Lokakarya membahas strategi pengendalian dan penanggulangan penyakit brucellosis pada sapi di Indonesia, dengan tujuan mencapai status bebas brucellosis pada tahun 2025. Strategi utama meliputi surveilans, uji dan pemotongan hewan reaktor, vaksinasi, serta peningkatan kesadaran masyarakat."
Masterplan Pemberantasan Brucellosis di Indonesia - Ditkeswan-AIPEID, Jakarta, 8 Desember 2013
1. Lokakarya Penyusunan Masterplan Pengendalian dan Penanggulangan
Penyakit Hewan Menular Strategis (PHMS)
Bogor, 12-13 November 2013
2. Lokakarya Penyusunan Masterplan Pengendalian dan Penanggulangan
Penyakit Hewan Menular Strategis (PHMS)
Bogor, 12-13 November 2013
3. Kontribusi subsektor peternakan terhadap PDB Nasional
– 1,6% dan terhadap PDB sektor pertanian – 15% per
tahun (BPS, 2013)
SATU dari 22 penyakit hewan menular strategis di
Indonesia ditetapkan melalui SK Direktur Jenderal PKH
No. 4026/Kpts/OT.140/3/2013
Menyebabkan kerugian ekonomi signifikan terhadap
industri sapi potong yang diperkirakan mencapai Rp.
138,5 milyar per tahun*
Penghambat pencapaian program swasembada daging
2014 (PSDSK 2014) – penanganan gangguan reproduksi
yang diakibatkan oleh brucellosis
Latar Belakang
* Sumber: Ditjennak, 2000
4. Epidemiologi brucellosis (1)
Masa Inkubasi bervariasi menurut kondisi dan umur hewan –
dari umur 1 hingga beberapa bulan
Penyebaran terjadi sebagai akibat dari kontaminasi lingkungan
setelah terjadi abortus atau ternak positif melahirkan
Bakteri dapat bertahan di lingkungan untuk jangka waktu
lama, khususnya pada lingkungan yang lembab dan tidak
terkena sinar matahari secara langsung (selama > 100 hari)
Sapi jantan dapat terinfeksi, tetapi secara alami tidak dapat
menularkan penyakit. Namun, dapat menularkan melalui
Inseminasi Buatan (sebab semen langsung menuju ke uterus).
Pusat-pusat IB sebaiknya melakukan pengujian secara cermat
Sumber: http://www.animalhealthaustralia.com.au
5. Epidemiologi brucellosis di Indonesia
Prevalensi brucellosis pada peternakan semi-intensif dan ekstensif
tradisional lebih tinggi dari peternakan intensif (Miswati et al., 2003)
Kejadian abortus sekitar 48,5% terjadi pada umur kebuntingan 4-6
bulan umur kebuntingan dan sekitar 48,5% lainnya terjadi pada
umur kebuntingan 6-9 bulan, dengan kata lain 97% terjadi pada
umur kebuntingan lebih dari 3 bulan (Putra, 2005)
Anak sapi yang dilahirkan dari induk reaktor akan menjadi karier
laten dan akan mengalami abortus pada kebuntingan pertama serta
mencemari lapangan penggembalaan kembali (Pitona dan
Hendrawati, 2006)
Prevalensi brucellosis pada sistem peternakan intensif dengan
kandang gabungan lebih tinggi dibandingkan dengan ternak yang
dikandangkan secara individu (Tae Lake, 2010)
6. Dampak brucellosis terhadap
produksi peternakan
Dampak langsung:
- Keguguran (abortus)
- Kemajiran (infertilitas)
- Kematian pada anak sapi saat melahirkan
- Penurunan harga jual ternak
- Penurunan produksi susu pada ternak perah
- Penurunan berat badan pada ternak potong
Dampak tidak langsung:
- Penurunan populasi ternak di suatu daerah
- Penurunan peluang perdagangan ternak
- Penurunan pendapatan daerah
Dampak lainnya:
- Pengeluaran ekstra dalam bentuk biaya untuk kompensasi,
disposal dan disinfeksi, sosialisasi, surveilans dan vaksinasi
7. Dasar dan ruang lingkup kebijakan
Sasaran spesies: Brucella abortus
Sasaran jenis ternak: sapi potong dan sapi perah
Tingkat penyebaran: Reaktor brucellosis telah ditemukan
secara luas di pulau-pulau besar di Indonesia, seperti
Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Pulau Timor,
kecuali Bali
Sejarah wabah: Epidemi pada banyak peternakan sapi
perah di Jakarta, Bandung, Jawa Tengah dan Jawa Timur
Uji serologis dapat diandalkan karena tidak dijumpai
adanya gejala patognomonik pada hewan terinfeksi
kecuali pada saat keguguran (Soejoedono, 2004)
8. Kerangka pikir penyusunan Masteplan
pemberantasan brucellosis
1) Kondisi geografis indonesia;
2) Kondisi sistem produksi ternak dan rantai perdagangan
ternak di indonesia;
3) Epidemiologi dan pengetahuan mengenai faktor risiko
brucellosis di indonesia;
4) Pembelajaran dari daerah-daerah yang telah berhasil
melakukan pembebasan di wilayahnya masing-masing
5) Pembelajaran dari kesulitan yang dihadapi di lapangan;
6) Infrastruktur dan sumberdaya terbatas; dan
7) Pendekatan yang dilakukan di negara-negara lain serta
pendekatan yang diakui secara internasional
9. Sasaran: Mencapai status negara bebas
brucellosis pada tahun 2025
Penetapan sasaran ini didasarkan atas terpenuhinya
seluruh indikator pencapaian yang terverifikasi
dengan memperhatikan asumsi dan pra kondisi
program pemberantasan seperti diuraikan dalam
matriks kerangka kerja logis pada Lampiran 1
Masterplan Pemberantasan Brucellosis
Pencapaian sasaran bergantung kepada tata
pemerintahan veteriner yang baik (good veterinary
governance) dan kesiapan sumberdaya manusia,
fasilitas sarana, material dan infrastruktur
10. Tujuan jangka pendek
Meningkatkan populasi ternak
Meningkatkan nilai jual ternak
Mengamankan daerah sumber bibit ternak dari
brucellosis, sehingga mengurangi risiko penularan
penyakit ke daerah penerima bibit ternak
Meningkatkan pendapatan daerah dan ekonomi nasional
Meningkatkan perdagangan ternak
Mengamankan masyarakat dari risiko tertular brucellosis
Tujuan jangka panjang
11. Asumsi dan Pra kondisi pencapaian
pemberantasan brucellosis
Komitmen pemerintah dan pemerintah daerah
dalam memberikan prioritas dana terhadap upaya
pemberantasan brucellosis
Kelanjutan produksi vaksin Pusvetma (Brucivet)
dapat dipertahankan
Kerjasama yang erat antara institusi yang
bertanggung jawab di bidang pemberantasan
penyakit (Ditkeswan dan jajaran Dinas berwenang)
dan di bidang pengendalian lalu lintas ternak (jajaran
Barantan sampai ke daerah)
12. Keluaran INDIKATOR PENCAPAIAN
YANG TERVERIFIKASI
1. Diketahuinya status awal daerah
(bagi daerah tersangka
/prevalensi tidak diketahui)
Surveilans aktif untuk penentuan
prevalensi dasar dengan pengambilan
sampel terstruktur terlaksana sesuai
prosedur
2. Menurunnya tingkat prevalensi
secara progresif
• Surveilans pasif dan aktif untuk
memantau tingkat infeksi/prevalensi
terlaksana sesuai prosedur
• Vaksinasi terlaksana sesuai prosedur
3. Menurunnya jumlah reaktor
setiap tahun
• Surveilans aktif dengan uji dan potong
terlaksana sesuai prosedur
• Jumlah dana kompensasi cukup
4. Meningkatnya tingkat kesadaran
pelaku usaha dan peternak
Proses komunikasi, informasi dan
edukasi (KIE) terlaksana dengan baik
Indikator pemberantasan
13. Prinsip utama pemberantasan
1) Penyembelihan terhadap seluruh reaktor
(hewan yang menunjukkan reaksi positif
terhadap uji serologis);
2) Vaksinasi populasi hewan yang peka; dan
3) Pengendalian lalu lintas dan penelusuran
ternak.
