERNASIONAL DI
BIDANG LEGISLASI VETERINER
YANG PERLU DIKETAHUI DAN
DIIMPLEMENTASIKAN DI INDONESIA
Drh Tri Satya Putri Naipospos MPhil PhD
Epidemiolog Veteriner
WORKSHOP KURIKULUM LEGISLASI DN ETIKA VETERINER
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN UNIVERSITAS GAJAH MADA
25 NOVEMBER 2021
2. Pedoman Legislasi Veteriner menurut
peraturan internasional
▪ Legislasi veteriner mengacu pada berbagai instrumen hukum di mana
suatu negara mengatur, mengelola dan mengendalikan subsektor
kesehatan hewan.
▪ Dengan komoditas peternakan memainkan peran yang semakin penting
dalam agenda perdagangan negara-negara berkembang, maka negara-
negara anggota WTO harus menyelaraskan kerangka legislasi veteriner
negaranya dengan Perjanjian Sanitary dan Phytosanitary (SPS).
▪ Untuk mengikuti standar yang disepakati secara internasional dan
memenuhi kewajiban SPS, suatu negara dapat menyetujui dan
menerapkan hukum nasionalnya sejalan dengan standar internasional
yang dikeluarkan oleh Office International des Epizooties (OIE).
2
3. Legislasi veteriner menurut OIE
▪ Guidelines on veterinary legislation
▫ Part 1 – General recommendations
▫ Part 2 – Technical recommendations
▪ Chapter 3.4. – Veterinary Legislation
3
4. Legislasi veteriner
▪ Legislasi adalah elemen kunci dalam mencapai tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance).
▪ Legislasi veteriner adalah kumpulan instrumen hukum yang
spesifik (legislasi primer dan sekunder) yang diperlukan untuk
tata kelola domain veteriner (veterinary domain).
▪ Penyusunan legislasi veteriner nasional membutuhkan
apresiasi yang lebih luas terhadap keseluruhan domain
veteriner dan legislasi pelengkap dan terkait, seperti untuk
keamanan pangan, perdagangan atau konservasi satwa liar.
4
5. The Veterinary Domain
▪ Domain veteriner (Veterinary Domain) adalah:
“Semua kegiatan yang secara langsung atau tidak
langsung terkait dengan hewan, produknya dan produk
sampingannya, yang membantu melindungi, memelihara
dan meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan
manusia, termasuk dengan cara melindungi kesehatan
hewan, kesejahteraan hewan, dan keamanan pangan”
OIE TAHC Chapter 3.4. Article 3.4.2.
5
6. Hukum dan penertiban
▪ Untuk mempertahankan hukum dan penertiban dalam “Domain
Veteriner”, diperlukan peraturan perundang-undangan yang
memungkinkan penangguhan dan/atau pengendalian terhadap
hak, hak istimewa (privileges) dan kewajiban pemilik ternak.
6
Sumber: Presentation Dr. Bruce Mukanda (2020). OIE VLSP Expert.
7. Legislasi Veteriner adalah elemen
penting dari kapasitas suatu
negara dan bahwa legislasi
tersebut merupakan prasyarat
esensial untuk tata kelola yang
baik dari Sistim Kesehatan Hewan
Nasional (SISKESWANNAS).
OIE (2014)
“
“
8. Legislasi veteriner yang modern
▪ Legislasi veteriner menyediakan kekuatan hukum dan otoritas yang
diperlukan SISKESWANNAS (Veterinary Services) untuk secara efisien
melaksanakan fungsi utamanya untuk memastikan keamanan
masyarakat dan mempromosikan barang publik (public good).
▪ SISKESWANNAS harus didukung oleh peraturan perundang-undangan
yang efektif dan modern karena meningkatnya permintaan global
pangan asal hewan dan meningkatnya perdagangan dunia.
▪ Pergeseran pola penyakit yang terkait dengan perubahan iklim (climate
change) dan muncul dan munculnya kembali penyakit (emergence and
re-emergence of diseases) yang dengan cepat menyebar melintasi
perbatasan internasional.
