Masterplan pemberantasan brucellosis di Indonesia bertujuan mengendalikan dan membasmi penyakit ini pada ternak. Penyakit ini menyebabkan kerugian ekonomi besar pada industri sapi dan menghambat program swasembada daging. Strategi yang diusulkan meliputi surveilans, vaksinasi, uji dan pemotongan ternak terinfeksi, serta pengendalian lalu lintas ternak antar daerah. Namun masih terdapat kesenjangan pelaksanaan terkait
2. Page 2
• SATU dari 23 penyakit hewan menular
strategis di Indonesia ditetapkan melalui
Kepmentan No. 4026/2013
• Menyebabkan kerugian ekonomi signifikan
terhadap industri sapi potong yang
diperkirakan mencapai Rp. 138.5 milyar
per tahun*
• Faktor penghambat pencapaian program
swasembada daging 2014
Mengapa Brucellosis penting?
* Sumber: Ditjennak, 2000
3. Page 3
• Gejala klinis utama pada sapi terinfeksi adalah
keguguran pada umur kebuntingan 6 – 9 bulan*
• 97% kasus keguguran terjadi pada lebih dari 3
bulan umur kebuntingan*
• Prevalensi sapi dewasa (32,4%) nyata lebih
tinggi dari prevalensi sapi muda (13,4%)**
• Prevalensi sapi betina dewasa (37,1%) nyata
lebih tinggi dari prevalensi sapi jantan dewasa
(27,2%)**
Epidemiologi Brucellosis di Indonesia
Sumber: *A.A.G. Putra (2005)
** D. Makka (1998)
4. Page 4
Epidemiologi brucellosis di Indonesia
(lanjutan)
• Sapi perah:
– Angka keguguran pada sapi positif brucellosis
(62,5%) nyata lebih tinggi daripada sapi negatif
brucellosis (10,0%)*
– Tingkat infeksi ambing atau kontaminasi susu oleh
B. abortus pada kelompok sapi sero-positif (30,8%)
nyata lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok
sapi sero-negatif (4,7%)**
4
Sumber: * A. Sudibyo (1995)
** A. Sudibyo (?)
5. Page 5
Brucellosis pada manusia di Indonesia
• Titer antibodi Brucella positif:
– 13,6% serum pekerja kandang sapi perah
– 22,6% serum pekerja kandang babi
– 3,0% serum pekerja rumah potong babi
* Source: Sudibyo A. (1995)
6. Page 6
• Program pengendalian brucellosis menuju
pemberantasan sudah dimulai sejak 1996/1997
• SASARAN: mencapai status negara bebas
brucellosis pada tahun .........?
• Untuk sasaran ini, dibutuhkan:
1. Suatu rencana induk (master plan) yang
komprehensif untuk menguraikan secara jelas
strategi nasional pemberantasan brucellosis; dan
2. Rencana kerja detil (rencana aksi dan anggaran)
Program pemberantasan Brucellosis
7. Page 7
Status bebas negara/wilayah Brucellosis
(OIE Code ed. Articles 11.3.1.-11.3.9.)
1. Seluruh negara/wilayah berada dibawah
pengawasan aparat keswan dan rata-rata
prevalensi tidak lebih dari 0,2%
2. Uji serologik telah dilakukan di setiap kelompok
ternak secara berkala
3. Tidak ada vaksinasi brucellosis sekurang-
kurangnya 3 tahun
4. Semua reaktor telah dipotong
5. Pemasukan ternak ke daerah bebas harus
berasal dari daerah bebas
8. Page 8
Prevalensi > 2%
Tidak ada kasus > 5 thn
Prevalensi < 2%
Bebas
Prevalensi tidak diketahui
SB, R, J and KR
dideklarasi bebas 2009
SS, B, L dan BB
dideklarasi bebas 2011
KB, KTgh, KS and KTmr
dideklarasi bebas 2009
Bali & Lombok
dideklarasi bebas 2002
Sumbawa dideklarasi
bebas 2006
Sumber: DJPKH, 2013
Situasi Brucellosis di Indonesia
9. Page 9
Tujuan jangka panjang
program pemberantasan brucellosis
• Meningkatkan pendapatan daerah dan
ekonomi nasional
• Meningkatkan perdagangan ternak
• Mengamankan masyarakat dari risiko
tertular brucellosis
10. Page 10
Tujuan jangka pendek
program pemberantasan brucellosis
• Meningkatkan populasi ternak
• Meningkatkan nilai jual ternak
• Mengamankan daerah sumber bibit ternak
dari brucellosis → mengurangi risiko
penularan penyakit ke daerah penerima
bibit ternak
11. Page 11
Tinjauan situasi brucellosis
• Populasi rentan:
– Brucella abortus biovars 1, 2, 3, 5 dan 6 pernah
diisolasi di Indonesia (biovars 1 lebih dominan)*
– Lebih mempengaruhi sapi potong dan sapi perah. Tapi
bagaimana pada kerbau?
