SlideShare a Scribd company logo
1 of 76
Download to read offline
Lokakarya Penyusunan Masterplan Pengendalian dan Penanggulangan
Penyakit Hewan Menular Strategis (PHMS)
Bogor, 12-13 November 2013
Lokakarya Penyusunan Masterplan Pengendalian dan Penanggulangan
Penyakit Hewan Menular Strategis (PHMS)
Bogor, 12-13 November 2013
 Kontribusi subsektor peternakan terhadap PDB Nasional
– 1,6% dan terhadap PDB sektor pertanian – 15% per
tahun (BPS, 2013)
 SATU dari 22 penyakit hewan menular strategis di
Indonesia ditetapkan melalui SK Direktur Jenderal PKH
No. 4026/Kpts/OT.140/3/2013
 Menyebabkan kerugian ekonomi signifikan terhadap
industri sapi potong yang diperkirakan mencapai Rp.
138,5 milyar per tahun*
 Penghambat pencapaian program swasembada daging
2014 (PSDSK 2014) – penanganan gangguan reproduksi
yang diakibatkan oleh brucellosis
Latar Belakang
* Sumber: Ditjennak, 2000
Epidemiologi brucellosis (1)
 Masa Inkubasi bervariasi menurut kondisi dan umur hewan –
dari umur 1 hingga beberapa bulan
 Penyebaran terjadi sebagai akibat dari kontaminasi lingkungan
setelah terjadi abortus atau ternak positif melahirkan
 Bakteri dapat bertahan di lingkungan untuk jangka waktu
lama, khususnya pada lingkungan yang lembab dan tidak
terkena sinar matahari secara langsung (selama > 100 hari)
 Sapi jantan dapat terinfeksi, tetapi secara alami tidak dapat
menularkan penyakit. Namun, dapat menularkan melalui
Inseminasi Buatan (sebab semen langsung menuju ke uterus).
Pusat-pusat IB sebaiknya melakukan pengujian secara cermat
Sumber: http://www.animalhealthaustralia.com.au
Epidemiologi brucellosis di Indonesia
 Prevalensi brucellosis pada peternakan semi-intensif dan ekstensif
tradisional lebih tinggi dari peternakan intensif (Miswati et al., 2003)
 Kejadian abortus sekitar 48,5% terjadi pada umur kebuntingan 4-6
bulan umur kebuntingan dan sekitar 48,5% lainnya terjadi pada
umur kebuntingan 6-9 bulan, dengan kata lain 97% terjadi pada
umur kebuntingan lebih dari 3 bulan (Putra, 2005)
 Anak sapi yang dilahirkan dari induk reaktor akan menjadi karier
laten dan akan mengalami abortus pada kebuntingan pertama serta
mencemari lapangan penggembalaan kembali (Pitona dan
Hendrawati, 2006)
 Prevalensi brucellosis pada sistem peternakan intensif dengan
kandang gabungan lebih tinggi dibandingkan dengan ternak yang
dikandangkan secara individu (Tae Lake, 2010)
Dampak brucellosis terhadap
produksi peternakan
 Dampak langsung:
- Keguguran (abortus)
- Kemajiran (infertilitas)
- Kematian pada anak sapi saat melahirkan
- Penurunan harga jual ternak
- Penurunan produksi susu pada ternak perah
- Penurunan berat badan pada ternak potong
 Dampak tidak langsung:
- Penurunan populasi ternak di suatu daerah
- Penurunan peluang perdagangan ternak
- Penurunan pendapatan daerah
 Dampak lainnya:
- Pengeluaran ekstra dalam bentuk biaya untuk kompensasi,
disposal dan disinfeksi, sosialisasi, surveilans dan vaksinasi
Dasar dan ruang lingkup kebijakan
 Sasaran spesies: Brucella abortus
 Sasaran jenis ternak: sapi potong dan sapi perah
 Tingkat penyebaran: Reaktor brucellosis telah ditemukan
secara luas di pulau-pulau besar di Indonesia, seperti
Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Pulau Timor,
kecuali Bali
 Sejarah wabah: Epidemi pada banyak peternakan sapi
perah di Jakarta, Bandung, Jawa Tengah dan Jawa Timur
 Uji serologis dapat diandalkan karena tidak dijumpai
adanya gejala patognomonik pada hewan terinfeksi
kecuali pada saat keguguran (Soejoedono, 2004)
Kerangka pikir penyusunan Masteplan
pemberantasan brucellosis
1) Kondisi geografis indonesia;
2) Kondisi sistem produksi ternak dan rantai perdagangan
ternak di indonesia;
3) Epidemiologi dan pengetahuan mengenai faktor risiko
brucellosis di indonesia;
4) Pembelajaran dari daerah-daerah yang telah berhasil
melakukan pembebasan di wilayahnya masing-masing
5) Pembelajaran dari kesulitan yang dihadapi di lapangan;
6) Infrastruktur dan sumberdaya terbatas; dan
7) Pendekatan yang dilakukan di negara-negara lain serta
pendekatan yang diakui secara internasional
Sasaran: Mencapai status negara bebas
brucellosis pada tahun 2025
 Penetapan sasaran ini didasarkan atas terpenuhinya
seluruh indikator pencapaian yang terverifikasi
dengan memperhatikan asumsi dan pra kondisi
program pemberantasan seperti diuraikan dalam
matriks kerangka kerja logis pada Lampiran 1
Masterplan Pemberantasan Brucellosis
 Pencapaian sasaran bergantung kepada tata
pemerintahan veteriner yang baik (good veterinary
governance) dan kesiapan sumberdaya manusia,
fasilitas sarana, material dan infrastruktur
Tujuan jangka pendek
 Meningkatkan populasi ternak
 Meningkatkan nilai jual ternak
 Mengamankan daerah sumber bibit ternak dari
brucellosis, sehingga mengurangi risiko penularan
penyakit ke daerah penerima bibit ternak
 Meningkatkan pendapatan daerah dan ekonomi nasional
 Meningkatkan perdagangan ternak
 Mengamankan masyarakat dari risiko tertular brucellosis
Tujuan jangka panjang
Asumsi dan Pra kondisi pencapaian
pemberantasan brucellosis
 Komitmen pemerintah dan pemerintah daerah
dalam memberikan prioritas dana terhadap upaya
pemberantasan brucellosis
 Kelanjutan produksi vaksin Pusvetma (Brucivet)
dapat dipertahankan
 Kerjasama yang erat antara institusi yang
bertanggung jawab di bidang pemberantasan
penyakit (Ditkeswan dan jajaran Dinas berwenang)
dan di bidang pengendalian lalu lintas ternak (jajaran
Barantan sampai ke daerah)
Keluaran INDIKATOR PENCAPAIAN
YANG TERVERIFIKASI
1. Diketahuinya status awal daerah
(bagi daerah tersangka
/prevalensi tidak diketahui)
Surveilans aktif untuk penentuan
prevalensi dasar dengan pengambilan
sampel terstruktur terlaksana sesuai
prosedur
2. Menurunnya tingkat prevalensi
secara progresif
• Surveilans pasif dan aktif untuk
memantau tingkat infeksi/prevalensi
terlaksana sesuai prosedur
• Vaksinasi terlaksana sesuai prosedur
3. Menurunnya jumlah reaktor
setiap tahun
• Surveilans aktif dengan uji dan potong
terlaksana sesuai prosedur
• Jumlah dana kompensasi cukup
4. Meningkatnya tingkat kesadaran
pelaku usaha dan peternak
Proses komunikasi, informasi dan
edukasi (KIE) terlaksana dengan baik
Indikator pemberantasan
Prinsip utama pemberantasan
1) Penyembelihan terhadap seluruh reaktor
(hewan yang menunjukkan reaksi positif
terhadap uji serologis);
2) Vaksinasi populasi hewan yang peka; dan
3) Pengendalian lalu lintas dan penelusuran
ternak.
7 (tujuh) Strategi pemberantasan
Surveilans
Uji dan potong
Kompensasi
Vaksinasi
Manajemen kelompok ternak
Karantina dan pengendalian lalu lintas ternak
Peningkatan kesadaran masyarakat
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Pendekatan tahapan (FAO,2012)
 Pendekatan pertama yang digunakan dalam menerapkan
kebijakan pemberantasan brucellosis di Indonesia adalah
pendekatan tahapan (stepwise approach)
 Pendekatan tersebut mengacu kepada 4 (empat) tahapan
yang diperkenalkan FAO yaitu “A four-stage roadmap for
progressive control of brucellosis in animals and humans”
 Peta jalan (roadmap) ini dirancang untuk membuat
pemberantasan brucellosis menjadi suatu proses yang
progresif
 Dalam Masterplan Nasional, tidak dimasukkan aspek
brucellosis pada manusia dalam pendekatan ini
Tahap Situasi Hasil yang diharapkan
Tahap 0:
Situasi tidak diketahui
• Kasus keguguran/wabah jarang sekali
terkonfirmasi, dan prevalensi serta
distribusinya tidak di ketahui pasti.
• Pihak berwenang perlu mengetahui
infeksi spesies Brucella pada dugaan
kasus keguguran/wabah tersebut, juga
prevalensi pada berbagai spesies ternak.
• Pemahaman tentang
epidemiologi penyakit
lebih baik, sehingga
program pemberantasan
dapat dimulai.
Tahap 1:
Situasi diketahui dengan
program pengendalian
• Program nasional pemberantasan
brucellosis berlaku resmi di seluruh
wilayah negara.
• Ada SOP (kendali mutu vaksin, prosedur
vaksinasi , dan diagnosa laboratorium).
• Prevalensi brucellosis
menurun pada ternak.
Tahap 2:
Mendekati bebas
• Tingkat sero-prevalensi brucellosis pada
ternak cenderung menurun, tetapi
perkembangan masih tidak merata.
• Prevelensi brucellosis
terus menurun ke tingkat
yang rendah pada ternak.
Tahap 3:
Deklarasi status bebas
brucellosis
• Pihak yang berwenang di tingkat nasional
mendeklarasikan status bebas brucellosis
setelah memenuhi standar OIE.
• Status bebas brucellosis
dideklarasikan
Tabel 1: Pendekatan tahapan pemberantasan
brucellosis yang progresif
TAHAP 0:
Situasi tidak diketahui
Sumatra Utara, Nusa Tenggara Timur
(Sawu, Rote), Sulawesi Utara, Sulawesi
Tengah, Sulawesi Barat, Sulawesi
Tenggara, Gorontalo, Maluku, Maluku
Utara, Papua, Papua Barat
TAHAP 1:
Situasi diketahui dengan
program pengendalian
Jawa, Nusa Tenggara Timur (Timor,
Flores), Aceh, Sulawesi Selatan
TAHAP 2:
Mendekati bebas
Madura, Nusa Tenggara Timur (Sumba)
TAHAP 3:
Deklarasi bebas brucellosis
Lombok, Bali, Sumbawa, Kalimantan,
Sumatra Barat ,Riau, Jambi, Kepulauan
Riau, Sumatra Selatan, Bengkulu,
Lampung, Babel
Sumber: A Four-stage Roadmap for
Progressive Control of Brucellosis (FAO, 2013)
Gambar 2: Tahapan progresif
pemberantasan brucellosis
di Indonesia (situasi 2013)
Pendekatan zona (Ditkeswan 2013)
 Pendekatan kedua yang digunakan dalam menerapkan
kebijakan pemberantasan brucellosis di Indonesia adalah
pendekatan zona (zoning approach)
 Pendekatan ini didasarkan atas klasifikasi daerah/zona yaitu:
(1) Daerah bebas penyakit
(2) Daerah tersangka (prevalensi tidak diketahui)
(3) Daerah tertular ringan (< 2%)
(4) Daerah tertular berat (> 2%)
 Pendekatan ini direkomendasikan untuk digunakan pada
tingkatan kabupaten/kota, atau setidaknya batasan geografi
terkecil yaitu “desa”
No. Status zona / tahap Klasifikasi daerah
1 Daerah bebas penyakit Lombok, Bali, Sumbawa, Kalimantan, Sumatera
Barat, Riau, Jambi, Kepulauan Riau, Sumatera
Selatan, Bengkulu, Lampung, Babel
2 Daerah tersangka
(prevalensi tidak
diketahui)
Sumatera Utara, Banten, Jawa Barat, Jawa
Tengah, Nusa Tenggara Timur (Pulau Sawu dan
Rote), Sulawesi Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi
Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan (11
kabupaten), Gorontalo, Maluku, Maluku Utara,
Papua, Papua Barat
3 Daerah tertular ringan
(prevalensi < 2%)
DI Yogyakarta, Madura, Sumba, Timor (TTS,
Kabupaten dan Kota Kupang), Sulawesi Selatan
(5 kabupaten), Aceh (diluar 2 kabupaten)
4 Daerah tertular berat
(prevalensi > 2%)
Flores, Timor (Belu, TTU), Sulawesi Selatan (8
kabupaten), Aceh (2 kabupaten), DKI Jakarta,
Jawa Timur
Tabel 2: Klasifikasi daerah dengan pendekatan
zona (situasi 2013)
Sumber: Data Direktorat Kesehatan Hewan (2013)
Situasi brucellosis di Indonesia 2013
Sumber: Data Direktorat Kesehatan Hewan (2013)
Situasi brucellosis di Jawa Timur
(Madura sudah pada tahap 2 – mendekati bebas)
Sumber: Data Direktorat Kesehatan Hewan (2013)
Situasi Sulawesi Selatan
(8 kabupaten tertular berat)
Sumber: Data Direktorat
Kesehatan Hewan (2013)
Situasi Nusa Tenggara
(Flores, Timor - Belu dan TTU)
Sumber: Data Direktorat Kesehatan Hewan (2013)
Daerah bebas penyakit
 Melakukan tindakan pengendalian lalu lintas
yang ketat dengan persyaratan:
 Setiap ternak sapi (potong maupun perah) yang
dimasukkan ke daerah tersebut harus memiliki
SKKH yang dilengkapi dengan Surat Keterangan
Vaksinasi (dari daerah tertular berat) dan Surat
Keterangan Hasil Uji Serologik dari labkeswan
berwenang yang menunjukkan hasil negatif
brucellosis*
* SK Mentan No.828/Kpts/OT.210/10/98
Daerah tersangka (prevalensi tidak diketahui)
Tahun ke-1 1) Melakukan surveilans aktif untuk penentuan status awal daerah
dengan prosedur pengambilan sampel yang telah ditentukan
2) Melakukan surveilans pasif berkelanjutan untuk memantau kasus
keguguran dan respon tindakan apabila ditemukan kasus positif
brucellosis.
3) Menetapkan kebijakan pemberantasan setelah klasifikasi daerah
diketahui
Tahun ke-2
dstnya
1) Melakukan tindakan pemberantasan sesuai dengan klasifikasi
daerah (mengikuti prosedur pemberantasan yang ditetapkan
untuk tingkat prevalensi < 2% atau > 2%)
Daerah tertular ringan (prevalensi < 2%)
Tahun ke-1 1) Melakukan surveilans aktif dengan prosedur pengambilan sampel
2) Melakukan tindakan uji dan potong terhadap semua reaktor hasil
surveilans dengan pemberian kompensasi
3) Melakukan surveilans pasif berkelanjutan untuk memantau kasus
keguguran dan respon tindakan apabila ditemukan kasus positif
Tahun ke-2
dstnya
1) Melakukan surveilans monitoring disertai dengan tindakan uji dan
potong setiap tahun sampai tingkat prevalensi berhasil diturunkan
ke tingkat yang sangat rendah (< 0,2%)
2) Melakukan surveilans pasif berkelanjutan untuk memantau kasus
keguguran dan respon tindakan apabila ditemukan kasus positif
3) Melakukan surveilans aktif untuk pembuktian status bebas
Karantina dan Pengendalian lalu lintas
1) Melakukan pengambilan sampel dan pengujian pada setiap
individu ternak yang dilalulintaskan antar area
2) Melakukan koordinasi dengan Dinas berwenang Kabupaten apabila
ditemukan kasus positif
Daerah tertular berat (prevalensi > 2%)
Tahun ke-1 1) Melakukan vaksinasi pada semua tingkatan umur sapi
2) Melakukan surveilans aktif dengan prosedur pengambilan sampel
3) Melakukan tindakan uji dan potong terhadap semua reaktor hasil surveilans
dengan pemberian kompensasi sesuai mekanisme
4) Melakukan surveilans pasif berkelanjutan untuk memantau kasus
keguguran dan respon tindakan apabila ditemukan kasus positif
Tahun ke-2
s/d ke-4
1) Melakukan vaksinasi hanya pada anak sapi umur 3 – 9 bulan yang baru lahir
2) Melakukan vaksinasi sapi yang pada tahun sebelumnya tidak tervaksinasi
3) Melakukan surveilans aktif disertai dengan tindakan uji dan potong setiap
tahun sampai tingkat prevalensi diturunkan (< 0,2%)
4) Melakukan surveilans pasif berkelanjutan
Tahun ke-5
dstnya
1) Melakukan surveilans aktif untuk pembuktian status bebas setelah 3 tahun
berturut-turut dengan hasil surveilans menunjukkan setidak-tidaknya
tingkat prevalensi sangat rendah (< 0,2%).
Karantina dan Pengendalian lalu lintas
1) Melakukan pengambilan sampel dan pengujian pada setiap individu ternak
yang dilalulintaskan antar area
2) Melakukan koordinasi dengan Dinas berwenang Kabupaten apabila
ditemukan kasus positif
Lokakarya Penyusunan Masterplan Pengendalian dan Penanggulangan
Penyakit Hewan Menular Strategis (PHMS)
Bogor, 12-13 November 2013
1) Surveilans
 Surveilans brucellosis adalah program pendeteksian penyakit
secara kontinyu untuk mengidentifikasi adanya reaktor hingga
mencapai tingkat prevalensi tidak lebih dari 0,2%
 Surveilans mendukung implementasi kebijakan vaksinasi
maupun kebijakan uji dan potong (test and slaughter)
 Ada 2 (dua) macam kegiatan yaitu:
1) Surveilans pasif: program surveilans yang dilaksanakan secara
rutin untuk mendeteksi kasus kejadian keguguran (abortus) pada
ternak betina dewasa dan kemudian diambil sampelnya untuk
uji isolasi bakteriologis
2) Surveilans aktif: program surveilans yang dilaksanakan setahun
sekali untuk mendeteksi reaktor pada populasi ternak dan
mengukur/memantau tingkat prevalensi
Surveilans pasif
 Sistem surveilans dimana Dinas berwenang tidak melaksanakan
pengumpulan informasi penyakit secara pro-aktif, tetapi hanya
menunggu sampai informasi kejadian penyakit dilaporkan
(Cameron 1999)
 Dilakukan pada saat menerima laporan masyarakat mengenai
adanya kasus keguguran (abortus) pada ternak betina dewasa
atau anak lahir lemah/mati yang terjadi pada kelompok ternak
 Dinas berwenang melakukan tindakan respon berupa kunjungan
lapangan untuk mendeteksi kasus keguguran tersebut dengan
pengambilan sampel untuk uji isolasi bakteriologis
 Surveilans pasif merupakan surveilans sindroma (syndromic
surveillance) yang dilaporkan dan dicatat setiap bulannya oleh
Dinas berwenang Kabupaten/Kota
Surveilans aktif
 Sistem surveilans yang menggunakan metode survei
penyakit yang terstruktur untuk mendapatkan informasi
penyakit yang bermutu tinggi secara cepat dan murah
(Cameron 1999)
 Surveilans aktif merupakan program surveilans yang
dilaksanakan secara rutin untuk mendeteksi reaktor pada
populasi ternak
 Reaktor adalah individu ternak yang menunjukkan reaksi
positif terhadap uji serologis
Perbedaan pelaksanaan surveilans pada
ternak potong dan ternak perah
 Pada ternak potong:
- Pengambilan sampel serum ternak sapi dengan dua tahapan uji
serologis, yaitu RBT (Rose Bengal Test) sebagai uji tapis dan dilanjutkan
dengan CFT (Complement Fixation Test) sebagai uji konfirmasi
 Pada ternak perah:
- Pengambilan sampel susu di tempat penampungan susu (TPS) dan
dilakukan uji Milk Ring Test (MRT)
- Apabila MRT menunjukkan hasil positif, maka penelusuran dilakukan
terhadap ternak yang menghasilkan susu yang dikumpulkan secara
kolektif tersebut. Setelah itu dilakukan pengambilan sampel darah dari
masing-masing individu ternak untuk dilakukan uji serologis RBT dan
dilanjutkan dengan CFT
- Apabila MRT menunjukkan hasil negatif, maka tidak perlu dilakukan
penelusuran terhadap asal susu
Alur Pemeriksaan Sampel Brucellosis
Brucellosis
( + )
Brucellosis
( - )
Polymerase Chain
Reaction (PCR)
PCR (+) PCR (-)
Milk Ring Test
(MRT)
MRT (+) MRT (-)
Complement Fixation
Test (CFT)
CFT (+) CFT (-)
Rose Bengal Test
(RBT)
RBT (+) RBT (-)
Uji Tapis
(Screening
Test)
Uji
Konfirmasi
Uji
Bakteriologis
1Laboratorium Tipe B
yang ditunjuk oleh
Kementrian Pertanian
(tingkat PROVINSI )
2Balai Besar Veteriner /
Balai Veteriner
(tingkat REGIONAL )
Laboratorium Tipe B
( Tingkat KABUPATEN )
Sampel SERUMSampel SUSU
Sampel ABORTUSAN, CAIRAN
AMNION, RETENSIO, URINE, LIMPA
Sapi Potong /
Bibit/Kerbau
Sapi Perah
Tiga tujuan Surveilans aktif
1) Surveilans aktif untuk penetapan status awal daerah
 menetapkan tingkat prevalensi dasar (baseline prevalence)
bagi daerah tersangka (prevalensi tidak diketahui)
2) Surveilans aktif untuk pemantauan infeksi/prevalensi
 memonitor tingkat prevalensi sampai ke situasi yang tepat
untuk pemberantasan yaitu tidak lebih dari 0,2%
3) Surveilans aktif untuk pembuktian status bebas (proof of
freedom)
 membuktikan status bebas suatu daerah yang harus
dipertanggungjawabkan secara epidemiologis
Prosedur surveilans aktif
 Sampel serum yang diambil berasal dari ternak sapi dewasa
berumur lebih dari 1 tahun
 Target populasi surveilans harus dibedakan antara sapi potong
dan sapi perah, dan dipisahkan pada saat menghitung tingkat
prevalensinya
 Penghitungan tingkat prevalensi untuk masing-masing jenis
hewan harus dijabarkan menurut tipologi produksi (intensif, semi-
intensif dan ekstensif/digembalakan), dan/atau menurut skala
produksi (peternak rakyat skala rendah, peternak komersial skala
menengah dan peternak komersial skala besar)
 Surveilans setidaknya dilaksanakan setiap tahun sekali, dan
diulang pada tahun-tahun berikutnya hingga tingkat prevalensi
mencapai tidak lebih dari 0,2%
 Pengambilan sampel dilakukan dengan metode “Multi-stage
Sampling” seperti dijelaskan pada Lampiran 2 Masterplan
Besaran sampel
 Perhitungan besaran sampel untuk estimasi prevalensi dapat
didasarkan pada kajian atau data yang telah tersedia sebelumnya
di suatu daerah tertentu (misalnya: digunakan estimasi prevalensi
50% untuk mencapai jumlah maksimum sampel yang dibutuhkan
pada tingkat kepercayaan 95%, dan tingkat kesalahan 0,5%)
 Perhitungan besaran sampel untuk deteksi reaktor bisa dilakukan
dengan menggunakan estimasi prevalensi secara bertahap
berdasarkan data prevalensi pada tahun-tahun sebelumnya
sampai dengan batasan standar yaitu 0,2%
 Perhitungan prevalensi didasarkan pada unit epidemiologi yang
merupakan kumpulan ternak yang sama (homogen) baik dari
aspek jenis ternak maupun sistem pemeliharaannya dalam suatu
wilayah tertentu (OIE 2013). Untuk kondisi Indonesia, unit
epidemiologi dinyatakan sebagai “desa”
Gambar 4: Alur pelaporan data surveilans
CFT
+/Jumlah
sample
Implementasi surveilans aktif
Kegiatan Asumsi dan Pra-kondisi
• Koordinasi pelaksanaan antara Dinas
berwenang Provinsi,
Kabupaten/Kota dan BBV/BV
• Penyiapan metoda pengambilan
sampel sesuai pedoman (multistage
sampling)
• Pengambilan sampel sesuai metoda
• Pengiriman sampel untuk uji RBT ke
labkeswan tipe B/C
• Pengiriman sampel untuk uji CFT ke
BBV/BV atau labkeswan tipe B
• Penyampaian hasil uji CFT ke Dinas
berwenang Provinsi, Kabupaten/
Kota
• Petugas pengambil sampel di
lapangan terlatih
• Tersedia pedoman metoda
pengambilan sampel
• Tersedia pedoman pembuktian bebas
(proof for freedom)
• Manajemen rantai dingin pengiriman
sampel diterapkan
• Identifikasi ternak (kalung, kartu
ternak, ear tag, dsb) bisa
dipertahankan
• Pengadaan antigen cukup
• Kendali mutu (QC) diagnosa berjalan
baik
• Uji profisiensi/banding oleh Lab
referensi berjalan
2) Uji dan potong
 Program depopulasi ternak terinfeksi yang terdeteksi melalui
surveilans dan dilakukan secara kontinyu hingga mencapai
tingkat prevalensi 0,2%
 Reaktor berdasarkan uji serologis CFT positif
 Pemotongan bersyarat dilakukan terhadap reaktor dengan
ketentuan daging hasil pemotongan masih dapat dikonsumsi
sesuai persyaratan kesmavet, namun jeroan dimusnahkan
 Penelusuran (tracing) adalah proses identifikasi reaktor
selama menunggu dilakukannya pemotongan bersyarat dan
terealisasinya pemberian kompensasi. Proses penelusuran
harus didukung dengan pencatatan data (recording) yang
lengkap dan baik, serta penandaan (tagging) untuk identifikasi
ternak (animal identification)
3) Kompensasi
 Dana disediakan oleh Pemerintah Pusat, Provinsi dan
Kabupaten/ Kota dan sumber dana lainnya sesuai peraturan
perundangan yang berlaku
 Mekanisme yang sudah pernah diberlakukan antara lain:
 Besaran kompensasi disesuaikan dengan harga pasar yang
berlaku saat itu atau 70% dari harga yang berlaku. Contoh
penerapan di Pulau Sumbawa ditetapkan setinggi-tingginya Rp.
10 juta
 Besaran kompensasi dengan penggantian harga jeroan saja,
sedangkan daging dapat diperjualbelikan sesuai harga yang
berlaku oleh peternak yang bersangkutan
 Ternak reaktor dibeli oleh pemerintah dan dipotong sebagai
masukkan PAD dan digulirkan kembali. Contoh penerapan di
Provinsi NTT
4) Vaksinasi
 Efektivitas vaksinasi terhadap brucellosis berperan
sangat penting dalam menurunkan tingkat insidensi
dan prevalensi penyakit
 Kebijakan vaksinasi dilaksanakan di daerah tertular
berat yaitu daerah yang prevalensi awalnya diatas 2%
 Pelaksanaan vaksinasi harus diikuti surveilans aktif
yang tingkat sensitivitasnya harus cukup tinggi untuk
mampu mendeteksi infeksi dalam populasi
Prosedur vaksinasi
 Vaksinasi pada tahun pertama dilakukan pada ternak semua tingkatan
umur, terkecuali jantan dan betina sedang bunting
 Vaksinasi pada tahun ke-2 dan seterusnya hanya pada anak sapi umur
3 - 9 bulan yang baru lahir dan sapi yang tidak tervaksin pada tahun
sebelumnya
 Vaksin S-19 (attenuated live vaccine) sebaiknya digunakan untuk anak
