PMK dan penyakit hewan lainnya seperti LSD dan PPR merupakan penyakit lintas batas yang berpotensi menyebar dengan cepat dan menimbulkan dampak sosial ekonomi yang signifikan. Strategi pengendalian utama untuk PMK adalah karantina, vaksinasi, surveilans epidemiologi, zonasi, depopulasi, dan biosekuriti. Vaksinasi massal digunakan untuk mengendalikan wabah PMK di Indonesia, namun vaksin yang tersedia belum d
1. Pengendalian Penyakit Mulut dan
Kuku (PMK) dan Lumpy Skin Disease
(LSD) serta Kewaspadaan terhadap
Peste des Petits Ruminants (PPR)
Drh Tri Satya Putri Naipospos, MPhil, PhD
Komisi Ahli Kesehatan Hewan, Kesehatan
Masyarakat Veteriner dan Karantina Hewan
Rapat Koordinasi Kesehatan Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner Wilayah Regional III
Palembang, 21 – 22 Juni 2023
2. T O P I K P A P A R A N
01
02
03
04
Penyakit-penyakit
lintas batas
Pengendalian
Penyakit Mulut
dan Kuku (PMK)
Pengendalian
Lumpy skin
disease (LSD)
Kewaspadaan
terhadap Peste
des Petits
Ruminants (PPR)
4. Penyakit lintas batas
Sumber: Clemons et al. (2021). Transboundary Animal Diseases, an Overview of 17 Diseases
with Potential for Global Spread and Serious Consequences. Animals, 2021, 11. 2039.
❑ Penyakit lintas batas (Transboundary animal diseases) adalah penyakit
epidemik yang sangat menular dengan potensi untuk menyebar dengan cepat
ke seluruh dunia.
❑ Penyakit lintas batas memiliki potensi menyebabkan konsekuensi sosial
ekonomi dan kesehatan masyarakat yang negatif.
❑ Diperlukan pemahaman yang lebih besar tentang faktor-faktor yang
berkontribusi pada patogenesis penyakit dan penyebarannya.
❑ Pekerjaan lebih lanjut juga diperlukan untuk memperbaiki efikasi dan biaya
diagnostik dan tindakan-tindakan pencegahan untuk penyakit-penyakit lintas
batas tersebut.
5. Penyakit lintas batas terkait dengan Indonesia
Penyakit
Agen
penyebab
Spesies yang
dipengaruhi
Gejala
African swine
fever (ASF)
Asfivirus Babi domestik
dan liar
Kematian tiba-tiba, syok, demam hemorragik, edema paru-
paru, depresi, anoreksia, thrombositopenia, limfopenia
Avian influenza Influenza
virus
Unggas
domestik &
burung
Highly pathogenic avian influenza (H5 dan H7) yang
menyebabkan tingkat kematian yang tinggi, gejala pernafasan,
pembengkakan sinus atau kepala, depresi, anoreksia,
cyanosis, inkoordinasi, gejala syaraf, diare
Penyakit mulut
dan kuku (PMK)
Aphthovirus Hewan
berkuku belah
Demam, lesi pada kaki, lidah, moncong, kelenjar susu,
mukosa genital, atau situs mukosa lainnya, tidak mau makan,
kepincangan
Lumpy skin
disease (LSD)
Capripoxvirus Sapi dan
kerbau
Lakrimasi, keluar cairan hidung, tidak mau makan,
limfadenopati, demam, penurunan produksi susu,
kepincangan, lesi kulit nodular, kadang-kadang kematian
Peste des Petits
Ruminants (PPR)
Morbilivirus Ruminansia
kecil domestik
dan liar
Tidak mau makan, kekurusan, depresi, demam, keluar cairan
hidung dan mata, pneumonia dan stomatitis erosif dan
nekrotik, kematian
6. Dampak penyakit lintas batas
❑ Dampak negatif yang kuat terhadap produktivitas hewan dan sumber
daya (kematian), dan kehilangan pendapatan (terutama dampak
ekonomi yang signifikan terhadap peternak kecil)
❑ Peningkatan ketidakpastian mengenai stabilitas manajemen produksi.