14. 7 (tujuh) Strategi pemberantasan
Surveilans
Uji dan potong
Kompensasi
Vaksinasi
Manajemen kelompok ternak
Karantina dan pengendalian lalu lintas ternak
Peningkatan kesadaran masyarakat
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
15. Pendekatan tahapan (FAO,2012)
Pendekatan pertama yang digunakan dalam menerapkan
kebijakan pemberantasan brucellosis di Indonesia adalah
pendekatan tahapan (stepwise approach)
Pendekatan tersebut mengacu kepada 4 (empat) tahapan
yang diperkenalkan FAO yaitu “A four-stage roadmap for
progressive control of brucellosis in animals and humans”
Peta jalan (roadmap) ini dirancang untuk membuat
pemberantasan brucellosis menjadi suatu proses yang
progresif
Dalam Masterplan Nasional, tidak dimasukkan aspek
brucellosis pada manusia dalam pendekatan ini
16. Tahap Situasi Hasil yang diharapkan
Tahap 0:
Situasi tidak diketahui
• Kasus keguguran/wabah jarang sekali
terkonfirmasi, dan prevalensi serta
distribusinya tidak di ketahui pasti.
• Pihak berwenang perlu mengetahui
infeksi spesies Brucella pada dugaan
kasus keguguran/wabah tersebut, juga
prevalensi pada berbagai spesies ternak.
• Pemahaman tentang
epidemiologi penyakit
lebih baik, sehingga
program pemberantasan
dapat dimulai.
Tahap 1:
Situasi diketahui dengan
program pengendalian
• Program nasional pemberantasan
brucellosis berlaku resmi di seluruh
wilayah negara.
• Ada SOP (kendali mutu vaksin, prosedur
vaksinasi , dan diagnosa laboratorium).
• Prevalensi brucellosis
menurun pada ternak.
Tahap 2:
Mendekati bebas
• Tingkat sero-prevalensi brucellosis pada
ternak cenderung menurun, tetapi
perkembangan masih tidak merata.
• Prevelensi brucellosis
terus menurun ke tingkat
yang rendah pada ternak.
Tahap 3:
Deklarasi status bebas
brucellosis
• Pihak yang berwenang di tingkat nasional
mendeklarasikan status bebas brucellosis
setelah memenuhi standar OIE.
• Status bebas brucellosis
dideklarasikan
Tabel 1: Pendekatan tahapan pemberantasan
brucellosis yang progresif
17. TAHAP 0:
Situasi tidak diketahui
Sumatra Utara, Nusa Tenggara Timur
(Sawu, Rote), Sulawesi Utara, Sulawesi
Tengah, Sulawesi Barat, Sulawesi
Tenggara, Gorontalo, Maluku, Maluku
Utara, Papua, Papua Barat
TAHAP 1:
Situasi diketahui dengan
program pengendalian
Jawa, Nusa Tenggara Timur (Timor,
Flores), Aceh, Sulawesi Selatan
TAHAP 2:
Mendekati bebas
Madura, Nusa Tenggara Timur (Sumba)
TAHAP 3:
Deklarasi bebas brucellosis
Lombok, Bali, Sumbawa, Kalimantan,
Sumatra Barat ,Riau, Jambi, Kepulauan
Riau, Sumatra Selatan, Bengkulu,
Lampung, Babel
Sumber: A Four-stage Roadmap for
Progressive Control of Brucellosis (FAO, 2013)
Gambar 2: Tahapan progresif
pemberantasan brucellosis
di Indonesia (situasi 2013)
18. Pendekatan zona (Ditkeswan 2013)
Pendekatan kedua yang digunakan dalam menerapkan
kebijakan pemberantasan brucellosis di Indonesia adalah
pendekatan zona (zoning approach)
Pendekatan ini didasarkan atas klasifikasi daerah/zona yaitu:
(1) Daerah bebas penyakit
(2) Daerah tersangka (prevalensi tidak diketahui)
(3) Daerah tertular ringan (< 2%)
(4) Daerah tertular berat (> 2%)
Pendekatan ini direkomendasikan untuk digunakan pada
tingkatan kabupaten/kota, atau setidaknya batasan geografi
terkecil yaitu “desa”
19. No. Status zona / tahap Klasifikasi daerah
1 Daerah bebas penyakit Lombok, Bali, Sumbawa, Kalimantan, Sumatera
Barat, Riau, Jambi, Kepulauan Riau, Sumatera
Selatan, Bengkulu, Lampung, Babel
2 Daerah tersangka
(prevalensi tidak
diketahui)
Sumatera Utara, Banten, Jawa Barat, Jawa
Tengah, Nusa Tenggara Timur (Pulau Sawu dan
Rote), Sulawesi Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi
Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan (11
kabupaten), Gorontalo, Maluku, Maluku Utara,
Papua, Papua Barat
3 Daerah tertular ringan
(prevalensi < 2%)
DI Yogyakarta, Madura, Sumba, Timor (TTS,
Kabupaten dan Kota Kupang), Sulawesi Selatan
(5 kabupaten), Aceh (diluar 2 kabupaten)
4 Daerah tertular berat
(prevalensi > 2%)
Flores, Timor (Belu, TTU), Sulawesi Selatan (8
kabupaten), Aceh (2 kabupaten), DKI Jakarta,
Jawa Timur
Tabel 2: Klasifikasi daerah dengan pendekatan
zona (situasi 2013)
Sumber: Data Direktorat Kesehatan Hewan (2013)
24. Daerah bebas penyakit
Melakukan tindakan pengendalian lalu lintas
yang ketat dengan persyaratan:
Setiap ternak sapi (potong maupun perah) yang
dimasukkan ke daerah tersebut harus memiliki
SKKH yang dilengkapi dengan Surat Keterangan
Vaksinasi (dari daerah tertular berat) dan Surat
Keterangan Hasil Uji Serologik dari labkeswan
berwenang yang menunjukkan hasil negatif
brucellosis*
* SK Mentan No.828/Kpts/OT.210/10/98
25. Daerah tersangka (prevalensi tidak diketahui)
Tahun ke-1 1) Melakukan surveilans aktif untuk penentuan status awal daerah
dengan prosedur pengambilan sampel yang telah ditentukan
2) Melakukan surveilans pasif berkelanjutan untuk memantau kasus
keguguran dan respon tindakan apabila ditemukan kasus positif
brucellosis.
