Articles
PENGANTAR
Redaksi Jurnal Filsafat
PDF
KESADARAN ATAS REALITAS: KAJIAN SVAMI CHINMAYANANDA TERHADAP MANDUKYA UPANISAD
Faisal Yan Aulia
PDF
1-14
LANDASAN FILOSOFIS MAZHAB HUKUM PROGRESIF: TINJAUAN FILSAFAT ILMU
Rizal Mustansyir
PDF
15-25
KONSEP SEMIOTIK CHARLES JENCKS DALAM ARSITEKTUR POST-MODERN
Dwi Murdiati
PDF
27-37
TINJAUAN FILOSOFIS PROBLEMA PENGELOLAAN SAMPAH
Lailiy Muthmainnah
PDF
39-50
MANUSIA DAN HISTORISITASNYA MENURUT MARTIN HEIDEGGER
Sindung Tjahyadi
PDF
51-63
GERAKAN FEMINISME ISLAM DALAM PERSPEKTIF FATIMAH MERNISSI
Widyastini Widyastini
PDF
65-80
IDE DAN PRAKSIS NEO-NASIONALISME DALAM MENGHADAPI TANTANGAN GLOBALISASI
A. M. Hendropriyono
PDF
81-91
AKTUALISASI PEMAHAMAN NILAI MENURUT MAX SCHELER BAGI MASA DEPAN BANGSA INDONESIA
Jirzanah Jirzanah
PDF
93-114
1. KESADARAN ATAS REALITAS:
KAJIAN SVAMI CHINMAYANANDA TERHADAP
MANDUKYA UPANISAD
Oleh: Faisal Yan Aulia1
Abstract
Knowledge and technology development has given a lot of
advantages in the human life. In the other side, bad effects of this
development also cause ignorance of spiritual life. The life has only
meaning in material relation (in the extensive meaning); between
material life and spiritual life, there is unbalanced. For some
people, this make an emptiness in their life; their life feels tasteless
and has no meaning. Finally, they return to religion to look for
answers of question about the meaning of life. Svami
Chinmayananda, in his study of Mandukya Upanishad, tries to
answer the question by explaining the nature of reality. In this
study, he reveals the nature of reality by epistemology and
metaphysics perspective. The purpose of this research is giving
description about consciousness concept, the nature or reality and
consciousness (involves knowledge) which can bring someone to
understand the reality which found in Svami Chinmayananda’s
study of Mandukya Upanishad. Besides that, the researcher also did
critical evaluation about epistemology and metaphysics problems
which found in this study.
The consciousness of the nature of reality can be a basic
guide in living the life and answer problems of the meaning of life.
The life which is growing more materialistic needs a balance
between material world and spiritual world. By discriminative
knowledge (Viveka), someone will reach Turiya consciousness. This
Turiya consciousness will bring someone to understand the nature
of reality (Atman or Brahman); finally, he/she will understand the
meaning of life. Other perspective which is offered by Svami
Chinmayananda in his study of Mandukya Upanishad can function
as a consideration in living this life.
Keywords: Turiya, Avidya, consciousness, reality.
1
Alumnus Fakultas Filsafat UGM tahun 2007.
2. Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 1, April 2008
2
A. Pendahuluan
Dunia yang ditempati sekarang ini bagi mayoritas manusia
dianggap benar-benar sebagai suatu kenyataan yang mutlak, dalam
artian bahwa dunia sebagai kenyataan objektif yang berdiri sendiri
terlepas dari subjek. Pandangan ini merupakan pandangan yang
umum diterima, meskipun masih menyisakan beberapa persoalan
yang sukar untuk dijawab. Dunia inderawi yang dihadapi sehari-
hari tidak mungkin lepas dari perhatian manusia, manusia selalu
berhadapan dengannya. Tidak bisa dipungkiri manusia termasuk
dalam objek-objek inderawi ini..
Manusia merasa bahwa ia terlibat sekaligus sebagai
pengamat dalam kehidupan ini. Kebanyakan dari manusia, baik itu
sadar atau tidak, larut dalam liku-liku perjalanan hidup dari
makhluk yang bernama manusia. Manusia berkorelasi dengan
lingkungan di sekitarnya, dan akan selalu mencari dan mendapatkan
sesuatu yang dirasakan sanggup memenuhi hasrat dan kebutuhan
hidupnya. Seseorang bekerja dengan giat agar tuntutan hidupnya
terpenuhi, terikat dengan kodratnya sebagai makhluk yang harus
berusaha untuk mendapatkan sesuatu. Apabila ingin mendapatkan
hasil seseorang harus menjalani suatu proses sebagai syarat demi
mewujudkan apa yang diinginkannya.
Kehidupan yang dijalani manusia di dunia ini memiliki
sejumlah persoalan rumit yang sukar untuk dijelaskan. Menjalani
kehidupan tampaknya lebih mudah daripada harus menjelaskan apa
arti dan hakikat kehidupan itu sendiri. Sebagai sesuatu yang given,
hidup manusia harus terus berjalan. Di sisi lain, persoalan tentang
makna kehidupan dirasakan kurang bermanfaat dibandingkan
dengan mencari jalan bagaimana kehidupan itu harus dijalani.
Pernyataan bahwa dunia itu benar-benar ada dalam dirinya
sendiri, terpisah dari subjek, seringkali muncul sebagai suatu
aksioma. Subjek mengetahui objek karena dirinya ada dan objek itu
pun juga ada. Keberadaan subjek dan objek terpisah satu sama lain,
saling berdiri sendiri. Objek ada bukan karena ada subjek, begitu
juga sebaliknya. Keterpisahan ini mengakibatkan subjek merasa
bahwa dirinya berbeda dari objek yang diamati dan disadari.
Dalam kehidupan di dunia ini, manusia bisa berinteraksi
dengan lingkungan sekitar dan merasakan dampak langsung dari
aktivitasnya itu. Ketika manusia melihat pohon, binatang benda-
benda dan segala macam objek indera lainnya, dirinya merasa
bahwa itu semua merupakan kenyataan yang sebenarnya, suatu
realitas yang tidak perlu untuk dipermasalahkan lagi ada atau
3. Faisal Yan Aulia, Kesadaran Atas Realitas…
3
tidaknya. Semua itu bisa dipersepsi lewat organ indera manusia.
Objek tersebut minimal memenuhi satu dari lima sifat yang mampu
“dikenali” oleh indera manusia (peraba, perasa, pembau,
penglihatan dan pendengaran). Pohon itu nyata, buktinya kalau
menabrak atau menyentuh objek tersebut, maka diri manusia akan
merasakan akibatnya. Pohon bisa disentuh, dilihat dan dirasakan
oleh indera manusia. Angin yang tidak dapat dilihat juga merupakan
suatu kenyataan, benar-benar ada, karena masih bisa dirasakan
kehadirannya.
Objek yang bisa dikategorikan sebagai yang benar-benar ada
adalah memenuhi persyaratan di atas, yaitu bisa dipersepsi oleh
organ indera manusia. Lalu bagaimana dengan pernyataan bahwa
beberapa orang memiliki “indera keenam” yang bisa digunakan
untuk mengetahui objek-objek yang berada di luar jangkauan panca
indera manusia? Jawaban atas hal ini masih menimbulkan
perdebatan sengit sampai saat ini. Ada yang menyatakan bahwa
orang-orang tertentu memiliki kemampuan ini, baik itu berasal dari
bawaan atau insight maupun dari proses yang dijalani untuk dapat
meraih kemampuan istimewa ini. Ada juga yang menyatakan bahwa
hal-hal di luar dunia indera sama sekali tidak memiliki eksistensi,
maka dari itu hantu, roh, jiwa, bahkan Tuhan dianggap tidak ada
dan tidak akan pernah ada. Itu semua hanyalah mitos-mitos yang
dibangun manusia, tidak lebih dari sekedar omong kosong yang tak
bermakna. Dua jawaban ini sampai sekarang masih sulit
didamaikan. Jika panca indera yang dimiliki manusia sebagai titik
tolaknya maka jawaban yang kedualah yang lebih bisa diterima akal
sehat. Pertanyaan-pertanyaan masih bisa dimunculkan kembali
setelah ini, dan akan senantiasa menimbulkan pertanyaan baru atas
jawaban baru. Bagaimana dengan cerita dari seseorang yang
mengaku telah mengalami pengalaman mistik atau pengalaman
spiritual yang mengatakan bahwa di luar dunia objektif inderawi
masih ada kenyataan lain yang memiliki eksistensinya sendiri?
B. Kesadaran Manusia
Seperti telah diketahui, kebanyakan manusia menganggap
bahwa dunia yang manusia hadapi sehari-hari mutlak real, memiliki
eksistensi dan dapat dibedakan dari manusia sebagai subjek. Ketika
sesuatu bisa dipersepsi indera manusia, maka saat itu juga sesuatu
tersebut dianggap ber-ada. Mustahil mengatakan bahwa seseorang
baru saja menabrak pohon “ilusi” sementara kepalanya berdarah
4. Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 1, April 2008
4
karenanya. Pohon itu pastilah merupakan suatu kenyataan, sama
nyatanya dengan peristiwa menabrak pohon itu sendiri
Di sisi lain, munculnya pandangan yang berkebalikan dari
pandangan ini tampaknya akan mengejutkan, setidaknya bagi
beberapa pihak. Pernyataan bahwa dunia yang ditempati dan
disadari ini hanyalah sebuah tipuan pikiran, ilusi atau sekedar
khayalan semata mungkin akan menjadi sebuah lelucon di zaman
yang sudah maju dan mengikat manusia dengan segala
permasalahan kehidupan ini.
Lalu bagaimana apabila ada yang benar-benar mengatakan
hal itu? Tentunya akan menjadi sesuatu yang menarik perhatian,
jika hal itu tidak sekedar dianggap sebagai sebuah ocehan dari
seorang pengidap kelainan jiwa. Kalau yang menyebutkannya
hanya seorang pasien rumah sakit jiwa yang berteriak sambil
telanjang bulat, akan lebih bermanfaat untuk segera
“mengamankan” orang tersebut daripada meladeni segala
perkataannya, dalam kapasitas sebagai orang awam dan bukan
sebagai seorang dokter jiwa atau psikiater. Namun bila pernyataan
itu muncul dari seorang filsuf atau teolog, bukankah hal ini cukup
“mengganggu” pikiran normal manusia?
Salah satu orang yang memiliki pandangan berbeda dari
pandangan umum mengenai keberadaan dunia adalah Svami
Chinmayananda. Dalam kajiannya tentang Mandukya Upanisad,
salah satu dari Upanisad-Upanisad yang merupakan bagian dari
Veda, ia membahas kesadaran manusia dan hakikat keberadaan
segala sesuatu secara panjang lebar. Menurutnya, dunia fenomenal
atau dunia objektif merupakan suatu dunia yang dialami dalam
keadaan jaga (Vaisvanara) yang sadar akan dunia objektif indera-
indera. Dunia objektif ini hanyalah suatu penumpangan terhadap
atman, dengan kata lain sebuah dunia yang hanya merupakan tipuan
dari pikiran (Chinmayananda, 1999: 118). Kejamakan dunia ini
berasal dari pikiran yang tidak paham akan hakikat kenyataan yang
sebenarnya. Kenyataan hanya satu, yaitu Atman yang meliputi
segalanya. Pikiran hanya menumpang pada Atman, dan pikiranlah
yang menimbulkan dunia kejamakan atau dunia objektif ini.
Pernyataan ini tentu saja bukan sekedar bualan tanpa makna dan
tidak bisa disejajarkan dengan perkataan dari orang gila yang tidak
berpikir dahulu sebelum mengeluarkan sebuah klaim.
Manusia sadar akan apa yang dialaminya di dunia indrawi;
kesadaran manusia lah yang memungkinkan terjadinya persepsi.
Kesadaran manusia ini memiliki empat bidang kegiatan, yaitu
5. Faisal Yan Aulia, Kesadaran Atas Realitas…
5
keadaan jaga, keadaan mimpi, keadaan tidur lelap dan keadaan
Turiya. Tiap-tiap bidang kesadaran ini berbeda-beda satu sama lain.
Dunia indera (dunia luar) yang dialami manusia dalam
Mandukya Upanisad disebut dengan Vaisvanara, sebagai bidang
pertama dari empat bidang kesadaran manusia. Keadaan ini juga
disebut dengan keadaan jaga yaitu keadaan ketika panca indera
manusia bekerja secara normal, dalam arti bahwa organ indera
masih aktif dalam mempersepsi objek. Secara sederhana, keadaan
jaga adalah ketika manusia tidak dalam keadaan tidur. Keadaan jaga
ini merupakan bagian dari kesadaran manusia yang paling banyak
berisi pengalaman dan pengetahuan. Ilmu dan pengetahuan
dihasilkan manusia ketika ia berada dalam keadaan ini. Keadaan
jaga atau Vaisvanara adalah keakuan (ego) yang menikmati
keadaan kesadaran jaga dan yang sadar akan dunia objek-objek
indera. Ia menikmati wujud (indera penglihatan/ mata), suara
(indera pendengaran/ telinga), rasa (indera perasa/ lidah), bau
(indera penciuman/ hidung) dan sentuhan (indera peraba/ kulit)
(Chinmayananda, 1999:29-30).
Pemikiran Barat biasanya mengartikan mimpi sebagai alam-
bawah-sadar, jadi bukan merupakan jenis kesadaran manusia.
Ketika manusia bermimpi berarti ia masuk dalam alam-bawah-
sadar, yang jelas berbeda dengan alam kesadaran manusia. Dalam
Mandukya Upanisad, keadaan bermimpi juga merupakan suatu jenis
kesadaran. Keadaan mimpi merupakan jenis kesadaran yang kedua
setelah keadaan jaga (Vaisvanara). Keadaan mimpi berarti suatu
keadaan kesadaran yang menarik diri dari dunia luar (dunia objektif
keadaan jaga) dan mempersamakan dirinya dengan badan halus
(Chinmayananda, 1999:33). Objek-objek yang hadir dalam mimpi
berasal dari kesan-kesan selama manusia berada dalam keadaan
jaga, sehingga apa-apa yang timbul dalam mimpi tidak lain berasal
dari pikiran si pemimpi sendiri. Dunia objek indera Vaisvanara
berpindah melalui pikiran menuju dunia mimpi. Jika pada keadaan
jaga, dunia objektif adalah dunia objek indera-indera yang diterima
melalui organ persepsi, maka pada keadaan mimpi dunia
objektifnya adalah dunia objektif batin yang berasal dari pikirannya
sendiri.
