Dokumen tersebut membahas tentang simulasi penyakit African Swine Fever di Indonesia, termasuk produksi babi, epidemiologi penyakit, gejala klinis, diagnosa, dan opsi pengendalian penyakit.
CASE REPORT ACUTE DECOMPENSATED HEART FAILURE 31 Desember 23.pptx
Opsi Pengendalian dan Manajemen Risiko African Swine Fever - Ditkeswan, Denpasar, 18-20 Desember 2019
1. Drh Tri Satya Putri Naipospos, MPhil, PhD
Komisi Ahli Kesehatan Hewan, Kesehatan
Masyarakat Veteriner dan Karantina Hewan
Simulasi Penyakit Hewan Eksotik African Swine Fever (ASF)
Kuta, Bali, 18-20 Desember 2019
Opsi Pengendalian dan
Manajemen Risiko
African Swine Fever (ASF)
3. Pusat-pusat produksi babi di Indonesia
1
2
3
45
6
418.803
116.195
367.686
1 s/d 6 – populasi di atas 500 ribu ekor
Total populasi babi di Indonesia = 8.542.488 ekor
4. Fakta produksi babi di Indonesia
• ± 33,8 juta orang adalah konsumen daging babi (13% populasi
non Muslim).
• Konsumsi daging babi per kapita 2,4 kg per tahun (China 39,9
kg, Vietnam 30,4 kg, dan Filipina 15,4 kg).
• Produsen babi sebagian besar adalah peternak kecil (368.000
rumah tangga):
• 38,56% memiliki kurang dari 5 ekor babi;
• 48,84% memiliki 5-20 ekor babi; dan
• 12,6% memiliki lebih dari 20 ekor babi.
• ±1.000 ekor babi hidup per hari diekspor ke Singapura (eksportir
PT Indo Tirta Suaka berlokasi di Pulau Bulan, Kep. Riau).
Sumber: Sillahi P. (2018). Pig Production in Indonesia. Tunghai University.
5. ASF masuk penyakit daftar OIE?
• African swine fever (ASF) adalah penyakit daftar OIE (OIE
listed disease) yang mengharuskan negara anggota untuk
mengirimkan informasi tepat waktu tentang kejadian
penyakit ke OIE.
• Virus ASF adalah virus DNA yang besar dengan ‘double
stranded’ berselubung dari keluarga Asfariviridae.
• ASF adalah suatu penyakit hemoragik pada semua babi
(domestik dan liar dari keluarga Suidae).
• Mengingat karakteristik virus ASF yang sangat menular,
menghancurkan secara ekonomi, stabil di lingkungan dan
non-zoonotik, virus ini memiliki potensi untuk digunakan
dalam kegiatan agro-terorisme.
6. Bagaimana gambaran penyakit ASF?
• African swine fever (ASF) secara klinis tidak dapat dibedakan
dengan classical swine fever (CSF).
• Pergerakan hewan tertular adalah cara yang paling signifikan dari
penyebaran penyakit.
• Pengangkutan melalui peran fomit adalah metoda yang terbukti
menyebarkan virus ASF. Kendaraan pengangkut yang digunakan
untuk mentransportasikan pejantan pemacek, limbah dan pakan
merupakan risiko yang signifikan.
• Virus ASF tidak dapat ditularkan jarak jauh tanpa melibatkan
bantuan manusia.
• ASF adalah penyakit yang variasinya sangat tinggi dengan
beberapa bentuk, mulai dari penyakit dengan morbiditas dan
mortalitas yang tinggi sampai kepada bentuk yang sangat ringan.
Sumber: AUSVETPLAN (2016). Disease strategy African swine fever Version 4.1.
7. Kecepatan penyebaran ASF
• Di masa lalu, ASF seringkali dinyatakan sebagai penyakit yang
sangat menular dengan mortalitas sampai 100%.
• Pada epidemi ASF saat ini (2018-2019), penyebaran pada babi
domestik, tetapi juga pada babi liar, berjalan secara konstan,
tapi relatif menyebar secara lambat.
• Hasil dari beberapa eksperimen dan studi lapangan mendukung
anggapan bahwa penyebaran tidak selalu cepat.
• Penyebaran ASF dan kecepatannya bergantung kepada
berbagai faktor menyangkut hospes, virus dan juga lingkungan.
• Banyak dari faktor-faktor ini dan efeknya belum sepenuhnya
dipahami.
Sumber: Schulz K. et al., 2019. Review: African Swine Fever:
Fast and Furious or Slow and Steady? Viruses 2019, 11, 866.