sapi umur di bawah 1 tahun, sedangkan untuk ternak berumur lebih
tua dianjurkan menggunakan vaksin RB-51 (live vaccine)
 Berdasarkan kemampuan keuangan pusat dan daerah serta
pertimbangan harga, vaksin yang dianjurkan digunakan untuk sapi
potong adalah S-19, dan untuk sapi perah digunakan RB-51
 Cakupan vaksinasi yang efektif untuk pengendalian brucellosis adalah
minimal 80% dan optimal 100% (NCCR 2012)
 Jika sudah mencapai tingkat prevalensi 2%, maka program vaksinasi
dihentikan dan diganti dengan penerapan prosedur uji dan potong saja
Aspek yang perlu diperhatikan dalam
vaksinasi brucellosis
1) Setiap individu ternak yang divaksin harus diberi
penandaan/identifikasi secara permanen
2) Mengingat keduanya adalah vaksin hidup, maka perlu diperhatikan
potensi bahayanya terhadap manusia khususnya para vaksinator
3) Untuk hasil terbaik dalam penggunaan vaksin S-19, anak sapi divaksin
ketika berusia 3-9 bulan. Kelemahan penggunaan vaksin S-19 adalah
anak sapi yang divaksinasi memiliki antibodi yang dapat bertahan
secara persisten sampai bertahun-tahun dan dapat membingungkan
hasil uji diagnostik (menimbulkan positif palsu)
4) Kelebihan penggunaan vaksin RB-51 adalah hasil uji diagnostik dapat
membedakan antara antibodi hasil vaksinasi dengan infeksi alam
(tidak menimbulkan positif palsu), sehingga dapat digunakan pada
ternak dewasa
5) Manajemen kelompok ternak
 Prosedur yang harus dijalankan oleh peternak untuk
mendukung program pemberantasan brucellosis
 Manajemen harus dilaksanakan secara rutin, tetapi yang
sangat penting diperhatikan dalam kaitannya dengan
brucellosis adalah pada saat terdeteksi kasus keguguran
 Manajemen kelompok ternak diterapkan sebagai berikut:
 Memisahkan ternak bunting dari ternak yang lain, baik dengan
cara dikandangkan secara terpisah pada sistem pemeliharaan
intensif maupun dipisahkan dari kelompok ternak jika dilakukan
proses penggembalaan
 Memisahkan kelompok ternak dimana ditemukan reaktor positif
dari kelompok kawanan ternak lainnya
 Menerapkan prosedur penandaan dan pendataan pada individu
ternak secara kontinyu
6) Karantina dan pengendalian lalu
lintas ternak
 Persyaratan bagi ternak yang akan dilalulintaskan antar daerah,
antar provinsi dalam satu pulau, dan antar pulau adalah:
(1) Semua ternak yang dilalulintaskan antar daerah, antar provinsi
dalam satu pulau atau antar pulau dengan syarat harus memiliki
SKKH yang dikeluarkan oleh Dokter Hewan Berwenang dari Dinas
yang menangani fungsi Kesehatan hewan di daerah asal
(2) Khusus untuk pencegahan brucellosis, ternak tersebut harus
dilengkapi dengan dokumen sebagai berikut:
 Surat Keterangan Vaksinasi terhadap Brucellosis yang dikeluarkan oleh
Dokter Hewan Berwenang dari Dinas yang menangani fungsi Kesehatan
hewan di daerah asal; dan/atau
 Surat Keterangan Hasil Uji Serologik terhadap Brucellosis dari
Laboratorium Kesehatan Hewan berwenang yang menyatakan hasil
negatif
Pengambilan sampel
 Pengambilan sampel tidak dilakukan pada sapi jantan kastrasi,
sedangkan pada sapi betina bibit dilakukan 100%
 Pengambilan sampel dilakukan untuk sapi potong yang berasal dari
daerah tertular dan tidak langsung dipotong di RPH. Jika sapi siap
potong langsung dipotong ke RPH tidak perlu pengambilan sampel
 Pengujian dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara yaitu:
- Di daerah pengeluaran (asal), pengujian dilakukan dengan RBT sebanyak 2
kali oleh Dinas berwenang setempat dengan selang waktu antara uji
pertama dan kedua sekurang-kurangnya 30 hari dan paling lambat 60 hari
- Di daerah pengeluaran, pengujian dilakukan dengan RBT sebanyak 1 kali
oleh Dinas berwenang setempat dan dilanjutkan dengan uji kedua di
Dinas Peternakan tujuan (antar daerah & Provinsi dalam satu pulau) dan
dilakukan di stasiun/pos karantina (antar pulau) dengan selang waktu
antara uji pertama dan kedua sekurang-kurangnya 30 hari dan paling
lambat 60 hari
Implementasi karantina dan
pengendalian lalu lintas
Kegiatan Asumsi dan Pra-kondisi
• Koordinasi jajaran karantina dengan
Dinas berwenang Provinsi/Kab/Kota
• Pengambilan sampel oleh Dinas
berwenang Provinsi/Kab/Kota /Stasiun
Karantina untuk antar area; Balai
Karantina Kelas I/II untuk antar
provinsi/pulau
• Pengujian RBT oleh Labkeswan tipe
B/C/Lab karantina
• Pengujian CFT oleh BBV/BV /Labkeswan
tipe B
• Penetapan ternak positif berdasarkan
hasil uji CFT
• Penolakan ternak positif dilalulintaskan
dan dilakukan prosedur uji dan potong
• Penerapan tindakan berdasarkan
uji dan potong dapat diterapkan
melalui koordinasi jajaran
karantina dengan Dinas berwenang
Provinsi/Kab/Kota
• Penerimaan hasil uji tepat waktu
• Pemilik dan pedagang ternak
memahami ketentuan lalu lintas
ternak
7) Peningkatan kesadaran masyarakat
 Program ini dapat dilakukan dengan membangun kerjasama
Dinas berwenang dengan peternak melalui perkumpulan sosial
kemasyarakatan baik formal maupun informal, misalnya
kelompok ternak, koperasi, asosiasi pedagang sapi/kerbau,
dlsbnya
• Banyak bentuk partisipasi masyarakat yang diperlukan untuk
keberhasilan program pemberantasan brucellosis, antara lain:
- aktif melaporkan kasus keguguran
- aktif melakukan penandaan ternak
- kooperatif mengikuti proses dan prosedur pemeriksaan brucellosis
- kooperatif menerima dan melaksanakan prosedur pemotongan
bersyarat dan prosedur kompensasi yang menyertainya
Lokakarya Penyusunan Masterplan Pengendalian dan Penanggulangan
Penyakit Hewan Menular Strategis (PHMS)
Bogor, 12-13 November 2013
1) Pengorganisasian dan manajemen
 Pengorganisasian dan manajemen program pemberantasan
brucellosis dipegang oleh:
- Pemerintah
- Pemerintah Provinsi
- Pmerintah Kabupaten/Kota
yang harus dilakukan bersama-sama dengan jajaran Badan
Karantina Pertanian sebagai pemegang otoritas dalam
pengendalian lalu lintas ternak beserta seluruh jajarannya
mulai dari Balai Karantina Kelas I/II sampai Stasiun Karantina
yang berada di berbagai daerah
ALUR PENGORGANISASIAN DAN MANAJEMEN BRUCELLOSIS
• Vaksinasi
• Uji dan potong
• Pengambilan sampel
• Pengambilan sampel
DITJENNAKKESWAN
BADAN
KARANTINA
PERTANIAN
PUSAT KARANTINA
HEWANKOORDINASI
BALAI KARANTINA
KELAS I/II
TERNAK YANG
DILALULINTASKAN
ANTAR PULAU/AREA
BBV/BV
LAB KESWAN
TIPE B
LAB KARANTINA
(HANYA KELAS I)
BALAI BESAR
KARANTINA
PERTANIAN
POPULASI TERNAK
DITKESWAN
DINAS
BERWENANG
PROVINSI
STASIUN
KARANTINA
DINAS
BERWENANG
KABUPATEN
LAB KESWAN
TIPE C
KOORDINASI
KOORDINASI
Pembentukan Tim Koordinasi
 Untuk mewujudkan koordinasi yang efektif sebagaimana disebutkan
diatas, perlu dibentuk Tim Koordinasi (Tikor) Pemberantasan
Brucellosis mulai dari tingkat pusat hingga ke tingkat kabupaten/kota
 Tim dibentuk berdasarkan Surat Keputusan resmi dari Pemerintah,
dan Pemerintah Daerah di masing-masing tingkatan. Untuk tingkat
nasional oleh Menteri Pertanian, sedangkan di tingkat provinsi oleh
Gubernur, dan di tingkat kabupaten/kota oleh Bupati/Walikota
 Tim Koordinasi di tingkat nasional terdiri atas perwakilan dari
Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, BBV/BPPV,
Pusvetma, Badan Karantina Pertanian, dan asosiasi di bidang
peternakan dan kesehatan hewan
 Tim Koordinasi di tingkat provinsi dan kabupaten/kota terdiri atas
perwakilan dari Dinas berwenang, laboratorium kesehatan hewan,
karantina, dan asosiasi di bidang peternakan dan kesehatan hewan
1a) Peran dan tanggung jawab
Pemerintah (Ditkeswan)
(1) Membuat pedoman nasional yang ditetapkan melalui keputusan
Menteri Pertanian (sebagai pengganti SK Mentan No.828/Kpts/OT.210/10/98)
(2) Membuat surat edaran ke provinsi
(3) Melakukan koordinasi dengan instansi terkait (jajaran karantina)
(4) Membuat Nota Kesepahaman dengan asosiasi peternak (seperti
GKSI, PPSKI, APFINDO, dsb)
(5) Melaksanakan rapat koordinasi tingkat nasional
(6) Melaksanakan pelatihan dan lokakarya
(7) Membuat analisa kerugian ekonomi secara nasional
(8) Menyiapkan pendanaan untuk vaksin, operasional vaksinasi,
antigen, operasional diagnostik, dan operasional surveilans
(9) Menyiapkan materi dan sarana KIE
(10) Melaksanakan surveilans aktif untuk pembuktian status bebas
dan pelaporannya (oleh BBV/BV)
(11) Melakukan monev
1b) Peran dan tanggung jawab
Dinas berwenang Provinsi
(1) Membuat petunjuk pelaksanaan (juklak) berdasarkan pedoman nasional yang
ditetapkan dengan keputusan gubernur
(2) Membuat surat edaran ke kabupaten
(3) Melaksanakan koordinasi dengan instansi terkait (komda, jajaran karantina)
(4) Membuat rencana pemberantasan dan analisa ekonomi
(5) Membentuk tim pemberantasan (staf provinsi, staf kabupaten /kota, BBV/BV,
karantina, pengurus koperasi, dlsbnya)
(6) Membuat Nota Kesepahaman dengan asosiasi peternak (seperti GKSI, PPSKI,
APFINDO, dsb)
(7) Menerbitkan surat keterangan kesehatan hewan (SKKH) dengan dilampiri hasil
uji laboratorium, untuk ternak yang akan dilalu lintaskan antar provinsi
(8) Melaksanakan rapat koordinasi tingkat provinsi
(9) Melaksanakan pelatihan dan lokakarya
(10) Menyiapkan pendanaan untuk vaksin dan antigen, operasional vaksinasi,
operasional surveilans, dan kompensasi
(11) Melaporkan hasil surveilans, vaksinasi dan uji/potong ke pusat setelah
agregasi dan konsolidasi seluruh laporan kabupaten/kota
(12) Menyiapkan materi dan sarana KIE, dan melaksanakan KIE
(13) Melaksanakan monev
1c) Peran dan tanggung jawab
Dinas berwenang Kabupaten/Kota
(1) Membuat petunjuk teknis (juklnis) berdasarkan petunjuk pelaksanaan dan
pedoman nasional yang ditetapkan dengan keputusan pimpinan daerah
(2) Membuat rencana operasional pemberantasan dan analisa ekonomi
(3) Melaksanakan koordinasi dengan instansi terkait
(4) Membentuk tim pemberantasan (staf kabupaten, staf instansi terkait,
pengurus asosiasi pedagang ternak);
(5) Melaksanakan rapat tingkat kabupaten;
(6) Menerbitkan surat keterangan kesehatan hewan (SKKH) dengan dilampiri
hasil uji laboratorium, untuk ternak yang dilalu lintaskan antar kabupaten
(8) Menyiapkan pendanaan untuk vaksin, bahan dan peralatan, operasional
surveilans, operasional vaksinasi, dan kompensasi
(9) Menyiapkan pendanaan untuk penandaan/identifikasi ternak
(10) Menyiapkan pendanaan untuk pembuatan kandang jepit
(11) Melakukan operasionalisasi pemberantasan
(12) Melaporkan data surveilans, vaksinasi dan uji/potong ke provinsi
(13) Menyiapkan sarana KIE (sosialisasi, media dlsbnya), dan melaksanakan KIE
(14) Melakukan monev
2) Pelibatan pihak terkait
 Untuk mendukung program pemberantasan brucellosis,
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah perlu
membentuk kelompok tenaga ahli dari lembaga
penelitian dan universitas, terutama dalam upaya
melaksanakan peningkatan kapasitas dalam bentuk
pelatihan, lokakarya dan/atau forum nasional
 Perlu melibatkan pihak swasta seperti koperasi, LSM dan
pihak lainnya seperti asosiasi peternak, asosiasi pedagang
ternak sesuai dengan perannya masing-masing
3) Implementasi vaksinasi
Kegiatan Asumsi dan Pra-kondisi
• Penyediaan vaksin dan logistik vaksinasi
• Koordinasi pelaksanaan antara Dinas
berwenang Kabupaten/Kota dengan
Provinsi, Ditkeswan dan Pusvetma
• Pelaksanaan vaksinasi pada semua
tingkatan umur sapi pada tahun
pertama
• Pelaksanaan vaksinasi pada anak sapi
umur 3-9 bulan dan anak kelahiran
baru juga sapi yang belum divaksin
(pada tahun ke-2 s/d ke-4)
• Evaluasi vaksinasi dengan surveilans
untuk membedakan ternak yang
divaksinasi dan tidak
• Kebutuhan vaksin terencana dengan baik
melalui koordinasi antara Ditkeswan,
Dinas berwenang Provinsi dan
Kabupaten/Kota
• Dinas menyediakan logistik vaksinasi dan
biaya operasional
• Pengadaan kandang jepit permanen atau
temporer
• Setiap ternak yang divaksinasi harus
diberi tanda/diidentifikasi
• Jumlah vaksin yang tersedia sesuai
kebutuhan cakupan vaksinasi
• Rantai dingin vaksin berjalan efektif
• Kemampuan uji yang membedakan
antara ternak divaksinasi atau tidak
(false positive)
• Setiap ternak yang divaksin diberikan
surat keterangan vaksinasi
4) Implementasi Uji & Potong dan Kompensasi
Kegiatan Asumsi dan Pra-kondisi
• Koordinasi pelaksanaan antara Dinas
berwenang Kabupaten/Kota,
Provinsi dan pemilik ternak
• Melakukan penelusuran terhadap
reaktor setelah mendapatkan hasil
CFT dari BBV/BV
• Pencatatan data reaktor oleh Dinas
berwenang Kabupaten/Kota
• Melakukan pemotongan terhadap
reaktor sesuai prosedur yang
ditetapkan
• Mengatur dan menyalurkan ganti
rugi/kompensasi bagi peternak
pemilik ternak reaktor
• Hasil uji CFT dari BBV/BV diterima
Dinas berwenang Kabupaten/Kota
• Identifikasi/registrasi ternak pada
saat dilakukan pengambilan sampel
dapat ditelusuri untuk penetapan
ternak reaktor
• Dana kompensasi tersedia sesuai
kebutuhan jumlah reaktor
• Jarak waktu antara pengiriman hasil
uji CFT dengan penelusuran reaktor
tidak terlambat
• Kesadaran pemilik ternak untuk
merelakan ternaknya dipotong
• Ternak belum dijual atau dipindahkan
oleh pemilik ternak
5) Sistim informasi
iSIKHNAS yaitu sistem informasi yang sekarang sedang dikembangkan
dengan bantuan DAFFmelalui program AIP-EID, dimana databasenya
dirancang secara terintegrasi untuk nantinya dapat digunakan dalam
aplikasi khusus seperti surveilans brucellosis
1) Surveilans pasif
 Pencatatan data rutin melalui sistem informasi (SMS gateway, i-SIKHNAS
dll) oleh Dinas berwenang Provinsi, Kabupaten/Kota
2) Surveilans aktif untuk penetapan status awal/ pemantauan infeksi
 Pencatatan data oleh Dinas berwenang Kabupaten
 Pelaporan (i-SIKHNAS) ke Dinas berwenang Provinsi
3) Surveilans aktif untuk pembuktian status bebas
 Pencatatan dan analisa data oleh BBV/BV bekerjasama dengan Dinas
berwenang Provinsi/Kabupaten/Kota (InfoLAB, i-SIKHNAS)
 Pelaporan ke Pusat oleh BBV/BV
6) Identifikasi ternak
 Dengan identifikasi ternak, mudah dilakukan pengawasan terhadap
individu ternak/kelompok ternak, penelusuran kembali (tracing
back) ternak reaktor, dan informasi tentang status kesehatan
ternak (sudah divaksin atau belum, sudah pernah diuji terhadap
brucellosis, pernah mengalami keguguran, dlsbnya)
 Alternatif muncul dalam melakukan identifikasi ternak, seperti:
 Penggunaan cat yang diberikan tanda “S” untuk reaktor
 Pengunaan kartu hewan untuk mengindikasikan bahwa ternak
sudah divaksin atau sudah pernah diuji terhadap brucellosis
 Pemberian kalung yang digantungkan di leher sebagai pembeda
dengan sapi yang belum divaksin
 Tidak dibahas secara spesifik dalam Masterplan mengenai sistem
identifikasi ternak secara nasional dan pilihan diserahkan kepada
pemerintah provinsi/kabupaten/kota disesuaikan dengan situasi
dan kondisi serta budaya masyarakat setempat
7) Dukungan regulasi terkait brucellosis
Aspek Regulasi
Pengendalian dan pemberantasan UU No. 18/2009 Pasal 39 (1)
Surveilans UU No. 18/2009 Pasal 40 (1)
SK Mentan No. 828/Kpts/OT.210/10/1998
Pelaporan penyakit oleh peternak UU No. 18/2009 Pasal 45 (1)
Pengendalian lalu lintas ternak UU No. 18/2009 Pasal 42 (5)
SK Mentan No. 828/Kpts/OT.210/10/1998
Pelarangan lalu lintas hewan dan
produk hewan dari daerah
tertular/tersangka ke daerah bebas
UU No. 18/2009 Pasal 45 (5)
Kep. KaBarantan No. 355.a/Kpts/PD.670.320/L/
9/2008
Depopulasi UU No. 18/2009 Pasal 44 (1) – tidak spesifik uji
dan potong, diperbaiki dalam RPP
Uji dan potong SK Mentan No. 828/Kpts/OT.210/10/1998
Kompensasi UU No. 18/2009 Pasal 44 (3) – tidak jelas,
diperbaiki dalam RPP
8) Pendanaan
 APBN
 APBD Provinsi
 APBD Kabupaten/Kota
 Swasta (Koperasi, asosiasi pedagang ternak dlsbnya)
 Negara/lembaga donor
Tabel 5: Pembagian tanggung jawab dalam
pembiayaan program
No. Kategori Sumber Pendanaan Pemerintah Sumber lainnya
Pusat Provinsi Kabupaten/Kota
1 Vaksin dan vaksinasi
a. Vaksin √ √ √ √
b. Logistik √ √ √ √
c. Operasional √ √ √ √
d. Training vaksinator
dan petugas lapang
- √ √ -
2 Surveillans √ √ √ -
a. Antigen √ √ - -
b. Operasional √ √ √ -
c. Training √ √ - -
3 Kompensasi √ √ √ -
4 KIE
a. Media dan sarana √ √ - -
b. Operasional - √ √ √
5 Identifikasi ternak - √ √ √
6 Penyediaan kandang
jepit
- - √ √
7 Monev √ √ √ -
9) Komunikasi, Informasi dan Edukasi
 KIE dapat dilakukan secara lebih efektif dan menyeluruh apabila
dilakukan pelibatan masyarakat secara langsung, seperti kader,
kelompok ternak, tokoh peternak, pengurus koperasi, dlsbnya
 Bentuk informasi dapat diberikan melalui media visual, seperti brosur,
poster, kartun, komik maupun media visual lainnya
 Isi pesan yang disampaikan bisa meliputi hewan apa saja yang peka
terhadap brucellosis, cara penularan, gejala hewan terkena brucellosis,
penularan ke manusia, kerugian ekonomi yang ditimbulkan,
pencegahan penyakit, manajemen kelompok ternak, dlsbnya
 Dalam edukasi peternak, sangat perlu diberikan penjelasan tentang
dampak brucellosis yang mudah dikenali yaitu keguguran (abortus),
sehingga para peternak cepat melaporkan setiap kejadian keguguran
yang terjadi pada sapi betinanya atau pada kelompok ternaknya
10) Monitoring dan evaluasi
 Monitoring dan evaluasi dilakukan oleh masing-masing
organisasi/kelembagaan yang memegang peranan dalam
program pemberantasan brucellosis sesuai dengan
tingkatan hirarkinya
 Direktorat Kesehatan Hewan dapat mengikutsertakan
lembaga penelitian, universitas dan/atau LSM untuk
melaksanakan monitoring dan evaluasi
 Dinas berwenang Provinsi dan Kabupaten/Kota dapat
bekerjasama dengan BV/BBV dan/atau Laboratorium
Kesehatan Hewan tipe B dalam melakukan monitoring
dan evaluasi secara berkala, dengan memantau hasil kerja
di lapangan dengan alat kuesioner maupun uji serologis
Lokakarya Penyusunan Masterplan Pengendalian dan Penanggulangan
Penyakit Hewan Menular Strategis (PHMS)
Bogor, 12-13 November 2013
Tahapan untuk masing-masing
klasifikasi daerah
 Tahapan kegiatan secara keseluruhan untuk masing-masing
klasifikasi daerah yaitu daerah tersangka, daerah tertular ringan
(prevalensi < 2%), dan tertular berat (prevalensi > 2%)
 Tahapan:
(1) Penetapan status awal daerah (tahun ke-1)
(2) Operasionalisasi pemberantasan (tahun ke-2 s/d 4)
(3) Surveilans untuk pemantauan prevalensi (tahun ke-5 s/d 7)
(4) Surveilans untuk pembuktian status bebas
 Lamanya masing-masing tahapan hanya bersifat indikatif dan
bergantung kepada keberhasilan dalam mengatasi asumsi
prakondisi seperti yang dijelaskan pada Lampiran 1 Masterplan
Operasionalisasi pemberantasan
 Lamanya operasionalisasi pemberantasan bergantung kepada
banyak faktor termasuk aspek kesisteman, infrastruktur dan
sumberdaya lainnya yang digunakan untuk mendukung
pencapaian sasaran dan tujuan pemberantasan
 Apabila semua strategi di atas dilaksanakan sesuai prosedur
dan berjalan efektif, maka diasumsikan:
- Daerah tertular ringan (prevalensi < 2%) paling tidak dibutuhkan
waktu 3 tahun dengan penekanan strategi pada uji dan potong
- Daerah tertular berat (prevalensi > 2%) paling tidak dibutuhkan
waktu 4 tahun dengan kombinasi vaksinasi dan uji dan potong
 Jika tingkat prevalensi di daerah tertular berat sudah mencapai
< 2%, maka program vaksinasi dihentikan dan dilanjutkan
hanya dengan kebijakan uji dan potong saja
Tahapan kegiatan
Operasionalisasi pemberantasan
()
Surveilans untuk
pemantauan
Prevalensi
(tahun ke- s/d ke-11)
Surveilans
untuk
pembuktian
status
bebas pada
tahun ke-12
Deklarasi
Status bebas
Prevalensi
Dasar
(baseline
prevalence)
DAERAH TERTULAR RINGAN (prevalensi < 2%)
DAN TERTULAR BERAT (prevalensi > 2%)
DAERAH
TERSANGKA
1
Penentuan
prevalensi
dasar
2
1. Penentuanklasifikasizona
2. Penentuan tahap
3. Buatprogrampemberantasan
3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
DAERAH TERTULAR RINGAN
(prevalensi < 2%)
Tahun ke-
Skema 1: Daerah tersangka (prevalensi tidak diketahui)
• Tahun ke-1 untuk penentuan pevalensi dasar
• Setelahnya jangka waktu yang dibutuhkan untuk
pembebasan bergantung kepada klasifikasi daerah (tertular
ringan menjadi 6 tahun dan tertular berat menjadi 10 tahun)
DAERAH TERTULAR BERAT
(prevalensi > 2%)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Surveilansaktif
denganhasil
negatifatau
prevalensisangat
rendah(<0,2%)
Surveilansaktif
untukpembuktian
statusbebas
Sero-survei dengan uji
danpotongsampai tingkat
prevalensisangatrendah
Skema 2: Daerah tertular ringan (prevalensi < 2%)
Tahun ke-
• Tidak ada vaksinasi
• Jangka waktu yang dibutuhkan untuk
pembebasan apabila berjalan efektif
adalah 5 - 6 tahun
1
Vaksinasi
semua
tingkatan
umur
2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Vaksinasi
semua
anaksapi
3 - 9bulan
Surveilansaktifdengan
hasilnegatif/prevalensi
sangatrendah <0,2%
dan vaksinasi sudah
dihentikan
Surveilansaktif
untukpembuktian
statusbebas
Sero-surveidengan
ujidanpotong
Tahun ke-
Skema 3: Daerah tertular berat (prevalensi > 2%)
• Vaksinasi dan uji dan potong sampai tingkat
prevalensi < 2%
• Jangka waktu yang dibutuhkan untuk pembebasan
apabila berjalan efektif adalah 10 tahun
Serosurvei
denganujidan
potongsaja
Prevalensi
< 2%
INDIKATOR PENCAPAIAN YANG TERVERIFIKASI
(Artikel 11.3.1–11.3.9 OIE Terrestrial Animal Health Code (2012)
1. Brucellosis pada sapi atau dugaan keberadaan kasus di negara atau
wilayah tersebut harus dilaporkan
2. Seluruh negara/wilayah berada dibawah pengawasan aparat
keswan dan rata-rata prevalensi tidak lebih dari 0,2%
3. Pengujian serologis terhadap brucellosis pada sapi dilakukan
secara periodik untuk setiap kelompok ternak, dengan atau tanpa
uji cincin susu (Milk Ring Test)
4. Tidak ada vaksinasi brucellosis sekurang-kurangnya 3 tahun
5. Semua reaktor telah dipotong
6. Pemasukan hewan ke negara atau wilayah bebas brucellosis harus
hanya berasal dari kelompok ternak yang dinyatakan secara resmi
bebas dari brucellosis pada sapi
Prosedur deklarasi bebas brucellosis
suatu daerah secara resmi
1) Seluruh Persyaratan OIE terpenuhi dan dinyatakan dengan
laporan BBV/BV yang memverifikasi situasi tiga tahun terakhir
dan melakukan surveilans untuk pembuktian status bebas;
2) Sistem karantina dan pengendalian lalu lintas ternak di daerah
tersebut terutama pengawasan terhadap ternak-ternak yang
dimasukkan dari luar daerah dan antar area berjalan sesuai
persyaratan yang ditetapkan;
3) Adanya surat dari Kepala Daerah/Gubernur
4) Adanya surat rekomendasi dan laporan dari BBV/BV;
5) Disetujui dalam rapat Komisi Ahli Kesehatan Hewan; dan
6) Ditetapkan dengan Keputusan Menteri Pertanian
Faktor kritis untuk sukses
1) Komitmen pemerintah yang kuat
 Otoritas peternakan dan kesehatan hewan (kabupaten, provinsi,
pusat)
 Laboratorium (provinsi, regional)
 Karantina (pos, stasiun, regional, dan pusat)
2) Dukungan dan komitmen produsen ternak
 Kelompok industri: peternak, pedagang
 Sektor pemasaran: pasar hewan, RPH
3) Pengorganisasian dan manajemen
4) Sistem informasi (alur hasil laboratorium dan
lapangan)
5) Identifikasi ternak
6) Penilaian ekonomi (Economic asessment)
Tri Satya Putri Naipospos
Andri Jatikusumah, Winda Widyastuti,
Erianto Nugroho, Ridvana Dwibawa,
Sunandar, dan Nofita Nurbiyanti