Objek-objek yang ada di dalam mimpi tidaklah nyata,
semuanya bersifat khayal. Dalam mimpi semua objeknya diterima
oleh mental manusia, sehingga mustahil untuk mengatakan bahwa
mimpi itu nyata. Misalnya, seorang manusia bermimpi naik
pesawat. Ketika manusia tersebut bangun, maka ia akan segera
6. Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 1, April 2008
6
sadar bahwa hal itu tidak mungkin terjadi, mengingat baru saja ia
naik pesawat dan tiba-tiba sudah berada di dalam kamarnya sendiri.
Lagi pula, akan sangat menggelikan bila mempercayai sebuah
pesawat yang memasuki kamar tidur untuk kemudian menghilang
begitu saja, si pemimpi pun tidak pergi dan masih berada di kamar
tidur.
Manusia bermimpi ketika ia tidur. Hal ini merupakan
karakteristik umum pertama dari keadaan bermimpi. Dalam
keadaan tidur, mimpi dapat hadir dan memberi semacam
pengalaman tertentu. Sigmund Freud, pencetus psikoanalisis,
menyatakan bahwa mimpi dan tidur memiliki hubungan yang erat
dan mimpi hanyalah merupakan reaksi tidak teratur dan fenomena
mental yang berasal dari stimulasi fisik (Freud, 2002:84-86).
Ada titik persamaan antara Sigmund Freud dan Mandukya
Upanisad. Keduanya sama-sama menyatakan bahwa mimpi
merupakan kerja pikiran. Objek-objek yang terkumpul selama
dalam keadaan jaga coba dimunculkan kembali. Dalam
kenyataannya, apa yang dimunculkan itu sering kali berbeda bahkan
bertentangan dengan keadaan selama berada di dunia indera. Hal ini
karena adanya kreasi dari pikiran, oleh sebab itu pikiran menjadi
asal mula dari keadaan mimpi.
Apabila dikatakan bahwa mimpi itu sebagai tidak nyata,
maka hampir semua orang akan menyetujuinya. Savami
Chinmayananda dalam kajiannya tentang Mandukya Upanisad
menyebutkan beberapa alasan mengapa mimpi dikatakan sebagai
tidak nyata. Salah satunya adalah bahwa mimpi dikatakan sebagai
tidak nyata karena objek-objek yang dikenali dalam keadaan mimpi
diterima di dalam diri manusia (Chinmayananda, 1999:113). Ketika
manusia bermimpi menaiki seekor gajah, dapat dipastikan bahwa
gajah itu tidak mungkin berada dalam diri manusia. Dalam diri
manusia tidak mungkin ada ruang atau tempat yang menampung
keberadaan gajah tersebut. Kriteria ruang ini menjadi alasan
mengapa mimpi menaiki gajah, sebagai contoh, merupakan suatu
hal yang tidak nyata. Apabila ingin ditafsirkan, mungkin saja ada
yang berpendapat bahwa ketika seseorang bermimpi menaiki gajah
sebenarnya itu merupakan suatu keinginan yang terpendam. Ia
sebenarnya punya keinginan untuk bisa menaiki gajah di dunia
nyata (indera), akan tetapi karena beberapa hal keinginan tersebut
belum dapat direalisasikan. Mungkin juga ada yang menafsirkan
bahwa orang tersebut pernah mendapat pengalaman buruk berkaitan
dengan gajah, misalnya terkena semprotan belalai gajah. Mimpi
7. Faisal Yan Aulia, Kesadaran Atas Realitas…
7
tersebut sebenarnya ingin menunjukkan keinginan terpendam,
bahwa ia sebenarnya lebih berkuasa daripada gajah. Mimpi menaiki
gajah diartikan sebagai simbol kekuasaan dirinya atas seekor gajah.
Sebagai kreasi dari pikiran, maka dapat dipastikan bahwa
mimpi itu tidak nyata, artinya bahwa mimpi tidak memiliki
eksistensi yang nyata dalam realitas. Pikiran mengolah kesan-kesan
yang didapat dari keadaan jaga (dunia objektif indera) dan
kemudian memunculkannya dalam keadaan mimpi. Hasil dari
pikiran yang berkreasi ini seakan-akan terlihat begitu nyata dalam
beberapa saat, namun seketika menjadi berubah ketika terjaga dari
tidur. Ada semacam kebingungan bila mengingat peristiwa-
peristiwa yang terjadi dalam alam mimpi, kadang-kadang terasa
kabur dan tidak masuk akal.
Keadaan kesadaran yang ketiga adalah keadaan tidur lelap.
Dalam keadaan tidur lelap, pikiran dan kecerdasan beristirahat,
akibatnya seluruh peralatan persepsi berhenti bekerja. Keadaan ini
seperti berada di sebuah dunia yang kosong. Keadaan tidur lelap,
yang disebut dengan Prajna, merupakan suatu pengalaman hidup
ketika manusia tidak berada dalam keadaan jaga (Vaisvanara) atau
dalam keadaan mimpi (Taijasa). Kesulitan dalam melukiskan
keadaan ini mengakibatkan dipilihnya bahasa penyangkalan
(negasi) sebagai cara terbaik untuk mendefinisikannya.
Penyangkalan total dan ketidaktahuan merupakan satu-satunya
pengalaman yang dialami dalam keadaan tidur lelap
(Chinmayananda, 1999:35).
Keadaan yang dideskripsikan sebagai penyangkalan total
dan ketidaktahuan tersebut merupakan sebuah dunia yang gelap dan
kosong. Dunia yang gelap dan kosong dalam keadaan tidur lelap ini
tidak dapat menghasilkan suatu pengetahuan. Dalam keadaan ini,
seseorang merasa tidak menjadi apapun.; benar-benar suatu keadaan
yang susah untuk digambarkan, karena yang ada hanyalah
kekosongan dan ketidaktahuan.
Bidang kesadaran yang melampaui ketiga kesadaran lain,
yaitu kesadaran dalam keadaan jaga (Vaisvanara), keadaan mimpi
(Taijasa) dan keadaan tidur lelap (Prajna) adalah suatu keadaan
yang disebut Turiya. Keadaan Turiya sebagai keadaan kesadaran
tertinggi sulit untuk dijelaskan. Svami Chinmayananda menyatakan
bahwa bahasa tidak dapat melukiskan Keberadaan Tertinggi
(Tuhan). Bahasa manusia adalah terbatas, tidak bisa
mengungkapkan hal-hal yang sifatnya tidak terbatas; Realitas
Tertinggi melampaui bahasa manusia (Chinmayananda, 1999:59).
8. Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 1, April 2008
8
Menurut Svami Chinmayananda, bahasa negasi atau bahasa
penyangkalan menjadi instrumen yang paling tepat untuk
menggambarkan Realitas Tertinggi. Kata “tidak” dan “bukan”
sebagai kata-kata yang bersifat negatif menjadi kata-kata yang
seringkali digunakan; kata-kata ini memperoleh posisi yang
istimewa dalam penggambaran akan Realitas. Realitas Tertinggi
adalah “bukan ini, bukan ini” (neti, neti). Bentuk kalimat-kalimat
positif tidak berfungsi ketika mendefinisikan apa itu Realitas
Tertinggi.
Turiya merupakan suatu keadaan yang mencerminkan Yang
Absolut, mengatasi tiga keadaan kesadaran yang masih diliputi
dengan ketidaktahuan (Avidya). Kebahagiaan (Ananda) selalu
melingkupi keadaan yang tercerahkan ini. Tidak ada kejahatan dan
keburukan, yang ada hanyalah kesempurnaan (Aurobindo, 1950:
438).
C. Hakikat Realitas
Dunia objektif indera yang merupakan bagian terbesar dari
pengalaman hidup manusia menurut Mandukya Upanisad hanya
merupakan sebuah dunia yang tidak nyata. Objek-objek indera
manusia adalah hasil dari proyeksi pikiran. Dunia luar pada
hakikatnya adalah ilusi yang timbul karena akibat dari kerja pikiran.
Svami Chinmayananda memberi beberapa argumentasi berdasar
penjelasan dari Gaudapada tentang ketidaknyataan dunia objektif
indera seperti yang akan disebutkan di bawah ini.
Keadaan jaga (Vaisvanara) yang merupakan sebuah dunia
objektif indera tidak dapat disebut sebagai kenyataan yang
sebenarnya karena objek-objek tersebut tidak mungkin ada saat ini
bila tidak ada pada awal dan pada akhir. Segala sesuatu yang bisa
dicerap oleh organ-organ indera manusia hanyalah ilusi dari pikiran
itu sendiri.
“Yang tidak ada pada awal dan pada akhir, semestinya
demikian pula pada saat sekarang ini. Objek-objek yang kita
lihat sebagai khayalan, namun mereka dianggap sebagai
nyata” (Chinmayananda, 1999:118).
Sebagai contoh, seseorang merasa melihat sesosok hantu di tengah
sawah. Orang itu melihatnya dari balik jendela rumahnya yang ada
di pinggir sawah. Setelah didekati ternyata apa yang ia kira sebagai
hantu hanyalah sebuah boneka kayu yang ditancapkan di tanah yang
berfungsi sebagai pengusir burung-burung, orang Jawa
9. Faisal Yan Aulia, Kesadaran Atas Realitas…
9
menyebutnya dengan istilah “memedi sawah”. Hantu tersebut pada
awalnya memang tidak ada, yang ada hanyalah boneka kayu. Pada
akhirnya juga diketahui bahwa hantu tersebut memang tidak ada,
tidak seperti yang ia anggap pada awalnya. Intinya, hantu yang
dianggap ada oleh orang tersebut sebenarnya tidak ada. Pada
awalnya hantu tersebut tidak pernah ada dan pada akhirnya juga
memang tidak ada.
Apabila dikatakan bahwa objek-objek indera dapat memberi
efek yang nyata bagi manusia, bukankah hal ini menunjukkan
sebuah bukti bahwa objek-objek tersebut benar-benar nyata?
Misalnya, makanan bisa memberi efek kenyang, minum bisa
menghilangkan rasa dahaga, baju baru dapat memberi kesenangan,
dan lain sebagainya. Svami Chinmayananda menjawab pertanyaan
ini dengan memakai penjelasan sebagai berikut.
“Tanpa diragukan lagi, makanan dan keadaan jaga secara
pasti memiliki suatu kemampuan untuk memuaskan rasa
lapar tetapi kepuasan yang diperoleh dalam keadaan jaga itu
disangkal dalam mimpi! Dalam waktu setengah jam setelah
makan kenyang, seseorang akan mengalami keadaan yang
benar-benar lapar dan keadaan menderita kelaparan dalam
mimpi! Makanan yang bertindak selaku pemberi kepuasan
yang pasti dalam keadaan jaga, telah menjadi tak berdaya
dan tiada guna dalam keadaan mimpi. Kemampuan makanan
untuk memuaskan rasa lapar disangkal dan tidak diakui
dalam kondisi mimpi, sementara ia juga nyata, di mana
makanan dalam mimpi dapat memuaskan dengan
kemampuan yang sama, rasa lapar dalam mimpi, sehingga ia
bertindak selaku kegunaan mimpi dalam menciptakan
kepuasan mimpi kepada si pemimpi.
Oleh karena itu, semua objek yang diterima dianggap
khayalan, karena mereka memiliki awal dan akhir.
Kepuasan khayal dalam mimpi disangkal dalam keadaan
jaga. Demikian pula halnya dengan objek-objek keadaan
jaga yang bertindak selaku kegunaan keadaan jaga, disangka
dalam kondisi mimpi. Sebab itu keduanya hanyalah suatu
khayalan belaka. Objek-objek keadaan jaga hanya memiliki
realitas seperti objek-objek keadaan mimpi saja”
(Chinmayananda, 1999:120).
Berdasarkan apa yang dinyatakan oleh Svami Chinamayananda di
atas, dapat disimpulkan bahwa realitas dalam keadaan jaga hanya
berlaku dalam keadaan itu sendiri. Contoh lain, sebelum tidur
10. Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 1, April 2008
10
seseorang hanya sebagai manusia biasa yang tidak memiliki
kedudukan yang tinggi. Setelah masuk dalam dunia mimpi, tiba-tiba
orang itu berubah status menjadi seorang Raja Yunani. Tidak
mungkin dalam waktu yang sesingkat ini seseorang bisa berubah
dengan begitu cepat. Begitu bangun tidur, ia kembali lagi seperti
semula. Singkatnya, pengalaman dalam keadaan jaga dan keadaan
mimpi saling menyangkal.
Argumen lain yang digunakan untuk menjelaskan
ketidaknyataan dunia objektif indera juga berdasarkan apa yang
ditulis oleh Gaudapada.
“Imajinasi subjektif yang ada hanya dalam pikiran, yang
dikenal sebagai tak bermanifestasi, demikian pula yang ada
di dunia luar, dalam bentuk yang berwujud sebagai objek-
objek yang diterima, keduanya merupakan imajinasi. Satu-
satunya perbedaan antara keduanya adalah dalam organ-
organ indera, dengan cara mana dunia luar tampaknya
dikenali” (Chinmayananda, 1999:132).
Dunia luar yang tertangkap oleh panca indera manusia sebenarnya
tidak berbeda dengan objek-objek yang dikenali dalam mimpi.
Meskipun dalam mimpi objek-objek yang terekam tidak berwujud
dan memiliki perbedaan yang jelas dengan objek-objek dalam
keadaan jaga, semuanya itu hanyalah proyeksi dari pikiran. Objek
dunia luar menjadi berwujud karena dikenali oleh pikiran melalui
organ-organ indera, sedangkan objek-objek dalam keadaan mimpi
hanya dikenali oleh pikiran tanpa melibatkan organ indera.
Segala hal yang bisa dipersepsi oleh indera manusia hanya
sekedar penumpangan terhadap Realitas. Analogi hantu dan
“memedi sawah” di atas sekiranya dapat menjelaskan hal ini.
“Memedi sawah” itu adalah Realitas (Atman), sedangkan hantu itu
adalah dunia objektif indera. Realitas sesungguhnya adalah
“memedi sawah” yang apabila dilihat dari kejauhan oleh orang yang
berada dalam ketidaktahuan (Avidya) tampak seperti hantu yang
melayang-layang di atas persawahan. Setelah orang tersebut lepas
dari kondisi ketidaktahuan (Avidya) dan memasuki kondisi
pengetahuan sempurna yaitu keadaan keempat (Turiya), maka akan
menjadi jelaslah bahwa hantu itu hanyalah ilusinya saja; “ada” yang
sesungguhnya adalah “memedi sawah”. Realitas itu tertutupi oleh
ketidaktahuan yang merupakan sebab, akibatnya adalah kejamakan
dunia objektif indera.