❑ Kehilangan peluang perdagangan hewan dan produk hewan (karena
status kesehatan hewan).
❑ Ancaman kesehatan manusia (dalam kasus zoonosis).
❑ Kebingungan sosio-ekonomi (socio-economic confusion).
Sumber: Presentasi Y. Oketani. OIE-Tokyo Work plan on Control of
Transboundary Animal Diseases in Southeast Asia. 27-29 June 2006.
7. Kesiapsiagaan untuk respons yang efektif
1. Pengakuan sifat alami penyakit lintas batas – tanpa batas (borderless).
2. Memperkuat ‘Veterinary Services’ untuk tindakan-tindakan yang efektif dan
menantang (challenging).
3. Kredibilitas dari negara yang terkena dampak – transparansi dan notifikasi yang
tepat waktu mengenai kejadian penyakit hewan dan informasi kesehatan hewan
oleh suatu negara – manfaatnya untuk negara itu sendiri (pengendalian penyakit)
dan untuk negara tetangga dan mitra dagang (kesiapsiagaan).
4. Memperkuat hubungan dan kolaborasi antara otoritas kesehatan hewan dan
otoritas kesehatan manusia (dalam kasus zoonosis, untuk mengurangi risiko
kesehatan pada manusia dan hewan).
5. Memperkuat infrastruktur kesehatan hewan, seperti laboratorium, teknologi,
hubungan komunikasi dengan stakeholder dlsb.
Sumber: Presentasi Y. Oketani. OIE-Tokyo. Work plan on Control of
Transboundary Animal Diseases in Southeast Asia. 27-29 June 2006.
8. Kesiapsiagaan untuk respons yang efektif
6. Meningkatkan kolaborasi nasional dan regional/internasional untuk pengembangan
kapasitas (capacity building) dalam:
• diagnosis dan surveilans untuk deteksi cepat;
• mengembangkan jaringan epidemiologi untuk deteksi;
• mengembangkan sistim peringatan dini;
• mengorganisasikan tindakan pengendalian untuk efektivitas program domestik.
7. Memperkuat upaya penelitian untuk mencegah penciptaan lingkungan yang
spekulatif, ketakutan atau ketidakpercayaan karena kekurangan pengetahuan saintifik.
8. Memperkuat/memperbaiki kerangka kerja hukum (legislasi) untuk tindakan-
tindakan pencegahan dan pengendalian yang efektif.
9. Mematuhi standar-standar internasional yang secara efektif mencegah dan
mengendalikan penyakit hewan/zoonosis, termasuk penetapan komoditas yang
diketahui aman (safe commodity).
Sumber: Presentasi Y. Oketani. OIE-Tokyo Work plan on Control of
Transboundary Animal Diseases in Southeast Asia. 27-29 June 2006.
11. Serotipe virus PMK
❑ Penyakit mulut dan kuku (PMK) adalah sindroma klinis pada hewan yang
disebabkan oleh virus PMK yang terbagi dalam 7 serotipe, di mana kesembuhan
dari 1 serotipe tidak memberikan kekebalan terhadap 6 serotipe lainnya.
❑ Ketika mempertimbangkan strategi intervensi dalam situasi endemik, penting untuk
memperhitungkan karakteristik serotipe yang berbeda dalam sistim ekologi yang
berbeda.
❑ Serotipe PMK tidak terdistribusi secara merata di wilayah dunia di mana penyakit
masih terjadi.
❑ Insiden kumulatif serotipe PMK menunjukkan bahwa 6 dari 7 serotipe PMK (O, A,
C, SAT-1, SAT-2, SAT-3) terjadi di Afrika, sedangkan Asia dengan 4 serotipe (O, A,
C, Asia-1), dan Amerika Selatan dengan hanya 3 serotipe (O, A, C).
Sumber: GFRA. Foot and Mouth Disease Gap Analysis. Workshop Report. December 2010.
12. Karakteristik strain lapangan virus PMK
❑ Virus PMK serotipe O adalah yang paling umum di seluruh dunia.
❑ Virus PMK serotipe A adalah yang paling umum ke-dua.
❑ Virus PMK serotipe O adalah serotipe yang paling umum di Amerika Selatan.