More Related Content

What's hot

Posedur Stamping Out (Babi Domestik) - Jakarta, 24-25 Oktober 2019
Posedur Stamping Out (Babi Domestik) - Jakarta, 24-25 Oktober 2019Posedur Stamping Out (Babi Domestik) - Jakarta, 24-25 Oktober 2019
Posedur Stamping Out (Babi Domestik) - Jakarta, 24-25 Oktober 2019Tata Naipospos
 
Peran Veteriner Dalam Pengendalian Zoonosis Berbasis One Health - Sekolah Keb...
Peran Veteriner Dalam Pengendalian Zoonosis Berbasis One Health - Sekolah Keb...Peran Veteriner Dalam Pengendalian Zoonosis Berbasis One Health - Sekolah Keb...
Peran Veteriner Dalam Pengendalian Zoonosis Berbasis One Health - Sekolah Keb...Tata Naipospos
 
Kesiagaan Darurat Wabah Penyakit Hewan - Australia Indonesia Partnership Emer...
Kesiagaan Darurat Wabah Penyakit Hewan - Australia Indonesia Partnership Emer...Kesiagaan Darurat Wabah Penyakit Hewan - Australia Indonesia Partnership Emer...
Kesiagaan Darurat Wabah Penyakit Hewan - Australia Indonesia Partnership Emer...Tata Naipospos
 
Persyaratan Negara atau Zona Bebas PMK Menurut WOAH - Ditkeswan-AIHSP, Bogor,...
Persyaratan Negara atau Zona Bebas PMK Menurut WOAH - Ditkeswan-AIHSP, Bogor,...Persyaratan Negara atau Zona Bebas PMK Menurut WOAH - Ditkeswan-AIHSP, Bogor,...
Persyaratan Negara atau Zona Bebas PMK Menurut WOAH - Ditkeswan-AIHSP, Bogor,...Tata Naipospos
 
Surveilans Berbasis Risiko - BVet Lampung, Bandar Lampung, 2 April 2014
Surveilans Berbasis Risiko - BVet Lampung, Bandar Lampung, 2 April 2014Surveilans Berbasis Risiko - BVet Lampung, Bandar Lampung, 2 April 2014
Surveilans Berbasis Risiko - BVet Lampung, Bandar Lampung, 2 April 2014Tata Naipospos
 
Tindak Lanjut PP No. 3/2107 tentang Otoritas Veteriner - Ditkeswan, 16 Maret ...
Tindak Lanjut PP No. 3/2107 tentang Otoritas Veteriner - Ditkeswan, 16 Maret ...Tindak Lanjut PP No. 3/2107 tentang Otoritas Veteriner - Ditkeswan, 16 Maret ...
Tindak Lanjut PP No. 3/2107 tentang Otoritas Veteriner - Ditkeswan, 16 Maret ...Tata Naipospos
 
Surveilans dan Monitoring Vaksinasi Untuk Pengendalian PMK - RAKOR BVet Bukit...
Surveilans dan Monitoring Vaksinasi Untuk Pengendalian PMK - RAKOR BVet Bukit...Surveilans dan Monitoring Vaksinasi Untuk Pengendalian PMK - RAKOR BVet Bukit...
Surveilans dan Monitoring Vaksinasi Untuk Pengendalian PMK - RAKOR BVet Bukit...Tata Naipospos
 
Persyaratan Kelompok Ternak Bebas Brucellosis - Presentasi Zoom, 1 Maret 2021
Persyaratan Kelompok Ternak Bebas Brucellosis - Presentasi Zoom, 1 Maret 2021Persyaratan Kelompok Ternak Bebas Brucellosis - Presentasi Zoom, 1 Maret 2021
Persyaratan Kelompok Ternak Bebas Brucellosis - Presentasi Zoom, 1 Maret 2021Tata Naipospos
 
Kesiagaan dan Respons Darurat Wabah Penyakit Mulut dan Kuku - Dr. B The Vet S...
Kesiagaan dan Respons Darurat Wabah Penyakit Mulut dan Kuku - Dr. B The Vet S...Kesiagaan dan Respons Darurat Wabah Penyakit Mulut dan Kuku - Dr. B The Vet S...
Kesiagaan dan Respons Darurat Wabah Penyakit Mulut dan Kuku - Dr. B The Vet S...Tata Naipospos
 
Penyakit-Penyakit Yang Wajib Dilaporkan (Notifiable Diseases) - Ditkeswan, 1 ...
Penyakit-Penyakit Yang Wajib Dilaporkan (Notifiable Diseases) - Ditkeswan, 1 ...Penyakit-Penyakit Yang Wajib Dilaporkan (Notifiable Diseases) - Ditkeswan, 1 ...
Penyakit-Penyakit Yang Wajib Dilaporkan (Notifiable Diseases) - Ditkeswan, 1 ...Tata Naipospos
 
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit ASF, LSD, PMK, dan AI pada Burung Liar -...
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit ASF, LSD, PMK, dan AI pada Burung Liar -...Pencegahan dan Pengendalian Penyakit ASF, LSD, PMK, dan AI pada Burung Liar -...
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit ASF, LSD, PMK, dan AI pada Burung Liar -...Tata Naipospos
 
Analisis Situasi Penyakit Mulut dan Kuku di India (Bag. 2) - Ditjen PKH, Bogo...
Analisis Situasi Penyakit Mulut dan Kuku di India (Bag. 2) - Ditjen PKH, Bogo...Analisis Situasi Penyakit Mulut dan Kuku di India (Bag. 2) - Ditjen PKH, Bogo...
Analisis Situasi Penyakit Mulut dan Kuku di India (Bag. 2) - Ditjen PKH, Bogo...Tata Naipospos
 
Penggolongan Penyakit Hewan Karantina - Pusat Karantina Hewan dan Keamanan Ha...
Penggolongan Penyakit Hewan Karantina - Pusat Karantina Hewan dan Keamanan Ha...Penggolongan Penyakit Hewan Karantina - Pusat Karantina Hewan dan Keamanan Ha...
Penggolongan Penyakit Hewan Karantina - Pusat Karantina Hewan dan Keamanan Ha...Tata Naipospos
 
Komunikasi Risiko Pemasukan Ternak & Produk Hewan dari Negara Belum Bebas PMK...
Komunikasi Risiko Pemasukan Ternak & Produk Hewan dari Negara Belum Bebas PMK...Komunikasi Risiko Pemasukan Ternak & Produk Hewan dari Negara Belum Bebas PMK...
Komunikasi Risiko Pemasukan Ternak & Produk Hewan dari Negara Belum Bebas PMK...Tata Naipospos
 
Kesiapsiagaan Penyakit Mulut dan Kuku - Rapat Koordinasi Balai Besar Veterine...
Kesiapsiagaan Penyakit Mulut dan Kuku - Rapat Koordinasi Balai Besar Veterine...Kesiapsiagaan Penyakit Mulut dan Kuku - Rapat Koordinasi Balai Besar Veterine...
Kesiapsiagaan Penyakit Mulut dan Kuku - Rapat Koordinasi Balai Besar Veterine...Tata Naipospos
 
PENYAKIT REPRODUKSI TERNAK
PENYAKIT REPRODUKSI TERNAKPENYAKIT REPRODUKSI TERNAK
PENYAKIT REPRODUKSI TERNAKbibbanyumulek
 
Kajian singkat Lumpy Skin Disease - Ditkeswan, Jakarta, 26 Februari 2019
Kajian singkat Lumpy Skin Disease -  Ditkeswan, Jakarta, 26 Februari 2019Kajian singkat Lumpy Skin Disease -  Ditkeswan, Jakarta, 26 Februari 2019
Kajian singkat Lumpy Skin Disease - Ditkeswan, Jakarta, 26 Februari 2019Tata Naipospos
 
Strategi Vaksinasi Lumpy Skin Disease (LSD) - Ditkeswan-AIHSP, 4-6 Januari 2022
Strategi Vaksinasi Lumpy Skin Disease (LSD) - Ditkeswan-AIHSP, 4-6 Januari 2022Strategi Vaksinasi Lumpy Skin Disease (LSD) - Ditkeswan-AIHSP, 4-6 Januari 2022
Strategi Vaksinasi Lumpy Skin Disease (LSD) - Ditkeswan-AIHSP, 4-6 Januari 2022Tata Naipospos
 
Peran Aktif Karantina Hewan dalam Mengelola Risiko - Pusat KH dan Kehani, BAR...
Peran Aktif Karantina Hewan dalam Mengelola Risiko - Pusat KH dan Kehani, BAR...Peran Aktif Karantina Hewan dalam Mengelola Risiko - Pusat KH dan Kehani, BAR...
Peran Aktif Karantina Hewan dalam Mengelola Risiko - Pusat KH dan Kehani, BAR...Tata Naipospos
 

What's hot (20)

Posedur Stamping Out (Babi Domestik) - Jakarta, 24-25 Oktober 2019
Posedur Stamping Out (Babi Domestik) - Jakarta, 24-25 Oktober 2019Posedur Stamping Out (Babi Domestik) - Jakarta, 24-25 Oktober 2019
Posedur Stamping Out (Babi Domestik) - Jakarta, 24-25 Oktober 2019
 
Peran Veteriner Dalam Pengendalian Zoonosis Berbasis One Health - Sekolah Keb...
Peran Veteriner Dalam Pengendalian Zoonosis Berbasis One Health - Sekolah Keb...Peran Veteriner Dalam Pengendalian Zoonosis Berbasis One Health - Sekolah Keb...
Peran Veteriner Dalam Pengendalian Zoonosis Berbasis One Health - Sekolah Keb...
 