8. Bagaimana ASF ditularkan dan
menyebar?
• Virus ASF akan ditemukan di seluruh cairan tubuh dan dalam
daging babi yang terinfeksi.
• Virus ASF tetap bertahan infeksius untuk jangka waktu lama di
dalam darah, jaringan tubuh dan feses dari babi yang terinfeksi,
artinya orang, pakaian, kendaraan atau peralatan yang kontak
dengan material terinfeksi tersebut dapat menularkan ASF ke babi
yang sehat.
• Daging babi yang tidak dimasak atau kurang dimasak dari babi
yang terinfeksi juga merupakan produk yang berisiko sangat
tinggi, meskipun babi tidak kelihatan sakit pada saat pemotongan.
• Virus dapat bertahan dalam lingkungan selama berbulan-bulan,
sehingga kandang dan bangunan peternakan yang terkontaminasi
berisiko tinggi.
9. Penularan ASF lewat kontak babi ke babi
• Babi terinfeksi terutama lewat rute oro-nasal setelah
kontak dengan babi terinfeksi atau setelah makan daging
babi yang mengandung virus atau produk terkontaminasi.
• Seluruh ekskresi dan sekresi dari babi yang terinfeksi
seperti darah, feses, urin atau saliva dapat mengandung
virus, dan virus ASF tetap bertahan hidup dalam darah
dan jaringan untuk jangka waktu lama (EFSA 2013;
Gallardo et al. 2014; Sánchez-Vizcaíno et al. 2010).
• Onset viremia yang diamati antara 3 – 5 hari pasca infeksi
dan penularan lewat kontak langsung dapat terjadi dalam
beberapa minggu (Wilkinson 1989).
10. Dinamika penularan ASF (R0) dalam
kondisi lapangan
Lokasi (tahun) R0 95% C.I. Referensi
Belanda 4,92 0,82 – 29,34 Ferreira, H.C. et al. 2012
Malta 18,0 6,90 – 46,90 Ferreira H.C. et al. 2013
Gulu, Uganda (peternakan
tertular terdekat)*
3,24 3,21 – 3,27 Barongo M.B. et al. 2015
Rusia (antar peternakan) 2 – 3 Gulenkin V.M. et al. 2011
Rusia (antar peternakan
tertular)
8 – 11
Ukraina (dalam satu
peternakan)
7,46 5,68 – 9,21 Korenoy F.I. et al. 2016
Ukraina (antar peternakan) 1,65 1,42 – 1,88
Rusia (antar kelompok babi
liar)
1,58 1,13 – 3,77 Iglesias I. et al. 2016
Georgia 1,4 0,6 – 2,4 Guinat C. et al. 2016
2,8 1,3 – 4,8
Uganda (skala kecil) 3,24 Barongo M.B. et al. 2015
11. Hewan peka ASF
• Babi domestik dan babi hutan liar
• Kategori semua umur (tidak bergantung umur)
• Tidak ada kecenderungan gender
• Babi liar Afrika – Warthog –
tidak terlihat terinfeksi dan
bertindak sebagai hospes
‘reservoir’ virus ASF di Afrika.
• Babi hutan liar – ASF
endemik pada populasi di
Eropa (sylvatic epidemic).
Warthog Babi hutan liar
Sumber: Masiulis M. Presentation: Introduction
to African swine fever. Lithuania.
12. Definisi kasus ASF (case definition)
1. Kasus terduga (suspected case)
Setiap babi yang menunjukkan demam, anoreksia, lesu, kemerahan
pada kulit dan kematian dengan tingkat mortalitas diatas 5% atau
kematian mendadak di atas 30% tanpa gejala klinis menciri (Sindrom
Prioritas DMB).
2. Kasus terduga kuat (probable case)
Setiap babi yang memenuhi kriteria kasus terduga ASF dan
menunjukkan perubahan patologi berupa pembengkakan limpa
disertai warna ungu kehitaman dan rapuh, serta pembengkakan
limpoglandula.
3. Kasus terkonfirmasi (confirmed case)
Setiap babi yang memenuhi kriteria kasus terduga kuat yang telah
dideteksi komponen genetik virus ASF dengan metoda PCR di
Laboratorium yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Peternakan dan
Kesehatan Hewan
Sumber: Pedoman KIATVETINDO ASF (2019) Direktorat
Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan.