Ketika panca indera mempersepsi dunia luar, kita merasa
bahwa segalanya dalam proses berubah. Perubahan menjadi suatu
11. Faisal Yan Aulia, Kesadaran Atas Realitas…
11
hal yang akan terus menerus terjadi di dunia ini; Heraklitos
mengemukakan pendapat ini ribuan tahun lalu. Dari dunia yang
selalu berubah ini maka akan timbul pertanyaan, adakah di dunia ini
yang tetap? Gaudapada mengatakan bahwa yang berubah tak
mungkin abadi, hanya Yang Abadi sajalah yang merupakan dasar
dan hakikakat kenyataan, yaitu Atman. Ia sampai pada kesimpulan
bahwa alam semesta ini sebenarnya hanyalah suatu rupa saja
(Radhakrishnan, 1992: 76). Dunia ini nyata hanya sejauh berada
satu bidang kesadaran saja, yaitu keadaan jaga.
Berdasarkan pemaparan mengenai keadaan jaga yang sadar
akan dunia objektif indra, dapat ditarik kesimpulan bahwa pikiran
lah yang “menciptakan” dunia. Dunia indra dapat disadari
keberadaannya karena ada pikiran yang bekerja. Maka dari itu,
Realitas tertinggi hanyalah satu yaitu Brahman atau Atman yang
homogen.
Pandangan seperti ini dapat digolongkan sebagai monisme
yang bersifat spiritualistis. Yang “Ada” itu hanya Satu, kenyataan
memuat monisme dialektis: Atman berkembang menjadi
Paraatman, yang tidak lain adalah Brahman atau Ada Mutlak
(Bakker, 1992: 28). Atman adalah diri empiris-eksistensial, sedang
Paraatman adalah diri metafisik. Yang “ada” atau kenyataan di sini
meliputi tiga bidang kesadaran manusia, yaitu “ada” dalam dunia
kenyataan objektif yang tertangkap oleh panca indera, “ada” dalam
dunia mimpi dan “ada” dalam “kekosongan” atau “ada” dalam
“ketiadaan”.
D. Epistemologi Metafisis
Lalu muncul pertanyaan, bagaimana caranya agar manusia
bisa memahami hal ini? Svami Chinmayananda menyatakan bahwa
untuk bisa sampai ke pemahaman ini, yaitu memahami realitas,
jalan yang harus ditempuh adalah jalan pengetahuan (jnana-marga).
Jalan ini disebut dengan Viveka. Viveka merupakan pengetahuan
diskriminatif, yaitu pengetahuan yang dihasilkan dari jalan
pemikiran diskriminatif (Chinmayananda, 1999:181) Jalan
pemikiran diskriminatif ini berupa sebuah jalan untuk menemukan
Sang Diri pada diri manusia dengan cara menghaluskan pikiran dan
kecerdasan manusia melalui proses pemikiran rasional. Kata
menghaluskan (sublimasi) berarti mengolah, dengan kata lain,
pikiran dan kecerdasan diolah agar tidak tergantung pada objek-
objek indera luar. Sublimasi juga berarti bahwa pikiran dibimbing
12. Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 1, April 2008
12
untuk menyeleksi objek-objek yang dipersepsi oleh organ-organ
indera.
Viveka mengantarkan manusia memahami Realitas,
memperoleh pengetahuan yang benar tentang hakikat realitas dan
pada akhirnya akan membawa manusia mencapai kesadaran Turiya,
kesadaran tertinggi yang menyatu dengan Diri-Universal
(Brahman). Atman bersatu dengan Brahman, yang pada dasarnya
adalah satu. Hal ini merupakan maksud dari analogi ruang (akasa)
dalam kendi, yaitu bahwa ruang kosong dalam kendi bersatu dengan
ruang di luar kendi tersebut.
Rasionalisasi atau penggunaan nalar untuk memahami teks-
teks kitab suci dalam jalan pemikiran diskriminatif ini mengambil
bentuk kajian terhadap tiga keadaan kesadaran manusia yaitu
keadaan jaga (Vaisvanara), keadaan mimpi (Taijasa) dan keadaan
tidur lelap (Prajna). Rasionalisasi ini berarti menjelaskan teks-teks
kitab suci dengan bantuan penalaran (rasio). Dengan menggunakan
penalaran, ketiga keadaan kesadaran manusia ini dibahas dan dicari
titik persamaannya. Dunia objektif sama tidak nyatanya dengan
dunia mimpi, keduanya hanyalah kerja pikiran. Keadaan tidur lelap
tidak berisi pengetahuan, ketidaktahuan (avidya) adalah intinya.
Pikiran berhenti bekerja selama keadaan tidur lelap ini, akan tetapi
ini bukanlah kebahagiaan yang sebenarnya meskipun digambarkan
sebagai penuh kebahagiaan.
Pada intinya, hakikat realitas bisa diketahui ketika seseorang
telah mencapai kesadaran Turiya. Keadaan ini dicapai lewat jalan
pengetahuan (jnana-marga), sebuah jalan pengetahuan yang
didasarkan pada jalan pemikiran diskriminatif (Viveka) sebagai
sebuah bentuk epistemologi metafisis.
E. Penutup
Dari kajian Svami Chinmayananda tentang Mandukya
Upanisad dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Kefanatikan buta (taklid) dalam kehidupan beragama harus
dihindari. Akal lah yang bisa membebaskan manusia dari
sikap taklid. Bahkan Svami Chinmayananda dalam
kajiannya ini menyatakan bahwa sebuah kitab suci tidak
dapat diterima kebenarannya bila tidak dapat dimengerti
oleh akal. Usaha untuk mendamaikan akal dan iman ini,
sebagai suatu permasalahan klasik, patut dihargai.
2. Setiap segi kehidupan manusia harus dilandasi oleh
pengetahuan.
13. Faisal Yan Aulia, Kesadaran Atas Realitas…
13
3. Pengetahuan yang benar bisa mencegah manusia untuk tidak
larut dan tidak terikat dalam gemerlapnya kehidupan, dan
sebaliknya bisa mengantarkan manusia menjadi gemerlap-
gemerlapnya dunia.
Kesimpulan-kesimpulan yang didapat ini sedikit banyak
dapat menjadi pertimbangan dalam menjalani kehidupan
yang semakin kompleks dan semakin beratnya tantangan
yang harus dihadapi manusia dewasa ini.
-JF-
DAFTAR PUSTAKA
Aurobindo, Sri, 1950, Essays on the Gita, The Sri Aurobindo
Library, New York.
Bakker, Anton, 1992, Ontologi, Kanisius, Yogyakarta.
Chinmayananda, Svami, 2000, Mandukya Upanisad, terjemahan: I
Wayan Maswinara dari judul asli Discourses on Mandukya
Upanisad with Gaudapada’s Karika, Paramita, Surabaya.
Freud, Sigmund, 2002, Psikoanalisis, terjemahan: Ira Puspitorini
dari judul asli A General Introduction to Psychoanalysis,
Ikon Teralitera, Yogyakarta.
Radhakrishnan, Sarvepalli, 1992, Upanisad Utama Jilid I,
terjemahan: Yayasan Parijata dari judul asli The Principal
Upanisads, Yayasan Dharma Sarathi, Jakarta.
Radhakrishnan, Sarvepalli, 1992, Upanisad Utama Jilid II,
terjemahan: Agus S. Mantik dari judul asli The Principal
Upanisads, Yayasan Dharma Sarathi, Jakarta.
Catatan:
Svammi Chinmayanda lahir pada tanggal 8 Mei 1916 di
Ernakulam, suatu daerah di India. Keluarganya merupakan sebuah
keluarga bangsawan Hindu yang taat, yang disebut dengan
Poothampalli. Ia belajar selama 12 tahun di pegunungan Himalaya
di bawah bimbingan Svami Tapovan Maharaj (atas rekomendasi
dari Svami Shivananda yang melihat ada potensi besar pada diri
Svami Chinmyananda) dan meninggal di San Diego, California
pada tanggal 3 Agustus 1993.
14. LANDASAN FILOSOFIS MAZHAB HUKUM PROGRESIF:
TINJAUAN FILSAFAT ILMU
Oleh: Rizal Mustansyir1
Abstract
The discourse on the progressive law blows up recently. The
assumption which declared that “law is for human” strengthened
the progressive law position. This progressive law condition
contradicts to the positive law which pretend to be formalistic. The
law environment in Indonesia which is coloured with crisis of
distrust makes the idea of progressive law accepted enthusiasticly.
While the view that “law as a process, law in the making” takes the
idea of progressive law as an actual thing. The problem is that the
progressive law has not been established a theory yet. It still need
to be explored intensively. This passage examines the progressive
law in the perspective of philosophy of science, because whatever
theory or sosial movement must have had a philosophical ground.
Keywords: The progressive law, Perspective of philosophy of
science
A. Pendahuluan
Gagasan selalu berkembang lebih cepat daripada kenyataan
yang terjadi. Hal yang demikian berlaku pula bagi hukum progresif
sebagai sebuah gagasan yang merespon fenomena hukum yang
terjadi di Indonesia. Ketika hukum sebagai satu kenyataan yang
dianggap powerless, tak berdaya mengantisipasi kejahatan, maka
muncullah semangat baru untuk mengatasi kejumudan berupa
hukum progresif.
Kendati gagasan tentang hukum progresif baru
dikumandangkan beberapa pakar hukum di Indonesia, di antaranya
oleh Satjipto Rahardjo, namun tanggapan cukup meluas di kalangan
masyarakat ilmiah, bahkan masyarakat awam. Alasannya cukup
sederhana; pertama, kejahatan sistemik yang melanda Indonesia
semisal korupsi telah menimbulkan dampak luas, sehingga korupsi
ditahbiskan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) bagi
kehidupan bangsa. Untuk itu masyarakat membutuhkan perangkat
1
Dosen Fakultas Filsafat UGM.
15. Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 1, April 2008
16
hukum yang dipandang adekuat untuk mengatasi kejahatan tersebut.
Kedua, gagasan tentang hukum progresif belum lagi merupakan
teori yang mapan (established theory), sehingga lebih mudah
dibicarakan pada tataran wacana (discourse) yang mengundang
masukan dari berbagai pakar, tidak hanya pakar hukum, melainkan
juga pakar dari berbagi disiplin ilmu. Ketiga, setiap manusia pasti
memiliki idealisme yang tinggi untuk meraih sesuatu, hukum
progresif memenuhi persyaratan idealisasi, karena sangat
menyentuh hasrat atau keinginan manusia akan keadilan (will to
justice).
Berbagai alasan tentang kebutuhan atas hukum yang dapat
mengatasi semua problema hukum cenderung bersifat das Sollen,
perihal seharusnya ketimbang das Sein, perihal senyatanya. Namun
das Sollen sangat dibutuhkan manusia, karena terkait dengan
dimensi moralitas. Hukum adalah persoalan manusia yang berujung
pada titik omega berupa keadilan, sedangkan keadilan itu sendiri
merupakan salah satu wajah ideal dari moral. Dengan demikian
hukum harus terkait dengan moral, manakala diinginkan untuk
memiliki kekuatan yang mengikat sekaligus membangkitkan
kesadaran manusia tentang substansi hukum. Kesadaran manusia
merupakan mikro kosmos dari jagad raya hukum. Sedahsyat apa
pun aturan dibuat, tanpa didorong oleh kesadaran si pelaku, maka
hukum hanya menjadi lembaran dokumen tanpa ruh.
B. Asumsi Hukum Progresif
Satu pemikiran ilmiah lazimnya berangkat dari persoalan
(problem). Archie Bahm (1986: 6) menegaskan bahwa titik tolak
penting dalam penelitian ilmiah ialah problem. Satu penelitian
ilmiah bertitik tolak dari permasalahan tertentu yang menarik untuk
dipecahkan oleh seorang peneliti atau ilmuwan. Masalah bisa
ditemukan dalam berbagai literatur atau kepustakaan yang dibaca,
sehingga melahirkan rasa ingin tahu (curiousity) yang lebih besar
terhadap satu pokok persoalan. Masalah juga bisa ditemukan
melalui diskusi, baik yang sifatnya ringan maupun yang berat atau
ketat ilmiah sehingga mengundang rasa ingin tahu atas satu fokus
permasalahan. Bisa jadi masalah penelitian berawal dari
pengalaman hidup sehari-hari, perihal yang dipandang biasa
(ordinary) oleh orang awam bisa menjadi gagasan ilmiah di
kalangan para ilmuwan. Kadangkala permasalahan bisa muncul
dalam bentuk intuitif, yakni kilatan pengetahuan yang muncul
dalam diri seseorang secara spontan, tanpa direncanakan terlebih
16. Rizal Mustansyir, Landasan Filosofis Mazhab Hukum...
17
dahulu. Acapkali permasalahan timbul lantaran teori yang ada
dipandang tak mampu memecahkan, minimal tidak memuaskan,
problem kongkret di masyarakat. Demikian pula halnya dalam
hukum progresif, hal terakhir inilah yang paling menonjol ketika
teori hukum yang ada dipandang tidak lagi memadai untuk
mengatasi problem hukum di masyarakat.
Salah satu problem hukum dalam kehidupan masyarakat
Indonesia yang sulit untuk diatasi adalah korupsi. Magnis Suseno,
salah seorang pakar Filsafat Sosial, menengarai bahwa korupsi tidak
berkurang pasca kejatuhan Orde Baru, karena sewaktu Soeharto
berkuasa ia masih mampu mendisiplinkan para bawahannya.
Namun ketika Soeharto jatuh, sifat asli mereka semakin kelihatan.
Mereka hanya mementingkan diri sendiri dan menggunakan
kesempatan untuk merampok harta negara sebanyak mungkin
(Magnis-Suseno, 2003).
Satjipto Rahardjo (2004) menegaskan bahwa tindakan pro-aktif
aparat kejaksaan untuk mengungkap kasus korupsi sangat
dinantikan masyarakat. Selain membutuhkan jaksa yang berani,
Indonesia juga membutuhkan penegakan hukum yang progresif.
Tuntutan kebutuhan akan hukum progresif sebagaimana yang
ditengarai oleh Satjipto Rahardjo berangkat dari kekecewaan
masyarakat atas ketidakmampuan aparat hukum untuk
meminimalisasikan tinmdak pidana korupsi yang dijuluki sebagai
extra ordinary crime (Yudoyono, 2005). Muladi bahkan melihat
korupsi tidak lagi sebagai local matter tetapi sudah merupakan
fenomena transnasional yang dapat mempengaruhi kehidupan
internasional, sehingga dibutuhkan kerja sama internasional untuk
mengendalikannya secara komprehensif dan multidisipliner
(Muladi, 2004). Bayangkan saja tokoh masyarakat yang juga
ilmuwan profesional seperti panitia KPU saja terlibat dalam
masalah korupsi. Anggota DPR yang dianggap mampu mewakili
aspirasi rakyat, malah melukai hati rakyat dengan perilaku korupsi.