8
Sumber: Presentation Dr. Bruce Mukanda (2020). African Union, Interafrican Bureau for Animal Resources
9. Tujuan Legislasi Veteriner
▪ Untuk memberikan dasar hukum (legal basis) untuk regulasi yang efektif
dari domain veteriner dalam upaya mencapai:
▫ Ketahanan pangan melalui perlindungan sumber daya primer
(kesehatan ternak);
▫ Keamanan pangan melalui keterlibatan dari peternakan ke meja
makan (farm to fork);
▫ Kesehatan dan keselamatan manusa melalui pengendalian penyakit
hewan berbahaya dan zoonosis;
▫ Kesejahteraan manusia melalui penjaminan kesejahteraan hewan
dan kesehatan hewan;
▫ Keamanan perdagangan internasional hewan dan produk hewan
melalui kepatuhan terhadap SPS.
9
Sumber: Presentation Dr. Bruce Mukanda (2020). OIE VLSP Expert.
10. Komponen Domain Veteriner
▪ Otoritas Kompeten (Competent Authorities) (Artikle 3.4.5.)
▪ Dokter hewan dan paraprofesional veteriner (Artikel 3.4.6.)
▪ Laboratorium (Artikel 3.4.7.)
▪ Ketentuan kesehatan terkait produksi hewan (Artikel 3.4.8.)
▪ Penyakit hewan (Artikel 3.4.9.)
▪ Kesejahteraan hewan (Artikel 3.4.10.)
▪ Produk veteriner (Artikel 3.4.11.)
▪ Rantai produksi pangan (Artikel 3.4.12.)
▪ Prosedur impor & ekspor dan sertifikasi veteriner (Artikel 3.4.13.)
10
11. Fungsi Utama Siskeswannas
▪ Surveilans epidemiologis
▪ Deteksi dini dan pelaporan penyakit hewan, termasuk zoonosis
▪ Respon cepat, pencegahan dan pengendalian penyakit hewan dan
darurat keamanan pangan
▪ Keamanan pangan asal hewan
▪ Kesejahteraan hewan
▪ Sertifikasi status kesehatan hewan dan produk hewan untuk ekspor
▪ Praktik dokter hewan dan paraprofesional veteriner untuk melindungi
kepentingan publik dengan memastikan bahwa tenaga kesehatan
hewan memenuhi syarat dan kompeten dalam melaksanakan perannya
11
12. Legislasi sebagai dasar SISKESWANNAS
▪ Sistim Kesehatan Hewan Nasional (Siskeswannas)
memerlukan legislasi yang memadai, sehingga sistim dapat
secara efektif melaksanakan fungsi yang dibutuhkan dan
harus minimal memberikan dasar bagi otoritas kompeten
untuk memenuhi kewajibannya sebagaimana ditetapkan
dalam OIE Terrestrial Animal Health Code (OIE, 2015).
▪ Legislasi veteriner dan penegakannya memberikan
kekuasaan dan otoritas yang dibutuhkan bagi Siskeswannas
untuk melaksanakan fungsi utamanya.
12
13. Standar OIE tentang Legislasi veteriner
Urusan umum
➢ Pendahuluan dan tujuan
➢ Definisi
➢ Prinsip-prinsip umum
➢ Penyusunan legislasi veteriner
Urusan khusus
➢ Otoritas kompeten
➢ Dokter hewan dan
paraprofesional veteriner
➢ Laboratorium dalam domain
veteriner
➢ Ketentuan kesehatan yang
berkaitan dengan produksi
hewan
➢ Penyakit hewan
➢ Kesejahteraan hewan
➢ Obat dan bahan biologik
veteriner
➢ Rantai produksi makanan
untuk konsumsi manusia
➢ Prosedur impor dan ekspor
serta sertifikasi veteriner
13
14. Prinsip umum legislasi veteriner
1. Penghormatan terhadap hirarki peraturan perundang-undangan
▫ Konsisten antara legislasi primer dan sekunder
2. Dasar hukum
▫ Otoritas kompeten harus memiliki legislasi primer dan
sekunder yang diperlukan untuk menjalankan kegiatannya
pada semua tingkatan administrasi dan geografis.