13. Gejala klinis ASF
• Demam (sampai 42°C),
• Depresi dan kehilangan nafsu makan
• Hiperaemia dan cyanosis (kelihatan seperti kemerahan) dari kulit,
terutama pada telinga dan moncong
• Batuk dan meningkatnya tingkat pernafasan
• Muntah dan diarhea (kadang-kadang berdarah)
• Aborsi
• Eksudat keluar dari mata dan hidung
• Mortalitas terjadi setelah 1 - 2 minggu, dapat mencapai 100% dan yang
bisa bertahan merupakan ‘carrier’ hidup dari virus.
14. A. Hemoragik yang hebat dan terpencar pada epikardium jantung. B. Oedema
interstisial ringan pada paru-paru. C. Hemoragik yang hebat dan oedema pada
dinding kandung empedu dan hati. D. Limpa yang sangat membengkak, rapuh, dan
berwarna hitam gelap. E. Limfoglandula mesenterik menunjukkan pembengkakan
ringan dan berwarna merah kehitaman. F. Limfoglandula gastro-hepatik sangat
bengkak dan hemoragik.
15. Uji Spesimen Deteksi agen Lama hasil
Deteksi agen:
Isolasi virus Darah EDTA/jaringan Virus 1 – 2 minggu
ELISA Darah EDTA/jaringan Antigen 1 hari
Karakterisasi agen:
PCR and
sequencing
(genotyping)
Darah EDTA/jaringan
/isolat virus
Genom virus 2 – 3 hari
Serologi:
ELISA Serum Antibodi 1 hari
Diagnosa laboratorium
Sumber: AUSVETPLAN (2016). Disease strategy African swine fever Version 4.1.
PCR adalah uji ‘gold standard’ untuk deteksi dini ASF untuk
mendeteksi genom virus dalam setiap sampel dari babi domestik,
babi hutan liar dan caplak (Gallardo et al., 2015; Oura et al., 2013).
16. • Pemberantasan ASF sangat sulit dan
melibatkan sumber daya yang besar.
• Pada keadaan dimana wabah ASF adalah yang
utama, pemberantasan hanya dapat dicapai
dengan depopulasi total populasi nasional.
• Jika populasi babi liar sudah tertular juga,
eradikasi mungkin tidak praktis lagi.
Sumber: AUSVETPLAN (2016).
Disease strategy African swine
fever Version 4.1.
17. Karakteristik ASF yang membuat
sulit diberantas
• Tidak ada vaksin tersedia.
• Virus ASF dapat bertahan untuk jangka waktu lama di
lingkungan dan virus resisten terhadap banyak perlakuan yang
menginaktvasi patogen lain.
• Persistensi virus ASF di lingkungan membatasi penggunaan
hewan sentinel, mencegah pengisian kembali (restocking) awal
setelah wabah dan memerlukan monitoring berkelanjutan
disebabkan karena ASF berpotensi muncul kembali.
• Pembersihan menyeluruh dan penghapusan seluruh produk
hewan (feses, darah, dstnya) adalah sangat penting sebelum
disinfeksi mulai dilakukan.
• Tidak ada implikasi pada kesehatan masyarakat.
Sumber: AUSVETPLAN (2016). Disease strategy African swine fever Version 4.1.
18. Opsi kebijakan pengendalian dan
pemberantasan ASF
• ‘pemusnahan menyeluruh’ (stamping out) — pemusanahan
cepat dan disposal babi yang sakit atau potensi terpapar hewan
sakit.
• ‘Pengendalian jangka panjang’ (long-term control) —
mengakui status endemik, penggunaan kompartementalisasi,
pengendalian vektor caplak dan babi liar, dan peningkatan
biosekuriti pada industri babi komersial.
• Opsi terakhir akan sangat bergantung kepada apakah wabah
adalah wabah tunggal (di satu wilayah saja) atau wabah
berganda (multiple outbreaks), dan apakah penyakit telah
menjadi stabil dalam populasi babi liar di daerah-daerah yang
sebagian besar tidak dapat diakses.
Sumber: AUSVETPLAN (2016). Disease strategy African swine fever Version 4.1.
19. • Hanya jika wabah dapat dideteksi dini dan secara geografis
terbatas pada suatu wilayah atau area kecil.
• Hanya diterapkan bagi introduksi baru ke suatu wilayah atau
area baru.
• Hanya dengan komunikasi yang tepat terhadap pemangku
kepentingan yang terkena dampak mengenai tindakan-tindakan
sebelum pelaksanaan.
• Hanya dengan kompensasi yang memadai dan tepat waktu.