Kebutuhan akan hukum progresif dengan pendekatan yang
komprehensif dan multidisipliner merupakan kata kunci untuk
memahami asumsi yang ada di balik hukum progresif itu sendiri.
Paling tidak ada beberapa asumsi yang perlu diperhatikan dalam
hukum progresif. Pertama, Hukum adalah untuk manusia, bukan
sebaliknya. Kehadiran hukum bukan untuk dirinya sendiri,
melainkan untuk sesuatu yang lebih luas dan besar. Kalau terjadi
permasalahan di bidang hukum, maka hukum harus ditinjau dan
diperbaiki, bukan manusia yang dipaksa untuk dimasukkan ke
17. Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 1, April 2008
18
dalam skema hukum. Kedua, Hukum bukan institusi yang mutlak
dan final, melainkan dalam proses untuk terus menjadi (law as a
process, law in the making) (Satjipto Rahardjo, 2005).
C. Keterkaitan Hukum Progresif dengan Teori lain
Sebuah artikel (www.antikorupsi.org) yang berjudul
“Rekonstruksi Birokrasi Kejaksaan dengan Pendekatan Hukum
Progresif Studi Penyelidikan, Penyidikan dan Penuntutan Tindak
Pidana Korupsi” menunjukkan kebersinggungan hukum progresif
dengan beberapa teori. Pertama, teori hukum responsif dengan
tokohnya Nonet & Selznick yang menginginkan agar hukum peka
terhadap setiap perkembangan masyarakat. Salah satu ciri yang
menonjol dari teori hukum responsif ini ialah menawarkan lebih
dari sekadar procedural justice, namun lebih berorientasi pada
keadilan dengan memperhatikan kepentingan umum. Teori ini lebih
menekankan pada substantial justice. Persoalan keadilan lebih
dipahami sebagai quid ius, bukan quid iuris.
Kedua, teori hukum realis atau legal realism yang ditokohi
Oliver Wendell Holmes yang terkenal dengan adagium “The life of
the law has not been logic; it has been experience”. Bahwasanya
hukum tidak sebatas logika, melainkan lebih pada pengalaman.
Hukum tidak dilihat dari kacamata hukum itu sendiri, melainkan
lebih dilihat dan dinilai dari tujuan sosial yang ingin dicapai, serta
akibat yang ditimbulkan dari cara bekerjanya hukum. Pemahaman
atas hukum tidak hanya bersifat tekstual, melainkan melampaui
dokumen hukum.
Ketiga, sociological jurisprudence yang ditokohi Roscoe
Pound mengkaji hukum tidak hanya sebatas pada studi tentang
peraturan, tetapi juga melihat efek dan bekerjanya hukum (law as a
tool for social engineering). Hukum merupakan alat rekayasa sosial.
Keempat, hukum alam (natural law) yang memberi
penjelasan tentang hal-hal yang meta-juridical atau sesuatu di balik
hukum. Hukum alam memandang hukum tidak terlepas dari nilai-
nilai moral yang bersifat transendental.
Kelima, studi hukum kritis (critical legal studies) yang
ditokohi Roberto M. Unger. Mazhab ini tidak puas dengan hukum
modern yang sarat dengan prosedur. Gerakan studi hukum kritis
telah menggerogoti gagasan pokok pemikiran hukum moderen dan
menyodorkan satu konsepsi hukum yang secara tak langsung
mengenai masyarakat dan memberi gambaran tentang satu praktek
18. Rizal Mustansyir, Landasan Filosofis Mazhab Hukum...
19
politik. Dua perhatian yang paling menonjol dari gerakan ini ialah
kritik terhadap formalisme dan objektivisme (Unger, 1999: xxv).
Pengaitan hukum progresif dengan kelima teori hukum
pendahulunya ini cukup beralasan (Rationis sufficientis), karena
dinamika masyarakat yang ditangkap oleh berbagai teori hukum
yang telah mengemuka tentu mengalami perubahan yang signifikan.
Di samping itu sebuah teori dalam disiplin ilmu apa pun hanya
dipandang sebagai bentuk kebenaran sementara (meminjam prinsip
Falsifiable Karl Popper) sebelum ditemukan teori lain yang
dipandang lebih sophisticated. Kesadaran akan hukum sebagai
sebuah proses untuk terus menjadi, melahirkan kesadaran baru
bahwa hukum harus terus menerus mencari jati diri. Ibarat ular yang
terus berganti kulit, maka diperlukan keterbukaan wawasan dari
para pakar hukum untuk terus melangkah ke arah idealisme hukum
dan melawan bentuk kemandegan hukum dan pendewaan atas
berhala teoritis dalam panggung ilmiah (Francis Bacon
menyebutnya dengan istilah Idola Theatri).
D. Landasan Filosofis Hukum Progresif
Hukum progresif memang masih berupa wacana, namun
kehadirannya terasa sangat dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia
yang sudah mengalami krisis kepercayaan terhadap hukum yang
berlaku sekarang ini. Hukum progresif belum lagi menampakkan
dirinya sebagai sebuah teori yang sudah mapan. Menurut pemikiran
Imre Lakatos (Chalmers, 1983: 85), apa yang kita pikirkan sebagai
“teori” merupakan kumpulan yang sesungguhnya rapuh, berbeda
dengan teori yang dihimpun dari beberapa gagasan umum atau
yang biasa dinamakan Lakatos dengan inti pokok program (hard
core). Lakatos menamakan kumpulan ini dengan istilah program
riset (Research Programs). Para ilmuwan yang terlibat dalam
program ini akan melindungi inti teori dari usaha falsifikasi di
belakang suatu sabuk pelindung ( a protective belt) dari hipotesis
pelengkap (auxiliary hypotheses). Demikian pula halnya dengan
hukum progresif, harus ada inti pokok program (hard core) yang
perlu dijaga dan dilindungi dari kesalahan-kesalahan yang mungkin
timbul ketika hukum progresif itu akan diterapkan ke dalam
peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, manakala hukum
progresif dikembangkan dari wacana (discourse) menjadi sebuah
teori, maka haruslah dilengkapi dengan hipotesis pelengkap
(auxiliary hypotheses). Hal inilah yang nampaknya belum dimiliki
hukum progresif, sehingga pencetus ide (Satipto Rahardjo) harus
19. Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 1, April 2008
20
dapat mengembangkan program riset ilmiah tentang hukum
progresif secara serius, tidak hanya berhenti pada tataran wacana.
Inti pokok program yang perlu dipertahankan dalam hukum
progresif adalah hukum adalah untuk manusia, bukan
sebaliknya. Adagium bahwa hukum adalah untuk manusia perlu
dipertahankan dari berbagai bentuk falsifiable agar kedudukan
hukum sebagai alat (tool) untuk mencapai sesuatu, bukan sebagai
tujuan yang sudah final. Apa yang dimaksud dengan falsifiable
disini meminjam istilah Popper, yaitu sebuah hipotesis atau teori
hanya diterima sebagai kebenaran sementara sejauh belum
ditemukan kesalahannya. Semakin sulit ditemukan kesalahannya,
maka hipotesis atau teori itu justeru mengalami pengukuhan
(corroboration).
Setiap teori ilmiah, baik yang sudah mapan maupun yang
masih dalam proses kematangan, memiliki landasan filosofis. Ada
tiga landasan filosofis pengembangan ilmu, termasuk hukum, yaitu
ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Landasan ontologis ilmu
hukum artinya hakikat kehadiran ilmu hukum itu dalam dunia
ilmiah. Artinya apa yang menjadi realitas hukum, sehingga
kehadirannya benar-benar merupakan sesuatu yang substansial.
Landasan epistemologis ilmu hukum artinya cara-cara yang
dilakukan di dalam ilmu hukum, sehingga kebenarannya bisa
dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Landasan aksiologis ilmu
hukum artinya manfaat dan kegunaan apa saja yang terdapat dalam
hukum itu, sehingga kehadirannya benar-benar bisa dirasakan
manfaatnya oleh masyarakat.
Landasan ontologis hukum progresif lebih terkait dengan
persoalan realitas hukum yang terjadi di Indonesia. Masyarakat
mengalami krisis kepercayaan terhadap peraturan hukum yang
berlaku. Hukum yang ada dianggap sudah tidak mampu mengatasi
kejahatan kerah putih (white colar crime) seperti korupsi, sehingga
masyarakat mengimpikan teori hukum yang lebih adekuat. Ketika
kehausan masyarakat akan kehadiran hukum yang lebih baik itu
sudah berakumulasi, maka gagasan tentang hukum progresif ibarat
gayung bersambut. Persoalannya adalah substansi hukum progresif
itu sendiri seperti apa, belum ada hasil pemikiran yang terprogram
secara ilmiah.
Landasan epistemologis hukum progresif lebih terkait dengan
dimensi metodologis yang harus dikembangkan untuk menguak
kebenaran ilmiah. Selama ini metode kasuistik, dalam istilah logika
lebih dekat dengan pengertian induktif, lebih mendominasi bidang
20. Rizal Mustansyir, Landasan Filosofis Mazhab Hukum...
21
hukum. Kasus pelanggaran hukum tertentu yang dikaitkan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, dicari dalam pasal-
pasal hukum yang tertulis, menjadikan dimensi metodologis belum
berkembang secara optimal. Interpretasi atas peraturan perundang-
undangan yang berlaku didominasi oleh pakar hukum yang
kebanyakan praktisi yang memiliki kepentingan tertentu, misalnya
untuk membela kliennya. Tentu saja hal ini mengandung validitas
tersendiri, namun diperlukan terobosan metodologis yang lebih
canggih untuk menemukan inovasi terhadap sistem hukum yang
berlaku. Misalnya interpretasi terhadap peraturan perundang-
undangan yang tidak semata-mata bersifat tekstual, melainkan juga
kontekstual. Hukum tidak dipandang sebagai kumpulan huruf atau
kalimat yang dianggap mantera sakti yang hanya boleh dipahami
secara harafiah. Metode hermeneutika boleh dikembangkan oleh
para pakar hukum untuk membuka wawasan tentang berbagai
situasi yang melingkupi kasus hukum yang sedang berkembang dan
disoroti masyarakat. Misalnya kasus korupsi yang terjadi di
kalangan birokrat, bukan semata-mata dipahami sebagai bentuk
kecilnya gaji yang mereka terima, sehingga sikap permisif atas
kejahatan korupsi yang dilakukan acapkali terjadi. Pemahaman atas
sikap amanah atas jabatan yang mereka emban jauh lebih penting
untuk menuntut rasa tanggung jawab (sense of responsibility)
mereka. Hukum harus dikaitkan dengan kemampuan seseorang
dalam mengemban amanah.
Dengan demikian landasan epistemologis hukum progresif
bergerak pada upaya penemuan langkah metodologis yang tepat,
agar hukum progresif dapat menjadi dasar kebenaran bagi peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Apa yang
dimaksud dengan metodologis disini ialah kajian perihal urutan
langkah-langkah yang ditempuh (prosedur ilmiah), supaya
pengetahuan yang diperoleh benar-benar memenuhi ciri ilmiah.
Metodologi merupakan bidang yang ditempuh untuk memperoleh
pengetahuan dan sekaligus menjamin objektivitas atau kebenaran
ilmu. Metodologi merupakan proses yang menampilkan logika
sebagai paduan sistematis dari berbagai proses kognitif yang
meliputi: klasifikasi, konseptualisasi, kesimpulan, observasi,
eksperimen, generalisasi, induksi, deduksi, dan lain-lain. (1984:48).
Hukum progresif baru dapat dikatakan ilmiah manakala prosedur
ilmiah berupa langkah-langkah metodis di atas sudah jelas.
Landasan aksiologis hukum progresif terkait dengan
problem nilai yang terkandung di dalamnya. Aksiologi atau Teori
21. Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 1, April 2008
22
Nilai menurut Runes (1972:32) adalah hasrat, keinginan, kebaikan,
penyelidikan atas kodratnya, kriterianya, dan status metafisiknya.
Hasrat, keinginan, dan kebaikan dari hukum progresif perlu
ditentukan kriteria dan status metafisiknya agar diperoleh gambaran
yang lebih komprehensif tentang nilai yang terkandung di
dalamnya. Kriteria nilai terkait dengan standar pengujian nilai yang
dipengaruhi aspek psikologis dan logis. Hal ini sangat tergantung
pada aliran filsafat yang dianut, kaum hedonist misalnya
menemukan standar nilai dalam kuantitas kesenangan. Kaum
idealis lebih mengakui sistem objektif norma rasional sebagai
kriteria. Sedangkan kaum naturalis menemukan ketahanan biologis
sebagai tolok ukur. Hukum progresif seharusnya lebih memihak
pada cara pandang kaum idealis yang mengakui sistem objektif
norma rasional, karena persoalan yang dihadapi hukum progresif
harus dipandang secara objektif-rasionalistik.
Pentingnya memahami landasan nilai dalam sebuah teori atau
gerakan ilmiah adalah untuk mengetahui secara pasti orientasi atau
kiblat dari teori atau aliran tersebut. Persoalan yang pokok dalam
aksiologi ilmu adalah: Apa tujuan pengembangan ilmu? Apakah
ilmu bebas nilai ataukah tidak? Nilai-nilai apa yang harus ditaati
oleh ilmuwan? Tujuan ilmu yang hakiki adalah untuk kemaslahatan
atau kepentingan manusia, bukan ilmu untuk ilmu (science to
science). Ilmu yang dikembangkan untuk kepentingan manusia
senantiasa akan memihak pada masyarakat, bukan pada dokumen
atau lembaran ilmiah semata. Ketika kepentingan manusia
terkalahkan oleh dokumen ilmiah, maka di sanalah dibutuhkan
landasan nilai (basic of value) yang mampu memperjuangkan dan
mengangkat martabat kemanusiaan sebagai suatu bentuk actus
humanus.
Hukum progresif harus memiliki landasan nilai yang tidak
terjebak ke dalam semangat legal formal semata, namun memihak
kepada semangat kemanusiaan (spirit of humanity). Problem ilmu
itu bebas nilai atau tidak, masih menjadi perdebatan di kalangan
ilmuwan.Namun mereka yang berpihak pada kubu bebas nilai
(value-free) -- terutama kaum positivistik-- harus mengakui bahwa
manusia tidak dapat diperlakukan seperti benda mati atau angka-
angka yang bersifat exactly, measurable, clear and distinct.
Manusia adalah mahluk berkesadaran yang memiliki nurani yang
tidak sertamerta serba pasti, terukur, jelas dan terpilah. Manusia
adalah mahluk dinamis yang selalu berproses dalam menemukan
jati dirinya. Lantaran itu pula terma “kejahatan” (criminal) tidak
22. Rizal Mustansyir, Landasan Filosofis Mazhab Hukum...
23
ditemukan dalam ranah benda mati atau dunia satwa, melainkan
dalam kehidupan manusia.