3. Transparansi
▫ Legislasi harus diinventarisasi dan mudah diakses.
▫ Dikomunikasikan oleh Otoritas Kompeten kepada seluruh
pemangku kepentingan yang relevan.
14
15. Prinsip umum legislasi veteriner (lanj)
4. Konsultasi
▫ Otoritas Kompeten dan ahli hukum diperlukan untuk
menyusun draf (memastikan bahwa legislasi layak secara
ilmiah, teknis dan hukum).
▫ Partisipasi para pemangku kepentingan sangat esensial untuk
menyusun legislasi yang efektif.
5. Kualitas legislasi dan kepastian hukum
▫ Jelas, koheren, stabil dan transparan dan melindungi warga
negara terhadap efek samping buruk yang tidak diinginkan dari
instrumen hukum. Legislasi harus relevan secara teknis,
diterima masyarakat, dapat dilaksanakan secara efektif dan
berkelanjutan dalam hal teknis, keuangan dan administrasi.
15
16. Otoritas Kompeten
▪ Legislasi veteriner harus memastikan bahwa:
1. Otoritas Kompeten memiliki semua otoritas hukum yang
dibutuhkan untuk mencapai tujuan legislasi termasuk
kekuasaan (power) untuk menegakkan legislasi.
2. Pada saat melaksanakan mandat hukum, pejabat/petugas
dilindungi dari tindakan hukum dan kerusakan fisik atas
tindakan yang dilakukan dengan itikad baik dan sesuai dengan
standar profesional.
3. Kekuasaan dan fungsi pejabat secara eksplisit terdaftar untuk
melindungi hak-hak pemangku kepentingan dan masyarakat
umum terhadap penyalahgunaan wewenang.
16
17. Delegasi kekuasaan oleh Otoritas Kompeten
▪ Legislasi veteriner harus memberikan kemungkinan bagi Otoritas
Kompeten untuk mendelegasikan tugas-tugas tertentu yang
terkait dengan kegiatan resmi (official activities).
▪ Untuk tujuan ini, legislasi veteriner harus:
▫ menentukan bidang kegiatan dan tugas-tugas spesifik yang
dicakup dalam pendelegasian tersebut.
▫ menyediakan pengendalian, supervisi dan jika diperlukan,
membiayai pendelegasian tersebut.
▫ menetapkan prosedur untuk pendelegasian tersebut.
17
19. Kekuasaan Otoritas Kompeten
▪ Otoritas Kompeten harus diorganisasikan sedemikian rupa
sehingga mampu melakukan tindakan dengan cepat dan koheren
ketika tindakan tersebut adalah kunci keberhasilan, terutama
dalam kasus di mana tindakan darurat kesehatan hewan atau
krisis kesehatan masyarakat veteriner.
▪ Legislasi harus menyediakan suatu RANTAI INSTRUKSI (chain of
command) yang seefektif mungkin (rantai harus pendek, dengan
semua tanggung jawab ditetapkan dengan jelas).
▪ Tanggung jawab dan kekuasaan Otoritas Kompeten dari tingkat
pusat sampai pada yang bertanggung jawab terhadap
implementasi legislasi di lapangan harus ditetapkan dengan jelas.
19
20. Kekuasaan yang setidaknya harus ada
dalam legislasi primer (Artikel 3.4.5.)
1) Akses ke peternakan/unit usaha dan
kendaraan/kapal untuk melakukan inspeksi.
2) Akses ke dokumen.
3) Penerapan tindakan sanitary (lihat slide berikut).
4) Pembentukan mekanisme kompensasi.
