Dokumen tersebut membahas tentang anatomi dan fisiologi hidung serta penjelasan mengenai epistaksis (mimisan). Hidung terdiri atas hidung luar dan cavitas nasi yang dibagi menjadi bagian kanan dan kiri oleh septum nasi. Epistaksis adalah gejala berupa perdarahan dari hidung yang disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah di dalam hidung, dengan insidensi sekitar 60% populasi dunia yang pernah mengalaminya. Penyebab epist
1. PENDAHULUAN
Hidung merupakan bagian dari
saluran pernafasan awal. Udara masuk ke
dalam tubuh manusia melalui mulut dan
hidung. Hidung memiliki banyak
pembuluh darah yang berfungsi sebagai
termoregulasi udara yang masuk melalui
hidung. Pembuluh darah hidung yang
pecah merupakan tanda adanya
epistaksis (mimisan) (Morre & Arthur,
2013).
Epistaksis merupakan gejala dari
suatu penyakit lokal atau sistemik.
Insidensi epistaksis secara global masih
belum diketahui secara pasti.
Diperkirakan 60% dari populasi dunia
pernah mengalami satu kali episode
epistaksis selama hidupnya, dan 6%
diantaranya mencari pertolongan medis
(Nabil & Abdulsalam, 2014).
Pada kondisi epistaksis, penderita
maupun pemeriksa tidak jarang menjadi
panik. Penanganan dengan langkah dan
alat yang tepat dapat mengurangi
kecemasan dalam kondisi tersebut.
Prinsip dari penatalaksanaan epistaksis
adalah mengidentifikasi perdarahan dan
mengontrol perdarahan (Roberts et al,
2014).
Epistaksis yang hebat dapat
menjadikan kondisi yang berbahaya
seperti aspirasi darah ke dalam saluran
nafas bawah, juga dapat mengakibatkan
syok, anemia dan gagal ginjal. Akibat
pembuluh darah yang terbuka dapat
terjadi infeksi. Penanganan epistaksis
yang tidak tepat dapat memperparah
kondisi penderita (Mangunkusumo et al,
2012).
ANATOMI & FISIOLOGI HIDUNG
Hidung meliputi hidung luar dan
cavitas nasi, yang dibagi menjadi cavitas
nasi kanan dan cavitas nasi kiri oleh
septum nasi. Fungsi hidung adalah
olfaktori (penghidu), respirasi
(pernapasan), filtrasi debu, kelembapan
udara yang dihirup, eliminasi sekresi dari
sinus paranasalis dan ductus
nasolacrimalis (Morre & Arthur, 2013).
Hidung Luar
Hidung luar adalah bagian yang dapat
dilihat dan menonjol dari wajah. Ukuran
dan bentuk hidung bervariasi, terutama
karena perbedaan kartilagonya. Hidung
luar dibentuk oleh kerangka tulang dan
cartilago hialin yang dilapisi oleh kulit,
jaringan ikat dan otot yang berfungsi
untuk melebarkan atau menyempitkan
lubang hidung ketika otot-otot yang
bekerja pada hidung berkontraksi.
Kerangka tulang (pars ossea) terdiri dari:
Os.nasal
Processus frontalis os maxillae
Pars nasalis ossis frontalis dan spina
nasalisnya
Pars ossea septi nasi
Kerangka tulang rawan (pars
cartilaginea) terdiri dari:
Sepasang cartilago nasalis lateralis
Sepasang cartilago alaris
Satu cartilago septi nasi
Pada bagian kerangka tulang
dilapisi oleh kulit tipis, kulit pada
kartilago labih tebal dan banyak
mengandung glandula sebasea. Kulit
2. membentang ke dalam pada vestibulum
nasi, dimana terdapat rambut hidung
(vibrissae). Karena hidung biasanya
basah, rambut-rambut menyaring partikel
debu dari udara yang masuk cavitas nasi.
Septum nasi membagi ruang
hidung menjadi dua cavitas nasi serta
memiliki pars ossea dan pars cartilaginea
hialin yang mobil. Komponen utama
septum nasi:
Lamina perpendicularis ossis
ethmoidalis, yang membentuk pars
superior septum nasi, turun dari
lamina cribosa dan terus ke superior
lamina tersebut sebagai crista galii
Os. vomer, yang membentuk pars
posteroinferior septum nasi
(Morre & Arthur, 2013)
Cavitas Nasi
Cavitas nasi, dibagi menjadi dua yaitu
kanan dan kiri oleh septum nasi. Cavitas
nasi bagian depan disebut nares anterior
dan lubang belakang disebut nares
posterior (choanae) yang
menghubungkan cavum nasi dengan
nasopharynx. Mukosa melapisi cavitas
nasi kecuali vestibulum nasi yang hanya
ditutupi kulit dan vibrissae.
