SlideShare a Scribd company logo
1 of 104
Download to read offline
KESADARAN ATAS REALITAS:
KAJIAN SVAMI CHINMAYANANDA TERHADAP
MANDUKYA UPANISAD
Oleh: Faisal Yan Aulia1
Abstract
Knowledge and technology development has given a lot of
advantages in the human life. In the other side, bad effects of this
development also cause ignorance of spiritual life. The life has only
meaning in material relation (in the extensive meaning); between
material life and spiritual life, there is unbalanced. For some
people, this make an emptiness in their life; their life feels tasteless
and has no meaning. Finally, they return to religion to look for
answers of question about the meaning of life. Svami
Chinmayananda, in his study of Mandukya Upanishad, tries to
answer the question by explaining the nature of reality. In this
study, he reveals the nature of reality by epistemology and
metaphysics perspective. The purpose of this research is giving
description about consciousness concept, the nature or reality and
consciousness (involves knowledge) which can bring someone to
understand the reality which found in Svami Chinmayananda’s
study of Mandukya Upanishad. Besides that, the researcher also did
critical evaluation about epistemology and metaphysics problems
which found in this study.
The consciousness of the nature of reality can be a basic
guide in living the life and answer problems of the meaning of life.
The life which is growing more materialistic needs a balance
between material world and spiritual world. By discriminative
knowledge (Viveka), someone will reach Turiya consciousness. This
Turiya consciousness will bring someone to understand the nature
of reality (Atman or Brahman); finally, he/she will understand the
meaning of life. Other perspective which is offered by Svami
Chinmayananda in his study of Mandukya Upanishad can function
as a consideration in living this life.
Keywords: Turiya, Avidya, consciousness, reality.
1
Alumnus Fakultas Filsafat UGM tahun 2007.
Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 1, April 2008
2
A. Pendahuluan
Dunia yang ditempati sekarang ini bagi mayoritas manusia
dianggap benar-benar sebagai suatu kenyataan yang mutlak, dalam
artian bahwa dunia sebagai kenyataan objektif yang berdiri sendiri
terlepas dari subjek. Pandangan ini merupakan pandangan yang
umum diterima, meskipun masih menyisakan beberapa persoalan
yang sukar untuk dijawab. Dunia inderawi yang dihadapi sehari-
hari tidak mungkin lepas dari perhatian manusia, manusia selalu
berhadapan dengannya. Tidak bisa dipungkiri manusia termasuk
dalam objek-objek inderawi ini..
Manusia merasa bahwa ia terlibat sekaligus sebagai
pengamat dalam kehidupan ini. Kebanyakan dari manusia, baik itu
sadar atau tidak, larut dalam liku-liku perjalanan hidup dari
makhluk yang bernama manusia. Manusia berkorelasi dengan
lingkungan di sekitarnya, dan akan selalu mencari dan mendapatkan
sesuatu yang dirasakan sanggup memenuhi hasrat dan kebutuhan
hidupnya. Seseorang bekerja dengan giat agar tuntutan hidupnya
terpenuhi, terikat dengan kodratnya sebagai makhluk yang harus
berusaha untuk mendapatkan sesuatu. Apabila ingin mendapatkan
hasil seseorang harus menjalani suatu proses sebagai syarat demi
mewujudkan apa yang diinginkannya.
Kehidupan yang dijalani manusia di dunia ini memiliki
sejumlah persoalan rumit yang sukar untuk dijelaskan. Menjalani
kehidupan tampaknya lebih mudah daripada harus menjelaskan apa
arti dan hakikat kehidupan itu sendiri. Sebagai sesuatu yang given,
hidup manusia harus terus berjalan. Di sisi lain, persoalan tentang
makna kehidupan dirasakan kurang bermanfaat dibandingkan
dengan mencari jalan bagaimana kehidupan itu harus dijalani.
Pernyataan bahwa dunia itu benar-benar ada dalam dirinya
sendiri, terpisah dari subjek, seringkali muncul sebagai suatu
aksioma. Subjek mengetahui objek karena dirinya ada dan objek itu
pun juga ada. Keberadaan subjek dan objek terpisah satu sama lain,
saling berdiri sendiri. Objek ada bukan karena ada subjek, begitu
juga sebaliknya. Keterpisahan ini mengakibatkan subjek merasa
bahwa dirinya berbeda dari objek yang diamati dan disadari.
Dalam kehidupan di dunia ini, manusia bisa berinteraksi
dengan lingkungan sekitar dan merasakan dampak langsung dari
aktivitasnya itu. Ketika manusia melihat pohon, binatang benda-
benda dan segala macam objek indera lainnya, dirinya merasa
bahwa itu semua merupakan kenyataan yang sebenarnya, suatu
realitas yang tidak perlu untuk dipermasalahkan lagi ada atau
Faisal Yan Aulia, Kesadaran Atas Realitas…
3
tidaknya. Semua itu bisa dipersepsi lewat organ indera manusia.
Objek tersebut minimal memenuhi satu dari lima sifat yang mampu
“dikenali” oleh indera manusia (peraba, perasa, pembau,
penglihatan dan pendengaran). Pohon itu nyata, buktinya kalau
menabrak atau menyentuh objek tersebut, maka diri manusia akan
merasakan akibatnya. Pohon bisa disentuh, dilihat dan dirasakan
oleh indera manusia. Angin yang tidak dapat dilihat juga merupakan
suatu kenyataan, benar-benar ada, karena masih bisa dirasakan
kehadirannya.
Objek yang bisa dikategorikan sebagai yang benar-benar ada
adalah memenuhi persyaratan di atas, yaitu bisa dipersepsi oleh
organ indera manusia. Lalu bagaimana dengan pernyataan bahwa
beberapa orang memiliki “indera keenam” yang bisa digunakan
untuk mengetahui objek-objek yang berada di luar jangkauan panca
indera manusia? Jawaban atas hal ini masih menimbulkan
perdebatan sengit sampai saat ini. Ada yang menyatakan bahwa
orang-orang tertentu memiliki kemampuan ini, baik itu berasal dari
bawaan atau insight maupun dari proses yang dijalani untuk dapat
meraih kemampuan istimewa ini. Ada juga yang menyatakan bahwa
hal-hal di luar dunia indera sama sekali tidak memiliki eksistensi,
maka dari itu hantu, roh, jiwa, bahkan Tuhan dianggap tidak ada
dan tidak akan pernah ada. Itu semua hanyalah mitos-mitos yang
dibangun manusia, tidak lebih dari sekedar omong kosong yang tak
bermakna. Dua jawaban ini sampai sekarang masih sulit
didamaikan. Jika panca indera yang dimiliki manusia sebagai titik
tolaknya maka jawaban yang kedualah yang lebih bisa diterima akal
sehat. Pertanyaan-pertanyaan masih bisa dimunculkan kembali
setelah ini, dan akan senantiasa menimbulkan pertanyaan baru atas
jawaban baru. Bagaimana dengan cerita dari seseorang yang
mengaku telah mengalami pengalaman mistik atau pengalaman
spiritual yang mengatakan bahwa di luar dunia objektif inderawi
masih ada kenyataan lain yang memiliki eksistensinya sendiri?
B. Kesadaran Manusia
Seperti telah diketahui, kebanyakan manusia menganggap
bahwa dunia yang manusia hadapi sehari-hari mutlak real, memiliki
eksistensi dan dapat dibedakan dari manusia sebagai subjek. Ketika
sesuatu bisa dipersepsi indera manusia, maka saat itu juga sesuatu
tersebut dianggap ber-ada. Mustahil mengatakan bahwa seseorang
baru saja menabrak pohon “ilusi” sementara kepalanya berdarah
Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 1, April 2008
4
karenanya. Pohon itu pastilah merupakan suatu kenyataan, sama
nyatanya dengan peristiwa menabrak pohon itu sendiri
Di sisi lain, munculnya pandangan yang berkebalikan dari
pandangan ini tampaknya akan mengejutkan, setidaknya bagi
beberapa pihak. Pernyataan bahwa dunia yang ditempati dan
disadari ini hanyalah sebuah tipuan pikiran, ilusi atau sekedar
khayalan semata mungkin akan menjadi sebuah lelucon di zaman
yang sudah maju dan mengikat manusia dengan segala
permasalahan kehidupan ini.
Lalu bagaimana apabila ada yang benar-benar mengatakan
hal itu? Tentunya akan menjadi sesuatu yang menarik perhatian,
jika hal itu tidak sekedar dianggap sebagai sebuah ocehan dari
seorang pengidap kelainan jiwa. Kalau yang menyebutkannya
hanya seorang pasien rumah sakit jiwa yang berteriak sambil
telanjang bulat, akan lebih bermanfaat untuk segera
“mengamankan” orang tersebut daripada meladeni segala
perkataannya, dalam kapasitas sebagai orang awam dan bukan
sebagai seorang dokter jiwa atau psikiater. Namun bila pernyataan
itu muncul dari seorang filsuf atau teolog, bukankah hal ini cukup
“mengganggu” pikiran normal manusia?
Salah satu orang yang memiliki pandangan berbeda dari
pandangan umum mengenai keberadaan dunia adalah Svami
Chinmayananda. Dalam kajiannya tentang Mandukya Upanisad,
salah satu dari Upanisad-Upanisad yang merupakan bagian dari
Veda, ia membahas kesadaran manusia dan hakikat keberadaan
segala sesuatu secara panjang lebar. Menurutnya, dunia fenomenal
atau dunia objektif merupakan suatu dunia yang dialami dalam
keadaan jaga (Vaisvanara) yang sadar akan dunia objektif indera-
indera. Dunia objektif ini hanyalah suatu penumpangan terhadap
atman, dengan kata lain sebuah dunia yang hanya merupakan tipuan
dari pikiran (Chinmayananda, 1999: 118). Kejamakan dunia ini
berasal dari pikiran yang tidak paham akan hakikat kenyataan yang
sebenarnya. Kenyataan hanya satu, yaitu Atman yang meliputi
segalanya. Pikiran hanya menumpang pada Atman, dan pikiranlah
yang menimbulkan dunia kejamakan atau dunia objektif ini.
Pernyataan ini tentu saja bukan sekedar bualan tanpa makna dan
tidak bisa disejajarkan dengan perkataan dari orang gila yang tidak
berpikir dahulu sebelum mengeluarkan sebuah klaim.
Manusia sadar akan apa yang dialaminya di dunia indrawi;
kesadaran manusia lah yang memungkinkan terjadinya persepsi.
Kesadaran manusia ini memiliki empat bidang kegiatan, yaitu
Faisal Yan Aulia, Kesadaran Atas Realitas…
5
keadaan jaga, keadaan mimpi, keadaan tidur lelap dan keadaan
Turiya. Tiap-tiap bidang kesadaran ini berbeda-beda satu sama lain.
Dunia indera (dunia luar) yang dialami manusia dalam
Mandukya Upanisad disebut dengan Vaisvanara, sebagai bidang
pertama dari empat bidang kesadaran manusia. Keadaan ini juga
disebut dengan keadaan jaga yaitu keadaan ketika panca indera
manusia bekerja secara normal, dalam arti bahwa organ indera
masih aktif dalam mempersepsi objek. Secara sederhana, keadaan
jaga adalah ketika manusia tidak dalam keadaan tidur. Keadaan jaga
ini merupakan bagian dari kesadaran manusia yang paling banyak
berisi pengalaman dan pengetahuan. Ilmu dan pengetahuan
dihasilkan manusia ketika ia berada dalam keadaan ini. Keadaan
jaga atau Vaisvanara adalah keakuan (ego) yang menikmati
keadaan kesadaran jaga dan yang sadar akan dunia objek-objek
indera. Ia menikmati wujud (indera penglihatan/ mata), suara
(indera pendengaran/ telinga), rasa (indera perasa/ lidah), bau
(indera penciuman/ hidung) dan sentuhan (indera peraba/ kulit)
(Chinmayananda, 1999:29-30).
Pemikiran Barat biasanya mengartikan mimpi sebagai alam-
bawah-sadar, jadi bukan merupakan jenis kesadaran manusia.
Ketika manusia bermimpi berarti ia masuk dalam alam-bawah-
sadar, yang jelas berbeda dengan alam kesadaran manusia. Dalam
Mandukya Upanisad, keadaan bermimpi juga merupakan suatu jenis
kesadaran. Keadaan mimpi merupakan jenis kesadaran yang kedua
setelah keadaan jaga (Vaisvanara). Keadaan mimpi berarti suatu
keadaan kesadaran yang menarik diri dari dunia luar (dunia objektif
keadaan jaga) dan mempersamakan dirinya dengan badan halus
(Chinmayananda, 1999:33). Objek-objek yang hadir dalam mimpi
berasal dari kesan-kesan selama manusia berada dalam keadaan
jaga, sehingga apa-apa yang timbul dalam mimpi tidak lain berasal
dari pikiran si pemimpi sendiri. Dunia objek indera Vaisvanara
berpindah melalui pikiran menuju dunia mimpi. Jika pada keadaan
jaga, dunia objektif adalah dunia objek indera-indera yang diterima
melalui organ persepsi, maka pada keadaan mimpi dunia
objektifnya adalah dunia objektif batin yang berasal dari pikirannya
sendiri.
Objek-objek yang ada di dalam mimpi tidaklah nyata,
semuanya bersifat khayal. Dalam mimpi semua objeknya diterima
oleh mental manusia, sehingga mustahil untuk mengatakan bahwa
mimpi itu nyata. Misalnya, seorang manusia bermimpi naik
pesawat. Ketika manusia tersebut bangun, maka ia akan segera
Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 1, April 2008
6
sadar bahwa hal itu tidak mungkin terjadi, mengingat baru saja ia
naik pesawat dan tiba-tiba sudah berada di dalam kamarnya sendiri.
Lagi pula, akan sangat menggelikan bila mempercayai sebuah
pesawat yang memasuki kamar tidur untuk kemudian menghilang
begitu saja, si pemimpi pun tidak pergi dan masih berada di kamar
tidur.
Manusia bermimpi ketika ia tidur. Hal ini merupakan
karakteristik umum pertama dari keadaan bermimpi. Dalam
keadaan tidur, mimpi dapat hadir dan memberi semacam
pengalaman tertentu. Sigmund Freud, pencetus psikoanalisis,
menyatakan bahwa mimpi dan tidur memiliki hubungan yang erat
dan mimpi hanyalah merupakan reaksi tidak teratur dan fenomena
mental yang berasal dari stimulasi fisik (Freud, 2002:84-86).
Ada titik persamaan antara Sigmund Freud dan Mandukya
Upanisad. Keduanya sama-sama menyatakan bahwa mimpi
merupakan kerja pikiran. Objek-objek yang terkumpul selama
dalam keadaan jaga coba dimunculkan kembali. Dalam
kenyataannya, apa yang dimunculkan itu sering kali berbeda bahkan
bertentangan dengan keadaan selama berada di dunia indera. Hal ini
karena adanya kreasi dari pikiran, oleh sebab itu pikiran menjadi
asal mula dari keadaan mimpi.
Apabila dikatakan bahwa mimpi itu sebagai tidak nyata,
maka hampir semua orang akan menyetujuinya. Savami
Chinmayananda dalam kajiannya tentang Mandukya Upanisad
menyebutkan beberapa alasan mengapa mimpi dikatakan sebagai
tidak nyata. Salah satunya adalah bahwa mimpi dikatakan sebagai
tidak nyata karena objek-objek yang dikenali dalam keadaan mimpi
diterima di dalam diri manusia (Chinmayananda, 1999:113). Ketika
manusia bermimpi menaiki seekor gajah, dapat dipastikan bahwa
gajah itu tidak mungkin berada dalam diri manusia. Dalam diri
manusia tidak mungkin ada ruang atau tempat yang menampung
keberadaan gajah tersebut. Kriteria ruang ini menjadi alasan
mengapa mimpi menaiki gajah, sebagai contoh, merupakan suatu
hal yang tidak nyata. Apabila ingin ditafsirkan, mungkin saja ada
yang berpendapat bahwa ketika seseorang bermimpi menaiki gajah
sebenarnya itu merupakan suatu keinginan yang terpendam. Ia
sebenarnya punya keinginan untuk bisa menaiki gajah di dunia
nyata (indera), akan tetapi karena beberapa hal keinginan tersebut
belum dapat direalisasikan. Mungkin juga ada yang menafsirkan
bahwa orang tersebut pernah mendapat pengalaman buruk berkaitan
dengan gajah, misalnya terkena semprotan belalai gajah. Mimpi
Faisal Yan Aulia, Kesadaran Atas Realitas…
7
tersebut sebenarnya ingin menunjukkan keinginan terpendam,
bahwa ia sebenarnya lebih berkuasa daripada gajah. Mimpi menaiki
gajah diartikan sebagai simbol kekuasaan dirinya atas seekor gajah.
Sebagai kreasi dari pikiran, maka dapat dipastikan bahwa
mimpi itu tidak nyata, artinya bahwa mimpi tidak memiliki
eksistensi yang nyata dalam realitas. Pikiran mengolah kesan-kesan
yang didapat dari keadaan jaga (dunia objektif indera) dan
kemudian memunculkannya dalam keadaan mimpi. Hasil dari
pikiran yang berkreasi ini seakan-akan terlihat begitu nyata dalam
beberapa saat, namun seketika menjadi berubah ketika terjaga dari
tidur. Ada semacam kebingungan bila mengingat peristiwa-
peristiwa yang terjadi dalam alam mimpi, kadang-kadang terasa
kabur dan tidak masuk akal.
Keadaan kesadaran yang ketiga adalah keadaan tidur lelap.
Dalam keadaan tidur lelap, pikiran dan kecerdasan beristirahat,
akibatnya seluruh peralatan persepsi berhenti bekerja. Keadaan ini
seperti berada di sebuah dunia yang kosong. Keadaan tidur lelap,
yang disebut dengan Prajna, merupakan suatu pengalaman hidup
ketika manusia tidak berada dalam keadaan jaga (Vaisvanara) atau
dalam keadaan mimpi (Taijasa). Kesulitan dalam melukiskan
keadaan ini mengakibatkan dipilihnya bahasa penyangkalan
(negasi) sebagai cara terbaik untuk mendefinisikannya.
Penyangkalan total dan ketidaktahuan merupakan satu-satunya
pengalaman yang dialami dalam keadaan tidur lelap
(Chinmayananda, 1999:35).
Keadaan yang dideskripsikan sebagai penyangkalan total
dan ketidaktahuan tersebut merupakan sebuah dunia yang gelap dan
kosong. Dunia yang gelap dan kosong dalam keadaan tidur lelap ini
tidak dapat menghasilkan suatu pengetahuan. Dalam keadaan ini,
seseorang merasa tidak menjadi apapun.; benar-benar suatu keadaan
yang susah untuk digambarkan, karena yang ada hanyalah
kekosongan dan ketidaktahuan.
Bidang kesadaran yang melampaui ketiga kesadaran lain,
yaitu kesadaran dalam keadaan jaga (Vaisvanara), keadaan mimpi
(Taijasa) dan keadaan tidur lelap (Prajna) adalah suatu keadaan
yang disebut Turiya. Keadaan Turiya sebagai keadaan kesadaran
tertinggi sulit untuk dijelaskan. Svami Chinmayananda menyatakan
bahwa bahasa tidak dapat melukiskan Keberadaan Tertinggi
(Tuhan). Bahasa manusia adalah terbatas, tidak bisa
mengungkapkan hal-hal yang sifatnya tidak terbatas; Realitas
Tertinggi melampaui bahasa manusia (Chinmayananda, 1999:59).
Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 1, April 2008
8
Menurut Svami Chinmayananda, bahasa negasi atau bahasa
penyangkalan menjadi instrumen yang paling tepat untuk
menggambarkan Realitas Tertinggi. Kata “tidak” dan “bukan”
sebagai kata-kata yang bersifat negatif menjadi kata-kata yang
seringkali digunakan; kata-kata ini memperoleh posisi yang
istimewa dalam penggambaran akan Realitas. Realitas Tertinggi
adalah “bukan ini, bukan ini” (neti, neti). Bentuk kalimat-kalimat
positif tidak berfungsi ketika mendefinisikan apa itu Realitas
Tertinggi.
Turiya merupakan suatu keadaan yang mencerminkan Yang
Absolut, mengatasi tiga keadaan kesadaran yang masih diliputi
dengan ketidaktahuan (Avidya). Kebahagiaan (Ananda) selalu
melingkupi keadaan yang tercerahkan ini. Tidak ada kejahatan dan
keburukan, yang ada hanyalah kesempurnaan (Aurobindo, 1950:
438).
C. Hakikat Realitas
Dunia objektif indera yang merupakan bagian terbesar dari
pengalaman hidup manusia menurut Mandukya Upanisad hanya
merupakan sebuah dunia yang tidak nyata. Objek-objek indera
manusia adalah hasil dari proyeksi pikiran. Dunia luar pada
hakikatnya adalah ilusi yang timbul karena akibat dari kerja pikiran.
Svami Chinmayananda memberi beberapa argumentasi berdasar
penjelasan dari Gaudapada tentang ketidaknyataan dunia objektif
indera seperti yang akan disebutkan di bawah ini.
Keadaan jaga (Vaisvanara) yang merupakan sebuah dunia
objektif indera tidak dapat disebut sebagai kenyataan yang
sebenarnya karena objek-objek tersebut tidak mungkin ada saat ini
bila tidak ada pada awal dan pada akhir. Segala sesuatu yang bisa
dicerap oleh organ-organ indera manusia hanyalah ilusi dari pikiran
itu sendiri.
“Yang tidak ada pada awal dan pada akhir, semestinya
demikian pula pada saat sekarang ini. Objek-objek yang kita
lihat sebagai khayalan, namun mereka dianggap sebagai
nyata” (Chinmayananda, 1999:118).
Sebagai contoh, seseorang merasa melihat sesosok hantu di tengah
sawah. Orang itu melihatnya dari balik jendela rumahnya yang ada
di pinggir sawah. Setelah didekati ternyata apa yang ia kira sebagai
hantu hanyalah sebuah boneka kayu yang ditancapkan di tanah yang
berfungsi sebagai pengusir burung-burung, orang Jawa
Faisal Yan Aulia, Kesadaran Atas Realitas…
9
menyebutnya dengan istilah “memedi sawah”. Hantu tersebut pada
awalnya memang tidak ada, yang ada hanyalah boneka kayu. Pada
akhirnya juga diketahui bahwa hantu tersebut memang tidak ada,
tidak seperti yang ia anggap pada awalnya. Intinya, hantu yang
dianggap ada oleh orang tersebut sebenarnya tidak ada. Pada
awalnya hantu tersebut tidak pernah ada dan pada akhirnya juga
memang tidak ada.
Apabila dikatakan bahwa objek-objek indera dapat memberi
efek yang nyata bagi manusia, bukankah hal ini menunjukkan
sebuah bukti bahwa objek-objek tersebut benar-benar nyata?
Misalnya, makanan bisa memberi efek kenyang, minum bisa
menghilangkan rasa dahaga, baju baru dapat memberi kesenangan,
dan lain sebagainya. Svami Chinmayananda menjawab pertanyaan
ini dengan memakai penjelasan sebagai berikut.
“Tanpa diragukan lagi, makanan dan keadaan jaga secara
pasti memiliki suatu kemampuan untuk memuaskan rasa
lapar tetapi kepuasan yang diperoleh dalam keadaan jaga itu
disangkal dalam mimpi! Dalam waktu setengah jam setelah
makan kenyang, seseorang akan mengalami keadaan yang
benar-benar lapar dan keadaan menderita kelaparan dalam
mimpi! Makanan yang bertindak selaku pemberi kepuasan
yang pasti dalam keadaan jaga, telah menjadi tak berdaya
dan tiada guna dalam keadaan mimpi. Kemampuan makanan
untuk memuaskan rasa lapar disangkal dan tidak diakui
dalam kondisi mimpi, sementara ia juga nyata, di mana
makanan dalam mimpi dapat memuaskan dengan
kemampuan yang sama, rasa lapar dalam mimpi, sehingga ia
bertindak selaku kegunaan mimpi dalam menciptakan
kepuasan mimpi kepada si pemimpi.
Oleh karena itu, semua objek yang diterima dianggap
khayalan, karena mereka memiliki awal dan akhir.
Kepuasan khayal dalam mimpi disangkal dalam keadaan
jaga. Demikian pula halnya dengan objek-objek keadaan
jaga yang bertindak selaku kegunaan keadaan jaga, disangka
dalam kondisi mimpi. Sebab itu keduanya hanyalah suatu
khayalan belaka. Objek-objek keadaan jaga hanya memiliki
realitas seperti objek-objek keadaan mimpi saja”
(Chinmayananda, 1999:120).
Berdasarkan apa yang dinyatakan oleh Svami Chinamayananda di
atas, dapat disimpulkan bahwa realitas dalam keadaan jaga hanya
berlaku dalam keadaan itu sendiri. Contoh lain, sebelum tidur
Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 1, April 2008
10
seseorang hanya sebagai manusia biasa yang tidak memiliki
kedudukan yang tinggi. Setelah masuk dalam dunia mimpi, tiba-tiba
orang itu berubah status menjadi seorang Raja Yunani. Tidak
mungkin dalam waktu yang sesingkat ini seseorang bisa berubah
dengan begitu cepat. Begitu bangun tidur, ia kembali lagi seperti
semula. Singkatnya, pengalaman dalam keadaan jaga dan keadaan
mimpi saling menyangkal.
Argumen lain yang digunakan untuk menjelaskan
ketidaknyataan dunia objektif indera juga berdasarkan apa yang
ditulis oleh Gaudapada.
“Imajinasi subjektif yang ada hanya dalam pikiran, yang
dikenal sebagai tak bermanifestasi, demikian pula yang ada
di dunia luar, dalam bentuk yang berwujud sebagai objek-
objek yang diterima, keduanya merupakan imajinasi. Satu-
satunya perbedaan antara keduanya adalah dalam organ-
organ indera, dengan cara mana dunia luar tampaknya
dikenali” (Chinmayananda, 1999:132).
Dunia luar yang tertangkap oleh panca indera manusia sebenarnya
tidak berbeda dengan objek-objek yang dikenali dalam mimpi.
Meskipun dalam mimpi objek-objek yang terekam tidak berwujud
dan memiliki perbedaan yang jelas dengan objek-objek dalam
keadaan jaga, semuanya itu hanyalah proyeksi dari pikiran. Objek
dunia luar menjadi berwujud karena dikenali oleh pikiran melalui
organ-organ indera, sedangkan objek-objek dalam keadaan mimpi
hanya dikenali oleh pikiran tanpa melibatkan organ indera.
Segala hal yang bisa dipersepsi oleh indera manusia hanya
sekedar penumpangan terhadap Realitas. Analogi hantu dan
“memedi sawah” di atas sekiranya dapat menjelaskan hal ini.
“Memedi sawah” itu adalah Realitas (Atman), sedangkan hantu itu
adalah dunia objektif indera. Realitas sesungguhnya adalah
“memedi sawah” yang apabila dilihat dari kejauhan oleh orang yang
berada dalam ketidaktahuan (Avidya) tampak seperti hantu yang
melayang-layang di atas persawahan. Setelah orang tersebut lepas
dari kondisi ketidaktahuan (Avidya) dan memasuki kondisi
pengetahuan sempurna yaitu keadaan keempat (Turiya), maka akan
menjadi jelaslah bahwa hantu itu hanyalah ilusinya saja; “ada” yang
sesungguhnya adalah “memedi sawah”. Realitas itu tertutupi oleh
ketidaktahuan yang merupakan sebab, akibatnya adalah kejamakan
dunia objektif indera.
Ketika panca indera mempersepsi dunia luar, kita merasa
bahwa segalanya dalam proses berubah. Perubahan menjadi suatu
Faisal Yan Aulia, Kesadaran Atas Realitas…
11
hal yang akan terus menerus terjadi di dunia ini; Heraklitos
mengemukakan pendapat ini ribuan tahun lalu. Dari dunia yang
selalu berubah ini maka akan timbul pertanyaan, adakah di dunia ini
yang tetap? Gaudapada mengatakan bahwa yang berubah tak
mungkin abadi, hanya Yang Abadi sajalah yang merupakan dasar
dan hakikakat kenyataan, yaitu Atman. Ia sampai pada kesimpulan
bahwa alam semesta ini sebenarnya hanyalah suatu rupa saja
(Radhakrishnan, 1992: 76). Dunia ini nyata hanya sejauh berada
satu bidang kesadaran saja, yaitu keadaan jaga.
Berdasarkan pemaparan mengenai keadaan jaga yang sadar
akan dunia objektif indra, dapat ditarik kesimpulan bahwa pikiran
lah yang “menciptakan” dunia. Dunia indra dapat disadari
keberadaannya karena ada pikiran yang bekerja. Maka dari itu,
Realitas tertinggi hanyalah satu yaitu Brahman atau Atman yang
homogen.
Pandangan seperti ini dapat digolongkan sebagai monisme
yang bersifat spiritualistis. Yang “Ada” itu hanya Satu, kenyataan
memuat monisme dialektis: Atman berkembang menjadi
Paraatman, yang tidak lain adalah Brahman atau Ada Mutlak
(Bakker, 1992: 28). Atman adalah diri empiris-eksistensial, sedang
Paraatman adalah diri metafisik. Yang “ada” atau kenyataan di sini
meliputi tiga bidang kesadaran manusia, yaitu “ada” dalam dunia
kenyataan objektif yang tertangkap oleh panca indera, “ada” dalam
dunia mimpi dan “ada” dalam “kekosongan” atau “ada” dalam
“ketiadaan”.
D. Epistemologi Metafisis
Lalu muncul pertanyaan, bagaimana caranya agar manusia
bisa memahami hal ini? Svami Chinmayananda menyatakan bahwa
untuk bisa sampai ke pemahaman ini, yaitu memahami realitas,
jalan yang harus ditempuh adalah jalan pengetahuan (jnana-marga).
Jalan ini disebut dengan Viveka. Viveka merupakan pengetahuan
diskriminatif, yaitu pengetahuan yang dihasilkan dari jalan
pemikiran diskriminatif (Chinmayananda, 1999:181) Jalan
pemikiran diskriminatif ini berupa sebuah jalan untuk menemukan
Sang Diri pada diri manusia dengan cara menghaluskan pikiran dan
kecerdasan manusia melalui proses pemikiran rasional. Kata
menghaluskan (sublimasi) berarti mengolah, dengan kata lain,
pikiran dan kecerdasan diolah agar tidak tergantung pada objek-
objek indera luar. Sublimasi juga berarti bahwa pikiran dibimbing
Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 1, April 2008
12
untuk menyeleksi objek-objek yang dipersepsi oleh organ-organ
indera.
Viveka mengantarkan manusia memahami Realitas,
memperoleh pengetahuan yang benar tentang hakikat realitas dan
pada akhirnya akan membawa manusia mencapai kesadaran Turiya,
kesadaran tertinggi yang menyatu dengan Diri-Universal
(Brahman). Atman bersatu dengan Brahman, yang pada dasarnya
adalah satu. Hal ini merupakan maksud dari analogi ruang (akasa)
dalam kendi, yaitu bahwa ruang kosong dalam kendi bersatu dengan
ruang di luar kendi tersebut.
Rasionalisasi atau penggunaan nalar untuk memahami teks-
teks kitab suci dalam jalan pemikiran diskriminatif ini mengambil
bentuk kajian terhadap tiga keadaan kesadaran manusia yaitu
keadaan jaga (Vaisvanara), keadaan mimpi (Taijasa) dan keadaan
tidur lelap (Prajna). Rasionalisasi ini berarti menjelaskan teks-teks
kitab suci dengan bantuan penalaran (rasio). Dengan menggunakan
penalaran, ketiga keadaan kesadaran manusia ini dibahas dan dicari
titik persamaannya. Dunia objektif sama tidak nyatanya dengan
dunia mimpi, keduanya hanyalah kerja pikiran. Keadaan tidur lelap
tidak berisi pengetahuan, ketidaktahuan (avidya) adalah intinya.
Pikiran berhenti bekerja selama keadaan tidur lelap ini, akan tetapi
ini bukanlah kebahagiaan yang sebenarnya meskipun digambarkan
sebagai penuh kebahagiaan.
Pada intinya, hakikat realitas bisa diketahui ketika seseorang
telah mencapai kesadaran Turiya. Keadaan ini dicapai lewat jalan
pengetahuan (jnana-marga), sebuah jalan pengetahuan yang
didasarkan pada jalan pemikiran diskriminatif (Viveka) sebagai
sebuah bentuk epistemologi metafisis.
E. Penutup
Dari kajian Svami Chinmayananda tentang Mandukya
Upanisad dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Kefanatikan buta (taklid) dalam kehidupan beragama harus
dihindari. Akal lah yang bisa membebaskan manusia dari
sikap taklid. Bahkan Svami Chinmayananda dalam
kajiannya ini menyatakan bahwa sebuah kitab suci tidak
dapat diterima kebenarannya bila tidak dapat dimengerti
oleh akal. Usaha untuk mendamaikan akal dan iman ini,
sebagai suatu permasalahan klasik, patut dihargai.
2. Setiap segi kehidupan manusia harus dilandasi oleh
pengetahuan.
Faisal Yan Aulia, Kesadaran Atas Realitas…
13
3. Pengetahuan yang benar bisa mencegah manusia untuk tidak
larut dan tidak terikat dalam gemerlapnya kehidupan, dan
sebaliknya bisa mengantarkan manusia menjadi gemerlap-
gemerlapnya dunia.
Kesimpulan-kesimpulan yang didapat ini sedikit banyak
dapat menjadi pertimbangan dalam menjalani kehidupan
yang semakin kompleks dan semakin beratnya tantangan
yang harus dihadapi manusia dewasa ini.
-JF-
DAFTAR PUSTAKA
Aurobindo, Sri, 1950, Essays on the Gita, The Sri Aurobindo
Library, New York.
Bakker, Anton, 1992, Ontologi, Kanisius, Yogyakarta.
Chinmayananda, Svami, 2000, Mandukya Upanisad, terjemahan: I
Wayan Maswinara dari judul asli Discourses on Mandukya
Upanisad with Gaudapada’s Karika, Paramita, Surabaya.
Freud, Sigmund, 2002, Psikoanalisis, terjemahan: Ira Puspitorini
dari judul asli A General Introduction to Psychoanalysis,
Ikon Teralitera, Yogyakarta.
Radhakrishnan, Sarvepalli, 1992, Upanisad Utama Jilid I,
terjemahan: Yayasan Parijata dari judul asli The Principal
Upanisads, Yayasan Dharma Sarathi, Jakarta.
Radhakrishnan, Sarvepalli, 1992, Upanisad Utama Jilid II,
terjemahan: Agus S. Mantik dari judul asli The Principal
Upanisads, Yayasan Dharma Sarathi, Jakarta.
Catatan:
Svammi Chinmayanda lahir pada tanggal 8 Mei 1916 di
Ernakulam, suatu daerah di India. Keluarganya merupakan sebuah
keluarga bangsawan Hindu yang taat, yang disebut dengan
Poothampalli. Ia belajar selama 12 tahun di pegunungan Himalaya
di bawah bimbingan Svami Tapovan Maharaj (atas rekomendasi
dari Svami Shivananda yang melihat ada potensi besar pada diri
Svami Chinmyananda) dan meninggal di San Diego, California
pada tanggal 3 Agustus 1993.
LANDASAN FILOSOFIS MAZHAB HUKUM PROGRESIF:
TINJAUAN FILSAFAT ILMU
Oleh: Rizal Mustansyir1
Abstract
The discourse on the progressive law blows up recently. The
assumption which declared that “law is for human” strengthened
the progressive law position. This progressive law condition
contradicts to the positive law which pretend to be formalistic. The
law environment in Indonesia which is coloured with crisis of
distrust makes the idea of progressive law accepted enthusiasticly.
While the view that “law as a process, law in the making” takes the
idea of progressive law as an actual thing. The problem is that the
progressive law has not been established a theory yet. It still need
to be explored intensively. This passage examines the progressive
law in the perspective of philosophy of science, because whatever
theory or sosial movement must have had a philosophical ground.
Keywords: The progressive law, Perspective of philosophy of
science
A. Pendahuluan
Gagasan selalu berkembang lebih cepat daripada kenyataan
yang terjadi. Hal yang demikian berlaku pula bagi hukum progresif
sebagai sebuah gagasan yang merespon fenomena hukum yang
terjadi di Indonesia. Ketika hukum sebagai satu kenyataan yang
dianggap powerless, tak berdaya mengantisipasi kejahatan, maka
muncullah semangat baru untuk mengatasi kejumudan berupa
hukum progresif.
Kendati gagasan tentang hukum progresif baru
dikumandangkan beberapa pakar hukum di Indonesia, di antaranya
oleh Satjipto Rahardjo, namun tanggapan cukup meluas di kalangan
masyarakat ilmiah, bahkan masyarakat awam. Alasannya cukup
sederhana; pertama, kejahatan sistemik yang melanda Indonesia
semisal korupsi telah menimbulkan dampak luas, sehingga korupsi
ditahbiskan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) bagi
kehidupan bangsa. Untuk itu masyarakat membutuhkan perangkat
1
Dosen Fakultas Filsafat UGM.
Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 1, April 2008
16
hukum yang dipandang adekuat untuk mengatasi kejahatan tersebut.
Kedua, gagasan tentang hukum progresif belum lagi merupakan
teori yang mapan (established theory), sehingga lebih mudah
dibicarakan pada tataran wacana (discourse) yang mengundang
masukan dari berbagai pakar, tidak hanya pakar hukum, melainkan
juga pakar dari berbagi disiplin ilmu. Ketiga, setiap manusia pasti
memiliki idealisme yang tinggi untuk meraih sesuatu, hukum
progresif memenuhi persyaratan idealisasi, karena sangat
menyentuh hasrat atau keinginan manusia akan keadilan (will to
justice).
Berbagai alasan tentang kebutuhan atas hukum yang dapat
mengatasi semua problema hukum cenderung bersifat das Sollen,
perihal seharusnya ketimbang das Sein, perihal senyatanya. Namun
das Sollen sangat dibutuhkan manusia, karena terkait dengan
dimensi moralitas. Hukum adalah persoalan manusia yang berujung
pada titik omega berupa keadilan, sedangkan keadilan itu sendiri
merupakan salah satu wajah ideal dari moral. Dengan demikian
hukum harus terkait dengan moral, manakala diinginkan untuk
memiliki kekuatan yang mengikat sekaligus membangkitkan
kesadaran manusia tentang substansi hukum. Kesadaran manusia
merupakan mikro kosmos dari jagad raya hukum. Sedahsyat apa
pun aturan dibuat, tanpa didorong oleh kesadaran si pelaku, maka
hukum hanya menjadi lembaran dokumen tanpa ruh.
B. Asumsi Hukum Progresif
Satu pemikiran ilmiah lazimnya berangkat dari persoalan
(problem). Archie Bahm (1986: 6) menegaskan bahwa titik tolak
penting dalam penelitian ilmiah ialah problem. Satu penelitian
ilmiah bertitik tolak dari permasalahan tertentu yang menarik untuk
dipecahkan oleh seorang peneliti atau ilmuwan. Masalah bisa
ditemukan dalam berbagai literatur atau kepustakaan yang dibaca,
sehingga melahirkan rasa ingin tahu (curiousity) yang lebih besar
terhadap satu pokok persoalan. Masalah juga bisa ditemukan
melalui diskusi, baik yang sifatnya ringan maupun yang berat atau
ketat ilmiah sehingga mengundang rasa ingin tahu atas satu fokus
permasalahan. Bisa jadi masalah penelitian berawal dari
pengalaman hidup sehari-hari, perihal yang dipandang biasa
(ordinary) oleh orang awam bisa menjadi gagasan ilmiah di
kalangan para ilmuwan. Kadangkala permasalahan bisa muncul
dalam bentuk intuitif, yakni kilatan pengetahuan yang muncul