20
20
21. Tindakan sanitary yang dilakukan
▪ Pengambilan sampel
▪ Penahanan (penyisihan) komoditi, menunggu keputusan tentang
disposisi akhir
▪ Penyitaan komoditas dan fomit
▪ Penghancuran komoditi dan fomit
▪ Penangguhan satu atau lebih kegiatan suatu fasilitas
▪ Penutupan sementara, sebagian atau menyeluruh suatu fasilitas
▪ Penangguhan atau penarikan otorisasi atau persetujuan
▪ Pembatasan pergerakan komoditi, kendaraan/kapal dan, jika
diperlukan fomit dan orang
▪ Daftar penyakit untuk pelaporan wajib (mandatory reporting)
▪ Perintah desinfeksi, disinfestasi atau pengendalian hama (pest control)
21
22. Regulasi dokter hewan dan
paraprofesional veteriner (Artikel 3.4.6.)
1) menyediakan dasar hukum pembentukan suatu ‘veterinary
statutory body’ (VSB);
2) menjelaskan hak prerogatif, fungsi dan tanggung jawab VSB;
3) menjelaskan struktur umum dan sistim pengaturan dokter
hewan dan paraprofesional veteriner oleh VSB; dan
4) Memberikan otoritas kepada VSB untuk menyediakan
prinsip-prinsip pengaturan dokter hewan dan paraprofesional
veteriner.
22
23. Prinsip pengaturan dokter hewan dan
paraprofesional veteriner (Artikel 3.4.6.)
a) Berbagai kategori profesional dokter hewan (misalnya spesialisasi)
dan kategori paraprofesional veteriner yang diakui di suatu negara
sesuai dengan kebutuhannya, terutama di kesehatan hewan,
kesejahteraan hewan dan keamanan pangan.
b) Hak prerogatif dari berbagai kategori profesional dokter hewan
(misalnya spesialisasi) dan kategori paraprofesional veteriner yang
diakui di suatu negara.
c) Persyaratan minimum pendidikan awal dan pendidikan berkelanjutan
dan kompetensi dari berbagai kategori profesional dokter hewan
(misalnya spesialisasi) dan kategori paraprofesional veteriner.
d) Persyaratan untuk pengakuan kualifikasi dokter hewan dan
paraprofesional veteriner.
23
24. Prinsip pengaturan dokter hewan dan
paraprofesional veteriner (lanjutan)
e) Persyaratan untuk melakukan kegiatan kedokteran hewan/sains
(veterinary medicine/science), termasuk tingkat supervisi dari setiap
kategori paraprofesional veteriner.
f) Kekuasaan untuk menangani isu-isu perilaku dan kompetensi, termasuk
persyaratan lisensi dan mekanisme untuk mengajukan banding, yang
berlaku untuk dokter hewan dan paraprofesional veteriner.
g) Persyaratan (kecuali bagi yang berada di bawah tanggung jawab Otoritas
Kompeten) di mana orang selain dokter hewan dapat melakukan kegiatan
yang normalnya dilakukan oleh dokter hewan.
24
25. Peran VSB
▪ menjaga kesehatan dan kesejahteraan hewan melalui regulasi
tentang standar-standar pendidikan, etika dan klinis dokter hewan
dan paraprofesional veteriner.
▪ melatih disiplin.
▪ meningkatkan kesehatan masyarakat veteriner.
▪ melindungi kepentingan mereka yang bergantung pada hewan;
▪ memastikan bahwa standar-standar profesional yang ditetapkan
terpenuhi.
▪ mengelola registrasi dokter hewan.
▪ mendengar dan memeriksa keluhan.
▪ mempromosikan dan mempertahankan kepercayaan publik
terhadap kedokteran hewan.
25
Sumber: Economides (2007)
26. Laboratorium dalam domain veteriner
(Artikel 3.4.7.)