Batas-batas cavum nasi :
Atas : lamina cribosa, os.
sphenoid, os. frontonasalis
Dasar : os. maksila dan os.
palatum
Medial : septum nasi
Lateral : conchae nasi
Concha nasi (superior, media,
inferior) melengkung ke inferomedial,
struktur seperti gulungan yang
memberikan area permukaan yang luas
untuk pertukaran panas. Diantara
conchae terdapat rongga sempit yang
disebut meatus. Meatus ada 3 yaitu:
Meatus nasi superior ( muara
sinus ethmoidalis dan sinus
sphenoidalis)
Meatus nasi media (muara sinus
frontal, sinus maxillaries, sinus
ethmoidalis anterior)
Meatus nasi inferior (muara
ductus nasolcrimalis)
( Soetjipto et al, 2012)
Mukosa nasal sangat kuat
terikat dengan periosteum dan
perichondrium tulang penunjang dan
cartilage nasi. Mukosa berlanjut
dengan lapisan semua ruangan yang
berhubungan dengan cavitas nasi:
nasopharynx di posterior, sinus
paranasalis di superior dan lateral,
saccus lacrimalis dan conjunctiva di
superior. Dua pertiga inferior mukosa
nasal adalah area respiratori dan
sepertiga superior adalah area
olfactori. Udara yang berjalan pada
area respirasi hangat dan basah
sebelum berjalan melalui bagian lain
saluran pernapasan atas ke paru
(Morre & Arthur, 2013).
Pada bagian yang lebih
terkena aliran udara mukosa lebih
tebal dan terkadang mengalami
metaplasia. Mukosa tersusun dari
epitel, sel goblet, dibawahnya
terdapat tunika propria yang
3. mengandung pembuluh darah,
kelenjar mukosa dan jaringan
limfoid. Vasokonstriksi dan
vasodilatasi pembuluh darah ini
dipengaruhi oleh saraf otonom (
Soetjipto et al, 2012).
Vascularisasi hidung (nasus)
Mukosa hidung pada cavum
nasi terdapat pembuluh darah.
Cavum nasi mendapatkan
pendarahan dari:
1. Atas cavum nasi: a.ethmoidalis
anterior et posterior, cabang dari
a.ophtalmica dari a.carotis
interna.
2. Bawah cavum nasi: a.palatina
mayor, cabang dari a. maxillaries
interna dan a.sphenopalatina
yang keluar dari foramen
sphenopalatina memasuki rongga
hidung dibelakang ujung
posterior conchae media cabang
dari a.carotis eksterna.
3. Anterior nasi: cabang-cabang
a.facialis
4. Anterior septum: Plexus
Kiesselbach, anastomosis dari:
a. ethmoidalis anterior et
posterior
a. sphenopalatina
a. palatina mayor
a. labialis superior
5. Posterior-inferior lateral: Plexus
Woodruff, anastomosis dari:
a. sphenopalatina
a. pharyngeal
(Fatakia et al, 2010).
Epistaksis
Epistaksis (mimisan) sering terjadi
karena aliran darah ke mukosa nasal
sangat banyak. Semburan darah dari
hidung disebabkan oleh rupturnya arteri
di hidung
(Morre & Arthur, 2013).
Sangat penting memperhatikan bagian
yang menghubungkan cavitas nasi
dengan telinga melalui tuba auditiva
yang terletak dibelakang choanae, serta
cavitas nasi yang menghubungkan
dengan mata melalui ductus
nasolacrimalis. Pada pemasangan
tampon pada epistaksis aktif, jika tidak
tepat dalam pemasangan maka akan
didapatkan darah keluar dari telinga
atau mata.
Gambar 1. Hidung luar
4. Gambar 2. Dinding lateral cavum nasi, terdapat conchae nasi
superior, conchae nasi media, conchae nasi inferior.
Gambar 3. Dinding medial cavum nasi. Pada bagian posterior
terdapat choanae.
5. EPISTAKSIS
A. DEFINISI
Epistaksis atau mimisan
merupakan gejala berupa perdarahan
hidung (Mangunkusumo & Retno,
2012).
B. EPIDEMIOLOGI
Insidensi epistaksis secara
global masih belum diketahui secara
pasti, namun diperkirakan 60% dari
populasi dunia pernah mengalami
satu kali episode epistaksis selama
hidupnya, dan 6 % diantaranya
mencari pertolongan medis.
Sedikitnya 55% pria dan 45% wanita
telah dilaporkan. Epistaksis jarang
pada neonates namun sering ditemui
pada anak dan dewasa muda, dan
mencapai puncaknya pada dekade
ke-6 kehidupan (Nabil &
Abdulsalam, 2014).Di Kanada dari
222 orang 73,4% mengalami
epistaksis tanpa didahului trauma
sebelumnya, sedangkan 10% lainnya
mengalami epistaksis 42,9%
diantaranya memiliki riwayat
keluarga engan hemophilia,
trombositopeni, dan von willebrand
disease lebih rentan mengalami
epistaksis (Nash & Fiel, 2008).