dalam diri seseorang secara spontan, tanpa direncanakan terlebih
Rizal Mustansyir, Landasan Filosofis Mazhab Hukum...
17
dahulu. Acapkali permasalahan timbul lantaran teori yang ada
dipandang tak mampu memecahkan, minimal tidak memuaskan,
problem kongkret di masyarakat. Demikian pula halnya dalam
hukum progresif, hal terakhir inilah yang paling menonjol ketika
teori hukum yang ada dipandang tidak lagi memadai untuk
mengatasi problem hukum di masyarakat.
Salah satu problem hukum dalam kehidupan masyarakat
Indonesia yang sulit untuk diatasi adalah korupsi. Magnis Suseno,
salah seorang pakar Filsafat Sosial, menengarai bahwa korupsi tidak
berkurang pasca kejatuhan Orde Baru, karena sewaktu Soeharto
berkuasa ia masih mampu mendisiplinkan para bawahannya.
Namun ketika Soeharto jatuh, sifat asli mereka semakin kelihatan.
Mereka hanya mementingkan diri sendiri dan menggunakan
kesempatan untuk merampok harta negara sebanyak mungkin
(Magnis-Suseno, 2003).
Satjipto Rahardjo (2004) menegaskan bahwa tindakan pro-aktif
aparat kejaksaan untuk mengungkap kasus korupsi sangat
dinantikan masyarakat. Selain membutuhkan jaksa yang berani,
Indonesia juga membutuhkan penegakan hukum yang progresif.
Tuntutan kebutuhan akan hukum progresif sebagaimana yang
ditengarai oleh Satjipto Rahardjo berangkat dari kekecewaan
masyarakat atas ketidakmampuan aparat hukum untuk
meminimalisasikan tinmdak pidana korupsi yang dijuluki sebagai
extra ordinary crime (Yudoyono, 2005). Muladi bahkan melihat
korupsi tidak lagi sebagai local matter tetapi sudah merupakan
fenomena transnasional yang dapat mempengaruhi kehidupan
internasional, sehingga dibutuhkan kerja sama internasional untuk
mengendalikannya secara komprehensif dan multidisipliner
(Muladi, 2004). Bayangkan saja tokoh masyarakat yang juga
ilmuwan profesional seperti panitia KPU saja terlibat dalam
masalah korupsi. Anggota DPR yang dianggap mampu mewakili
aspirasi rakyat, malah melukai hati rakyat dengan perilaku korupsi.
Kebutuhan akan hukum progresif dengan pendekatan yang
komprehensif dan multidisipliner merupakan kata kunci untuk
memahami asumsi yang ada di balik hukum progresif itu sendiri.
Paling tidak ada beberapa asumsi yang perlu diperhatikan dalam
hukum progresif. Pertama, Hukum adalah untuk manusia, bukan
sebaliknya. Kehadiran hukum bukan untuk dirinya sendiri,
melainkan untuk sesuatu yang lebih luas dan besar. Kalau terjadi
permasalahan di bidang hukum, maka hukum harus ditinjau dan
diperbaiki, bukan manusia yang dipaksa untuk dimasukkan ke
Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 1, April 2008
18
dalam skema hukum. Kedua, Hukum bukan institusi yang mutlak
dan final, melainkan dalam proses untuk terus menjadi (law as a
process, law in the making) (Satjipto Rahardjo, 2005).
C. Keterkaitan Hukum Progresif dengan Teori lain
Sebuah artikel (www.antikorupsi.org) yang berjudul
“Rekonstruksi Birokrasi Kejaksaan dengan Pendekatan Hukum
Progresif Studi Penyelidikan, Penyidikan dan Penuntutan Tindak
Pidana Korupsi” menunjukkan kebersinggungan hukum progresif
dengan beberapa teori. Pertama, teori hukum responsif dengan
tokohnya Nonet & Selznick yang menginginkan agar hukum peka
terhadap setiap perkembangan masyarakat. Salah satu ciri yang
menonjol dari teori hukum responsif ini ialah menawarkan lebih
dari sekadar procedural justice, namun lebih berorientasi pada
keadilan dengan memperhatikan kepentingan umum. Teori ini lebih
menekankan pada substantial justice. Persoalan keadilan lebih
dipahami sebagai quid ius, bukan quid iuris.
Kedua, teori hukum realis atau legal realism yang ditokohi
Oliver Wendell Holmes yang terkenal dengan adagium “The life of
the law has not been logic; it has been experience”. Bahwasanya
hukum tidak sebatas logika, melainkan lebih pada pengalaman.
Hukum tidak dilihat dari kacamata hukum itu sendiri, melainkan
lebih dilihat dan dinilai dari tujuan sosial yang ingin dicapai, serta
akibat yang ditimbulkan dari cara bekerjanya hukum. Pemahaman
atas hukum tidak hanya bersifat tekstual, melainkan melampaui
dokumen hukum.
Ketiga, sociological jurisprudence yang ditokohi Roscoe
Pound mengkaji hukum tidak hanya sebatas pada studi tentang
peraturan, tetapi juga melihat efek dan bekerjanya hukum (law as a
tool for social engineering). Hukum merupakan alat rekayasa sosial.
Keempat, hukum alam (natural law) yang memberi
penjelasan tentang hal-hal yang meta-juridical atau sesuatu di balik
hukum. Hukum alam memandang hukum tidak terlepas dari nilai-
nilai moral yang bersifat transendental.
Kelima, studi hukum kritis (critical legal studies) yang
ditokohi Roberto M. Unger. Mazhab ini tidak puas dengan hukum
modern yang sarat dengan prosedur. Gerakan studi hukum kritis
telah menggerogoti gagasan pokok pemikiran hukum moderen dan
menyodorkan satu konsepsi hukum yang secara tak langsung
mengenai masyarakat dan memberi gambaran tentang satu praktek
Rizal Mustansyir, Landasan Filosofis Mazhab Hukum...
19
politik. Dua perhatian yang paling menonjol dari gerakan ini ialah
kritik terhadap formalisme dan objektivisme (Unger, 1999: xxv).
Pengaitan hukum progresif dengan kelima teori hukum
pendahulunya ini cukup beralasan (Rationis sufficientis), karena
dinamika masyarakat yang ditangkap oleh berbagai teori hukum
yang telah mengemuka tentu mengalami perubahan yang signifikan.
Di samping itu sebuah teori dalam disiplin ilmu apa pun hanya
dipandang sebagai bentuk kebenaran sementara (meminjam prinsip
Falsifiable Karl Popper) sebelum ditemukan teori lain yang
dipandang lebih sophisticated. Kesadaran akan hukum sebagai
sebuah proses untuk terus menjadi, melahirkan kesadaran baru
bahwa hukum harus terus menerus mencari jati diri. Ibarat ular yang
terus berganti kulit, maka diperlukan keterbukaan wawasan dari
para pakar hukum untuk terus melangkah ke arah idealisme hukum
dan melawan bentuk kemandegan hukum dan pendewaan atas
berhala teoritis dalam panggung ilmiah (Francis Bacon
menyebutnya dengan istilah Idola Theatri).
D. Landasan Filosofis Hukum Progresif
Hukum progresif memang masih berupa wacana, namun
kehadirannya terasa sangat dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia
yang sudah mengalami krisis kepercayaan terhadap hukum yang
berlaku sekarang ini. Hukum progresif belum lagi menampakkan
dirinya sebagai sebuah teori yang sudah mapan. Menurut pemikiran
Imre Lakatos (Chalmers, 1983: 85), apa yang kita pikirkan sebagai
“teori” merupakan kumpulan yang sesungguhnya rapuh, berbeda
dengan teori yang dihimpun dari beberapa gagasan umum atau
yang biasa dinamakan Lakatos dengan inti pokok program (hard
core). Lakatos menamakan kumpulan ini dengan istilah program
riset (Research Programs). Para ilmuwan yang terlibat dalam
program ini akan melindungi inti teori dari usaha falsifikasi di
belakang suatu sabuk pelindung ( a protective belt) dari hipotesis
pelengkap (auxiliary hypotheses). Demikian pula halnya dengan
hukum progresif, harus ada inti pokok program (hard core) yang
perlu dijaga dan dilindungi dari kesalahan-kesalahan yang mungkin
timbul ketika hukum progresif itu akan diterapkan ke dalam
peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, manakala hukum
progresif dikembangkan dari wacana (discourse) menjadi sebuah
teori, maka haruslah dilengkapi dengan hipotesis pelengkap
(auxiliary hypotheses). Hal inilah yang nampaknya belum dimiliki
hukum progresif, sehingga pencetus ide (Satipto Rahardjo) harus
Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 1, April 2008
20
dapat mengembangkan program riset ilmiah tentang hukum
progresif secara serius, tidak hanya berhenti pada tataran wacana.
Inti pokok program yang perlu dipertahankan dalam hukum
progresif adalah hukum adalah untuk manusia, bukan
sebaliknya. Adagium bahwa hukum adalah untuk manusia perlu
dipertahankan dari berbagai bentuk falsifiable agar kedudukan
hukum sebagai alat (tool) untuk mencapai sesuatu, bukan sebagai
tujuan yang sudah final. Apa yang dimaksud dengan falsifiable
disini meminjam istilah Popper, yaitu sebuah hipotesis atau teori
hanya diterima sebagai kebenaran sementara sejauh belum
ditemukan kesalahannya. Semakin sulit ditemukan kesalahannya,
maka hipotesis atau teori itu justeru mengalami pengukuhan
(corroboration).
Setiap teori ilmiah, baik yang sudah mapan maupun yang
masih dalam proses kematangan, memiliki landasan filosofis. Ada
tiga landasan filosofis pengembangan ilmu, termasuk hukum, yaitu
ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Landasan ontologis ilmu
hukum artinya hakikat kehadiran ilmu hukum itu dalam dunia
ilmiah. Artinya apa yang menjadi realitas hukum, sehingga
kehadirannya benar-benar merupakan sesuatu yang substansial.
Landasan epistemologis ilmu hukum artinya cara-cara yang
dilakukan di dalam ilmu hukum, sehingga kebenarannya bisa
dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Landasan aksiologis ilmu
hukum artinya manfaat dan kegunaan apa saja yang terdapat dalam
hukum itu, sehingga kehadirannya benar-benar bisa dirasakan
manfaatnya oleh masyarakat.
Landasan ontologis hukum progresif lebih terkait dengan
persoalan realitas hukum yang terjadi di Indonesia. Masyarakat
mengalami krisis kepercayaan terhadap peraturan hukum yang
berlaku. Hukum yang ada dianggap sudah tidak mampu mengatasi
kejahatan kerah putih (white colar crime) seperti korupsi, sehingga
masyarakat mengimpikan teori hukum yang lebih adekuat. Ketika
kehausan masyarakat akan kehadiran hukum yang lebih baik itu
sudah berakumulasi, maka gagasan tentang hukum progresif ibarat
gayung bersambut. Persoalannya adalah substansi hukum progresif
itu sendiri seperti apa, belum ada hasil pemikiran yang terprogram
secara ilmiah.
Landasan epistemologis hukum progresif lebih terkait dengan
dimensi metodologis yang harus dikembangkan untuk menguak
kebenaran ilmiah. Selama ini metode kasuistik, dalam istilah logika
lebih dekat dengan pengertian induktif, lebih mendominasi bidang
Rizal Mustansyir, Landasan Filosofis Mazhab Hukum...
21
hukum. Kasus pelanggaran hukum tertentu yang dikaitkan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, dicari dalam pasal-
pasal hukum yang tertulis, menjadikan dimensi metodologis belum
berkembang secara optimal. Interpretasi atas peraturan perundang-
undangan yang berlaku didominasi oleh pakar hukum yang
kebanyakan praktisi yang memiliki kepentingan tertentu, misalnya
untuk membela kliennya. Tentu saja hal ini mengandung validitas
tersendiri, namun diperlukan terobosan metodologis yang lebih
canggih untuk menemukan inovasi terhadap sistem hukum yang
berlaku. Misalnya interpretasi terhadap peraturan perundang-
undangan yang tidak semata-mata bersifat tekstual, melainkan juga
kontekstual. Hukum tidak dipandang sebagai kumpulan huruf atau
kalimat yang dianggap mantera sakti yang hanya boleh dipahami
secara harafiah. Metode hermeneutika boleh dikembangkan oleh
para pakar hukum untuk membuka wawasan tentang berbagai
situasi yang melingkupi kasus hukum yang sedang berkembang dan
disoroti masyarakat. Misalnya kasus korupsi yang terjadi di
kalangan birokrat, bukan semata-mata dipahami sebagai bentuk
kecilnya gaji yang mereka terima, sehingga sikap permisif atas
kejahatan korupsi yang dilakukan acapkali terjadi. Pemahaman atas
sikap amanah atas jabatan yang mereka emban jauh lebih penting
untuk menuntut rasa tanggung jawab (sense of responsibility)
mereka. Hukum harus dikaitkan dengan kemampuan seseorang
dalam mengemban amanah.
Dengan demikian landasan epistemologis hukum progresif
bergerak pada upaya penemuan langkah metodologis yang tepat,
agar hukum progresif dapat menjadi dasar kebenaran bagi peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Apa yang
dimaksud dengan metodologis disini ialah kajian perihal urutan
langkah-langkah yang ditempuh (prosedur ilmiah), supaya
pengetahuan yang diperoleh benar-benar memenuhi ciri ilmiah.
Metodologi merupakan bidang yang ditempuh untuk memperoleh
pengetahuan dan sekaligus menjamin objektivitas atau kebenaran
ilmu. Metodologi merupakan proses yang menampilkan logika
sebagai paduan sistematis dari berbagai proses kognitif yang
meliputi: klasifikasi, konseptualisasi, kesimpulan, observasi,
eksperimen, generalisasi, induksi, deduksi, dan lain-lain. (1984:48).
Hukum progresif baru dapat dikatakan ilmiah manakala prosedur
ilmiah berupa langkah-langkah metodis di atas sudah jelas.
Landasan aksiologis hukum progresif terkait dengan
problem nilai yang terkandung di dalamnya. Aksiologi atau Teori
Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 1, April 2008
22
Nilai menurut Runes (1972:32) adalah hasrat, keinginan, kebaikan,
penyelidikan atas kodratnya, kriterianya, dan status metafisiknya.
Hasrat, keinginan, dan kebaikan dari hukum progresif perlu
ditentukan kriteria dan status metafisiknya agar diperoleh gambaran
yang lebih komprehensif tentang nilai yang terkandung di
dalamnya. Kriteria nilai terkait dengan standar pengujian nilai yang
dipengaruhi aspek psikologis dan logis. Hal ini sangat tergantung
pada aliran filsafat yang dianut, kaum hedonist misalnya
menemukan standar nilai dalam kuantitas kesenangan. Kaum
idealis lebih mengakui sistem objektif norma rasional sebagai
kriteria. Sedangkan kaum naturalis menemukan ketahanan biologis
sebagai tolok ukur. Hukum progresif seharusnya lebih memihak
pada cara pandang kaum idealis yang mengakui sistem objektif
norma rasional, karena persoalan yang dihadapi hukum progresif
harus dipandang secara objektif-rasionalistik.
Pentingnya memahami landasan nilai dalam sebuah teori atau
gerakan ilmiah adalah untuk mengetahui secara pasti orientasi atau
kiblat dari teori atau aliran tersebut. Persoalan yang pokok dalam
aksiologi ilmu adalah: Apa tujuan pengembangan ilmu? Apakah
ilmu bebas nilai ataukah tidak? Nilai-nilai apa yang harus ditaati
oleh ilmuwan? Tujuan ilmu yang hakiki adalah untuk kemaslahatan
atau kepentingan manusia, bukan ilmu untuk ilmu (science to
science). Ilmu yang dikembangkan untuk kepentingan manusia
senantiasa akan memihak pada masyarakat, bukan pada dokumen
atau lembaran ilmiah semata. Ketika kepentingan manusia
terkalahkan oleh dokumen ilmiah, maka di sanalah dibutuhkan
landasan nilai (basic of value) yang mampu memperjuangkan dan
mengangkat martabat kemanusiaan sebagai suatu bentuk actus
humanus.
Hukum progresif harus memiliki landasan nilai yang tidak
terjebak ke dalam semangat legal formal semata, namun memihak
kepada semangat kemanusiaan (spirit of humanity). Problem ilmu
itu bebas nilai atau tidak, masih menjadi perdebatan di kalangan
ilmuwan.Namun mereka yang berpihak pada kubu bebas nilai
(value-free) -- terutama kaum positivistik-- harus mengakui bahwa
manusia tidak dapat diperlakukan seperti benda mati atau angka-
angka yang bersifat exactly, measurable, clear and distinct.
Manusia adalah mahluk berkesadaran yang memiliki nurani yang
tidak sertamerta serba pasti, terukur, jelas dan terpilah. Manusia
adalah mahluk dinamis yang selalu berproses dalam menemukan
jati dirinya. Lantaran itu pula terma “kejahatan” (criminal) tidak
Rizal Mustansyir, Landasan Filosofis Mazhab Hukum...
23
ditemukan dalam ranah benda mati atau dunia satwa, melainkan
dalam kehidupan manusia.
Ilmu selalu memiliki kepentingan, ujar Habermas. Ia
menegaskan bahwa pemahaman atas realitas didasarkan atas tiga
kategori pengetahuan yang mungkin, yakni informasi yang
memperluas kekuasaan kita atas kontrol teknik; informasi yang
memungkinkan orientasi tindakan dalam tradisi umum; dan analisis
yang membebaskan kesadaran kita dari ketergantungannya atas
kekuasaan. Dengan demikian hanya ada tiga struktur kepentingan
yang saling terkait dalam organisasi sosial, yaitu kerja, bahasa, dan
kekuasaan. (1971:313). Hukum progresif pun tak sepenuhnya
bebas nilai, bahkan sangat terkait dengan kepentingan pembebasan
kesadaran kita dari ketergantungan atas kekuasaan (politik, hukum
positif, dan lain-lain).
Nilai-nilai yang harus ditaati oleh ilmuwan (termasuk pakar
hukum), tidak hanya peraturan perundang-undangan sebagai bentuk
rule of the game dalam kehidupan berbangsa-bernegara, tetapi juga
keberpihakan kepada kebenaran (truth), pengembangan
profesionalitas yang menuntut pertanggungjawaban ilmiah dan lain
sebagainya.
E. Penutup
Berdasarkan uraian di atas tentang hukum progresif yang
ditinjau dari perspektif filosofis, maka dapat ditarik beberapa
kesimpulan sebagai berikut.
Pertama; terlalu dini untuk mengatakan bahwa hukum progresif itu
sebagai sebuah teori, karena syarat bagi sebuah teori, yakni sudah
melalui pengujian metodologis yang dapat dipertanggungjawabkan
dalam komunitas ilmiah, belum lagi dipenuhi.
Kedua, hukum progresif sebagai sebuah wacana cukup menarik
minat dan perhatian masyarakat ilmiah, karena semangat
pembaharuan dan pengembangan atas teori hukum yang selama ini
berlaku, namun dianggap tidak mampu mengatasi persoalan hukum
yang ada di masyarakat Indonesia.
Ketiga, hukum progresif dapat berkembang menjadi sebuah teori
hukum (tidak sekadar sebagai gerakan atau trend) apabila
diletakkan dalam kerangka Scientific Research Program, program
riset ilmiah dengan menemukan inti pokok program (hard core)
yang terlindungi dari berbagai bentuk kesalahan (falsifiable).
Keempat, hukum progresif sebagai sebuah gerakan/aliran/mazhab
dapat terus dikembangkan, dengan syarat memiliki visi dan misi
Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 1, April 2008
24
yang jelas. Sebab gerakan tanpa visi dan misi yang jelas, meskipun
idenya bagus, pasti akan ditinggalkan oleh para pengikutnya.
Kelima, landasan ontologis, epistemologis, dan aksiologis bagi
hukum progresif perlu dikembangkan agar warna ilmiah-
filosofisnya jelas dan dapat dipertanggungjawabkan dalam
komunitas ilmiah.
-JF-
DAFTAR PUSTAKA
Bahm, Archie., 1986, Metaphysics: An Introduction, Harper and
Row Publishers, Albuquerque.
Chalmers, A.F., 1983, Apa itu Yang Dinamakan Ilmu?,
Terjemahan: Redaksi Hasta Mitra, What is this thing called
Science? Penerbit Hasta Mitra, Jakarta.
Habermas, Jurgen., 1971, Knowledge and Human Interest,
Translated by: Jeremy J. Shapiro, Beacon Press, Boston.
Magnis Suseno., 2003, “Pembangunan Berkelanjutan dalam
Peningkatan Keimanan dan Ketaqwaan kepada Tuhan
Yang Maha Esa”, dalam Seminar Pembangunan Hukum
Nasional VIII dengan tema Penegakan Hukum dalam Era
Pembangunan Berkelanjutan, BPHN Depkeh & HAM,
Denpasar, 14-18 Juli 2003.
Muladi, 2004, “Substantive Highlights’s dari Konvensi PBB
untuk Melawan Korupsi”, dalam Seminar Aspek
Pertanggungjawaban Pidana Dalam Kebijakan Publik dari
Tindak Pidana Korupsi, Diselenggarakan oleh Kejaksaan
Agung RI bekerjasama dengan Fakultas Hukum UNDIP,
Semarang, 6-7 Mei 2004.
Satjipto Rahardjo., 2004, “Kejaksaan Segeralah Bertindak”,
dalam KOMPAS, 2 Oktober, 2004.
Satjipto Rahardjo., 2005 “Hukum Progresif, Hukum Yang
Membebaskan”, dalam Jurnal Hukum Progresif, Volume
1/No.1/April 2005, PDIH Ilmu Hukum UNDIP.
Susilo Bambang Yudoyono, 2005, Pidato disampaikan dalam
Rapat Koordinasi tentang Percepatan Penanganan TPK
antara Polri, Kejaksaan Agung, dan KPK, Jakarta, 7 Maret,
2005.
Unger, Roberto M., 1999, Gerakan Studi Hukum Kritis,
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, Jakarta.
KONSEP SEMIOTIK CHARLES JENCKS
DALAM ARSITEKTUR POST-MODERN
Oleh: Dwi Murdiati1
Abstract
The aims of this work are to know and to explain Charles
Jencks’ semiotic concept of postmodern architecture. In one hand,
Jencks’ postmodern architecture is criticism on modern and
modern-late architecture. Jencks stresses on both differences that
modern and modern-late architecture are based on a single coding
only and postmodern architecture is based on double coding in
their style. In other one, Jencks’ postmodern architecture is a
semiotic entity that has to seen as a sign.
This research is the figure factual history research. It was
based on primary and secondary literature. It used description,
interpretation and heuristic method.
Jencks’s semiotic conception of postmodern architecture has
adopted dualism semiotic of Saussuran like signifier-signified,
langue-parole, denotation-connotation, and paradigmatic-sintag-
matic. It also has adopted trilateral semiotic of Piercean like index,
icon, symbol and sintagmatic, syntactic, semantic.
Keywords: Postmodern architecture, double coding, dualism
semiotic, trial semioti.
A. Pendahuluan
Dunia arsitektur merupakan bagian dari sumber
berhembusnya gelombang post-modernisme. Satu arus pemikiran
baru yang menekankan perspektif berbeda seperti pluralisme,
relativisme, dan subjektivisme di tengah keyakinan modernisme
akan individualisme, rasionalisme, komodifikasi, dan kapitalisasi.
Dunia arsitektur untuk waktu yang panjang telah menikmati
mapannya ruang dan bentuk simetris modern pada hampir segala
bidang bangunan sampai pada akhirnya muncul arah pemikiran baru
tentang konsep ruang dan bentuk yang non-konvensional, seperti,
hybrid, local, hitch, eklektik, atas nama arsitektur post-modern.
Charles Jencks adalah tokoh sentral bagi kemunculan gagasan baru
1
Akademisi dalam bidang Filsafat.
Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 1, April 2008
26
di tengah kemapanan arsitektur modern. Jencks menyatakan bahwa
impian utopis dari arsitek semisal Le Corbusier telah
mengakibatkan munculnya bangunan pencakar langit yang steril
dan berbagai proyek perumahan yang kaku.
Charles Jencks mencoba mendekati persoalan arsitektur
dengan cara berbeda, satu cara meneropong seluruh persoalan
arsitektur secara filosofis. Pemikiran Jencks mengejutkan bagi
banyak pemikir arsitektur yang terbiasa dengan pola a-historis dan
a-linguistik. Jencks mengajak orang untuk menciptakan arsitektur
baru yang didasarkan atas eklektisisme dan daya tarik popular.
Jencks mengritik pandangan arsitektur modern yang hanya
menekankan desain makna individualitas dalam ruang semantik
yang sering berlawanan dengan keinginan para penghuninya
(Jencks, 1980: 115).
Manifestasi arsitektur modern yang dikritik oleh Jencks
mencakup berbagai ranah. Jencks mengritik bentuk dramatik
arsitektur modern yang telah menjadi klise dan sulit ditangkap
dalam spirit yang berterus terang. Hal ini tentu berbeda dengan
arsitektur post-modern yang telah menawarkan penerapan desain
yang menggunakan bentuk bangunan dan ornament histories.
Jencks sendiri menyebutnya dengan istilah Double coding (kode
ganda) yaitu, satu bangunan yang berbicara dalam logat lokal, tetapi
juga membuat komentar ironis atas bahasanya sendiri (Jencks,
1987: 352).
Jencks menentang fungsi bangunan klasik yang terbatas
pada kebutuhan waktu. Hal ini berbeda dengan arsitektur post-
modern yang ditandai dengan eklektisme, yaitu proses memilih dari
berbagai sumber dalam merancang bangunan (Sumalyo,1977: 23).
Jencks juga mempersoalkan “bentuk–bentuk murni” arsitektur.
Jencks menginginkan bangunan arsitektur sebagai ruang bagi upaya
kreatif yang diselaraskan, tidak hanya pada fakta dan manfaat
program, tetapi juga pada gagasan puitis dan penanganan bangunan
arsitektur pada skala ruang yang besar. Hasilnya bukan saja
khazanah fungsi dan keajaiban konstruksi, tetapi juga penyajian
muatan simbolis dan tema fiksi estetis, yang bukan semata bentuk
“murni-abstrak”, tetapi muncul sebagai objektivasi konkret yang
dapat dicerap multi–sensorial (Klotz,1988: 6).
Persoalan pemaknaan dan bahasa arsitektural menempati
posisi sentral dalam pemikiran Jencks tentang arsitektur post-
modern. Wacana pemaknaan ini termanifestasi secara mencolok
dalam gagasan Jencks tentang semiotik di dalam arsitektur post-
Siti Murdiati, Konsep Semiotik Charles Jenks…
27
modern. Jencks melihat bahwa tanda arsitektur seperti tanda-tanda
yang lain adalah satu entitas yang memiliki dua wajah, yaitu
memiliki ekspresi (penanda) dan isi (petanda). Penanda adalah
bangunan itu sendiri, dan petanda adalah isi dari bentuk (Tanujaya,
1998: 6). Penanda biasanya termanifestasi dalam sebuah bentuk,
ruang, permukaan, volume. Sementara petanda dapat berupa satu
ide atau sekumpulan gagasan. Hubungan antara penanda dan
petanda itulah yang menurut Jencks, memunculkan, signifikansi
arsitektural (Jencks, 1980: 74). Arsitektur adalah penggunaan
penanda formal (material dan pembatas) untuk mengartikulasikan
petanda (cara hidup, nilai, fungsi) dengan menggunakan cara
tertentu (struktural, ekonomis, teknis, mekanis ) (Jencks, 1980: 75 ).
Arsitektur adalah sebuah teks. Teks adalah seperangkat
tanda yang ditransmisikan dari seorang penerima melalui medium
tertentu dan dengan kode–kode tertentu. Teks harus ditafsirkan.
Menurut Jencks, walaupun teks tersebut tidak pernah sepenuhnya
berhasil dalam merekonsiliasikan keseluruhan spektrum hidup,
tetapi ia selalu merupakan sebuah usaha ke arah itu dalam bentuk
analogi dan simbol (Jencks, 1980: 80-81).
Di samping melihat tanda arsitektur dalam kerangka
penanda dan petanda, dengan memanfaatkan, Jencks juga melihat
tanda arsitektur dalam kerangka indeks, ikon, dan simbol.
Bangunan arsitektur juga menganut hubungan kemiripan antara
tanda dengan yang diwakilinya (ikon), menganut hubungan
keterkaitan kausalitas (indeks), dan menganut konvensi atau
kesepakatan yang dibentuk secara bersama oleh pengguna arsitektur
(simbol) (Asmara, 2001: 127-128 ).
Semiotik arsitektur Jencks juga melihat arsitektur dalam kerangka
pragmatik, semantik, dan sintaktik. Berada dalam level pragmatik
karena efek yang ditimbulkannya, semantik karena bentuknya dan
sintaktik karena tata letaknya.
Pemikiran Jencks tentang arsitektur post-modern sangat
terkait dengan kritik Jencks atas kecenderungan arsitektur modern
yang simetris, seragam, dan kaku. Semiotik arsitektur post-modern
Jencks juga sangat terkait dengan teori semiotika dikotomis yang
berasal dari Ferdinand de Saussure yang dikembangkan oleh Roland
Barthes, dan semiotika trikotomis Charles S. Pierce yang C. Morris.
Dengan demikian persoalan yang bisa diajukan adalah: pertama,
bagaimana latar belakang dan pandangan Jencks tentang arsitektur
post-modern?. Kedua, apa dan bagaimana pemikiran semiotika
arsitektur post-modern Charles Jencks?
Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 1, April 2008
28
B. Post-Modern dan Arsitektur
Post-modern memiliki beragam arah dan interpretasi. Foster
mendeteksi dua jalur dalam post-modern yang tampak bertentangan.
Pertama adalah post-modern reaksi, yaitu post-modern yang
menceraikan diri dari modern dan merayakan status quo. Kedua,
post-modern resistensi, yaitu post-modern yang berupaya untuk
melanjutkan proyek modern sembari menjadikannya subjek bagi re-
evaluasi kritis (Leach, 1997: 202)
Post-modern seringkali juga dimaknai dalam dua kerangka,
yaitu kerangka periode dan kerangka epistemologi. Dalam kerangka
periode, post-modern berarti masa yang datang setelah modern,
seperti halnya periode modern yang datang setelah periode
tradisional. Sementara dunia modern ditandai dengan diferensiasi,
sedangkan dunia post-modern ditandai dengan de–diferensiasi.
Diferensiasi terlihat jelas melalui batas–batas antar bangsa, antar
ras, antar suku, dan antar golongan. De-diferensiasi ditandai ketika
batas–batas tersebut semakin samar. Dalam kerangka epistemologi,
post-modern bisa diartikan sebagai pencarian ketidakstabilan
(instability). Sementara pengetahuan modern mencari kestabilitan
melalui metodologi dengan “kebenaran” sebagai tujuan final, post-
modern ditandai dengan runtuhnya kebenaran, rasionalitas, dan
objektivitas (Prama, 1995: 101).
Dalam konteks arsitektur, Jencks merujuk arsitektur post-
modern pada langgam arsitektural yang popular dalam bangunan
tahun 1980-an yang banyak bersandar pada motif-motif bergaya
sejarah (Leach, 1997: 202). Jencks lebih melihat post-modern
sebagai perspektif atau epistemologi. Arsitektur post-modern adalah
double coding (kode ganda), arsitek modern single coding (kode
tunggal). Pandangan hidup post-modern adalah pluralisme,
sedangkan pandangan hidup modern adalah mekanisme
(Alisyahbana, 1987: 6 ).
Jencks membagi arsitektur ke dalam arsitektur modern,
modern akhir dan post-modern. Arsitektur modern memiliki ide
utopis, abstrak, deterministik, fungsional dan tunggal. Arsitektur
modern akhir memiliki ide pragmatis, menekankan kebebasan,
kelonggaran, bergaya di luar matra kesadaran, dan melakukan
produksi satu modern yang dibuat-buat. Sedangkan arsitektur post-
modern lebih cenderung popular, pluralis dan bergaya double
coding (Jencks, 1980: 12)
Semiotika adalah teori tentang pemberian tanda atau ilmu
yang mempelajari tanda, serta makna yang terkandung di
Siti Murdiati, Konsep Semiotik Charles Jenks…
29
dalamnya. Tanda (sign) merupakan fokus utama dalam semiotika.
Dalam semiotika segala sesuatu dapat dikatakan sebagai tanda
(sign).
Ada dua pendekatan untuk mengklasifikasikan semiotika,
yaitu melalui dikotomi semiotika Saussure dan trikotomi semiotika
Pierceian. Dalam dikotomi Saussurean, yang kemudian
dikembangkan oleh Roland Barthes, disebutkan adanya empat unsur
dalam semiotika, yaitu langue dan parole, signifier dan signified,
sintagmatik dan paradigmatik, konotasi dan denotasi. Sedang dalam
trikotomi semiotika Piercean, tanda mengandung arti indeks, ikon,
dan simbol, yang kemudian dikembangkan oleh Charles Morris
menjadi semantik, sintaktik, dan pragmatik (Asmara, 2001: 127 ).
Charles Jencks mengambil gagasan Barthes tentang signifier
dan signified dan mengambil gagasan Morris tentang semantik,
sintaktik, dan pragmatik. Jencks dalam menerjemahkan segitiga
semantik Morris mencoba menyejajarkan kedudukan semiotika
dengan linguistik melalui proses transformasi dari linguistik ke
bahasa bentuk arsitektur. Dalam proses ini ketiga unsur tersebut
diterjemahkan sebagai satu proses yang berputar pada satu sistem
tertutup.
C.Charles Jencks dan Arsitektur Post-Modern
Sebagai pemikir dan kritisi serta tokoh utama arsitektur
post-modern yang pemikirannya banyak dilandasi oleh pemikiran
para filsuf, Jencks juga mengaitkan konsepnya dengan seni dan
sastra serta mencoba mengritik gerakan modern. Bagi Jencks,
efisiensi dan efektivitas yang dirasakan di dalam arsitektur modern
begitu membosankan. Sebab bagi Jencks karya arsitektur
seharusnya merupakan karya seni yang memiliki kebebasan dalam
pemaknaan. Lebih dari sekedar memenuhi fungsi.
Jencks berbicara tentang genre arsitektur baru yang ia
sebut dengan arsitektur post-modern, yaitu sebuah arsitektur yang
berintikan double coding yang mengombinasikan teknik-teknik
modern dengan sesuatu yang lain (biasanya bangunan tradisional)
agar arsitektur mampu berkomunikasi dengan publik yang peduli
atau dengan para arsitektur lain (Jencks, 1986: 15 ). Dalam What is
Postmodernism, Jencks mengatakan bahwa di dalam kerangka
double coding kedua arah tersebut merupakan sebuah usaha untuk
berkomunikasi dengan masyarakat dan kaum minoritas, yang pada
masa modern cenderung ditinggalkan. Pengkodean ganda
merupakan strategi komunikasi tanda-tanda popular dan elitis untuk
Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 1, April 2008
30
mencapai hasil yang berbeda. Gaya sederhana merupakan
pernyataan untuk menemukan pluralisme, karena bagaimanapun
arsitek harus mendesain untuk cita rasa budaya yang berbeda
(Jencks 1988: 14 ).
Jencks mengklaim kegagalan arsitektur modern karena
ketidakmampunya untuk berkomunikasi dengan para penggunanya.
Arsitektur post-modern oleh Jencks didefinisikan sebagai arsitektur
yang didasarkan atas teknik-teknik baru serta pola-pola lama atau
menggunakan teknologi baru untuk memberi wajah pada realitas
sosial yang sekarang setelah membentuk bahasa hibrida (campuran)
( Jencks, 1980: 3 ).
Jencks tidak memberikan satu standar tertentu secara khusus
tentang arsitektur post-modern. Ia hanya menawarkan sejenis
konsep arsitektur post-modern sebagai bukti tentang peng–kode–an
melalui jalan asosiasi dan menyatukan seni pada masa lalu. Jencks
membedakan antara arsitektur modern dan modern akhir. Menurut
Jencks, arsitektur modern akhir sering dikacaukan dengan arsitektur
modern. Fenomena arsitektur modern akhir seperti tampak dari
istilah slick-tech atau supersensualisme, bagi Jencks masih
menampakkan ciri single coding, yaitu berseberangan dengan
double coding pada arsitektur post-modern (Jencks, 1980: 15).
D. Charles Jencks dan Semiotika
Jencks melihat arsitektur lebih dari sekedar cara mendesain
dan merancang sebuah bangunan. Jencks juga melihat arsitektur
sebagai sebuah teks yang menyampaikan sesuatu dan yang harus
ditafsirkan. Arsitektur juga sebuah tanda (sign) yang memiliki
penanda dan petanda, serta signifikasinya. Bangunan, ruang,
permukaan adalah penanda sedangkan ide atau gagasannya adalah
petanda. Kedua aspek ini kemudian membentuk signifikansi
arsitektural. Jencks juga melihat arsitektur dalam kerangka indeks,
ikon, dan simbol.
Pemikiran semiotik Jencks dalam arsitektur tidak bisa
dilepaskan dari dikotomi semiotik Saussuran dan trikotomi
semiotik Piercean. Empat unsur semiotik Saussuran yang
dikembangkan Barthes mempengaruhi Jencks dalam melihat
arsitektur. Keempat unsur tersebut adalah langue dan parole,
penanda dan petanda, sintagmatik dan paradigmatik, konotasi dan
denotasi.
Langue adalah satu sistem kumpulan kosa kata atau
elemen-elemen bentuk yang mempunyai makna berdasarkan
Siti Murdiati, Konsep Semiotik Charles Jenks…
31
konsensus budaya, sedangkan parole merupakan bagian bahasa
yang sepenuhnya individual. Parole dapat dipandang sebagai
kombinasi yang memungkinkan subjek (penutur) sanggup
menggunakan kode bahasa untuk mengungkapkan pikiran
pribadinya. Kombinasi tersebut mengimplikasikan bahwa tanda–
tanda bersifat identik dan senantiasa berulang. Maka setiap tanda
bisa menjadi unsur dari langue (Budiman, 1999: 89-90).
Satu benda memiliki dua valensi yang merupakan dua
kesatuan, sebagai benda disebut penanda, dan sebagai makna
disebut dengan petanda (Asmara, 2001: 126-127). Sebuah sintagma
mengacu pada hubungan in-praesentia antara satu suku kata yang
satu dengan yang lain, atau antara satu satuan gramatikal dengan
satuan-satuan yang lain, sehingga berada dalan relasi yang linear.
Sedangkan paradigma bersifat dinamis, tanda linguistik dapat
berpindah-pindah, dapat diganti dengan tanda lain yang terdapat
dalam satu hirarki (Asmara, 2001: 127).
Trikotomi, semiotika, Piercean, merupakan pembentuk
utama semiotika arsitektur post-modern Charles Jencks. Model