3) Menetapkan kebijakan pemberantasan setelah klasifikasi daerah
diketahui
Tahun ke-2
dstnya
1) Melakukan tindakan pemberantasan sesuai dengan klasifikasi
daerah (mengikuti prosedur pemberantasan yang ditetapkan
untuk tingkat prevalensi < 2% atau > 2%)
26. Daerah tertular ringan (prevalensi < 2%)
Tahun ke-1 1) Melakukan surveilans aktif dengan prosedur pengambilan sampel
2) Melakukan tindakan uji dan potong terhadap semua reaktor hasil
surveilans dengan pemberian kompensasi
3) Melakukan surveilans pasif berkelanjutan untuk memantau kasus
keguguran dan respon tindakan apabila ditemukan kasus positif
Tahun ke-2
dstnya
1) Melakukan surveilans monitoring disertai dengan tindakan uji dan
potong setiap tahun sampai tingkat prevalensi berhasil diturunkan
ke tingkat yang sangat rendah (< 0,2%)
2) Melakukan surveilans pasif berkelanjutan untuk memantau kasus
keguguran dan respon tindakan apabila ditemukan kasus positif
3) Melakukan surveilans aktif untuk pembuktian status bebas
Karantina dan Pengendalian lalu lintas
1) Melakukan pengambilan sampel dan pengujian pada setiap
individu ternak yang dilalulintaskan antar area
2) Melakukan koordinasi dengan Dinas berwenang Kabupaten apabila
ditemukan kasus positif
27. Daerah tertular berat (prevalensi > 2%)
Tahun ke-1 1) Melakukan vaksinasi pada semua tingkatan umur sapi
2) Melakukan surveilans aktif dengan prosedur pengambilan sampel
3) Melakukan tindakan uji dan potong terhadap semua reaktor hasil surveilans
dengan pemberian kompensasi sesuai mekanisme
4) Melakukan surveilans pasif berkelanjutan untuk memantau kasus
keguguran dan respon tindakan apabila ditemukan kasus positif
Tahun ke-2
s/d ke-4
1) Melakukan vaksinasi hanya pada anak sapi umur 3 – 9 bulan yang baru lahir
2) Melakukan vaksinasi sapi yang pada tahun sebelumnya tidak tervaksinasi
3) Melakukan surveilans aktif disertai dengan tindakan uji dan potong setiap
tahun sampai tingkat prevalensi diturunkan (< 0,2%)
4) Melakukan surveilans pasif berkelanjutan
Tahun ke-5
dstnya
1) Melakukan surveilans aktif untuk pembuktian status bebas setelah 3 tahun
berturut-turut dengan hasil surveilans menunjukkan setidak-tidaknya
tingkat prevalensi sangat rendah (< 0,2%).
Karantina dan Pengendalian lalu lintas
1) Melakukan pengambilan sampel dan pengujian pada setiap individu ternak
yang dilalulintaskan antar area
2) Melakukan koordinasi dengan Dinas berwenang Kabupaten apabila
ditemukan kasus positif
28. Lokakarya Penyusunan Masterplan Pengendalian dan Penanggulangan
Penyakit Hewan Menular Strategis (PHMS)
Bogor, 12-13 November 2013
29. 1) Surveilans
Surveilans brucellosis adalah program pendeteksian penyakit
secara kontinyu untuk mengidentifikasi adanya reaktor hingga
mencapai tingkat prevalensi tidak lebih dari 0,2%
Surveilans mendukung implementasi kebijakan vaksinasi
maupun kebijakan uji dan potong (test and slaughter)
Ada 2 (dua) macam kegiatan yaitu:
1) Surveilans pasif: program surveilans yang dilaksanakan secara
rutin untuk mendeteksi kasus kejadian keguguran (abortus) pada
ternak betina dewasa dan kemudian diambil sampelnya untuk
uji isolasi bakteriologis
2) Surveilans aktif: program surveilans yang dilaksanakan setahun
sekali untuk mendeteksi reaktor pada populasi ternak dan
mengukur/memantau tingkat prevalensi
30. Surveilans pasif
Sistem surveilans dimana Dinas berwenang tidak melaksanakan
pengumpulan informasi penyakit secara pro-aktif, tetapi hanya
menunggu sampai informasi kejadian penyakit dilaporkan
(Cameron 1999)
Dilakukan pada saat menerima laporan masyarakat mengenai
adanya kasus keguguran (abortus) pada ternak betina dewasa
atau anak lahir lemah/mati yang terjadi pada kelompok ternak
Dinas berwenang melakukan tindakan respon berupa kunjungan
lapangan untuk mendeteksi kasus keguguran tersebut dengan
pengambilan sampel untuk uji isolasi bakteriologis
Surveilans pasif merupakan surveilans sindroma (syndromic
surveillance) yang dilaporkan dan dicatat setiap bulannya oleh
Dinas berwenang Kabupaten/Kota
31. Surveilans aktif
Sistem surveilans yang menggunakan metode survei
penyakit yang terstruktur untuk mendapatkan informasi
penyakit yang bermutu tinggi secara cepat dan murah
(Cameron 1999)
Surveilans aktif merupakan program surveilans yang
dilaksanakan secara rutin untuk mendeteksi reaktor pada
populasi ternak
Reaktor adalah individu ternak yang menunjukkan reaksi
positif terhadap uji serologis
32. Perbedaan pelaksanaan surveilans pada
ternak potong dan ternak perah
Pada ternak potong:
- Pengambilan sampel serum ternak sapi dengan dua tahapan uji
serologis, yaitu RBT (Rose Bengal Test) sebagai uji tapis dan dilanjutkan
dengan CFT (Complement Fixation Test) sebagai uji konfirmasi
Pada ternak perah:
- Pengambilan sampel susu di tempat penampungan susu (TPS) dan
dilakukan uji Milk Ring Test (MRT)
- Apabila MRT menunjukkan hasil positif, maka penelusuran dilakukan
terhadap ternak yang menghasilkan susu yang dikumpulkan secara
kolektif tersebut. Setelah itu dilakukan pengambilan sampel darah dari
