2. Fenomenologi Martin Heidegger
1. Fenomenologi sebagai Analisis Eksistensial
Heidegger menyebut fenomenologinya sebagai
fenomenologi hermeneutika / analisis eksistensial.
Mengapa? Karena fokus pengamatan heidegger dalam
fenomenologinya ini diarahkan kepada dunia manusia atau
dalam istilah in-der-welt-sein (ada-dalam-dunia).
“Ada-dalam-dunia” menunjukkan keterlibatan (concerned
with), keterikatan (preoccupation), komitmen (commitmen)
dan keakraban familiarty manusia dengan lingkungan alam
dan budayanya.
3. Disisi lain menurut Heidegger “ada-dalam-dunia” perlu
dipahami dan diungkap maknanya karena hal tersebu
merupakan realitas yang sebenarnya dimana pengetahuan
disana bersifat “praktis” dan bukan “teoritis”.
Didalam bukunya yang berjudul Sein und Zeit (Ada dan
Waktu) Heidegger coba mempertanyakan masalah mendasar
yaitu ikhwal masalah “mengada” (Dasein). Siapa saya? Dari
mana (asal) saya dan hendak akan kemana? Lalu hidup saya
untuk apa? Dan pelbagai pertanyaan lainnya, semua itu
adalah permasalahan Dasein.
4. Dengan kata lain, hal mengada kita sendiri (Dasein) selalu
menjadi problem atau pertanyaan yang tidak pernah usai. Ini
juga mengisyratkan bahwa berada dalam dunia bagi
manusia tidak sama dengan benda – benda. Keberadaan
manusia dalam dunia tidaklah sama dengan keberadaan
korek api dalam kotaknya. Sebagai Dasein yang berbeda –
beda dengan “mengada – mengada” yang lain itu, manusia
mempunyai kemampuan unik atau khas yakni menyadari
(mempersoalkan) makna Adanya. Artinya Dasein bersifat
terbuka sekaligus memberikan pemaknaan Ada (hubungan
Dasein dan Ada inilah yang disebut eksistensi).
5. 2. Tujuan Fenomenologi Heidegger
Persoalan utama atau problem yang diangkat oleh Heidegger
adalah “lupa akan makna Ada”. Menurut Heidegger,
persoalan ini telah menghinggapi manusia modern baik
secara teoritis maupun praktis. Secara teoritis maksudnya
dapat dilihat dari pelbagai pandangan ilmu pengetahuan atau
teori – teori (Modern) yang mengabaikan nilai dan makna
eksistensi manusia seperti pandangan – pandangan yang
bersifat deterministik (determinisme/behavioristik). Disini
ilmu pengetahuan menjadi “kering tanpa jiwa” musabab
menghapus nilai, tujuan serta makna hidup dari eksistensi
manusia. Kemudian secara praktis maksudnya ditandai
dengan gejala – gejala seperti rutinitas, kedangkalan hidup
serta ketidakotentikan dalam menjalani kehidupan
6. Beranjak dari persoalan utama tadi maka dapat dipahami
bahwa tujuan Fenomenologi Heidegger adalah untuk
mengembangkan suatu metode khusus untuk
mengajukan dan menjawab pertanyaan tentang “makna
Ada” yang telah dilupakan orang tersebut. Heidegger
menulusuri pemikiran filsafat dan Heidegger
mengemukakan bahwa pelbagai pendekatan dalam ilmu dan
filsafat yang selama ini digunakan tidak pernah terlepas dari
asumsi – asumsi metafisis yang mengasalkan “Ada” (Sein)
itu dari “adaan” (sciende). Disini Heidegger kemudian
melakukan “dekonstruksi metodologis” yang bertujuan
untuk membersihkan kabut metafisis itu. Caranya, kembali
pada fenomena itu sendiri, yang disebutkan oleh Heidegger
“kembali pada realitas pertama dan sebenernya”.
7. Maksudnya, kembali pada realitas sebelum dicampuri oleh
berbagai asumsi dan prasangka (pengamat). Untuk sampai
pada fenomena seperti ini, dalam padangan Heidegger
diperlukan metode yang disebut “interpretasi” (Auslegung).