❑ Virus PMK serotipe Asia 1 terdeteksi terutama di sub-kontinen India dan
diduga terkait dengan kerbau rawa Asia (Bubalus bubalis).
❑ Virus PMK serotipe A dan SAT 2 lebih hipervariabel daripada serotipe
lainnya.
❑ Virus PMK serotipe C dan SAT 3 adalah yang paling tidak lazim.
❑ Virus PMK serotipe C kemungkinan sudah punah.
Sumber: GFRA. Foot and Mouth Disease Gap Analysis. Workshop Report. December 2010.
13. Epidemiologi PMK
❑ Setelah sembuh dari PMK, sekitar 50% ruminansia menjadi ‘carrier’ dengan
infeksi subklinis yang persisten pada saluran pernafasan bagian atas.
❑ Kepentingan epidemiologis ‘carrier’ virus PMK tetap tidak bisa dijelaskan
secara lengkap, tetapi umumnya diyakini rendah.
❑ Namun, hewan-hewan ini sangat penting untuk pengendalian wabah PMK di
negara-negara yang biasanya bebas PMK karena adanya hewan-hewan seperti
itu mendorong kebijakan respons wabah.
❑ Keberadaan status ‘carrier’ virus PMK dan risiko ‘carrier’ di antara ternak yang
divaksinasi sangat berdampak pada regulasi perdagangan internasional produk
hewan dan begitu juga waktu yang diperlukan untuk membuktikan kebebasan
dari PMK ketika vaksinasi digunakan untuk mengendalikan wabah PMK.
14. Jumlah kasus PMK di Indonesia
65.722
255.725
155.296
53.255
25.387 20.709 10.618 4.165 7.903 2.834
0
50.000
100.000
150.000
200.000
250.000
300.000
Mei 2022 Juni 2022 Juli 2022 Agustus
2022
September
2022
Oktober
2022
November
2022
Desember
2022
Januari
2023
Februari
2023
Provinsi tertular PMK (warna merah):
15. Strategi pengendalian
1) Karantina dan pengendalian lalu lintas
2) Vaksinasi
3) Surveilans epidemiologik
4) Pewilayahan (zonasi)
5) Depopulasi,disposal dan dekontaminasi
6) Pengobatan hewan terinfeksi
7) Perlakuan terhadap produk hewan
8) Biosekuriti untuk peternakan, pekerja dan sepanjang rantai pasar
9) Kesadaran masyarakat (public awareness) dan media
10) Advokasi kebijakan kesehatan hewan
11) Manajemen sumber daya di tingkat pusat dan daerah
12) Kemitraan pemerintah dan swasta (public private partnership)
5 strategi
pengendalian utama
(1 s/d 5) dan
7 strategi pendukung
(6 s/d 12).
16. Depopulasi, disinfeksi & dekontaminasi
❑ Depopulasi adalah garis pertahanan pertama terhadap wabah PMK di negara
bebas PMK ketika wabah berada dalam suatu zona tertentu.
❑ Depopulasi adalah penanggulangan utama untuk mengurangi keluarnya virus
(shedding) dan menghentikan penyebaran virus PMK.
❑ Pakaian sekali pakai (disposable), peralatan depopulasi, disinfektan, dan
peralatan dekontaminasi harus sesuai untuk penggunaan pada kejadian wabah
PMK.
❑ Masalah terutama karena kurangnya pilihan disposal untuk karkas yang
terinfeksi dan kurangnya tim respons yang terlatih dan terkoordinasi untuk
membantu depopulasi yang cepat (rapid depopulation).
Sumber: Foot-and-Mouth Disease Gap Analysis Report. December 2018.
17. Pergerakan hewan terinfeksi & dampaknya
❑ Tinjauan literatur menegaskan bahwa pergerakan
hewan terinfeksi merupakan faktor terpenting
dalam penyebaran PMK di daerah endemik.
❑ PMK menciptakan “kekacauan” di pasar lokal.
❑ Dampak pada sapi perah juga sangat besar, ada
penurunan produksi susu antara 30-50% di seluruh
daerah persusuan di Pulau Jawa.