masing-masing individu ternak untuk dilakukan uji serologis RBT dan
dilanjutkan dengan CFT
- Apabila MRT menunjukkan hasil negatif, maka tidak perlu dilakukan
penelusuran terhadap asal susu
33. Alur Pemeriksaan Sampel Brucellosis
Brucellosis
( + )
Brucellosis
( - )
Polymerase Chain
Reaction (PCR)
PCR (+) PCR (-)
Milk Ring Test
(MRT)
MRT (+) MRT (-)
Complement Fixation
Test (CFT)
CFT (+) CFT (-)
Rose Bengal Test
(RBT)
RBT (+) RBT (-)
Uji Tapis
(Screening
Test)
Uji
Konfirmasi
Uji
Bakteriologis
1Laboratorium Tipe B
yang ditunjuk oleh
Kementrian Pertanian
(tingkat PROVINSI )
2Balai Besar Veteriner /
Balai Veteriner
(tingkat REGIONAL )
Laboratorium Tipe B
( Tingkat KABUPATEN )
Sampel SERUMSampel SUSU
Sampel ABORTUSAN, CAIRAN
AMNION, RETENSIO, URINE, LIMPA
Sapi Potong /
Bibit/Kerbau
Sapi Perah
34. Tiga tujuan Surveilans aktif
1) Surveilans aktif untuk penetapan status awal daerah
menetapkan tingkat prevalensi dasar (baseline prevalence)
bagi daerah tersangka (prevalensi tidak diketahui)
2) Surveilans aktif untuk pemantauan infeksi/prevalensi
memonitor tingkat prevalensi sampai ke situasi yang tepat
untuk pemberantasan yaitu tidak lebih dari 0,2%
3) Surveilans aktif untuk pembuktian status bebas (proof of
freedom)
membuktikan status bebas suatu daerah yang harus
dipertanggungjawabkan secara epidemiologis
35. Prosedur surveilans aktif
Sampel serum yang diambil berasal dari ternak sapi dewasa
berumur lebih dari 1 tahun
Target populasi surveilans harus dibedakan antara sapi potong
dan sapi perah, dan dipisahkan pada saat menghitung tingkat
prevalensinya
Penghitungan tingkat prevalensi untuk masing-masing jenis
hewan harus dijabarkan menurut tipologi produksi (intensif, semi-
intensif dan ekstensif/digembalakan), dan/atau menurut skala
produksi (peternak rakyat skala rendah, peternak komersial skala
menengah dan peternak komersial skala besar)
Surveilans setidaknya dilaksanakan setiap tahun sekali, dan
diulang pada tahun-tahun berikutnya hingga tingkat prevalensi
mencapai tidak lebih dari 0,2%
Pengambilan sampel dilakukan dengan metode “Multi-stage
Sampling” seperti dijelaskan pada Lampiran 2 Masterplan
36. Besaran sampel
Perhitungan besaran sampel untuk estimasi prevalensi dapat
didasarkan pada kajian atau data yang telah tersedia sebelumnya
di suatu daerah tertentu (misalnya: digunakan estimasi prevalensi
50% untuk mencapai jumlah maksimum sampel yang dibutuhkan
pada tingkat kepercayaan 95%, dan tingkat kesalahan 0,5%)
Perhitungan besaran sampel untuk deteksi reaktor bisa dilakukan
dengan menggunakan estimasi prevalensi secara bertahap
berdasarkan data prevalensi pada tahun-tahun sebelumnya
sampai dengan batasan standar yaitu 0,2%
Perhitungan prevalensi didasarkan pada unit epidemiologi yang
merupakan kumpulan ternak yang sama (homogen) baik dari
aspek jenis ternak maupun sistem pemeliharaannya dalam suatu
wilayah tertentu (OIE 2013). Untuk kondisi Indonesia, unit
epidemiologi dinyatakan sebagai “desa”
37. Gambar 4: Alur pelaporan data surveilans
CFT
+/Jumlah
sample
38. Implementasi surveilans aktif
Kegiatan Asumsi dan Pra-kondisi
• Koordinasi pelaksanaan antara Dinas
berwenang Provinsi,
Kabupaten/Kota dan BBV/BV
• Penyiapan metoda pengambilan
sampel sesuai pedoman (multistage
sampling)
• Pengambilan sampel sesuai metoda
• Pengiriman sampel untuk uji RBT ke
labkeswan tipe B/C
• Pengiriman sampel untuk uji CFT ke
BBV/BV atau labkeswan tipe B
• Penyampaian hasil uji CFT ke Dinas
berwenang Provinsi, Kabupaten/
Kota
• Petugas pengambil sampel di
lapangan terlatih
• Tersedia pedoman metoda
pengambilan sampel
• Tersedia pedoman pembuktian bebas
(proof for freedom)
• Manajemen rantai dingin pengiriman
sampel diterapkan
• Identifikasi ternak (kalung, kartu
ternak, ear tag, dsb) bisa
dipertahankan
• Pengadaan antigen cukup
• Kendali mutu (QC) diagnosa berjalan
baik
• Uji profisiensi/banding oleh Lab
referensi berjalan
39. 2) Uji dan potong
Program depopulasi ternak terinfeksi yang terdeteksi melalui
surveilans dan dilakukan secara kontinyu hingga mencapai
tingkat prevalensi 0,2%
Reaktor berdasarkan uji serologis CFT positif
Pemotongan bersyarat dilakukan terhadap reaktor dengan
ketentuan daging hasil pemotongan masih dapat dikonsumsi
sesuai persyaratan kesmavet, namun jeroan dimusnahkan
Penelusuran (tracing) adalah proses identifikasi reaktor
selama menunggu dilakukannya pemotongan bersyarat dan
terealisasinya pemberian kompensasi. Proses penelusuran
harus didukung dengan pencatatan data (recording) yang
lengkap dan baik, serta penandaan (tagging) untuk identifikasi
ternak (animal identification)
40. 3) Kompensasi
Dana disediakan oleh Pemerintah Pusat, Provinsi dan
Kabupaten/ Kota dan sumber dana lainnya sesuai peraturan
perundangan yang berlaku
Mekanisme yang sudah pernah diberlakukan antara lain:
Besaran kompensasi disesuaikan dengan harga pasar yang
berlaku saat itu atau 70% dari harga yang berlaku. Contoh
penerapan di Pulau Sumbawa ditetapkan setinggi-tingginya Rp.