Ilmu selalu memiliki kepentingan, ujar Habermas. Ia
menegaskan bahwa pemahaman atas realitas didasarkan atas tiga
kategori pengetahuan yang mungkin, yakni informasi yang
memperluas kekuasaan kita atas kontrol teknik; informasi yang
memungkinkan orientasi tindakan dalam tradisi umum; dan analisis
yang membebaskan kesadaran kita dari ketergantungannya atas
kekuasaan. Dengan demikian hanya ada tiga struktur kepentingan
yang saling terkait dalam organisasi sosial, yaitu kerja, bahasa, dan
kekuasaan. (1971:313). Hukum progresif pun tak sepenuhnya
bebas nilai, bahkan sangat terkait dengan kepentingan pembebasan
kesadaran kita dari ketergantungan atas kekuasaan (politik, hukum
positif, dan lain-lain).
Nilai-nilai yang harus ditaati oleh ilmuwan (termasuk pakar
hukum), tidak hanya peraturan perundang-undangan sebagai bentuk
rule of the game dalam kehidupan berbangsa-bernegara, tetapi juga
keberpihakan kepada kebenaran (truth), pengembangan
profesionalitas yang menuntut pertanggungjawaban ilmiah dan lain
sebagainya.
E. Penutup
Berdasarkan uraian di atas tentang hukum progresif yang
ditinjau dari perspektif filosofis, maka dapat ditarik beberapa
kesimpulan sebagai berikut.
Pertama; terlalu dini untuk mengatakan bahwa hukum progresif itu
sebagai sebuah teori, karena syarat bagi sebuah teori, yakni sudah
melalui pengujian metodologis yang dapat dipertanggungjawabkan
dalam komunitas ilmiah, belum lagi dipenuhi.
Kedua, hukum progresif sebagai sebuah wacana cukup menarik
minat dan perhatian masyarakat ilmiah, karena semangat
pembaharuan dan pengembangan atas teori hukum yang selama ini
berlaku, namun dianggap tidak mampu mengatasi persoalan hukum
yang ada di masyarakat Indonesia.
Ketiga, hukum progresif dapat berkembang menjadi sebuah teori
hukum (tidak sekadar sebagai gerakan atau trend) apabila
diletakkan dalam kerangka Scientific Research Program, program
riset ilmiah dengan menemukan inti pokok program (hard core)
yang terlindungi dari berbagai bentuk kesalahan (falsifiable).
Keempat, hukum progresif sebagai sebuah gerakan/aliran/mazhab
dapat terus dikembangkan, dengan syarat memiliki visi dan misi
23. Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 1, April 2008
24
yang jelas. Sebab gerakan tanpa visi dan misi yang jelas, meskipun
idenya bagus, pasti akan ditinggalkan oleh para pengikutnya.
Kelima, landasan ontologis, epistemologis, dan aksiologis bagi
hukum progresif perlu dikembangkan agar warna ilmiah-
filosofisnya jelas dan dapat dipertanggungjawabkan dalam
komunitas ilmiah.
-JF-
DAFTAR PUSTAKA
Bahm, Archie., 1986, Metaphysics: An Introduction, Harper and
Row Publishers, Albuquerque.
Chalmers, A.F., 1983, Apa itu Yang Dinamakan Ilmu?,
Terjemahan: Redaksi Hasta Mitra, What is this thing called
Science? Penerbit Hasta Mitra, Jakarta.
Habermas, Jurgen., 1971, Knowledge and Human Interest,
Translated by: Jeremy J. Shapiro, Beacon Press, Boston.
Magnis Suseno., 2003, “Pembangunan Berkelanjutan dalam
Peningkatan Keimanan dan Ketaqwaan kepada Tuhan
Yang Maha Esa”, dalam Seminar Pembangunan Hukum
Nasional VIII dengan tema Penegakan Hukum dalam Era
Pembangunan Berkelanjutan, BPHN Depkeh & HAM,
Denpasar, 14-18 Juli 2003.
Muladi, 2004, “Substantive Highlights’s dari Konvensi PBB
untuk Melawan Korupsi”, dalam Seminar Aspek
Pertanggungjawaban Pidana Dalam Kebijakan Publik dari
Tindak Pidana Korupsi, Diselenggarakan oleh Kejaksaan
Agung RI bekerjasama dengan Fakultas Hukum UNDIP,
Semarang, 6-7 Mei 2004.
Satjipto Rahardjo., 2004, “Kejaksaan Segeralah Bertindak”,
dalam KOMPAS, 2 Oktober, 2004.
Satjipto Rahardjo., 2005 “Hukum Progresif, Hukum Yang
Membebaskan”, dalam Jurnal Hukum Progresif, Volume
1/No.1/April 2005, PDIH Ilmu Hukum UNDIP.
Susilo Bambang Yudoyono, 2005, Pidato disampaikan dalam
Rapat Koordinasi tentang Percepatan Penanganan TPK
antara Polri, Kejaksaan Agung, dan KPK, Jakarta, 7 Maret,
2005.
Unger, Roberto M., 1999, Gerakan Studi Hukum Kritis,
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, Jakarta.
24. KONSEP SEMIOTIK CHARLES JENCKS
DALAM ARSITEKTUR POST-MODERN
Oleh: Dwi Murdiati1
Abstract
The aims of this work are to know and to explain Charles
Jencks’ semiotic concept of postmodern architecture. In one hand,
Jencks’ postmodern architecture is criticism on modern and
modern-late architecture. Jencks stresses on both differences that
modern and modern-late architecture are based on a single coding
only and postmodern architecture is based on double coding in
their style. In other one, Jencks’ postmodern architecture is a
semiotic entity that has to seen as a sign.
This research is the figure factual history research. It was
based on primary and secondary literature. It used description,
interpretation and heuristic method.
Jencks’s semiotic conception of postmodern architecture has
adopted dualism semiotic of Saussuran like signifier-signified,
langue-parole, denotation-connotation, and paradigmatic-sintag-
matic. It also has adopted trilateral semiotic of Piercean like index,
icon, symbol and sintagmatic, syntactic, semantic.
Keywords: Postmodern architecture, double coding, dualism
semiotic, trial semioti.
A. Pendahuluan
Dunia arsitektur merupakan bagian dari sumber
berhembusnya gelombang post-modernisme. Satu arus pemikiran
baru yang menekankan perspektif berbeda seperti pluralisme,
relativisme, dan subjektivisme di tengah keyakinan modernisme
akan individualisme, rasionalisme, komodifikasi, dan kapitalisasi.
Dunia arsitektur untuk waktu yang panjang telah menikmati
mapannya ruang dan bentuk simetris modern pada hampir segala
bidang bangunan sampai pada akhirnya muncul arah pemikiran baru
tentang konsep ruang dan bentuk yang non-konvensional, seperti,
hybrid, local, hitch, eklektik, atas nama arsitektur post-modern.
Charles Jencks adalah tokoh sentral bagi kemunculan gagasan baru
1
Akademisi dalam bidang Filsafat.
25. Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 1, April 2008
26
di tengah kemapanan arsitektur modern. Jencks menyatakan bahwa
impian utopis dari arsitek semisal Le Corbusier telah
mengakibatkan munculnya bangunan pencakar langit yang steril
dan berbagai proyek perumahan yang kaku.
Charles Jencks mencoba mendekati persoalan arsitektur
dengan cara berbeda, satu cara meneropong seluruh persoalan
arsitektur secara filosofis. Pemikiran Jencks mengejutkan bagi
banyak pemikir arsitektur yang terbiasa dengan pola a-historis dan
a-linguistik. Jencks mengajak orang untuk menciptakan arsitektur
baru yang didasarkan atas eklektisisme dan daya tarik popular.
Jencks mengritik pandangan arsitektur modern yang hanya
menekankan desain makna individualitas dalam ruang semantik
yang sering berlawanan dengan keinginan para penghuninya
(Jencks, 1980: 115).
Manifestasi arsitektur modern yang dikritik oleh Jencks
mencakup berbagai ranah. Jencks mengritik bentuk dramatik
arsitektur modern yang telah menjadi klise dan sulit ditangkap
dalam spirit yang berterus terang. Hal ini tentu berbeda dengan
arsitektur post-modern yang telah menawarkan penerapan desain
yang menggunakan bentuk bangunan dan ornament histories.
Jencks sendiri menyebutnya dengan istilah Double coding (kode
ganda) yaitu, satu bangunan yang berbicara dalam logat lokal, tetapi
juga membuat komentar ironis atas bahasanya sendiri (Jencks,
1987: 352).
Jencks menentang fungsi bangunan klasik yang terbatas
pada kebutuhan waktu. Hal ini berbeda dengan arsitektur post-
modern yang ditandai dengan eklektisme, yaitu proses memilih dari
berbagai sumber dalam merancang bangunan (Sumalyo,1977: 23).
Jencks juga mempersoalkan “bentuk–bentuk murni” arsitektur.
Jencks menginginkan bangunan arsitektur sebagai ruang bagi upaya
kreatif yang diselaraskan, tidak hanya pada fakta dan manfaat
program, tetapi juga pada gagasan puitis dan penanganan bangunan
arsitektur pada skala ruang yang besar. Hasilnya bukan saja
khazanah fungsi dan keajaiban konstruksi, tetapi juga penyajian
muatan simbolis dan tema fiksi estetis, yang bukan semata bentuk
“murni-abstrak”, tetapi muncul sebagai objektivasi konkret yang
dapat dicerap multi–sensorial (Klotz,1988: 6).
Persoalan pemaknaan dan bahasa arsitektural menempati
posisi sentral dalam pemikiran Jencks tentang arsitektur post-
modern. Wacana pemaknaan ini termanifestasi secara mencolok
dalam gagasan Jencks tentang semiotik di dalam arsitektur post-
26. Siti Murdiati, Konsep Semiotik Charles Jenks…
27
modern. Jencks melihat bahwa tanda arsitektur seperti tanda-tanda
yang lain adalah satu entitas yang memiliki dua wajah, yaitu
memiliki ekspresi (penanda) dan isi (petanda). Penanda adalah
bangunan itu sendiri, dan petanda adalah isi dari bentuk (Tanujaya,
1998: 6). Penanda biasanya termanifestasi dalam sebuah bentuk,
ruang, permukaan, volume. Sementara petanda dapat berupa satu
ide atau sekumpulan gagasan. Hubungan antara penanda dan
petanda itulah yang menurut Jencks, memunculkan, signifikansi
arsitektural (Jencks, 1980: 74). Arsitektur adalah penggunaan
penanda formal (material dan pembatas) untuk mengartikulasikan
petanda (cara hidup, nilai, fungsi) dengan menggunakan cara
tertentu (struktural, ekonomis, teknis, mekanis ) (Jencks, 1980: 75 ).
Arsitektur adalah sebuah teks. Teks adalah seperangkat
tanda yang ditransmisikan dari seorang penerima melalui medium
tertentu dan dengan kode–kode tertentu. Teks harus ditafsirkan.
Menurut Jencks, walaupun teks tersebut tidak pernah sepenuhnya
berhasil dalam merekonsiliasikan keseluruhan spektrum hidup,
tetapi ia selalu merupakan sebuah usaha ke arah itu dalam bentuk
analogi dan simbol (Jencks, 1980: 80-81).
Di samping melihat tanda arsitektur dalam kerangka
penanda dan petanda, dengan memanfaatkan, Jencks juga melihat
tanda arsitektur dalam kerangka indeks, ikon, dan simbol.
Bangunan arsitektur juga menganut hubungan kemiripan antara
tanda dengan yang diwakilinya (ikon), menganut hubungan
keterkaitan kausalitas (indeks), dan menganut konvensi atau
kesepakatan yang dibentuk secara bersama oleh pengguna arsitektur
(simbol) (Asmara, 2001: 127-128 ).
Semiotik arsitektur Jencks juga melihat arsitektur dalam kerangka
pragmatik, semantik, dan sintaktik. Berada dalam level pragmatik
karena efek yang ditimbulkannya, semantik karena bentuknya dan
sintaktik karena tata letaknya.
Pemikiran Jencks tentang arsitektur post-modern sangat
terkait dengan kritik Jencks atas kecenderungan arsitektur modern
yang simetris, seragam, dan kaku. Semiotik arsitektur post-modern
Jencks juga sangat terkait dengan teori semiotika dikotomis yang
berasal dari Ferdinand de Saussure yang dikembangkan oleh Roland
Barthes, dan semiotika trikotomis Charles S. Pierce yang C. Morris.
Dengan demikian persoalan yang bisa diajukan adalah: pertama,
bagaimana latar belakang dan pandangan Jencks tentang arsitektur
post-modern?. Kedua, apa dan bagaimana pemikiran semiotika
arsitektur post-modern Charles Jencks?
27. Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 1, April 2008
28
B. Post-Modern dan Arsitektur
Post-modern memiliki beragam arah dan interpretasi. Foster
mendeteksi dua jalur dalam post-modern yang tampak bertentangan.
Pertama adalah post-modern reaksi, yaitu post-modern yang
menceraikan diri dari modern dan merayakan status quo. Kedua,
post-modern resistensi, yaitu post-modern yang berupaya untuk
melanjutkan proyek modern sembari menjadikannya subjek bagi re-
evaluasi kritis (Leach, 1997: 202)
Post-modern seringkali juga dimaknai dalam dua kerangka,
yaitu kerangka periode dan kerangka epistemologi. Dalam kerangka
periode, post-modern berarti masa yang datang setelah modern,
seperti halnya periode modern yang datang setelah periode
tradisional. Sementara dunia modern ditandai dengan diferensiasi,
sedangkan dunia post-modern ditandai dengan de–diferensiasi.
Diferensiasi terlihat jelas melalui batas–batas antar bangsa, antar
ras, antar suku, dan antar golongan. De-diferensiasi ditandai ketika
batas–batas tersebut semakin samar. Dalam kerangka epistemologi,
post-modern bisa diartikan sebagai pencarian ketidakstabilan
(instability). Sementara pengetahuan modern mencari kestabilitan
melalui metodologi dengan “kebenaran” sebagai tujuan final, post-
modern ditandai dengan runtuhnya kebenaran, rasionalitas, dan
objektivitas (Prama, 1995: 101).
Dalam konteks arsitektur, Jencks merujuk arsitektur post-
modern pada langgam arsitektural yang popular dalam bangunan
tahun 1980-an yang banyak bersandar pada motif-motif bergaya
sejarah (Leach, 1997: 202). Jencks lebih melihat post-modern
sebagai perspektif atau epistemologi. Arsitektur post-modern adalah
double coding (kode ganda), arsitek modern single coding (kode
tunggal). Pandangan hidup post-modern adalah pluralisme,
sedangkan pandangan hidup modern adalah mekanisme
(Alisyahbana, 1987: 6 ).