trikotomi ini mencakup representamen, interpretan, dan objek.
Representamen merupakan satu bentuk perwujudan tanda (tidak
harus berbentuk inderawi). Interpretan merupakan makna yang
dibentuk oleh tanda. Objek adalah sesuatu yang diacu tanda
(Chandler, 2002: 34-36 ).
Interaksi antara ketiganya oleh Pierce disebut dengan proses
‘semiosis’. Ketiga unsur ini memiliki kesamaan sekaligus
perbedaan dengan dikotomi penanda dan petanda dalam kerangka
Saussuran. Representamen, memiliki arti yang serupa dengan
petanda, meskipun demikian interpretan memiliki kualitas yang
berbeda dengan petanda, karena interpretan sendiri adalah satu
tanda dalam diri interpreter. Sebagaimana Pierce menjelaskan
bahwa tanda seseorang, yakni mencipta dalam benak orang
merupakan satu tanda yang setarap, atau mungkin tanda yang
berkembang lebih lanjut (Chandler, 2002: 34).
E. Semiotika Arsitektur Post-Modern
Sebagai ruang kreativitas, Jencks melihat dunia arsitektur
sebagai dunia tanda, dunia yang selalu memiliki dua wajah, yaitu
penanda dan petanda yang kemudian membentuk kesatuan
signifikansi. Arsitektur bukanlah ekspresi tanpa makna atau tanpa
pesan. Tetapi ia bukan hanya satu pesan atau satu makna seperti
yang selama ini tampil dalam arsitektur modern. Arsitektur post-
Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 1, April 2008
32
modern adalah double coding. Inti semiotika arsitektur post-
modern Jencks adalah penekanan pada pluralitas makna dan
pluralitas sumber makna. Arsitektur bisa dibangun dengan
mencangkok dan mengambil berbagai tradisi dengan memanfaatkan
teknik modern.
Jencks mengadopsi trikotomi simbol, ikon dan indeks yang
dikembangkan dari semiotik Piercean. Simbol adalah satu bentuk
yang di situ penanda tidak menyerupai petanda, tetapi secara
mendasar arbitrer atau sepenuhnya konvensional, sehingga
hubungan tersebut harus dipelajari, seperti huruf alfabet, angka,
morse. Ikon adalah bentuk tanda ketika penanda dipersepsikan
sebagai menyerupai atau meniru petanda-nya, seperti potret, efek
suara dalam radio. Sedangkan indeks merupakan tanda ketika
penanda tidak arbitrer, tetapi berkaitan secara langsung dengan
salah satu cara, baik fisis atau kausal, dengan petanda-nya.
Keterkaitan ini dapat diamati atau ditarik kesimpulan darinya,
seperti tanda asap, ketukan pintu, rambu lalu lintas.
Jencks melihat bahwa ungkapan bahasa arsitektur
merupakan penyampaian pesan dalam bangunan, seperti halnya
nada lagu. Ungkapan bahasa arsitektur dapat disimak dari bentuk (
form), ruang (space), dan tata atur (order) dari karakteristik
desainnya. Bentuk, ruang dan tata atur dapat disebut dengan
penanda, yaitu materialisasi ruang dengan pemberian unsur
pelingkup dan dilihat melalui indera penglihatan secara
keseluruhan.
Dalam Sign, Symbol and Architecture, Jencks mengatakan
bahwa esensi tanda arsitektur adalah sebagai sifat dasar arsitektur
yang diibaratkan sebagai perempuan bionik, artinya dalam konsep
ruang, kesalingpenekanan antara yang dalam dan yang luar bersifat
transparan yang penciptaannya berhubungan dengan tiga-e, yaitu
energi, environment, ekologi, dan tiga–s, yaitu sintaksis, semantik,
dan seni pahat ( Jencks, 1980: 71-78 ).
Konsep semiotika arsitektur post-modern yang
dikembangkan Jencks adalah bentuk semiotik yang berkaitan
dengan makna dari berbagai hal. Makna tersebut diungkapkan
melalui bentuk, ritme, warna tekstur, dan sebagainya yang
dinamakan suprasegmen arsitektural dari berbagai komponen
arsitektural.
Charles Jencks mendasarkan tujuan semiotika dalam
pemaknaan sifat dasar arsitektur atau esensi arsitektur dengan
mendefinisikan secara elastis untuk membuat semua definisi
Siti Murdiati, Konsep Semiotik Charles Jenks…
33
menjadi benar, sehingga pengetahuan arsitektur pun menjadi lebih
pasti. Esensi arsitektur bagi Jencks adalah ‘ruang’, Raum, konsep
ruang, ke-saling-penekanan antara yang dalam dan yang luar, dan
belahan bentuk secara transparan fenomenal. Esensi arsitektur
adalah penciptaan-tempat identitas dan personalisasi. Arsitektur
tersusun dari kode-kode yang bersifat diskontinu, yang esensinya
adalah mengubah acuan (referent) dari signifikansinya, juga
kodenya ( ide, pola dan sosial yang semuanya dapat berubah) dan
satu kumpulan yang bervariasi dari kode-kode yang dapat
bergabung pada satu saat, sehingga membuat satu praktik arsitektur
dapat diketahui dan bersifat koheren (Jencks, 1980: 73).
Dengan kata lain, secara definitif historis ‘esensial’, tetapi
terbuka dibagian pinggirnya bagi kode-kode bahwa arsitektur
adalah penggunaan penanda formal untuk mengartikulasikan
petanda dengan menggunakan cara tertentu. Dengan demikian ia
mencakup bentuk, fungsi dan teknik (Jencks, 1980: 73-74).
F. Penutup
1. Pemikiran Jencks tentang arsitektur post-modern tidak bisa
dilepaskan dari kritikan atas arsitektur modern atau modern
akhir, baik menyangkut teknologi, penataan, bentuk murni,
pemaknaan dan kesadaran estetis.
2. Bagi Jencks arsitektur modern mewakili sebuah semiotika
single coding, seragam, simetris, universal. Sementara arsitektur
post-modern mewakili sebuah semiotika double coding, plural
lokal.
3. Semiotika arsitektur yang dikembangkan oleh Jencks sangat
dipengaruhi oleh dikotomi semiotika Saussuran dan trikotomi
semiotika Piercean. Dikotomi penanda-petanda, konotasi-
denotasi, langue-parole, sintagmatik-paradigmatik ikut
membentuk pemikiran semiotika Jencks. Pengaruh paling jelas
berada dalam kerangka trikotomi semiotika Piercean yang
bekerja dalam kerangka indeks, ikon, dan simbol, di samping
semantik, sintaktik, dan pragmatik.
-JF-
DAFTAR PUSTAKA
Asmara Yudha, 2001, Dari Kata Menuju Ruang Bentuk, Prima
Anugrah Abadi, Bandung
Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 1, April 2008
34
Alisyahbana,STA, 1992, Tantangan Postmodernisme, Jurnal
Filsafat, UNAS, Jakarta
Chandler, Daniel,2002, The Basic Semiotic, 11 New Fetter Lane,
London, EC4B4EE, 29 West 35 th, New York
Jencks, Charles, 1980, Late –Modern Architecture, Rizzoli,
Academy, London
------------------, 1980, Sign, Symbol and Architecture,
Architectural Assosiation School of Architecture and
University of California Los Angeles
------------------, 1984, The Language of Post Modern
Architecture, Rizzoli, New York
Klotz, Heinrich, 1988, The History of Postmodern Architecture,
Massachussets Institute of Technology, MTT, German
Kris Budiman, 1999, Kosa Semiotika, LkiS, Yogyakarta
Leach, Neil, 1996, Rethingking Architecture, A Reader in
Cultural Theory, London and New York
Prama, Gede, 1995, Post Modernisme, Matra, Februari
Sinar Tanudjaja, 1992, Wujud Arsitektur Sebagai Ungkapan
Makna Sosial Budaya Manusia, Universitas Atmajaya,
Yogyakarta
--------------, 1993, Arsitektur Modern, Tradisi-tradisi dan
Aliran-aliran serta Peranan Politik, Andi Offset,
Yogyakarta
--------------, 1998, Kerangka Kerja Makna di Dalam Arsitektur,
Universitas Atmajaya, Yogyakarta
Sumalyo, Yulianto, 1997, Arsitektur Modern Akhir Abad XIX
dan XX ,Gadjah Mada University Press, Yogyakarta
TINJAUAN FILOSOFIS
PROBLEMA PENGELOLAAN SAMPAH
Oleh : Lailiy Muthmainnah1
Abstract
Modernisation as a term refers to the development process
which has a lot of limitation, and one of this problem is about
garbage. Commonly, there are two big sources of garbage,
industrializations and high mass consumtions. In fact, both of them
are consequence of logical modernity. There are two reasons why
garbage becomes a great problem in recent years. First, the
quantity of garbage is overload, and second, its quality: most of the
garbage is not bio-degradable. This problem will be more
complicated because people usually use logic “not in my back
yard” with their garbage. To respond this problem, modernity tries
to transform in a new kind of development, that is usually called
sustainable development. Although there are several different
interpretations of sustainable development but it refers to The
Brundtland Commission which defines sustainable development as
a process of change in which the exploitation of resources,
direction of investments, orientation of technological development,
and institutional change are made consistent with future as well as
present needs. For instance emphasize constancy of natural capital
stock as a necessary condition for sustainability. Growth or wealth
must be created without resources depletion. Exactly how this is to
be achieved remains a mystery, but majority of sustainable
development literature said that this condition will be achieved with
using model ecological modernisation. Thus, the challenge is to find
new technologies and to expand the role of the market in allocating
environment resources with the assumption that putting a price on
the natural environment is only the way to protect it. In fact, this
ways are used to solve the problem of garbage in recent years.
Keywords: sustainability, ecology, garbage.
1
Dosen Fakultas Filsafat UGM
Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 1, April 2008
36
A. Pendahuluan
Pola pikir modernis yang begitu kuat mengilhami teori
pembangunan telah menempatkan manusia sebagai aktor utama
dalam proses pembangunan. Manusia dipandang dengan sangat
optimis, sehingga akan mampu mengatasi setiap persoalan yang
mungkin muncul dalam strategi yang diambilnya, hal ini berlaku
sama untuk setiap persoalan yang terkait dengan pembangunan.
Dengan rasionalitasnya maka manusia akan semakin tertantang
untuk maju dan mampu menaklukkan alam.
Pola pikir yang antroposentris tersebut telah menjadikan
alam hanya sebagai objek, alat, sekaligus sarana yang didaya
gunakan untuk kepentingan dan kemanfaatan manusia semata
(Keraf, 2005:33). Hal ini dapat dipahami karena dalam sudut
pandang modernitas yang menjadi tujuan utama adalah tercapainya
suatu kondisi yang sustainable secara ekonomi dan bukan ekologi.
Fakta inilah yang menyebabkan munculnya berbagai kritik terhadap
teori modernis, karena sesungguhnya pembangunan tidak semata-
mata dapat diukur dari sisi pertumbuhan ekonomi saja.
Kenyataan menunjukkan bahwa teori modernisasi yang
diterapkan dalam model pembangunan sekarang ini telah
menyisakan banyak persoalan. Salah satu diantaranya adalah
persoalan yang terkait dengan masalah ekologi, dimana contoh riil
untuk problem ini adalah sampah. Maka sengaja dalam tulisan ini
“sampah” dijadikan sebagai tema utama untuk menelaah secara
lebih jelas keterbatasan modernitas yang kemudian coba dijawab
lewat transformasinya ke arah model pembangunan yang
berkelanjutan (sustainable development).
Dalam pemikiran modernis, pembangunan diasumsikan
akan senantiasa berjalan secara linear dari tradisional menuju
modern, dimana hal ini dapat dicapai lewat tahap-tahap tertentu
(The Stages of Economic Growth). Adapun tingkat tertinggi dari
keberhasilan pembangunan tersebut akan ditandai dengan
terwujudnya kondisi masyarakat yang memiliki kemampuan
konsumsi tinggi atau high mass consumption (Fakih, 2006:56).
Padahal kondisi ini akan memberikan konsekuensi logis berupa
semakin banyaknya volume sampah yang akan dihasilkan oleh
manusia, begitu pula dengan tingkat keberagaman sampahnya.
Problem persampahan menjadi semakin kompleks tatkala
manusia kemudian hanya sekedar membuang sampah yang mereka
hasilkan tanpa mau secara kreatif berupaya mengubah sampah
tersebut menjadi sesuatu yang berharga. Logika yang selalu
Lailiy Muthmainnah, Tinjauan Filosofis Problematika...
37
digunakan oleh masyarakat umumnya adalah “not in my back yard
(NIMBY)”(Santoso, 2006:13). Tidak peduli akan lari kemana
sampah yang dibuang karena yang penting adalah tempatnya sendiri
bersih dari sampah. Akan dibawa kemana sampah itu selanjutnya,
apakah di sungai, di jalan, di TPA, atau bahkan di selokan air
mereka tidak peduli. Menggejalanya gaya-gaya berpikir semacam
NIMBY di atas sebenarnya merupakan cerminan dari semakin
kuatnya pola pikir modernis, dimana orang hanya berorientasi pada
upaya untuk memperoleh keuntungan yang maksimal dan
meminimalkan beban yang harus ditanggung. Mereka mau untuk
memproduksi dan mengkonsumsi secara besar-besaran, namun
residu dari dua proses tersebut mereka abaikan. Hal ini tentunya
memberikan pengaruh yang buruk terhadap kualitas lingkungan
hidup. Karena dengan semakin banyak dan beragamnya volume
sampah yang tercipta sebagai hasil dari proses yang dikatakan
sebagai modernitas tersebut, maka daya dukung alam juga semakin
turun. Dan jika kondisi ini tidak segera diantisipasi maka akan
sangat membahayakan kelangsungan hidup manusia di masa yang
akan datang.
Dari latar belakang persoalan tersebut di atas dapat dilihat
betapa modernitas telah menyisakan banyak persoalan, diantaranya
tentang sampah tadi. Maka dari limitasi modernitas ini juga tulisan
ini akan dikembangkan untuk menjawab beberapa pertanyaan
sebagai berikut : Apakah yang menjadi sumber utama dari
persoalan persampahan yang ada sekarang? Bagaimana sudut
pandang sustainable development dalam menyikapi problem
tentang persampahan? Serta solusi seperti apa yang dapat
ditawarkan oleh sustainable development untuk mengatasi problem
tersebut?
B. Konsumsi dan Industrialisasi yang bercorak Antroposentris
Sebagai Sumber Utama Sampah
Sampah secara definitif berarti bahan yang terbuang atau
dibuang dari sumber hasil aktivitas manusia maupun proses alam
yang belum memiliki nilai ekonomis. Namun jika diteliti lebih
dalam lagi, setidaknya ada beberapa sumber sampah yaitu
pemukiman, perkantoran, pertanian dan perkebunan, industri dan
sumber-sumber lainnya. Dan diantara beberapa sumber sampah tadi
industri ternyata masih menempati porsi tertinggi dalam
menghasilkan sampah. Karena itu dapat dikatakan bahwa meskipun
setiap aktivitas konsumsi manusia akan menghasilkan residu berupa
Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 1, April 2008
38
sampah, namun setidaknya hal ini bukanlah penyebab tunggal dari
semakin parahnya problem persampahan yang terjadi di dunia.
Dalam asumsi penulis, aktivitas manusia yang semakin tinggi untuk
mengkonsumsi barang-barang ini berkorelasi positif dengan
semakin canggihnya teknologi produksi. Ini berarti tingginya
tingkat konsumsi masyarakat dan industrialisasi memberikan
pengaruh yang sama besar terhadap semakin meningkatnya volume
sampah dan lebih jauh terhadap semakin menurunnya kualitas dan
daya dukung alam.
Dalam masyarakat modern, industrialisasi memang
dijadikan sebagai motor utama penggerak ekonomi untuk mencapai
kemakmuran dan kesejahteraan. Karena itu industrialisasi
memegang peran yang sangat sentral dalam proses pembangunan.
Agar perekonomian masyarakat dapat digenjot secara cepat maka
industri dikembangkan sampai ke pelosok-pelosok negeri. Tanpa
disadari bahwa sebenarnya keberadaan industri itu sendiri
memberikan double effect bagi masyarakat. Seperti yang dilaporkan
oleh Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan (World
Commissions on Environment and Development) yang
menyebutkan bahwa industri dan produk yang dihasilkannya
memberi dampak pada basis sumber daya alam melalui keseluruhan
daur eksplorasi dan ekstraksi barang mentah, transformasi menjadi
produk, konsumsi energi, limbah produksi, dan pemakaian produk
beserta pembuangan sampah yang dihasilkan dari produk tersebut
oleh konsumen (World Commissions on Environment and
Development, 1988 : 285). Sehingga di satu sisi keberadaan
industri tersebut memang memberikan dampak positif berupa
perpanjangan kemanfaatan atas sumber daya alam dan inilah yang
dinikmati oleh konsumen (manusia), tetapi di sisi lain industrialisasi
juga memberikan dampak negatif. Industrialisasi telah memaksa
alam untuk menampung seluruh residu hasil aktifitasnya yang
berupa sampah dan limbah. Akibatnya alam menjadi tercemar dan
kualitas lingkungan menjadi semakin turun.
Memang sejauh ini motif ekonomi masih tetap
mendominasi dalam setiap kebijakan industri. Banyak contoh kasus
misalnya dalam hal pembuangan sampah (tepatnya-limbah) industri
yang tidak dikelola dengan baik sehingga mengakibatkan
pencemaran lingkungan yang sangat fatal. Kasus Newmont, Aneka
Tambang, dan Freeport misalnya semakin menunjukkan betapa
keberadaan industri yang semula diarahkan untuk kemajuan dan
kesejahteraan masyarakat ternyata justru mengakibatkan rusaknya
Lailiy Muthmainnah, Tinjauan Filosofis Problematika...
39
ekologi secara serius karena memang sejak awal keberadaan
industri tersebut tidak ramah lingkungan atau bahkan mungkin
faktor lingkungan memang tidak diperhitungkan.
Kenyataan di atas barulah sekelumit cerita tentang dampak
lingkungan yang terjadi ketika awal proses produksi dilakukan.
Padahal efek industri tidak hanya berhenti sampai dengan tahap itu
saja tetapi terus berlanjut sampai dengan ketika barang itu selesai
dikonsumsi. Karena setelah produk industri itu selesai dikonsumsi
maka residunya yang berupa sampah akan menimbulkan efek
lingkungan yang lain lagi.
Kondisi ini semakin diperparah dengan adanya produksi
massal atau fordisme yang diciptakan untuk alasan efektifitas dan
efisiensi ekonomi (Wibowo, 2006:69). Fordisme pada akhirnya
akan menaikkan tingkat konsumsi masyarakat dan hal ini akan
berujung pada semakin bertambahnya volume sampah yang
dihasilkan. Semakin canggihnya teknologi produksi yang tidak
ramah lingkungan juga turut memberikan kontribusi yang besar
bagi kerusakan alam. Penggunaan produk-produk sintetis (semacam
kaleng dan plastik) sebagai hasil dari teknologi misalnya telah
menjadi penyebab pencemaran yang utama. Produk-produk sintetis
tersebut telah berhasil menggeser produk-produk yang lebih alami
dan lebih mudah didaur ulang oleh alam. Plastik bahkan menjadi
semacam primadona bagi banyak produsen karena disamping
praktis juga lebih efisien dari segi biaya produksi. Padahal dari sisi
lingkungan sampah yang berasal dari bahan-bahan sintetis tersebut
sangat sulit untuk diurai secara alami sehingga akan sangat
berpeluang menimbulkan pencemaran.
Demikian, betapa kemajuan yang di asumsikan oleh
kalangan modernis dengan terciptanya suatu masyarakat yang
berkecukupan secara ekonomi sehingga dapat melakukan tingkat
konsumsi secara tinggi telah memberikan efek yang sangat buruk
terhadap kelestarian alam. Mereka mengabaikan bahwa
sesungguhnya dalam proses tersebut ada hal yang terlupakan yaitu
daya dukung alam untuk menampung seluruh residu yang mereka
hasilkan dari proses konsumsi tersebut. Kondisi ini jika dibiarkan
terus berlanjut maka akan sangat membahayakan kelestarian
ekologis dan tentunya juga keberlanjutan pembangunan pada
generasi yang akan datang.
Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 1, April 2008
40
C. Sustainable Development Melihat Persoalan Sampah
Paradigma sustainable development atau pembangunan
berkelanjutan sebenarnya sudah mulai diperbincangkan sejak tahun
1980 ketika World Conservation Strategy memunculkan istilah ini
dalam acara International Union for the Conservation of Nature dan
Lester R. Brown menggunakannya dalam penulisan buku Building
a Sustainable Society tahun 1981. Namun istilah ini baru menjadi
sangat populer setelah adanya Laporan Brundtland yang berjudul
Our Common Future pada tahun 1987 (Keraf, 2005:166).
Konsep sustainable development sendiri sebenarnya
muncul sebagai reaksi atas kegelisahan banyak pihak terhadap
eksploitasi yang berlebihan terhadap sumber daya alam. Kondisi
over-eksploitasi telah menyebabkan turunnya kemampuan alam
(ecological carrying capacity) untuk me-recovery dirinya kembali
(Eckersley, 1992:36). Alam hanya sekedar dijadikan sebagai sarana
atau alat untuk mencapai tujuan dan memenuhi kebutuhan manusia,
termasuk diantaranya adalah kebutuhan untuk meng-
eksternalisasikan sampah dengan tanpa dipertimbangkan
kelestariannya.
Pemikiran sustainable development sesungguhnya
berupaya untuk menjembatani keterputusan pemikiran teori
modernis terutama terkait dengan pengabaiannya terhadap banyak
hal, yang salah satu diantaranya adalah aspek kelestarian terhadap
sumber daya alam. Karena itu sebenarnya konsep sustainable
development lebih merupakan bentuk transformasi dari teori
modernis. Dalam konsep ini manusia masih tetap menjadi faktor
penentu utama dalam pengelolaan alam. Namun dalam konsepnya,
sustainable development kemudian memasukkan faktor-faktor yang
lain seperti misalnya kelestarian alam (ekologi) dalam proses
pembangunan. Tetapi sekali lagi, ini dimasukkan dalam kerangka
pikir untuk menjaga keberlanjutan pembangunan itu sendiri. Karena
ketika problem ekologi muncul dan diabaikan begitu saja, hal ini
akan sangat membahayakan keberlanjutan pembangunan. Alam
harus tetap dijaga sustainabilitasnya agar generasi manusia yang
akan datang tetap dapat menikmatinya dan melangsungkan proses
pembangunan selanjutnya. Dalam tataran ini dapat dikatakan bahwa
sesungguhnya sustainable development berupaya untuk
menjembatani antara problem etis tentang lingkungan dengan
kebutuhan politis manusia atas lingkungan (Keraf, 2005:166).
Sebenarnya ada banyak definisi tentang sustainable
development, namun dari sekian banyak definisi yang ada definisi
Lailiy Muthmainnah, Tinjauan Filosofis Problematika...
41
dari The Brundtland Commission adalah yang paling sering
digunakan. Dalam definisinya The Brundtland Commission
menyatakan bahwa yang dimaksud dengan sustainable development
adalah sebuah proses perubahan dimana kegiatan eksploitasi
sumber daya alam, investasi, penggunaan teknologi, dan perubahan
institusi yang ada selalu konsisten dalam memperhatikan kebutuhan
generasi yang akan datang, sebagaimana perhatiannya pada
kebutuhan generasi saat ini (Banarjee, 1999:6).
Dalam upaya pendefinisian tersebut, maka Gladwin dkk
(1995) sebagaimana dikutip oleh Banarjee mencoba untuk
mengidentifikasi aspek-aspek yang terkandung dalam sustainable
development antara lain: inclusiveness (pengkompromian antara
kepentingan ekologi, ekonomi, politik, teknologi, dan sistem
sosial); connectivity (adanya hubungan yang erat dan saling
mendukung antara tujuan sosial, politik, ekonomi, dan lingkungan;
equity (pendistribusian manfaat sumber daya alam dan hak kelola
kekayaan secara adil); prudence (penjaminan kelangsungan daya
dukung dan kapasitas lingkungan); serta security (upaya mencapai
kehidupan yang aman, sehat, dan berkualitas).
Karena logika awal yang dibangun sustainable
development sebenarnya tidak jauh berbeda dengan modernis, maka
cara-cara yang ditempuh oleh sustainable development juga masih
dikerangkai pola pikir bagaimana mencapai suatu kondisi kemajuan
(progress) dalam bidang ekonomi namun tetap bisa mengakomodasi
juga faktor ekologi. Pertumbuhan ekonomi tetap penting hanya saja
ini harus dicapai dengan tanpa menyebabkan terjadinya degradasi
ekologi yang mengakibatkan hak generasi yang akan datang akan
terkurangi.
Terkait dengan problematika tentang persampahan, maka
dalam asumsi sustainable development sampah adalah sesuatu hal
yang tidak mungkin dihindari dari aktivitas kehidupan manusia,
seperti halnya proses perubahan yang berjalan secara linear dari
tradisional ke modern. Sustainable development mencoba untuk
berpikir secara realistis bahwa dalam kondisi sekarang ini, dimana
moderitas begitu kuat mengakar dalam pola pembangunan maka
efek samping yang berupa sampah atau mungkin limbah industri
adalah sesuatu hal yang tidak bisa dihindari, tetapi hanya bisa untuk
dikelola dan diminimalisir sejak awal. Peluang inilah yang hendak
dikembangkan oleh sustainable development.
Manusia tidak mungkin surut kebelakang dengan
menghentikan seluruh proses produksinya, karena ini berarti bukan
Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 1, April 2008
42
progress yang dicapai tetapi justru regress. Namun disisi lain
kelestarian lingkungan juga harus diperhatikan jika tidak ingin
terjatuh pada kondisi regress yang pada akhirnya akan
menyebabkan mandegnya proses pembangunan itu sendiri.
Sustainable development mencoba untuk mengakomodasi hal ini
dan berupaya untuk mencarikan jalan keluarnya secara kooperatif.
Maka yang dilakukan oleh sustainable development dalam
setiap kebijakan pembangunan yang diambil adalah melakukan
mekanisme cost benefit analisys (Fiorino, 1995:101). Hal ini
penting untuk menghitung biaya lingkungan (ekologis) dan juga
manfaat ekonomis yang akan dicapai dari proses pembangunan
tersebut. Dari perhitungan ini kemudian dapat ditentukan langkah-
langkah pembangunan yang nantinya lebih akomodatif terhadap
persoalan lingkungan dengan tanpa mengabaikan kemanfaatan
ekonomi yang hendak dicapai, khususnya untuk keberlanjutan
pembangunan di masa yang akan datang. Dari mekanisme analisis
biaya dan manfaat yang dilakukan inilah diharapkan setiap
kebijakan pembangunan yang diambil akan lebih mampu
mengantisipasi problem lingkungan yang mungkin muncul dari
proses pembangunan tersebut.
D. Penutup: Ecological Modernization Sebagai Sebuah
Tawaran Solusi
Mengakomodasi konsep cost benefit analysis di atas, maka
yang dilakukan oleh sustainable development terkait dengan
problem persampahan adalah menjadikan sampah tersebut sebagai
biaya lingkungan yang harus ditanggung oleh produsen sejak awal.
Karena jika dihitung berdasarkan perbandingan biaya dan manfaat
yang diperoleh, maka produsen justru akan lebih beruntung ketika
dirinya mau untuk mengelola sampah ataupun limbahnya sejak awal
dibanding membiarkan sampah ataupun limbahnya tersebut dibuang
sembarangan dan menyebabkan pencemaran lingkungan. Karena
saat sampah ataupun limbahnya tersebut sampai menyebabkan
pencemaran lingkungan, maka biaya yang harus dikeluarkan untuk
menanggung itu semua jauh lebih besar.
Inilah yang kemudian seringkali disebut dengan proses
internalisasi eksternalitas (Prins, 1993:xxii). Sampah, limbah, dan
semua yang merupakan residu dari proses produksi yang selama ini
dipandang sebagai sesuatu yang berada di luar tanggungjawab
produsen, kemudian diinternalisasikan kembali sebagai bagian dari
proses produksi yang biayanya harus ditanggung oleh produsen. Hal
Lailiy Muthmainnah, Tinjauan Filosofis Problematika...
43
ini mengindikasikan bahwa sejak awal environmental cost (biaya
lingkungan) memang sudah harus dimasukkan sebagai faktor
penting yang harus diperhitungkan dalam proses pembangunan, jika
ingin proses pembangunan itu dapat terus berlanjut. Karena sejak
awal sudah ditekankan bahwa faktor lingkungan harus
dipertimbangkan maka seluruh proses pembangunan, termasuk di
dalamnya kegiatan industri akan diarahkan pada terpenuhinya
kondisi ini.
Salah satu upaya untuk menindaklanjuti proses
internalisasi eksternalitas di atas adalah dengan menerapkan model
ecological modernization (Eckersley (ed.), 1995:9). Penerapan
model ini dapat dipandang sebagai kemajuan dalam bidang
pembangunan karena elemen-elemen lingkungan sudah dimasukkan
di dalamnya. Salah satu point penting di dalam model ini adalah
dimasukkannya unsur penanganan sampah dan limbah sebagai
ukuran kelayakan sebuah industri (AMDAL), sehingga industri itu
dilegalkan untuk beroperasi.
Pola yang pertama kali dimunculkan dalam model ini
adalah end of pipe, maksudnya menangani sampah atau limbah
setelah sampah atau limbah itu dihasilkan. Umumnya negara-negara
berkembang masih banyak menggunakan pola ini sebagai metode
praktis untuk menangani persoalan residu proses produksi. Maka
kemudian muncullah konsep-konsep semacam IPAL dan Tempat
Pembuangan Akhir Sampah. Namun disadari bahwa konsep end of
pipe ini belum mampu menyelesaikan persoalan persampahan yang
ada. Maka kemudian mereka mencoba mengembangkan model
penanganan sampah yang lebih baru lagi, yaitu clean production
(Eckersley, 1995:8-9).
Dalam model clean production ini produksi sampah
ataupun limbah dapat diminimalisir sejak awal karena tekanan pada
model clean production adalah upaya pencegahan sebelum sampah
itu benar-benar ada. Secara aplikatif clean production ini diterapkan
dalam bentuk eco-design, yang meliputi 4R yaitu : reduse, re-use,
re-cycling, dan recovery. Jadi memang sudah sejak awal produk-
produk yang ada sudah didesign sedemikian rupa agar nantinya
dapat di daur ulang atau lebih bio-degradable. Misalnya banyak
industri yang sekarang mengembangkan model-model re-fill.
Disamping biaya produksi jauh lebih murah sampah yang
dihasilkan juga relatif lebih sedikit. Dan lewat mekanisme pasar
konsumen diarahkan untuk mendukung proses ini. Karena dengan
menggunakan barang-barang yang dapat direfill maka harga yang
Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 1, April 2008
44
mereka peroleh lebih murah tetapi juga sekaligus sampah yang
dihasilkan tidak terlalu banyak. Kemudian juga dengan adanya
kebijakan pembangunan yang menetapkan extended producer
responsibility (EPR) dimana produsen diwajibkan untuk
menggunakan atau mengolah kembali produk ataupun kemasan
produk setelah purna pakai (http://www.walhi.or.id/).
Dari konsep-konsep semacam eco-design dan EPR inilah
maka sampah yang selama ini dianggap sebagai barang yang tidak
berguna justru dianggap sebagai peluang baru untuk dikembangkan
guna meningkatkan efektivitas dan efisiensi ekonomi. Sampah tidak
lagi semata-mata dianggap sampah tetapi sampah sesungguhnya
adalah sumberdaya. Dengan kebijakan pembangunan yang adaptif
semacam ini sebenarnya akan lebih mampu memberikan daya
dorong bagi industri-industri yang ada untuk menjadi lebih kreatif
menciptakan teknologi-teknologi baru yang mampu meminimalisir
produksi sampah sejak awal tetapi juga sekaligus menekan biaya
produksi yang harus dikeluarkan.
Semua metode-metode yang digunakan di atas adalah
upaya yang dilakukan oleh sustainable development untuk
“menginternalisasikan eksternalitas” tersebut. Dan sebagai sebuah
wacana pembangunan yang relatif baru ini sangat menarik untuk
dikembangkan. Bisa dikatakan bahwa upaya ini akan memberikan
dampak yang sangat progressif dalam proses pembangunan. Disatu
sisi model pembangunan ini tidak menafikan adanya kenyataan
kebutuhan akan konsumsi manusia yang semakin meningkat dan
beragam, namun disisi lain efek ekologis juga tidak ketinggalan
diperhitungkan. Dan untuk mengantisipasi sejak awal turunnya
carrying capacity dari alam, maka yang sustainable development
lakukan adalah mendesign ulang seluruh proses dan produk industri
agar lebih efisien dan juga ramah lingkungan. Dalam proses ini
penghematan bahan baku dapat dilakukan dan juga minimalisasi
sampah yang dihasilkan. Proses efisiensi ini kemudian justru
membuat produk mereka menjadi memiliki daya saing yang tinggi
dan ini merupakan keuntungan tersendiri bagi industri. Jadi tidak
hanya keuntungan ekonomi yang mereka peroleh tetapi juga dari
sisi ekologi tidak luput ketinggalan.
Sustainable development sepenuhnya menyadari bahwa
ketika pertumbuhan ekonomi dapat dikelola sejalan dengan ekologi
maka keduanya akan berjalan dengan baik. Dua hal yang selama ini
dianggap sebagai sesuatu yang tidak mungkin sinergis, bagi
sustainable development bukanlah hal yang niscaya untuk dicapai.
Lailiy Muthmainnah, Tinjauan Filosofis Problematika...
45
Terus menerus mencela modernitas tampaknya bukanlah sebuah
langkah maju, karena antara manusia dengan alam sesungguhnya
dapat terjalin suatu simbiosis yang mutual (Hettne, 2001:336),
hanya saja yang perlu ditekankan adalah perlunya kesadaran untuk
mengantisipasi implikasi ekologis yang mungkin ditimbulkan dari
proses tersebut, sehingga penurunan daya dukung alam dapat
diantisipasi sejak dini. Dan jika daya dukung dari alam tetap dapat
dipertahankan maka ini berarti proses pembangunan dapat terus
berlanjut pada generasi yang akan datang dan kemajuan bagi
manusia dapat dicapai.
-JF-
DAFTAR PUSTAKA
Banerjee, Subhabrata Bobby, 1999, Sustainable Development and
The Reinvention of Nature dalam paper yang
dipresentasikan untuk Critical management Studies
Conference (Environment Stream), Manchester, United
Kingdom, July 14-16, 1999.
Eckersley, Robyn (ed.), 1995, Market, The State, and The
Environment Toward Integration, Mac Millan Press Ltd,
Hampshire and London.
Eckersley, Robyn, 1992, Environmentalism and Political Theory
: Toward an Ecocentric Approach, University College,
London.
Fakih, Mansour, 2006, Runtuhnya Teori Pembangunan dan
Globalisasi, Kerjasama Insist Press dan Pustaka Pelajar,
Yogyakarta.
Fiorino, Daniel J., 1995, Making Environmental Policy,
University of California Press, USA.
Hettne, Bjorn, 2001, Teori Pembangunan dan Tiga Dunia, PT.
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
http://www.walhi.or.id/kampanye/cemar/sampah/070125_sampah_
produsen_cu/
Keraf, A. Sonny, 2005, Etika Lingkungan, PT. Kompas Media
Nusantara, Jakarta.
Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan (World
Commissions on Environment and Development), 1988, Hari
Depan Kita Bersama, Gramedia, Jakarta.
Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 1, April 2008
46
Prins, Gwyn (ed.), 1993, Threats Without Enemies : Facing
Environmental Insecurity, Earthscan Publications Limited
120 Pentonville Road, London.
Santoso, Purwo, 2006, “Radikalisasi Pengelolaan Sampah” dalam
Jurnal Balairung Edisi/39/XX/2006, Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta.
Wibowo, Aseptyanto Wahyu, 2006, “Meninjau Ulang Industri
(Tak) Ramah Lingkungan” dalam Jurnal Balairung
Edisi/39/XX/2006, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Mandukya Upanisad
Mandukya Upanisad
Mandukya Upanisad
Mandukya Upanisad
Mandukya Upanisad
Mandukya Upanisad
Mandukya Upanisad
Mandukya Upanisad
Mandukya Upanisad
Mandukya Upanisad
Mandukya Upanisad
Mandukya Upanisad
Mandukya Upanisad
Mandukya Upanisad
Mandukya Upanisad
Mandukya Upanisad
Mandukya Upanisad
Mandukya Upanisad
Mandukya Upanisad
Mandukya Upanisad
Mandukya Upanisad
Mandukya Upanisad
Mandukya Upanisad
Mandukya Upanisad
Mandukya Upanisad
Mandukya Upanisad
Mandukya Upanisad
Mandukya Upanisad
Mandukya Upanisad
Mandukya Upanisad
Mandukya Upanisad
Mandukya Upanisad
Mandukya Upanisad
Mandukya Upanisad
Mandukya Upanisad
Mandukya Upanisad
Mandukya Upanisad
Mandukya Upanisad
Mandukya Upanisad
Mandukya Upanisad
Mandukya Upanisad
Mandukya Upanisad
Mandukya Upanisad
Mandukya Upanisad
Mandukya Upanisad
Mandukya Upanisad
Mandukya Upanisad
Mandukya Upanisad
Mandukya Upanisad
Mandukya Upanisad
Mandukya Upanisad
Mandukya Upanisad
Mandukya Upanisad
Mandukya Upanisad
Mandukya Upanisad
Mandukya Upanisad
Mandukya Upanisad
Mandukya Upanisad
Mandukya Upanisad