Legislasi veteriner harus mengatur tentang:
1) Fasilitas
2) Reagen, kit diagnostik dan agen biologik
dan produk
3) Keamanan laboratorium (laboratory
containment) dan pengendalian agen
biologik dan produk
26
27. Fasilitas laboratorium
▪ Legislasi veteriner harus menetapkan peran, tanggung jawab,
kewajiban dan persyaratan kualitas untuk:
▫ Laboratorium referensi (reference laboratorium) yang
bertanggung jawab untuk mengendalikan diagnostik
veteriner dan jaringan analitikal, termasuk pemeliharaan
metoda referensi.
▫ Laboratorium diregistrasi oleh Otoritas Kompeten untuk
melaksanakan analisis dari sampel resmi (official samples).
▫ Laboratorium yang melakukan pengujian yang diperlukan di
bawah aturan legislasi untuk tujuan keamanan (safety) dan
pengendalian kualitas (quality control).
27
28. Ketentuan Kesehatan terkait produksi
ternak (Artikel 3.4.8.)
1. Identifikasi dan penelusuran (traceability)
2. Pasar hewan dan tempat pertemuan lainnya
3. Reproduksi hewan
4. Pakan
5. Produk sampingan
6. Disinfeksi
28
29. ▪ Legislasi veteriner harus menyediakan dasar
bagi Otoritas Kompeten untuk mengelola
penyakit yang penting bagi negara, ada atau
tidak, begitu juga penyakit baru muncul
(emerging diseases) dengan menggunakan
pendekatan berbasis risiko (risk based).
▪ Legislasi veteriner harus menyediakan
kekuasaan bagi Otoritas Veteriner untuk
mengakses informasi yang diperlukan untuk
mematuhi kewajiban notifikasi ke OIE.
30. Kesejahteraan hewan (Artikel 3.4.10)
1. Ketentuan umum
▫ Legislasi veteriner harus berisi minimal, definisi hukum dari
kekejaman sebagai suatu pelanggaran, dan ketentuan untuk
intervensi langsung Otoritas Kompeten dalam kasus kekejaman
atau pengabaian.
2. Anjing liar dan hewan domestik yang terabaikan
▫ Legislasi veteriner harus menyediakan dasar bagi tindakan
untuk memenuhi persyaratan kesejahteraan hewan (Chapter
7.7.) dan jika perlu, pelarangan mengabaikan hewan dan
manajemen hewan yang terabaikan, termasuk transfer
kepemilikan dan eutanasia.
30
31. Produk veteriner (Artikel 3.4.11.)
1. Tindakan-tindakan umum
2. Bahan baku untuk digunakan dalam produk veteriner
3. Otorisasi produk veteriner
4. Fasilitas yang memproduksi, menyimpan dan
menjual secara grosir (wholesaling) produk veteriner
5. Ritel, penggunaan dan penelusuran (traceability)
produk veteriner
31
32. Otorisasi produk veteriner
Legislasi veteriner harus mengatur tentang:
1) Produk yang dicampur ke dalam pakan.
2) Produk yang disiapkan oleh dokter hewan berwenang atau
apoteker berwenang.
3) Keadaan darurat dan sementara (temporer).
4) Penetapan batas maksimum residu (maximum residue limits)
untuk zat aktif dan periode penarikan untuk produk veteriner
yang mengandung zat tersebut.
5) Pembatasan penggunaan produk veteriner untuk hewan
penghasil pangan (food-producing animals).
32
33. 33
Ada kebutuhan legislasi yang mengatur tentang
kesehatan masyarakat dan keamanan pangan
karena berkaitan erat dengan kesehatan hewan
dan penyakit zoonotik
34. Rantai pangan (Artikel 3.4.12.)
1. Ketentuan umum
2. Produk asal hewan yang ditujukan untuk konsumsi
manusia
3. Operator yang bertanggung jawab atas fasilitas dan
unit usaha yang berkaitan dengan rantai pangan.
34
35. Kesehatan masyarakat veteriner
1) Pelaksanaan inspeksi ante- dan post mortem di RPH/RPU.
2) Pengendalian setiap tahapan produksi, pengolahan dan distribusi pangan
asal hewan.
3) Pencatatan semua peristiwa kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat
yang terjadi selama produksi primer dan pemotongan.