Jencks membagi arsitektur ke dalam arsitektur modern,
modern akhir dan post-modern. Arsitektur modern memiliki ide
utopis, abstrak, deterministik, fungsional dan tunggal. Arsitektur
modern akhir memiliki ide pragmatis, menekankan kebebasan,
kelonggaran, bergaya di luar matra kesadaran, dan melakukan
produksi satu modern yang dibuat-buat. Sedangkan arsitektur post-
modern lebih cenderung popular, pluralis dan bergaya double
coding (Jencks, 1980: 12)
Semiotika adalah teori tentang pemberian tanda atau ilmu
yang mempelajari tanda, serta makna yang terkandung di
28. Siti Murdiati, Konsep Semiotik Charles Jenks…
29
dalamnya. Tanda (sign) merupakan fokus utama dalam semiotika.
Dalam semiotika segala sesuatu dapat dikatakan sebagai tanda
(sign).
Ada dua pendekatan untuk mengklasifikasikan semiotika,
yaitu melalui dikotomi semiotika Saussure dan trikotomi semiotika
Pierceian. Dalam dikotomi Saussurean, yang kemudian
dikembangkan oleh Roland Barthes, disebutkan adanya empat unsur
dalam semiotika, yaitu langue dan parole, signifier dan signified,
sintagmatik dan paradigmatik, konotasi dan denotasi. Sedang dalam
trikotomi semiotika Piercean, tanda mengandung arti indeks, ikon,
dan simbol, yang kemudian dikembangkan oleh Charles Morris
menjadi semantik, sintaktik, dan pragmatik (Asmara, 2001: 127 ).
Charles Jencks mengambil gagasan Barthes tentang signifier
dan signified dan mengambil gagasan Morris tentang semantik,
sintaktik, dan pragmatik. Jencks dalam menerjemahkan segitiga
semantik Morris mencoba menyejajarkan kedudukan semiotika
dengan linguistik melalui proses transformasi dari linguistik ke
bahasa bentuk arsitektur. Dalam proses ini ketiga unsur tersebut
diterjemahkan sebagai satu proses yang berputar pada satu sistem
tertutup.
C.Charles Jencks dan Arsitektur Post-Modern
Sebagai pemikir dan kritisi serta tokoh utama arsitektur
post-modern yang pemikirannya banyak dilandasi oleh pemikiran
para filsuf, Jencks juga mengaitkan konsepnya dengan seni dan
sastra serta mencoba mengritik gerakan modern. Bagi Jencks,
efisiensi dan efektivitas yang dirasakan di dalam arsitektur modern
begitu membosankan. Sebab bagi Jencks karya arsitektur
seharusnya merupakan karya seni yang memiliki kebebasan dalam
pemaknaan. Lebih dari sekedar memenuhi fungsi.
Jencks berbicara tentang genre arsitektur baru yang ia
sebut dengan arsitektur post-modern, yaitu sebuah arsitektur yang
berintikan double coding yang mengombinasikan teknik-teknik
modern dengan sesuatu yang lain (biasanya bangunan tradisional)
agar arsitektur mampu berkomunikasi dengan publik yang peduli
atau dengan para arsitektur lain (Jencks, 1986: 15 ). Dalam What is
Postmodernism, Jencks mengatakan bahwa di dalam kerangka
double coding kedua arah tersebut merupakan sebuah usaha untuk
berkomunikasi dengan masyarakat dan kaum minoritas, yang pada
masa modern cenderung ditinggalkan. Pengkodean ganda
merupakan strategi komunikasi tanda-tanda popular dan elitis untuk
29. Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 1, April 2008
30
mencapai hasil yang berbeda. Gaya sederhana merupakan
pernyataan untuk menemukan pluralisme, karena bagaimanapun
arsitek harus mendesain untuk cita rasa budaya yang berbeda
(Jencks 1988: 14 ).
Jencks mengklaim kegagalan arsitektur modern karena
ketidakmampunya untuk berkomunikasi dengan para penggunanya.
Arsitektur post-modern oleh Jencks didefinisikan sebagai arsitektur
yang didasarkan atas teknik-teknik baru serta pola-pola lama atau
menggunakan teknologi baru untuk memberi wajah pada realitas
sosial yang sekarang setelah membentuk bahasa hibrida (campuran)
( Jencks, 1980: 3 ).
Jencks tidak memberikan satu standar tertentu secara khusus
tentang arsitektur post-modern. Ia hanya menawarkan sejenis
konsep arsitektur post-modern sebagai bukti tentang peng–kode–an
melalui jalan asosiasi dan menyatukan seni pada masa lalu. Jencks
membedakan antara arsitektur modern dan modern akhir. Menurut
Jencks, arsitektur modern akhir sering dikacaukan dengan arsitektur
modern. Fenomena arsitektur modern akhir seperti tampak dari
istilah slick-tech atau supersensualisme, bagi Jencks masih
menampakkan ciri single coding, yaitu berseberangan dengan
double coding pada arsitektur post-modern (Jencks, 1980: 15).
D. Charles Jencks dan Semiotika
Jencks melihat arsitektur lebih dari sekedar cara mendesain
dan merancang sebuah bangunan. Jencks juga melihat arsitektur
sebagai sebuah teks yang menyampaikan sesuatu dan yang harus
ditafsirkan. Arsitektur juga sebuah tanda (sign) yang memiliki
penanda dan petanda, serta signifikasinya. Bangunan, ruang,
permukaan adalah penanda sedangkan ide atau gagasannya adalah
petanda. Kedua aspek ini kemudian membentuk signifikansi
arsitektural. Jencks juga melihat arsitektur dalam kerangka indeks,
ikon, dan simbol.
Pemikiran semiotik Jencks dalam arsitektur tidak bisa
dilepaskan dari dikotomi semiotik Saussuran dan trikotomi
semiotik Piercean. Empat unsur semiotik Saussuran yang
dikembangkan Barthes mempengaruhi Jencks dalam melihat
arsitektur. Keempat unsur tersebut adalah langue dan parole,
penanda dan petanda, sintagmatik dan paradigmatik, konotasi dan
denotasi.
Langue adalah satu sistem kumpulan kosa kata atau
elemen-elemen bentuk yang mempunyai makna berdasarkan
30. Siti Murdiati, Konsep Semiotik Charles Jenks…
31
konsensus budaya, sedangkan parole merupakan bagian bahasa
yang sepenuhnya individual. Parole dapat dipandang sebagai
kombinasi yang memungkinkan subjek (penutur) sanggup
menggunakan kode bahasa untuk mengungkapkan pikiran
pribadinya. Kombinasi tersebut mengimplikasikan bahwa tanda–
tanda bersifat identik dan senantiasa berulang. Maka setiap tanda
bisa menjadi unsur dari langue (Budiman, 1999: 89-90).
Satu benda memiliki dua valensi yang merupakan dua
kesatuan, sebagai benda disebut penanda, dan sebagai makna
disebut dengan petanda (Asmara, 2001: 126-127). Sebuah sintagma
mengacu pada hubungan in-praesentia antara satu suku kata yang
satu dengan yang lain, atau antara satu satuan gramatikal dengan
satuan-satuan yang lain, sehingga berada dalan relasi yang linear.
Sedangkan paradigma bersifat dinamis, tanda linguistik dapat
berpindah-pindah, dapat diganti dengan tanda lain yang terdapat
dalam satu hirarki (Asmara, 2001: 127).
Trikotomi, semiotika, Piercean, merupakan pembentuk
utama semiotika arsitektur post-modern Charles Jencks. Model
trikotomi ini mencakup representamen, interpretan, dan objek.
Representamen merupakan satu bentuk perwujudan tanda (tidak
harus berbentuk inderawi). Interpretan merupakan makna yang
dibentuk oleh tanda. Objek adalah sesuatu yang diacu tanda
(Chandler, 2002: 34-36 ).
Interaksi antara ketiganya oleh Pierce disebut dengan proses
‘semiosis’. Ketiga unsur ini memiliki kesamaan sekaligus
perbedaan dengan dikotomi penanda dan petanda dalam kerangka
Saussuran. Representamen, memiliki arti yang serupa dengan
petanda, meskipun demikian interpretan memiliki kualitas yang
berbeda dengan petanda, karena interpretan sendiri adalah satu
tanda dalam diri interpreter. Sebagaimana Pierce menjelaskan
bahwa tanda seseorang, yakni mencipta dalam benak orang
merupakan satu tanda yang setarap, atau mungkin tanda yang
berkembang lebih lanjut (Chandler, 2002: 34).
E. Semiotika Arsitektur Post-Modern
Sebagai ruang kreativitas, Jencks melihat dunia arsitektur
sebagai dunia tanda, dunia yang selalu memiliki dua wajah, yaitu
penanda dan petanda yang kemudian membentuk kesatuan
signifikansi. Arsitektur bukanlah ekspresi tanpa makna atau tanpa
pesan. Tetapi ia bukan hanya satu pesan atau satu makna seperti
yang selama ini tampil dalam arsitektur modern. Arsitektur post-
31. Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 1, April 2008
32
modern adalah double coding. Inti semiotika arsitektur post-
modern Jencks adalah penekanan pada pluralitas makna dan
pluralitas sumber makna. Arsitektur bisa dibangun dengan
mencangkok dan mengambil berbagai tradisi dengan memanfaatkan
teknik modern.
Jencks mengadopsi trikotomi simbol, ikon dan indeks yang
dikembangkan dari semiotik Piercean. Simbol adalah satu bentuk
yang di situ penanda tidak menyerupai petanda, tetapi secara
mendasar arbitrer atau sepenuhnya konvensional, sehingga
hubungan tersebut harus dipelajari, seperti huruf alfabet, angka,
morse. Ikon adalah bentuk tanda ketika penanda dipersepsikan
sebagai menyerupai atau meniru petanda-nya, seperti potret, efek
suara dalam radio. Sedangkan indeks merupakan tanda ketika
penanda tidak arbitrer, tetapi berkaitan secara langsung dengan
salah satu cara, baik fisis atau kausal, dengan petanda-nya.
Keterkaitan ini dapat diamati atau ditarik kesimpulan darinya,
seperti tanda asap, ketukan pintu, rambu lalu lintas.
Jencks melihat bahwa ungkapan bahasa arsitektur
merupakan penyampaian pesan dalam bangunan, seperti halnya
nada lagu. Ungkapan bahasa arsitektur dapat disimak dari bentuk (
form), ruang (space), dan tata atur (order) dari karakteristik
desainnya. Bentuk, ruang dan tata atur dapat disebut dengan
penanda, yaitu materialisasi ruang dengan pemberian unsur
pelingkup dan dilihat melalui indera penglihatan secara
keseluruhan.
Dalam Sign, Symbol and Architecture, Jencks mengatakan
bahwa esensi tanda arsitektur adalah sebagai sifat dasar arsitektur
yang diibaratkan sebagai perempuan bionik, artinya dalam konsep
ruang, kesalingpenekanan antara yang dalam dan yang luar bersifat
transparan yang penciptaannya berhubungan dengan tiga-e, yaitu
energi, environment, ekologi, dan tiga–s, yaitu sintaksis, semantik,
dan seni pahat ( Jencks, 1980: 71-78 ).
Konsep semiotika arsitektur post-modern yang
dikembangkan Jencks adalah bentuk semiotik yang berkaitan
dengan makna dari berbagai hal. Makna tersebut diungkapkan
melalui bentuk, ritme, warna tekstur, dan sebagainya yang
dinamakan suprasegmen arsitektural dari berbagai komponen
arsitektural.
Charles Jencks mendasarkan tujuan semiotika dalam
pemaknaan sifat dasar arsitektur atau esensi arsitektur dengan
mendefinisikan secara elastis untuk membuat semua definisi
32. Siti Murdiati, Konsep Semiotik Charles Jenks…
33
menjadi benar, sehingga pengetahuan arsitektur pun menjadi lebih
pasti. Esensi arsitektur bagi Jencks adalah ‘ruang’, Raum, konsep
ruang, ke-saling-penekanan antara yang dalam dan yang luar, dan
belahan bentuk secara transparan fenomenal. Esensi arsitektur
adalah penciptaan-tempat identitas dan personalisasi. Arsitektur
tersusun dari kode-kode yang bersifat diskontinu, yang esensinya
adalah mengubah acuan (referent) dari signifikansinya, juga
kodenya ( ide, pola dan sosial yang semuanya dapat berubah) dan
satu kumpulan yang bervariasi dari kode-kode yang dapat
bergabung pada satu saat, sehingga membuat satu praktik arsitektur
dapat diketahui dan bersifat koheren (Jencks, 1980: 73).
Dengan kata lain, secara definitif historis ‘esensial’, tetapi
terbuka dibagian pinggirnya bagi kode-kode bahwa arsitektur
adalah penggunaan penanda formal untuk mengartikulasikan
petanda dengan menggunakan cara tertentu. Dengan demikian ia
mencakup bentuk, fungsi dan teknik (Jencks, 1980: 73-74).
F. Penutup
1. Pemikiran Jencks tentang arsitektur post-modern tidak bisa
dilepaskan dari kritikan atas arsitektur modern atau modern
akhir, baik menyangkut teknologi, penataan, bentuk murni,
pemaknaan dan kesadaran estetis.
2. Bagi Jencks arsitektur modern mewakili sebuah semiotika
single coding, seragam, simetris, universal. Sementara arsitektur
post-modern mewakili sebuah semiotika double coding, plural
lokal.
3. Semiotika arsitektur yang dikembangkan oleh Jencks sangat
dipengaruhi oleh dikotomi semiotika Saussuran dan trikotomi
semiotika Piercean. Dikotomi penanda-petanda, konotasi-
denotasi, langue-parole, sintagmatik-paradigmatik ikut
membentuk pemikiran semiotika Jencks. Pengaruh paling jelas
berada dalam kerangka trikotomi semiotika Piercean yang
bekerja dalam kerangka indeks, ikon, dan simbol, di samping
semantik, sintaktik, dan pragmatik.