Kesiagaan Darurat Wabah Penyakit Hewan - Australia Indonesia Partnership Emer...
Kesiagaan Darurat Wabah Penyakit Hewan - Australia Indonesia Partnership Emer...Kesiagaan Darurat Wabah Penyakit Hewan - Australia Indonesia Partnership Emer...
Kesiagaan Darurat Wabah Penyakit Hewan - Australia Indonesia Partnership Emer...
 
Persyaratan Negara atau Zona Bebas PMK Menurut WOAH - Ditkeswan-AIHSP, Bogor,...
Persyaratan Negara atau Zona Bebas PMK Menurut WOAH - Ditkeswan-AIHSP, Bogor,...Persyaratan Negara atau Zona Bebas PMK Menurut WOAH - Ditkeswan-AIHSP, Bogor,...
Persyaratan Negara atau Zona Bebas PMK Menurut WOAH - Ditkeswan-AIHSP, Bogor,...
 
Surveilans Berbasis Risiko - BVet Lampung, Bandar Lampung, 2 April 2014
Surveilans Berbasis Risiko - BVet Lampung, Bandar Lampung, 2 April 2014Surveilans Berbasis Risiko - BVet Lampung, Bandar Lampung, 2 April 2014
Surveilans Berbasis Risiko - BVet Lampung, Bandar Lampung, 2 April 2014
 
Tindak Lanjut PP No. 3/2107 tentang Otoritas Veteriner - Ditkeswan, 16 Maret ...
Tindak Lanjut PP No. 3/2107 tentang Otoritas Veteriner - Ditkeswan, 16 Maret ...Tindak Lanjut PP No. 3/2107 tentang Otoritas Veteriner - Ditkeswan, 16 Maret ...
Tindak Lanjut PP No. 3/2107 tentang Otoritas Veteriner - Ditkeswan, 16 Maret ...
 
Surveilans dan Monitoring Vaksinasi Untuk Pengendalian PMK - RAKOR BVet Bukit...
Surveilans dan Monitoring Vaksinasi Untuk Pengendalian PMK - RAKOR BVet Bukit...Surveilans dan Monitoring Vaksinasi Untuk Pengendalian PMK - RAKOR BVet Bukit...
Surveilans dan Monitoring Vaksinasi Untuk Pengendalian PMK - RAKOR BVet Bukit...
 
Persyaratan Kelompok Ternak Bebas Brucellosis - Presentasi Zoom, 1 Maret 2021
Persyaratan Kelompok Ternak Bebas Brucellosis - Presentasi Zoom, 1 Maret 2021Persyaratan Kelompok Ternak Bebas Brucellosis - Presentasi Zoom, 1 Maret 2021
Persyaratan Kelompok Ternak Bebas Brucellosis - Presentasi Zoom, 1 Maret 2021
 
Kesiagaan dan Respons Darurat Wabah Penyakit Mulut dan Kuku - Dr. B The Vet S...
Kesiagaan dan Respons Darurat Wabah Penyakit Mulut dan Kuku - Dr. B The Vet S...Kesiagaan dan Respons Darurat Wabah Penyakit Mulut dan Kuku - Dr. B The Vet S...
Kesiagaan dan Respons Darurat Wabah Penyakit Mulut dan Kuku - Dr. B The Vet S...
 
Penyakit-Penyakit Yang Wajib Dilaporkan (Notifiable Diseases) - Ditkeswan, 1 ...
Penyakit-Penyakit Yang Wajib Dilaporkan (Notifiable Diseases) - Ditkeswan, 1 ...Penyakit-Penyakit Yang Wajib Dilaporkan (Notifiable Diseases) - Ditkeswan, 1 ...
Penyakit-Penyakit Yang Wajib Dilaporkan (Notifiable Diseases) - Ditkeswan, 1 ...
 
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit ASF, LSD, PMK, dan AI pada Burung Liar -...
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit ASF, LSD, PMK, dan AI pada Burung Liar -...Pencegahan dan Pengendalian Penyakit ASF, LSD, PMK, dan AI pada Burung Liar -...
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit ASF, LSD, PMK, dan AI pada Burung Liar -...
 
Analisis Situasi Penyakit Mulut dan Kuku di India (Bag. 2) - Ditjen PKH, Bogo...
Analisis Situasi Penyakit Mulut dan Kuku di India (Bag. 2) - Ditjen PKH, Bogo...Analisis Situasi Penyakit Mulut dan Kuku di India (Bag. 2) - Ditjen PKH, Bogo...
Analisis Situasi Penyakit Mulut dan Kuku di India (Bag. 2) - Ditjen PKH, Bogo...
 
Penggolongan Penyakit Hewan Karantina - Pusat Karantina Hewan dan Keamanan Ha...
Penggolongan Penyakit Hewan Karantina - Pusat Karantina Hewan dan Keamanan Ha...Penggolongan Penyakit Hewan Karantina - Pusat Karantina Hewan dan Keamanan Ha...
Penggolongan Penyakit Hewan Karantina - Pusat Karantina Hewan dan Keamanan Ha...
 
Komunikasi Risiko Pemasukan Ternak & Produk Hewan dari Negara Belum Bebas PMK...
Komunikasi Risiko Pemasukan Ternak & Produk Hewan dari Negara Belum Bebas PMK...Komunikasi Risiko Pemasukan Ternak & Produk Hewan dari Negara Belum Bebas PMK...
Komunikasi Risiko Pemasukan Ternak & Produk Hewan dari Negara Belum Bebas PMK...
 
Kesiapsiagaan Penyakit Mulut dan Kuku - Rapat Koordinasi Balai Besar Veterine...
Kesiapsiagaan Penyakit Mulut dan Kuku - Rapat Koordinasi Balai Besar Veterine...Kesiapsiagaan Penyakit Mulut dan Kuku - Rapat Koordinasi Balai Besar Veterine...
Kesiapsiagaan Penyakit Mulut dan Kuku - Rapat Koordinasi Balai Besar Veterine...
 
PENYAKIT REPRODUKSI TERNAK
PENYAKIT REPRODUKSI TERNAKPENYAKIT REPRODUKSI TERNAK
PENYAKIT REPRODUKSI TERNAK
 
Kajian singkat Lumpy Skin Disease - Ditkeswan, Jakarta, 26 Februari 2019
Kajian singkat Lumpy Skin Disease -  Ditkeswan, Jakarta, 26 Februari 2019Kajian singkat Lumpy Skin Disease -  Ditkeswan, Jakarta, 26 Februari 2019
Kajian singkat Lumpy Skin Disease - Ditkeswan, Jakarta, 26 Februari 2019
 
Strategi Vaksinasi Lumpy Skin Disease (LSD) - Ditkeswan-AIHSP, 4-6 Januari 2022
Strategi Vaksinasi Lumpy Skin Disease (LSD) - Ditkeswan-AIHSP, 4-6 Januari 2022Strategi Vaksinasi Lumpy Skin Disease (LSD) - Ditkeswan-AIHSP, 4-6 Januari 2022
Strategi Vaksinasi Lumpy Skin Disease (LSD) - Ditkeswan-AIHSP, 4-6 Januari 2022
 
Penyakit Rabies
Penyakit RabiesPenyakit Rabies
Penyakit Rabies
 
Peran Aktif Karantina Hewan dalam Mengelola Risiko - Pusat KH dan Kehani, BAR...
Peran Aktif Karantina Hewan dalam Mengelola Risiko - Pusat KH dan Kehani, BAR...Peran Aktif Karantina Hewan dalam Mengelola Risiko - Pusat KH dan Kehani, BAR...
Peran Aktif Karantina Hewan dalam Mengelola Risiko - Pusat KH dan Kehani, BAR...
 

Similar to Masterplan Pemberantasan Brucellosis di Indonesia - Ditkeswan-AIPEID, Jakarta, 8 Desember 2013

Asistensi Penyusunan Program Pengendalian Brucellosis - AIPEID, Pare-Pare, 29...
Asistensi Penyusunan Program Pengendalian Brucellosis - AIPEID, Pare-Pare, 29...Asistensi Penyusunan Program Pengendalian Brucellosis - AIPEID, Pare-Pare, 29...
Asistensi Penyusunan Program Pengendalian Brucellosis - AIPEID, Pare-Pare, 29...Tata Naipospos
 
Rencana Pembuatan Roadmap Pembebasan Brucellosis DKI Jakarta - Dinas Kelautan...
Rencana Pembuatan Roadmap Pembebasan Brucellosis DKI Jakarta - Dinas Kelautan...Rencana Pembuatan Roadmap Pembebasan Brucellosis DKI Jakarta - Dinas Kelautan...
Rencana Pembuatan Roadmap Pembebasan Brucellosis DKI Jakarta - Dinas Kelautan...Tata Naipospos
 
Penyusunan Master Plan Pemberantasan Brucellosis - AIPEID, Makasar, 2 Juli 2013
Penyusunan Master Plan Pemberantasan Brucellosis - AIPEID, Makasar, 2 Juli 2013Penyusunan Master Plan Pemberantasan Brucellosis - AIPEID, Makasar, 2 Juli 2013
Penyusunan Master Plan Pemberantasan Brucellosis - AIPEID, Makasar, 2 Juli 2013Tata Naipospos
 
Roadmap Pembebasan Rabies Menuju Indonesia Bebas Rabies 2030 - PUSVETMA, Sura...
Roadmap Pembebasan Rabies Menuju Indonesia Bebas Rabies 2030 - PUSVETMA, Sura...Roadmap Pembebasan Rabies Menuju Indonesia Bebas Rabies 2030 - PUSVETMA, Sura...
Roadmap Pembebasan Rabies Menuju Indonesia Bebas Rabies 2030 - PUSVETMA, Sura...Tata Naipospos
 
Webinar Pencegahan Potensi Zoonosis Melalui Penerapan Tindakan Biosekuriti - ...
Webinar Pencegahan Potensi Zoonosis Melalui Penerapan Tindakan Biosekuriti - ...Webinar Pencegahan Potensi Zoonosis Melalui Penerapan Tindakan Biosekuriti - ...
Webinar Pencegahan Potensi Zoonosis Melalui Penerapan Tindakan Biosekuriti - ...Tata Naipospos
 
PPT Situasi Pengendalian Rabies Nasional - pdhi 9Sep23.pptx
PPT Situasi Pengendalian Rabies Nasional - pdhi 9Sep23.pptxPPT Situasi Pengendalian Rabies Nasional - pdhi 9Sep23.pptx
PPT Situasi Pengendalian Rabies Nasional - pdhi 9Sep23.pptxDindaRahmaHadiputri
 
Pengantar Orientasi JRA Salinan Pengantar Orientasi JRA.pdf
Pengantar Orientasi JRA  Salinan Pengantar Orientasi JRA.pdfPengantar Orientasi JRA  Salinan Pengantar Orientasi JRA.pdf
Pengantar Orientasi JRA Salinan Pengantar Orientasi JRA.pdfione210680
 
One Health Roadmap Eliminasi Rabies 2030 - Kemenko PMK-Pandemic Preparedness ...
One Health Roadmap Eliminasi Rabies 2030 - Kemenko PMK-Pandemic Preparedness ...One Health Roadmap Eliminasi Rabies 2030 - Kemenko PMK-Pandemic Preparedness ...
One Health Roadmap Eliminasi Rabies 2030 - Kemenko PMK-Pandemic Preparedness ...Tata Naipospos
 
Pengendalian Penyakit Mulut dan Kuku dan Lumpy Skin Disease serta Kewaspadaan...
Pengendalian Penyakit Mulut dan Kuku dan Lumpy Skin Disease serta Kewaspadaan...Pengendalian Penyakit Mulut dan Kuku dan Lumpy Skin Disease serta Kewaspadaan...
Pengendalian Penyakit Mulut dan Kuku dan Lumpy Skin Disease serta Kewaspadaan...Tata Naipospos
 
Sosialisasi One Health Roadmap Eliminasi Rabies Nasional 2030 - 31 Agustus 2019
Sosialisasi One Health Roadmap Eliminasi Rabies Nasional 2030 - 31 Agustus 2019Sosialisasi One Health Roadmap Eliminasi Rabies Nasional 2030 - 31 Agustus 2019
Sosialisasi One Health Roadmap Eliminasi Rabies Nasional 2030 - 31 Agustus 2019Tata Naipospos
 
Penerapan Konsep 'One Health' di Peternakan dan Pasar Unggas dengan Mengoptim...
Penerapan Konsep 'One Health' di Peternakan dan Pasar Unggas dengan Mengoptim...Penerapan Konsep 'One Health' di Peternakan dan Pasar Unggas dengan Mengoptim...
Penerapan Konsep 'One Health' di Peternakan dan Pasar Unggas dengan Mengoptim...Tata Naipospos
 
Kuliah Umum Penyakit Lintas Batas di FKH IPB - Bogor, 3 Januari 2009
Kuliah Umum Penyakit Lintas Batas di FKH IPB - Bogor, 3 Januari 2009Kuliah Umum Penyakit Lintas Batas di FKH IPB - Bogor, 3 Januari 2009
Kuliah Umum Penyakit Lintas Batas di FKH IPB - Bogor, 3 Januari 2009Tata Naipospos
 
Vaksinasi PMK dan Masa Kadaluwarsa Vaksin - Ditkeswan dan AIHSP - 29-30 Janua...
Vaksinasi PMK dan Masa Kadaluwarsa Vaksin - Ditkeswan dan AIHSP - 29-30 Janua...Vaksinasi PMK dan Masa Kadaluwarsa Vaksin - Ditkeswan dan AIHSP - 29-30 Janua...
Vaksinasi PMK dan Masa Kadaluwarsa Vaksin - Ditkeswan dan AIHSP - 29-30 Janua...Tata Naipospos
 
Kebijakan Zoonosis.pptx
Kebijakan Zoonosis.pptxKebijakan Zoonosis.pptx
Kebijakan Zoonosis.pptxHandriTea
 
Tinjauan Rencana Pemasukan Daging Sapi Dari Brazil Ke Indonesia - Jakarta, Ma...
Tinjauan Rencana Pemasukan Daging Sapi Dari Brazil Ke Indonesia - Jakarta, Ma...Tinjauan Rencana Pemasukan Daging Sapi Dari Brazil Ke Indonesia - Jakarta, Ma...
Tinjauan Rencana Pemasukan Daging Sapi Dari Brazil Ke Indonesia - Jakarta, Ma...Tata Naipospos
 
Kesiapsiagaan dan Tanggap Darurat Penyakit Hewan - Ditkeswan-AIHSP, 4 Juni 2021
Kesiapsiagaan dan Tanggap Darurat Penyakit Hewan - Ditkeswan-AIHSP, 4 Juni 2021Kesiapsiagaan dan Tanggap Darurat Penyakit Hewan - Ditkeswan-AIHSP, 4 Juni 2021
Kesiapsiagaan dan Tanggap Darurat Penyakit Hewan - Ditkeswan-AIHSP, 4 Juni 2021Tata Naipospos
 
PENYULUHAN MALARIA DAN PERSIAPAN ELIMINSI.pptx
PENYULUHAN MALARIA DAN PERSIAPAN ELIMINSI.pptxPENYULUHAN MALARIA DAN PERSIAPAN ELIMINSI.pptx
PENYULUHAN MALARIA DAN PERSIAPAN ELIMINSI.pptxsean432333
 
Penilaian Tingkat Kesiapan Kesiapsiagaan dan Respons Darurat - DKH-AIHS, 4 Ju...
Penilaian Tingkat Kesiapan Kesiapsiagaan dan Respons Darurat - DKH-AIHS, 4 Ju...Penilaian Tingkat Kesiapan Kesiapsiagaan dan Respons Darurat - DKH-AIHS, 4 Ju...
Penilaian Tingkat Kesiapan Kesiapsiagaan dan Respons Darurat - DKH-AIHS, 4 Ju...Tata Naipospos
 
AT Modul 3 kb 4
AT Modul 3 kb 4AT Modul 3 kb 4
AT Modul 3 kb 4PPGhybrid3
 
Manajemen Kedaruratan PMK - MEAT & LIVESTOCK AUSTRALIA (MLA) - 2 Juni 2022
Manajemen Kedaruratan PMK - MEAT & LIVESTOCK AUSTRALIA (MLA) - 2 Juni 2022Manajemen Kedaruratan PMK - MEAT & LIVESTOCK AUSTRALIA (MLA) - 2 Juni 2022
Manajemen Kedaruratan PMK - MEAT & LIVESTOCK AUSTRALIA (MLA) - 2 Juni 2022Tata Naipospos
 

Similar to Masterplan Pemberantasan Brucellosis di Indonesia - Ditkeswan-AIPEID, Jakarta, 8 Desember 2013 (20)

Asistensi Penyusunan Program Pengendalian Brucellosis - AIPEID, Pare-Pare, 29...
Asistensi Penyusunan Program Pengendalian Brucellosis - AIPEID, Pare-Pare, 29...Asistensi Penyusunan Program Pengendalian Brucellosis - AIPEID, Pare-Pare, 29...
Asistensi Penyusunan Program Pengendalian Brucellosis - AIPEID, Pare-Pare, 29...
 
Rencana Pembuatan Roadmap Pembebasan Brucellosis DKI Jakarta - Dinas Kelautan...
Rencana Pembuatan Roadmap Pembebasan Brucellosis DKI Jakarta - Dinas Kelautan...Rencana Pembuatan Roadmap Pembebasan Brucellosis DKI Jakarta - Dinas Kelautan...
Rencana Pembuatan Roadmap Pembebasan Brucellosis DKI Jakarta - Dinas Kelautan...
 
Penyusunan Master Plan Pemberantasan Brucellosis - AIPEID, Makasar, 2 Juli 2013
Penyusunan Master Plan Pemberantasan Brucellosis - AIPEID, Makasar, 2 Juli 2013Penyusunan Master Plan Pemberantasan Brucellosis - AIPEID, Makasar, 2 Juli 2013
Penyusunan Master Plan Pemberantasan Brucellosis - AIPEID, Makasar, 2 Juli 2013
 
Roadmap Pembebasan Rabies Menuju Indonesia Bebas Rabies 2030 - PUSVETMA, Sura...
Roadmap Pembebasan Rabies Menuju Indonesia Bebas Rabies 2030 - PUSVETMA, Sura...Roadmap Pembebasan Rabies Menuju Indonesia Bebas Rabies 2030 - PUSVETMA, Sura...
Roadmap Pembebasan Rabies Menuju Indonesia Bebas Rabies 2030 - PUSVETMA, Sura...
 
Webinar Pencegahan Potensi Zoonosis Melalui Penerapan Tindakan Biosekuriti - ...
Webinar Pencegahan Potensi Zoonosis Melalui Penerapan Tindakan Biosekuriti - ...Webinar Pencegahan Potensi Zoonosis Melalui Penerapan Tindakan Biosekuriti - ...
Webinar Pencegahan Potensi Zoonosis Melalui Penerapan Tindakan Biosekuriti - ...
 
PPT Situasi Pengendalian Rabies Nasional - pdhi 9Sep23.pptx
PPT Situasi Pengendalian Rabies Nasional - pdhi 9Sep23.pptxPPT Situasi Pengendalian Rabies Nasional - pdhi 9Sep23.pptx
PPT Situasi Pengendalian Rabies Nasional - pdhi 9Sep23.pptx
 
Pengantar Orientasi JRA Salinan Pengantar Orientasi JRA.pdf
Pengantar Orientasi JRA  Salinan Pengantar Orientasi JRA.pdfPengantar Orientasi JRA  Salinan Pengantar Orientasi JRA.pdf
Pengantar Orientasi JRA Salinan Pengantar Orientasi JRA.pdf
 
One Health Roadmap Eliminasi Rabies 2030 - Kemenko PMK-Pandemic Preparedness ...
One Health Roadmap Eliminasi Rabies 2030 - Kemenko PMK-Pandemic Preparedness ...One Health Roadmap Eliminasi Rabies 2030 - Kemenko PMK-Pandemic Preparedness ...
One Health Roadmap Eliminasi Rabies 2030 - Kemenko PMK-Pandemic Preparedness ...
 
Pengendalian Penyakit Mulut dan Kuku dan Lumpy Skin Disease serta Kewaspadaan...
Pengendalian Penyakit Mulut dan Kuku dan Lumpy Skin Disease serta Kewaspadaan...Pengendalian Penyakit Mulut dan Kuku dan Lumpy Skin Disease serta Kewaspadaan...
Pengendalian Penyakit Mulut dan Kuku dan Lumpy Skin Disease serta Kewaspadaan...
 