More Related Content

What's hot

Ppt. filsafat ontologi
Ppt. filsafat ontologiPpt. filsafat ontologi
Ppt. filsafat ontologipipit1992
 
Resume filsafat ilmu
Resume filsafat ilmuResume filsafat ilmu
Resume filsafat ilmuUCy Rukmana
 
Power Point Filsafat Hubungan Ilmu Metafisika dengan Ontologi
Power Point Filsafat Hubungan Ilmu Metafisika dengan OntologiPower Point Filsafat Hubungan Ilmu Metafisika dengan Ontologi
Power Point Filsafat Hubungan Ilmu Metafisika dengan OntologiArief S
 
Aspek-Aspek Ontologi
Aspek-Aspek OntologiAspek-Aspek Ontologi
Aspek-Aspek OntologiAdy Setiawan
 
Ontology non reg matraman
Ontology  non reg matramanOntology  non reg matraman
Ontology non reg matramangadisghumi
 
Ontologi, epistimologi, aksiologi sains
Ontologi, epistimologi, aksiologi sainsOntologi, epistimologi, aksiologi sains
Ontologi, epistimologi, aksiologi sainsMutiara Cess
 
Makalah metafisika
Makalah metafisikaMakalah metafisika
Makalah metafisikaErna Mariana
 
FILSAFAT ILMU PERTEMUAN 3 (TEORI KEBENARAN) - DJOKO AW
FILSAFAT ILMU PERTEMUAN 3 (TEORI KEBENARAN) - DJOKO AWFILSAFAT ILMU PERTEMUAN 3 (TEORI KEBENARAN) - DJOKO AW
FILSAFAT ILMU PERTEMUAN 3 (TEORI KEBENARAN) - DJOKO AWDjoko Adi Walujo
 
Aliran aliran dalam filsafat ilmu (aliran empirisme)
Aliran aliran dalam filsafat ilmu (aliran empirisme)Aliran aliran dalam filsafat ilmu (aliran empirisme)
Aliran aliran dalam filsafat ilmu (aliran empirisme)iin_sainah
 
Ontologi pengertian pengertian pokok
Ontologi pengertian pengertian pokokOntologi pengertian pengertian pokok
Ontologi pengertian pengertian pokokNurmahmudah M.Phil.
 
Ontologi epistemologi dan_aksiologi_ilmu
Ontologi epistemologi dan_aksiologi_ilmuOntologi epistemologi dan_aksiologi_ilmu
Ontologi epistemologi dan_aksiologi_ilmuecaishak
 
Tugas filsafat 14 teori kebenran
Tugas filsafat 14 teori kebenranTugas filsafat 14 teori kebenran
Tugas filsafat 14 teori kebenranSusi Yanti
 

What's hot (20)

Ppt. filsafat ontologi
Ppt. filsafat ontologiPpt. filsafat ontologi
Ppt. filsafat ontologi
 
Resume filsafat ilmu
Resume filsafat ilmuResume filsafat ilmu
Resume filsafat ilmu
 
Power Point Filsafat Hubungan Ilmu Metafisika dengan Ontologi
Power Point Filsafat Hubungan Ilmu Metafisika dengan OntologiPower Point Filsafat Hubungan Ilmu Metafisika dengan Ontologi
Power Point Filsafat Hubungan Ilmu Metafisika dengan Ontologi
 
Aspek-Aspek Ontologi
Aspek-Aspek OntologiAspek-Aspek Ontologi
Aspek-Aspek Ontologi
 
MATERI 1 - Pengantar Filsafat Ilmu
MATERI 1 - Pengantar Filsafat IlmuMATERI 1 - Pengantar Filsafat Ilmu
MATERI 1 - Pengantar Filsafat Ilmu
 
Dimensi Ontologi
Dimensi OntologiDimensi Ontologi
Dimensi Ontologi
 
Ontology non reg matraman
Ontology  non reg matramanOntology  non reg matraman
Ontology non reg matraman
 
Ontologi, epistimologi, aksiologi sains
Ontologi, epistimologi, aksiologi sainsOntologi, epistimologi, aksiologi sains
Ontologi, epistimologi, aksiologi sains
 
Filsafat ilmu-prof-dr-ahmad-tafsir
Filsafat ilmu-prof-dr-ahmad-tafsirFilsafat ilmu-prof-dr-ahmad-tafsir
Filsafat ilmu-prof-dr-ahmad-tafsir
 
Makalah metafisika
Makalah metafisikaMakalah metafisika
Makalah metafisika
 
FILSAFAT ILMU PERTEMUAN 3 (TEORI KEBENARAN) - DJOKO AW
FILSAFAT ILMU PERTEMUAN 3 (TEORI KEBENARAN) - DJOKO AWFILSAFAT ILMU PERTEMUAN 3 (TEORI KEBENARAN) - DJOKO AW
FILSAFAT ILMU PERTEMUAN 3 (TEORI KEBENARAN) - DJOKO AW
 
Aliran aliran dalam filsafat ilmu (aliran empirisme)
Aliran aliran dalam filsafat ilmu (aliran empirisme)Aliran aliran dalam filsafat ilmu (aliran empirisme)
Aliran aliran dalam filsafat ilmu (aliran empirisme)
 
Ontologi sebagai landasan pengembangan ilmu
Ontologi sebagai landasan pengembangan ilmuOntologi sebagai landasan pengembangan ilmu
Ontologi sebagai landasan pengembangan ilmu
 
Ontologi pengertian pengertian pokok
Ontologi pengertian pengertian pokokOntologi pengertian pengertian pokok
Ontologi pengertian pengertian pokok
 
Ontologi
Ontologi  Ontologi
Ontologi
 
Ontologi epistemologi dan_aksiologi_ilmu
Ontologi epistemologi dan_aksiologi_ilmuOntologi epistemologi dan_aksiologi_ilmu
Ontologi epistemologi dan_aksiologi_ilmu
 
Ontologi Metafisika Keilmuan
Ontologi Metafisika KeilmuanOntologi Metafisika Keilmuan
Ontologi Metafisika Keilmuan
 
ontologi
ontologiontologi
ontologi
 
Tugas filsafat 14 teori kebenran
Tugas filsafat 14 teori kebenranTugas filsafat 14 teori kebenran
Tugas filsafat 14 teori kebenran
 
Filsafat Ilmu
Filsafat IlmuFilsafat Ilmu
Filsafat Ilmu
 

Viewers also liked

Tugas semiotika komunikasi
Tugas semiotika komunikasiTugas semiotika komunikasi
Tugas semiotika komunikasiJurnal Go-Blog
 
ALIRAN FILSAFAT PRAGMATISME
ALIRAN FILSAFAT PRAGMATISMEALIRAN FILSAFAT PRAGMATISME
ALIRAN FILSAFAT PRAGMATISMErika indahs
 
Uas semiotika komunikasi (part 2)
Uas semiotika komunikasi (part 2)Uas semiotika komunikasi (part 2)
Uas semiotika komunikasi (part 2)Jurnal Go-Blog
 
Dhanyko Novas-5160811340
Dhanyko Novas-5160811340Dhanyko Novas-5160811340
Dhanyko Novas-5160811340Dhanyko Novas
 
Filsafat sebagai landasan ilmu pengetahuan
Filsafat sebagai landasan ilmu pengetahuanFilsafat sebagai landasan ilmu pengetahuan
Filsafat sebagai landasan ilmu pengetahuanIthaa Napashaa Part II
 
Semiotika
SemiotikaSemiotika
Semiotikaelkana
 
Pengantar filsafat-3-pandangan-kefilsafatan
Pengantar filsafat-3-pandangan-kefilsafatanPengantar filsafat-3-pandangan-kefilsafatan
Pengantar filsafat-3-pandangan-kefilsafatanKuliahMandiri.org
 
Pengantar filsafat,perenungan kefilsafatan
Pengantar filsafat,perenungan kefilsafatan Pengantar filsafat,perenungan kefilsafatan
Pengantar filsafat,perenungan kefilsafatan KuliahMandiri.org
 
MANUSIA DAN HISTORISITASNYA MENURUT MARTIN HEIDEGGER
MANUSIA DAN HISTORISITASNYA MENURUT MARTIN HEIDEGGERMANUSIA DAN HISTORISITASNYA MENURUT MARTIN HEIDEGGER
MANUSIA DAN HISTORISITASNYA MENURUT MARTIN HEIDEGGERKuliahMandiri.org
 
AKTUALISASI PEMAHAMAN NILAI MENURUT MAX SCHELER BAGI MASA DEPAN BANGSA INDONESIA
AKTUALISASI PEMAHAMAN NILAI MENURUT MAX SCHELER BAGI MASA DEPAN BANGSA INDONESIAAKTUALISASI PEMAHAMAN NILAI MENURUT MAX SCHELER BAGI MASA DEPAN BANGSA INDONESIA
AKTUALISASI PEMAHAMAN NILAI MENURUT MAX SCHELER BAGI MASA DEPAN BANGSA INDONESIAKuliahMandiri.org
 

Viewers also liked (14)

Tugas semiotika komunikasi
Tugas semiotika komunikasiTugas semiotika komunikasi
Tugas semiotika komunikasi
 
ALIRAN FILSAFAT PRAGMATISME
ALIRAN FILSAFAT PRAGMATISMEALIRAN FILSAFAT PRAGMATISME
ALIRAN FILSAFAT PRAGMATISME
 
Uas semiotika komunikasi (part 2)
Uas semiotika komunikasi (part 2)Uas semiotika komunikasi (part 2)
Uas semiotika komunikasi (part 2)
 
Dhanyko Novas-5160811340
Dhanyko Novas-5160811340Dhanyko Novas-5160811340
Dhanyko Novas-5160811340
 
Filsafat sebagai landasan ilmu pengetahuan
Filsafat sebagai landasan ilmu pengetahuanFilsafat sebagai landasan ilmu pengetahuan
Filsafat sebagai landasan ilmu pengetahuan
 
Semiotika
SemiotikaSemiotika
Semiotika
 
Filsafat perselingkuhan
Filsafat perselingkuhanFilsafat perselingkuhan
Filsafat perselingkuhan
 
menjadi pemimpin sejati
menjadi pemimpin sejatimenjadi pemimpin sejati
menjadi pemimpin sejati
 
Pengantar filsafat-3-pandangan-kefilsafatan
Pengantar filsafat-3-pandangan-kefilsafatanPengantar filsafat-3-pandangan-kefilsafatan
Pengantar filsafat-3-pandangan-kefilsafatan
 
Pengantar filsafat,perenungan kefilsafatan
Pengantar filsafat,perenungan kefilsafatan Pengantar filsafat,perenungan kefilsafatan
Pengantar filsafat,perenungan kefilsafatan
 
MANUSIA DAN HISTORISITASNYA MENURUT MARTIN HEIDEGGER
MANUSIA DAN HISTORISITASNYA MENURUT MARTIN HEIDEGGERMANUSIA DAN HISTORISITASNYA MENURUT MARTIN HEIDEGGER
MANUSIA DAN HISTORISITASNYA MENURUT MARTIN HEIDEGGER
 
Dunia dalam-gelembung
Dunia dalam-gelembungDunia dalam-gelembung
Dunia dalam-gelembung
 
AKTUALISASI PEMAHAMAN NILAI MENURUT MAX SCHELER BAGI MASA DEPAN BANGSA INDONESIA
AKTUALISASI PEMAHAMAN NILAI MENURUT MAX SCHELER BAGI MASA DEPAN BANGSA INDONESIAAKTUALISASI PEMAHAMAN NILAI MENURUT MAX SCHELER BAGI MASA DEPAN BANGSA INDONESIA
AKTUALISASI PEMAHAMAN NILAI MENURUT MAX SCHELER BAGI MASA DEPAN BANGSA INDONESIA
 
Kant
KantKant
Kant
 

Similar to Mandukya Upanisad

KELOMPOK 3_SLIDE SHARE_MATERI KULIAH PENGANTAR ILMU FILSAFAT_KELAS S_UNTAG SU...
KELOMPOK 3_SLIDE SHARE_MATERI KULIAH PENGANTAR ILMU FILSAFAT_KELAS S_UNTAG SU...KELOMPOK 3_SLIDE SHARE_MATERI KULIAH PENGANTAR ILMU FILSAFAT_KELAS S_UNTAG SU...
KELOMPOK 3_SLIDE SHARE_MATERI KULIAH PENGANTAR ILMU FILSAFAT_KELAS S_UNTAG SU...DeffaNovitasari
 
Rangkuman seluruh ppt kelompok 10 pengantar filsafat ilmu kelas s
Rangkuman seluruh ppt kelompok 10 pengantar filsafat ilmu kelas sRangkuman seluruh ppt kelompok 10 pengantar filsafat ilmu kelas s
Rangkuman seluruh ppt kelompok 10 pengantar filsafat ilmu kelas sDwiKhusnulRahmat
 
Fpi aliran-aliran filsafat-4192
Fpi  aliran-aliran filsafat-4192Fpi  aliran-aliran filsafat-4192
Fpi aliran-aliran filsafat-4192Adramina92
 
Ontologi Sebagai Landasan Ilmu Pengetahuan
Ontologi Sebagai Landasan Ilmu PengetahuanOntologi Sebagai Landasan Ilmu Pengetahuan
Ontologi Sebagai Landasan Ilmu PengetahuanHasrianiUmar
 
makalah hakikat manusia dan pengetahuan.pdf
makalah hakikat manusia dan pengetahuan.pdfmakalah hakikat manusia dan pengetahuan.pdf
makalah hakikat manusia dan pengetahuan.pdfBudiarto39
 
Makalah tentang "Kebenaran Keras apa yang lebih suka anda abaikan"
Makalah tentang "Kebenaran Keras apa yang lebih suka anda abaikan"Makalah tentang "Kebenaran Keras apa yang lebih suka anda abaikan"
Makalah tentang "Kebenaran Keras apa yang lebih suka anda abaikan"FeniIndrayani
 
Philosophy of man (filosofi manusia)
Philosophy of man (filosofi manusia)Philosophy of man (filosofi manusia)
Philosophy of man (filosofi manusia)NatasyaNila
 
Makalah-Manusia-Dan-Alam-Semesta.docx
Makalah-Manusia-Dan-Alam-Semesta.docxMakalah-Manusia-Dan-Alam-Semesta.docx
Makalah-Manusia-Dan-Alam-Semesta.docxIppang4
 
PUM1 - 7Kesadaran
PUM1 - 7KesadaranPUM1 - 7Kesadaran
PUM1 - 7Kesadaranmfrids
 
ALAM PIKIRAN MANUSIA DAN PERKEMBANGANNYA
ALAM PIKIRAN MANUSIA DAN PERKEMBANGANNYAALAM PIKIRAN MANUSIA DAN PERKEMBANGANNYA
ALAM PIKIRAN MANUSIA DAN PERKEMBANGANNYAWulandari Rima Kumari
 
Makalah filsafat ilmu (epistemologi)
Makalah filsafat ilmu (epistemologi)Makalah filsafat ilmu (epistemologi)
Makalah filsafat ilmu (epistemologi)yudiyunika
 
Filsafat Ilmu metode penelitian fenomenologi
Filsafat Ilmu metode penelitian fenomenologiFilsafat Ilmu metode penelitian fenomenologi
Filsafat Ilmu metode penelitian fenomenologiTatiWulandari2
 
AQILAH NUR _ PROFESI PPT FILSAFAT TUGAS 7.pptx
AQILAH NUR _ PROFESI PPT FILSAFAT TUGAS 7.pptxAQILAH NUR _ PROFESI PPT FILSAFAT TUGAS 7.pptx
AQILAH NUR _ PROFESI PPT FILSAFAT TUGAS 7.pptxfiafifahNur
 
Metodologi berfikir - adri 2022.pptx
Metodologi berfikir - adri 2022.pptxMetodologi berfikir - adri 2022.pptx
Metodologi berfikir - adri 2022.pptxadrizulpianto
 
Kelompok 11 rangkuman materi pengantar filsafat kls_s
Kelompok 11  rangkuman materi pengantar filsafat kls_sKelompok 11  rangkuman materi pengantar filsafat kls_s
Kelompok 11 rangkuman materi pengantar filsafat kls_sAtikatulLatifah
 

Similar to Mandukya Upanisad (20)

KELOMPOK 3_SLIDE SHARE_MATERI KULIAH PENGANTAR ILMU FILSAFAT_KELAS S_UNTAG SU...
KELOMPOK 3_SLIDE SHARE_MATERI KULIAH PENGANTAR ILMU FILSAFAT_KELAS S_UNTAG SU...KELOMPOK 3_SLIDE SHARE_MATERI KULIAH PENGANTAR ILMU FILSAFAT_KELAS S_UNTAG SU...
KELOMPOK 3_SLIDE SHARE_MATERI KULIAH PENGANTAR ILMU FILSAFAT_KELAS S_UNTAG SU...
 
