Tiga kalimat ringkasan dokumen tentang manajemen gigitan ular berbisa adalah: Dokumen tersebut membahas epidemiologi, jenis, gejala klinis, diagnosis, dan penatalaksanaan gigitan ular berbisa baik secara pre-hospital maupun di rumah sakit termasuk pemberian serum anti bisa ular.
2. PENDAHULUAN
Angka Kejadian : 1,5 juta hingga 3 juta per tahun
Mortalitas : lebih dari 100.000 kematian di seluruh dunia.
American Association of Poison Control Centers melaporkan rata-rata
tahunan sebesar 6000 gigitan, sekitar 2000 di antaranya oleh ular
berbisa.
Ular berbisa utama di dunia dapat dibagi menjadi tiga kelompok:
Viperidae (ular berbisa dan pit vipers)
Elapidae (termasuk Hydrophiinae, atau ular laut),
beragam kelompok colubrid non-front-fanged (Famili Colubridae, sekarang terpecah
menjadi beberapa famili).
4. JENIS ULAR BERBISA
Di Asia Tenggara, WHO membagi kategori khusus :
- Kategori 1: Kepentingan medis tertinggi: Ular yang sangat berbisa
yang sering atau tersebar luas dan menyebabkan banyak kasus
gigitan, menimbulkan tingginya tingkat morbiditas, disabilitas, dan
mortalitas.
- Kategori 2: Kepentingan medis sekunder: Ular yang sangat berbisa
yang dapat menyebabkan morbiditas, disabilitas, atau mortalitas,
tetapi (a) kekurangan data epidemiologis dan klinis yang pasti atau
(b) lebih jarang berpengaruh karena sifat alamiahnya, pilihan habitat
atau dijumpai pada area yang jauh dari populasi besar manusia (WHO
2010).
7. ULAR BERBISA VS TIDAK BERBISA
Gold, Dart & Barish 2002
• Ular tidak berbisa : kepala segi empat
panjang, gigi taring kecil, bekas gigitan
luka halus berbentuk lengkungan
• Ular berbisa : kepala segitiga, dua gigi
taring besar di rahang atas, terdapat dua
luka gigitan utama
8. VENOM
• Bisa ular (venom) terdiri dari 20 atau lebih komponen,
diproduksi dan disimpan pada sepanjang kelenjar di bawah
mata ular.
• Sebagian besar (90%) venom adalah protein, terdiri dari :
• Enzim
• Polipeptida non-enzimatik (neurotoksin)
• Protein non-toksik (nerve growth factor)
• Amin biogenik (histamin, 5-hidroksitriptamin)
WHO, 2010.
9. PATOFISIOLOGI
Gigitan
ular
berbisa
Bisa ular
Merusak sel
endotel dan
eritrosit
Blok reseptor
Ach
Aktivasi faktor V,IX,X
Mengubah
fibrinogen fibrin
Permeabiltas
meningkat
- Edema
perifer
- Edema paru
- Perdarahan
- hipotensi
- Ptosis
- Disfagia
- Paresis
- Kejang
- koma
- Aktivasi
kaskade
koagulasi
- Consumptive
coagulopathy
- Unstable clot
formation
VICC
10. Beberapa mekanisme enzim yang telah diketahui :
• Zinc metalloproteinase haemorrhagins merusak
endotel vaskular perdarahan
• Enzim-enzim prokoagulan stimulasi pembekuan
melalui pembentukan fibrin yang lemah akibat
aktivasi plasmin & “consumption coagulopathy”
(deplesi faktor pembekuan) pembekuan darah
terganggu
• Hialuronidase penyebaran venom secara cepat
melalui jaringan subkutan dengan memecah
mukopolisakarida
ENZIM VENOM
WHO, 2010.
18. TATALAKSANA
First aid pre hospital
Bebat tekan
Imobilisasi
Segera rujuk
Identifikasi ular (foto)
Hospital treatment
Anamnesis
Diagnosis spesies
Cek laboratorium
Antivenom (SABU)
WHO, 2016.