Sumber: Rweyemamu et al. (2008). Epidemiological Patterns of Foot-and-Mouth
Disease Worldwide Epidemiological Patterns of Foot-and-Mouth Disease Worldwide.
❑ Pasar penuh dengan sapi yang dijual oleh peternak kecil, dengan alasan
sapi sakit atau mereka takut PMK, dan mereka ingin menjual sapinya
sebelum terkena PMK.
18. Kelemahan vaksin PMK
❑ Penting untuk diketahui, vaksin PMK yang
tersedia saat ini tidak mencegah infeksi
virus PMK sukbklinis atau persisten.
❑ Vaksin PMK mencegah klinis penyakit,
tetapi tidak infeksi dengan virus PMK.
❑ Vaksin tidak dapat menghilangkan virus
dari hewan ‘carrier’.
❑ Vaksin kadang-kadang mengandung non-struktural virus PMK (NSP),
sehingga menganggu diferensiasi serologis berbasis NSP dari hewan yang
terinfeksi dengan hewan yang divaksinasi (DIVA).
Sumber: GFRA. Foot and Mouth Disease Gap Analysis. Workshop Report. December 2018..
19. Strategi vaksinasi PMK
❑ Vaksinasi menyeluruh (blanket vaccination) pada
sapi perah.
❑ Vaksinasi menyeluruh (blanket vaccination) pada
sapi potong dan kerbau pada daerah-daerah
berisiko/kelompok-kelompok yang berisiko.
❑ Hewan impor yang telah divaksinasi (vaccinated
imported animals) di karantina selama 14 hari di
instalasi karantina hewan.
❑ Hewan yang divaksinasi (vaccinated animals) yang
dilalulintaskan antar provinsi.
THAILAND:
❑ ‘Ring vaccination’
dengan serotipe terpilih.
❑ Program vaksinasi di
peternakan babi.
20. Bagaimana menggunakan hasil PVM untuk
kegiatan ke depan?
❑ PVM dapat digunakan untuk mengevaluasi:
■ Lot/batch vaksin (vaccine lot/batch)
■ Program vaksinasi (vaksinator, rantai dingin, dll.)
■ Tingkat imunitas (level of immunity)
■ Lama imunitas (period of immunity)
❑ PVM dapat memastikan efektivitas penggunaan vaksin untuk:
■ Peternak
■ Pemangku kepentingan (stakeholder)
■ Vaksinator
■ Petugas pemerintah (lokal, provinsi, nasional)
Sumber: Presentasi Premashthira (2017). FMD Vaccination and Post Vaccination Monitoring.
21. Tahapan pengakuan WOAH
Kasus Bukti penularan Surveilans
Status resmi
WOAH bebas
dengan
vaksinasi
tidak ada
kasus dalam
2 tahun
terakhir
tidak ada bukti
penularan dalam
1 tahun terakhir
tidak ada bukti:
a) infeksi virus pada hewan yang
tidak divaksinasi;
b) penularan virus pada hewan yang
divaksinasi.
Status resmi
WOAH bebas
tanpa vaksinasi
tidak ada
kasus dalam
1 tahun
terakhir
tidak ada
vaksinasi PMK
dalam 1 tahun
terakhir
tidak ada bukti:
a) infeksi virus PMK pada hewan
yang tidak divaksinasi;
b) penularan virus PMK pada hewan
yang sebelumnya divaksinasi.
22. Target pemberantasan PMK
FOKUS: “mendapatkan
pemahaman yang lebih baik
tentang epidemiologi PMK dan
mengimplementasikan tindakan-
tindakan pengendalian berbasis
risiko sehingga dampak PMK
dapat dikurangi”
FOKUS: “mengurangi
secara progresif
insidensi wabah dan
sirkulasi virus di seluruh
wilayah zona/negara”
FOKUS: “mendapatkan
pengakuan WOAH untuk
status zona/negara
bebas tanpa vaksinasi.”
Endemik
Bebas
dengan
vaksinasi
Bebas
tanpa
vaksinasi
ZONA/NEGARA
6 tahun? 2 tahun?