Sosialisasi One Health Roadmap Eliminasi Rabies Nasional 2030 - 31 Agustus 2019
Sosialisasi One Health Roadmap Eliminasi Rabies Nasional 2030 - 31 Agustus 2019Sosialisasi One Health Roadmap Eliminasi Rabies Nasional 2030 - 31 Agustus 2019
Sosialisasi One Health Roadmap Eliminasi Rabies Nasional 2030 - 31 Agustus 2019
 
Penerapan Konsep 'One Health' di Peternakan dan Pasar Unggas dengan Mengoptim...
Penerapan Konsep 'One Health' di Peternakan dan Pasar Unggas dengan Mengoptim...Penerapan Konsep 'One Health' di Peternakan dan Pasar Unggas dengan Mengoptim...
Penerapan Konsep 'One Health' di Peternakan dan Pasar Unggas dengan Mengoptim...
 
Kuliah Umum Penyakit Lintas Batas di FKH IPB - Bogor, 3 Januari 2009
Kuliah Umum Penyakit Lintas Batas di FKH IPB - Bogor, 3 Januari 2009Kuliah Umum Penyakit Lintas Batas di FKH IPB - Bogor, 3 Januari 2009
Kuliah Umum Penyakit Lintas Batas di FKH IPB - Bogor, 3 Januari 2009
 
Vaksinasi PMK dan Masa Kadaluwarsa Vaksin - Ditkeswan dan AIHSP - 29-30 Janua...
Vaksinasi PMK dan Masa Kadaluwarsa Vaksin - Ditkeswan dan AIHSP - 29-30 Janua...Vaksinasi PMK dan Masa Kadaluwarsa Vaksin - Ditkeswan dan AIHSP - 29-30 Janua...
Vaksinasi PMK dan Masa Kadaluwarsa Vaksin - Ditkeswan dan AIHSP - 29-30 Janua...
 
Kebijakan Zoonosis.pptx
Kebijakan Zoonosis.pptxKebijakan Zoonosis.pptx
Kebijakan Zoonosis.pptx
 
Tinjauan Rencana Pemasukan Daging Sapi Dari Brazil Ke Indonesia - Jakarta, Ma...
Tinjauan Rencana Pemasukan Daging Sapi Dari Brazil Ke Indonesia - Jakarta, Ma...Tinjauan Rencana Pemasukan Daging Sapi Dari Brazil Ke Indonesia - Jakarta, Ma...
Tinjauan Rencana Pemasukan Daging Sapi Dari Brazil Ke Indonesia - Jakarta, Ma...
 
Kesiapsiagaan dan Tanggap Darurat Penyakit Hewan - Ditkeswan-AIHSP, 4 Juni 2021
Kesiapsiagaan dan Tanggap Darurat Penyakit Hewan - Ditkeswan-AIHSP, 4 Juni 2021Kesiapsiagaan dan Tanggap Darurat Penyakit Hewan - Ditkeswan-AIHSP, 4 Juni 2021
Kesiapsiagaan dan Tanggap Darurat Penyakit Hewan - Ditkeswan-AIHSP, 4 Juni 2021
 
PENYULUHAN MALARIA DAN PERSIAPAN ELIMINSI.pptx
PENYULUHAN MALARIA DAN PERSIAPAN ELIMINSI.pptxPENYULUHAN MALARIA DAN PERSIAPAN ELIMINSI.pptx
PENYULUHAN MALARIA DAN PERSIAPAN ELIMINSI.pptx
 
Penilaian Tingkat Kesiapan Kesiapsiagaan dan Respons Darurat - DKH-AIHS, 4 Ju...
Penilaian Tingkat Kesiapan Kesiapsiagaan dan Respons Darurat - DKH-AIHS, 4 Ju...Penilaian Tingkat Kesiapan Kesiapsiagaan dan Respons Darurat - DKH-AIHS, 4 Ju...
Penilaian Tingkat Kesiapan Kesiapsiagaan dan Respons Darurat - DKH-AIHS, 4 Ju...
 
AT Modul 3 kb 4
AT Modul 3 kb 4AT Modul 3 kb 4
AT Modul 3 kb 4
 
Manajemen Kedaruratan PMK - MEAT & LIVESTOCK AUSTRALIA (MLA) - 2 Juni 2022
Manajemen Kedaruratan PMK - MEAT & LIVESTOCK AUSTRALIA (MLA) - 2 Juni 2022Manajemen Kedaruratan PMK - MEAT & LIVESTOCK AUSTRALIA (MLA) - 2 Juni 2022
Manajemen Kedaruratan PMK - MEAT & LIVESTOCK AUSTRALIA (MLA) - 2 Juni 2022
 

More from Tata Naipospos

Usulan Konsepsi SISKESWANNAS - Ditkeswan dan AIHSP - 15 Maret 2024
Usulan Konsepsi SISKESWANNAS - Ditkeswan dan AIHSP - 15 Maret 2024Usulan Konsepsi SISKESWANNAS - Ditkeswan dan AIHSP - 15 Maret 2024
Usulan Konsepsi SISKESWANNAS - Ditkeswan dan AIHSP - 15 Maret 2024Tata Naipospos
 
Bahan diskusi: Kondisi Peternakan Indonesia - CIVAS - 20 Januari 2024
Bahan diskusi: Kondisi Peternakan Indonesia - CIVAS - 20 Januari 2024Bahan diskusi: Kondisi Peternakan Indonesia - CIVAS - 20 Januari 2024
Bahan diskusi: Kondisi Peternakan Indonesia - CIVAS - 20 Januari 2024Tata Naipospos
 
Analisis Risiko PMK - Pangkal Pinang, Kepulauan Riau, 4-5 Desember 2023
Analisis Risiko PMK - Pangkal Pinang, Kepulauan Riau, 4-5 Desember 2023Analisis Risiko PMK - Pangkal Pinang, Kepulauan Riau, 4-5 Desember 2023
Analisis Risiko PMK - Pangkal Pinang, Kepulauan Riau, 4-5 Desember 2023Tata Naipospos
 
Preparation PVS Evaluation Follow-up INDONESIA 2023
Preparation PVS Evaluation Follow-up INDONESIA 2023Preparation PVS Evaluation Follow-up INDONESIA 2023
Preparation PVS Evaluation Follow-up INDONESIA 2023Tata Naipospos
 
Update situasi epidemiologi Avian Influenza di Indonesia, CEVA Scientific Mee...
Update situasi epidemiologi Avian Influenza di Indonesia, CEVA Scientific Mee...Update situasi epidemiologi Avian Influenza di Indonesia, CEVA Scientific Mee...
Update situasi epidemiologi Avian Influenza di Indonesia, CEVA Scientific Mee...Tata Naipospos
 
Keterlibatan WOAH dalam Peningkatan Kesadaran dan Pengetahun AMR di Indonesia...
Keterlibatan WOAH dalam Peningkatan Kesadaran dan Pengetahun AMR di Indonesia...Keterlibatan WOAH dalam Peningkatan Kesadaran dan Pengetahun AMR di Indonesia...
Keterlibatan WOAH dalam Peningkatan Kesadaran dan Pengetahun AMR di Indonesia...Tata Naipospos
 
Keterkaitan UU Pendidikan Kedokteran Hewan, Konsil Kedokteran Hewan dan Kuali...
Keterkaitan UU Pendidikan Kedokteran Hewan, Konsil Kedokteran Hewan dan Kuali...Keterkaitan UU Pendidikan Kedokteran Hewan, Konsil Kedokteran Hewan dan Kuali...
Keterkaitan UU Pendidikan Kedokteran Hewan, Konsil Kedokteran Hewan dan Kuali...Tata Naipospos
 
Dampak Penerapan Kesejahteraan Hewan Terhadap Perdagangan Internasional dan S...
Dampak Penerapan Kesejahteraan Hewan Terhadap Perdagangan Internasional dan S...Dampak Penerapan Kesejahteraan Hewan Terhadap Perdagangan Internasional dan S...
Dampak Penerapan Kesejahteraan Hewan Terhadap Perdagangan Internasional dan S...Tata Naipospos
 
Pengantar: Penilaian Bersama Implementasi Penatagunaan AMU Pada Peternakan U...
Pengantar: Penilaian Bersama Implementasi  Penatagunaan AMU Pada Peternakan U...Pengantar: Penilaian Bersama Implementasi  Penatagunaan AMU Pada Peternakan U...
Pengantar: Penilaian Bersama Implementasi Penatagunaan AMU Pada Peternakan U...Tata Naipospos
 
Kaitan antara Progressive Control Pathways (PCP) untuk PMK dan Performance of...
Kaitan antara Progressive Control Pathways (PCP) untuk PMK dan Performance of...Kaitan antara Progressive Control Pathways (PCP) untuk PMK dan Performance of...
Kaitan antara Progressive Control Pathways (PCP) untuk PMK dan Performance of...Tata Naipospos
 
Pentingnya Veterinary Statutory Body bagi Peningkatan Kualitas Profesi Kedokt...
Pentingnya Veterinary Statutory Body bagi Peningkatan Kualitas Profesi Kedokt...Pentingnya Veterinary Statutory Body bagi Peningkatan Kualitas Profesi Kedokt...
Pentingnya Veterinary Statutory Body bagi Peningkatan Kualitas Profesi Kedokt...Tata Naipospos
 
Kewaspadaan Dini Terhadap Peste des Petits Ruminants - IDHSI, zoom 15 April 2023
Kewaspadaan Dini Terhadap Peste des Petits Ruminants - IDHSI, zoom 15 April 2023Kewaspadaan Dini Terhadap Peste des Petits Ruminants - IDHSI, zoom 15 April 2023
Kewaspadaan Dini Terhadap Peste des Petits Ruminants - IDHSI, zoom 15 April 2023Tata Naipospos
 
Rencana Kontinjensi Pada Unit Kompartemen Bebas Penyakit - Ditkeswan - Bogor,...
Rencana Kontinjensi Pada Unit Kompartemen Bebas Penyakit - Ditkeswan - Bogor,...Rencana Kontinjensi Pada Unit Kompartemen Bebas Penyakit - Ditkeswan - Bogor,...
Rencana Kontinjensi Pada Unit Kompartemen Bebas Penyakit - Ditkeswan - Bogor,...Tata Naipospos
 
A - Z Lumpy Skin Disease - Perspektif Global - Dr. B. Show - 25 Maret 2023
A - Z Lumpy Skin Disease - Perspektif Global - Dr. B. Show - 25 Maret 2023A - Z Lumpy Skin Disease - Perspektif Global - Dr. B. Show - 25 Maret 2023
A - Z Lumpy Skin Disease - Perspektif Global - Dr. B. Show - 25 Maret 2023Tata Naipospos
 
Kompartementalisasi Unit Peternakan Ruminansia Pada Situasi Wabah PMK dan LSD...
Kompartementalisasi Unit Peternakan Ruminansia Pada Situasi Wabah PMK dan LSD...Kompartementalisasi Unit Peternakan Ruminansia Pada Situasi Wabah PMK dan LSD...
Kompartementalisasi Unit Peternakan Ruminansia Pada Situasi Wabah PMK dan LSD...Tata Naipospos
 
Resiliensi SISKESWANNAS Menghadapi Tantangan Wabah Penyakit Yang Berpotensi M...
Resiliensi SISKESWANNAS Menghadapi Tantangan Wabah Penyakit Yang Berpotensi M...Resiliensi SISKESWANNAS Menghadapi Tantangan Wabah Penyakit Yang Berpotensi M...
Resiliensi SISKESWANNAS Menghadapi Tantangan Wabah Penyakit Yang Berpotensi M...Tata Naipospos
 
Pengendalian Lalu Lintas dan Vaksinasi Khususnya di Daerah Bebas PMK - Rakor ...
Pengendalian Lalu Lintas dan Vaksinasi Khususnya di Daerah Bebas PMK - Rakor ...Pengendalian Lalu Lintas dan Vaksinasi Khususnya di Daerah Bebas PMK - Rakor ...
Pengendalian Lalu Lintas dan Vaksinasi Khususnya di Daerah Bebas PMK - Rakor ...Tata Naipospos
 
Kewaspadaan dan Antisipasi Peste des Petits Ruminants - Rakor Balai Veteriner...
Kewaspadaan dan Antisipasi Peste des Petits Ruminants - Rakor Balai Veteriner...Kewaspadaan dan Antisipasi Peste des Petits Ruminants - Rakor Balai Veteriner...
Kewaspadaan dan Antisipasi Peste des Petits Ruminants - Rakor Balai Veteriner...Tata Naipospos
 
Optimalisasi Peran Karantina Hewan sebagai Otoritas Veteriner di Perbatasan d...
Optimalisasi Peran Karantina Hewan sebagai Otoritas Veteriner di Perbatasan d...Optimalisasi Peran Karantina Hewan sebagai Otoritas Veteriner di Perbatasan d...
Optimalisasi Peran Karantina Hewan sebagai Otoritas Veteriner di Perbatasan d...Tata Naipospos
 
Bahan Pembahasan Penyusunan Peta Jalan Pengendalian PMK - Ditkeswan-AIHSP, 24...
Bahan Pembahasan Penyusunan Peta Jalan Pengendalian PMK - Ditkeswan-AIHSP, 24...Bahan Pembahasan Penyusunan Peta Jalan Pengendalian PMK - Ditkeswan-AIHSP, 24...
Bahan Pembahasan Penyusunan Peta Jalan Pengendalian PMK - Ditkeswan-AIHSP, 24...Tata Naipospos
 

More from Tata Naipospos (20)

Usulan Konsepsi SISKESWANNAS - Ditkeswan dan AIHSP - 15 Maret 2024
Usulan Konsepsi SISKESWANNAS - Ditkeswan dan AIHSP - 15 Maret 2024Usulan Konsepsi SISKESWANNAS - Ditkeswan dan AIHSP - 15 Maret 2024
Usulan Konsepsi SISKESWANNAS - Ditkeswan dan AIHSP - 15 Maret 2024
 
Bahan diskusi: Kondisi Peternakan Indonesia - CIVAS - 20 Januari 2024
Bahan diskusi: Kondisi Peternakan Indonesia - CIVAS - 20 Januari 2024Bahan diskusi: Kondisi Peternakan Indonesia - CIVAS - 20 Januari 2024
Bahan diskusi: Kondisi Peternakan Indonesia - CIVAS - 20 Januari 2024
 
Analisis Risiko PMK - Pangkal Pinang, Kepulauan Riau, 4-5 Desember 2023
Analisis Risiko PMK - Pangkal Pinang, Kepulauan Riau, 4-5 Desember 2023Analisis Risiko PMK - Pangkal Pinang, Kepulauan Riau, 4-5 Desember 2023
Analisis Risiko PMK - Pangkal Pinang, Kepulauan Riau, 4-5 Desember 2023
 
Preparation PVS Evaluation Follow-up INDONESIA 2023
Preparation PVS Evaluation Follow-up INDONESIA 2023Preparation PVS Evaluation Follow-up INDONESIA 2023
Preparation PVS Evaluation Follow-up INDONESIA 2023
 
Update situasi epidemiologi Avian Influenza di Indonesia, CEVA Scientific Mee...
Update situasi epidemiologi Avian Influenza di Indonesia, CEVA Scientific Mee...Update situasi epidemiologi Avian Influenza di Indonesia, CEVA Scientific Mee...
Update situasi epidemiologi Avian Influenza di Indonesia, CEVA Scientific Mee...
 
Keterlibatan WOAH dalam Peningkatan Kesadaran dan Pengetahun AMR di Indonesia...
Keterlibatan WOAH dalam Peningkatan Kesadaran dan Pengetahun AMR di Indonesia...Keterlibatan WOAH dalam Peningkatan Kesadaran dan Pengetahun AMR di Indonesia...
Keterlibatan WOAH dalam Peningkatan Kesadaran dan Pengetahun AMR di Indonesia...
 
Keterkaitan UU Pendidikan Kedokteran Hewan, Konsil Kedokteran Hewan dan Kuali...
Keterkaitan UU Pendidikan Kedokteran Hewan, Konsil Kedokteran Hewan dan Kuali...Keterkaitan UU Pendidikan Kedokteran Hewan, Konsil Kedokteran Hewan dan Kuali...
Keterkaitan UU Pendidikan Kedokteran Hewan, Konsil Kedokteran Hewan dan Kuali...
 
Dampak Penerapan Kesejahteraan Hewan Terhadap Perdagangan Internasional dan S...
Dampak Penerapan Kesejahteraan Hewan Terhadap Perdagangan Internasional dan S...Dampak Penerapan Kesejahteraan Hewan Terhadap Perdagangan Internasional dan S...
Dampak Penerapan Kesejahteraan Hewan Terhadap Perdagangan Internasional dan S...
 
Pengantar: Penilaian Bersama Implementasi Penatagunaan AMU Pada Peternakan U...
Pengantar: Penilaian Bersama Implementasi  Penatagunaan AMU Pada Peternakan U...Pengantar: Penilaian Bersama Implementasi  Penatagunaan AMU Pada Peternakan U...
Pengantar: Penilaian Bersama Implementasi Penatagunaan AMU Pada Peternakan U...
 
Kaitan antara Progressive Control Pathways (PCP) untuk PMK dan Performance of...
Kaitan antara Progressive Control Pathways (PCP) untuk PMK dan Performance of...Kaitan antara Progressive Control Pathways (PCP) untuk PMK dan Performance of...
Kaitan antara Progressive Control Pathways (PCP) untuk PMK dan Performance of...
 
Pentingnya Veterinary Statutory Body bagi Peningkatan Kualitas Profesi Kedokt...
Pentingnya Veterinary Statutory Body bagi Peningkatan Kualitas Profesi Kedokt...Pentingnya Veterinary Statutory Body bagi Peningkatan Kualitas Profesi Kedokt...
Pentingnya Veterinary Statutory Body bagi Peningkatan Kualitas Profesi Kedokt...
 
Kewaspadaan Dini Terhadap Peste des Petits Ruminants - IDHSI, zoom 15 April 2023
Kewaspadaan Dini Terhadap Peste des Petits Ruminants - IDHSI, zoom 15 April 2023Kewaspadaan Dini Terhadap Peste des Petits Ruminants - IDHSI, zoom 15 April 2023
Kewaspadaan Dini Terhadap Peste des Petits Ruminants - IDHSI, zoom 15 April 2023
 
Rencana Kontinjensi Pada Unit Kompartemen Bebas Penyakit - Ditkeswan - Bogor,...
Rencana Kontinjensi Pada Unit Kompartemen Bebas Penyakit - Ditkeswan - Bogor,...Rencana Kontinjensi Pada Unit Kompartemen Bebas Penyakit - Ditkeswan - Bogor,...
Rencana Kontinjensi Pada Unit Kompartemen Bebas Penyakit - Ditkeswan - Bogor,...
 
A - Z Lumpy Skin Disease - Perspektif Global - Dr. B. Show - 25 Maret 2023
A - Z Lumpy Skin Disease - Perspektif Global - Dr. B. Show - 25 Maret 2023A - Z Lumpy Skin Disease - Perspektif Global - Dr. B. Show - 25 Maret 2023
A - Z Lumpy Skin Disease - Perspektif Global - Dr. B. Show - 25 Maret 2023
 
Kompartementalisasi Unit Peternakan Ruminansia Pada Situasi Wabah PMK dan LSD...
Kompartementalisasi Unit Peternakan Ruminansia Pada Situasi Wabah PMK dan LSD...Kompartementalisasi Unit Peternakan Ruminansia Pada Situasi Wabah PMK dan LSD...
Kompartementalisasi Unit Peternakan Ruminansia Pada Situasi Wabah PMK dan LSD...
 
Resiliensi SISKESWANNAS Menghadapi Tantangan Wabah Penyakit Yang Berpotensi M...
Resiliensi SISKESWANNAS Menghadapi Tantangan Wabah Penyakit Yang Berpotensi M...Resiliensi SISKESWANNAS Menghadapi Tantangan Wabah Penyakit Yang Berpotensi M...
Resiliensi SISKESWANNAS Menghadapi Tantangan Wabah Penyakit Yang Berpotensi M...
 
Pengendalian Lalu Lintas dan Vaksinasi Khususnya di Daerah Bebas PMK - Rakor ...
Pengendalian Lalu Lintas dan Vaksinasi Khususnya di Daerah Bebas PMK - Rakor ...Pengendalian Lalu Lintas dan Vaksinasi Khususnya di Daerah Bebas PMK - Rakor ...
Pengendalian Lalu Lintas dan Vaksinasi Khususnya di Daerah Bebas PMK - Rakor ...
 
Kewaspadaan dan Antisipasi Peste des Petits Ruminants - Rakor Balai Veteriner...
Kewaspadaan dan Antisipasi Peste des Petits Ruminants - Rakor Balai Veteriner...Kewaspadaan dan Antisipasi Peste des Petits Ruminants - Rakor Balai Veteriner...
Kewaspadaan dan Antisipasi Peste des Petits Ruminants - Rakor Balai Veteriner...
 
Optimalisasi Peran Karantina Hewan sebagai Otoritas Veteriner di Perbatasan d...
Optimalisasi Peran Karantina Hewan sebagai Otoritas Veteriner di Perbatasan d...Optimalisasi Peran Karantina Hewan sebagai Otoritas Veteriner di Perbatasan d...
Optimalisasi Peran Karantina Hewan sebagai Otoritas Veteriner di Perbatasan d...
 
Bahan Pembahasan Penyusunan Peta Jalan Pengendalian PMK - Ditkeswan-AIHSP, 24...
Bahan Pembahasan Penyusunan Peta Jalan Pengendalian PMK - Ditkeswan-AIHSP, 24...Bahan Pembahasan Penyusunan Peta Jalan Pengendalian PMK - Ditkeswan-AIHSP, 24...
Bahan Pembahasan Penyusunan Peta Jalan Pengendalian PMK - Ditkeswan-AIHSP, 24...
 