10 juta
Besaran kompensasi dengan penggantian harga jeroan saja,
sedangkan daging dapat diperjualbelikan sesuai harga yang
berlaku oleh peternak yang bersangkutan
Ternak reaktor dibeli oleh pemerintah dan dipotong sebagai
masukkan PAD dan digulirkan kembali. Contoh penerapan di
Provinsi NTT
41. 4) Vaksinasi
Efektivitas vaksinasi terhadap brucellosis berperan
sangat penting dalam menurunkan tingkat insidensi
dan prevalensi penyakit
Kebijakan vaksinasi dilaksanakan di daerah tertular
berat yaitu daerah yang prevalensi awalnya diatas 2%
Pelaksanaan vaksinasi harus diikuti surveilans aktif
yang tingkat sensitivitasnya harus cukup tinggi untuk
mampu mendeteksi infeksi dalam populasi
42. Prosedur vaksinasi
Vaksinasi pada tahun pertama dilakukan pada ternak semua tingkatan
umur, terkecuali jantan dan betina sedang bunting
Vaksinasi pada tahun ke-2 dan seterusnya hanya pada anak sapi umur
3 - 9 bulan yang baru lahir dan sapi yang tidak tervaksin pada tahun
sebelumnya
Vaksin S-19 (attenuated live vaccine) sebaiknya digunakan untuk anak
sapi umur di bawah 1 tahun, sedangkan untuk ternak berumur lebih
tua dianjurkan menggunakan vaksin RB-51 (live vaccine)
Berdasarkan kemampuan keuangan pusat dan daerah serta
pertimbangan harga, vaksin yang dianjurkan digunakan untuk sapi
potong adalah S-19, dan untuk sapi perah digunakan RB-51
Cakupan vaksinasi yang efektif untuk pengendalian brucellosis adalah
minimal 80% dan optimal 100% (NCCR 2012)
Jika sudah mencapai tingkat prevalensi 2%, maka program vaksinasi
dihentikan dan diganti dengan penerapan prosedur uji dan potong saja
43. Aspek yang perlu diperhatikan dalam
vaksinasi brucellosis
1) Setiap individu ternak yang divaksin harus diberi
penandaan/identifikasi secara permanen
2) Mengingat keduanya adalah vaksin hidup, maka perlu diperhatikan
potensi bahayanya terhadap manusia khususnya para vaksinator
3) Untuk hasil terbaik dalam penggunaan vaksin S-19, anak sapi divaksin
ketika berusia 3-9 bulan. Kelemahan penggunaan vaksin S-19 adalah
anak sapi yang divaksinasi memiliki antibodi yang dapat bertahan
secara persisten sampai bertahun-tahun dan dapat membingungkan
hasil uji diagnostik (menimbulkan positif palsu)
4) Kelebihan penggunaan vaksin RB-51 adalah hasil uji diagnostik dapat
membedakan antara antibodi hasil vaksinasi dengan infeksi alam
(tidak menimbulkan positif palsu), sehingga dapat digunakan pada
ternak dewasa
44. 5) Manajemen kelompok ternak
Prosedur yang harus dijalankan oleh peternak untuk
mendukung program pemberantasan brucellosis
Manajemen harus dilaksanakan secara rutin, tetapi yang
sangat penting diperhatikan dalam kaitannya dengan
brucellosis adalah pada saat terdeteksi kasus keguguran
Manajemen kelompok ternak diterapkan sebagai berikut:
Memisahkan ternak bunting dari ternak yang lain, baik dengan
cara dikandangkan secara terpisah pada sistem pemeliharaan
intensif maupun dipisahkan dari kelompok ternak jika dilakukan
proses penggembalaan
Memisahkan kelompok ternak dimana ditemukan reaktor positif
dari kelompok kawanan ternak lainnya
Menerapkan prosedur penandaan dan pendataan pada individu
ternak secara kontinyu
45. 6) Karantina dan pengendalian lalu
lintas ternak
Persyaratan bagi ternak yang akan dilalulintaskan antar daerah,
antar provinsi dalam satu pulau, dan antar pulau adalah:
(1) Semua ternak yang dilalulintaskan antar daerah, antar provinsi
dalam satu pulau atau antar pulau dengan syarat harus memiliki
SKKH yang dikeluarkan oleh Dokter Hewan Berwenang dari Dinas
yang menangani fungsi Kesehatan hewan di daerah asal
(2) Khusus untuk pencegahan brucellosis, ternak tersebut harus
dilengkapi dengan dokumen sebagai berikut:
Surat Keterangan Vaksinasi terhadap Brucellosis yang dikeluarkan oleh
Dokter Hewan Berwenang dari Dinas yang menangani fungsi Kesehatan
hewan di daerah asal; dan/atau
Surat Keterangan Hasil Uji Serologik terhadap Brucellosis dari
Laboratorium Kesehatan Hewan berwenang yang menyatakan hasil
negatif
46. Pengambilan sampel
Pengambilan sampel tidak dilakukan pada sapi jantan kastrasi,
sedangkan pada sapi betina bibit dilakukan 100%
Pengambilan sampel dilakukan untuk sapi potong yang berasal dari
daerah tertular dan tidak langsung dipotong di RPH. Jika sapi siap
potong langsung dipotong ke RPH tidak perlu pengambilan sampel
Pengujian dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara yaitu:
- Di daerah pengeluaran (asal), pengujian dilakukan dengan RBT sebanyak 2
kali oleh Dinas berwenang setempat dengan selang waktu antara uji
pertama dan kedua sekurang-kurangnya 30 hari dan paling lambat 60 hari
- Di daerah pengeluaran, pengujian dilakukan dengan RBT sebanyak 1 kali
oleh Dinas berwenang setempat dan dilanjutkan dengan uji kedua di
Dinas Peternakan tujuan (antar daerah & Provinsi dalam satu pulau) dan
dilakukan di stasiun/pos karantina (antar pulau) dengan selang waktu
antara uji pertama dan kedua sekurang-kurangnya 30 hari dan paling
lambat 60 hari
47. Implementasi karantina dan
pengendalian lalu lintas
Kegiatan Asumsi dan Pra-kondisi
• Koordinasi jajaran karantina dengan
Dinas berwenang Provinsi/Kab/Kota
• Pengambilan sampel oleh Dinas
berwenang Provinsi/Kab/Kota /Stasiun
Karantina untuk antar area; Balai
Karantina Kelas I/II untuk antar
provinsi/pulau
• Pengujian RBT oleh Labkeswan tipe
B/C/Lab karantina
• Pengujian CFT oleh BBV/BV /Labkeswan
tipe B
• Penetapan ternak positif berdasarkan
hasil uji CFT
• Penolakan ternak positif dilalulintaskan
dan dilakukan prosedur uji dan potong
• Penerapan tindakan berdasarkan
uji dan potong dapat diterapkan
melalui koordinasi jajaran
karantina dengan Dinas berwenang
Provinsi/Kab/Kota
• Penerimaan hasil uji tepat waktu
• Pemilik dan pedagang ternak
memahami ketentuan lalu lintas
ternak
48. 7) Peningkatan kesadaran masyarakat
Program ini dapat dilakukan dengan membangun kerjasama
Dinas berwenang dengan peternak melalui perkumpulan sosial
kemasyarakatan baik formal maupun informal, misalnya