-JF-
DAFTAR PUSTAKA
Asmara Yudha, 2001, Dari Kata Menuju Ruang Bentuk, Prima
Anugrah Abadi, Bandung
33. Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 1, April 2008
34
Alisyahbana,STA, 1992, Tantangan Postmodernisme, Jurnal
Filsafat, UNAS, Jakarta
Chandler, Daniel,2002, The Basic Semiotic, 11 New Fetter Lane,
London, EC4B4EE, 29 West 35 th, New York
Jencks, Charles, 1980, Late –Modern Architecture, Rizzoli,
Academy, London
------------------, 1980, Sign, Symbol and Architecture,
Architectural Assosiation School of Architecture and
University of California Los Angeles
------------------, 1984, The Language of Post Modern
Architecture, Rizzoli, New York
Klotz, Heinrich, 1988, The History of Postmodern Architecture,
Massachussets Institute of Technology, MTT, German
Kris Budiman, 1999, Kosa Semiotika, LkiS, Yogyakarta
Leach, Neil, 1996, Rethingking Architecture, A Reader in
Cultural Theory, London and New York
Prama, Gede, 1995, Post Modernisme, Matra, Februari
Sinar Tanudjaja, 1992, Wujud Arsitektur Sebagai Ungkapan
Makna Sosial Budaya Manusia, Universitas Atmajaya,
Yogyakarta
--------------, 1993, Arsitektur Modern, Tradisi-tradisi dan
Aliran-aliran serta Peranan Politik, Andi Offset,
Yogyakarta
--------------, 1998, Kerangka Kerja Makna di Dalam Arsitektur,
Universitas Atmajaya, Yogyakarta
Sumalyo, Yulianto, 1997, Arsitektur Modern Akhir Abad XIX
dan XX ,Gadjah Mada University Press, Yogyakarta
34. TINJAUAN FILOSOFIS
PROBLEMA PENGELOLAAN SAMPAH
Oleh : Lailiy Muthmainnah1
Abstract
Modernisation as a term refers to the development process
which has a lot of limitation, and one of this problem is about
garbage. Commonly, there are two big sources of garbage,
industrializations and high mass consumtions. In fact, both of them
are consequence of logical modernity. There are two reasons why
garbage becomes a great problem in recent years. First, the
quantity of garbage is overload, and second, its quality: most of the
garbage is not bio-degradable. This problem will be more
complicated because people usually use logic “not in my back
yard” with their garbage. To respond this problem, modernity tries
to transform in a new kind of development, that is usually called
sustainable development. Although there are several different
interpretations of sustainable development but it refers to The
Brundtland Commission which defines sustainable development as
a process of change in which the exploitation of resources,
direction of investments, orientation of technological development,
and institutional change are made consistent with future as well as
present needs. For instance emphasize constancy of natural capital
stock as a necessary condition for sustainability. Growth or wealth
must be created without resources depletion. Exactly how this is to
be achieved remains a mystery, but majority of sustainable
development literature said that this condition will be achieved with
using model ecological modernisation. Thus, the challenge is to find
new technologies and to expand the role of the market in allocating
environment resources with the assumption that putting a price on
the natural environment is only the way to protect it. In fact, this
ways are used to solve the problem of garbage in recent years.
Keywords: sustainability, ecology, garbage.
1
Dosen Fakultas Filsafat UGM
35. Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 1, April 2008
36
A. Pendahuluan
Pola pikir modernis yang begitu kuat mengilhami teori
pembangunan telah menempatkan manusia sebagai aktor utama
dalam proses pembangunan. Manusia dipandang dengan sangat
optimis, sehingga akan mampu mengatasi setiap persoalan yang
mungkin muncul dalam strategi yang diambilnya, hal ini berlaku
sama untuk setiap persoalan yang terkait dengan pembangunan.
Dengan rasionalitasnya maka manusia akan semakin tertantang
untuk maju dan mampu menaklukkan alam.
Pola pikir yang antroposentris tersebut telah menjadikan
alam hanya sebagai objek, alat, sekaligus sarana yang didaya
gunakan untuk kepentingan dan kemanfaatan manusia semata
(Keraf, 2005:33). Hal ini dapat dipahami karena dalam sudut
pandang modernitas yang menjadi tujuan utama adalah tercapainya
suatu kondisi yang sustainable secara ekonomi dan bukan ekologi.
Fakta inilah yang menyebabkan munculnya berbagai kritik terhadap
teori modernis, karena sesungguhnya pembangunan tidak semata-
mata dapat diukur dari sisi pertumbuhan ekonomi saja.
Kenyataan menunjukkan bahwa teori modernisasi yang
diterapkan dalam model pembangunan sekarang ini telah
menyisakan banyak persoalan. Salah satu diantaranya adalah
persoalan yang terkait dengan masalah ekologi, dimana contoh riil
untuk problem ini adalah sampah. Maka sengaja dalam tulisan ini
“sampah” dijadikan sebagai tema utama untuk menelaah secara
lebih jelas keterbatasan modernitas yang kemudian coba dijawab
lewat transformasinya ke arah model pembangunan yang
berkelanjutan (sustainable development).
Dalam pemikiran modernis, pembangunan diasumsikan
akan senantiasa berjalan secara linear dari tradisional menuju
modern, dimana hal ini dapat dicapai lewat tahap-tahap tertentu
(The Stages of Economic Growth). Adapun tingkat tertinggi dari
keberhasilan pembangunan tersebut akan ditandai dengan
terwujudnya kondisi masyarakat yang memiliki kemampuan
konsumsi tinggi atau high mass consumption (Fakih, 2006:56).
Padahal kondisi ini akan memberikan konsekuensi logis berupa
semakin banyaknya volume sampah yang akan dihasilkan oleh
manusia, begitu pula dengan tingkat keberagaman sampahnya.
Problem persampahan menjadi semakin kompleks tatkala
manusia kemudian hanya sekedar membuang sampah yang mereka
hasilkan tanpa mau secara kreatif berupaya mengubah sampah
tersebut menjadi sesuatu yang berharga. Logika yang selalu
36. Lailiy Muthmainnah, Tinjauan Filosofis Problematika...
37
digunakan oleh masyarakat umumnya adalah “not in my back yard
(NIMBY)”(Santoso, 2006:13). Tidak peduli akan lari kemana
sampah yang dibuang karena yang penting adalah tempatnya sendiri
bersih dari sampah. Akan dibawa kemana sampah itu selanjutnya,
apakah di sungai, di jalan, di TPA, atau bahkan di selokan air
mereka tidak peduli. Menggejalanya gaya-gaya berpikir semacam
NIMBY di atas sebenarnya merupakan cerminan dari semakin
kuatnya pola pikir modernis, dimana orang hanya berorientasi pada
upaya untuk memperoleh keuntungan yang maksimal dan
meminimalkan beban yang harus ditanggung. Mereka mau untuk
memproduksi dan mengkonsumsi secara besar-besaran, namun
residu dari dua proses tersebut mereka abaikan. Hal ini tentunya
memberikan pengaruh yang buruk terhadap kualitas lingkungan
hidup. Karena dengan semakin banyak dan beragamnya volume
sampah yang tercipta sebagai hasil dari proses yang dikatakan
sebagai modernitas tersebut, maka daya dukung alam juga semakin
turun. Dan jika kondisi ini tidak segera diantisipasi maka akan
sangat membahayakan kelangsungan hidup manusia di masa yang
akan datang.
Dari latar belakang persoalan tersebut di atas dapat dilihat
betapa modernitas telah menyisakan banyak persoalan, diantaranya
tentang sampah tadi. Maka dari limitasi modernitas ini juga tulisan
ini akan dikembangkan untuk menjawab beberapa pertanyaan
sebagai berikut : Apakah yang menjadi sumber utama dari
persoalan persampahan yang ada sekarang? Bagaimana sudut
pandang sustainable development dalam menyikapi problem
tentang persampahan? Serta solusi seperti apa yang dapat
ditawarkan oleh sustainable development untuk mengatasi problem
tersebut?
B. Konsumsi dan Industrialisasi yang bercorak Antroposentris
Sebagai Sumber Utama Sampah
Sampah secara definitif berarti bahan yang terbuang atau
dibuang dari sumber hasil aktivitas manusia maupun proses alam
yang belum memiliki nilai ekonomis. Namun jika diteliti lebih
dalam lagi, setidaknya ada beberapa sumber sampah yaitu
pemukiman, perkantoran, pertanian dan perkebunan, industri dan
sumber-sumber lainnya. Dan diantara beberapa sumber sampah tadi
industri ternyata masih menempati porsi tertinggi dalam
menghasilkan sampah. Karena itu dapat dikatakan bahwa meskipun
setiap aktivitas konsumsi manusia akan menghasilkan residu berupa
37. Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 1, April 2008
38
sampah, namun setidaknya hal ini bukanlah penyebab tunggal dari
semakin parahnya problem persampahan yang terjadi di dunia.
Dalam asumsi penulis, aktivitas manusia yang semakin tinggi untuk
mengkonsumsi barang-barang ini berkorelasi positif dengan
semakin canggihnya teknologi produksi. Ini berarti tingginya
tingkat konsumsi masyarakat dan industrialisasi memberikan
pengaruh yang sama besar terhadap semakin meningkatnya volume
sampah dan lebih jauh terhadap semakin menurunnya kualitas dan
daya dukung alam.
Dalam masyarakat modern, industrialisasi memang
dijadikan sebagai motor utama penggerak ekonomi untuk mencapai
kemakmuran dan kesejahteraan. Karena itu industrialisasi
memegang peran yang sangat sentral dalam proses pembangunan.
Agar perekonomian masyarakat dapat digenjot secara cepat maka
industri dikembangkan sampai ke pelosok-pelosok negeri. Tanpa
disadari bahwa sebenarnya keberadaan industri itu sendiri
memberikan double effect bagi masyarakat. Seperti yang dilaporkan
oleh Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan (World
Commissions on Environment and Development) yang
menyebutkan bahwa industri dan produk yang dihasilkannya
memberi dampak pada basis sumber daya alam melalui keseluruhan
daur eksplorasi dan ekstraksi barang mentah, transformasi menjadi
produk, konsumsi energi, limbah produksi, dan pemakaian produk
beserta pembuangan sampah yang dihasilkan dari produk tersebut
oleh konsumen (World Commissions on Environment and
Development, 1988 : 285). Sehingga di satu sisi keberadaan
industri tersebut memang memberikan dampak positif berupa
perpanjangan kemanfaatan atas sumber daya alam dan inilah yang
dinikmati oleh konsumen (manusia), tetapi di sisi lain industrialisasi
juga memberikan dampak negatif. Industrialisasi telah memaksa
alam untuk menampung seluruh residu hasil aktifitasnya yang
berupa sampah dan limbah. Akibatnya alam menjadi tercemar dan
kualitas lingkungan menjadi semakin turun.
Memang sejauh ini motif ekonomi masih tetap
mendominasi dalam setiap kebijakan industri. Banyak contoh kasus
misalnya dalam hal pembuangan sampah (tepatnya-limbah) industri
yang tidak dikelola dengan baik sehingga mengakibatkan
pencemaran lingkungan yang sangat fatal. Kasus Newmont, Aneka
Tambang, dan Freeport misalnya semakin menunjukkan betapa
keberadaan industri yang semula diarahkan untuk kemajuan dan
kesejahteraan masyarakat ternyata justru mengakibatkan rusaknya
38. Lailiy Muthmainnah, Tinjauan Filosofis Problematika...
39
ekologi secara serius karena memang sejak awal keberadaan
industri tersebut tidak ramah lingkungan atau bahkan mungkin
faktor lingkungan memang tidak diperhitungkan.
Kenyataan di atas barulah sekelumit cerita tentang dampak
lingkungan yang terjadi ketika awal proses produksi dilakukan.
Padahal efek industri tidak hanya berhenti sampai dengan tahap itu
saja tetapi terus berlanjut sampai dengan ketika barang itu selesai
dikonsumsi. Karena setelah produk industri itu selesai dikonsumsi
maka residunya yang berupa sampah akan menimbulkan efek
lingkungan yang lain lagi.
Kondisi ini semakin diperparah dengan adanya produksi
massal atau fordisme yang diciptakan untuk alasan efektifitas dan
efisiensi ekonomi (Wibowo, 2006:69). Fordisme pada akhirnya
akan menaikkan tingkat konsumsi masyarakat dan hal ini akan
berujung pada semakin bertambahnya volume sampah yang
dihasilkan. Semakin canggihnya teknologi produksi yang tidak
ramah lingkungan juga turut memberikan kontribusi yang besar
bagi kerusakan alam. Penggunaan produk-produk sintetis (semacam
kaleng dan plastik) sebagai hasil dari teknologi misalnya telah
menjadi penyebab pencemaran yang utama. Produk-produk sintetis
tersebut telah berhasil menggeser produk-produk yang lebih alami
dan lebih mudah didaur ulang oleh alam. Plastik bahkan menjadi
semacam primadona bagi banyak produsen karena disamping
praktis juga lebih efisien dari segi biaya produksi. Padahal dari sisi
lingkungan sampah yang berasal dari bahan-bahan sintetis tersebut
sangat sulit untuk diurai secara alami sehingga akan sangat
berpeluang menimbulkan pencemaran.
Demikian, betapa kemajuan yang di asumsikan oleh
kalangan modernis dengan terciptanya suatu masyarakat yang
berkecukupan secara ekonomi sehingga dapat melakukan tingkat
konsumsi secara tinggi telah memberikan efek yang sangat buruk
terhadap kelestarian alam. Mereka mengabaikan bahwa
sesungguhnya dalam proses tersebut ada hal yang terlupakan yaitu
daya dukung alam untuk menampung seluruh residu yang mereka
hasilkan dari proses konsumsi tersebut. Kondisi ini jika dibiarkan
terus berlanjut maka akan sangat membahayakan kelestarian
ekologis dan tentunya juga keberlanjutan pembangunan pada
generasi yang akan datang.
39. Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 1, April 2008
40
C. Sustainable Development Melihat Persoalan Sampah
Paradigma sustainable development atau pembangunan
berkelanjutan sebenarnya sudah mulai diperbincangkan sejak tahun
1980 ketika World Conservation Strategy memunculkan istilah ini
dalam acara International Union for the Conservation of Nature dan
Lester R. Brown menggunakannya dalam penulisan buku Building
a Sustainable Society tahun 1981. Namun istilah ini baru menjadi
sangat populer setelah adanya Laporan Brundtland yang berjudul
Our Common Future pada tahun 1987 (Keraf, 2005:166).
Konsep sustainable development sendiri sebenarnya
muncul sebagai reaksi atas kegelisahan banyak pihak terhadap
eksploitasi yang berlebihan terhadap sumber daya alam. Kondisi
over-eksploitasi telah menyebabkan turunnya kemampuan alam
(ecological carrying capacity) untuk me-recovery dirinya kembali
(Eckersley, 1992:36). Alam hanya sekedar dijadikan sebagai sarana
atau alat untuk mencapai tujuan dan memenuhi kebutuhan manusia,
termasuk diantaranya adalah kebutuhan untuk meng-
eksternalisasikan sampah dengan tanpa dipertimbangkan
kelestariannya.