Recently uploaded

KONSEP KEBUTUHAN AKTIVITAS DAN LATIHAN.pptx
KONSEP KEBUTUHAN AKTIVITAS DAN LATIHAN.pptxKONSEP KEBUTUHAN AKTIVITAS DAN LATIHAN.pptx
KONSEP KEBUTUHAN AKTIVITAS DAN LATIHAN.pptxawaldarmawan3
 
tugas 1 tutorial online anak berkebutuhan khusus di SD
tugas 1 tutorial online anak berkebutuhan khusus di SDtugas 1 tutorial online anak berkebutuhan khusus di SD
tugas 1 tutorial online anak berkebutuhan khusus di SDmawan5982
 
Kelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdf
Kelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdfKelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdf
Kelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdfCloverash1
 
PPT Integrasi Islam & Ilmu Pengetahuan.pptx
PPT Integrasi Islam & Ilmu Pengetahuan.pptxPPT Integrasi Islam & Ilmu Pengetahuan.pptx
PPT Integrasi Islam & Ilmu Pengetahuan.pptxnerow98
 
PELAKSANAAN + Link2 Materi Pelatihan "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN & ...
PELAKSANAAN + Link2 Materi Pelatihan "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN & ...PELAKSANAAN + Link2 Materi Pelatihan "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN & ...
PELAKSANAAN + Link2 Materi Pelatihan "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN & ...Kanaidi ken
 
Karakteristik Negara Mesir (Geografi Regional Dunia)
Karakteristik Negara Mesir (Geografi Regional Dunia)Karakteristik Negara Mesir (Geografi Regional Dunia)
Karakteristik Negara Mesir (Geografi Regional Dunia)3HerisaSintia
 
AKSI NYATA NARKOBA ATAU OBAT TERLARANG..
AKSI NYATA NARKOBA ATAU OBAT TERLARANG..AKSI NYATA NARKOBA ATAU OBAT TERLARANG..
AKSI NYATA NARKOBA ATAU OBAT TERLARANG..ikayogakinasih12
 
Tugas 1 pembaruan dlm pembelajaran jawaban tugas tuton 1.docx
Tugas 1 pembaruan dlm pembelajaran jawaban tugas tuton 1.docxTugas 1 pembaruan dlm pembelajaran jawaban tugas tuton 1.docx
Tugas 1 pembaruan dlm pembelajaran jawaban tugas tuton 1.docxmawan5982
 
Aksi Nyata Modul 1.1 Calon Guru Penggerak
Aksi Nyata Modul 1.1 Calon Guru PenggerakAksi Nyata Modul 1.1 Calon Guru Penggerak
Aksi Nyata Modul 1.1 Calon Guru Penggeraksupriadi611
 
Dinamika Hidrosfer geografi kelas X genap
Dinamika Hidrosfer geografi kelas X genapDinamika Hidrosfer geografi kelas X genap
Dinamika Hidrosfer geografi kelas X genapsefrida3
 
Refleksi Mandiri Modul 1.3 - KANVAS BAGJA.pptx.pptx
Refleksi Mandiri Modul 1.3 - KANVAS BAGJA.pptx.pptxRefleksi Mandiri Modul 1.3 - KANVAS BAGJA.pptx.pptx
Refleksi Mandiri Modul 1.3 - KANVAS BAGJA.pptx.pptxIrfanAudah1
 
Kelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdf
Kelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdfKelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdf
Kelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdftsaniasalftn18
 
soal AKM Mata Pelajaran PPKN kelas .pptx
soal AKM Mata Pelajaran PPKN kelas .pptxsoal AKM Mata Pelajaran PPKN kelas .pptx
soal AKM Mata Pelajaran PPKN kelas .pptxazhari524
 
Lembar Catatan Percakapan Pasca observasidocx
Lembar Catatan Percakapan Pasca observasidocxLembar Catatan Percakapan Pasca observasidocx
Lembar Catatan Percakapan Pasca observasidocxbkandrisaputra
 
11 PPT Pancasila sebagai Paradigma Kehidupan dalam Masyarakat.pptx
11 PPT Pancasila sebagai Paradigma Kehidupan dalam Masyarakat.pptx11 PPT Pancasila sebagai Paradigma Kehidupan dalam Masyarakat.pptx
11 PPT Pancasila sebagai Paradigma Kehidupan dalam Masyarakat.pptxMiftahunnajahTVIBS
 
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptx
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptxDESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptx
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptxFuzaAnggriana
 
Tugas 1 ABK di SD prodi pendidikan guru sekolah dasar.docx
Tugas 1 ABK di SD prodi pendidikan guru sekolah dasar.docxTugas 1 ABK di SD prodi pendidikan guru sekolah dasar.docx
Tugas 1 ABK di SD prodi pendidikan guru sekolah dasar.docxmawan5982
 
Modul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdf
Modul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdfModul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdf
Modul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdfSitiJulaeha820399
 
2 KISI-KISI Ujian Sekolah Dasar mata pelajaranPPKn 2024.pdf
2 KISI-KISI Ujian Sekolah Dasar  mata pelajaranPPKn 2024.pdf2 KISI-KISI Ujian Sekolah Dasar  mata pelajaranPPKn 2024.pdf
2 KISI-KISI Ujian Sekolah Dasar mata pelajaranPPKn 2024.pdfsdn3jatiblora
 
Dampak Pendudukan Jepang.pptx indonesia1
Dampak Pendudukan Jepang.pptx indonesia1Dampak Pendudukan Jepang.pptx indonesia1
Dampak Pendudukan Jepang.pptx indonesia1udin100
 

Recently uploaded (20)

KONSEP KEBUTUHAN AKTIVITAS DAN LATIHAN.pptx
KONSEP KEBUTUHAN AKTIVITAS DAN LATIHAN.pptxKONSEP KEBUTUHAN AKTIVITAS DAN LATIHAN.pptx
KONSEP KEBUTUHAN AKTIVITAS DAN LATIHAN.pptx
 
tugas 1 tutorial online anak berkebutuhan khusus di SD
tugas 1 tutorial online anak berkebutuhan khusus di SDtugas 1 tutorial online anak berkebutuhan khusus di SD
tugas 1 tutorial online anak berkebutuhan khusus di SD
 
Kelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdf
Kelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdfKelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdf
Kelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdf
 
PPT Integrasi Islam & Ilmu Pengetahuan.pptx
PPT Integrasi Islam & Ilmu Pengetahuan.pptxPPT Integrasi Islam & Ilmu Pengetahuan.pptx
PPT Integrasi Islam & Ilmu Pengetahuan.pptx
 
PELAKSANAAN + Link2 Materi Pelatihan "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN & ...
PELAKSANAAN + Link2 Materi Pelatihan "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN & ...PELAKSANAAN + Link2 Materi Pelatihan "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN & ...
PELAKSANAAN + Link2 Materi Pelatihan "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN & ...
 
Karakteristik Negara Mesir (Geografi Regional Dunia)
Karakteristik Negara Mesir (Geografi Regional Dunia)Karakteristik Negara Mesir (Geografi Regional Dunia)
Karakteristik Negara Mesir (Geografi Regional Dunia)
 
AKSI NYATA NARKOBA ATAU OBAT TERLARANG..
AKSI NYATA NARKOBA ATAU OBAT TERLARANG..AKSI NYATA NARKOBA ATAU OBAT TERLARANG..
AKSI NYATA NARKOBA ATAU OBAT TERLARANG..
 
Tugas 1 pembaruan dlm pembelajaran jawaban tugas tuton 1.docx
Tugas 1 pembaruan dlm pembelajaran jawaban tugas tuton 1.docxTugas 1 pembaruan dlm pembelajaran jawaban tugas tuton 1.docx
Tugas 1 pembaruan dlm pembelajaran jawaban tugas tuton 1.docx
 
Aksi Nyata Modul 1.1 Calon Guru Penggerak
Aksi Nyata Modul 1.1 Calon Guru PenggerakAksi Nyata Modul 1.1 Calon Guru Penggerak
Aksi Nyata Modul 1.1 Calon Guru Penggerak
 
Dinamika Hidrosfer geografi kelas X genap
Dinamika Hidrosfer geografi kelas X genapDinamika Hidrosfer geografi kelas X genap
Dinamika Hidrosfer geografi kelas X genap
 
Refleksi Mandiri Modul 1.3 - KANVAS BAGJA.pptx.pptx
Refleksi Mandiri Modul 1.3 - KANVAS BAGJA.pptx.pptxRefleksi Mandiri Modul 1.3 - KANVAS BAGJA.pptx.pptx
Refleksi Mandiri Modul 1.3 - KANVAS BAGJA.pptx.pptx
 
Kelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdf
Kelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdfKelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdf
Kelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdf
 
soal AKM Mata Pelajaran PPKN kelas .pptx
soal AKM Mata Pelajaran PPKN kelas .pptxsoal AKM Mata Pelajaran PPKN kelas .pptx
soal AKM Mata Pelajaran PPKN kelas .pptx
 
Lembar Catatan Percakapan Pasca observasidocx
Lembar Catatan Percakapan Pasca observasidocxLembar Catatan Percakapan Pasca observasidocx
Lembar Catatan Percakapan Pasca observasidocx
 
11 PPT Pancasila sebagai Paradigma Kehidupan dalam Masyarakat.pptx
11 PPT Pancasila sebagai Paradigma Kehidupan dalam Masyarakat.pptx11 PPT Pancasila sebagai Paradigma Kehidupan dalam Masyarakat.pptx
11 PPT Pancasila sebagai Paradigma Kehidupan dalam Masyarakat.pptx
 
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptx
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptxDESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptx
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptx
 
Tugas 1 ABK di SD prodi pendidikan guru sekolah dasar.docx
Tugas 1 ABK di SD prodi pendidikan guru sekolah dasar.docxTugas 1 ABK di SD prodi pendidikan guru sekolah dasar.docx
Tugas 1 ABK di SD prodi pendidikan guru sekolah dasar.docx
 
Modul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdf
Modul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdfModul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdf
Modul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdf
 
2 KISI-KISI Ujian Sekolah Dasar mata pelajaranPPKn 2024.pdf
2 KISI-KISI Ujian Sekolah Dasar  mata pelajaranPPKn 2024.pdf2 KISI-KISI Ujian Sekolah Dasar  mata pelajaranPPKn 2024.pdf
2 KISI-KISI Ujian Sekolah Dasar mata pelajaranPPKn 2024.pdf
 
Dampak Pendudukan Jepang.pptx indonesia1
Dampak Pendudukan Jepang.pptx indonesia1Dampak Pendudukan Jepang.pptx indonesia1
Dampak Pendudukan Jepang.pptx indonesia1
 

Masterplan Pemberantasan Brucellosis di Indonesia - Ditkeswan-AIPEID, Jakarta, 8 Desember 2013