kelompok ternak, koperasi, asosiasi pedagang sapi/kerbau,
dlsbnya
• Banyak bentuk partisipasi masyarakat yang diperlukan untuk
keberhasilan program pemberantasan brucellosis, antara lain:
- aktif melaporkan kasus keguguran
- aktif melakukan penandaan ternak
- kooperatif mengikuti proses dan prosedur pemeriksaan brucellosis
- kooperatif menerima dan melaksanakan prosedur pemotongan
bersyarat dan prosedur kompensasi yang menyertainya
49. Lokakarya Penyusunan Masterplan Pengendalian dan Penanggulangan
Penyakit Hewan Menular Strategis (PHMS)
Bogor, 12-13 November 2013
50. 1) Pengorganisasian dan manajemen
Pengorganisasian dan manajemen program pemberantasan
brucellosis dipegang oleh:
- Pemerintah
- Pemerintah Provinsi
- Pmerintah Kabupaten/Kota
yang harus dilakukan bersama-sama dengan jajaran Badan
Karantina Pertanian sebagai pemegang otoritas dalam
pengendalian lalu lintas ternak beserta seluruh jajarannya
mulai dari Balai Karantina Kelas I/II sampai Stasiun Karantina
yang berada di berbagai daerah
51. ALUR PENGORGANISASIAN DAN MANAJEMEN BRUCELLOSIS
• Vaksinasi
• Uji dan potong
• Pengambilan sampel
• Pengambilan sampel
DITJENNAKKESWAN
BADAN
KARANTINA
PERTANIAN
PUSAT KARANTINA
HEWANKOORDINASI
BALAI KARANTINA
KELAS I/II
TERNAK YANG
DILALULINTASKAN
ANTAR PULAU/AREA
BBV/BV
LAB KESWAN
TIPE B
LAB KARANTINA
(HANYA KELAS I)
BALAI BESAR
KARANTINA
PERTANIAN
POPULASI TERNAK
DITKESWAN
DINAS
BERWENANG
PROVINSI
STASIUN
KARANTINA
DINAS
BERWENANG
KABUPATEN
LAB KESWAN
TIPE C
KOORDINASI
KOORDINASI
52. Pembentukan Tim Koordinasi
Untuk mewujudkan koordinasi yang efektif sebagaimana disebutkan
diatas, perlu dibentuk Tim Koordinasi (Tikor) Pemberantasan
Brucellosis mulai dari tingkat pusat hingga ke tingkat kabupaten/kota
Tim dibentuk berdasarkan Surat Keputusan resmi dari Pemerintah,
dan Pemerintah Daerah di masing-masing tingkatan. Untuk tingkat
nasional oleh Menteri Pertanian, sedangkan di tingkat provinsi oleh
Gubernur, dan di tingkat kabupaten/kota oleh Bupati/Walikota
Tim Koordinasi di tingkat nasional terdiri atas perwakilan dari
Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, BBV/BPPV,
Pusvetma, Badan Karantina Pertanian, dan asosiasi di bidang
peternakan dan kesehatan hewan
Tim Koordinasi di tingkat provinsi dan kabupaten/kota terdiri atas
perwakilan dari Dinas berwenang, laboratorium kesehatan hewan,
karantina, dan asosiasi di bidang peternakan dan kesehatan hewan
53. 1a) Peran dan tanggung jawab
Pemerintah (Ditkeswan)
(1) Membuat pedoman nasional yang ditetapkan melalui keputusan
Menteri Pertanian (sebagai pengganti SK Mentan No.828/Kpts/OT.210/10/98)
(2) Membuat surat edaran ke provinsi
(3) Melakukan koordinasi dengan instansi terkait (jajaran karantina)
(4) Membuat Nota Kesepahaman dengan asosiasi peternak (seperti
GKSI, PPSKI, APFINDO, dsb)
(5) Melaksanakan rapat koordinasi tingkat nasional
(6) Melaksanakan pelatihan dan lokakarya
(7) Membuat analisa kerugian ekonomi secara nasional
(8) Menyiapkan pendanaan untuk vaksin, operasional vaksinasi,
antigen, operasional diagnostik, dan operasional surveilans
(9) Menyiapkan materi dan sarana KIE
(10) Melaksanakan surveilans aktif untuk pembuktian status bebas
dan pelaporannya (oleh BBV/BV)
(11) Melakukan monev
54. 1b) Peran dan tanggung jawab
Dinas berwenang Provinsi
(1) Membuat petunjuk pelaksanaan (juklak) berdasarkan pedoman nasional yang
ditetapkan dengan keputusan gubernur
(2) Membuat surat edaran ke kabupaten
(3) Melaksanakan koordinasi dengan instansi terkait (komda, jajaran karantina)
(4) Membuat rencana pemberantasan dan analisa ekonomi
(5) Membentuk tim pemberantasan (staf provinsi, staf kabupaten /kota, BBV/BV,
karantina, pengurus koperasi, dlsbnya)
(6) Membuat Nota Kesepahaman dengan asosiasi peternak (seperti GKSI, PPSKI,
APFINDO, dsb)
(7) Menerbitkan surat keterangan kesehatan hewan (SKKH) dengan dilampiri hasil
uji laboratorium, untuk ternak yang akan dilalu lintaskan antar provinsi
(8) Melaksanakan rapat koordinasi tingkat provinsi
(9) Melaksanakan pelatihan dan lokakarya
(10) Menyiapkan pendanaan untuk vaksin dan antigen, operasional vaksinasi,
operasional surveilans, dan kompensasi
(11) Melaporkan hasil surveilans, vaksinasi dan uji/potong ke pusat setelah
agregasi dan konsolidasi seluruh laporan kabupaten/kota
(12) Menyiapkan materi dan sarana KIE, dan melaksanakan KIE
(13) Melaksanakan monev
55. 1c) Peran dan tanggung jawab
Dinas berwenang Kabupaten/Kota
(1) Membuat petunjuk teknis (juklnis) berdasarkan petunjuk pelaksanaan dan
pedoman nasional yang ditetapkan dengan keputusan pimpinan daerah
(2) Membuat rencana operasional pemberantasan dan analisa ekonomi
(3) Melaksanakan koordinasi dengan instansi terkait
(4) Membentuk tim pemberantasan (staf kabupaten, staf instansi terkait,
pengurus asosiasi pedagang ternak);
(5) Melaksanakan rapat tingkat kabupaten;
(6) Menerbitkan surat keterangan kesehatan hewan (SKKH) dengan dilampiri
hasil uji laboratorium, untuk ternak yang dilalu lintaskan antar kabupaten
(8) Menyiapkan pendanaan untuk vaksin, bahan dan peralatan, operasional
surveilans, operasional vaksinasi, dan kompensasi
(9) Menyiapkan pendanaan untuk penandaan/identifikasi ternak
(10) Menyiapkan pendanaan untuk pembuatan kandang jepit
(11) Melakukan operasionalisasi pemberantasan
(12) Melaporkan data surveilans, vaksinasi dan uji/potong ke provinsi
(13) Menyiapkan sarana KIE (sosialisasi, media dlsbnya), dan melaksanakan KIE
(14) Melakukan monev
56. 2) Pelibatan pihak terkait
Untuk mendukung program pemberantasan brucellosis,
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah perlu
membentuk kelompok tenaga ahli dari lembaga
penelitian dan universitas, terutama dalam upaya
melaksanakan peningkatan kapasitas dalam bentuk
pelatihan, lokakarya dan/atau forum nasional
Perlu melibatkan pihak swasta seperti koperasi, LSM dan
pihak lainnya seperti asosiasi peternak, asosiasi pedagang