• Insidensi penyakit (kasus keguguran) – apakah kita
punya data tentang angka keguguran (%)?
• Prevalensi penyakit (pengujian serologi) – apakah
kita punya data angka prevalensi
– menurut lokasi (kabupaten, kecamatan, desa)?
– menurut waktu (tahun)?
– menurut sistem produksi (sapi potong/perah)
* Sumber: BBalitvet
12. Page 12
Faktor risiko brucellosis di Indonesia
• Padang pengembalaan bersama*
• Kandang gabungan*
• Cakupan vaksinasi < 60%*
• Keberadaan CFT reaktor*
Source: Tae lake et al., 2012
13. Page 13
Strategi pemberantasan brucellosis
• Penelusuran dan surveilans
• Depopulasi ternak terinfeksi (uji dan potong)
• Kompensasi (penggantian reaktor)
• Vaksinasi (strain 19, RB51)
• Manajemen kelompok ternak
– Pemisahan kandang melahirkan
– Pengisian ternak (restocking)
• Karantina dan pengendalian lalu lintas ternak
• Kesadaran masyarakat dan media
– Strategi komunikasi dan advokasi
– Penilaian ekonomi (economic assessment)
14. Page 14
Implementasi strategi pemberantasan
• Pendekatan tahapan (staged approach)
• Pendekatan zona/daerah (zoning approach):
– Prevalensi > 2%: Vaksinasi
– Prevalensi < 2%: Uji & potong (Test & slaughter)
• Pengorganisasian dan manajemen
• Pelibatan pihak terkait (stakeholders)
• Pengendalian lalu lintas ternak
– Uji pertama di daerah asal dan uji ke-dua di
daerah penerima
• Monitoring, evaluasi dan kaji ulang
15. Page 15
Pendekatan bertahap (staged approach)
dalam Rencana Induk
TAHAP 0:
Situasi tidak diketahui
Nusa Tenggara Timur (Sawu, Rote),
Sulut, Sulteng, Sultra, Gorontalo,
Maluku Utara, Papua, Papua Barat
TAHAP 1:
Situasi diketahui dengan
program pengendalian
Jawa, Nusa Tenggara Timur (Timor,
Flores), Aceh, Sulsel, Maluku (P. Buru
dan P. Seram)
TAHAP 2:
Mendekati bebas
Madura, Sumatra Utara, Nusa
Tenggara Timur (Sumba)
TAHAP 3:
Deklarasi bebas Brucellosis
Lombok, Bali, Sumbawa, Kalimantan,
Sumatra Barat ,Riau, Jambi, Kepulauan
Riau, Sumatra Selatan, Bengkulu,
Lampung, Babel
Sumber: A Four-stage Roadmap
for Progressive Control of
Brucellosis (FAO, 2013)
16. Page 16
Pendekatan zona (zoning approach)
1. Daerah bebas penyakit
– Semua daerah bebas yang dideklarasi resmi (14 provinsi)
2. Daerah bebas kasus (lebih dari 5 tahun)
– Sumut
3. Daerah tersangka (prevalensi tidak diketahui)
– Pulau Sawu dan Rote (NTT), Sultra, Sulteng, Sulut, Sulbar,
Gorontalo, Maluku (diluar P. Buru dan P. Seram), Maluku Utara,
Papua, Papua Barat
4. Daerah tertular ringan (prevalensi < 2%)
– DI Yogyakarta, Banten, Madura, Sumba, Timor (TTS, Kabupaten dan
Kota Kupang), Sulsel (diluar Barru, Enrekang, Pinrang)
5. Daerah tertular berat (prevalensi > 2%)
– Flores, Timor (Belu, TTU), Aceh, DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa
Barat, Jawa Tengah, Sulsel (Barru, Enrekang, Pinrang), Maluku
(Pulau Buru dan Seram)
Sumber: DJPKH, 2013
17. Page 17
Kesenjangan kapasitas surveilans
• Unit primer (unit epidemiologi)
– Konsisten menggunakan “desa”
• Kapasitas diagnostik (MRT, RBT, CFT, Elisa?)