25. Lumpy skin disease
❑ Lumpy skin disease (LSD) adalah penyakit baru muncul (newly emerging
disease) yang terjadi di Asia Tenggara dan membutuhkan lebih banyak
penelitian tentang patologi, penularan, diagnosis, distribusi, pencegahan dan
pengendalian.
❑ LSD adalah penyakit yang ditularkan melalui vektor (vector-borne disease)
seperti serangga penghisap darah, termasuk:
▪ Nyamuk (Aedes aegypti, Anopheles stephensi, Culex quinquefasciatus,
dan Culicoides nubeculosus);
▪ Caplak (Rhipicephalus appendiculatus, Rhipicephalus decoloratus, dan
Amblyomma hebraeum) dan
▪ Lalat (Haematopota spp. dan Stomoxys calcitrans).
Sumber: Ratyotha et al. (2022). Lumpy skin disease: A newly emerging disease in
Southeast Asia Kanokwan Ratyotha. Veterinary World, EISSN: 2231-0916.
26. Faktor risiko LSD
❑ Iklim yang hangat dan lembab, kondisi yang mendukung kelimpahan populasi
vektor, seperti yang terlihat setelah musim hujan, dan introduksi hewan baru ke
kelompok ternak.
❑ Ukuran kelompok (herd size), populasi vektor, jarak ke danau, migrasi kawanan
ternak, transportasi hewan terinfeksi ke daerah bebas penyakit, padang
penggembalaan dan sumber air dianggap sebagai faktor risiko lain yang dapat
meningkatkan prevalensi penyakit.
❑ Arah dan kekuatan angin kemungkinan dapat berkontribusi pada penyebaran
virus LSD.
❑ Semua umur dan ras sapi, begitu juga ke-dua jenis kelamin sama-sama rentan
terhadap LSD.
27. Distribusi LSD di Indonesia
Mei 2023
Sumber: Direktorat Kesehatan Hewan (Presentasi drh. Siti Yulianti)
Provinsi tertular PMK (warna merah): 12
28. Pencegahan LSD
❑ Perlindungan terbaik adalah vaksinasi profilaktik seluruh populasi ternak yang
dilakukan jauh sebelumnya di daerah berisiko.
❑ Lalu lintas sapi di dalam negeri dan lintas batas harus dikendalikan secara ketat
atau dilarang sepenuhnya (totally banned).
❑ Lalu lintas sapi yang resmi harus disertai dengan sertifikat veteriner termasuk
semua data mengenai asal-usul ternak, dan jaminan kesehatan hewan.
❑ Di desa tertular, kelompok sapi harus dipisahkan dari kelompok lain dengan
menghindari penggembalaan komunal. Namun, pada beberapa kasus jika
seluruh desa membentuk unit epidemiologi tunggal maka kemudian kelayakan
pemisahan harus dievaluasi berdasarkan kasus per kasus.
❑ Sapi harus diobati secara regular dengan ‘insect repellents’ untuk
meminimalisir risiko penularan vektor penyakit.
Sumber: FAO (2017). Lumpy skin disease. A field manual for veterinarians.
29. Pengendalian LSD
Pengendalian
lalu lintas
ternak Pengendalian
insekta dan
lingkungan
Pengobatan &
disinfeksi
Komunikasi
risiko
Vaksinasi
Keterlibatan
masyarakat
dan sektor
swasta
Perbaikan
biosekuriti
30. Pengendalian lalu lintas ternak
❑ Lalu lintas sapi yang tidak divaksinasi merupakan faktor risiko utama penyebaran
penyakit.
❑ Selama wabah LSD, lalu lintas sapi harus diatur secara ketat, tetapi dalam
praktiknya pengendalian yang efektif seringkali sulit.
❑ Kekuatan hukum yang tepat harus ada untuk memungkinkan otoritas veteriner
bertindak segera setelah transportasi sapi ilegal terdeteksi.
❑ Perdagangan sapi hidup harus segera dilarang begitu ada kecurigaan dan/atau
konfirmasi penyakit.
❑ Di banyak wilayah, perdagangan lintas batas yang tidak sah terjadi meskipun ada
pembatasan, menggaris bawahi pentingnya vaksinasi.