ternak sesuai dengan perannya masing-masing
57. 3) Implementasi vaksinasi
Kegiatan Asumsi dan Pra-kondisi
• Penyediaan vaksin dan logistik vaksinasi
• Koordinasi pelaksanaan antara Dinas
berwenang Kabupaten/Kota dengan
Provinsi, Ditkeswan dan Pusvetma
• Pelaksanaan vaksinasi pada semua
tingkatan umur sapi pada tahun
pertama
• Pelaksanaan vaksinasi pada anak sapi
umur 3-9 bulan dan anak kelahiran
baru juga sapi yang belum divaksin
(pada tahun ke-2 s/d ke-4)
• Evaluasi vaksinasi dengan surveilans
untuk membedakan ternak yang
divaksinasi dan tidak
• Kebutuhan vaksin terencana dengan baik
melalui koordinasi antara Ditkeswan,
Dinas berwenang Provinsi dan
Kabupaten/Kota
• Dinas menyediakan logistik vaksinasi dan
biaya operasional
• Pengadaan kandang jepit permanen atau
temporer
• Setiap ternak yang divaksinasi harus
diberi tanda/diidentifikasi
• Jumlah vaksin yang tersedia sesuai
kebutuhan cakupan vaksinasi
• Rantai dingin vaksin berjalan efektif
• Kemampuan uji yang membedakan
antara ternak divaksinasi atau tidak
(false positive)
• Setiap ternak yang divaksin diberikan
surat keterangan vaksinasi
58. 4) Implementasi Uji & Potong dan Kompensasi
Kegiatan Asumsi dan Pra-kondisi
• Koordinasi pelaksanaan antara Dinas
berwenang Kabupaten/Kota,
Provinsi dan pemilik ternak
• Melakukan penelusuran terhadap
reaktor setelah mendapatkan hasil
CFT dari BBV/BV
• Pencatatan data reaktor oleh Dinas
berwenang Kabupaten/Kota
• Melakukan pemotongan terhadap
reaktor sesuai prosedur yang
ditetapkan
• Mengatur dan menyalurkan ganti
rugi/kompensasi bagi peternak
pemilik ternak reaktor
• Hasil uji CFT dari BBV/BV diterima
Dinas berwenang Kabupaten/Kota
• Identifikasi/registrasi ternak pada
saat dilakukan pengambilan sampel
dapat ditelusuri untuk penetapan
ternak reaktor
• Dana kompensasi tersedia sesuai
kebutuhan jumlah reaktor
• Jarak waktu antara pengiriman hasil
uji CFT dengan penelusuran reaktor
tidak terlambat
• Kesadaran pemilik ternak untuk
merelakan ternaknya dipotong
• Ternak belum dijual atau dipindahkan
oleh pemilik ternak
59. 5) Sistim informasi
iSIKHNAS yaitu sistem informasi yang sekarang sedang dikembangkan
dengan bantuan DAFFmelalui program AIP-EID, dimana databasenya
dirancang secara terintegrasi untuk nantinya dapat digunakan dalam
aplikasi khusus seperti surveilans brucellosis
1) Surveilans pasif
Pencatatan data rutin melalui sistem informasi (SMS gateway, i-SIKHNAS
dll) oleh Dinas berwenang Provinsi, Kabupaten/Kota
2) Surveilans aktif untuk penetapan status awal/ pemantauan infeksi
Pencatatan data oleh Dinas berwenang Kabupaten
Pelaporan (i-SIKHNAS) ke Dinas berwenang Provinsi
3) Surveilans aktif untuk pembuktian status bebas
Pencatatan dan analisa data oleh BBV/BV bekerjasama dengan Dinas
berwenang Provinsi/Kabupaten/Kota (InfoLAB, i-SIKHNAS)
Pelaporan ke Pusat oleh BBV/BV
60. 6) Identifikasi ternak
Dengan identifikasi ternak, mudah dilakukan pengawasan terhadap
individu ternak/kelompok ternak, penelusuran kembali (tracing
back) ternak reaktor, dan informasi tentang status kesehatan
ternak (sudah divaksin atau belum, sudah pernah diuji terhadap
brucellosis, pernah mengalami keguguran, dlsbnya)
Alternatif muncul dalam melakukan identifikasi ternak, seperti:
Penggunaan cat yang diberikan tanda “S” untuk reaktor
Pengunaan kartu hewan untuk mengindikasikan bahwa ternak
sudah divaksin atau sudah pernah diuji terhadap brucellosis
Pemberian kalung yang digantungkan di leher sebagai pembeda
dengan sapi yang belum divaksin
Tidak dibahas secara spesifik dalam Masterplan mengenai sistem
identifikasi ternak secara nasional dan pilihan diserahkan kepada
pemerintah provinsi/kabupaten/kota disesuaikan dengan situasi
dan kondisi serta budaya masyarakat setempat
61. 7) Dukungan regulasi terkait brucellosis
Aspek Regulasi
Pengendalian dan pemberantasan UU No. 18/2009 Pasal 39 (1)
Surveilans UU No. 18/2009 Pasal 40 (1)
SK Mentan No. 828/Kpts/OT.210/10/1998
Pelaporan penyakit oleh peternak UU No. 18/2009 Pasal 45 (1)
Pengendalian lalu lintas ternak UU No. 18/2009 Pasal 42 (5)
SK Mentan No. 828/Kpts/OT.210/10/1998
Pelarangan lalu lintas hewan dan
produk hewan dari daerah
tertular/tersangka ke daerah bebas
UU No. 18/2009 Pasal 45 (5)
Kep. KaBarantan No. 355.a/Kpts/PD.670.320/L/
9/2008
Depopulasi UU No. 18/2009 Pasal 44 (1) – tidak spesifik uji
dan potong, diperbaiki dalam RPP
Uji dan potong SK Mentan No. 828/Kpts/OT.210/10/1998
Kompensasi UU No. 18/2009 Pasal 44 (3) – tidak jelas,
diperbaiki dalam RPP
63. Tabel 5: Pembagian tanggung jawab dalam
pembiayaan program
No. Kategori Sumber Pendanaan Pemerintah Sumber lainnya
Pusat Provinsi Kabupaten/Kota
1 Vaksin dan vaksinasi
a. Vaksin √ √ √ √
b. Logistik √ √ √ √
c. Operasional √ √ √ √
d. Training vaksinator
dan petugas lapang
- √ √ -
2 Surveillans √ √ √ -
a. Antigen √ √ - -
b. Operasional √ √ √ -
c. Training √ √ - -
3 Kompensasi √ √ √ -
4 KIE
a. Media dan sarana √ √ - -
b. Operasional - √ √ √
5 Identifikasi ternak - √ √ √
6 Penyediaan kandang
jepit
- - √ √
7 Monev √ √ √ -
64. 9) Komunikasi, Informasi dan Edukasi
KIE dapat dilakukan secara lebih efektif dan menyeluruh apabila
dilakukan pelibatan masyarakat secara langsung, seperti kader,
kelompok ternak, tokoh peternak, pengurus koperasi, dlsbnya
Bentuk informasi dapat diberikan melalui media visual, seperti brosur,
poster, kartun, komik maupun media visual lainnya
Isi pesan yang disampaikan bisa meliputi hewan apa saja yang peka
terhadap brucellosis, cara penularan, gejala hewan terkena brucellosis,
penularan ke manusia, kerugian ekonomi yang ditimbulkan,
pencegahan penyakit, manajemen kelompok ternak, dlsbnya
Dalam edukasi peternak, sangat perlu diberikan penjelasan tentang
dampak brucellosis yang mudah dikenali yaitu keguguran (abortus),
sehingga para peternak cepat melaporkan setiap kejadian keguguran
yang terjadi pada sapi betinanya atau pada kelompok ternaknya
65. 10) Monitoring dan evaluasi
Monitoring dan evaluasi dilakukan oleh masing-masing