Interpretasi itu diperlukan untuk menggali dan mengangkat
kepermukaan setiap makna dari gejala Ada. Dalam arti ini
pulalah, Heidegger menyebut fenomenologi sebagai metode
interpretasi (fenomenologi-hermeneutik), yang digunakan
untuk mengungkapkan makna tersembunyi dari eksistensi
(manusia). Fenomenologi Heidegger yang kerap disebut
sebagai fenomenologi-hermeneutika itu bertujuan untuk
menginterpretasikan makna tersembunyi dari “Ada” melalui
mengadanya manusia (Dasein), artinya penyelidikan tentang
makna “Ada” tersebut secara langsung amat berhubungan
dengan manusia yakni makhluk yang mampu
mempertanyakan makna “Ada” itu.
8. Fenomenologi Merleau Ponty
1. Pengertian Fenomenologi
Dalam pengantar bukunya Phenomenology of
Perception, Ponty mengemukakan Ihwal
pengertian fenomenologi tersebut. Dapat dilihat
pada tabel berikut ini :
9. No. Pengertian Fenomenologi
1. Fenomenologi adalah pembahasan mengenai esensi (studi of essence). Oleh
karena itu, semua masalahnya bertumpu pada merumuskan definisi daripada
esensi, seperti : esensi persepsi, esensi kesadaran, dan lain – lain.
2. Fenomenologi adalah filsafat yang mengembalikan esensi ke keberadaannya
dan merumuskan tentang manusia dan dunia bertolak dari fakta dan
keberadaannya saja.
3. Fenomenologi mencoba memberi satu deskripsi langsung mengenai pengalaman
kita (manusia) seadanya, tanpa mempertimbangkan segi – segi asal – usul
psikologis dan tanpa menerima keterangan tentang penyebab yang mungkin
dapat diberikan oleh ilmuwan, sejarawan atau sosiolog atau pengamat lainnya.
4. Fenomenologi merupakan filsafat yang menerima kenyataan bahwa dunia telah
tersedia sebelum melakukan usaha perenungan tentang dunia itu. Keberadaan
dunia itu diterima sebagai sesuatu yang tidak dapat dipungkiri atau dibuang.
10. 2. Penolakan atas Dualisme
Salah satu cabang filsafat Barat yang berkembang mulai
dari Plato hingga memuncaknya pada Decrates adalah
dualisme. Pandangan Dualisme ini menempatkan,
misalnya jiwa (kesadaran) dan tubuh sebagai dua realitas
yang terpisah. Selain itu, dalam pandangan Dualisme ini,
yang satu dianggap lebih sejati, baik dan unggul
ketimbang yang (jiwa lebih unggul, baik dan sejati dari
tubuh). Berbicara ihwal fenomenologi Ponty, salah satu
hal utama dalam fenomenologi Ponty adalah menolak
pandangan Dualisme tersebut. Bagi Ponty, jiwa
(kesadaran) dan tubuh adalah kesatuan utuh. Untuk
memahami pemikiran Ponty ini, perlu dipahami tentang
kasus yang dikenal dengan nama “Kasus Schneider”.
11. Schneider adalah seorang veteran Perang Dunia I yang terluka
pada bagian otaknya. Akibat dari peristiwa tersebut Schneider
mengalami luka dan cacat serta mengakibatkan gejala – gejala
yang tidak lazim pada manusia normal. Gejala itu seperti
persepsinya terbatas pada apa yang sedang ia lakukan (amati).
Ketika seseorang dokter memintanya untuk menggerakkan
lengannya secara visual, ia tidak kesulitan dan mampu
menggerakkan lengannya. Kemudian ketika Schneider digigit
oleh nyamuk dia tidak kesulitan untuk menggaruknya, akan
tetapi ia mengalami kesulitan ketika diminta untuk
menunjukkan bagian mana yang digigit nyamuk.
Kasus ini menunjukkan tentang seorang manusia yang
mengalami gangguan dalam “penghayatan dirinya sebagai
tubuh. Semestinya orang normal mampu menggerakkan
lengannya tanpa harus mengamati lengan mereka, begitu juga
seseorang harusnya mampu menunjukkan dimana letak
gigitan nyamuk di bagian tubuh yang menyebabkan gatal.
12. Adapun kemampuan – kemampuan ini adalah
kemampuan yang tidak diajarkan dan tidak pula
di refleksikan. Dengan kata lain “kita mampu
berpikir dan bergerak sebagai tubuh” tanpa harus
terlebih dahulu memikirkan atau mengamati
tubuh kita. Kemampuan ini pula yang membuat
Ponty tertarik dan in menjadi titik tolak
pemikirannya untuk memahami dan menjelaskan
kesatuan utuh antara jiwa (kesadaran) dan tubuh
(Hardiman, 2007: 37).