21. TATALAKSANA DI RUMAH SAKIT
• Jika ada tanda penyebaran toksin, tidak direkomendasikan menggunakan Tourniquet
Penekanan arteri dan iskemi
•Evaluasi lokasi gigitan: perluasan pembengkakan, tanda-tanda awal nekrosis,
pigmentasi, pembusukan.
• Pemeriksaan tanda-tanda vital
• Evaluasi tanda-tanda perdarahan pada kulit dan mukosa
• Pemeriksan laboratorium: whole blood clotting test, INR, PT, aPTT, FDP/D-dimer
• Tes 20WBCT: apabila lokasi di pedesaan. 2 ml darah vena segar dalam gelas kering dibiarkan
selama 20 menit. VICC (+) bila CT > 20 menit
Clotting (+) : no coagulation disorder (NonHemotoxin)
Clotting (-) : coagulation disorder (HEMOTOXIN)
•DO NOT DO CROSS INCISION !!
WHO, 2016.
22. TATALAKSANA DI RUMAH SAKIT
• Pemeriksan laboratorium lainnya: Hb, HCT, neutrophil leukositosis,
trombositopenia, helmet cell, schistocytes (hemolisis spontan),
myoglobinemua
• Kelainan biokimia: BUN, SK, K (tanda acute kidney injury),
peningkatan SGOT&SGPT (tanda kerusakan otot)
• Pemeriksaan urin: hemoglobinuria, myoglobinuria, proteinuria,
adanya sel eritrosit mikroskopik (tanda perdarahan glomerulus),
eosinophilia (tanda acute interstitial nephritis)
• Pemeriksaan penunjang lainnya: CXR (deteksi adanya edema paru,
perdarahan, efusi pleura, bronkopneumonia sekunder), USG
(mengetahui adanya racun, DVT, efusi dan perdarahan pleura dan
perikardium), echocardiography (disfungsi myocard), CT/MRI
(perdarahan intracranial), ECG (aritmia, tanda hiperkalemia)
WHO, 2016.
23. Lowest side of tape
1to lowest side of
tape 2 is 4 cm. So we
have RPP test is 2
cm/hour
RPP TEST
RATE PROXIMAL PROGRESSION TEST
24. TATALAKSANA DI RUMAH SAKIT:
SABU
• Antivenom (Serum Anti Bisa Ular/SABU) : antibodi heterolog dari
serum hewan yang telah imun terhadap bisa ular tertentu. Antibodi
tersebut mengikat dan menetralkan molekul venom.
WHO, 2016.
Pemberian SABU dengan indikasi
:
-Gejala sistemik
- Gejala hematoksik
- gejala neurotoksik
- Gejala kardiotoksik
- gejala gangguan fungsi
ginjal
- Gejala lokal :
- pembengkakan lokal
- pembengkakan yang meluas dengan
cepat
- keterlibatan pembuluh limfe
25. TREATMENT
Keep the Airway Breathing and Circulation stable
•Airway
• 02 Non Re-Breathing Mask 12 lpm
• Laryngeal Mask Airway and Endotracheal Tube (if needed)
• Suction if gargling (+), Head tilt and chin lift if snoring (+)
•Breathing
• Evaluate the respiratory rate
•Circulation
• Make iv access, give Normal Saline 0.9% (don’t forget to take some blood for
laboratory checking)
• Blood pressure
• Pulse
• Oxygen saturation by using pulse oxymetri
• Blood or Fresh Frozen Plasma as indicated
26. TREATMENT
•Immobilize bitten area by using Pressure Bandaging Immobilization
•Antivenom : DRUG OF CHOICE
•If the snake that bite the patient include in 3 snakes which are covered
by the SABU, we can give SABU quickly
•2 vials SABU + 100 ml Normal Saline 0.9% dripped 60-80 drop per
minute
•Repeated every 6-8 hours. BE AWARE TO RE-ENVENOMATION SIGN!!!
•Symptomatic
•Analgesia : morphine (PS≥7) and paracetamol infusion or oral (PS<7)
•Antibiotic
•When indicated, example : leucocytosis
27. TREATMENT
Anticholinesterase drugs
Especially for neurotoxin envenoming
Should give atropine before giving the drugs to prevent
physostigmine intoxication.