– Masalah pengadaan antigen
– Uji profisiensi – Bbvet Maros, Balitvet
– Masalah kualitas sampel sampai di BBVet
• Strategi sampling (besaran sampel)
– Masalah sensitivitas surveilans
• Identifikasi ternak/penelusuran
– Masalah penandaan (kartu ternak di NTT, kalung
berwarna di Sulsel)
• Sistem informasi (e-SIKHNAS)
18. Page 18
Desain program surveilans brucellosis
• Komponen surveilans pasif dan aktif
– Surveilans pasif untuk pelaporan keguguran harus lebih
intensif
• Identifikasi populasi target
– Target sapi dewasa dan muda
• Pengumpulan dan pelaporan data
– Setiap tahun per kabupaten (RBT dan CFT)
• Analisa data (prevalensi, bukti kebebasan)
– Data prevalensi (%), bukan jumlah reaktor saja
– Penggunaan Survey toolbox untuk rancangan “besaran
sampel per desa” (sample size) dan “bukti kebebasan”
(proof for freedom)
19. Page 19
Kesenjangan implementasi uji & potong
• Jarak waktu yang lama antara waktu uji dan
waktu pemotongan
• Kesulitan penelusuran
– masalah penolakan pemilik ternak terhadap
penandaan ternak
• Kompensasi
– prosedur yang dapat diterima pemilik ternak
– jumlah yang disediakan lebih sedikit dari yang
harus dipotong
• Tidak ada dukungan legislasi yang kuat
20. Page 20
Kesenjangan implementasi vaksinasi
• Positif palsu pada uji serologi – perbedaan
antara infeksi alam dan akibat vaksinasi S19
– Titer antibodi mencapai puncak s/d minggu ke-6
dan menurun cepat*
– Vaksinasi dilakukan pada anak sapi umur 4-9
bulan (calfhood vaccination) – sulit di lapangan
• Masalah ketersediaan vaksin
• Masalah cakupan vaksinasi (4-60%)
• Masalah rantai dingin (cold chain)
• Identifikasi ternak
* Sumber: A. Sudibyo (1995)
21. Page 21
Dukungan Legislasi
• UU No. 18/2009 – Peternakan dan Kesehatan Hewan
• PP No. 15/1977 – Penolakan, Pencegahan,
Pemberantasan dan Pengobatan Penyakit Hewan
(sedang direvisi)
• PP No. 82/2000 – Karantina Hewan
• SK Mentan No. 828/Kpts/OT.210/10/98 – Pedoman
Pemberantasan Brucellosis Pada Ternak di Indonesia
(perlu direvisi)
22. Page 22
Kesenjangan legislasi
22
• Tidak disebutkan penyakit wajib lapor
(notifiable disease)
• Pelaksanaan uji & potong - dalam SK Mentan
No. 828/1998 (perlu direvisi)
• Kompensasi (tidak jelas dalam UU)
• Identifikasi ternak (tidak ada peraturannya)
• Sertifikat vaksinasi; sertifikat bebas brucellosis
(tidak ada peraturannya)
23. Page 23
Faktor kritis untuk sukses
• Komitmen pemerintah yang kuat
– Otoritas peternakan dan kesehatan hewan
(kabupaten, provinsi, pusat)
– Laboratorium (provinsi, regional)
– Karantina (pos, stasiun, regional, dan pusat)
• Dukungan dan komitmen produsen ternak
– Kelompok industri: peternak, pedagang
– Sektor pemasaran: pasar hewan, RPH
• Pengorganisasian dan manajemen
• Revisi peraturan dan penegakan legislasi
• Identifikasi ternak
• Penilaian ekonomi (Economic asessment)