Rangkuman seluruh ppt kelompok 10 pengantar filsafat ilmu kelas s
Rangkuman seluruh ppt kelompok 10 pengantar filsafat ilmu kelas sRangkuman seluruh ppt kelompok 10 pengantar filsafat ilmu kelas s
Rangkuman seluruh ppt kelompok 10 pengantar filsafat ilmu kelas s
 
Fpi aliran-aliran filsafat-4192
Fpi  aliran-aliran filsafat-4192Fpi  aliran-aliran filsafat-4192
Fpi aliran-aliran filsafat-4192
 
Ontologi Sebagai Landasan Ilmu Pengetahuan
Ontologi Sebagai Landasan Ilmu PengetahuanOntologi Sebagai Landasan Ilmu Pengetahuan
Ontologi Sebagai Landasan Ilmu Pengetahuan
 
makalah hakikat manusia dan pengetahuan.pdf
makalah hakikat manusia dan pengetahuan.pdfmakalah hakikat manusia dan pengetahuan.pdf
makalah hakikat manusia dan pengetahuan.pdf
 
Makalah tentang "Kebenaran Keras apa yang lebih suka anda abaikan"
Makalah tentang "Kebenaran Keras apa yang lebih suka anda abaikan"Makalah tentang "Kebenaran Keras apa yang lebih suka anda abaikan"
Makalah tentang "Kebenaran Keras apa yang lebih suka anda abaikan"
 
Makalah ppl 2
Makalah ppl 2Makalah ppl 2
Makalah ppl 2
 
Philosophy of man (filosofi manusia)
Philosophy of man (filosofi manusia)Philosophy of man (filosofi manusia)
Philosophy of man (filosofi manusia)
 
Makalah-Manusia-Dan-Alam-Semesta.docx
Makalah-Manusia-Dan-Alam-Semesta.docxMakalah-Manusia-Dan-Alam-Semesta.docx
Makalah-Manusia-Dan-Alam-Semesta.docx
 
PUM1 - 7Kesadaran
PUM1 - 7KesadaranPUM1 - 7Kesadaran
PUM1 - 7Kesadaran
 
ALAM PIKIRAN MANUSIA DAN PERKEMBANGANNYA
ALAM PIKIRAN MANUSIA DAN PERKEMBANGANNYAALAM PIKIRAN MANUSIA DAN PERKEMBANGANNYA
ALAM PIKIRAN MANUSIA DAN PERKEMBANGANNYA
 
Makalah filsafat ilmu (epistemologi)
Makalah filsafat ilmu (epistemologi)Makalah filsafat ilmu (epistemologi)
Makalah filsafat ilmu (epistemologi)
 
filsafat
filsafatfilsafat
filsafat
 
suatu pemikiran umum Filsafat ilmu
suatu pemikiran umum Filsafat ilmusuatu pemikiran umum Filsafat ilmu
suatu pemikiran umum Filsafat ilmu
 
Makalah pak fatah
Makalah pak fatahMakalah pak fatah
Makalah pak fatah
 
Filsafat Ilmu metode penelitian fenomenologi
Filsafat Ilmu metode penelitian fenomenologiFilsafat Ilmu metode penelitian fenomenologi
Filsafat Ilmu metode penelitian fenomenologi
 
AQILAH NUR _ PROFESI PPT FILSAFAT TUGAS 7.pptx
AQILAH NUR _ PROFESI PPT FILSAFAT TUGAS 7.pptxAQILAH NUR _ PROFESI PPT FILSAFAT TUGAS 7.pptx
AQILAH NUR _ PROFESI PPT FILSAFAT TUGAS 7.pptx
 
Metodologi berfikir - adri 2022.pptx
Metodologi berfikir - adri 2022.pptxMetodologi berfikir - adri 2022.pptx
Metodologi berfikir - adri 2022.pptx
 
Kelompok 11 rangkuman materi pengantar filsafat kls_s
Kelompok 11  rangkuman materi pengantar filsafat kls_sKelompok 11  rangkuman materi pengantar filsafat kls_s
Kelompok 11 rangkuman materi pengantar filsafat kls_s
 
Bab i .2.
Bab i .2.Bab i .2.
Bab i .2.
 

More from KuliahMandiri.org

Penelitian ilmiah-dan-martabat-manusia
Penelitian ilmiah-dan-martabat-manusiaPenelitian ilmiah-dan-martabat-manusia
Penelitian ilmiah-dan-martabat-manusiaKuliahMandiri.org
 
Ebook tentang manusia reza_aa_wattimena
Ebook tentang manusia reza_aa_wattimenaEbook tentang manusia reza_aa_wattimena
Ebook tentang manusia reza_aa_wattimenaKuliahMandiri.org
 
Bahagia kenapa tidak reza_aa_wattimena
Bahagia kenapa tidak reza_aa_wattimenaBahagia kenapa tidak reza_aa_wattimena
Bahagia kenapa tidak reza_aa_wattimenaKuliahMandiri.org
 
PERSPEKTIF Dari Spiritualitas Hidup sampai dengan Hubungan Antar Bangsa
PERSPEKTIF Dari Spiritualitas Hidup sampai dengan Hubungan Antar BangsaPERSPEKTIF Dari Spiritualitas Hidup sampai dengan Hubungan Antar Bangsa
PERSPEKTIF Dari Spiritualitas Hidup sampai dengan Hubungan Antar BangsaKuliahMandiri.org
 
IDE DAN PRAKSIS NEO-NASIONALISME DALAM MENGHADAPI TANTANGAN GLOBALISASI
IDE DAN PRAKSIS NEO-NASIONALISME DALAM MENGHADAPI TANTANGAN GLOBALISASIIDE DAN PRAKSIS NEO-NASIONALISME DALAM MENGHADAPI TANTANGAN GLOBALISASI
IDE DAN PRAKSIS NEO-NASIONALISME DALAM MENGHADAPI TANTANGAN GLOBALISASIKuliahMandiri.org
 
GERAKAN FEMINISME ISLAM DALAM PERSPEKTIF FATIMAH MERNISSI
GERAKAN FEMINISME ISLAM DALAM PERSPEKTIF FATIMAH MERNISSIGERAKAN FEMINISME ISLAM DALAM PERSPEKTIF FATIMAH MERNISSI
GERAKAN FEMINISME ISLAM DALAM PERSPEKTIF FATIMAH MERNISSIKuliahMandiri.org
 
TINJAUAN FILOSOFIS PROBLEMA PENGELOLAAN SAMPAH
TINJAUAN FILOSOFIS PROBLEMA PENGELOLAAN SAMPAHTINJAUAN FILOSOFIS PROBLEMA PENGELOLAAN SAMPAH
TINJAUAN FILOSOFIS PROBLEMA PENGELOLAAN SAMPAHKuliahMandiri.org
 
KONSEP SEMIOTIK CHARLES JENCKS DALAM ARSITEKTUR POST-MODERN
KONSEP SEMIOTIK CHARLES JENCKS DALAM ARSITEKTUR POST-MODERNKONSEP SEMIOTIK CHARLES JENCKS DALAM ARSITEKTUR POST-MODERN
KONSEP SEMIOTIK CHARLES JENCKS DALAM ARSITEKTUR POST-MODERNKuliahMandiri.org
 
LANDASAN FILOSOFIS MAZHAB HUKUM PROGRESIF: TINJAUAN FILSAFAT ILMU
LANDASAN FILOSOFIS MAZHAB HUKUM PROGRESIF: TINJAUAN FILSAFAT ILMULANDASAN FILOSOFIS MAZHAB HUKUM PROGRESIF: TINJAUAN FILSAFAT ILMU
LANDASAN FILOSOFIS MAZHAB HUKUM PROGRESIF: TINJAUAN FILSAFAT ILMUKuliahMandiri.org
 
Tokoh & aliran dalam Filsafat ilmu Pengetahuan
Tokoh & aliran dalam Filsafat ilmu Pengetahuan  Tokoh & aliran dalam Filsafat ilmu Pengetahuan
Tokoh & aliran dalam Filsafat ilmu Pengetahuan KuliahMandiri.org
 
Filosofi pengelolaan 0lingkungan hidup
Filosofi pengelolaan 0lingkungan hidupFilosofi pengelolaan 0lingkungan hidup
Filosofi pengelolaan 0lingkungan hidupKuliahMandiri.org
 
Pengantar filsafat, ontology
Pengantar filsafat, ontologyPengantar filsafat, ontology
Pengantar filsafat, ontologyKuliahMandiri.org
 
Pengantar filsafat, estetika
Pengantar filsafat, estetikaPengantar filsafat, estetika
Pengantar filsafat, estetikaKuliahMandiri.org
 
Pengantar filsafat,pandangan kefilsafatan
Pengantar filsafat,pandangan kefilsafatanPengantar filsafat,pandangan kefilsafatan
Pengantar filsafat,pandangan kefilsafatanKuliahMandiri.org
 

More from KuliahMandiri.org (20)

Penelitian ilmiah-dan-martabat-manusia
Penelitian ilmiah-dan-martabat-manusiaPenelitian ilmiah-dan-martabat-manusia
Penelitian ilmiah-dan-martabat-manusia
 
Ebook tentang manusia reza_aa_wattimena
Ebook tentang manusia reza_aa_wattimenaEbook tentang manusia reza_aa_wattimena
Ebook tentang manusia reza_aa_wattimena
 
Bahagia kenapa tidak reza_aa_wattimena
Bahagia kenapa tidak reza_aa_wattimenaBahagia kenapa tidak reza_aa_wattimena
Bahagia kenapa tidak reza_aa_wattimena
 
PERSPEKTIF Dari Spiritualitas Hidup sampai dengan Hubungan Antar Bangsa
PERSPEKTIF Dari Spiritualitas Hidup sampai dengan Hubungan Antar BangsaPERSPEKTIF Dari Spiritualitas Hidup sampai dengan Hubungan Antar Bangsa
PERSPEKTIF Dari Spiritualitas Hidup sampai dengan Hubungan Antar Bangsa
 
IDE DAN PRAKSIS NEO-NASIONALISME DALAM MENGHADAPI TANTANGAN GLOBALISASI
IDE DAN PRAKSIS NEO-NASIONALISME DALAM MENGHADAPI TANTANGAN GLOBALISASIIDE DAN PRAKSIS NEO-NASIONALISME DALAM MENGHADAPI TANTANGAN GLOBALISASI
IDE DAN PRAKSIS NEO-NASIONALISME DALAM MENGHADAPI TANTANGAN GLOBALISASI
 
GERAKAN FEMINISME ISLAM DALAM PERSPEKTIF FATIMAH MERNISSI
GERAKAN FEMINISME ISLAM DALAM PERSPEKTIF FATIMAH MERNISSIGERAKAN FEMINISME ISLAM DALAM PERSPEKTIF FATIMAH MERNISSI
GERAKAN FEMINISME ISLAM DALAM PERSPEKTIF FATIMAH MERNISSI
 
TINJAUAN FILOSOFIS PROBLEMA PENGELOLAAN SAMPAH
TINJAUAN FILOSOFIS PROBLEMA PENGELOLAAN SAMPAHTINJAUAN FILOSOFIS PROBLEMA PENGELOLAAN SAMPAH
TINJAUAN FILOSOFIS PROBLEMA PENGELOLAAN SAMPAH
 
KONSEP SEMIOTIK CHARLES JENCKS DALAM ARSITEKTUR POST-MODERN
KONSEP SEMIOTIK CHARLES JENCKS DALAM ARSITEKTUR POST-MODERNKONSEP SEMIOTIK CHARLES JENCKS DALAM ARSITEKTUR POST-MODERN
KONSEP SEMIOTIK CHARLES JENCKS DALAM ARSITEKTUR POST-MODERN
 
LANDASAN FILOSOFIS MAZHAB HUKUM PROGRESIF: TINJAUAN FILSAFAT ILMU
LANDASAN FILOSOFIS MAZHAB HUKUM PROGRESIF: TINJAUAN FILSAFAT ILMULANDASAN FILOSOFIS MAZHAB HUKUM PROGRESIF: TINJAUAN FILSAFAT ILMU
LANDASAN FILOSOFIS MAZHAB HUKUM PROGRESIF: TINJAUAN FILSAFAT ILMU
 
metode ilmiah
metode ilmiahmetode ilmiah
metode ilmiah
 
Etika penelitian
Etika penelitianEtika penelitian
Etika penelitian
 
filsafat ilmu_(dasar)
filsafat ilmu_(dasar)filsafat ilmu_(dasar)
filsafat ilmu_(dasar)
 
Tokoh & aliran dalam Filsafat ilmu Pengetahuan
Tokoh & aliran dalam Filsafat ilmu Pengetahuan  Tokoh & aliran dalam Filsafat ilmu Pengetahuan
Tokoh & aliran dalam Filsafat ilmu Pengetahuan
 
Karl Marx
Karl MarxKarl Marx
Karl Marx
 
Perspektif Sosiologi
Perspektif SosiologiPerspektif Sosiologi
Perspektif Sosiologi
 
Filosofi pengelolaan 0lingkungan hidup
Filosofi pengelolaan 0lingkungan hidupFilosofi pengelolaan 0lingkungan hidup
Filosofi pengelolaan 0lingkungan hidup
 
Pengantar filsafat, ontology
Pengantar filsafat, ontologyPengantar filsafat, ontology
Pengantar filsafat, ontology
 
Pengantar filsafat, estetika
Pengantar filsafat, estetikaPengantar filsafat, estetika
Pengantar filsafat, estetika
 
Pengantar filsafat,pandangan kefilsafatan
Pengantar filsafat,pandangan kefilsafatanPengantar filsafat,pandangan kefilsafatan
Pengantar filsafat,pandangan kefilsafatan
 
filsafat ilmu
filsafat ilmufilsafat ilmu
filsafat ilmu
 

Recently uploaded

2 KISI-KISI Ujian Sekolah Dasar mata pelajaranPPKn 2024.pdf
2 KISI-KISI Ujian Sekolah Dasar  mata pelajaranPPKn 2024.pdf2 KISI-KISI Ujian Sekolah Dasar  mata pelajaranPPKn 2024.pdf
2 KISI-KISI Ujian Sekolah Dasar mata pelajaranPPKn 2024.pdfsdn3jatiblora
 
Tugas 1 pembaruan dlm pembelajaran jawaban tugas tuton 1.docx
Tugas 1 pembaruan dlm pembelajaran jawaban tugas tuton 1.docxTugas 1 pembaruan dlm pembelajaran jawaban tugas tuton 1.docx
Tugas 1 pembaruan dlm pembelajaran jawaban tugas tuton 1.docxmawan5982
 
Materi Pertemuan Materi Pertemuan 7.pptx
Materi Pertemuan Materi Pertemuan 7.pptxMateri Pertemuan Materi Pertemuan 7.pptx
Materi Pertemuan Materi Pertemuan 7.pptxRezaWahyuni6
 
Dampak Pendudukan Jepang.pptx indonesia1
Dampak Pendudukan Jepang.pptx indonesia1Dampak Pendudukan Jepang.pptx indonesia1
Dampak Pendudukan Jepang.pptx indonesia1udin100
 
REFLEKSI MANDIRI_Prakarsa Perubahan BAGJA Modul 1.3.pdf
REFLEKSI MANDIRI_Prakarsa Perubahan BAGJA Modul 1.3.pdfREFLEKSI MANDIRI_Prakarsa Perubahan BAGJA Modul 1.3.pdf
REFLEKSI MANDIRI_Prakarsa Perubahan BAGJA Modul 1.3.pdfirwanabidin08
 
tugas 1 tutorial online anak berkebutuhan khusus di SD
tugas 1 tutorial online anak berkebutuhan khusus di SDtugas 1 tutorial online anak berkebutuhan khusus di SD
tugas 1 tutorial online anak berkebutuhan khusus di SDmawan5982
 
Sosialisasi PPDB SulSel tahun 2024 di Sulawesi Selatan
Sosialisasi PPDB SulSel tahun 2024 di Sulawesi SelatanSosialisasi PPDB SulSel tahun 2024 di Sulawesi Selatan
Sosialisasi PPDB SulSel tahun 2024 di Sulawesi Selatanssuser963292
 
Aksi nyata disiplin positif Hj. Hasnani (1).pdf
Aksi nyata disiplin positif Hj. Hasnani (1).pdfAksi nyata disiplin positif Hj. Hasnani (1).pdf
Aksi nyata disiplin positif Hj. Hasnani (1).pdfDimanWr1
 
PPT AKSI NYATA KOMUNITAS BELAJAR .ppt di SD
PPT AKSI NYATA KOMUNITAS BELAJAR .ppt di SDPPT AKSI NYATA KOMUNITAS BELAJAR .ppt di SD
PPT AKSI NYATA KOMUNITAS BELAJAR .ppt di SDNurainiNuraini25
 
TUGAS GURU PENGGERAK Aksi Nyata Modul 1.1.pdf
TUGAS GURU PENGGERAK Aksi Nyata Modul 1.1.pdfTUGAS GURU PENGGERAK Aksi Nyata Modul 1.1.pdf
TUGAS GURU PENGGERAK Aksi Nyata Modul 1.1.pdfElaAditya
 
PEMANASAN GLOBAL - MATERI KELAS X MA.pptx
PEMANASAN GLOBAL - MATERI KELAS X MA.pptxPEMANASAN GLOBAL - MATERI KELAS X MA.pptx
PEMANASAN GLOBAL - MATERI KELAS X MA.pptxsukmakarim1998
 
soal AKM Mata Pelajaran PPKN kelas .pptx
soal AKM Mata Pelajaran PPKN kelas .pptxsoal AKM Mata Pelajaran PPKN kelas .pptx
soal AKM Mata Pelajaran PPKN kelas .pptxazhari524
 
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKAMODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKAAndiCoc
 
Modul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdf
Modul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdfModul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdf
Modul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdfSitiJulaeha820399
 
Latihan Soal bahasa Indonesia untuk anak sekolah sekelas SMP atau pun sederajat
Latihan Soal bahasa Indonesia untuk anak sekolah sekelas SMP atau pun sederajatLatihan Soal bahasa Indonesia untuk anak sekolah sekelas SMP atau pun sederajat
Latihan Soal bahasa Indonesia untuk anak sekolah sekelas SMP atau pun sederajatArfiGraphy
 
BAHAN SOSIALISASI PPDB SMA-SMK NEGERI DISDIKSU TP. 2024-2025 REVISI.pptx
BAHAN SOSIALISASI PPDB SMA-SMK NEGERI DISDIKSU TP. 2024-2025 REVISI.pptxBAHAN SOSIALISASI PPDB SMA-SMK NEGERI DISDIKSU TP. 2024-2025 REVISI.pptx
BAHAN SOSIALISASI PPDB SMA-SMK NEGERI DISDIKSU TP. 2024-2025 REVISI.pptxJamhuriIshak
 
ppt-modul-6-pend-seni-di sd kelompok 2 ppt
ppt-modul-6-pend-seni-di sd kelompok 2 pptppt-modul-6-pend-seni-di sd kelompok 2 ppt
ppt-modul-6-pend-seni-di sd kelompok 2 pptArkhaRega1
 
Keterampilan menyimak kelas bawah tugas UT
Keterampilan menyimak kelas bawah tugas UTKeterampilan menyimak kelas bawah tugas UT
Keterampilan menyimak kelas bawah tugas UTIndraAdm
 
JAWAPAN BAB 1 DAN BAB 2 SAINS TINGKATAN 5
JAWAPAN BAB 1 DAN BAB 2 SAINS TINGKATAN 5JAWAPAN BAB 1 DAN BAB 2 SAINS TINGKATAN 5
JAWAPAN BAB 1 DAN BAB 2 SAINS TINGKATAN 5ssuserd52993
 
MATERI EKOSISTEM UNTUK SEKOLAH MENENGAH ATAS
MATERI EKOSISTEM UNTUK SEKOLAH MENENGAH ATASMATERI EKOSISTEM UNTUK SEKOLAH MENENGAH ATAS
MATERI EKOSISTEM UNTUK SEKOLAH MENENGAH ATASKurniawan Dirham
 

Recently uploaded (20)

2 KISI-KISI Ujian Sekolah Dasar mata pelajaranPPKn 2024.pdf
2 KISI-KISI Ujian Sekolah Dasar  mata pelajaranPPKn 2024.pdf2 KISI-KISI Ujian Sekolah Dasar  mata pelajaranPPKn 2024.pdf
2 KISI-KISI Ujian Sekolah Dasar mata pelajaranPPKn 2024.pdf
 
Tugas 1 pembaruan dlm pembelajaran jawaban tugas tuton 1.docx
Tugas 1 pembaruan dlm pembelajaran jawaban tugas tuton 1.docxTugas 1 pembaruan dlm pembelajaran jawaban tugas tuton 1.docx
Tugas 1 pembaruan dlm pembelajaran jawaban tugas tuton 1.docx
 
Materi Pertemuan Materi Pertemuan 7.pptx
Materi Pertemuan Materi Pertemuan 7.pptxMateri Pertemuan Materi Pertemuan 7.pptx
Materi Pertemuan Materi Pertemuan 7.pptx
 
Dampak Pendudukan Jepang.pptx indonesia1
Dampak Pendudukan Jepang.pptx indonesia1Dampak Pendudukan Jepang.pptx indonesia1
Dampak Pendudukan Jepang.pptx indonesia1
 
REFLEKSI MANDIRI_Prakarsa Perubahan BAGJA Modul 1.3.pdf
REFLEKSI MANDIRI_Prakarsa Perubahan BAGJA Modul 1.3.pdfREFLEKSI MANDIRI_Prakarsa Perubahan BAGJA Modul 1.3.pdf
REFLEKSI MANDIRI_Prakarsa Perubahan BAGJA Modul 1.3.pdf
 
tugas 1 tutorial online anak berkebutuhan khusus di SD
tugas 1 tutorial online anak berkebutuhan khusus di SDtugas 1 tutorial online anak berkebutuhan khusus di SD
tugas 1 tutorial online anak berkebutuhan khusus di SD
 
Sosialisasi PPDB SulSel tahun 2024 di Sulawesi Selatan
Sosialisasi PPDB SulSel tahun 2024 di Sulawesi SelatanSosialisasi PPDB SulSel tahun 2024 di Sulawesi Selatan
Sosialisasi PPDB SulSel tahun 2024 di Sulawesi Selatan
 
Aksi nyata disiplin positif Hj. Hasnani (1).pdf
Aksi nyata disiplin positif Hj. Hasnani (1).pdfAksi nyata disiplin positif Hj. Hasnani (1).pdf
Aksi nyata disiplin positif Hj. Hasnani (1).pdf
 
PPT AKSI NYATA KOMUNITAS BELAJAR .ppt di SD
PPT AKSI NYATA KOMUNITAS BELAJAR .ppt di SDPPT AKSI NYATA KOMUNITAS BELAJAR .ppt di SD
PPT AKSI NYATA KOMUNITAS BELAJAR .ppt di SD
 
TUGAS GURU PENGGERAK Aksi Nyata Modul 1.1.pdf
TUGAS GURU PENGGERAK Aksi Nyata Modul 1.1.pdfTUGAS GURU PENGGERAK Aksi Nyata Modul 1.1.pdf
TUGAS GURU PENGGERAK Aksi Nyata Modul 1.1.pdf
 
PEMANASAN GLOBAL - MATERI KELAS X MA.pptx
PEMANASAN GLOBAL - MATERI KELAS X MA.pptxPEMANASAN GLOBAL - MATERI KELAS X MA.pptx
PEMANASAN GLOBAL - MATERI KELAS X MA.pptx
 
soal AKM Mata Pelajaran PPKN kelas .pptx
soal AKM Mata Pelajaran PPKN kelas .pptxsoal AKM Mata Pelajaran PPKN kelas .pptx
soal AKM Mata Pelajaran PPKN kelas .pptx
 
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKAMODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA
 
Modul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdf
Modul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdfModul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdf
Modul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdf
 
Latihan Soal bahasa Indonesia untuk anak sekolah sekelas SMP atau pun sederajat
Latihan Soal bahasa Indonesia untuk anak sekolah sekelas SMP atau pun sederajatLatihan Soal bahasa Indonesia untuk anak sekolah sekelas SMP atau pun sederajat
Latihan Soal bahasa Indonesia untuk anak sekolah sekelas SMP atau pun sederajat
 
BAHAN SOSIALISASI PPDB SMA-SMK NEGERI DISDIKSU TP. 2024-2025 REVISI.pptx
BAHAN SOSIALISASI PPDB SMA-SMK NEGERI DISDIKSU TP. 2024-2025 REVISI.pptxBAHAN SOSIALISASI PPDB SMA-SMK NEGERI DISDIKSU TP. 2024-2025 REVISI.pptx
BAHAN SOSIALISASI PPDB SMA-SMK NEGERI DISDIKSU TP. 2024-2025 REVISI.pptx
 
ppt-modul-6-pend-seni-di sd kelompok 2 ppt
ppt-modul-6-pend-seni-di sd kelompok 2 pptppt-modul-6-pend-seni-di sd kelompok 2 ppt
ppt-modul-6-pend-seni-di sd kelompok 2 ppt
 
Keterampilan menyimak kelas bawah tugas UT
Keterampilan menyimak kelas bawah tugas UTKeterampilan menyimak kelas bawah tugas UT
Keterampilan menyimak kelas bawah tugas UT
 
JAWAPAN BAB 1 DAN BAB 2 SAINS TINGKATAN 5
JAWAPAN BAB 1 DAN BAB 2 SAINS TINGKATAN 5JAWAPAN BAB 1 DAN BAB 2 SAINS TINGKATAN 5
JAWAPAN BAB 1 DAN BAB 2 SAINS TINGKATAN 5
 
MATERI EKOSISTEM UNTUK SEKOLAH MENENGAH ATAS
MATERI EKOSISTEM UNTUK SEKOLAH MENENGAH ATASMATERI EKOSISTEM UNTUK SEKOLAH MENENGAH ATAS
MATERI EKOSISTEM UNTUK SEKOLAH MENENGAH ATAS
 