4) Pemberian kepada operator fasilitas produksi pangan, tanggung jawab
utama untuk mematuhi persyaratan keamanan pangan termasuk
penelusuran yang ditetapkan oleh Otoritas Kompeten.
5) Pemeriksaan untuk mematuhi standar pangan yang relevan dengan
kesehatan atau keamanan.
6) Pemeriksaan/inspeksi dan audit fasilitas.
7) Pelarangan pemasaran produk yang tidak sesuai untuk konsumsi manusia.
8) Ketentuan untuk penarikan (recall) dari pasar semua produk yang mungkin
berbahaya bagi kesehatan manusia atau hewan. 35
36. Prosedur impor/ekspor (Artikel 3.4.13.)
▪ Legislasi veteriner harus menangani elemen berikut:
1) Koordinasi importir, sebagaimana mestinya, untuk persetujuan oleh
Otoritas Kompeten dari negara pengimpor.
2) Otoritas Kompeten harus menetapkan:
– Daftar barang yang harus dilakukan untuk pemeriksaan veteriner.
– Cekpoin resmi yang ditujukan untuk setiap jenis barang.
– Jenis dan prosedur pemeriksaan yang harus dilakukan.
– Standar yang harus dipatuhi untuk hewan dan komoditas yang
diusulkan untuk diimpor.
3) Pencegahan masuknya barang-barang dan konsinyasi terdaftar ke
dalam negeri kecuali barang-barang tersebut telah melalui pemeriksaan
veteriner.
4) Objektivitas dan independensi inspektor.
36
37. Hukuman dan Sanksi
▪ Legislasi veteriner harus memberikan hukuman dan sanksi pada
tingkat yang diperlukan untuk implementasi yang tepat dari
keseluruhan strategi:
37
1) Sanksi pidana, yang akan
diterapkan oleh yurisdiksi yang
berwenang menurut prosedur
pidana yang berlaku;
2) Sanksi administratif
yang dirancang untuk
segera diterapkan.
38. Intervensi oleh inspektur/pengawas
▪ Otoritas Kompeten harus menunjuk inspektur/pengawas yang memiliki
kualitas teknis untuk melakukan tindakan yang diperlukan untuk
implementasi atau verifikasi kepatuhan terhadap legislasi veteriner.
▪ Legislasi veteriner harus dapat memastikan:
a) Inspektur/pengawas harus memiliki otoritas legal untuk campur
tangan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
b) Prosedur pidana yang berlaku.
c) Bidang kompetensi dan peran masing-masing inspektur /pengawas
ditentukan sesuai dengan kualifikasi teknis.
d) Inspektur/pengawas dilindungi terhadap tindakan hukum dan
bahaya fisik. 38
39. Kekuasaan dan prosedur inspektur
▪ Hak-hak inspektur/pengawas harus terdaftar secara eksplisit dan
menyeluruh untuk melindungi hak-hak pemangku kepentingan
terhadap penyalahgunaan wewenang.
▪ Kekuasaan inspektur/pengawas dan aturan tentang inspeksi harus
ditentukan, terutama otorisasi dan persyaratan untuk mendapatkan
akses ke peternakan komersial dan kendaraan.
▪ Inspektur/pengawas harus memiliki kekuasaan dan prosedur untuk:
1) Mendapatkan akses ke dokuman;
2) Mengambil sampel;
3) Menahan (menyisihkan) hewan dan barang, sambil menunggu
keputusan tentang disposisi akhir. 39
40. Tindakan administratif dan
penegakan hukum
▪ Untuk tujuan tindakan administratif dan penegakan hukum,
elemen-elemen berikut harus ditetapkan dalam legislasi veteriner:
1) Penyitaan hewan, produk dan pangan asal hewan;
2) Penangguhan satu atau lebih aktivitas peternakan yang
diinspeksi;
3) Penutupan sementara (temporer), sebagian (parsial) atau
menyeluruh dari peternakan yang inspeksi;
4) Penangguhan atau penarikan otorisasi atau persetujuan.