  • 1. Lokakarya Penyusunan Masterplan Pengendalian dan Penanggulangan Penyakit Hewan Menular Strategis (PHMS) Bogor, 12-13 November 2013
  • 2. Lokakarya Penyusunan Masterplan Pengendalian dan Penanggulangan Penyakit Hewan Menular Strategis (PHMS) Bogor, 12-13 November 2013
  • 3.  Kontribusi subsektor peternakan terhadap PDB Nasional – 1,6% dan terhadap PDB sektor pertanian – 15% per tahun (BPS, 2013)  SATU dari 22 penyakit hewan menular strategis di Indonesia ditetapkan melalui SK Direktur Jenderal PKH No. 4026/Kpts/OT.140/3/2013  Menyebabkan kerugian ekonomi signifikan terhadap industri sapi potong yang diperkirakan mencapai Rp. 138,5 milyar per tahun*  Penghambat pencapaian program swasembada daging 2014 (PSDSK 2014) – penanganan gangguan reproduksi yang diakibatkan oleh brucellosis Latar Belakang * Sumber: Ditjennak, 2000
  • 4. Epidemiologi brucellosis (1)  Masa Inkubasi bervariasi menurut kondisi dan umur hewan – dari umur 1 hingga beberapa bulan  Penyebaran terjadi sebagai akibat dari kontaminasi lingkungan setelah terjadi abortus atau ternak positif melahirkan  Bakteri dapat bertahan di lingkungan untuk jangka waktu lama, khususnya pada lingkungan yang lembab dan tidak terkena sinar matahari secara langsung (selama > 100 hari)  Sapi jantan dapat terinfeksi, tetapi secara alami tidak dapat menularkan penyakit. Namun, dapat menularkan melalui Inseminasi Buatan (sebab semen langsung menuju ke uterus). Pusat-pusat IB sebaiknya melakukan pengujian secara cermat Sumber: http://www.animalhealthaustralia.com.au
  • 5. Epidemiologi brucellosis di Indonesia  Prevalensi brucellosis pada peternakan semi-intensif dan ekstensif tradisional lebih tinggi dari peternakan intensif (Miswati et al., 2003)  Kejadian abortus sekitar 48,5% terjadi pada umur kebuntingan 4-6 bulan umur kebuntingan dan sekitar 48,5% lainnya terjadi pada umur kebuntingan 6-9 bulan, dengan kata lain 97% terjadi pada umur kebuntingan lebih dari 3 bulan (Putra, 2005)  Anak sapi yang dilahirkan dari induk reaktor akan menjadi karier laten dan akan mengalami abortus pada kebuntingan pertama serta mencemari lapangan penggembalaan kembali (Pitona dan Hendrawati, 2006)  Prevalensi brucellosis pada sistem peternakan intensif dengan kandang gabungan lebih tinggi dibandingkan dengan ternak yang dikandangkan secara individu (Tae Lake, 2010)
  • 6. Dampak brucellosis terhadap produksi peternakan  Dampak langsung: - Keguguran (abortus) - Kemajiran (infertilitas) - Kematian pada anak sapi saat melahirkan - Penurunan harga jual ternak - Penurunan produksi susu pada ternak perah - Penurunan berat badan pada ternak potong  Dampak tidak langsung: - Penurunan populasi ternak di suatu daerah - Penurunan peluang perdagangan ternak - Penurunan pendapatan daerah  Dampak lainnya: - Pengeluaran ekstra dalam bentuk biaya untuk kompensasi, disposal dan disinfeksi, sosialisasi, surveilans dan vaksinasi
  • 7. Dasar dan ruang lingkup kebijakan  Sasaran spesies: Brucella abortus  Sasaran jenis ternak: sapi potong dan sapi perah  Tingkat penyebaran: Reaktor brucellosis telah ditemukan secara luas di pulau-pulau besar di Indonesia, seperti Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Pulau Timor, kecuali Bali  Sejarah wabah: Epidemi pada banyak peternakan sapi perah di Jakarta, Bandung, Jawa Tengah dan Jawa Timur  Uji serologis dapat diandalkan karena tidak dijumpai adanya gejala patognomonik pada hewan terinfeksi kecuali pada saat keguguran (Soejoedono, 2004)
  • 8. Kerangka pikir penyusunan Masteplan pemberantasan brucellosis 1) Kondisi geografis indonesia; 2) Kondisi sistem produksi ternak dan rantai perdagangan ternak di indonesia; 3) Epidemiologi dan pengetahuan mengenai faktor risiko brucellosis di indonesia; 4) Pembelajaran dari daerah-daerah yang telah berhasil melakukan pembebasan di wilayahnya masing-masing 5) Pembelajaran dari kesulitan yang dihadapi di lapangan; 6) Infrastruktur dan sumberdaya terbatas; dan 7) Pendekatan yang dilakukan di negara-negara lain serta pendekatan yang diakui secara internasional
  • 9. Sasaran: Mencapai status negara bebas brucellosis pada tahun 2025  Penetapan sasaran ini didasarkan atas terpenuhinya seluruh indikator pencapaian yang terverifikasi dengan memperhatikan asumsi dan pra kondisi program pemberantasan seperti diuraikan dalam matriks kerangka kerja logis pada Lampiran 1 Masterplan Pemberantasan Brucellosis  Pencapaian sasaran bergantung kepada tata pemerintahan veteriner yang baik (good veterinary governance) dan kesiapan sumberdaya manusia, fasilitas sarana, material dan infrastruktur
  • 10. Tujuan jangka pendek  Meningkatkan populasi ternak  Meningkatkan nilai jual ternak  Mengamankan daerah sumber bibit ternak dari brucellosis, sehingga mengurangi risiko penularan penyakit ke daerah penerima bibit ternak  Meningkatkan pendapatan daerah dan ekonomi nasional  Meningkatkan perdagangan ternak  Mengamankan masyarakat dari risiko tertular brucellosis Tujuan jangka panjang
  • 11. Asumsi dan Pra kondisi pencapaian pemberantasan brucellosis  Komitmen pemerintah dan pemerintah daerah dalam memberikan prioritas dana terhadap upaya pemberantasan brucellosis  Kelanjutan produksi vaksin Pusvetma (Brucivet) dapat dipertahankan  Kerjasama yang erat antara institusi yang bertanggung jawab di bidang pemberantasan penyakit (Ditkeswan dan jajaran Dinas berwenang) dan di bidang pengendalian lalu lintas ternak (jajaran Barantan sampai ke daerah)
  • 12. Keluaran INDIKATOR PENCAPAIAN YANG TERVERIFIKASI 1. Diketahuinya status awal daerah (bagi daerah tersangka /prevalensi tidak diketahui) Surveilans aktif untuk penentuan prevalensi dasar dengan pengambilan sampel terstruktur terlaksana sesuai prosedur 2. Menurunnya tingkat prevalensi secara progresif • Surveilans pasif dan aktif untuk memantau tingkat infeksi/prevalensi terlaksana sesuai prosedur • Vaksinasi terlaksana sesuai prosedur 3. Menurunnya jumlah reaktor setiap tahun • Surveilans aktif dengan uji dan potong terlaksana sesuai prosedur • Jumlah dana kompensasi cukup 4. Meningkatnya tingkat kesadaran pelaku usaha dan peternak Proses komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) terlaksana dengan baik Indikator pemberantasan
  • 13. Prinsip utama pemberantasan 1) Penyembelihan terhadap seluruh reaktor (hewan yang menunjukkan reaksi positif terhadap uji serologis); 2) Vaksinasi populasi hewan yang peka; dan 3) Pengendalian lalu lintas dan penelusuran ternak.
  • 14. 7 (tujuh) Strategi pemberantasan Surveilans Uji dan potong Kompensasi Vaksinasi Manajemen kelompok ternak Karantina dan pengendalian lalu lintas ternak Peningkatan kesadaran masyarakat 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
  • 15. Pendekatan tahapan (FAO,2012)  Pendekatan pertama yang digunakan dalam menerapkan kebijakan pemberantasan brucellosis di Indonesia adalah pendekatan tahapan (stepwise approach)  Pendekatan tersebut mengacu kepada 4 (empat) tahapan yang diperkenalkan FAO yaitu “A four-stage roadmap for progressive control of brucellosis in animals and humans”  Peta jalan (roadmap) ini dirancang untuk membuat pemberantasan brucellosis menjadi suatu proses yang progresif  Dalam Masterplan Nasional, tidak dimasukkan aspek brucellosis pada manusia dalam pendekatan ini
  • 16. Tahap Situasi Hasil yang diharapkan Tahap 0: Situasi tidak diketahui • Kasus keguguran/wabah jarang sekali terkonfirmasi, dan prevalensi serta distribusinya tidak di ketahui pasti. • Pihak berwenang perlu mengetahui infeksi spesies Brucella pada dugaan kasus keguguran/wabah tersebut, juga prevalensi pada berbagai spesies ternak. • Pemahaman tentang epidemiologi penyakit lebih baik, sehingga program pemberantasan dapat dimulai. Tahap 1: Situasi diketahui dengan program pengendalian • Program nasional pemberantasan brucellosis berlaku resmi di seluruh wilayah negara. • Ada SOP (kendali mutu vaksin, prosedur vaksinasi , dan diagnosa laboratorium). • Prevalensi brucellosis menurun pada ternak. Tahap 2: Mendekati bebas • Tingkat sero-prevalensi brucellosis pada ternak cenderung menurun, tetapi perkembangan masih tidak merata. • Prevelensi brucellosis terus menurun ke tingkat yang rendah pada ternak. Tahap 3: Deklarasi status bebas brucellosis • Pihak yang berwenang di tingkat nasional mendeklarasikan status bebas brucellosis setelah memenuhi standar OIE. • Status bebas brucellosis dideklarasikan Tabel 1: Pendekatan tahapan pemberantasan brucellosis yang progresif
  • 17. TAHAP 0: Situasi tidak diketahui Sumatra Utara, Nusa Tenggara Timur (Sawu, Rote), Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Maluku, Maluku Utara, Papua, Papua Barat TAHAP 1: Situasi diketahui dengan program pengendalian Jawa, Nusa Tenggara Timur (Timor, Flores), Aceh, Sulawesi Selatan TAHAP 2: Mendekati bebas Madura, Nusa Tenggara Timur (Sumba) TAHAP 3: Deklarasi bebas brucellosis Lombok, Bali, Sumbawa, Kalimantan, Sumatra Barat ,Riau, Jambi, Kepulauan Riau, Sumatra Selatan, Bengkulu, Lampung, Babel Sumber: A Four-stage Roadmap for Progressive Control of Brucellosis (FAO, 2013) Gambar 2: Tahapan progresif pemberantasan brucellosis di Indonesia (situasi 2013)
  • 18. Pendekatan zona (Ditkeswan 2013)  Pendekatan kedua yang digunakan dalam menerapkan kebijakan pemberantasan brucellosis di Indonesia adalah pendekatan zona (zoning approach)  Pendekatan ini didasarkan atas klasifikasi daerah/zona yaitu: (1) Daerah bebas penyakit (2) Daerah tersangka (prevalensi tidak diketahui) (3) Daerah tertular ringan (< 2%) (4) Daerah tertular berat (> 2%)  Pendekatan ini direkomendasikan untuk digunakan pada tingkatan kabupaten/kota, atau setidaknya batasan geografi terkecil yaitu “desa”
  • 19. No. Status zona / tahap Klasifikasi daerah 1 Daerah bebas penyakit Lombok, Bali, Sumbawa, Kalimantan, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Kepulauan Riau, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, Babel 2 Daerah tersangka (prevalensi tidak diketahui) Sumatera Utara, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Timur (Pulau Sawu dan Rote), Sulawesi Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan (11 kabupaten), Gorontalo, Maluku, Maluku Utara, Papua, Papua Barat 3 Daerah tertular ringan (prevalensi < 2%) DI Yogyakarta, Madura, Sumba, Timor (TTS, Kabupaten dan Kota Kupang), Sulawesi Selatan (5 kabupaten), Aceh (diluar 2 kabupaten) 4 Daerah tertular berat (prevalensi > 2%) Flores, Timor (Belu, TTU), Sulawesi Selatan (8 kabupaten), Aceh (2 kabupaten), DKI Jakarta, Jawa Timur Tabel 2: Klasifikasi daerah dengan pendekatan zona (situasi 2013) Sumber: Data Direktorat Kesehatan Hewan (2013)
  • 20. Situasi brucellosis di Indonesia 2013 Sumber: Data Direktorat Kesehatan Hewan (2013)
  • 21. Situasi brucellosis di Jawa Timur (Madura sudah pada tahap 2 – mendekati bebas) Sumber: Data Direktorat Kesehatan Hewan (2013)
  • 22. Situasi Sulawesi Selatan (8 kabupaten tertular berat) Sumber: Data Direktorat Kesehatan Hewan (2013)
  • 23. Situasi Nusa Tenggara (Flores, Timor - Belu dan TTU) Sumber: Data Direktorat Kesehatan Hewan (2013)
  • 24. Daerah bebas penyakit  Melakukan tindakan pengendalian lalu lintas yang ketat dengan persyaratan:  Setiap ternak sapi (potong maupun perah) yang dimasukkan ke daerah tersebut harus memiliki SKKH yang dilengkapi dengan Surat Keterangan Vaksinasi (dari daerah tertular berat) dan Surat Keterangan Hasil Uji Serologik dari labkeswan berwenang yang menunjukkan hasil negatif brucellosis* * SK Mentan No.828/Kpts/OT.210/10/98
  • 25. Daerah tersangka (prevalensi tidak diketahui) Tahun ke-1 1) Melakukan surveilans aktif untuk penentuan status awal daerah dengan prosedur pengambilan sampel yang telah ditentukan 2) Melakukan surveilans pasif berkelanjutan untuk memantau kasus keguguran dan respon tindakan apabila ditemukan kasus positif brucellosis. 3) Menetapkan kebijakan pemberantasan setelah klasifikasi daerah diketahui Tahun ke-2 dstnya 1) Melakukan tindakan pemberantasan sesuai dengan klasifikasi daerah (mengikuti prosedur pemberantasan yang ditetapkan untuk tingkat prevalensi < 2% atau > 2%)
  • 26. Daerah tertular ringan (prevalensi < 2%) Tahun ke-1 1) Melakukan surveilans aktif dengan prosedur pengambilan sampel 2) Melakukan tindakan uji dan potong terhadap semua reaktor hasil surveilans dengan pemberian kompensasi 3) Melakukan surveilans pasif berkelanjutan untuk memantau kasus keguguran dan respon tindakan apabila ditemukan kasus positif Tahun ke-2 dstnya 1) Melakukan surveilans monitoring disertai dengan tindakan uji dan potong setiap tahun sampai tingkat prevalensi berhasil diturunkan ke tingkat yang sangat rendah (< 0,2%) 2) Melakukan surveilans pasif berkelanjutan untuk memantau kasus keguguran dan respon tindakan apabila ditemukan kasus positif 3) Melakukan surveilans aktif untuk pembuktian status bebas Karantina dan Pengendalian lalu lintas 1) Melakukan pengambilan sampel dan pengujian pada setiap individu ternak yang dilalulintaskan antar area 2) Melakukan koordinasi dengan Dinas berwenang Kabupaten apabila ditemukan kasus positif
  • 27. Daerah tertular berat (prevalensi > 2%) Tahun ke-1 1) Melakukan vaksinasi pada semua tingkatan umur sapi 2) Melakukan surveilans aktif dengan prosedur pengambilan sampel 3) Melakukan tindakan uji dan potong terhadap semua reaktor hasil surveilans dengan pemberian kompensasi sesuai mekanisme 4) Melakukan surveilans pasif berkelanjutan untuk memantau kasus keguguran dan respon tindakan apabila ditemukan kasus positif Tahun ke-2 s/d ke-4 1) Melakukan vaksinasi hanya pada anak sapi umur 3 – 9 bulan yang baru lahir 2) Melakukan vaksinasi sapi yang pada tahun sebelumnya tidak tervaksinasi 3) Melakukan surveilans aktif disertai dengan tindakan uji dan potong setiap tahun sampai tingkat prevalensi diturunkan (< 0,2%) 4) Melakukan surveilans pasif berkelanjutan Tahun ke-5 dstnya 1) Melakukan surveilans aktif untuk pembuktian status bebas setelah 3 tahun berturut-turut dengan hasil surveilans menunjukkan setidak-tidaknya tingkat prevalensi sangat rendah (< 0,2%). Karantina dan Pengendalian lalu lintas 1) Melakukan pengambilan sampel dan pengujian pada setiap individu ternak yang dilalulintaskan antar area 2) Melakukan koordinasi dengan Dinas berwenang Kabupaten apabila ditemukan kasus positif
  • 28. Lokakarya Penyusunan Masterplan Pengendalian dan Penanggulangan Penyakit Hewan Menular Strategis (PHMS) Bogor, 12-13 November 2013
  • 29. 1) Surveilans  Surveilans brucellosis adalah program pendeteksian penyakit secara kontinyu untuk mengidentifikasi adanya reaktor hingga mencapai tingkat prevalensi tidak lebih dari 0,2%  Surveilans mendukung implementasi kebijakan vaksinasi maupun kebijakan uji dan potong (test and slaughter)  Ada 2 (dua) macam kegiatan yaitu: 1) Surveilans pasif: program surveilans yang dilaksanakan secara rutin untuk mendeteksi kasus kejadian keguguran (abortus) pada ternak betina dewasa dan kemudian diambil sampelnya untuk uji isolasi bakteriologis 2) Surveilans aktif: program surveilans yang dilaksanakan setahun sekali untuk mendeteksi reaktor pada populasi ternak dan mengukur/memantau tingkat prevalensi
  • 30. Surveilans pasif  Sistem surveilans dimana Dinas berwenang tidak melaksanakan pengumpulan informasi penyakit secara pro-aktif, tetapi hanya menunggu sampai informasi kejadian penyakit dilaporkan (Cameron 1999)  Dilakukan pada saat menerima laporan masyarakat mengenai adanya kasus keguguran (abortus) pada ternak betina dewasa atau anak lahir lemah/mati yang terjadi pada kelompok ternak  Dinas berwenang melakukan tindakan respon berupa kunjungan lapangan untuk mendeteksi kasus keguguran tersebut dengan pengambilan sampel untuk uji isolasi bakteriologis  Surveilans pasif merupakan surveilans sindroma (syndromic surveillance) yang dilaporkan dan dicatat setiap bulannya oleh Dinas berwenang Kabupaten/Kota
  • 31. Surveilans aktif  Sistem surveilans yang menggunakan metode survei penyakit yang terstruktur untuk mendapatkan informasi penyakit yang bermutu tinggi secara cepat dan murah (Cameron 1999)  Surveilans aktif merupakan program surveilans yang dilaksanakan secara rutin untuk mendeteksi reaktor pada populasi ternak  Reaktor adalah individu ternak yang menunjukkan reaksi positif terhadap uji serologis
  • 32. Perbedaan pelaksanaan surveilans pada ternak potong dan ternak perah  Pada ternak potong: - Pengambilan sampel serum ternak sapi dengan dua tahapan uji serologis, yaitu RBT (Rose Bengal Test) sebagai uji tapis dan dilanjutkan dengan CFT (Complement Fixation Test) sebagai uji konfirmasi  Pada ternak perah: - Pengambilan sampel susu di tempat penampungan susu (TPS) dan dilakukan uji Milk Ring Test (MRT) - Apabila MRT menunjukkan hasil positif, maka penelusuran dilakukan terhadap ternak yang menghasilkan susu yang dikumpulkan secara kolektif tersebut. Setelah itu dilakukan pengambilan sampel darah dari masing-masing individu ternak untuk dilakukan uji serologis RBT dan dilanjutkan dengan CFT - Apabila MRT menunjukkan hasil negatif, maka tidak perlu dilakukan penelusuran terhadap asal susu
  • 33. Alur Pemeriksaan Sampel Brucellosis Brucellosis ( + ) Brucellosis ( - ) Polymerase Chain Reaction (PCR) PCR (+) PCR (-) Milk Ring Test (MRT) MRT (+) MRT (-) Complement Fixation Test (CFT) CFT (+) CFT (-) Rose Bengal Test (RBT) RBT (+) RBT (-) Uji Tapis (Screening Test) Uji Konfirmasi Uji Bakteriologis 1Laboratorium Tipe B yang ditunjuk oleh Kementrian Pertanian (tingkat PROVINSI ) 2Balai Besar Veteriner / Balai Veteriner (tingkat REGIONAL ) Laboratorium Tipe B ( Tingkat KABUPATEN ) Sampel SERUMSampel SUSU Sampel ABORTUSAN, CAIRAN AMNION, RETENSIO, URINE, LIMPA Sapi Potong / Bibit/Kerbau Sapi Perah
  • 34. Tiga tujuan Surveilans aktif 1) Surveilans aktif untuk penetapan status awal daerah  menetapkan tingkat prevalensi dasar (baseline prevalence) bagi daerah tersangka (prevalensi tidak diketahui) 2) Surveilans aktif untuk pemantauan infeksi/prevalensi  memonitor tingkat prevalensi sampai ke situasi yang tepat untuk pemberantasan yaitu tidak lebih dari 0,2% 3) Surveilans aktif untuk pembuktian status bebas (proof of freedom)  membuktikan status bebas suatu daerah yang harus dipertanggungjawabkan secara epidemiologis
  • 35. Prosedur surveilans aktif  Sampel serum yang diambil berasal dari ternak sapi dewasa berumur lebih dari 1 tahun  Target populasi surveilans harus dibedakan antara sapi potong dan sapi perah, dan dipisahkan pada saat menghitung tingkat prevalensinya  Penghitungan tingkat prevalensi untuk masing-masing jenis hewan harus dijabarkan menurut tipologi produksi (intensif, semi- intensif dan ekstensif/digembalakan), dan/atau menurut skala produksi (peternak rakyat skala rendah, peternak komersial skala menengah dan peternak komersial skala besar)  Surveilans setidaknya dilaksanakan setiap tahun sekali, dan diulang pada tahun-tahun berikutnya hingga tingkat prevalensi mencapai tidak lebih dari 0,2%  Pengambilan sampel dilakukan dengan metode “Multi-stage Sampling” seperti dijelaskan pada Lampiran 2 Masterplan
  • 36. Besaran sampel  Perhitungan besaran sampel untuk estimasi prevalensi dapat didasarkan pada kajian atau data yang telah tersedia sebelumnya di suatu daerah tertentu (misalnya: digunakan estimasi prevalensi 50% untuk mencapai jumlah maksimum sampel yang dibutuhkan pada tingkat kepercayaan 95%, dan tingkat kesalahan 0,5%)  Perhitungan besaran sampel untuk deteksi reaktor bisa dilakukan dengan menggunakan estimasi prevalensi secara bertahap berdasarkan data prevalensi pada tahun-tahun sebelumnya sampai dengan batasan standar yaitu 0,2%  Perhitungan prevalensi didasarkan pada unit epidemiologi yang merupakan kumpulan ternak yang sama (homogen) baik dari aspek jenis ternak maupun sistem pemeliharaannya dalam suatu wilayah tertentu (OIE 2013). Untuk kondisi Indonesia, unit epidemiologi dinyatakan sebagai “desa”
  • 37. Gambar 4: Alur pelaporan data surveilans CFT +/Jumlah sample
  • 38. Implementasi surveilans aktif Kegiatan Asumsi dan Pra-kondisi • Koordinasi pelaksanaan antara Dinas berwenang Provinsi, Kabupaten/Kota dan BBV/BV • Penyiapan metoda pengambilan sampel sesuai pedoman (multistage sampling) • Pengambilan sampel sesuai metoda • Pengiriman sampel untuk uji RBT ke labkeswan tipe B/C • Pengiriman sampel untuk uji CFT ke BBV/BV atau labkeswan tipe B • Penyampaian hasil uji CFT ke Dinas berwenang Provinsi, Kabupaten/ Kota • Petugas pengambil sampel di lapangan terlatih • Tersedia pedoman metoda pengambilan sampel • Tersedia pedoman pembuktian bebas (proof for freedom) • Manajemen rantai dingin pengiriman sampel diterapkan • Identifikasi ternak (kalung, kartu ternak, ear tag, dsb) bisa dipertahankan • Pengadaan antigen cukup • Kendali mutu (QC) diagnosa berjalan baik • Uji profisiensi/banding oleh Lab referensi berjalan
  • 39. 2) Uji dan potong  Program depopulasi ternak terinfeksi yang terdeteksi melalui surveilans dan dilakukan secara kontinyu hingga mencapai tingkat prevalensi 0,2%  Reaktor berdasarkan uji serologis CFT positif  Pemotongan bersyarat dilakukan terhadap reaktor dengan ketentuan daging hasil pemotongan masih dapat dikonsumsi sesuai persyaratan kesmavet, namun jeroan dimusnahkan  Penelusuran (tracing) adalah proses identifikasi reaktor selama menunggu dilakukannya pemotongan bersyarat dan terealisasinya pemberian kompensasi. Proses penelusuran harus didukung dengan pencatatan data (recording) yang lengkap dan baik, serta penandaan (tagging) untuk identifikasi ternak (animal identification)
  • 40. 3) Kompensasi  Dana disediakan oleh Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/ Kota dan sumber dana lainnya sesuai peraturan perundangan yang berlaku  Mekanisme yang sudah pernah diberlakukan antara lain:  Besaran kompensasi disesuaikan dengan harga pasar yang berlaku saat itu atau 70% dari harga yang berlaku. Contoh penerapan di Pulau Sumbawa ditetapkan setinggi-tingginya Rp. 10 juta  Besaran kompensasi dengan penggantian harga jeroan saja, sedangkan daging dapat diperjualbelikan sesuai harga yang berlaku oleh peternak yang bersangkutan  Ternak reaktor dibeli oleh pemerintah dan dipotong sebagai masukkan PAD dan digulirkan kembali. Contoh penerapan di Provinsi NTT
  • 41. 4) Vaksinasi  Efektivitas vaksinasi terhadap brucellosis berperan sangat penting dalam menurunkan tingkat insidensi dan prevalensi penyakit  Kebijakan vaksinasi dilaksanakan di daerah tertular berat yaitu daerah yang prevalensi awalnya diatas 2%  Pelaksanaan vaksinasi harus diikuti surveilans aktif yang tingkat sensitivitasnya harus cukup tinggi untuk mampu mendeteksi infeksi dalam populasi