Pemikiran sustainable development sesungguhnya
berupaya untuk menjembatani keterputusan pemikiran teori
modernis terutama terkait dengan pengabaiannya terhadap banyak
hal, yang salah satu diantaranya adalah aspek kelestarian terhadap
sumber daya alam. Karena itu sebenarnya konsep sustainable
development lebih merupakan bentuk transformasi dari teori
modernis. Dalam konsep ini manusia masih tetap menjadi faktor
penentu utama dalam pengelolaan alam. Namun dalam konsepnya,
sustainable development kemudian memasukkan faktor-faktor yang
lain seperti misalnya kelestarian alam (ekologi) dalam proses
pembangunan. Tetapi sekali lagi, ini dimasukkan dalam kerangka
pikir untuk menjaga keberlanjutan pembangunan itu sendiri. Karena
ketika problem ekologi muncul dan diabaikan begitu saja, hal ini
akan sangat membahayakan keberlanjutan pembangunan. Alam
harus tetap dijaga sustainabilitasnya agar generasi manusia yang
akan datang tetap dapat menikmatinya dan melangsungkan proses
pembangunan selanjutnya. Dalam tataran ini dapat dikatakan bahwa
sesungguhnya sustainable development berupaya untuk
menjembatani antara problem etis tentang lingkungan dengan
kebutuhan politis manusia atas lingkungan (Keraf, 2005:166).
Sebenarnya ada banyak definisi tentang sustainable
development, namun dari sekian banyak definisi yang ada definisi
40. Lailiy Muthmainnah, Tinjauan Filosofis Problematika...
41
dari The Brundtland Commission adalah yang paling sering
digunakan. Dalam definisinya The Brundtland Commission
menyatakan bahwa yang dimaksud dengan sustainable development
adalah sebuah proses perubahan dimana kegiatan eksploitasi
sumber daya alam, investasi, penggunaan teknologi, dan perubahan
institusi yang ada selalu konsisten dalam memperhatikan kebutuhan
generasi yang akan datang, sebagaimana perhatiannya pada
kebutuhan generasi saat ini (Banarjee, 1999:6).
Dalam upaya pendefinisian tersebut, maka Gladwin dkk
(1995) sebagaimana dikutip oleh Banarjee mencoba untuk
mengidentifikasi aspek-aspek yang terkandung dalam sustainable
development antara lain: inclusiveness (pengkompromian antara
kepentingan ekologi, ekonomi, politik, teknologi, dan sistem
sosial); connectivity (adanya hubungan yang erat dan saling
mendukung antara tujuan sosial, politik, ekonomi, dan lingkungan;
equity (pendistribusian manfaat sumber daya alam dan hak kelola
kekayaan secara adil); prudence (penjaminan kelangsungan daya
dukung dan kapasitas lingkungan); serta security (upaya mencapai
kehidupan yang aman, sehat, dan berkualitas).
Karena logika awal yang dibangun sustainable
development sebenarnya tidak jauh berbeda dengan modernis, maka
cara-cara yang ditempuh oleh sustainable development juga masih
dikerangkai pola pikir bagaimana mencapai suatu kondisi kemajuan
(progress) dalam bidang ekonomi namun tetap bisa mengakomodasi
juga faktor ekologi. Pertumbuhan ekonomi tetap penting hanya saja
ini harus dicapai dengan tanpa menyebabkan terjadinya degradasi
ekologi yang mengakibatkan hak generasi yang akan datang akan
terkurangi.
Terkait dengan problematika tentang persampahan, maka
dalam asumsi sustainable development sampah adalah sesuatu hal
yang tidak mungkin dihindari dari aktivitas kehidupan manusia,
seperti halnya proses perubahan yang berjalan secara linear dari
tradisional ke modern. Sustainable development mencoba untuk
berpikir secara realistis bahwa dalam kondisi sekarang ini, dimana
moderitas begitu kuat mengakar dalam pola pembangunan maka
efek samping yang berupa sampah atau mungkin limbah industri
adalah sesuatu hal yang tidak bisa dihindari, tetapi hanya bisa untuk
dikelola dan diminimalisir sejak awal. Peluang inilah yang hendak
dikembangkan oleh sustainable development.
Manusia tidak mungkin surut kebelakang dengan
menghentikan seluruh proses produksinya, karena ini berarti bukan
41. Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 1, April 2008
42
progress yang dicapai tetapi justru regress. Namun disisi lain
kelestarian lingkungan juga harus diperhatikan jika tidak ingin
terjatuh pada kondisi regress yang pada akhirnya akan
menyebabkan mandegnya proses pembangunan itu sendiri.
Sustainable development mencoba untuk mengakomodasi hal ini
dan berupaya untuk mencarikan jalan keluarnya secara kooperatif.
Maka yang dilakukan oleh sustainable development dalam
setiap kebijakan pembangunan yang diambil adalah melakukan
mekanisme cost benefit analisys (Fiorino, 1995:101). Hal ini
penting untuk menghitung biaya lingkungan (ekologis) dan juga
manfaat ekonomis yang akan dicapai dari proses pembangunan
tersebut. Dari perhitungan ini kemudian dapat ditentukan langkah-
langkah pembangunan yang nantinya lebih akomodatif terhadap
persoalan lingkungan dengan tanpa mengabaikan kemanfaatan
ekonomi yang hendak dicapai, khususnya untuk keberlanjutan
pembangunan di masa yang akan datang. Dari mekanisme analisis
biaya dan manfaat yang dilakukan inilah diharapkan setiap
kebijakan pembangunan yang diambil akan lebih mampu
mengantisipasi problem lingkungan yang mungkin muncul dari
proses pembangunan tersebut.
D. Penutup: Ecological Modernization Sebagai Sebuah
Tawaran Solusi
Mengakomodasi konsep cost benefit analysis di atas, maka
yang dilakukan oleh sustainable development terkait dengan
problem persampahan adalah menjadikan sampah tersebut sebagai
biaya lingkungan yang harus ditanggung oleh produsen sejak awal.
Karena jika dihitung berdasarkan perbandingan biaya dan manfaat
yang diperoleh, maka produsen justru akan lebih beruntung ketika
dirinya mau untuk mengelola sampah ataupun limbahnya sejak awal
dibanding membiarkan sampah ataupun limbahnya tersebut dibuang
sembarangan dan menyebabkan pencemaran lingkungan. Karena
saat sampah ataupun limbahnya tersebut sampai menyebabkan
pencemaran lingkungan, maka biaya yang harus dikeluarkan untuk
menanggung itu semua jauh lebih besar.
Inilah yang kemudian seringkali disebut dengan proses
internalisasi eksternalitas (Prins, 1993:xxii). Sampah, limbah, dan
semua yang merupakan residu dari proses produksi yang selama ini
dipandang sebagai sesuatu yang berada di luar tanggungjawab
produsen, kemudian diinternalisasikan kembali sebagai bagian dari
proses produksi yang biayanya harus ditanggung oleh produsen. Hal
42. Lailiy Muthmainnah, Tinjauan Filosofis Problematika...
43
ini mengindikasikan bahwa sejak awal environmental cost (biaya
lingkungan) memang sudah harus dimasukkan sebagai faktor
penting yang harus diperhitungkan dalam proses pembangunan, jika
ingin proses pembangunan itu dapat terus berlanjut. Karena sejak
awal sudah ditekankan bahwa faktor lingkungan harus
dipertimbangkan maka seluruh proses pembangunan, termasuk di
dalamnya kegiatan industri akan diarahkan pada terpenuhinya
kondisi ini.
Salah satu upaya untuk menindaklanjuti proses
internalisasi eksternalitas di atas adalah dengan menerapkan model
ecological modernization (Eckersley (ed.), 1995:9). Penerapan
model ini dapat dipandang sebagai kemajuan dalam bidang
pembangunan karena elemen-elemen lingkungan sudah dimasukkan
di dalamnya. Salah satu point penting di dalam model ini adalah
dimasukkannya unsur penanganan sampah dan limbah sebagai
ukuran kelayakan sebuah industri (AMDAL), sehingga industri itu
dilegalkan untuk beroperasi.
Pola yang pertama kali dimunculkan dalam model ini
adalah end of pipe, maksudnya menangani sampah atau limbah
setelah sampah atau limbah itu dihasilkan. Umumnya negara-negara
berkembang masih banyak menggunakan pola ini sebagai metode
praktis untuk menangani persoalan residu proses produksi. Maka
kemudian muncullah konsep-konsep semacam IPAL dan Tempat
Pembuangan Akhir Sampah. Namun disadari bahwa konsep end of
pipe ini belum mampu menyelesaikan persoalan persampahan yang
ada. Maka kemudian mereka mencoba mengembangkan model
penanganan sampah yang lebih baru lagi, yaitu clean production
(Eckersley, 1995:8-9).
Dalam model clean production ini produksi sampah
ataupun limbah dapat diminimalisir sejak awal karena tekanan pada
model clean production adalah upaya pencegahan sebelum sampah
itu benar-benar ada. Secara aplikatif clean production ini diterapkan
dalam bentuk eco-design, yang meliputi 4R yaitu : reduse, re-use,
re-cycling, dan recovery. Jadi memang sudah sejak awal produk-
produk yang ada sudah didesign sedemikian rupa agar nantinya
dapat di daur ulang atau lebih bio-degradable. Misalnya banyak
industri yang sekarang mengembangkan model-model re-fill.
Disamping biaya produksi jauh lebih murah sampah yang
dihasilkan juga relatif lebih sedikit. Dan lewat mekanisme pasar
konsumen diarahkan untuk mendukung proses ini. Karena dengan
menggunakan barang-barang yang dapat direfill maka harga yang
43. Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 1, April 2008
44
mereka peroleh lebih murah tetapi juga sekaligus sampah yang
dihasilkan tidak terlalu banyak. Kemudian juga dengan adanya
kebijakan pembangunan yang menetapkan extended producer
responsibility (EPR) dimana produsen diwajibkan untuk
menggunakan atau mengolah kembali produk ataupun kemasan
produk setelah purna pakai (http://www.walhi.or.id/).
Dari konsep-konsep semacam eco-design dan EPR inilah
maka sampah yang selama ini dianggap sebagai barang yang tidak
berguna justru dianggap sebagai peluang baru untuk dikembangkan
guna meningkatkan efektivitas dan efisiensi ekonomi. Sampah tidak
lagi semata-mata dianggap sampah tetapi sampah sesungguhnya
adalah sumberdaya. Dengan kebijakan pembangunan yang adaptif
semacam ini sebenarnya akan lebih mampu memberikan daya
dorong bagi industri-industri yang ada untuk menjadi lebih kreatif
menciptakan teknologi-teknologi baru yang mampu meminimalisir
produksi sampah sejak awal tetapi juga sekaligus menekan biaya
produksi yang harus dikeluarkan.
Semua metode-metode yang digunakan di atas adalah
upaya yang dilakukan oleh sustainable development untuk
“menginternalisasikan eksternalitas” tersebut. Dan sebagai sebuah
wacana pembangunan yang relatif baru ini sangat menarik untuk
dikembangkan. Bisa dikatakan bahwa upaya ini akan memberikan
dampak yang sangat progressif dalam proses pembangunan. Disatu
sisi model pembangunan ini tidak menafikan adanya kenyataan
kebutuhan akan konsumsi manusia yang semakin meningkat dan
beragam, namun disisi lain efek ekologis juga tidak ketinggalan
diperhitungkan. Dan untuk mengantisipasi sejak awal turunnya
carrying capacity dari alam, maka yang sustainable development
lakukan adalah mendesign ulang seluruh proses dan produk industri
agar lebih efisien dan juga ramah lingkungan. Dalam proses ini
penghematan bahan baku dapat dilakukan dan juga minimalisasi
sampah yang dihasilkan. Proses efisiensi ini kemudian justru
membuat produk mereka menjadi memiliki daya saing yang tinggi
dan ini merupakan keuntungan tersendiri bagi industri. Jadi tidak
hanya keuntungan ekonomi yang mereka peroleh tetapi juga dari
sisi ekologi tidak luput ketinggalan.
Sustainable development sepenuhnya menyadari bahwa
ketika pertumbuhan ekonomi dapat dikelola sejalan dengan ekologi
maka keduanya akan berjalan dengan baik. Dua hal yang selama ini
dianggap sebagai sesuatu yang tidak mungkin sinergis, bagi
sustainable development bukanlah hal yang niscaya untuk dicapai.
44. Lailiy Muthmainnah, Tinjauan Filosofis Problematika...
45
Terus menerus mencela modernitas tampaknya bukanlah sebuah
langkah maju, karena antara manusia dengan alam sesungguhnya
dapat terjalin suatu simbiosis yang mutual (Hettne, 2001:336),
hanya saja yang perlu ditekankan adalah perlunya kesadaran untuk
mengantisipasi implikasi ekologis yang mungkin ditimbulkan dari
proses tersebut, sehingga penurunan daya dukung alam dapat
diantisipasi sejak dini. Dan jika daya dukung dari alam tetap dapat
dipertahankan maka ini berarti proses pembangunan dapat terus
berlanjut pada generasi yang akan datang dan kemajuan bagi
manusia dapat dicapai.
-JF-
DAFTAR PUSTAKA
Banerjee, Subhabrata Bobby, 1999, Sustainable Development and
The Reinvention of Nature dalam paper yang
dipresentasikan untuk Critical management Studies
Conference (Environment Stream), Manchester, United
Kingdom, July 14-16, 1999.
Eckersley, Robyn (ed.), 1995, Market, The State, and The
Environment Toward Integration, Mac Millan Press Ltd,
Hampshire and London.
Eckersley, Robyn, 1992, Environmentalism and Political Theory
: Toward an Ecocentric Approach, University College,
London.
Fakih, Mansour, 2006, Runtuhnya Teori Pembangunan dan
Globalisasi, Kerjasama Insist Press dan Pustaka Pelajar,
Yogyakarta.
Fiorino, Daniel J., 1995, Making Environmental Policy,
University of California Press, USA.
Hettne, Bjorn, 2001, Teori Pembangunan dan Tiga Dunia, PT.
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
http://www.walhi.or.id/kampanye/cemar/sampah/070125_sampah_
produsen_cu/
Keraf, A. Sonny, 2005, Etika Lingkungan, PT. Kompas Media
Nusantara, Jakarta.
Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan (World
Commissions on Environment and Development), 1988, Hari
Depan Kita Bersama, Gramedia, Jakarta.
45. Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 1, April 2008
46
Prins, Gwyn (ed.), 1993, Threats Without Enemies : Facing
Environmental Insecurity, Earthscan Publications Limited
120 Pentonville Road, London.
Santoso, Purwo, 2006, “Radikalisasi Pengelolaan Sampah” dalam
Jurnal Balairung Edisi/39/XX/2006, Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta.
Wibowo, Aseptyanto Wahyu, 2006, “Meninjau Ulang Industri
(Tak) Ramah Lingkungan” dalam Jurnal Balairung
Edisi/39/XX/2006, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.