40
41. Keuangan
▪ Legislasi veteriner harus menyediakan sumber,
tingkat dan kondisi keuangan yang diperlukan
untuk:
▫ Pelaksanaan semua kegiatan dari Otoritas
Kompeten terutama inspeksi, pengambilan
sampel (sampling) dan analisis; dan
▫ Prosedur otorisasi atau persetujuan semua
domain yang dicakup oleh legislasi veteriner.
41
43. Adopsi, prioritas, dan implementasi peraturan
internasional untuk kepentingan nasional
▪ Mengacu kepada standar OIE tentang legislasi veteriner, adopsi dan
implementasinya di Indonesia masih menunjukkan adanya defisiensi,
seperti yang ditunjukkan secara umum dari hasil evaluasi OIE Performance
Veterinary Services (PVS) terhadap Negara-Negara Anggota OIE.
▪ Prioritas yang perlu dilakukan untuk meningkatkan kepatuhan kita secara
utuh terhadap standar OIE dan sekaligus meningkatkan kualitas legislasi
veteriner Indonesia adalah dengan penyusunan suatu legislasi veteriner
tersendiri seperti yang ada di banyak negara di dunia.
▪ Legislasi veteriner baru tersebut harus juga mencakup praktik dokter
hewan dan paraprofesional veteriner untuk melindungi kepentingan
publik dengan memastikan bahwa tenaga kesehatan hewan memenuhi
syarat dan kompeten dalam melaksanakan perannya
43
44. Acuan pada legislasi kedokteran
▪ Subsektor Kesehatan hewan direkomendasikan untuk mengajukan
suatu legislasi veteriner primer dengan menggunakan rujukan
kepada yang berlaku di sektor Kesehatan seperti:
▫ UU Kesehatan No. 36 Tahun 2009
▫ UU Praktik Kedokteran No. 29 Tahun 2004
▫ UU Wabah Penyakit Menular No. 3 Tahun 1984
▫ UU Pendidikan Kedokteran No. 20 Tahun 2013
▫ UU Tenaga Kesehatan No. 36 Tahun 2014.
▪ Legislasi veteriner baru yang disusun bisa dibuat secara terpisah
atau menggabungkan semuanya dalam satu legislasi primer seperti
yang disebutkan di atas, dengan memasukkan semua unsur yang
perlu diatur dalam domain veteriner.
44
45. Dukungan untuk penyusunan legislasi
veteriner (FAO Legal Office)
45
▪ Obat Veteriner
▪ Sistim Kesehatan Hewan
(Veterinary Services)
▪ Profesi Kedokteran Hewan
▪ Tindakan-tindakan Pengendalian
Untuk Penyakit Tertentu
• BSE
• Brucellosis
• Avian Influenza
• Swine Fever
• Penyakit Mulut & Kuku
▪ Produksi Hewan
▪ Sumber Daya Genetik Hewan
▪ Lalu Lintas Hewan
▪ Identifikasi Hewan
▪ Kesehatan Hewan
▪ Kesejahteraan Hewan
▪ Rumah Potong Hewan
▪ Produk Asal Hewan
▪ Pemeriksaan Daging
▪ Sektor Persusuan
▪ Pakan
46. Materi penguatan legislasi veteriner internasional
dalam pendidikan dokter hewan
▪ Meningkatkan pemahaman calon dokter hewan tentang kebutuhan
hukum dan mengevaluasi apa yang telah tersedia saat ini ditinjau dari
seluruh aspek pengaturan masing-masing komponen domain veteriner :
▫ Otoritas Kompeten
▫ Dokter hewan dan paraprofesional veteriner
▫ Laboratorium
▫ Ketentuan kesehatan terkait produksi hewan
▫ Penyakit hewan
▫ Kesejahteraan hewan
▫ Produk veteriner
▫ Rantai produksi pangan
▫ Prosedur impor & ekspor dan sertifikasi veteriner. 46