Mandukya Upanisad

  • 1. KESADARAN ATAS REALITAS: KAJIAN SVAMI CHINMAYANANDA TERHADAP MANDUKYA UPANISAD Oleh: Faisal Yan Aulia1 Abstract Knowledge and technology development has given a lot of advantages in the human life. In the other side, bad effects of this development also cause ignorance of spiritual life. The life has only meaning in material relation (in the extensive meaning); between material life and spiritual life, there is unbalanced. For some people, this make an emptiness in their life; their life feels tasteless and has no meaning. Finally, they return to religion to look for answers of question about the meaning of life. Svami Chinmayananda, in his study of Mandukya Upanishad, tries to answer the question by explaining the nature of reality. In this study, he reveals the nature of reality by epistemology and metaphysics perspective. The purpose of this research is giving description about consciousness concept, the nature or reality and consciousness (involves knowledge) which can bring someone to understand the reality which found in Svami Chinmayananda’s study of Mandukya Upanishad. Besides that, the researcher also did critical evaluation about epistemology and metaphysics problems which found in this study. The consciousness of the nature of reality can be a basic guide in living the life and answer problems of the meaning of life. The life which is growing more materialistic needs a balance between material world and spiritual world. By discriminative knowledge (Viveka), someone will reach Turiya consciousness. This Turiya consciousness will bring someone to understand the nature of reality (Atman or Brahman); finally, he/she will understand the meaning of life. Other perspective which is offered by Svami Chinmayananda in his study of Mandukya Upanishad can function as a consideration in living this life. Keywords: Turiya, Avidya, consciousness, reality. 1 Alumnus Fakultas Filsafat UGM tahun 2007.
  • 2. Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 1, April 2008 2 A. Pendahuluan Dunia yang ditempati sekarang ini bagi mayoritas manusia dianggap benar-benar sebagai suatu kenyataan yang mutlak, dalam artian bahwa dunia sebagai kenyataan objektif yang berdiri sendiri terlepas dari subjek. Pandangan ini merupakan pandangan yang umum diterima, meskipun masih menyisakan beberapa persoalan yang sukar untuk dijawab. Dunia inderawi yang dihadapi sehari- hari tidak mungkin lepas dari perhatian manusia, manusia selalu berhadapan dengannya. Tidak bisa dipungkiri manusia termasuk dalam objek-objek inderawi ini.. Manusia merasa bahwa ia terlibat sekaligus sebagai pengamat dalam kehidupan ini. Kebanyakan dari manusia, baik itu sadar atau tidak, larut dalam liku-liku perjalanan hidup dari makhluk yang bernama manusia. Manusia berkorelasi dengan lingkungan di sekitarnya, dan akan selalu mencari dan mendapatkan sesuatu yang dirasakan sanggup memenuhi hasrat dan kebutuhan hidupnya. Seseorang bekerja dengan giat agar tuntutan hidupnya terpenuhi, terikat dengan kodratnya sebagai makhluk yang harus berusaha untuk mendapatkan sesuatu. Apabila ingin mendapatkan hasil seseorang harus menjalani suatu proses sebagai syarat demi mewujudkan apa yang diinginkannya. Kehidupan yang dijalani manusia di dunia ini memiliki sejumlah persoalan rumit yang sukar untuk dijelaskan. Menjalani kehidupan tampaknya lebih mudah daripada harus menjelaskan apa arti dan hakikat kehidupan itu sendiri. Sebagai sesuatu yang given, hidup manusia harus terus berjalan. Di sisi lain, persoalan tentang makna kehidupan dirasakan kurang bermanfaat dibandingkan dengan mencari jalan bagaimana kehidupan itu harus dijalani. Pernyataan bahwa dunia itu benar-benar ada dalam dirinya sendiri, terpisah dari subjek, seringkali muncul sebagai suatu aksioma. Subjek mengetahui objek karena dirinya ada dan objek itu pun juga ada. Keberadaan subjek dan objek terpisah satu sama lain, saling berdiri sendiri. Objek ada bukan karena ada subjek, begitu juga sebaliknya. Keterpisahan ini mengakibatkan subjek merasa bahwa dirinya berbeda dari objek yang diamati dan disadari. Dalam kehidupan di dunia ini, manusia bisa berinteraksi dengan lingkungan sekitar dan merasakan dampak langsung dari aktivitasnya itu. Ketika manusia melihat pohon, binatang benda- benda dan segala macam objek indera lainnya, dirinya merasa bahwa itu semua merupakan kenyataan yang sebenarnya, suatu realitas yang tidak perlu untuk dipermasalahkan lagi ada atau
  • 3. Faisal Yan Aulia, Kesadaran Atas Realitas… 3 tidaknya. Semua itu bisa dipersepsi lewat organ indera manusia. Objek tersebut minimal memenuhi satu dari lima sifat yang mampu “dikenali” oleh indera manusia (peraba, perasa, pembau, penglihatan dan pendengaran). Pohon itu nyata, buktinya kalau menabrak atau menyentuh objek tersebut, maka diri manusia akan merasakan akibatnya. Pohon bisa disentuh, dilihat dan dirasakan oleh indera manusia. Angin yang tidak dapat dilihat juga merupakan suatu kenyataan, benar-benar ada, karena masih bisa dirasakan kehadirannya. Objek yang bisa dikategorikan sebagai yang benar-benar ada adalah memenuhi persyaratan di atas, yaitu bisa dipersepsi oleh organ indera manusia. Lalu bagaimana dengan pernyataan bahwa beberapa orang memiliki “indera keenam” yang bisa digunakan untuk mengetahui objek-objek yang berada di luar jangkauan panca indera manusia? Jawaban atas hal ini masih menimbulkan perdebatan sengit sampai saat ini. Ada yang menyatakan bahwa orang-orang tertentu memiliki kemampuan ini, baik itu berasal dari bawaan atau insight maupun dari proses yang dijalani untuk dapat meraih kemampuan istimewa ini. Ada juga yang menyatakan bahwa hal-hal di luar dunia indera sama sekali tidak memiliki eksistensi, maka dari itu hantu, roh, jiwa, bahkan Tuhan dianggap tidak ada dan tidak akan pernah ada. Itu semua hanyalah mitos-mitos yang dibangun manusia, tidak lebih dari sekedar omong kosong yang tak bermakna. Dua jawaban ini sampai sekarang masih sulit didamaikan. Jika panca indera yang dimiliki manusia sebagai titik tolaknya maka jawaban yang kedualah yang lebih bisa diterima akal sehat. Pertanyaan-pertanyaan masih bisa dimunculkan kembali setelah ini, dan akan senantiasa menimbulkan pertanyaan baru atas jawaban baru. Bagaimana dengan cerita dari seseorang yang mengaku telah mengalami pengalaman mistik atau pengalaman spiritual yang mengatakan bahwa di luar dunia objektif inderawi masih ada kenyataan lain yang memiliki eksistensinya sendiri? B. Kesadaran Manusia Seperti telah diketahui, kebanyakan manusia menganggap bahwa dunia yang manusia hadapi sehari-hari mutlak real, memiliki eksistensi dan dapat dibedakan dari manusia sebagai subjek. Ketika sesuatu bisa dipersepsi indera manusia, maka saat itu juga sesuatu tersebut dianggap ber-ada. Mustahil mengatakan bahwa seseorang baru saja menabrak pohon “ilusi” sementara kepalanya berdarah
  • 4. Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 1, April 2008 4 karenanya. Pohon itu pastilah merupakan suatu kenyataan, sama nyatanya dengan peristiwa menabrak pohon itu sendiri Di sisi lain, munculnya pandangan yang berkebalikan dari pandangan ini tampaknya akan mengejutkan, setidaknya bagi beberapa pihak. Pernyataan bahwa dunia yang ditempati dan disadari ini hanyalah sebuah tipuan pikiran, ilusi atau sekedar khayalan semata mungkin akan menjadi sebuah lelucon di zaman yang sudah maju dan mengikat manusia dengan segala permasalahan kehidupan ini. Lalu bagaimana apabila ada yang benar-benar mengatakan hal itu? Tentunya akan menjadi sesuatu yang menarik perhatian, jika hal itu tidak sekedar dianggap sebagai sebuah ocehan dari seorang pengidap kelainan jiwa. Kalau yang menyebutkannya hanya seorang pasien rumah sakit jiwa yang berteriak sambil telanjang bulat, akan lebih bermanfaat untuk segera “mengamankan” orang tersebut daripada meladeni segala perkataannya, dalam kapasitas sebagai orang awam dan bukan sebagai seorang dokter jiwa atau psikiater. Namun bila pernyataan itu muncul dari seorang filsuf atau teolog, bukankah hal ini cukup “mengganggu” pikiran normal manusia? Salah satu orang yang memiliki pandangan berbeda dari pandangan umum mengenai keberadaan dunia adalah Svami Chinmayananda. Dalam kajiannya tentang Mandukya Upanisad, salah satu dari Upanisad-Upanisad yang merupakan bagian dari Veda, ia membahas kesadaran manusia dan hakikat keberadaan segala sesuatu secara panjang lebar. Menurutnya, dunia fenomenal atau dunia objektif merupakan suatu dunia yang dialami dalam keadaan jaga (Vaisvanara) yang sadar akan dunia objektif indera- indera. Dunia objektif ini hanyalah suatu penumpangan terhadap atman, dengan kata lain sebuah dunia yang hanya merupakan tipuan dari pikiran (Chinmayananda, 1999: 118). Kejamakan dunia ini berasal dari pikiran yang tidak paham akan hakikat kenyataan yang sebenarnya. Kenyataan hanya satu, yaitu Atman yang meliputi segalanya. Pikiran hanya menumpang pada Atman, dan pikiranlah yang menimbulkan dunia kejamakan atau dunia objektif ini. Pernyataan ini tentu saja bukan sekedar bualan tanpa makna dan tidak bisa disejajarkan dengan perkataan dari orang gila yang tidak berpikir dahulu sebelum mengeluarkan sebuah klaim. Manusia sadar akan apa yang dialaminya di dunia indrawi; kesadaran manusia lah yang memungkinkan terjadinya persepsi. Kesadaran manusia ini memiliki empat bidang kegiatan, yaitu
  • 5. Faisal Yan Aulia, Kesadaran Atas Realitas… 5 keadaan jaga, keadaan mimpi, keadaan tidur lelap dan keadaan Turiya. Tiap-tiap bidang kesadaran ini berbeda-beda satu sama lain. Dunia indera (dunia luar) yang dialami manusia dalam Mandukya Upanisad disebut dengan Vaisvanara, sebagai bidang pertama dari empat bidang kesadaran manusia. Keadaan ini juga disebut dengan keadaan jaga yaitu keadaan ketika panca indera manusia bekerja secara normal, dalam arti bahwa organ indera masih aktif dalam mempersepsi objek. Secara sederhana, keadaan jaga adalah ketika manusia tidak dalam keadaan tidur. Keadaan jaga ini merupakan bagian dari kesadaran manusia yang paling banyak berisi pengalaman dan pengetahuan. Ilmu dan pengetahuan dihasilkan manusia ketika ia berada dalam keadaan ini. Keadaan jaga atau Vaisvanara adalah keakuan (ego) yang menikmati keadaan kesadaran jaga dan yang sadar akan dunia objek-objek indera. Ia menikmati wujud (indera penglihatan/ mata), suara (indera pendengaran/ telinga), rasa (indera perasa/ lidah), bau (indera penciuman/ hidung) dan sentuhan (indera peraba/ kulit) (Chinmayananda, 1999:29-30). Pemikiran Barat biasanya mengartikan mimpi sebagai alam- bawah-sadar, jadi bukan merupakan jenis kesadaran manusia. Ketika manusia bermimpi berarti ia masuk dalam alam-bawah- sadar, yang jelas berbeda dengan alam kesadaran manusia. Dalam Mandukya Upanisad, keadaan bermimpi juga merupakan suatu jenis kesadaran. Keadaan mimpi merupakan jenis kesadaran yang kedua setelah keadaan jaga (Vaisvanara). Keadaan mimpi berarti suatu keadaan kesadaran yang menarik diri dari dunia luar (dunia objektif keadaan jaga) dan mempersamakan dirinya dengan badan halus (Chinmayananda, 1999:33). Objek-objek yang hadir dalam mimpi berasal dari kesan-kesan selama manusia berada dalam keadaan jaga, sehingga apa-apa yang timbul dalam mimpi tidak lain berasal dari pikiran si pemimpi sendiri. Dunia objek indera Vaisvanara berpindah melalui pikiran menuju dunia mimpi. Jika pada keadaan jaga, dunia objektif adalah dunia objek indera-indera yang diterima melalui organ persepsi, maka pada keadaan mimpi dunia objektifnya adalah dunia objektif batin yang berasal dari pikirannya sendiri. Objek-objek yang ada di dalam mimpi tidaklah nyata, semuanya bersifat khayal. Dalam mimpi semua objeknya diterima oleh mental manusia, sehingga mustahil untuk mengatakan bahwa mimpi itu nyata. Misalnya, seorang manusia bermimpi naik pesawat. Ketika manusia tersebut bangun, maka ia akan segera
  • 6. Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 1, April 2008 6 sadar bahwa hal itu tidak mungkin terjadi, mengingat baru saja ia naik pesawat dan tiba-tiba sudah berada di dalam kamarnya sendiri. Lagi pula, akan sangat menggelikan bila mempercayai sebuah pesawat yang memasuki kamar tidur untuk kemudian menghilang begitu saja, si pemimpi pun tidak pergi dan masih berada di kamar tidur. Manusia bermimpi ketika ia tidur. Hal ini merupakan karakteristik umum pertama dari keadaan bermimpi. Dalam keadaan tidur, mimpi dapat hadir dan memberi semacam pengalaman tertentu. Sigmund Freud, pencetus psikoanalisis, menyatakan bahwa mimpi dan tidur memiliki hubungan yang erat dan mimpi hanyalah merupakan reaksi tidak teratur dan fenomena mental yang berasal dari stimulasi fisik (Freud, 2002:84-86). Ada titik persamaan antara Sigmund Freud dan Mandukya Upanisad. Keduanya sama-sama menyatakan bahwa mimpi merupakan kerja pikiran. Objek-objek yang terkumpul selama dalam keadaan jaga coba dimunculkan kembali. Dalam kenyataannya, apa yang dimunculkan itu sering kali berbeda bahkan bertentangan dengan keadaan selama berada di dunia indera. Hal ini karena adanya kreasi dari pikiran, oleh sebab itu pikiran menjadi asal mula dari keadaan mimpi. Apabila dikatakan bahwa mimpi itu sebagai tidak nyata, maka hampir semua orang akan menyetujuinya. Savami Chinmayananda dalam kajiannya tentang Mandukya Upanisad menyebutkan beberapa alasan mengapa mimpi dikatakan sebagai tidak nyata. Salah satunya adalah bahwa mimpi dikatakan sebagai tidak nyata karena objek-objek yang dikenali dalam keadaan mimpi diterima di dalam diri manusia (Chinmayananda, 1999:113). Ketika manusia bermimpi menaiki seekor gajah, dapat dipastikan bahwa gajah itu tidak mungkin berada dalam diri manusia. Dalam diri manusia tidak mungkin ada ruang atau tempat yang menampung keberadaan gajah tersebut. Kriteria ruang ini menjadi alasan mengapa mimpi menaiki gajah, sebagai contoh, merupakan suatu hal yang tidak nyata. Apabila ingin ditafsirkan, mungkin saja ada yang berpendapat bahwa ketika seseorang bermimpi menaiki gajah sebenarnya itu merupakan suatu keinginan yang terpendam. Ia sebenarnya punya keinginan untuk bisa menaiki gajah di dunia nyata (indera), akan tetapi karena beberapa hal keinginan tersebut belum dapat direalisasikan. Mungkin juga ada yang menafsirkan bahwa orang tersebut pernah mendapat pengalaman buruk berkaitan dengan gajah, misalnya terkena semprotan belalai gajah. Mimpi
  • 7. Faisal Yan Aulia, Kesadaran Atas Realitas… 7 tersebut sebenarnya ingin menunjukkan keinginan terpendam, bahwa ia sebenarnya lebih berkuasa daripada gajah. Mimpi menaiki gajah diartikan sebagai simbol kekuasaan dirinya atas seekor gajah. Sebagai kreasi dari pikiran, maka dapat dipastikan bahwa mimpi itu tidak nyata, artinya bahwa mimpi tidak memiliki eksistensi yang nyata dalam realitas. Pikiran mengolah kesan-kesan yang didapat dari keadaan jaga (dunia objektif indera) dan kemudian memunculkannya dalam keadaan mimpi. Hasil dari pikiran yang berkreasi ini seakan-akan terlihat begitu nyata dalam beberapa saat, namun seketika menjadi berubah ketika terjaga dari tidur. Ada semacam kebingungan bila mengingat peristiwa- peristiwa yang terjadi dalam alam mimpi, kadang-kadang terasa kabur dan tidak masuk akal. Keadaan kesadaran yang ketiga adalah keadaan tidur lelap. Dalam keadaan tidur lelap, pikiran dan kecerdasan beristirahat, akibatnya seluruh peralatan persepsi berhenti bekerja. Keadaan ini seperti berada di sebuah dunia yang kosong. Keadaan tidur lelap, yang disebut dengan Prajna, merupakan suatu pengalaman hidup ketika manusia tidak berada dalam keadaan jaga (Vaisvanara) atau dalam keadaan mimpi (Taijasa). Kesulitan dalam melukiskan keadaan ini mengakibatkan dipilihnya bahasa penyangkalan (negasi) sebagai cara terbaik untuk mendefinisikannya. Penyangkalan total dan ketidaktahuan merupakan satu-satunya pengalaman yang dialami dalam keadaan tidur lelap (Chinmayananda, 1999:35). Keadaan yang dideskripsikan sebagai penyangkalan total dan ketidaktahuan tersebut merupakan sebuah dunia yang gelap dan kosong. Dunia yang gelap dan kosong dalam keadaan tidur lelap ini tidak dapat menghasilkan suatu pengetahuan. Dalam keadaan ini, seseorang merasa tidak menjadi apapun.; benar-benar suatu keadaan yang susah untuk digambarkan, karena yang ada hanyalah kekosongan dan ketidaktahuan. Bidang kesadaran yang melampaui ketiga kesadaran lain, yaitu kesadaran dalam keadaan jaga (Vaisvanara), keadaan mimpi (Taijasa) dan keadaan tidur lelap (Prajna) adalah suatu keadaan yang disebut Turiya. Keadaan Turiya sebagai keadaan kesadaran tertinggi sulit untuk dijelaskan. Svami Chinmayananda menyatakan bahwa bahasa tidak dapat melukiskan Keberadaan Tertinggi (Tuhan). Bahasa manusia adalah terbatas, tidak bisa mengungkapkan hal-hal yang sifatnya tidak terbatas; Realitas Tertinggi melampaui bahasa manusia (Chinmayananda, 1999:59).
  • 8. Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 1, April 2008 8 Menurut Svami Chinmayananda, bahasa negasi atau bahasa penyangkalan menjadi instrumen yang paling tepat untuk menggambarkan Realitas Tertinggi. Kata “tidak” dan “bukan” sebagai kata-kata yang bersifat negatif menjadi kata-kata yang seringkali digunakan; kata-kata ini memperoleh posisi yang istimewa dalam penggambaran akan Realitas. Realitas Tertinggi adalah “bukan ini, bukan ini” (neti, neti). Bentuk kalimat-kalimat positif tidak berfungsi ketika mendefinisikan apa itu Realitas Tertinggi. Turiya merupakan suatu keadaan yang mencerminkan Yang Absolut, mengatasi tiga keadaan kesadaran yang masih diliputi dengan ketidaktahuan (Avidya). Kebahagiaan (Ananda) selalu melingkupi keadaan yang tercerahkan ini. Tidak ada kejahatan dan keburukan, yang ada hanyalah kesempurnaan (Aurobindo, 1950: 438). C. Hakikat Realitas Dunia objektif indera yang merupakan bagian terbesar dari pengalaman hidup manusia menurut Mandukya Upanisad hanya merupakan sebuah dunia yang tidak nyata. Objek-objek indera manusia adalah hasil dari proyeksi pikiran. Dunia luar pada hakikatnya adalah ilusi yang timbul karena akibat dari kerja pikiran. Svami Chinmayananda memberi beberapa argumentasi berdasar penjelasan dari Gaudapada tentang ketidaknyataan dunia objektif indera seperti yang akan disebutkan di bawah ini. Keadaan jaga (Vaisvanara) yang merupakan sebuah dunia objektif indera tidak dapat disebut sebagai kenyataan yang sebenarnya karena objek-objek tersebut tidak mungkin ada saat ini bila tidak ada pada awal dan pada akhir. Segala sesuatu yang bisa dicerap oleh organ-organ indera manusia hanyalah ilusi dari pikiran itu sendiri. “Yang tidak ada pada awal dan pada akhir, semestinya demikian pula pada saat sekarang ini. Objek-objek yang kita lihat sebagai khayalan, namun mereka dianggap sebagai nyata” (Chinmayananda, 1999:118). Sebagai contoh, seseorang merasa melihat sesosok hantu di tengah sawah. Orang itu melihatnya dari balik jendela rumahnya yang ada di pinggir sawah. Setelah didekati ternyata apa yang ia kira sebagai hantu hanyalah sebuah boneka kayu yang ditancapkan di tanah yang berfungsi sebagai pengusir burung-burung, orang Jawa
  • 9. Faisal Yan Aulia, Kesadaran Atas Realitas… 9 menyebutnya dengan istilah “memedi sawah”. Hantu tersebut pada awalnya memang tidak ada, yang ada hanyalah boneka kayu. Pada akhirnya juga diketahui bahwa hantu tersebut memang tidak ada, tidak seperti yang ia anggap pada awalnya. Intinya, hantu yang dianggap ada oleh orang tersebut sebenarnya tidak ada. Pada awalnya hantu tersebut tidak pernah ada dan pada akhirnya juga memang tidak ada. Apabila dikatakan bahwa objek-objek indera dapat memberi efek yang nyata bagi manusia, bukankah hal ini menunjukkan sebuah bukti bahwa objek-objek tersebut benar-benar nyata? Misalnya, makanan bisa memberi efek kenyang, minum bisa menghilangkan rasa dahaga, baju baru dapat memberi kesenangan, dan lain sebagainya. Svami Chinmayananda menjawab pertanyaan ini dengan memakai penjelasan sebagai berikut. “Tanpa diragukan lagi, makanan dan keadaan jaga secara pasti memiliki suatu kemampuan untuk memuaskan rasa lapar tetapi kepuasan yang diperoleh dalam keadaan jaga itu disangkal dalam mimpi! Dalam waktu setengah jam setelah makan kenyang, seseorang akan mengalami keadaan yang benar-benar lapar dan keadaan menderita kelaparan dalam mimpi! Makanan yang bertindak selaku pemberi kepuasan yang pasti dalam keadaan jaga, telah menjadi tak berdaya dan tiada guna dalam keadaan mimpi. Kemampuan makanan untuk memuaskan rasa lapar disangkal dan tidak diakui dalam kondisi mimpi, sementara ia juga nyata, di mana makanan dalam mimpi dapat memuaskan dengan kemampuan yang sama, rasa lapar dalam mimpi, sehingga ia bertindak selaku kegunaan mimpi dalam menciptakan kepuasan mimpi kepada si pemimpi. Oleh karena itu, semua objek yang diterima dianggap khayalan, karena mereka memiliki awal dan akhir. Kepuasan khayal dalam mimpi disangkal dalam keadaan jaga. Demikian pula halnya dengan objek-objek keadaan jaga yang bertindak selaku kegunaan keadaan jaga, disangka dalam kondisi mimpi. Sebab itu keduanya hanyalah suatu khayalan belaka. Objek-objek keadaan jaga hanya memiliki realitas seperti objek-objek keadaan mimpi saja” (Chinmayananda, 1999:120). Berdasarkan apa yang dinyatakan oleh Svami Chinamayananda di atas, dapat disimpulkan bahwa realitas dalam keadaan jaga hanya berlaku dalam keadaan itu sendiri. Contoh lain, sebelum tidur
  • 10. Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 1, April 2008 10 seseorang hanya sebagai manusia biasa yang tidak memiliki kedudukan yang tinggi. Setelah masuk dalam dunia mimpi, tiba-tiba orang itu berubah status menjadi seorang Raja Yunani. Tidak mungkin dalam waktu yang sesingkat ini seseorang bisa berubah dengan begitu cepat. Begitu bangun tidur, ia kembali lagi seperti semula. Singkatnya, pengalaman dalam keadaan jaga dan keadaan mimpi saling menyangkal. Argumen lain yang digunakan untuk menjelaskan ketidaknyataan dunia objektif indera juga berdasarkan apa yang ditulis oleh Gaudapada. “Imajinasi subjektif yang ada hanya dalam pikiran, yang dikenal sebagai tak bermanifestasi, demikian pula yang ada di dunia luar, dalam bentuk yang berwujud sebagai objek- objek yang diterima, keduanya merupakan imajinasi. Satu- satunya perbedaan antara keduanya adalah dalam organ- organ indera, dengan cara mana dunia luar tampaknya dikenali” (Chinmayananda, 1999:132). Dunia luar yang tertangkap oleh panca indera manusia sebenarnya tidak berbeda dengan objek-objek yang dikenali dalam mimpi. Meskipun dalam mimpi objek-objek yang terekam tidak berwujud dan memiliki perbedaan yang jelas dengan objek-objek dalam keadaan jaga, semuanya itu hanyalah proyeksi dari pikiran. Objek dunia luar menjadi berwujud karena dikenali oleh pikiran melalui organ-organ indera, sedangkan objek-objek dalam keadaan mimpi hanya dikenali oleh pikiran tanpa melibatkan organ indera. Segala hal yang bisa dipersepsi oleh indera manusia hanya sekedar penumpangan terhadap Realitas. Analogi hantu dan “memedi sawah” di atas sekiranya dapat menjelaskan hal ini. “Memedi sawah” itu adalah Realitas (Atman), sedangkan hantu itu adalah dunia objektif indera. Realitas sesungguhnya adalah “memedi sawah” yang apabila dilihat dari kejauhan oleh orang yang berada dalam ketidaktahuan (Avidya) tampak seperti hantu yang melayang-layang di atas persawahan. Setelah orang tersebut lepas dari kondisi ketidaktahuan (Avidya) dan memasuki kondisi pengetahuan sempurna yaitu keadaan keempat (Turiya), maka akan menjadi jelaslah bahwa hantu itu hanyalah ilusinya saja; “ada” yang sesungguhnya adalah “memedi sawah”. Realitas itu tertutupi oleh ketidaktahuan yang merupakan sebab, akibatnya adalah kejamakan dunia objektif indera. Ketika panca indera mempersepsi dunia luar, kita merasa bahwa segalanya dalam proses berubah. Perubahan menjadi suatu
  • 11. Faisal Yan Aulia, Kesadaran Atas Realitas… 11 hal yang akan terus menerus terjadi di dunia ini; Heraklitos mengemukakan pendapat ini ribuan tahun lalu. Dari dunia yang selalu berubah ini maka akan timbul pertanyaan, adakah di dunia ini yang tetap? Gaudapada mengatakan bahwa yang berubah tak mungkin abadi, hanya Yang Abadi sajalah yang merupakan dasar dan hakikakat kenyataan, yaitu Atman. Ia sampai pada kesimpulan bahwa alam semesta ini sebenarnya hanyalah suatu rupa saja (Radhakrishnan, 1992: 76). Dunia ini nyata hanya sejauh berada satu bidang kesadaran saja, yaitu keadaan jaga. Berdasarkan pemaparan mengenai keadaan jaga yang sadar akan dunia objektif indra, dapat ditarik kesimpulan bahwa pikiran lah yang “menciptakan” dunia. Dunia indra dapat disadari keberadaannya karena ada pikiran yang bekerja. Maka dari itu, Realitas tertinggi hanyalah satu yaitu Brahman atau Atman yang homogen. Pandangan seperti ini dapat digolongkan sebagai monisme yang bersifat spiritualistis. Yang “Ada” itu hanya Satu, kenyataan memuat monisme dialektis: Atman berkembang menjadi Paraatman, yang tidak lain adalah Brahman atau Ada Mutlak (Bakker, 1992: 28). Atman adalah diri empiris-eksistensial, sedang Paraatman adalah diri metafisik. Yang “ada” atau kenyataan di sini meliputi tiga bidang kesadaran manusia, yaitu “ada” dalam dunia kenyataan objektif yang tertangkap oleh panca indera, “ada” dalam dunia mimpi dan “ada” dalam “kekosongan” atau “ada” dalam “ketiadaan”. D. Epistemologi Metafisis Lalu muncul pertanyaan, bagaimana caranya agar manusia bisa memahami hal ini? Svami Chinmayananda menyatakan bahwa untuk bisa sampai ke pemahaman ini, yaitu memahami realitas, jalan yang harus ditempuh adalah jalan pengetahuan (jnana-marga). Jalan ini disebut dengan Viveka. Viveka merupakan pengetahuan diskriminatif, yaitu pengetahuan yang dihasilkan dari jalan pemikiran diskriminatif (Chinmayananda, 1999:181) Jalan pemikiran diskriminatif ini berupa sebuah jalan untuk menemukan Sang Diri pada diri manusia dengan cara menghaluskan pikiran dan kecerdasan manusia melalui proses pemikiran rasional. Kata menghaluskan (sublimasi) berarti mengolah, dengan kata lain, pikiran dan kecerdasan diolah agar tidak tergantung pada objek- objek indera luar. Sublimasi juga berarti bahwa pikiran dibimbing
  • 12. Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 1, April 2008 12 untuk menyeleksi objek-objek yang dipersepsi oleh organ-organ indera. Viveka mengantarkan manusia memahami Realitas, memperoleh pengetahuan yang benar tentang hakikat realitas dan pada akhirnya akan membawa manusia mencapai kesadaran Turiya, kesadaran tertinggi yang menyatu dengan Diri-Universal (Brahman). Atman bersatu dengan Brahman, yang pada dasarnya adalah satu. Hal ini merupakan maksud dari analogi ruang (akasa) dalam kendi, yaitu bahwa ruang kosong dalam kendi bersatu dengan ruang di luar kendi tersebut. Rasionalisasi atau penggunaan nalar untuk memahami teks- teks kitab suci dalam jalan pemikiran diskriminatif ini mengambil bentuk kajian terhadap tiga keadaan kesadaran manusia yaitu keadaan jaga (Vaisvanara), keadaan mimpi (Taijasa) dan keadaan tidur lelap (Prajna). Rasionalisasi ini berarti menjelaskan teks-teks kitab suci dengan bantuan penalaran (rasio). Dengan menggunakan penalaran, ketiga keadaan kesadaran manusia ini dibahas dan dicari titik persamaannya. Dunia objektif sama tidak nyatanya dengan dunia mimpi, keduanya hanyalah kerja pikiran. Keadaan tidur lelap tidak berisi pengetahuan, ketidaktahuan (avidya) adalah intinya. Pikiran berhenti bekerja selama keadaan tidur lelap ini, akan tetapi ini bukanlah kebahagiaan yang sebenarnya meskipun digambarkan sebagai penuh kebahagiaan. Pada intinya, hakikat realitas bisa diketahui ketika seseorang telah mencapai kesadaran Turiya. Keadaan ini dicapai lewat jalan pengetahuan (jnana-marga), sebuah jalan pengetahuan yang didasarkan pada jalan pemikiran diskriminatif (Viveka) sebagai sebuah bentuk epistemologi metafisis. E. Penutup Dari kajian Svami Chinmayananda tentang Mandukya Upanisad dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Kefanatikan buta (taklid) dalam kehidupan beragama harus dihindari. Akal lah yang bisa membebaskan manusia dari sikap taklid. Bahkan Svami Chinmayananda dalam kajiannya ini menyatakan bahwa sebuah kitab suci tidak dapat diterima kebenarannya bila tidak dapat dimengerti oleh akal. Usaha untuk mendamaikan akal dan iman ini, sebagai suatu permasalahan klasik, patut dihargai. 2. Setiap segi kehidupan manusia harus dilandasi oleh pengetahuan.
  • 13. Faisal Yan Aulia, Kesadaran Atas Realitas… 13 3. Pengetahuan yang benar bisa mencegah manusia untuk tidak larut dan tidak terikat dalam gemerlapnya kehidupan, dan sebaliknya bisa mengantarkan manusia menjadi gemerlap- gemerlapnya dunia. Kesimpulan-kesimpulan yang didapat ini sedikit banyak dapat menjadi pertimbangan dalam menjalani kehidupan yang semakin kompleks dan semakin beratnya tantangan yang harus dihadapi manusia dewasa ini. -JF- DAFTAR PUSTAKA Aurobindo, Sri, 1950, Essays on the Gita, The Sri Aurobindo Library, New York. Bakker, Anton, 1992, Ontologi, Kanisius, Yogyakarta. Chinmayananda, Svami, 2000, Mandukya Upanisad, terjemahan: I Wayan Maswinara dari judul asli Discourses on Mandukya Upanisad with Gaudapada’s Karika, Paramita, Surabaya. Freud, Sigmund, 2002, Psikoanalisis, terjemahan: Ira Puspitorini dari judul asli A General Introduction to Psychoanalysis, Ikon Teralitera, Yogyakarta. Radhakrishnan, Sarvepalli, 1992, Upanisad Utama Jilid I, terjemahan: Yayasan Parijata dari judul asli The Principal Upanisads, Yayasan Dharma Sarathi, Jakarta. Radhakrishnan, Sarvepalli, 1992, Upanisad Utama Jilid II, terjemahan: Agus S. Mantik dari judul asli The Principal Upanisads, Yayasan Dharma Sarathi, Jakarta. Catatan: Svammi Chinmayanda lahir pada tanggal 8 Mei 1916 di Ernakulam, suatu daerah di India. Keluarganya merupakan sebuah keluarga bangsawan Hindu yang taat, yang disebut dengan Poothampalli. Ia belajar selama 12 tahun di pegunungan Himalaya di bawah bimbingan Svami Tapovan Maharaj (atas rekomendasi dari Svami Shivananda yang melihat ada potensi besar pada diri Svami Chinmyananda) dan meninggal di San Diego, California pada tanggal 3 Agustus 1993.
  • 14. LANDASAN FILOSOFIS MAZHAB HUKUM PROGRESIF: TINJAUAN FILSAFAT ILMU Oleh: Rizal Mustansyir1 Abstract The discourse on the progressive law blows up recently. The assumption which declared that “law is for human” strengthened the progressive law position. This progressive law condition contradicts to the positive law which pretend to be formalistic. The law environment in Indonesia which is coloured with crisis of distrust makes the idea of progressive law accepted enthusiasticly. While the view that “law as a process, law in the making” takes the idea of progressive law as an actual thing. The problem is that the progressive law has not been established a theory yet. It still need to be explored intensively. This passage examines the progressive law in the perspective of philosophy of science, because whatever theory or sosial movement must have had a philosophical ground. Keywords: The progressive law, Perspective of philosophy of science A. Pendahuluan Gagasan selalu berkembang lebih cepat daripada kenyataan yang terjadi. Hal yang demikian berlaku pula bagi hukum progresif sebagai sebuah gagasan yang merespon fenomena hukum yang terjadi di Indonesia. Ketika hukum sebagai satu kenyataan yang dianggap powerless, tak berdaya mengantisipasi kejahatan, maka muncullah semangat baru untuk mengatasi kejumudan berupa hukum progresif. Kendati gagasan tentang hukum progresif baru dikumandangkan beberapa pakar hukum di Indonesia, di antaranya oleh Satjipto Rahardjo, namun tanggapan cukup meluas di kalangan masyarakat ilmiah, bahkan masyarakat awam. Alasannya cukup sederhana; pertama, kejahatan sistemik yang melanda Indonesia semisal korupsi telah menimbulkan dampak luas, sehingga korupsi ditahbiskan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) bagi kehidupan bangsa. Untuk itu masyarakat membutuhkan perangkat 1 Dosen Fakultas Filsafat UGM.
  • 15. Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 1, April 2008 16 hukum yang dipandang adekuat untuk mengatasi kejahatan tersebut. Kedua, gagasan tentang hukum progresif belum lagi merupakan teori yang mapan (established theory), sehingga lebih mudah dibicarakan pada tataran wacana (discourse) yang mengundang masukan dari berbagai pakar, tidak hanya pakar hukum, melainkan juga pakar dari berbagi disiplin ilmu. Ketiga, setiap manusia pasti memiliki idealisme yang tinggi untuk meraih sesuatu, hukum progresif memenuhi persyaratan idealisasi, karena sangat menyentuh hasrat atau keinginan manusia akan keadilan (will to justice). Berbagai alasan tentang kebutuhan atas hukum yang dapat mengatasi semua problema hukum cenderung bersifat das Sollen, perihal seharusnya ketimbang das Sein, perihal senyatanya. Namun das Sollen sangat dibutuhkan manusia, karena terkait dengan dimensi moralitas. Hukum adalah persoalan manusia yang berujung pada titik omega berupa keadilan, sedangkan keadilan itu sendiri merupakan salah satu wajah ideal dari moral. Dengan demikian hukum harus terkait dengan moral, manakala diinginkan untuk memiliki kekuatan yang mengikat sekaligus membangkitkan kesadaran manusia tentang substansi hukum. Kesadaran manusia merupakan mikro kosmos dari jagad raya hukum. Sedahsyat apa pun aturan dibuat, tanpa didorong oleh kesadaran si pelaku, maka hukum hanya menjadi lembaran dokumen tanpa ruh. B. Asumsi Hukum Progresif Satu pemikiran ilmiah lazimnya berangkat dari persoalan (problem). Archie Bahm (1986: 6) menegaskan bahwa titik tolak penting dalam penelitian ilmiah ialah problem. Satu penelitian ilmiah bertitik tolak dari permasalahan tertentu yang menarik untuk dipecahkan oleh seorang peneliti atau ilmuwan. Masalah bisa ditemukan dalam berbagai literatur atau kepustakaan yang dibaca, sehingga melahirkan rasa ingin tahu (curiousity) yang lebih besar terhadap satu pokok persoalan. Masalah juga bisa ditemukan melalui diskusi, baik yang sifatnya ringan maupun yang berat atau ketat ilmiah sehingga mengundang rasa ingin tahu atas satu fokus permasalahan. Bisa jadi masalah penelitian berawal dari pengalaman hidup sehari-hari, perihal yang dipandang biasa (ordinary) oleh orang awam bisa menjadi gagasan ilmiah di kalangan para ilmuwan. Kadangkala permasalahan bisa muncul dalam bentuk intuitif, yakni kilatan pengetahuan yang muncul dalam diri seseorang secara spontan, tanpa direncanakan terlebih