  • 42. Prosedur vaksinasi  Vaksinasi pada tahun pertama dilakukan pada ternak semua tingkatan umur, terkecuali jantan dan betina sedang bunting  Vaksinasi pada tahun ke-2 dan seterusnya hanya pada anak sapi umur 3 - 9 bulan yang baru lahir dan sapi yang tidak tervaksin pada tahun sebelumnya  Vaksin S-19 (attenuated live vaccine) sebaiknya digunakan untuk anak sapi umur di bawah 1 tahun, sedangkan untuk ternak berumur lebih tua dianjurkan menggunakan vaksin RB-51 (live vaccine)  Berdasarkan kemampuan keuangan pusat dan daerah serta pertimbangan harga, vaksin yang dianjurkan digunakan untuk sapi potong adalah S-19, dan untuk sapi perah digunakan RB-51  Cakupan vaksinasi yang efektif untuk pengendalian brucellosis adalah minimal 80% dan optimal 100% (NCCR 2012)  Jika sudah mencapai tingkat prevalensi 2%, maka program vaksinasi dihentikan dan diganti dengan penerapan prosedur uji dan potong saja
  • 43. Aspek yang perlu diperhatikan dalam vaksinasi brucellosis 1) Setiap individu ternak yang divaksin harus diberi penandaan/identifikasi secara permanen 2) Mengingat keduanya adalah vaksin hidup, maka perlu diperhatikan potensi bahayanya terhadap manusia khususnya para vaksinator 3) Untuk hasil terbaik dalam penggunaan vaksin S-19, anak sapi divaksin ketika berusia 3-9 bulan. Kelemahan penggunaan vaksin S-19 adalah anak sapi yang divaksinasi memiliki antibodi yang dapat bertahan secara persisten sampai bertahun-tahun dan dapat membingungkan hasil uji diagnostik (menimbulkan positif palsu) 4) Kelebihan penggunaan vaksin RB-51 adalah hasil uji diagnostik dapat membedakan antara antibodi hasil vaksinasi dengan infeksi alam (tidak menimbulkan positif palsu), sehingga dapat digunakan pada ternak dewasa
  • 44. 5) Manajemen kelompok ternak  Prosedur yang harus dijalankan oleh peternak untuk mendukung program pemberantasan brucellosis  Manajemen harus dilaksanakan secara rutin, tetapi yang sangat penting diperhatikan dalam kaitannya dengan brucellosis adalah pada saat terdeteksi kasus keguguran  Manajemen kelompok ternak diterapkan sebagai berikut:  Memisahkan ternak bunting dari ternak yang lain, baik dengan cara dikandangkan secara terpisah pada sistem pemeliharaan intensif maupun dipisahkan dari kelompok ternak jika dilakukan proses penggembalaan  Memisahkan kelompok ternak dimana ditemukan reaktor positif dari kelompok kawanan ternak lainnya  Menerapkan prosedur penandaan dan pendataan pada individu ternak secara kontinyu
  • 45. 6) Karantina dan pengendalian lalu lintas ternak  Persyaratan bagi ternak yang akan dilalulintaskan antar daerah, antar provinsi dalam satu pulau, dan antar pulau adalah: (1) Semua ternak yang dilalulintaskan antar daerah, antar provinsi dalam satu pulau atau antar pulau dengan syarat harus memiliki SKKH yang dikeluarkan oleh Dokter Hewan Berwenang dari Dinas yang menangani fungsi Kesehatan hewan di daerah asal (2) Khusus untuk pencegahan brucellosis, ternak tersebut harus dilengkapi dengan dokumen sebagai berikut:  Surat Keterangan Vaksinasi terhadap Brucellosis yang dikeluarkan oleh Dokter Hewan Berwenang dari Dinas yang menangani fungsi Kesehatan hewan di daerah asal; dan/atau  Surat Keterangan Hasil Uji Serologik terhadap Brucellosis dari Laboratorium Kesehatan Hewan berwenang yang menyatakan hasil negatif
  • 46. Pengambilan sampel  Pengambilan sampel tidak dilakukan pada sapi jantan kastrasi, sedangkan pada sapi betina bibit dilakukan 100%  Pengambilan sampel dilakukan untuk sapi potong yang berasal dari daerah tertular dan tidak langsung dipotong di RPH. Jika sapi siap potong langsung dipotong ke RPH tidak perlu pengambilan sampel  Pengujian dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara yaitu: - Di daerah pengeluaran (asal), pengujian dilakukan dengan RBT sebanyak 2 kali oleh Dinas berwenang setempat dengan selang waktu antara uji pertama dan kedua sekurang-kurangnya 30 hari dan paling lambat 60 hari - Di daerah pengeluaran, pengujian dilakukan dengan RBT sebanyak 1 kali oleh Dinas berwenang setempat dan dilanjutkan dengan uji kedua di Dinas Peternakan tujuan (antar daerah & Provinsi dalam satu pulau) dan dilakukan di stasiun/pos karantina (antar pulau) dengan selang waktu antara uji pertama dan kedua sekurang-kurangnya 30 hari dan paling lambat 60 hari
  • 47. Implementasi karantina dan pengendalian lalu lintas Kegiatan Asumsi dan Pra-kondisi • Koordinasi jajaran karantina dengan Dinas berwenang Provinsi/Kab/Kota • Pengambilan sampel oleh Dinas berwenang Provinsi/Kab/Kota /Stasiun Karantina untuk antar area; Balai Karantina Kelas I/II untuk antar provinsi/pulau • Pengujian RBT oleh Labkeswan tipe B/C/Lab karantina • Pengujian CFT oleh BBV/BV /Labkeswan tipe B • Penetapan ternak positif berdasarkan hasil uji CFT • Penolakan ternak positif dilalulintaskan dan dilakukan prosedur uji dan potong • Penerapan tindakan berdasarkan uji dan potong dapat diterapkan melalui koordinasi jajaran karantina dengan Dinas berwenang Provinsi/Kab/Kota • Penerimaan hasil uji tepat waktu • Pemilik dan pedagang ternak memahami ketentuan lalu lintas ternak
  • 48. 7) Peningkatan kesadaran masyarakat  Program ini dapat dilakukan dengan membangun kerjasama Dinas berwenang dengan peternak melalui perkumpulan sosial kemasyarakatan baik formal maupun informal, misalnya kelompok ternak, koperasi, asosiasi pedagang sapi/kerbau, dlsbnya • Banyak bentuk partisipasi masyarakat yang diperlukan untuk keberhasilan program pemberantasan brucellosis, antara lain: - aktif melaporkan kasus keguguran - aktif melakukan penandaan ternak - kooperatif mengikuti proses dan prosedur pemeriksaan brucellosis - kooperatif menerima dan melaksanakan prosedur pemotongan bersyarat dan prosedur kompensasi yang menyertainya
  • 49. Lokakarya Penyusunan Masterplan Pengendalian dan Penanggulangan Penyakit Hewan Menular Strategis (PHMS) Bogor, 12-13 November 2013
  • 50. 1) Pengorganisasian dan manajemen  Pengorganisasian dan manajemen program pemberantasan brucellosis dipegang oleh: - Pemerintah - Pemerintah Provinsi - Pmerintah Kabupaten/Kota yang harus dilakukan bersama-sama dengan jajaran Badan Karantina Pertanian sebagai pemegang otoritas dalam pengendalian lalu lintas ternak beserta seluruh jajarannya mulai dari Balai Karantina Kelas I/II sampai Stasiun Karantina yang berada di berbagai daerah
  • 51. ALUR PENGORGANISASIAN DAN MANAJEMEN BRUCELLOSIS • Vaksinasi • Uji dan potong • Pengambilan sampel • Pengambilan sampel DITJENNAKKESWAN BADAN KARANTINA PERTANIAN PUSAT KARANTINA HEWANKOORDINASI BALAI KARANTINA KELAS I/II TERNAK YANG DILALULINTASKAN ANTAR PULAU/AREA BBV/BV LAB KESWAN TIPE B LAB KARANTINA (HANYA KELAS I) BALAI BESAR KARANTINA PERTANIAN POPULASI TERNAK DITKESWAN DINAS BERWENANG PROVINSI STASIUN KARANTINA DINAS BERWENANG KABUPATEN LAB KESWAN TIPE C KOORDINASI KOORDINASI
  • 52. Pembentukan Tim Koordinasi  Untuk mewujudkan koordinasi yang efektif sebagaimana disebutkan diatas, perlu dibentuk Tim Koordinasi (Tikor) Pemberantasan Brucellosis mulai dari tingkat pusat hingga ke tingkat kabupaten/kota  Tim dibentuk berdasarkan Surat Keputusan resmi dari Pemerintah, dan Pemerintah Daerah di masing-masing tingkatan. Untuk tingkat nasional oleh Menteri Pertanian, sedangkan di tingkat provinsi oleh Gubernur, dan di tingkat kabupaten/kota oleh Bupati/Walikota  Tim Koordinasi di tingkat nasional terdiri atas perwakilan dari Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, BBV/BPPV, Pusvetma, Badan Karantina Pertanian, dan asosiasi di bidang peternakan dan kesehatan hewan  Tim Koordinasi di tingkat provinsi dan kabupaten/kota terdiri atas perwakilan dari Dinas berwenang, laboratorium kesehatan hewan, karantina, dan asosiasi di bidang peternakan dan kesehatan hewan
  • 53. 1a) Peran dan tanggung jawab Pemerintah (Ditkeswan) (1) Membuat pedoman nasional yang ditetapkan melalui keputusan Menteri Pertanian (sebagai pengganti SK Mentan No.828/Kpts/OT.210/10/98) (2) Membuat surat edaran ke provinsi (3) Melakukan koordinasi dengan instansi terkait (jajaran karantina) (4) Membuat Nota Kesepahaman dengan asosiasi peternak (seperti GKSI, PPSKI, APFINDO, dsb) (5) Melaksanakan rapat koordinasi tingkat nasional (6) Melaksanakan pelatihan dan lokakarya (7) Membuat analisa kerugian ekonomi secara nasional (8) Menyiapkan pendanaan untuk vaksin, operasional vaksinasi, antigen, operasional diagnostik, dan operasional surveilans (9) Menyiapkan materi dan sarana KIE (10) Melaksanakan surveilans aktif untuk pembuktian status bebas dan pelaporannya (oleh BBV/BV) (11) Melakukan monev
  • 54. 1b) Peran dan tanggung jawab Dinas berwenang Provinsi (1) Membuat petunjuk pelaksanaan (juklak) berdasarkan pedoman nasional yang ditetapkan dengan keputusan gubernur (2) Membuat surat edaran ke kabupaten (3) Melaksanakan koordinasi dengan instansi terkait (komda, jajaran karantina) (4) Membuat rencana pemberantasan dan analisa ekonomi (5) Membentuk tim pemberantasan (staf provinsi, staf kabupaten /kota, BBV/BV, karantina, pengurus koperasi, dlsbnya) (6) Membuat Nota Kesepahaman dengan asosiasi peternak (seperti GKSI, PPSKI, APFINDO, dsb) (7) Menerbitkan surat keterangan kesehatan hewan (SKKH) dengan dilampiri hasil uji laboratorium, untuk ternak yang akan dilalu lintaskan antar provinsi (8) Melaksanakan rapat koordinasi tingkat provinsi (9) Melaksanakan pelatihan dan lokakarya (10) Menyiapkan pendanaan untuk vaksin dan antigen, operasional vaksinasi, operasional surveilans, dan kompensasi (11) Melaporkan hasil surveilans, vaksinasi dan uji/potong ke pusat setelah agregasi dan konsolidasi seluruh laporan kabupaten/kota (12) Menyiapkan materi dan sarana KIE, dan melaksanakan KIE (13) Melaksanakan monev
  • 55. 1c) Peran dan tanggung jawab Dinas berwenang Kabupaten/Kota (1) Membuat petunjuk teknis (juklnis) berdasarkan petunjuk pelaksanaan dan pedoman nasional yang ditetapkan dengan keputusan pimpinan daerah (2) Membuat rencana operasional pemberantasan dan analisa ekonomi (3) Melaksanakan koordinasi dengan instansi terkait (4) Membentuk tim pemberantasan (staf kabupaten, staf instansi terkait, pengurus asosiasi pedagang ternak); (5) Melaksanakan rapat tingkat kabupaten; (6) Menerbitkan surat keterangan kesehatan hewan (SKKH) dengan dilampiri hasil uji laboratorium, untuk ternak yang dilalu lintaskan antar kabupaten (8) Menyiapkan pendanaan untuk vaksin, bahan dan peralatan, operasional surveilans, operasional vaksinasi, dan kompensasi (9) Menyiapkan pendanaan untuk penandaan/identifikasi ternak (10) Menyiapkan pendanaan untuk pembuatan kandang jepit (11) Melakukan operasionalisasi pemberantasan (12) Melaporkan data surveilans, vaksinasi dan uji/potong ke provinsi (13) Menyiapkan sarana KIE (sosialisasi, media dlsbnya), dan melaksanakan KIE (14) Melakukan monev
  • 56. 2) Pelibatan pihak terkait  Untuk mendukung program pemberantasan brucellosis, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah perlu membentuk kelompok tenaga ahli dari lembaga penelitian dan universitas, terutama dalam upaya melaksanakan peningkatan kapasitas dalam bentuk pelatihan, lokakarya dan/atau forum nasional  Perlu melibatkan pihak swasta seperti koperasi, LSM dan pihak lainnya seperti asosiasi peternak, asosiasi pedagang ternak sesuai dengan perannya masing-masing
  • 57. 3) Implementasi vaksinasi Kegiatan Asumsi dan Pra-kondisi • Penyediaan vaksin dan logistik vaksinasi • Koordinasi pelaksanaan antara Dinas berwenang Kabupaten/Kota dengan Provinsi, Ditkeswan dan Pusvetma • Pelaksanaan vaksinasi pada semua tingkatan umur sapi pada tahun pertama • Pelaksanaan vaksinasi pada anak sapi umur 3-9 bulan dan anak kelahiran baru juga sapi yang belum divaksin (pada tahun ke-2 s/d ke-4) • Evaluasi vaksinasi dengan surveilans untuk membedakan ternak yang divaksinasi dan tidak • Kebutuhan vaksin terencana dengan baik melalui koordinasi antara Ditkeswan, Dinas berwenang Provinsi dan Kabupaten/Kota • Dinas menyediakan logistik vaksinasi dan biaya operasional • Pengadaan kandang jepit permanen atau temporer • Setiap ternak yang divaksinasi harus diberi tanda/diidentifikasi • Jumlah vaksin yang tersedia sesuai kebutuhan cakupan vaksinasi • Rantai dingin vaksin berjalan efektif • Kemampuan uji yang membedakan antara ternak divaksinasi atau tidak (false positive) • Setiap ternak yang divaksin diberikan surat keterangan vaksinasi
  • 58. 4) Implementasi Uji & Potong dan Kompensasi Kegiatan Asumsi dan Pra-kondisi • Koordinasi pelaksanaan antara Dinas berwenang Kabupaten/Kota, Provinsi dan pemilik ternak • Melakukan penelusuran terhadap reaktor setelah mendapatkan hasil CFT dari BBV/BV • Pencatatan data reaktor oleh Dinas berwenang Kabupaten/Kota • Melakukan pemotongan terhadap reaktor sesuai prosedur yang ditetapkan • Mengatur dan menyalurkan ganti rugi/kompensasi bagi peternak pemilik ternak reaktor • Hasil uji CFT dari BBV/BV diterima Dinas berwenang Kabupaten/Kota • Identifikasi/registrasi ternak pada saat dilakukan pengambilan sampel dapat ditelusuri untuk penetapan ternak reaktor • Dana kompensasi tersedia sesuai kebutuhan jumlah reaktor • Jarak waktu antara pengiriman hasil uji CFT dengan penelusuran reaktor tidak terlambat • Kesadaran pemilik ternak untuk merelakan ternaknya dipotong • Ternak belum dijual atau dipindahkan oleh pemilik ternak
  • 59. 5) Sistim informasi iSIKHNAS yaitu sistem informasi yang sekarang sedang dikembangkan dengan bantuan DAFFmelalui program AIP-EID, dimana databasenya dirancang secara terintegrasi untuk nantinya dapat digunakan dalam aplikasi khusus seperti surveilans brucellosis 1) Surveilans pasif  Pencatatan data rutin melalui sistem informasi (SMS gateway, i-SIKHNAS dll) oleh Dinas berwenang Provinsi, Kabupaten/Kota 2) Surveilans aktif untuk penetapan status awal/ pemantauan infeksi  Pencatatan data oleh Dinas berwenang Kabupaten  Pelaporan (i-SIKHNAS) ke Dinas berwenang Provinsi 3) Surveilans aktif untuk pembuktian status bebas  Pencatatan dan analisa data oleh BBV/BV bekerjasama dengan Dinas berwenang Provinsi/Kabupaten/Kota (InfoLAB, i-SIKHNAS)  Pelaporan ke Pusat oleh BBV/BV
  • 60. 6) Identifikasi ternak  Dengan identifikasi ternak, mudah dilakukan pengawasan terhadap individu ternak/kelompok ternak, penelusuran kembali (tracing back) ternak reaktor, dan informasi tentang status kesehatan ternak (sudah divaksin atau belum, sudah pernah diuji terhadap brucellosis, pernah mengalami keguguran, dlsbnya)  Alternatif muncul dalam melakukan identifikasi ternak, seperti:  Penggunaan cat yang diberikan tanda “S” untuk reaktor  Pengunaan kartu hewan untuk mengindikasikan bahwa ternak sudah divaksin atau sudah pernah diuji terhadap brucellosis  Pemberian kalung yang digantungkan di leher sebagai pembeda dengan sapi yang belum divaksin  Tidak dibahas secara spesifik dalam Masterplan mengenai sistem identifikasi ternak secara nasional dan pilihan diserahkan kepada pemerintah provinsi/kabupaten/kota disesuaikan dengan situasi dan kondisi serta budaya masyarakat setempat
  • 61. 7) Dukungan regulasi terkait brucellosis Aspek Regulasi Pengendalian dan pemberantasan UU No. 18/2009 Pasal 39 (1) Surveilans UU No. 18/2009 Pasal 40 (1) SK Mentan No. 828/Kpts/OT.210/10/1998 Pelaporan penyakit oleh peternak UU No. 18/2009 Pasal 45 (1) Pengendalian lalu lintas ternak UU No. 18/2009 Pasal 42 (5) SK Mentan No. 828/Kpts/OT.210/10/1998 Pelarangan lalu lintas hewan dan produk hewan dari daerah tertular/tersangka ke daerah bebas UU No. 18/2009 Pasal 45 (5) Kep. KaBarantan No. 355.a/Kpts/PD.670.320/L/ 9/2008 Depopulasi UU No. 18/2009 Pasal 44 (1) – tidak spesifik uji dan potong, diperbaiki dalam RPP Uji dan potong SK Mentan No. 828/Kpts/OT.210/10/1998 Kompensasi UU No. 18/2009 Pasal 44 (3) – tidak jelas, diperbaiki dalam RPP
  • 62. 8) Pendanaan  APBN  APBD Provinsi  APBD Kabupaten/Kota  Swasta (Koperasi, asosiasi pedagang ternak dlsbnya)  Negara/lembaga donor
  • 63. Tabel 5: Pembagian tanggung jawab dalam pembiayaan program No. Kategori Sumber Pendanaan Pemerintah Sumber lainnya Pusat Provinsi Kabupaten/Kota 1 Vaksin dan vaksinasi a. Vaksin √ √ √ √ b. Logistik √ √ √ √ c. Operasional √ √ √ √ d. Training vaksinator dan petugas lapang - √ √ - 2 Surveillans √ √ √ - a. Antigen √ √ - - b. Operasional √ √ √ - c. Training √ √ - - 3 Kompensasi √ √ √ - 4 KIE a. Media dan sarana √ √ - - b. Operasional - √ √ √ 5 Identifikasi ternak - √ √ √ 6 Penyediaan kandang jepit - - √ √ 7 Monev √ √ √ -
  • 64. 9) Komunikasi, Informasi dan Edukasi  KIE dapat dilakukan secara lebih efektif dan menyeluruh apabila dilakukan pelibatan masyarakat secara langsung, seperti kader, kelompok ternak, tokoh peternak, pengurus koperasi, dlsbnya  Bentuk informasi dapat diberikan melalui media visual, seperti brosur, poster, kartun, komik maupun media visual lainnya  Isi pesan yang disampaikan bisa meliputi hewan apa saja yang peka terhadap brucellosis, cara penularan, gejala hewan terkena brucellosis, penularan ke manusia, kerugian ekonomi yang ditimbulkan, pencegahan penyakit, manajemen kelompok ternak, dlsbnya  Dalam edukasi peternak, sangat perlu diberikan penjelasan tentang dampak brucellosis yang mudah dikenali yaitu keguguran (abortus), sehingga para peternak cepat melaporkan setiap kejadian keguguran yang terjadi pada sapi betinanya atau pada kelompok ternaknya
  • 65. 10) Monitoring dan evaluasi  Monitoring dan evaluasi dilakukan oleh masing-masing organisasi/kelembagaan yang memegang peranan dalam program pemberantasan brucellosis sesuai dengan tingkatan hirarkinya  Direktorat Kesehatan Hewan dapat mengikutsertakan lembaga penelitian, universitas dan/atau LSM untuk melaksanakan monitoring dan evaluasi  Dinas berwenang Provinsi dan Kabupaten/Kota dapat bekerjasama dengan BV/BBV dan/atau Laboratorium Kesehatan Hewan tipe B dalam melakukan monitoring dan evaluasi secara berkala, dengan memantau hasil kerja di lapangan dengan alat kuesioner maupun uji serologis
  • 66. Lokakarya Penyusunan Masterplan Pengendalian dan Penanggulangan Penyakit Hewan Menular Strategis (PHMS) Bogor, 12-13 November 2013
  • 67. Tahapan untuk masing-masing klasifikasi daerah  Tahapan kegiatan secara keseluruhan untuk masing-masing klasifikasi daerah yaitu daerah tersangka, daerah tertular ringan (prevalensi < 2%), dan tertular berat (prevalensi > 2%)  Tahapan: (1) Penetapan status awal daerah (tahun ke-1) (2) Operasionalisasi pemberantasan (tahun ke-2 s/d 4) (3) Surveilans untuk pemantauan prevalensi (tahun ke-5 s/d 7) (4) Surveilans untuk pembuktian status bebas  Lamanya masing-masing tahapan hanya bersifat indikatif dan bergantung kepada keberhasilan dalam mengatasi asumsi prakondisi seperti yang dijelaskan pada Lampiran 1 Masterplan
  • 68. Operasionalisasi pemberantasan  Lamanya operasionalisasi pemberantasan bergantung kepada banyak faktor termasuk aspek kesisteman, infrastruktur dan sumberdaya lainnya yang digunakan untuk mendukung pencapaian sasaran dan tujuan pemberantasan  Apabila semua strategi di atas dilaksanakan sesuai prosedur dan berjalan efektif, maka diasumsikan: - Daerah tertular ringan (prevalensi < 2%) paling tidak dibutuhkan waktu 3 tahun dengan penekanan strategi pada uji dan potong - Daerah tertular berat (prevalensi > 2%) paling tidak dibutuhkan waktu 4 tahun dengan kombinasi vaksinasi dan uji dan potong  Jika tingkat prevalensi di daerah tertular berat sudah mencapai < 2%, maka program vaksinasi dihentikan dan dilanjutkan hanya dengan kebijakan uji dan potong saja
  • 69. Tahapan kegiatan Operasionalisasi pemberantasan () Surveilans untuk pemantauan Prevalensi (tahun ke- s/d ke-11) Surveilans untuk pembuktian status bebas pada tahun ke-12 Deklarasi Status bebas Prevalensi Dasar (baseline prevalence) DAERAH TERTULAR RINGAN (prevalensi < 2%) DAN TERTULAR BERAT (prevalensi > 2%) DAERAH TERSANGKA
  • 70. 1 Penentuan prevalensi dasar 2 1. Penentuanklasifikasizona 2. Penentuan tahap 3. Buatprogrampemberantasan 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 DAERAH TERTULAR RINGAN (prevalensi < 2%) Tahun ke- Skema 1: Daerah tersangka (prevalensi tidak diketahui) • Tahun ke-1 untuk penentuan pevalensi dasar • Setelahnya jangka waktu yang dibutuhkan untuk pembebasan bergantung kepada klasifikasi daerah (tertular ringan menjadi 6 tahun dan tertular berat menjadi 10 tahun) DAERAH TERTULAR BERAT (prevalensi > 2%)
  • 71. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Surveilansaktif denganhasil negatifatau prevalensisangat rendah(<0,2%) Surveilansaktif untukpembuktian statusbebas Sero-survei dengan uji danpotongsampai tingkat prevalensisangatrendah Skema 2: Daerah tertular ringan (prevalensi < 2%) Tahun ke- • Tidak ada vaksinasi • Jangka waktu yang dibutuhkan untuk pembebasan apabila berjalan efektif adalah 5 - 6 tahun
  • 72. 1 Vaksinasi semua tingkatan umur 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Vaksinasi semua anaksapi 3 - 9bulan Surveilansaktifdengan hasilnegatif/prevalensi sangatrendah <0,2% dan vaksinasi sudah dihentikan Surveilansaktif untukpembuktian statusbebas Sero-surveidengan ujidanpotong Tahun ke- Skema 3: Daerah tertular berat (prevalensi > 2%) • Vaksinasi dan uji dan potong sampai tingkat prevalensi < 2% • Jangka waktu yang dibutuhkan untuk pembebasan apabila berjalan efektif adalah 10 tahun Serosurvei denganujidan potongsaja Prevalensi < 2%
  • 73. INDIKATOR PENCAPAIAN YANG TERVERIFIKASI (Artikel 11.3.1–11.3.9 OIE Terrestrial Animal Health Code (2012) 1. Brucellosis pada sapi atau dugaan keberadaan kasus di negara atau wilayah tersebut harus dilaporkan 2. Seluruh negara/wilayah berada dibawah pengawasan aparat keswan dan rata-rata prevalensi tidak lebih dari 0,2% 3. Pengujian serologis terhadap brucellosis pada sapi dilakukan secara periodik untuk setiap kelompok ternak, dengan atau tanpa uji cincin susu (Milk Ring Test) 4. Tidak ada vaksinasi brucellosis sekurang-kurangnya 3 tahun 5. Semua reaktor telah dipotong 6. Pemasukan hewan ke negara atau wilayah bebas brucellosis harus hanya berasal dari kelompok ternak yang dinyatakan secara resmi bebas dari brucellosis pada sapi
  • 74. Prosedur deklarasi bebas brucellosis suatu daerah secara resmi 1) Seluruh Persyaratan OIE terpenuhi dan dinyatakan dengan laporan BBV/BV yang memverifikasi situasi tiga tahun terakhir dan melakukan surveilans untuk pembuktian status bebas; 2) Sistem karantina dan pengendalian lalu lintas ternak di daerah tersebut terutama pengawasan terhadap ternak-ternak yang dimasukkan dari luar daerah dan antar area berjalan sesuai persyaratan yang ditetapkan; 3) Adanya surat dari Kepala Daerah/Gubernur 4) Adanya surat rekomendasi dan laporan dari BBV/BV; 5) Disetujui dalam rapat Komisi Ahli Kesehatan Hewan; dan 6) Ditetapkan dengan Keputusan Menteri Pertanian
  • 75. Faktor kritis untuk sukses 1) Komitmen pemerintah yang kuat  Otoritas peternakan dan kesehatan hewan (kabupaten, provinsi, pusat)  Laboratorium (provinsi, regional)  Karantina (pos, stasiun, regional, dan pusat) 2) Dukungan dan komitmen produsen ternak  Kelompok industri: peternak, pedagang  Sektor pemasaran: pasar hewan, RPH 3) Pengorganisasian dan manajemen 4) Sistem informasi (alur hasil laboratorium dan lapangan) 5) Identifikasi ternak 6) Penilaian ekonomi (Economic asessment)
  • 76. Tri Satya Putri Naipospos Andri Jatikusumah, Winda Widyastuti, Erianto Nugroho, Ridvana Dwibawa, Sunandar, dan Nofita Nurbiyanti