• Hanya dengan pra-alokasi sumberdaya yang memadai yang
dapat dimobilisasi tepat waktu: personil yang telah dilatih,
peralatan dan bahan habis pakai.
‘Stamping out’ ASF(???)
Sumber: Presentation Bouna Diop at the African Swine Fever Diagnostics,
Surveillance, Epidemiology and Control Workshop, Nairobi, Kenya, 20-21 July 2011
20. Strategi pengendalian ASF di tingkat
nasional
• Legislasi yang komprehensif
• Sistim kesehatan hewan nasional yang kuat dengan
rantai komando (chain of command)
• Rencana kontinjensi yang secara teknis tersusun
dengan baik
• Sumberdaya anggaran dan dana darurat yang
memadai, dengan skema kompensasi penyakit
• Kemitraan pemerintah dan swasta yang kuat (public
private partnership)
Sumber: Presentation Dr Rozstalnyy (FAO) and Dr Plavšić (OIE). Strategic challenges
to global control of African Swine Fever. 87th General Session, 26-31.05.2019. Paris.
21. Tindakan pengendalian selama
wabah ASF berlangsung
• Penerapan depopulasi di peternakan babi tertular secara tepat
waktu dan benar;
• Pengumpulan dan disposal yang aman dari karkas babi;
• Pembersihan dan disinfeksi;
• Penghentian pergerakan (stand-still) dan pembatasan lalu lintas;
• Peningkatan kapasitas peringatan dini dan deteksi cepat melalui
surveilans epidemiologi (contoh: babi mati dan sakit);
• Pembatasan pemberian pakan sisa (swill feeding) sebelum
dimasak pada 900C selama 60 menit;
• Pelatihan dan kampanye peningkatan kesadaran.
Sumber: Presentation Dr Rozstalnyy (FAO) and Dr Plavšić (OIE). Strategic challenges to global
control of African Swine Fever. 87th General Session, 26-31.05.2019. Paris.
22. Zona pengendalian
Zona bebas
Zona tertular
Zona surveilans
Sumber: Modifikasi dari EFSA Journal, Volume: 16, Issue: 11, First
published: 29 November 2018, DOI: (10.2903/j.efsa.2018.5494)
Penetapan
zonasi dalam
situasi wabah
• Zona tertular
• Zona pengendalian
• Zona surveilans
• Zona bebas
23. Implementasi standar dan praktik OIE
untuk efektivitas pengendalian ASF
• Program untuk pencegahan, deteksi dini dan intervensi dan
kebijakan kompensasi.
• Tindakan-tindakan biosekuriti.
• Penelusuran ternak babi dan pengendalian lalu lintas.
• Monitoring resmi yang efektif (official monitoring).
• Manajemen populasi babi liar.
• Penyembelihan babi sesuai dengan aturan kesejahteraan
hewan, dan disposal yang aman untuk produk babi yang
terkontaminasi.
• Peningkatan kerjasama antara berbagai pemangku kepentingan
dan antar negara.
• Program pelatihan dan peningkatan kesadaran berkelanjutan.
Sumber: http://oiegeneralsession.com/en/african-swine-fever-the-oie-
launches-a-global-initiative-to-control-the-disease/
24. Respon terkoordinasi
• Karena epidemiologinya yang kompleks, tidak mungkin untuk
mengendalikan ASF tanpa adanya RESPON TERKOORDINASI
dari berbagai sektor yang terlibat di pusat dan daerah.
• Selain otoritas di sektor peternakan dan kesehatan hewan yang
harus mampu mengkoordinasikan respon secara utuh di tingkat
pusat dan daerah yang melibatkan:
• otoritas karantina
• peternak dan perusahaan babi;
• universitas (FKH, Fapet);
• otoritas kehutanan dan konservasi;
• asosiasi profesi (PDHI; ADHMI);
• asosiasi komoditi (AMI, ASPERBA, GUPBI);
• asosiasi pemburu babi;
• asosiasi pariwisata, dan
• asosiasi angkutan ternak.
Sumber: modifikasi dari
http://oiegeneralsession.com/e
n/african-swine-fever-the-oie-
launches-a-global-initiative-to-
control-the-disease/
25. Tingkat biosekuriti ASF
Peternak babi rakyat
Peternak babi
komersial skala kecil
Peternak babi
komersial skala
besar
Tingkat
risiko (??)