❑ Hukuman berat harus diterapkan untuk lalu lintas ilegal.
Sumber: FAO (2017). Lumpy skin disease. A field manual for veterinarians.
31. Vaksinasi LSD
❑ Vaksinasi tahunan direkomendasikan di negara yang terkena dampak, dan
kampanye vaksinasi diselaraskan di seluruh wilayah memberikan proteksi terbaik.
❑ Anak sapi dari induk yang naif harus divaksinasi pada umur berapapun,
sedangkan anak sapi dari induk yang divaksinasi atau terinfeksi secara alami
harus divaksinasi pada umur 3-6 bulan.
❑ Vaksin LSD ‘live attenuated’ dapat menyebabkan reaksi ringan yang merugikan
pada sapi berupa demam temporer dan penurunan singkat hasil susu.
❑ Sejumlah hewan memperlihatkan lesi kulit yang ringan yang disebabkan oleh
strain vaksin tetapi biasanya superfisial, jelas lebih kecil, dan berbeda dari yang
disebabkan oleh strain lapangan yang virulen. Lesi akan menghilang dalam 2-3
minggu tanpa berubah menjadi keropeng nekrotik atau ulser (bisul).
Sumber: FAO (2017). Lumpy skin disease. A field manual for veterinarians.
32. Pengendalian insekta dan lingkungan
❑ Pengendalian insekta yang efisien pada sapi atau di peternakan dapat mengurangi laju
penularan mekanis, tetapi tidak mencegah sepenuhnya, terutama di mana sapi bebas
berkeliaran atau dipelihara di padang rumput yang berpagar.
❑ Kelambu anti nyamuk dapat dipertimbangkan dalam kasus di mana sapi dipelihara
secara permanen di dalam ruangan (indoor).
❑ Penerapan ‘spot-on repellent’ (pengusir nyamuk) dapat melindungi sapi dari insekta dan
caplak hanya untuk jangka waktu singkat.
❑ Apabila digunakan insektisida, maka waktu henti obat (withdrawal time) pada susu dan
daging harus dipertimbangkan.
❑ Pembatasan lokasi perkembangbiakan vektor seperti genangan sumber air, slurry dan
kotoran, dan meningkatkan drainase di peternakan adalah cara berkelanjutan, terjangkau
dan ramah lingkungan untuk mengurangi jumlah vektor pada dan di sekitar sapi.
Sumber: FAO (2017). Lumpy skin disease. A field manual for veterinarians.
33. Perbaikan biosekuriti
❑ Karena penyakit disebarkan oleh vektor, tindakan biosekuriti tidak sepenuhnya
mencegah serangan LSD tetapi risikonya dapat dikurangi.
❑ Pembelian hewan baru baik yang sedang inkubasi penyakit atau viraemik tanpa
menunjukkan gejala apapun dapat menyebabkan risiko introduksi penyakit ke
kelompok hewan yang naif.
❑ Stok sapi harus dibeli hanya dari sumber yang dapat dipercaya. Hewan baru harus
diperiksa dan dinyatakan bebas dari tanda-tanda klinis sebelum dilalu lintaskan dan
pada saat kedatangan harus dipisahkan/di karantina dari kelompok hewan lain
setidaknya selama 28 hari.
❑ Kunjungan ke peternakan harus dibatasi pada layanan yang esensial saja dengan
pintu masuk ke peternakan terbatas.
Sumber: FAO (2017). Lumpy skin disease. A field manual for veterinarians.
34. Surveilans LSD
❑ Program surveilans didasarkan pada surveilans klinis aktif dan pasif dan
pengujian laboratorium sampel darah, swab hidung, atau biopsi kulit yang
dikumpulkan dari kasus yang dicurigai.
❑ Karena tidak ada vaksin DIVA (“differentiated infected and vaccinated animals”)
untuk LSD, surveilans serologis tidak ada gunanya di negara atau zona yang
terkena dampak di mana seluruh populasi ternak telah divaksinasi.
❑ Serologi dapat digunakan setiap kali keberadaan wabah yang tidak diketahui
/tidak dilaporkan diinvestigasi di daerah bebas penyakit baik yang berbatasan,
atau dekat daerah yang terkena dampak dengan ternak yang tidak divaksinasi.