13. 3. Persepsi
Persepsi adalah suatu konsep penting dalam memahami
fenomenologi Ponty. Pengertian persepsi dalam fenomenologi
Ponty ini berbeda dengan pengertian persepsi dalam pandangan
empirisme. Dalam pandangan empirisme, persepsi diartikan
sebagai kumpulan – kumpulan “data” yang kita terima lewat
pengindraan/pengalaman. Adapun dalam pengertian
fenomenologi Ponty ini persepsi diartikan sebagai suatu intensi
dari seluruh ada kita, yaitu cara mengada yang terletak dalam
dunia pra-objektif yang disebut “berada-di-dalam-dunia” (ệtre-
au-monde). Dari sini dapat kita pahami bahwa persepsi, dengan
demikian, juga menunjukkan bahwa manusia itu mendunia.
14. Terkait dengan memahami persepsi sebagai intensi dari
seluruh cara mengada kita di dunia ini, tubuh manusia
dapat pula dipahamai sebagai “tubuh-subjek”. “Tubuh-
subjek” ini dipahami berbeda dengan “tubuh-objek”.
Bila “tubuh-objek” berarti tubuh sejauh “aku”
mengambil jarak terhadapnya atau menontonnya
sebagai objek, “tubuh-subjek” adalah tubuh yang
kuhayati atau belum dikonseptualisasikan oleh
pandangan – pandangan fisiologis dan lain sebagainya.
Pada tubuh-subjek ini, ada kesatuan untuh antara “tubuh
yang menyadari” dan “kesadarannya yang menubuh”
(Hardiman, 2007).
15. Untuk melihat adanya pertautan antara persepsi dan tubuh, kita
dapat ambil contohnya misalnya tentang phantom limb. Phantom
limb atau tungkai hantu adalah pengalaman seorang pasien yang
kaki dan tangannya telah diamputasi (jadi tidak memiliki kaki
dan tangannya lagi) namun pasien tersebut masih merasakan
pengindraan – pengindraan pada bagian yang hilang itu. Untuk
memahami gejala ini, tidak dapat dilihat atau dipahami dalam
pandangan “tubuh-objek” melainkan “tubuh-subjek”.
16. Ponty menganalogikan orang yang mengalami
tungkai hantu tersebut adalah ibarat seorang
yang merasakan kehadiran sahabat dekatnya
walaupun sahabat terdekat tersebut telah lama
tiada. Pengalaman semacam itu terjadi lantaran
baik tangan-kaki atau sahabat terdekat yang
sudah lama meninggal tersebut tetap dihayati
dalam cakrawala kehidupan subjek, yaitu dalam
Lebenswelt-nya. Fenomena ini menunjukkan
adanya pertautan antara persepsi dan tubuh.
17. Perbedaan Fenomenologi Husserl
dengan Heidegger dan Ponty
Ada perbedaan mendasar antara fenomenologi Husserl dengan
fenomenologi yang dikembangkan oleh Heidegger dan Ponty.
Pada fenomenologi Husserl, Husserl mengajukan tahapan
reduksi untuk sampai ke esensi. Adapun pada fenomenologi
Heidegger maupun Ponty, mereka menolak atau mengabaikan
reduksi – reduksi Husserl tersebut. Perbedaan lainnya, apabila
pada fenomenologi Husserl masih ada tujuan untuk
memperoleh pengetahuan tentang dunia sebagaimana ada
(esensinya), pada Heidegger dan Ponty tidak lagi bertujuan
semacam itu. Kedua tokoh ini melihat orang – orang dan dunia
dengan sikap biasa (memilih eksistensi ketimbang esensi).
18. Fenomenologi Husserl Fenomenologi Heidegger dan Ponty
Husserl mengajukan tahapan reduksi
untuk sampai ke esensi.
Menolak atau mengabaikan reduksi –
reduksi Husserl tersebut.
Masih ada tujuan untuk memperoleh
pengetahuan tentang dunia sebagaimana
ada (esensinya).
tidak lagi bertujuan semacam itu. Kedua
tokoh ini melihat orang – orang dan dunia
dengan sikap biasa (memilih eksistensi
ketimbang esensi).
19. Namun, kendati berbeda, antara masing – masing
tokoh fenomenologi itu tetap memiliki titik
persinggungan atau persamaan. Persamaannya
adalah mereka sama – sama memikirkan tentang
bagaimana menjembatani kesenjangan antara
pengalaman subjektif dan objektif (dualisme)
(Binder, 2001: 131-133).