26. Pembelajaran dari Uganda
• Tindakan-tindakan biosekuriti kebanyakan tidak
diimplementasikan di sebagian besar peternakan babi skala
kecil dan simpul-simpul lainnya dari rantai nilai (pig value chain)
di Uganda (Dione et al., 2015).
• Pengalaman di Uganda menunjukkan bahwa peningkatan
tindakan biosekuriti di peternakan dalam waktu 2 minggu dapat
mengurangi kemungkinan kejadian wabah ASF dalam kelompok
sebanyak 74% (Barongo et al., 2016).
• Meskipun implementasi intervensi biosekuriti menghasilkan
penurunan wabah ASF, hal ini bukan hanya menyebabkan 6,3%
penurunan margin keuntungan dari peternak per tahun, tetapi
juga kenaikan 7% dari margin aktor lain sepanjang rantai nilai
(value chain).
27. Prosedur inaktivasi virus ASF pada
pakan sisa (swill) dan daging (meat)
• Pakan sisa (swill) dipanaskan pada temperatur
paling tidak 90°C setidaknya selama 60 menit,
dengan diaduk terus menerus.
• Daging (meat) diperlakukan dengan pemanasan
setidaknya 30 menit pada temperatur minimum
70°C, yang harus dicapai ke seluruh daging.
OIE Code Article 15.1.22.
OIE Code Article 15.1.23.
28. Senyawa kimia yang efektif untuk
inaktivasi virus ASF
• 1% formaldehyde,
• Sodium hypochlorite (0,03% - 0,0075%)
• 2% caustic soda solution (agen virucidal yang kuat)
• Glutaraldehyde, formic,
• 1% sodium atau calcium hydroxide (efektif untuk inaktivasi
pada limbah bubur (slurry) pada 4°C)
• Phenols – lysol, lysephoform, dan creolin
• Senyawa kimia berdasarkan larutan lemak (lipid solvents)
• Senyawa multi-konstituen – Virkon (1:100), Lysoformin,
Desoform, Octyldodeceth-20 (OD-20) surfactants,
kandungan aktif, asam organik, glycosal, dst.
29. Konsep kompartementalisasi
Kompartemen bebas ASF
• Pembentukan kompartemen bebas ASF harus mengikuti
persyaratan yang relevan dan prinsip-prinsip yang ada
dalam Chapter 4.4. dan 4.5.
• Zona dan kompartementalisasi
• Aplikasi kompartementalisasi
OIE Code Article 15.1.5.
OIE Code Chapter 4.4.
OIE Code Chapter 4.5.
30. Kompartementalisasi dalam OIE Code
Penyakit hewan darat Kompartementalisasi?
Babi: CSF dan ASF Ya
Unggas: ND dan AI Ya
Kuda: Equine influenza Ya
Ruminansia: FMD, BSE, CBPP, EBL, TB Ya
Domba dan kambing: Scrapie, Peste des
petits ruminants (PPR)
Ya
Brucella abortus, B. melitensis, B. suis Tidak
Ruminansia: IBR, trichomonosis, genital
camphylobacteriosis
Tidak
Unggas: IB, ILT, mycoplasmosis,
pullorum, IBD
Tidak
31. Praktik ‘Zona’ dan ‘kompartementalisasi’
KompartementalisasiZona (Zoning)
TERINFEKSI
BEBAS
TERINFEKSI
BATAS
BIOSEKURITI
Sumber: Torres G. (2019). OIE Regionalization The Compartmentalisation
Concept. [Modified from USDA APHIS]
32. 3 prasyarat untuk kompartemen
• Kompartemen
di negara non-
ekspor
• Kompartemen
di negara
tertular
Kepercayaan (TRUST)
Transparansi
Standar
Sumber: Torres G. (2019). OIE Regionalization The Compartmentalisation
Concept. [Modified from USDA APHIS]
33. Kompartemen di negara non-ekspor
• Tujuan dari suatu kompartemen adalah menyediakan suatu
tingkat kepercayaan yang tinggi bahwa ternak babi di dalam
kompartemen akan tetap bebas dari ASF, meskipun ada
penyakit di negara tersebut.
• Suatu kompartemen didasarkan atas prosedur biosekuriti yang
ketat yang diimplementasikan dengan menggunakan metoda
formal yang didukung oleh sains yang baik.
• Kompartemen dapat digunakan secara efektif untuk mengelola
risiko bisnis dari terjadinya wabah ASF, baik pada peternakan
individu, atau sepanjang sistim produksi terintegrasi, bahkan
bagi produsen daging babi yang hanya melakukan perdagangan
domestik dan tidak melakukan ekspor.