❑ Di daerah seperti itu, keberadaan hewan seropositif dapat dianggap sebagai
indikasi wabah yang baru terjadi.
Sumber: FAO (2017). Lumpy skin disease. A field manual for veterinarians.
35. Kampanye peningkatan kesadaran
❑ Kampanye peningkatan kesadaran (awareness campaigns) harus ditargetkan pada:
dokter hewan pemerintah dan swasta,
baik lapangan dan di rumah potong
pedagang ternak
mahasiswa kedokteran hewan pengemudi truk sapi
peternak inseminator
penggembala ternak
❑ Pengemudi truk sapi berada dalam posisi yang sangat baik untuk
mengidentifikasi hewan yang terinfeksi di peternakan dan di rumah potong dan
di stasiun pengumpulan dan istirahat sapi, dan untuk memberitahu otoritas
veteriner tentang kecurigaan klinis sesegera mungkin.
Sumber: FAO (2017). Lumpy skin disease. A field manual for veterinarians.
36. Tantangan utama pengendalian LSD
❑ Sistim budidaya ternak – lebih dari 90% adalah peternak kecil atau peternak
belakang rumah (backyard).
❑ Lalu lintas ilegal di kalangan pedagang.
❑ Rendahnya kerjasama di antara peternak dalam memusnahkan hewan yang
terinfeksi dan memvaksinasi hewan mereka (karena respons ‘neethling’
menyebabkan turunnya harga ternak dan persepsi bahwa vaksinasi tunggal
sudah cukup).
❑ Kurangnya kesadaran dan pengetahuan tentang dampak ekonomi LSD di
kalangan pemerintah daerah, peternak dan petugas penyuluh.
❑ Masa hidup (lifespan) vaksin yang pendek setelah botol dibuka.
39. Peste des petits ruminants
❑ Peste des petits ruminants (PPR) adalah penyakit
hewan yang tersebar luas, virulen dan menjangkiti
ruminansia kecil dan artiodactyl liar.
❑ Angka mortalitas dapat melebihi 90%, terutama pada
populasi yang naif secara imunologis, kekurangan
gizi dan stres.
❑ Pada situasi endemik, penyakit lebih tersamar, tetapi
menyebabkan hilangnya hewan yang baru lahir
secara kronis karena virus bersirkulasi dan persisten
dalam populasi ruminansia kecil.
40. Kenapa antisipasi PPR penting?
❑ Ruminansia kecil sangat penting
dalam mata pencaharian penduduk
di banyak wilayah di dunia
(termasuk Indonesia).
❑ Afrika, Timur Tengah, dan Asia –
wilayah yang terpengaruh oleh PPR
– memiliki > 80% populasi
ruminansia kecil di dunia.
❑ Indonesia memiliki populasi
kambing 19,4 juta ekor dan domba
15,6 juta ekor (data 2022).
Distribusi populasi domba dan kambing
41. Kasus positif PCR PPR di Indonesia
Banua Jingah, Barabai, Hulu
Sungai Tengah
Spesies terdampak: kambing
Jumlah terdampak: potong
paksa 10, mati 5
Populasi rentan 300
Tanggal: 2 Februari 2023
Tualang, Tualang, Siak, Riau
Spesies terdampak: kambing
Jumlah terdampak: sakit 8
Populasi rentan: 17
Tanggal: 29 Maret 2023 Sumber: Direktorat Kesehatan Hewan (2023)
42. Epidemiologi PPR
❑ Bentuk EPIZOOTIK
■ Ketika PPR menyerang daerah yang sebelumnya bebas penyakit di mana hewan
tidak terpapar virus sebelumnya, ekspresi klinisnya paling sering akut dengan
tingkat mortalitas dan morbiditas dapat mencapat 90-100%.
❑ Bentuk ENZOOTIK
■ Di banyak negara di Afrika, Timur Tengah, dan Asia, PPR ada dengan tingkat
mortalitas rendah (20% atau kurang) dan bervariasi, tetapi tingkat seroprevalensi
dapat melebihi 50%.