  • 16. Rizal Mustansyir, Landasan Filosofis Mazhab Hukum... 17 dahulu. Acapkali permasalahan timbul lantaran teori yang ada dipandang tak mampu memecahkan, minimal tidak memuaskan, problem kongkret di masyarakat. Demikian pula halnya dalam hukum progresif, hal terakhir inilah yang paling menonjol ketika teori hukum yang ada dipandang tidak lagi memadai untuk mengatasi problem hukum di masyarakat. Salah satu problem hukum dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang sulit untuk diatasi adalah korupsi. Magnis Suseno, salah seorang pakar Filsafat Sosial, menengarai bahwa korupsi tidak berkurang pasca kejatuhan Orde Baru, karena sewaktu Soeharto berkuasa ia masih mampu mendisiplinkan para bawahannya. Namun ketika Soeharto jatuh, sifat asli mereka semakin kelihatan. Mereka hanya mementingkan diri sendiri dan menggunakan kesempatan untuk merampok harta negara sebanyak mungkin (Magnis-Suseno, 2003). Satjipto Rahardjo (2004) menegaskan bahwa tindakan pro-aktif aparat kejaksaan untuk mengungkap kasus korupsi sangat dinantikan masyarakat. Selain membutuhkan jaksa yang berani, Indonesia juga membutuhkan penegakan hukum yang progresif. Tuntutan kebutuhan akan hukum progresif sebagaimana yang ditengarai oleh Satjipto Rahardjo berangkat dari kekecewaan masyarakat atas ketidakmampuan aparat hukum untuk meminimalisasikan tinmdak pidana korupsi yang dijuluki sebagai extra ordinary crime (Yudoyono, 2005). Muladi bahkan melihat korupsi tidak lagi sebagai local matter tetapi sudah merupakan fenomena transnasional yang dapat mempengaruhi kehidupan internasional, sehingga dibutuhkan kerja sama internasional untuk mengendalikannya secara komprehensif dan multidisipliner (Muladi, 2004). Bayangkan saja tokoh masyarakat yang juga ilmuwan profesional seperti panitia KPU saja terlibat dalam masalah korupsi. Anggota DPR yang dianggap mampu mewakili aspirasi rakyat, malah melukai hati rakyat dengan perilaku korupsi. Kebutuhan akan hukum progresif dengan pendekatan yang komprehensif dan multidisipliner merupakan kata kunci untuk memahami asumsi yang ada di balik hukum progresif itu sendiri. Paling tidak ada beberapa asumsi yang perlu diperhatikan dalam hukum progresif. Pertama, Hukum adalah untuk manusia, bukan sebaliknya. Kehadiran hukum bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas dan besar. Kalau terjadi permasalahan di bidang hukum, maka hukum harus ditinjau dan diperbaiki, bukan manusia yang dipaksa untuk dimasukkan ke
  • 17. Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 1, April 2008 18 dalam skema hukum. Kedua, Hukum bukan institusi yang mutlak dan final, melainkan dalam proses untuk terus menjadi (law as a process, law in the making) (Satjipto Rahardjo, 2005). C. Keterkaitan Hukum Progresif dengan Teori lain Sebuah artikel (www.antikorupsi.org) yang berjudul “Rekonstruksi Birokrasi Kejaksaan dengan Pendekatan Hukum Progresif Studi Penyelidikan, Penyidikan dan Penuntutan Tindak Pidana Korupsi” menunjukkan kebersinggungan hukum progresif dengan beberapa teori. Pertama, teori hukum responsif dengan tokohnya Nonet & Selznick yang menginginkan agar hukum peka terhadap setiap perkembangan masyarakat. Salah satu ciri yang menonjol dari teori hukum responsif ini ialah menawarkan lebih dari sekadar procedural justice, namun lebih berorientasi pada keadilan dengan memperhatikan kepentingan umum. Teori ini lebih menekankan pada substantial justice. Persoalan keadilan lebih dipahami sebagai quid ius, bukan quid iuris. Kedua, teori hukum realis atau legal realism yang ditokohi Oliver Wendell Holmes yang terkenal dengan adagium “The life of the law has not been logic; it has been experience”. Bahwasanya hukum tidak sebatas logika, melainkan lebih pada pengalaman. Hukum tidak dilihat dari kacamata hukum itu sendiri, melainkan lebih dilihat dan dinilai dari tujuan sosial yang ingin dicapai, serta akibat yang ditimbulkan dari cara bekerjanya hukum. Pemahaman atas hukum tidak hanya bersifat tekstual, melainkan melampaui dokumen hukum. Ketiga, sociological jurisprudence yang ditokohi Roscoe Pound mengkaji hukum tidak hanya sebatas pada studi tentang peraturan, tetapi juga melihat efek dan bekerjanya hukum (law as a tool for social engineering). Hukum merupakan alat rekayasa sosial. Keempat, hukum alam (natural law) yang memberi penjelasan tentang hal-hal yang meta-juridical atau sesuatu di balik hukum. Hukum alam memandang hukum tidak terlepas dari nilai- nilai moral yang bersifat transendental. Kelima, studi hukum kritis (critical legal studies) yang ditokohi Roberto M. Unger. Mazhab ini tidak puas dengan hukum modern yang sarat dengan prosedur. Gerakan studi hukum kritis telah menggerogoti gagasan pokok pemikiran hukum moderen dan menyodorkan satu konsepsi hukum yang secara tak langsung mengenai masyarakat dan memberi gambaran tentang satu praktek
  • 18. Rizal Mustansyir, Landasan Filosofis Mazhab Hukum... 19 politik. Dua perhatian yang paling menonjol dari gerakan ini ialah kritik terhadap formalisme dan objektivisme (Unger, 1999: xxv). Pengaitan hukum progresif dengan kelima teori hukum pendahulunya ini cukup beralasan (Rationis sufficientis), karena dinamika masyarakat yang ditangkap oleh berbagai teori hukum yang telah mengemuka tentu mengalami perubahan yang signifikan. Di samping itu sebuah teori dalam disiplin ilmu apa pun hanya dipandang sebagai bentuk kebenaran sementara (meminjam prinsip Falsifiable Karl Popper) sebelum ditemukan teori lain yang dipandang lebih sophisticated. Kesadaran akan hukum sebagai sebuah proses untuk terus menjadi, melahirkan kesadaran baru bahwa hukum harus terus menerus mencari jati diri. Ibarat ular yang terus berganti kulit, maka diperlukan keterbukaan wawasan dari para pakar hukum untuk terus melangkah ke arah idealisme hukum dan melawan bentuk kemandegan hukum dan pendewaan atas berhala teoritis dalam panggung ilmiah (Francis Bacon menyebutnya dengan istilah Idola Theatri). D. Landasan Filosofis Hukum Progresif Hukum progresif memang masih berupa wacana, namun kehadirannya terasa sangat dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia yang sudah mengalami krisis kepercayaan terhadap hukum yang berlaku sekarang ini. Hukum progresif belum lagi menampakkan dirinya sebagai sebuah teori yang sudah mapan. Menurut pemikiran Imre Lakatos (Chalmers, 1983: 85), apa yang kita pikirkan sebagai “teori” merupakan kumpulan yang sesungguhnya rapuh, berbeda dengan teori yang dihimpun dari beberapa gagasan umum atau yang biasa dinamakan Lakatos dengan inti pokok program (hard core). Lakatos menamakan kumpulan ini dengan istilah program riset (Research Programs). Para ilmuwan yang terlibat dalam program ini akan melindungi inti teori dari usaha falsifikasi di belakang suatu sabuk pelindung ( a protective belt) dari hipotesis pelengkap (auxiliary hypotheses). Demikian pula halnya dengan hukum progresif, harus ada inti pokok program (hard core) yang perlu dijaga dan dilindungi dari kesalahan-kesalahan yang mungkin timbul ketika hukum progresif itu akan diterapkan ke dalam peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, manakala hukum progresif dikembangkan dari wacana (discourse) menjadi sebuah teori, maka haruslah dilengkapi dengan hipotesis pelengkap (auxiliary hypotheses). Hal inilah yang nampaknya belum dimiliki hukum progresif, sehingga pencetus ide (Satipto Rahardjo) harus
  • 19. Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 1, April 2008 20 dapat mengembangkan program riset ilmiah tentang hukum progresif secara serius, tidak hanya berhenti pada tataran wacana. Inti pokok program yang perlu dipertahankan dalam hukum progresif adalah hukum adalah untuk manusia, bukan sebaliknya. Adagium bahwa hukum adalah untuk manusia perlu dipertahankan dari berbagai bentuk falsifiable agar kedudukan hukum sebagai alat (tool) untuk mencapai sesuatu, bukan sebagai tujuan yang sudah final. Apa yang dimaksud dengan falsifiable disini meminjam istilah Popper, yaitu sebuah hipotesis atau teori hanya diterima sebagai kebenaran sementara sejauh belum ditemukan kesalahannya. Semakin sulit ditemukan kesalahannya, maka hipotesis atau teori itu justeru mengalami pengukuhan (corroboration). Setiap teori ilmiah, baik yang sudah mapan maupun yang masih dalam proses kematangan, memiliki landasan filosofis. Ada tiga landasan filosofis pengembangan ilmu, termasuk hukum, yaitu ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Landasan ontologis ilmu hukum artinya hakikat kehadiran ilmu hukum itu dalam dunia ilmiah. Artinya apa yang menjadi realitas hukum, sehingga kehadirannya benar-benar merupakan sesuatu yang substansial. Landasan epistemologis ilmu hukum artinya cara-cara yang dilakukan di dalam ilmu hukum, sehingga kebenarannya bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Landasan aksiologis ilmu hukum artinya manfaat dan kegunaan apa saja yang terdapat dalam hukum itu, sehingga kehadirannya benar-benar bisa dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Landasan ontologis hukum progresif lebih terkait dengan persoalan realitas hukum yang terjadi di Indonesia. Masyarakat mengalami krisis kepercayaan terhadap peraturan hukum yang berlaku. Hukum yang ada dianggap sudah tidak mampu mengatasi kejahatan kerah putih (white colar crime) seperti korupsi, sehingga masyarakat mengimpikan teori hukum yang lebih adekuat. Ketika kehausan masyarakat akan kehadiran hukum yang lebih baik itu sudah berakumulasi, maka gagasan tentang hukum progresif ibarat gayung bersambut. Persoalannya adalah substansi hukum progresif itu sendiri seperti apa, belum ada hasil pemikiran yang terprogram secara ilmiah. Landasan epistemologis hukum progresif lebih terkait dengan dimensi metodologis yang harus dikembangkan untuk menguak kebenaran ilmiah. Selama ini metode kasuistik, dalam istilah logika lebih dekat dengan pengertian induktif, lebih mendominasi bidang
  • 20. Rizal Mustansyir, Landasan Filosofis Mazhab Hukum... 21 hukum. Kasus pelanggaran hukum tertentu yang dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dicari dalam pasal- pasal hukum yang tertulis, menjadikan dimensi metodologis belum berkembang secara optimal. Interpretasi atas peraturan perundang- undangan yang berlaku didominasi oleh pakar hukum yang kebanyakan praktisi yang memiliki kepentingan tertentu, misalnya untuk membela kliennya. Tentu saja hal ini mengandung validitas tersendiri, namun diperlukan terobosan metodologis yang lebih canggih untuk menemukan inovasi terhadap sistem hukum yang berlaku. Misalnya interpretasi terhadap peraturan perundang- undangan yang tidak semata-mata bersifat tekstual, melainkan juga kontekstual. Hukum tidak dipandang sebagai kumpulan huruf atau kalimat yang dianggap mantera sakti yang hanya boleh dipahami secara harafiah. Metode hermeneutika boleh dikembangkan oleh para pakar hukum untuk membuka wawasan tentang berbagai situasi yang melingkupi kasus hukum yang sedang berkembang dan disoroti masyarakat. Misalnya kasus korupsi yang terjadi di kalangan birokrat, bukan semata-mata dipahami sebagai bentuk kecilnya gaji yang mereka terima, sehingga sikap permisif atas kejahatan korupsi yang dilakukan acapkali terjadi. Pemahaman atas sikap amanah atas jabatan yang mereka emban jauh lebih penting untuk menuntut rasa tanggung jawab (sense of responsibility) mereka. Hukum harus dikaitkan dengan kemampuan seseorang dalam mengemban amanah. Dengan demikian landasan epistemologis hukum progresif bergerak pada upaya penemuan langkah metodologis yang tepat, agar hukum progresif dapat menjadi dasar kebenaran bagi peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Apa yang dimaksud dengan metodologis disini ialah kajian perihal urutan langkah-langkah yang ditempuh (prosedur ilmiah), supaya pengetahuan yang diperoleh benar-benar memenuhi ciri ilmiah. Metodologi merupakan bidang yang ditempuh untuk memperoleh pengetahuan dan sekaligus menjamin objektivitas atau kebenaran ilmu. Metodologi merupakan proses yang menampilkan logika sebagai paduan sistematis dari berbagai proses kognitif yang meliputi: klasifikasi, konseptualisasi, kesimpulan, observasi, eksperimen, generalisasi, induksi, deduksi, dan lain-lain. (1984:48). Hukum progresif baru dapat dikatakan ilmiah manakala prosedur ilmiah berupa langkah-langkah metodis di atas sudah jelas. Landasan aksiologis hukum progresif terkait dengan problem nilai yang terkandung di dalamnya. Aksiologi atau Teori
  • 21. Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 1, April 2008 22 Nilai menurut Runes (1972:32) adalah hasrat, keinginan, kebaikan, penyelidikan atas kodratnya, kriterianya, dan status metafisiknya. Hasrat, keinginan, dan kebaikan dari hukum progresif perlu ditentukan kriteria dan status metafisiknya agar diperoleh gambaran yang lebih komprehensif tentang nilai yang terkandung di dalamnya. Kriteria nilai terkait dengan standar pengujian nilai yang dipengaruhi aspek psikologis dan logis. Hal ini sangat tergantung pada aliran filsafat yang dianut, kaum hedonist misalnya menemukan standar nilai dalam kuantitas kesenangan. Kaum idealis lebih mengakui sistem objektif norma rasional sebagai kriteria. Sedangkan kaum naturalis menemukan ketahanan biologis sebagai tolok ukur. Hukum progresif seharusnya lebih memihak pada cara pandang kaum idealis yang mengakui sistem objektif norma rasional, karena persoalan yang dihadapi hukum progresif harus dipandang secara objektif-rasionalistik. Pentingnya memahami landasan nilai dalam sebuah teori atau gerakan ilmiah adalah untuk mengetahui secara pasti orientasi atau kiblat dari teori atau aliran tersebut. Persoalan yang pokok dalam aksiologi ilmu adalah: Apa tujuan pengembangan ilmu? Apakah ilmu bebas nilai ataukah tidak? Nilai-nilai apa yang harus ditaati oleh ilmuwan? Tujuan ilmu yang hakiki adalah untuk kemaslahatan atau kepentingan manusia, bukan ilmu untuk ilmu (science to science). Ilmu yang dikembangkan untuk kepentingan manusia senantiasa akan memihak pada masyarakat, bukan pada dokumen atau lembaran ilmiah semata. Ketika kepentingan manusia terkalahkan oleh dokumen ilmiah, maka di sanalah dibutuhkan landasan nilai (basic of value) yang mampu memperjuangkan dan mengangkat martabat kemanusiaan sebagai suatu bentuk actus humanus. Hukum progresif harus memiliki landasan nilai yang tidak terjebak ke dalam semangat legal formal semata, namun memihak kepada semangat kemanusiaan (spirit of humanity). Problem ilmu itu bebas nilai atau tidak, masih menjadi perdebatan di kalangan ilmuwan.Namun mereka yang berpihak pada kubu bebas nilai (value-free) -- terutama kaum positivistik-- harus mengakui bahwa manusia tidak dapat diperlakukan seperti benda mati atau angka- angka yang bersifat exactly, measurable, clear and distinct. Manusia adalah mahluk berkesadaran yang memiliki nurani yang tidak sertamerta serba pasti, terukur, jelas dan terpilah. Manusia adalah mahluk dinamis yang selalu berproses dalam menemukan jati dirinya. Lantaran itu pula terma “kejahatan” (criminal) tidak
  • 22. Rizal Mustansyir, Landasan Filosofis Mazhab Hukum... 23 ditemukan dalam ranah benda mati atau dunia satwa, melainkan dalam kehidupan manusia. Ilmu selalu memiliki kepentingan, ujar Habermas. Ia menegaskan bahwa pemahaman atas realitas didasarkan atas tiga kategori pengetahuan yang mungkin, yakni informasi yang memperluas kekuasaan kita atas kontrol teknik; informasi yang memungkinkan orientasi tindakan dalam tradisi umum; dan analisis yang membebaskan kesadaran kita dari ketergantungannya atas kekuasaan. Dengan demikian hanya ada tiga struktur kepentingan yang saling terkait dalam organisasi sosial, yaitu kerja, bahasa, dan kekuasaan. (1971:313). Hukum progresif pun tak sepenuhnya bebas nilai, bahkan sangat terkait dengan kepentingan pembebasan kesadaran kita dari ketergantungan atas kekuasaan (politik, hukum positif, dan lain-lain). Nilai-nilai yang harus ditaati oleh ilmuwan (termasuk pakar hukum), tidak hanya peraturan perundang-undangan sebagai bentuk rule of the game dalam kehidupan berbangsa-bernegara, tetapi juga keberpihakan kepada kebenaran (truth), pengembangan profesionalitas yang menuntut pertanggungjawaban ilmiah dan lain sebagainya. E. Penutup Berdasarkan uraian di atas tentang hukum progresif yang ditinjau dari perspektif filosofis, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut. Pertama; terlalu dini untuk mengatakan bahwa hukum progresif itu sebagai sebuah teori, karena syarat bagi sebuah teori, yakni sudah melalui pengujian metodologis yang dapat dipertanggungjawabkan dalam komunitas ilmiah, belum lagi dipenuhi. Kedua, hukum progresif sebagai sebuah wacana cukup menarik minat dan perhatian masyarakat ilmiah, karena semangat pembaharuan dan pengembangan atas teori hukum yang selama ini berlaku, namun dianggap tidak mampu mengatasi persoalan hukum yang ada di masyarakat Indonesia. Ketiga, hukum progresif dapat berkembang menjadi sebuah teori hukum (tidak sekadar sebagai gerakan atau trend) apabila diletakkan dalam kerangka Scientific Research Program, program riset ilmiah dengan menemukan inti pokok program (hard core) yang terlindungi dari berbagai bentuk kesalahan (falsifiable). Keempat, hukum progresif sebagai sebuah gerakan/aliran/mazhab dapat terus dikembangkan, dengan syarat memiliki visi dan misi
  • 23. Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 1, April 2008 24 yang jelas. Sebab gerakan tanpa visi dan misi yang jelas, meskipun idenya bagus, pasti akan ditinggalkan oleh para pengikutnya. Kelima, landasan ontologis, epistemologis, dan aksiologis bagi hukum progresif perlu dikembangkan agar warna ilmiah- filosofisnya jelas dan dapat dipertanggungjawabkan dalam komunitas ilmiah. -JF- DAFTAR PUSTAKA Bahm, Archie., 1986, Metaphysics: An Introduction, Harper and Row Publishers, Albuquerque. Chalmers, A.F., 1983, Apa itu Yang Dinamakan Ilmu?, Terjemahan: Redaksi Hasta Mitra, What is this thing called Science? Penerbit Hasta Mitra, Jakarta. Habermas, Jurgen., 1971, Knowledge and Human Interest, Translated by: Jeremy J. Shapiro, Beacon Press, Boston. Magnis Suseno., 2003, “Pembangunan Berkelanjutan dalam Peningkatan Keimanan dan Ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa”, dalam Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII dengan tema Penegakan Hukum dalam Era Pembangunan Berkelanjutan, BPHN Depkeh & HAM, Denpasar, 14-18 Juli 2003. Muladi, 2004, “Substantive Highlights’s dari Konvensi PBB untuk Melawan Korupsi”, dalam Seminar Aspek Pertanggungjawaban Pidana Dalam Kebijakan Publik dari Tindak Pidana Korupsi, Diselenggarakan oleh Kejaksaan Agung RI bekerjasama dengan Fakultas Hukum UNDIP, Semarang, 6-7 Mei 2004. Satjipto Rahardjo., 2004, “Kejaksaan Segeralah Bertindak”, dalam KOMPAS, 2 Oktober, 2004. Satjipto Rahardjo., 2005 “Hukum Progresif, Hukum Yang Membebaskan”, dalam Jurnal Hukum Progresif, Volume 1/No.1/April 2005, PDIH Ilmu Hukum UNDIP. Susilo Bambang Yudoyono, 2005, Pidato disampaikan dalam Rapat Koordinasi tentang Percepatan Penanganan TPK antara Polri, Kejaksaan Agung, dan KPK, Jakarta, 7 Maret, 2005. Unger, Roberto M., 1999, Gerakan Studi Hukum Kritis, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, Jakarta.
  • 24. KONSEP SEMIOTIK CHARLES JENCKS DALAM ARSITEKTUR POST-MODERN Oleh: Dwi Murdiati1 Abstract The aims of this work are to know and to explain Charles Jencks’ semiotic concept of postmodern architecture. In one hand, Jencks’ postmodern architecture is criticism on modern and modern-late architecture. Jencks stresses on both differences that modern and modern-late architecture are based on a single coding only and postmodern architecture is based on double coding in their style. In other one, Jencks’ postmodern architecture is a semiotic entity that has to seen as a sign. This research is the figure factual history research. It was based on primary and secondary literature. It used description, interpretation and heuristic method. Jencks’s semiotic conception of postmodern architecture has adopted dualism semiotic of Saussuran like signifier-signified, langue-parole, denotation-connotation, and paradigmatic-sintag- matic. It also has adopted trilateral semiotic of Piercean like index, icon, symbol and sintagmatic, syntactic, semantic. Keywords: Postmodern architecture, double coding, dualism semiotic, trial semioti. A. Pendahuluan Dunia arsitektur merupakan bagian dari sumber berhembusnya gelombang post-modernisme. Satu arus pemikiran baru yang menekankan perspektif berbeda seperti pluralisme, relativisme, dan subjektivisme di tengah keyakinan modernisme akan individualisme, rasionalisme, komodifikasi, dan kapitalisasi. Dunia arsitektur untuk waktu yang panjang telah menikmati mapannya ruang dan bentuk simetris modern pada hampir segala bidang bangunan sampai pada akhirnya muncul arah pemikiran baru tentang konsep ruang dan bentuk yang non-konvensional, seperti, hybrid, local, hitch, eklektik, atas nama arsitektur post-modern. Charles Jencks adalah tokoh sentral bagi kemunculan gagasan baru 1 Akademisi dalam bidang Filsafat.
  • 25. Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 1, April 2008 26 di tengah kemapanan arsitektur modern. Jencks menyatakan bahwa impian utopis dari arsitek semisal Le Corbusier telah mengakibatkan munculnya bangunan pencakar langit yang steril dan berbagai proyek perumahan yang kaku. Charles Jencks mencoba mendekati persoalan arsitektur dengan cara berbeda, satu cara meneropong seluruh persoalan arsitektur secara filosofis. Pemikiran Jencks mengejutkan bagi banyak pemikir arsitektur yang terbiasa dengan pola a-historis dan a-linguistik. Jencks mengajak orang untuk menciptakan arsitektur baru yang didasarkan atas eklektisisme dan daya tarik popular. Jencks mengritik pandangan arsitektur modern yang hanya menekankan desain makna individualitas dalam ruang semantik yang sering berlawanan dengan keinginan para penghuninya (Jencks, 1980: 115). Manifestasi arsitektur modern yang dikritik oleh Jencks mencakup berbagai ranah. Jencks mengritik bentuk dramatik arsitektur modern yang telah menjadi klise dan sulit ditangkap dalam spirit yang berterus terang. Hal ini tentu berbeda dengan arsitektur post-modern yang telah menawarkan penerapan desain yang menggunakan bentuk bangunan dan ornament histories. Jencks sendiri menyebutnya dengan istilah Double coding (kode ganda) yaitu, satu bangunan yang berbicara dalam logat lokal, tetapi juga membuat komentar ironis atas bahasanya sendiri (Jencks, 1987: 352). Jencks menentang fungsi bangunan klasik yang terbatas pada kebutuhan waktu. Hal ini berbeda dengan arsitektur post- modern yang ditandai dengan eklektisme, yaitu proses memilih dari berbagai sumber dalam merancang bangunan (Sumalyo,1977: 23). Jencks juga mempersoalkan “bentuk–bentuk murni” arsitektur. Jencks menginginkan bangunan arsitektur sebagai ruang bagi upaya kreatif yang diselaraskan, tidak hanya pada fakta dan manfaat program, tetapi juga pada gagasan puitis dan penanganan bangunan arsitektur pada skala ruang yang besar. Hasilnya bukan saja khazanah fungsi dan keajaiban konstruksi, tetapi juga penyajian muatan simbolis dan tema fiksi estetis, yang bukan semata bentuk “murni-abstrak”, tetapi muncul sebagai objektivasi konkret yang dapat dicerap multi–sensorial (Klotz,1988: 6). Persoalan pemaknaan dan bahasa arsitektural menempati posisi sentral dalam pemikiran Jencks tentang arsitektur post- modern. Wacana pemaknaan ini termanifestasi secara mencolok dalam gagasan Jencks tentang semiotik di dalam arsitektur post-
  • 26. Siti Murdiati, Konsep Semiotik Charles Jenks… 27 modern. Jencks melihat bahwa tanda arsitektur seperti tanda-tanda yang lain adalah satu entitas yang memiliki dua wajah, yaitu memiliki ekspresi (penanda) dan isi (petanda). Penanda adalah bangunan itu sendiri, dan petanda adalah isi dari bentuk (Tanujaya, 1998: 6). Penanda biasanya termanifestasi dalam sebuah bentuk, ruang, permukaan, volume. Sementara petanda dapat berupa satu ide atau sekumpulan gagasan. Hubungan antara penanda dan petanda itulah yang menurut Jencks, memunculkan, signifikansi arsitektural (Jencks, 1980: 74). Arsitektur adalah penggunaan penanda formal (material dan pembatas) untuk mengartikulasikan petanda (cara hidup, nilai, fungsi) dengan menggunakan cara tertentu (struktural, ekonomis, teknis, mekanis ) (Jencks, 1980: 75 ). Arsitektur adalah sebuah teks. Teks adalah seperangkat tanda yang ditransmisikan dari seorang penerima melalui medium tertentu dan dengan kode–kode tertentu. Teks harus ditafsirkan. Menurut Jencks, walaupun teks tersebut tidak pernah sepenuhnya berhasil dalam merekonsiliasikan keseluruhan spektrum hidup, tetapi ia selalu merupakan sebuah usaha ke arah itu dalam bentuk analogi dan simbol (Jencks, 1980: 80-81). Di samping melihat tanda arsitektur dalam kerangka penanda dan petanda, dengan memanfaatkan, Jencks juga melihat tanda arsitektur dalam kerangka indeks, ikon, dan simbol. Bangunan arsitektur juga menganut hubungan kemiripan antara tanda dengan yang diwakilinya (ikon), menganut hubungan keterkaitan kausalitas (indeks), dan menganut konvensi atau kesepakatan yang dibentuk secara bersama oleh pengguna arsitektur (simbol) (Asmara, 2001: 127-128 ). Semiotik arsitektur Jencks juga melihat arsitektur dalam kerangka pragmatik, semantik, dan sintaktik. Berada dalam level pragmatik karena efek yang ditimbulkannya, semantik karena bentuknya dan sintaktik karena tata letaknya. Pemikiran Jencks tentang arsitektur post-modern sangat terkait dengan kritik Jencks atas kecenderungan arsitektur modern yang simetris, seragam, dan kaku. Semiotik arsitektur post-modern Jencks juga sangat terkait dengan teori semiotika dikotomis yang berasal dari Ferdinand de Saussure yang dikembangkan oleh Roland Barthes, dan semiotika trikotomis Charles S. Pierce yang C. Morris. Dengan demikian persoalan yang bisa diajukan adalah: pertama, bagaimana latar belakang dan pandangan Jencks tentang arsitektur post-modern?. Kedua, apa dan bagaimana pemikiran semiotika arsitektur post-modern Charles Jencks?
  • 27. Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 1, April 2008 28 B. Post-Modern dan Arsitektur Post-modern memiliki beragam arah dan interpretasi. Foster mendeteksi dua jalur dalam post-modern yang tampak bertentangan. Pertama adalah post-modern reaksi, yaitu post-modern yang menceraikan diri dari modern dan merayakan status quo. Kedua, post-modern resistensi, yaitu post-modern yang berupaya untuk melanjutkan proyek modern sembari menjadikannya subjek bagi re- evaluasi kritis (Leach, 1997: 202) Post-modern seringkali juga dimaknai dalam dua kerangka, yaitu kerangka periode dan kerangka epistemologi. Dalam kerangka periode, post-modern berarti masa yang datang setelah modern, seperti halnya periode modern yang datang setelah periode tradisional. Sementara dunia modern ditandai dengan diferensiasi, sedangkan dunia post-modern ditandai dengan de–diferensiasi. Diferensiasi terlihat jelas melalui batas–batas antar bangsa, antar ras, antar suku, dan antar golongan. De-diferensiasi ditandai ketika batas–batas tersebut semakin samar. Dalam kerangka epistemologi, post-modern bisa diartikan sebagai pencarian ketidakstabilan (instability). Sementara pengetahuan modern mencari kestabilitan melalui metodologi dengan “kebenaran” sebagai tujuan final, post- modern ditandai dengan runtuhnya kebenaran, rasionalitas, dan objektivitas (Prama, 1995: 101). Dalam konteks arsitektur, Jencks merujuk arsitektur post- modern pada langgam arsitektural yang popular dalam bangunan tahun 1980-an yang banyak bersandar pada motif-motif bergaya sejarah (Leach, 1997: 202). Jencks lebih melihat post-modern sebagai perspektif atau epistemologi. Arsitektur post-modern adalah double coding (kode ganda), arsitek modern single coding (kode tunggal). Pandangan hidup post-modern adalah pluralisme, sedangkan pandangan hidup modern adalah mekanisme (Alisyahbana, 1987: 6 ). Jencks membagi arsitektur ke dalam arsitektur modern, modern akhir dan post-modern. Arsitektur modern memiliki ide utopis, abstrak, deterministik, fungsional dan tunggal. Arsitektur modern akhir memiliki ide pragmatis, menekankan kebebasan, kelonggaran, bergaya di luar matra kesadaran, dan melakukan produksi satu modern yang dibuat-buat. Sedangkan arsitektur post- modern lebih cenderung popular, pluralis dan bergaya double coding (Jencks, 1980: 12) Semiotika adalah teori tentang pemberian tanda atau ilmu yang mempelajari tanda, serta makna yang terkandung di
  • 28. Siti Murdiati, Konsep Semiotik Charles Jenks… 29 dalamnya. Tanda (sign) merupakan fokus utama dalam semiotika. Dalam semiotika segala sesuatu dapat dikatakan sebagai tanda (sign). Ada dua pendekatan untuk mengklasifikasikan semiotika, yaitu melalui dikotomi semiotika Saussure dan trikotomi semiotika Pierceian. Dalam dikotomi Saussurean, yang kemudian dikembangkan oleh Roland Barthes, disebutkan adanya empat unsur dalam semiotika, yaitu langue dan parole, signifier dan signified, sintagmatik dan paradigmatik, konotasi dan denotasi. Sedang dalam trikotomi semiotika Piercean, tanda mengandung arti indeks, ikon, dan simbol, yang kemudian dikembangkan oleh Charles Morris menjadi semantik, sintaktik, dan pragmatik (Asmara, 2001: 127 ). Charles Jencks mengambil gagasan Barthes tentang signifier dan signified dan mengambil gagasan Morris tentang semantik, sintaktik, dan pragmatik. Jencks dalam menerjemahkan segitiga semantik Morris mencoba menyejajarkan kedudukan semiotika dengan linguistik melalui proses transformasi dari linguistik ke bahasa bentuk arsitektur. Dalam proses ini ketiga unsur tersebut diterjemahkan sebagai satu proses yang berputar pada satu sistem tertutup. C.Charles Jencks dan Arsitektur Post-Modern Sebagai pemikir dan kritisi serta tokoh utama arsitektur post-modern yang pemikirannya banyak dilandasi oleh pemikiran para filsuf, Jencks juga mengaitkan konsepnya dengan seni dan sastra serta mencoba mengritik gerakan modern. Bagi Jencks, efisiensi dan efektivitas yang dirasakan di dalam arsitektur modern begitu membosankan. Sebab bagi Jencks karya arsitektur seharusnya merupakan karya seni yang memiliki kebebasan dalam pemaknaan. Lebih dari sekedar memenuhi fungsi. Jencks berbicara tentang genre arsitektur baru yang ia sebut dengan arsitektur post-modern, yaitu sebuah arsitektur yang berintikan double coding yang mengombinasikan teknik-teknik modern dengan sesuatu yang lain (biasanya bangunan tradisional) agar arsitektur mampu berkomunikasi dengan publik yang peduli atau dengan para arsitektur lain (Jencks, 1986: 15 ). Dalam What is Postmodernism, Jencks mengatakan bahwa di dalam kerangka double coding kedua arah tersebut merupakan sebuah usaha untuk berkomunikasi dengan masyarakat dan kaum minoritas, yang pada masa modern cenderung ditinggalkan. Pengkodean ganda merupakan strategi komunikasi tanda-tanda popular dan elitis untuk
  • 29. Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 1, April 2008 30 mencapai hasil yang berbeda. Gaya sederhana merupakan pernyataan untuk menemukan pluralisme, karena bagaimanapun arsitek harus mendesain untuk cita rasa budaya yang berbeda (Jencks 1988: 14 ). Jencks mengklaim kegagalan arsitektur modern karena ketidakmampunya untuk berkomunikasi dengan para penggunanya. Arsitektur post-modern oleh Jencks didefinisikan sebagai arsitektur yang didasarkan atas teknik-teknik baru serta pola-pola lama atau menggunakan teknologi baru untuk memberi wajah pada realitas sosial yang sekarang setelah membentuk bahasa hibrida (campuran) ( Jencks, 1980: 3 ). Jencks tidak memberikan satu standar tertentu secara khusus tentang arsitektur post-modern. Ia hanya menawarkan sejenis konsep arsitektur post-modern sebagai bukti tentang peng–kode–an melalui jalan asosiasi dan menyatukan seni pada masa lalu. Jencks membedakan antara arsitektur modern dan modern akhir. Menurut Jencks, arsitektur modern akhir sering dikacaukan dengan arsitektur modern. Fenomena arsitektur modern akhir seperti tampak dari istilah slick-tech atau supersensualisme, bagi Jencks masih menampakkan ciri single coding, yaitu berseberangan dengan double coding pada arsitektur post-modern (Jencks, 1980: 15). D. Charles Jencks dan Semiotika Jencks melihat arsitektur lebih dari sekedar cara mendesain dan merancang sebuah bangunan. Jencks juga melihat arsitektur sebagai sebuah teks yang menyampaikan sesuatu dan yang harus ditafsirkan. Arsitektur juga sebuah tanda (sign) yang memiliki penanda dan petanda, serta signifikasinya. Bangunan, ruang, permukaan adalah penanda sedangkan ide atau gagasannya adalah petanda. Kedua aspek ini kemudian membentuk signifikansi arsitektural. Jencks juga melihat arsitektur dalam kerangka indeks, ikon, dan simbol. Pemikiran semiotik Jencks dalam arsitektur tidak bisa dilepaskan dari dikotomi semiotik Saussuran dan trikotomi semiotik Piercean. Empat unsur semiotik Saussuran yang dikembangkan Barthes mempengaruhi Jencks dalam melihat arsitektur. Keempat unsur tersebut adalah langue dan parole, penanda dan petanda, sintagmatik dan paradigmatik, konotasi dan denotasi. Langue adalah satu sistem kumpulan kosa kata atau elemen-elemen bentuk yang mempunyai makna berdasarkan