Physostigmine dose
Adult (>12 yo) : 1.0-2.0 mg
Children ≤ 12 yo : 0.02 mg/kg/dose (max single dose 0.5
mg)
Should be given slowly 3-5 minutes by IV push
Injeksi Tetanus Toxoid i.m
Fasciotomy was not the first line treatment, and only indicated if
there was no improvement after antivenom administration
28. INDIKASI PEMBERIAN SABU
• Gejala lokal memburuk seperti nyeri, ekimosis,
bengkak
• Hasil laboratorium tidak normal (trombositopenia,
pemanjangan faal hemostasis PT > 4-5 detik lebih
panjang daripada kontrol, penurunan fibrinogen, INR
> 1,2)
• Adanya manifestasi sistemik: tanda vital tidak stabil,
penurunan kesadaran, tanda perdarahan spontan,
koagulopati, gangguan kardiovaskular (hipotensi,
shock, aritmia, EKG abnormal), AKI, Hemoglobinuria,
rhabdomyolisis
Tinitally.
32. DOSIS PEMBERIAN SABU
• Berdasarkan Schwartz dan Way:
• Derajat 0-1 : tidak diperlukan antivenom
• Derajat II : 3-4 Vial
• Derajat III : 5-15 vial
• Derajat IV : penambahan 6-8 vial
WHO, 2016.
33. DOSIS PEMBERIAN SABU
• Rekomendasi dosis : 2 vial @5 ml, Encerkan SABU dengan 5 ml
cairan kristaloid/kgBB diberikan secara intravena selama 30-60
menit atau dengan syringe pump dengan kecepatan 2 ml/menit
Max dose 80-100ml (16-20 Vial)/24 jam
• Evaluasi tanda klinis, jika tidak mengalami perburukan/membaik
lanjutkan dosis maintenance ulangi 6-8 jam
• Reaksi anafilatik Injeksi adrenalin terlebih dahulu dapat
menurunkan reaksi berat sebanyak 43% pada 1 jam pertama dan
38% hingga 48 jam setelah pemberian.
WHO, 2016.
35. IF NO ANTIVENOM IS AVAILABLE
Konservatif :
1. Neurotoxic with respiratory paralysis :
assisted ventilation + Anticholinesterase
2. Haemostatic abnormalities :
Avoid Minor Trauma
Tranfusion of clotting factor and platelets, if indicated
3. Shock / Myocardial Damage :
Correct Hypovolaemia with Crystalloid
Vasopressor
4. Severe Local Evenoming:
Debridement + Fasciotomy if there is Compartment Syndrome
(Beware 5P)
36. KOMPLIKASI
• Koagulopati
• Infeksi
• Skin loss
• Komplikasi kardiovaskular
• Komplikasi hematologis
• Kolaps paru
• Neurotoxicity
• Urtikaria
• Glomerulonefritis (jarang)
Daley, Brian J., 2018. Snakebite Treatment and Management. (online). Emedicine.medscpae.com. Available at https://emedicine.medscape.com/article/168828-treatment#d2
[Accessed 2 Jan. 2020]
• Respiratory failure
• Blokade neuromuskular
berkepanjangan
• Hipersensitivitas tipe I (anafilaksis)
dan III (serum sickness)
• Arthralgia
37. ASAM TRANEXAMAT & VIT K
Berfungsi untuk koagulasi dengan memicu
jalur koagulasi
Asam tranexamat merupakan antifibrinolitik
Competitive inhibitor plasminogen
Vit K merupakan factor pembekuan darah
Beberapa studi mengatakan, pemberian
antifibrinolitik (TXA) + Faktor koagulan (Vit
K) pada conservative management
menurunkan LOS dan meningkatkan outcome
(INR <<) dan preventif hiperfibrinolitik
TXA hanya bermanfaat pada fase
hiperfibrinolitik. Pada gagal ginjal akut,
justru memperberat kondisi
Sapkota S, Acharya RR, Paudel N. 2018.
Achneck HE, Sileshi B, Parikh A, Milano CA, Welsby IJ, et al. 2010.