organisasi/kelembagaan yang memegang peranan dalam
program pemberantasan brucellosis sesuai dengan
tingkatan hirarkinya
Direktorat Kesehatan Hewan dapat mengikutsertakan
lembaga penelitian, universitas dan/atau LSM untuk
melaksanakan monitoring dan evaluasi
Dinas berwenang Provinsi dan Kabupaten/Kota dapat
bekerjasama dengan BV/BBV dan/atau Laboratorium
Kesehatan Hewan tipe B dalam melakukan monitoring
dan evaluasi secara berkala, dengan memantau hasil kerja
di lapangan dengan alat kuesioner maupun uji serologis
66. Lokakarya Penyusunan Masterplan Pengendalian dan Penanggulangan
Penyakit Hewan Menular Strategis (PHMS)
Bogor, 12-13 November 2013
67. Tahapan untuk masing-masing
klasifikasi daerah
Tahapan kegiatan secara keseluruhan untuk masing-masing
klasifikasi daerah yaitu daerah tersangka, daerah tertular ringan
(prevalensi < 2%), dan tertular berat (prevalensi > 2%)
Tahapan:
(1) Penetapan status awal daerah (tahun ke-1)
(2) Operasionalisasi pemberantasan (tahun ke-2 s/d 4)
(3) Surveilans untuk pemantauan prevalensi (tahun ke-5 s/d 7)
(4) Surveilans untuk pembuktian status bebas
Lamanya masing-masing tahapan hanya bersifat indikatif dan
bergantung kepada keberhasilan dalam mengatasi asumsi
prakondisi seperti yang dijelaskan pada Lampiran 1 Masterplan
68. Operasionalisasi pemberantasan
Lamanya operasionalisasi pemberantasan bergantung kepada
banyak faktor termasuk aspek kesisteman, infrastruktur dan
sumberdaya lainnya yang digunakan untuk mendukung
pencapaian sasaran dan tujuan pemberantasan
Apabila semua strategi di atas dilaksanakan sesuai prosedur
dan berjalan efektif, maka diasumsikan:
- Daerah tertular ringan (prevalensi < 2%) paling tidak dibutuhkan
waktu 3 tahun dengan penekanan strategi pada uji dan potong
- Daerah tertular berat (prevalensi > 2%) paling tidak dibutuhkan
waktu 4 tahun dengan kombinasi vaksinasi dan uji dan potong
Jika tingkat prevalensi di daerah tertular berat sudah mencapai
< 2%, maka program vaksinasi dihentikan dan dilanjutkan
hanya dengan kebijakan uji dan potong saja
69. Tahapan kegiatan
Operasionalisasi pemberantasan
()
Surveilans untuk
pemantauan
Prevalensi
(tahun ke- s/d ke-11)
Surveilans
untuk
pembuktian
status
bebas pada
tahun ke-12
Deklarasi
Status bebas
Prevalensi
Dasar
(baseline
prevalence)
DAERAH TERTULAR RINGAN (prevalensi < 2%)
DAN TERTULAR BERAT (prevalensi > 2%)
DAERAH
TERSANGKA
70. 1
Penentuan
prevalensi
dasar
2
1. Penentuanklasifikasizona
2. Penentuan tahap
3. Buatprogrampemberantasan
3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
DAERAH TERTULAR RINGAN
(prevalensi < 2%)
Tahun ke-
Skema 1: Daerah tersangka (prevalensi tidak diketahui)
• Tahun ke-1 untuk penentuan pevalensi dasar
• Setelahnya jangka waktu yang dibutuhkan untuk
pembebasan bergantung kepada klasifikasi daerah (tertular
ringan menjadi 6 tahun dan tertular berat menjadi 10 tahun)
DAERAH TERTULAR BERAT
(prevalensi > 2%)
71. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Surveilansaktif
denganhasil
negatifatau
prevalensisangat
rendah(<0,2%)
Surveilansaktif
untukpembuktian
statusbebas
Sero-survei dengan uji
danpotongsampai tingkat
prevalensisangatrendah
Skema 2: Daerah tertular ringan (prevalensi < 2%)
Tahun ke-
• Tidak ada vaksinasi
• Jangka waktu yang dibutuhkan untuk
pembebasan apabila berjalan efektif
adalah 5 - 6 tahun
72. 1
Vaksinasi
semua
tingkatan
umur
2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Vaksinasi
semua
anaksapi
3 - 9bulan
Surveilansaktifdengan
hasilnegatif/prevalensi
sangatrendah <0,2%
dan vaksinasi sudah
dihentikan
Surveilansaktif
untukpembuktian
statusbebas
Sero-surveidengan
ujidanpotong
Tahun ke-
Skema 3: Daerah tertular berat (prevalensi > 2%)
• Vaksinasi dan uji dan potong sampai tingkat
prevalensi < 2%
• Jangka waktu yang dibutuhkan untuk pembebasan
apabila berjalan efektif adalah 10 tahun
Serosurvei
denganujidan
potongsaja
Prevalensi
< 2%
73. INDIKATOR PENCAPAIAN YANG TERVERIFIKASI
(Artikel 11.3.1–11.3.9 OIE Terrestrial Animal Health Code (2012)
1. Brucellosis pada sapi atau dugaan keberadaan kasus di negara atau
wilayah tersebut harus dilaporkan
2. Seluruh negara/wilayah berada dibawah pengawasan aparat
keswan dan rata-rata prevalensi tidak lebih dari 0,2%
3. Pengujian serologis terhadap brucellosis pada sapi dilakukan
secara periodik untuk setiap kelompok ternak, dengan atau tanpa
uji cincin susu (Milk Ring Test)
4. Tidak ada vaksinasi brucellosis sekurang-kurangnya 3 tahun
5. Semua reaktor telah dipotong
6. Pemasukan hewan ke negara atau wilayah bebas brucellosis harus
hanya berasal dari kelompok ternak yang dinyatakan secara resmi
bebas dari brucellosis pada sapi
74. Prosedur deklarasi bebas brucellosis
suatu daerah secara resmi
1) Seluruh Persyaratan OIE terpenuhi dan dinyatakan dengan
laporan BBV/BV yang memverifikasi situasi tiga tahun terakhir
dan melakukan surveilans untuk pembuktian status bebas;
2) Sistem karantina dan pengendalian lalu lintas ternak di daerah
tersebut terutama pengawasan terhadap ternak-ternak yang
dimasukkan dari luar daerah dan antar area berjalan sesuai
persyaratan yang ditetapkan;
3) Adanya surat dari Kepala Daerah/Gubernur
4) Adanya surat rekomendasi dan laporan dari BBV/BV;
5) Disetujui dalam rapat Komisi Ahli Kesehatan Hewan; dan
6) Ditetapkan dengan Keputusan Menteri Pertanian
75. Faktor kritis untuk sukses
1) Komitmen pemerintah yang kuat
Otoritas peternakan dan kesehatan hewan (kabupaten, provinsi,
pusat)
Laboratorium (provinsi, regional)
Karantina (pos, stasiun, regional, dan pusat)
2) Dukungan dan komitmen produsen ternak
Kelompok industri: peternak, pedagang
Sektor pemasaran: pasar hewan, RPH
3) Pengorganisasian dan manajemen
4) Sistem informasi (alur hasil laboratorium dan
lapangan)
5) Identifikasi ternak
6) Penilaian ekonomi (Economic asessment)
76. Tri Satya Putri Naipospos
Andri Jatikusumah, Winda Widyastuti,
Erianto Nugroho, Ridvana Dwibawa,
Sunandar, dan Nofita Nurbiyanti