Sumber: AUSVET (2019). Technical Write Paper. Business Continuity in the
Face of African Swine Fever: Compartmentalisation and Company Biosecurity.
34. Kompartemen bebas di negara
tertular ASF (1)
• Membangun kompartemen bebas ASF di suatu negara yang
sudah tertular adalah MUNGKIN.
• Implementasi biosekuriti yang ketat sepanjang sistim produksi
terintegrasi dapat memastikan bahwa penyakit tidak masuk ke
kompartemen, sehingga dapat mencegah biaya besar akibat
wabah penyakit.
• Justifikasi ini memadai untuk menciptakan suatu kompartemen,
dan dapat mewakili suatu alur yang efektif bagi produsen di
suatu negara yang sedang terinfeksi untuk mengembangkan
produksi dan melanjutkan operasinya secara menguntungkan,
meskipun jika penyakit tidak dapat dieradikasi dari negara
tersebut dalam jangka pendek atau menengah.
Sumber: AUSVET (2019). Technical Write Paper. Business Continuity in the
Face of African Swine Fever: Compartmentalisation and Company Biosecurity.
35. Kompartemen bebas di negara
tertular ASF (2)
• Jika suatu perusahaan babi komersial tertarik untuk
mengekspor produk, di bawah standar internasional OIE,
adalah mungkin untuk suatu kompartemen seperti itu untuk
mengekspor ke negara bebas ASF, sepanjang kompartemen
tersebut dapat diterima baik oleh negara pengekspor dan
negara pengimpor.
• Meskipun kemungkinan negara pengimpor memerlukan suatu
tingkat penjaminan yang tinggi dalam rangka untuk menerima
suatu kompartemen baru yang dibangun di suatu negara yang
terinfeksi.
Sumber: AUSVET (2019). Technical Write Paper. Business Continuity in the
Face of African Swine Fever: Compartmentalisation and Company Biosecurity.
36. Langkah-langkah yang dilakukan untuk
implementasi kompartementalisasi
1. Pertimbangan adanya standar internasional
2. Pertimbangan praktis (misalnya skala perusahaan babi dan
integrasi)
3. Pengembangan rencana biosekuriti
4. Identifikasi alur risiko (risk pathways)
5. Definisi kompartemen
6. Penilaian lengkap tentang biosekuriti
7. Surveilans deteksi dini (early detection)
8. Penelusuran (traceability)
9. Penilaian abatoar
10. Rencana kontijensi (contingency planning)
11. Penilaian budaya tempat kerja (workplace culture)
12. Standar nasional kompartementalisasi
13. Pengakuan komparteman oleh mitra dagang
Sumber: AUSVET (2019).
Technical Write Paper.
Business Continuity in the
Face of African Swine Fever:
Compartmentalisation and
Company Biosecurity.
37. Manajemen risiko ASF (1)
1. Menghentikan penyebaran virus dengan pengawasan lalu
lintas babi dan produk babi antar desa, kecamatan dan
kabupaten di provinsi tertular.
2. Pendaftaran seluruh peternakan babi baik skala kecil
maupun besar ataupun data lain yang menunjukkan lokasi
babi domestik terutama peternakan skala kecil.
3. Pelaksanaan program wajib biosekuriti.
4. Mencegah penggunaan pakan sisa (swill feeding)
sebelum dimasak untuk inaktivasi virus ASF.
5. Diagnosa dengan identifikasi cepat pada lokasi terinfeksi
dan lokasi terancam dengan menggunakan sero-
surveilans serta pelacakan hewan berdasarkan penilaian
epidemiologi.
38. Manajemen risiko ASF (2)
6. Karantina dan pengawasan lalu lintas pada lokasi terinfeksi
dan daerah terancam untuk mencegah pergerakan babi,
produk babi dan barang-barang lain yang dapat membawa
virus ASF.
7. Meminimalkan paparan dengan mencegah kontak baik
langsung maupun tidak langsung dengan babi yang terinfeksi,
produk babi dan bahan-bahan yang terkontaminasi
8. Eliminasi infeksi dari daerah terinfeksi dan/atau populasi babi
terinfeksi dengan pemusnahan babi secara cepat dengan
disposal karkas dan bahan-bahan terkontaminasi dan
dekontaminasi.
9. Menarik peredaran daging dan jeroan babi yang berasal dari
peternakan terinfeksi.
10. Implementasi zona dan kompartemen yang sesuai.