■ Di wilayah ini, virus bersirkulasi secara diam, ekspresi klinis tidak jelas, tetapi
tetap mampu untuk memanifestasikan secara klinis segera setelah populasi
ruminansia kecil yang rentan cukup besar, atau ketika hewan berada dalam
kesehatan yang buruk, kondisi lingkungan yang menguntungkan, atau praktik
sosial, budaya atau ekonomi yang meningkatkan risiko penularan virus.
43. Tanda klinis kambing terduga PPR di
Bangladesh (N = 44)
Abortus
pada
kambing
bunting
Keluar
cairan dari
mata,
hidung &
mulut
Mulut
keasaman
Kehilangan
nafsu
makan
Diare
dengan
bau busuk
Demam
Persentase
Sumber: Islam et al. (2015).
44. Penularan PPR
❑ Kontak langsung.
❑ Inhalasi dianggap rute penting penyebaran.
❑ Virus PPR keluar dari sekresi hidung dan
mata, air liur, urin dan feses.
❑ Kemungkinan dari air susu hewan terinfeksi.
❑ Hewan tidak diharapkan menjadi ‘carrier’
jangka panjang, meskipun suatu studi
melaporkan bahwa antigen virus dikeluarkan
ke feses dari kambing yang sembuh secara
klinis setidaknya setelah 11-12 minggu.
Afrika Barat Afrika Barat
• Timur Tengah
• Asia
• India
• Afrika Timur
• Arab
• India Selatan
45. Virus PPR (lineage I – IV)
❑ Surveilans epidemiologik
mengungkapkan bahwa
lineage IV terus menyebar
di Asia ke arah timur,
tetapi juga meluas ke
barat dan menjangkiti
Afrika, di mana lineage ini
menjadi dominan.
Distribusi 4 lineage
virus PPR pada 2008
Distribusi 4 lineage
virus PPR pada 2014
Empat lineages tetapi
satu serotipe tunggal
46. Virus PPR di lingkungan
❑ Virus PPR relatif rapuh di lingkungan,
sehingga penularan aerosol jarak jauh
tidak mungkin.
❑ Dalam temperatur dingin dan dalam gelap
(tanpa sinar matahari) virus PPR terbukti
menyebar sekitar 10 meter.
❑ Fomit seperti air, bak pakan dan alas
kandang kemungkinan dapat menularkan
virus PPR dalam waktu singkat, tetapi tidak
infeksius untuk jangka waktu panjang.
47. Laboratorium diagnostik
❑ Metode diagnostik tidak langsung:
▪ Uji immuno-enzymatic, competitive ELISA
(Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay) untuk
deteksi antibodi dalam sampel biologis.
❑ Metode diagnostik langsung:
▪ Uji immuno-enzymatic, sandwich ELISA dan
immunocapture ELISA untuk deteksi antigen.
▪ Teknis RT-PCR (Reverse Transcription -
Polymerase Chain Reaction) untuk deteksi
genom virus.
▪ Kultur sel untuk isolasi virus.
48. Surveilans PPR
❑ Pendekatan surveilans serologis, pasif dan klinis
sangat mendasar untuk pemberantasan PPR yang
efektif; tanpa ini dilakukan, pembuktian status bebas
penyakit tidak akan mungkin dan penyakit akan
bertahan dan muncul kembali.
❑ Surveilans PPR adalah bagian dari sistim surveilans
umum (general surveillance system) yang berlaku
di tingkat negara dan melibatkan terutama petugas
pemerintah (dokter hewan dan paramedis) dengan
partisipasi pemilik ternak dan sampai tingkat
tertentu penyedia layanan kesehatan hewan swasta.
49. Tindakan apabila muncul PPR di daerah bebas
Isolasi dan sembelih semua hewan yang terinfeksi
dan yang kontak/terpapar
Disposal karkas dengan cara dibakar, dikubur
atau direndering
Dekontaminasi peternakan dan seluruh
material lingkungan
Karantina area peternakan dan buat pengaturan
pergerakan/lalu lintas hewan
Pertimbangkan untuk melakukan vaksinasi pada
populasi yang berisiko tinggi atau ring vaksinasi