  • 30. Siti Murdiati, Konsep Semiotik Charles Jenks… 31 konsensus budaya, sedangkan parole merupakan bagian bahasa yang sepenuhnya individual. Parole dapat dipandang sebagai kombinasi yang memungkinkan subjek (penutur) sanggup menggunakan kode bahasa untuk mengungkapkan pikiran pribadinya. Kombinasi tersebut mengimplikasikan bahwa tanda– tanda bersifat identik dan senantiasa berulang. Maka setiap tanda bisa menjadi unsur dari langue (Budiman, 1999: 89-90). Satu benda memiliki dua valensi yang merupakan dua kesatuan, sebagai benda disebut penanda, dan sebagai makna disebut dengan petanda (Asmara, 2001: 126-127). Sebuah sintagma mengacu pada hubungan in-praesentia antara satu suku kata yang satu dengan yang lain, atau antara satu satuan gramatikal dengan satuan-satuan yang lain, sehingga berada dalan relasi yang linear. Sedangkan paradigma bersifat dinamis, tanda linguistik dapat berpindah-pindah, dapat diganti dengan tanda lain yang terdapat dalam satu hirarki (Asmara, 2001: 127). Trikotomi, semiotika, Piercean, merupakan pembentuk utama semiotika arsitektur post-modern Charles Jencks. Model trikotomi ini mencakup representamen, interpretan, dan objek. Representamen merupakan satu bentuk perwujudan tanda (tidak harus berbentuk inderawi). Interpretan merupakan makna yang dibentuk oleh tanda. Objek adalah sesuatu yang diacu tanda (Chandler, 2002: 34-36 ). Interaksi antara ketiganya oleh Pierce disebut dengan proses ‘semiosis’. Ketiga unsur ini memiliki kesamaan sekaligus perbedaan dengan dikotomi penanda dan petanda dalam kerangka Saussuran. Representamen, memiliki arti yang serupa dengan petanda, meskipun demikian interpretan memiliki kualitas yang berbeda dengan petanda, karena interpretan sendiri adalah satu tanda dalam diri interpreter. Sebagaimana Pierce menjelaskan bahwa tanda seseorang, yakni mencipta dalam benak orang merupakan satu tanda yang setarap, atau mungkin tanda yang berkembang lebih lanjut (Chandler, 2002: 34). E. Semiotika Arsitektur Post-Modern Sebagai ruang kreativitas, Jencks melihat dunia arsitektur sebagai dunia tanda, dunia yang selalu memiliki dua wajah, yaitu penanda dan petanda yang kemudian membentuk kesatuan signifikansi. Arsitektur bukanlah ekspresi tanpa makna atau tanpa pesan. Tetapi ia bukan hanya satu pesan atau satu makna seperti yang selama ini tampil dalam arsitektur modern. Arsitektur post-
  • 31. Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 1, April 2008 32 modern adalah double coding. Inti semiotika arsitektur post- modern Jencks adalah penekanan pada pluralitas makna dan pluralitas sumber makna. Arsitektur bisa dibangun dengan mencangkok dan mengambil berbagai tradisi dengan memanfaatkan teknik modern. Jencks mengadopsi trikotomi simbol, ikon dan indeks yang dikembangkan dari semiotik Piercean. Simbol adalah satu bentuk yang di situ penanda tidak menyerupai petanda, tetapi secara mendasar arbitrer atau sepenuhnya konvensional, sehingga hubungan tersebut harus dipelajari, seperti huruf alfabet, angka, morse. Ikon adalah bentuk tanda ketika penanda dipersepsikan sebagai menyerupai atau meniru petanda-nya, seperti potret, efek suara dalam radio. Sedangkan indeks merupakan tanda ketika penanda tidak arbitrer, tetapi berkaitan secara langsung dengan salah satu cara, baik fisis atau kausal, dengan petanda-nya. Keterkaitan ini dapat diamati atau ditarik kesimpulan darinya, seperti tanda asap, ketukan pintu, rambu lalu lintas. Jencks melihat bahwa ungkapan bahasa arsitektur merupakan penyampaian pesan dalam bangunan, seperti halnya nada lagu. Ungkapan bahasa arsitektur dapat disimak dari bentuk ( form), ruang (space), dan tata atur (order) dari karakteristik desainnya. Bentuk, ruang dan tata atur dapat disebut dengan penanda, yaitu materialisasi ruang dengan pemberian unsur pelingkup dan dilihat melalui indera penglihatan secara keseluruhan. Dalam Sign, Symbol and Architecture, Jencks mengatakan bahwa esensi tanda arsitektur adalah sebagai sifat dasar arsitektur yang diibaratkan sebagai perempuan bionik, artinya dalam konsep ruang, kesalingpenekanan antara yang dalam dan yang luar bersifat transparan yang penciptaannya berhubungan dengan tiga-e, yaitu energi, environment, ekologi, dan tiga–s, yaitu sintaksis, semantik, dan seni pahat ( Jencks, 1980: 71-78 ). Konsep semiotika arsitektur post-modern yang dikembangkan Jencks adalah bentuk semiotik yang berkaitan dengan makna dari berbagai hal. Makna tersebut diungkapkan melalui bentuk, ritme, warna tekstur, dan sebagainya yang dinamakan suprasegmen arsitektural dari berbagai komponen arsitektural. Charles Jencks mendasarkan tujuan semiotika dalam pemaknaan sifat dasar arsitektur atau esensi arsitektur dengan mendefinisikan secara elastis untuk membuat semua definisi
  • 32. Siti Murdiati, Konsep Semiotik Charles Jenks… 33 menjadi benar, sehingga pengetahuan arsitektur pun menjadi lebih pasti. Esensi arsitektur bagi Jencks adalah ‘ruang’, Raum, konsep ruang, ke-saling-penekanan antara yang dalam dan yang luar, dan belahan bentuk secara transparan fenomenal. Esensi arsitektur adalah penciptaan-tempat identitas dan personalisasi. Arsitektur tersusun dari kode-kode yang bersifat diskontinu, yang esensinya adalah mengubah acuan (referent) dari signifikansinya, juga kodenya ( ide, pola dan sosial yang semuanya dapat berubah) dan satu kumpulan yang bervariasi dari kode-kode yang dapat bergabung pada satu saat, sehingga membuat satu praktik arsitektur dapat diketahui dan bersifat koheren (Jencks, 1980: 73). Dengan kata lain, secara definitif historis ‘esensial’, tetapi terbuka dibagian pinggirnya bagi kode-kode bahwa arsitektur adalah penggunaan penanda formal untuk mengartikulasikan petanda dengan menggunakan cara tertentu. Dengan demikian ia mencakup bentuk, fungsi dan teknik (Jencks, 1980: 73-74). F. Penutup 1. Pemikiran Jencks tentang arsitektur post-modern tidak bisa dilepaskan dari kritikan atas arsitektur modern atau modern akhir, baik menyangkut teknologi, penataan, bentuk murni, pemaknaan dan kesadaran estetis. 2. Bagi Jencks arsitektur modern mewakili sebuah semiotika single coding, seragam, simetris, universal. Sementara arsitektur post-modern mewakili sebuah semiotika double coding, plural lokal. 3. Semiotika arsitektur yang dikembangkan oleh Jencks sangat dipengaruhi oleh dikotomi semiotika Saussuran dan trikotomi semiotika Piercean. Dikotomi penanda-petanda, konotasi- denotasi, langue-parole, sintagmatik-paradigmatik ikut membentuk pemikiran semiotika Jencks. Pengaruh paling jelas berada dalam kerangka trikotomi semiotika Piercean yang bekerja dalam kerangka indeks, ikon, dan simbol, di samping semantik, sintaktik, dan pragmatik. -JF- DAFTAR PUSTAKA Asmara Yudha, 2001, Dari Kata Menuju Ruang Bentuk, Prima Anugrah Abadi, Bandung
  • 33. Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 1, April 2008 34 Alisyahbana,STA, 1992, Tantangan Postmodernisme, Jurnal Filsafat, UNAS, Jakarta Chandler, Daniel,2002, The Basic Semiotic, 11 New Fetter Lane, London, EC4B4EE, 29 West 35 th, New York Jencks, Charles, 1980, Late –Modern Architecture, Rizzoli, Academy, London ------------------, 1980, Sign, Symbol and Architecture, Architectural Assosiation School of Architecture and University of California Los Angeles ------------------, 1984, The Language of Post Modern Architecture, Rizzoli, New York Klotz, Heinrich, 1988, The History of Postmodern Architecture, Massachussets Institute of Technology, MTT, German Kris Budiman, 1999, Kosa Semiotika, LkiS, Yogyakarta Leach, Neil, 1996, Rethingking Architecture, A Reader in Cultural Theory, London and New York Prama, Gede, 1995, Post Modernisme, Matra, Februari Sinar Tanudjaja, 1992, Wujud Arsitektur Sebagai Ungkapan Makna Sosial Budaya Manusia, Universitas Atmajaya, Yogyakarta --------------, 1993, Arsitektur Modern, Tradisi-tradisi dan Aliran-aliran serta Peranan Politik, Andi Offset, Yogyakarta --------------, 1998, Kerangka Kerja Makna di Dalam Arsitektur, Universitas Atmajaya, Yogyakarta Sumalyo, Yulianto, 1997, Arsitektur Modern Akhir Abad XIX dan XX ,Gadjah Mada University Press, Yogyakarta
  • 34. TINJAUAN FILOSOFIS PROBLEMA PENGELOLAAN SAMPAH Oleh : Lailiy Muthmainnah1 Abstract Modernisation as a term refers to the development process which has a lot of limitation, and one of this problem is about garbage. Commonly, there are two big sources of garbage, industrializations and high mass consumtions. In fact, both of them are consequence of logical modernity. There are two reasons why garbage becomes a great problem in recent years. First, the quantity of garbage is overload, and second, its quality: most of the garbage is not bio-degradable. This problem will be more complicated because people usually use logic “not in my back yard” with their garbage. To respond this problem, modernity tries to transform in a new kind of development, that is usually called sustainable development. Although there are several different interpretations of sustainable development but it refers to The Brundtland Commission which defines sustainable development as a process of change in which the exploitation of resources, direction of investments, orientation of technological development, and institutional change are made consistent with future as well as present needs. For instance emphasize constancy of natural capital stock as a necessary condition for sustainability. Growth or wealth must be created without resources depletion. Exactly how this is to be achieved remains a mystery, but majority of sustainable development literature said that this condition will be achieved with using model ecological modernisation. Thus, the challenge is to find new technologies and to expand the role of the market in allocating environment resources with the assumption that putting a price on the natural environment is only the way to protect it. In fact, this ways are used to solve the problem of garbage in recent years. Keywords: sustainability, ecology, garbage. 1 Dosen Fakultas Filsafat UGM
  • 35. Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 1, April 2008 36 A. Pendahuluan Pola pikir modernis yang begitu kuat mengilhami teori pembangunan telah menempatkan manusia sebagai aktor utama dalam proses pembangunan. Manusia dipandang dengan sangat optimis, sehingga akan mampu mengatasi setiap persoalan yang mungkin muncul dalam strategi yang diambilnya, hal ini berlaku sama untuk setiap persoalan yang terkait dengan pembangunan. Dengan rasionalitasnya maka manusia akan semakin tertantang untuk maju dan mampu menaklukkan alam. Pola pikir yang antroposentris tersebut telah menjadikan alam hanya sebagai objek, alat, sekaligus sarana yang didaya gunakan untuk kepentingan dan kemanfaatan manusia semata (Keraf, 2005:33). Hal ini dapat dipahami karena dalam sudut pandang modernitas yang menjadi tujuan utama adalah tercapainya suatu kondisi yang sustainable secara ekonomi dan bukan ekologi. Fakta inilah yang menyebabkan munculnya berbagai kritik terhadap teori modernis, karena sesungguhnya pembangunan tidak semata- mata dapat diukur dari sisi pertumbuhan ekonomi saja. Kenyataan menunjukkan bahwa teori modernisasi yang diterapkan dalam model pembangunan sekarang ini telah menyisakan banyak persoalan. Salah satu diantaranya adalah persoalan yang terkait dengan masalah ekologi, dimana contoh riil untuk problem ini adalah sampah. Maka sengaja dalam tulisan ini “sampah” dijadikan sebagai tema utama untuk menelaah secara lebih jelas keterbatasan modernitas yang kemudian coba dijawab lewat transformasinya ke arah model pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). Dalam pemikiran modernis, pembangunan diasumsikan akan senantiasa berjalan secara linear dari tradisional menuju modern, dimana hal ini dapat dicapai lewat tahap-tahap tertentu (The Stages of Economic Growth). Adapun tingkat tertinggi dari keberhasilan pembangunan tersebut akan ditandai dengan terwujudnya kondisi masyarakat yang memiliki kemampuan konsumsi tinggi atau high mass consumption (Fakih, 2006:56). Padahal kondisi ini akan memberikan konsekuensi logis berupa semakin banyaknya volume sampah yang akan dihasilkan oleh manusia, begitu pula dengan tingkat keberagaman sampahnya. Problem persampahan menjadi semakin kompleks tatkala manusia kemudian hanya sekedar membuang sampah yang mereka hasilkan tanpa mau secara kreatif berupaya mengubah sampah tersebut menjadi sesuatu yang berharga. Logika yang selalu
  • 36. Lailiy Muthmainnah, Tinjauan Filosofis Problematika... 37 digunakan oleh masyarakat umumnya adalah “not in my back yard (NIMBY)”(Santoso, 2006:13). Tidak peduli akan lari kemana sampah yang dibuang karena yang penting adalah tempatnya sendiri bersih dari sampah. Akan dibawa kemana sampah itu selanjutnya, apakah di sungai, di jalan, di TPA, atau bahkan di selokan air mereka tidak peduli. Menggejalanya gaya-gaya berpikir semacam NIMBY di atas sebenarnya merupakan cerminan dari semakin kuatnya pola pikir modernis, dimana orang hanya berorientasi pada upaya untuk memperoleh keuntungan yang maksimal dan meminimalkan beban yang harus ditanggung. Mereka mau untuk memproduksi dan mengkonsumsi secara besar-besaran, namun residu dari dua proses tersebut mereka abaikan. Hal ini tentunya memberikan pengaruh yang buruk terhadap kualitas lingkungan hidup. Karena dengan semakin banyak dan beragamnya volume sampah yang tercipta sebagai hasil dari proses yang dikatakan sebagai modernitas tersebut, maka daya dukung alam juga semakin turun. Dan jika kondisi ini tidak segera diantisipasi maka akan sangat membahayakan kelangsungan hidup manusia di masa yang akan datang. Dari latar belakang persoalan tersebut di atas dapat dilihat betapa modernitas telah menyisakan banyak persoalan, diantaranya tentang sampah tadi. Maka dari limitasi modernitas ini juga tulisan ini akan dikembangkan untuk menjawab beberapa pertanyaan sebagai berikut : Apakah yang menjadi sumber utama dari persoalan persampahan yang ada sekarang? Bagaimana sudut pandang sustainable development dalam menyikapi problem tentang persampahan? Serta solusi seperti apa yang dapat ditawarkan oleh sustainable development untuk mengatasi problem tersebut? B. Konsumsi dan Industrialisasi yang bercorak Antroposentris Sebagai Sumber Utama Sampah Sampah secara definitif berarti bahan yang terbuang atau dibuang dari sumber hasil aktivitas manusia maupun proses alam yang belum memiliki nilai ekonomis. Namun jika diteliti lebih dalam lagi, setidaknya ada beberapa sumber sampah yaitu pemukiman, perkantoran, pertanian dan perkebunan, industri dan sumber-sumber lainnya. Dan diantara beberapa sumber sampah tadi industri ternyata masih menempati porsi tertinggi dalam menghasilkan sampah. Karena itu dapat dikatakan bahwa meskipun setiap aktivitas konsumsi manusia akan menghasilkan residu berupa
  • 37. Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 1, April 2008 38 sampah, namun setidaknya hal ini bukanlah penyebab tunggal dari semakin parahnya problem persampahan yang terjadi di dunia. Dalam asumsi penulis, aktivitas manusia yang semakin tinggi untuk mengkonsumsi barang-barang ini berkorelasi positif dengan semakin canggihnya teknologi produksi. Ini berarti tingginya tingkat konsumsi masyarakat dan industrialisasi memberikan pengaruh yang sama besar terhadap semakin meningkatnya volume sampah dan lebih jauh terhadap semakin menurunnya kualitas dan daya dukung alam. Dalam masyarakat modern, industrialisasi memang dijadikan sebagai motor utama penggerak ekonomi untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan. Karena itu industrialisasi memegang peran yang sangat sentral dalam proses pembangunan. Agar perekonomian masyarakat dapat digenjot secara cepat maka industri dikembangkan sampai ke pelosok-pelosok negeri. Tanpa disadari bahwa sebenarnya keberadaan industri itu sendiri memberikan double effect bagi masyarakat. Seperti yang dilaporkan oleh Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan (World Commissions on Environment and Development) yang menyebutkan bahwa industri dan produk yang dihasilkannya memberi dampak pada basis sumber daya alam melalui keseluruhan daur eksplorasi dan ekstraksi barang mentah, transformasi menjadi produk, konsumsi energi, limbah produksi, dan pemakaian produk beserta pembuangan sampah yang dihasilkan dari produk tersebut oleh konsumen (World Commissions on Environment and Development, 1988 : 285). Sehingga di satu sisi keberadaan industri tersebut memang memberikan dampak positif berupa perpanjangan kemanfaatan atas sumber daya alam dan inilah yang dinikmati oleh konsumen (manusia), tetapi di sisi lain industrialisasi juga memberikan dampak negatif. Industrialisasi telah memaksa alam untuk menampung seluruh residu hasil aktifitasnya yang berupa sampah dan limbah. Akibatnya alam menjadi tercemar dan kualitas lingkungan menjadi semakin turun. Memang sejauh ini motif ekonomi masih tetap mendominasi dalam setiap kebijakan industri. Banyak contoh kasus misalnya dalam hal pembuangan sampah (tepatnya-limbah) industri yang tidak dikelola dengan baik sehingga mengakibatkan pencemaran lingkungan yang sangat fatal. Kasus Newmont, Aneka Tambang, dan Freeport misalnya semakin menunjukkan betapa keberadaan industri yang semula diarahkan untuk kemajuan dan kesejahteraan masyarakat ternyata justru mengakibatkan rusaknya
  • 38. Lailiy Muthmainnah, Tinjauan Filosofis Problematika... 39 ekologi secara serius karena memang sejak awal keberadaan industri tersebut tidak ramah lingkungan atau bahkan mungkin faktor lingkungan memang tidak diperhitungkan. Kenyataan di atas barulah sekelumit cerita tentang dampak lingkungan yang terjadi ketika awal proses produksi dilakukan. Padahal efek industri tidak hanya berhenti sampai dengan tahap itu saja tetapi terus berlanjut sampai dengan ketika barang itu selesai dikonsumsi. Karena setelah produk industri itu selesai dikonsumsi maka residunya yang berupa sampah akan menimbulkan efek lingkungan yang lain lagi. Kondisi ini semakin diperparah dengan adanya produksi massal atau fordisme yang diciptakan untuk alasan efektifitas dan efisiensi ekonomi (Wibowo, 2006:69). Fordisme pada akhirnya akan menaikkan tingkat konsumsi masyarakat dan hal ini akan berujung pada semakin bertambahnya volume sampah yang dihasilkan. Semakin canggihnya teknologi produksi yang tidak ramah lingkungan juga turut memberikan kontribusi yang besar bagi kerusakan alam. Penggunaan produk-produk sintetis (semacam kaleng dan plastik) sebagai hasil dari teknologi misalnya telah menjadi penyebab pencemaran yang utama. Produk-produk sintetis tersebut telah berhasil menggeser produk-produk yang lebih alami dan lebih mudah didaur ulang oleh alam. Plastik bahkan menjadi semacam primadona bagi banyak produsen karena disamping praktis juga lebih efisien dari segi biaya produksi. Padahal dari sisi lingkungan sampah yang berasal dari bahan-bahan sintetis tersebut sangat sulit untuk diurai secara alami sehingga akan sangat berpeluang menimbulkan pencemaran. Demikian, betapa kemajuan yang di asumsikan oleh kalangan modernis dengan terciptanya suatu masyarakat yang berkecukupan secara ekonomi sehingga dapat melakukan tingkat konsumsi secara tinggi telah memberikan efek yang sangat buruk terhadap kelestarian alam. Mereka mengabaikan bahwa sesungguhnya dalam proses tersebut ada hal yang terlupakan yaitu daya dukung alam untuk menampung seluruh residu yang mereka hasilkan dari proses konsumsi tersebut. Kondisi ini jika dibiarkan terus berlanjut maka akan sangat membahayakan kelestarian ekologis dan tentunya juga keberlanjutan pembangunan pada generasi yang akan datang.
  • 39. Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 1, April 2008 40 C. Sustainable Development Melihat Persoalan Sampah Paradigma sustainable development atau pembangunan berkelanjutan sebenarnya sudah mulai diperbincangkan sejak tahun 1980 ketika World Conservation Strategy memunculkan istilah ini dalam acara International Union for the Conservation of Nature dan Lester R. Brown menggunakannya dalam penulisan buku Building a Sustainable Society tahun 1981. Namun istilah ini baru menjadi sangat populer setelah adanya Laporan Brundtland yang berjudul Our Common Future pada tahun 1987 (Keraf, 2005:166). Konsep sustainable development sendiri sebenarnya muncul sebagai reaksi atas kegelisahan banyak pihak terhadap eksploitasi yang berlebihan terhadap sumber daya alam. Kondisi over-eksploitasi telah menyebabkan turunnya kemampuan alam (ecological carrying capacity) untuk me-recovery dirinya kembali (Eckersley, 1992:36). Alam hanya sekedar dijadikan sebagai sarana atau alat untuk mencapai tujuan dan memenuhi kebutuhan manusia, termasuk diantaranya adalah kebutuhan untuk meng- eksternalisasikan sampah dengan tanpa dipertimbangkan kelestariannya. Pemikiran sustainable development sesungguhnya berupaya untuk menjembatani keterputusan pemikiran teori modernis terutama terkait dengan pengabaiannya terhadap banyak hal, yang salah satu diantaranya adalah aspek kelestarian terhadap sumber daya alam. Karena itu sebenarnya konsep sustainable development lebih merupakan bentuk transformasi dari teori modernis. Dalam konsep ini manusia masih tetap menjadi faktor penentu utama dalam pengelolaan alam. Namun dalam konsepnya, sustainable development kemudian memasukkan faktor-faktor yang lain seperti misalnya kelestarian alam (ekologi) dalam proses pembangunan. Tetapi sekali lagi, ini dimasukkan dalam kerangka pikir untuk menjaga keberlanjutan pembangunan itu sendiri. Karena ketika problem ekologi muncul dan diabaikan begitu saja, hal ini akan sangat membahayakan keberlanjutan pembangunan. Alam harus tetap dijaga sustainabilitasnya agar generasi manusia yang akan datang tetap dapat menikmatinya dan melangsungkan proses pembangunan selanjutnya. Dalam tataran ini dapat dikatakan bahwa sesungguhnya sustainable development berupaya untuk menjembatani antara problem etis tentang lingkungan dengan kebutuhan politis manusia atas lingkungan (Keraf, 2005:166). Sebenarnya ada banyak definisi tentang sustainable development, namun dari sekian banyak definisi yang ada definisi
  • 40. Lailiy Muthmainnah, Tinjauan Filosofis Problematika... 41 dari The Brundtland Commission adalah yang paling sering digunakan. Dalam definisinya The Brundtland Commission menyatakan bahwa yang dimaksud dengan sustainable development adalah sebuah proses perubahan dimana kegiatan eksploitasi sumber daya alam, investasi, penggunaan teknologi, dan perubahan institusi yang ada selalu konsisten dalam memperhatikan kebutuhan generasi yang akan datang, sebagaimana perhatiannya pada kebutuhan generasi saat ini (Banarjee, 1999:6). Dalam upaya pendefinisian tersebut, maka Gladwin dkk (1995) sebagaimana dikutip oleh Banarjee mencoba untuk mengidentifikasi aspek-aspek yang terkandung dalam sustainable development antara lain: inclusiveness (pengkompromian antara kepentingan ekologi, ekonomi, politik, teknologi, dan sistem sosial); connectivity (adanya hubungan yang erat dan saling mendukung antara tujuan sosial, politik, ekonomi, dan lingkungan; equity (pendistribusian manfaat sumber daya alam dan hak kelola kekayaan secara adil); prudence (penjaminan kelangsungan daya dukung dan kapasitas lingkungan); serta security (upaya mencapai kehidupan yang aman, sehat, dan berkualitas). Karena logika awal yang dibangun sustainable development sebenarnya tidak jauh berbeda dengan modernis, maka cara-cara yang ditempuh oleh sustainable development juga masih dikerangkai pola pikir bagaimana mencapai suatu kondisi kemajuan (progress) dalam bidang ekonomi namun tetap bisa mengakomodasi juga faktor ekologi. Pertumbuhan ekonomi tetap penting hanya saja ini harus dicapai dengan tanpa menyebabkan terjadinya degradasi ekologi yang mengakibatkan hak generasi yang akan datang akan terkurangi. Terkait dengan problematika tentang persampahan, maka dalam asumsi sustainable development sampah adalah sesuatu hal yang tidak mungkin dihindari dari aktivitas kehidupan manusia, seperti halnya proses perubahan yang berjalan secara linear dari tradisional ke modern. Sustainable development mencoba untuk berpikir secara realistis bahwa dalam kondisi sekarang ini, dimana moderitas begitu kuat mengakar dalam pola pembangunan maka efek samping yang berupa sampah atau mungkin limbah industri adalah sesuatu hal yang tidak bisa dihindari, tetapi hanya bisa untuk dikelola dan diminimalisir sejak awal. Peluang inilah yang hendak dikembangkan oleh sustainable development. Manusia tidak mungkin surut kebelakang dengan menghentikan seluruh proses produksinya, karena ini berarti bukan
  • 41. Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 1, April 2008 42 progress yang dicapai tetapi justru regress. Namun disisi lain kelestarian lingkungan juga harus diperhatikan jika tidak ingin terjatuh pada kondisi regress yang pada akhirnya akan menyebabkan mandegnya proses pembangunan itu sendiri. Sustainable development mencoba untuk mengakomodasi hal ini dan berupaya untuk mencarikan jalan keluarnya secara kooperatif. Maka yang dilakukan oleh sustainable development dalam setiap kebijakan pembangunan yang diambil adalah melakukan mekanisme cost benefit analisys (Fiorino, 1995:101). Hal ini penting untuk menghitung biaya lingkungan (ekologis) dan juga manfaat ekonomis yang akan dicapai dari proses pembangunan tersebut. Dari perhitungan ini kemudian dapat ditentukan langkah- langkah pembangunan yang nantinya lebih akomodatif terhadap persoalan lingkungan dengan tanpa mengabaikan kemanfaatan ekonomi yang hendak dicapai, khususnya untuk keberlanjutan pembangunan di masa yang akan datang. Dari mekanisme analisis biaya dan manfaat yang dilakukan inilah diharapkan setiap kebijakan pembangunan yang diambil akan lebih mampu mengantisipasi problem lingkungan yang mungkin muncul dari proses pembangunan tersebut. D. Penutup: Ecological Modernization Sebagai Sebuah Tawaran Solusi Mengakomodasi konsep cost benefit analysis di atas, maka yang dilakukan oleh sustainable development terkait dengan problem persampahan adalah menjadikan sampah tersebut sebagai biaya lingkungan yang harus ditanggung oleh produsen sejak awal. Karena jika dihitung berdasarkan perbandingan biaya dan manfaat yang diperoleh, maka produsen justru akan lebih beruntung ketika dirinya mau untuk mengelola sampah ataupun limbahnya sejak awal dibanding membiarkan sampah ataupun limbahnya tersebut dibuang sembarangan dan menyebabkan pencemaran lingkungan. Karena saat sampah ataupun limbahnya tersebut sampai menyebabkan pencemaran lingkungan, maka biaya yang harus dikeluarkan untuk menanggung itu semua jauh lebih besar. Inilah yang kemudian seringkali disebut dengan proses internalisasi eksternalitas (Prins, 1993:xxii). Sampah, limbah, dan semua yang merupakan residu dari proses produksi yang selama ini dipandang sebagai sesuatu yang berada di luar tanggungjawab produsen, kemudian diinternalisasikan kembali sebagai bagian dari proses produksi yang biayanya harus ditanggung oleh produsen. Hal
  • 42. Lailiy Muthmainnah, Tinjauan Filosofis Problematika... 43 ini mengindikasikan bahwa sejak awal environmental cost (biaya lingkungan) memang sudah harus dimasukkan sebagai faktor penting yang harus diperhitungkan dalam proses pembangunan, jika ingin proses pembangunan itu dapat terus berlanjut. Karena sejak awal sudah ditekankan bahwa faktor lingkungan harus dipertimbangkan maka seluruh proses pembangunan, termasuk di dalamnya kegiatan industri akan diarahkan pada terpenuhinya kondisi ini. Salah satu upaya untuk menindaklanjuti proses internalisasi eksternalitas di atas adalah dengan menerapkan model ecological modernization (Eckersley (ed.), 1995:9). Penerapan model ini dapat dipandang sebagai kemajuan dalam bidang pembangunan karena elemen-elemen lingkungan sudah dimasukkan di dalamnya. Salah satu point penting di dalam model ini adalah dimasukkannya unsur penanganan sampah dan limbah sebagai ukuran kelayakan sebuah industri (AMDAL), sehingga industri itu dilegalkan untuk beroperasi. Pola yang pertama kali dimunculkan dalam model ini adalah end of pipe, maksudnya menangani sampah atau limbah setelah sampah atau limbah itu dihasilkan. Umumnya negara-negara berkembang masih banyak menggunakan pola ini sebagai metode praktis untuk menangani persoalan residu proses produksi. Maka kemudian muncullah konsep-konsep semacam IPAL dan Tempat Pembuangan Akhir Sampah. Namun disadari bahwa konsep end of pipe ini belum mampu menyelesaikan persoalan persampahan yang ada. Maka kemudian mereka mencoba mengembangkan model penanganan sampah yang lebih baru lagi, yaitu clean production (Eckersley, 1995:8-9). Dalam model clean production ini produksi sampah ataupun limbah dapat diminimalisir sejak awal karena tekanan pada model clean production adalah upaya pencegahan sebelum sampah itu benar-benar ada. Secara aplikatif clean production ini diterapkan dalam bentuk eco-design, yang meliputi 4R yaitu : reduse, re-use, re-cycling, dan recovery. Jadi memang sudah sejak awal produk- produk yang ada sudah didesign sedemikian rupa agar nantinya dapat di daur ulang atau lebih bio-degradable. Misalnya banyak industri yang sekarang mengembangkan model-model re-fill. Disamping biaya produksi jauh lebih murah sampah yang dihasilkan juga relatif lebih sedikit. Dan lewat mekanisme pasar konsumen diarahkan untuk mendukung proses ini. Karena dengan menggunakan barang-barang yang dapat direfill maka harga yang
  • 43. Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 1, April 2008 44 mereka peroleh lebih murah tetapi juga sekaligus sampah yang dihasilkan tidak terlalu banyak. Kemudian juga dengan adanya kebijakan pembangunan yang menetapkan extended producer responsibility (EPR) dimana produsen diwajibkan untuk menggunakan atau mengolah kembali produk ataupun kemasan produk setelah purna pakai (http://www.walhi.or.id/). Dari konsep-konsep semacam eco-design dan EPR inilah maka sampah yang selama ini dianggap sebagai barang yang tidak berguna justru dianggap sebagai peluang baru untuk dikembangkan guna meningkatkan efektivitas dan efisiensi ekonomi. Sampah tidak lagi semata-mata dianggap sampah tetapi sampah sesungguhnya adalah sumberdaya. Dengan kebijakan pembangunan yang adaptif semacam ini sebenarnya akan lebih mampu memberikan daya dorong bagi industri-industri yang ada untuk menjadi lebih kreatif menciptakan teknologi-teknologi baru yang mampu meminimalisir produksi sampah sejak awal tetapi juga sekaligus menekan biaya produksi yang harus dikeluarkan. Semua metode-metode yang digunakan di atas adalah upaya yang dilakukan oleh sustainable development untuk “menginternalisasikan eksternalitas” tersebut. Dan sebagai sebuah wacana pembangunan yang relatif baru ini sangat menarik untuk dikembangkan. Bisa dikatakan bahwa upaya ini akan memberikan dampak yang sangat progressif dalam proses pembangunan. Disatu sisi model pembangunan ini tidak menafikan adanya kenyataan kebutuhan akan konsumsi manusia yang semakin meningkat dan beragam, namun disisi lain efek ekologis juga tidak ketinggalan diperhitungkan. Dan untuk mengantisipasi sejak awal turunnya carrying capacity dari alam, maka yang sustainable development lakukan adalah mendesign ulang seluruh proses dan produk industri agar lebih efisien dan juga ramah lingkungan. Dalam proses ini penghematan bahan baku dapat dilakukan dan juga minimalisasi sampah yang dihasilkan. Proses efisiensi ini kemudian justru membuat produk mereka menjadi memiliki daya saing yang tinggi dan ini merupakan keuntungan tersendiri bagi industri. Jadi tidak hanya keuntungan ekonomi yang mereka peroleh tetapi juga dari sisi ekologi tidak luput ketinggalan. Sustainable development sepenuhnya menyadari bahwa ketika pertumbuhan ekonomi dapat dikelola sejalan dengan ekologi maka keduanya akan berjalan dengan baik. Dua hal yang selama ini dianggap sebagai sesuatu yang tidak mungkin sinergis, bagi sustainable development bukanlah hal yang niscaya untuk dicapai.
  • 44. Lailiy Muthmainnah, Tinjauan Filosofis Problematika... 45 Terus menerus mencela modernitas tampaknya bukanlah sebuah langkah maju, karena antara manusia dengan alam sesungguhnya dapat terjalin suatu simbiosis yang mutual (Hettne, 2001:336), hanya saja yang perlu ditekankan adalah perlunya kesadaran untuk mengantisipasi implikasi ekologis yang mungkin ditimbulkan dari proses tersebut, sehingga penurunan daya dukung alam dapat diantisipasi sejak dini. Dan jika daya dukung dari alam tetap dapat dipertahankan maka ini berarti proses pembangunan dapat terus berlanjut pada generasi yang akan datang dan kemajuan bagi manusia dapat dicapai. -JF- DAFTAR PUSTAKA Banerjee, Subhabrata Bobby, 1999, Sustainable Development and The Reinvention of Nature dalam paper yang dipresentasikan untuk Critical management Studies Conference (Environment Stream), Manchester, United Kingdom, July 14-16, 1999. Eckersley, Robyn (ed.), 1995, Market, The State, and The Environment Toward Integration, Mac Millan Press Ltd, Hampshire and London. Eckersley, Robyn, 1992, Environmentalism and Political Theory : Toward an Ecocentric Approach, University College, London. Fakih, Mansour, 2006, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, Kerjasama Insist Press dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Fiorino, Daniel J., 1995, Making Environmental Policy, University of California Press, USA. Hettne, Bjorn, 2001, Teori Pembangunan dan Tiga Dunia, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. http://www.walhi.or.id/kampanye/cemar/sampah/070125_sampah_ produsen_cu/ Keraf, A. Sonny, 2005, Etika Lingkungan, PT. Kompas Media Nusantara, Jakarta. Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan (World Commissions on Environment and Development), 1988, Hari Depan Kita Bersama, Gramedia, Jakarta.
  • 45. Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 1, April 2008 46 Prins, Gwyn (ed.), 1993, Threats Without Enemies : Facing Environmental Insecurity, Earthscan Publications Limited 120 Pentonville Road, London. Santoso, Purwo, 2006, “Radikalisasi Pengelolaan Sampah” dalam Jurnal Balairung Edisi/39/XX/2006, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Wibowo, Aseptyanto Wahyu, 2006, “Meninjau Ulang Industri (Tak) Ramah Lingkungan” dalam Jurnal Balairung Edisi/39/XX/2006, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.