Penelitian yang dilakukan di
Manado dari tahun 2010-2012 dari
1048 pasien dengan epistaksis,
kelompok umur yang paling banyak
mengalami epistaksis pada usia 25-
6. 44 tahun dengan jumlah 381
penderita (36,35%), pada penderita
usia <20 tahun umumnya
pendarahan dapat berhenti sendiri
sehingga jarang memerlukan
bantuan tenaga kesehatan. Penyebab
yang paling sering memicu
epistaksis adalah gangguan sistemik
yang dialami 613 penderita
(58,49%) dan sisanya 387 penderita
(36,93%) karena penyebab lokal
seperti trauma, bersin terlalu kuat
atau mengeluarkan secret terlalu
kuat (Limen et al, 2013).
C. ETIOLOGI
Lokal Sistemik
1. Trauma
Fractur : facial dan
nasal,
Iatrogenik
2. Perubahan tekanan
3. Perforasi septum
4. Bahan kimia
Penyalahgunaan kokain
Semprotan hidung (baik
steroid maupun
dekongestan
Amonia
Lainya : bensin, fosfor,
asam sulfat, dll
5. Tumor
6. Inflamasi
1. Koagulopati
Pemakain antikoagulan:
heparin
NSAID
Hemofilia
Von Willebrandt Disease
Gangguan Platelet
Kehamilan
Demam dengue
2. Gangguan Granulomatous
Penyakit Wegener
Sarcoidosis
Sifilis
Tuberculosis
Rhinoscleroma
SLE
Periarteritis nodosa
3. Intoksikasi
Cobalt
Fosfor
arsenik
4. Vaskular
Hipertensi
Arterosklerosis
Cicardian Onset
Selain etiologi diatas pada beberapa kasus penyebab dari epistaksis tidak
dapat diidentifikasi “Idiopatic”(Bertrand et al, 2005).
7. D. PATOFISIOLOGI
Perdarahan sering terjadi
ketika mukosa terkikis dan
mengenai pembuluh darah,
berdasarkan lokasinya epistaksis
dibagi menjadi dua bagian :
1. Epistaksis anterior
Pada epistaksis anterior
90 % muncul dari daerah plexus
Kiesselbach yang terletak pada
septum dan biasanya dapat
berhenti sendiri. Fungsi kelenjar
seromusinosa tidak baik
menyebabkan mukosa kering,
berkrusta, silia tidak berfungsi
serta mukosa erosi. Jika terpapar
oleh bakteri maka akan terinvasi
bakteri dan masuk enzim
fibrinolitik sehingga terjadi reaksi
inflamasi dan jaringan granulasi.
Apabila terjadi trauma ringan
mengakibatkan mudah berdarah
sehingga terjadilah epistaksis
(Nguyen et al, 2015).
Gambar 4. Mukosa hidung yang
tenang dalam kondisi normal
Gambar 5. Mukosa hidung
dalam kondisi epistaksis
2. Epistaksis posterior
Pada epistaksis posterior
81% muncul dari daerah dinding
nasal lateral, dapat berasal dari
a.sphenopalatina (plexus
Woodruff) dan a.ethmoidalis
posterior. Perdarahan biasanya
hebat dan jarang berhenti dengan
sendirinya. Sering ditemukan
pada pasien dengan hipertensi,
arteriosklerosis atau pasien
dengan penyakit kardiovaskuler
(Throntor et al, 2005).
Dalam penelitian Adhikari et al pada
pasien epistaksis aktif didapatkan
tekanan darah 141/92 mmHg
sedangkan saat kondisi post
epistaksis tekanan darah kembali
normal tanpa pemberian anti
hipertensi. Hipertensi pada
epistaksis, pada pasien dengan
perdarahan hidung pada umunya
akian merasa cemas dan binggung.
Kecemasan berhubungan dengan
stimulaasi simpatik dan sekresi
ketokolamin keadaan ini akan
meningkatkan kontraksi jantung
meningkatkan tekanan darah
sistolik. Stimulasi simpatik
berhubungan dengan vasokonstriksi
pembuluh darah meningkatkan
tekanan diastol (Adhikari et al,
2007).
E. DIAGNOSA
Diagnosis epistaksis secara
umum berdasarkan keluhan yang
dirasakan pasien, walau beberapa
individu dapat saja tidak mengalami
perdarahan aktif saat mencari
pertolongan medis. Pemeriksa perlu
mencari sumber perdarahan dan
menentukan apakah perdarahan
tersebut merupakan perdarahan
8. anterior atau posterior. Selebihnya,
penyebab lain yang mungkin
didapatkan dari riwayat medis dan
penemuan pada pemeriksaan fisik.
Diagnosis epistaksis posterior
biasanya didapatkan saat perdarahan
tidak dapat berhenti dengan tampon
anterior dan jika tidak dapat
mengidentifikasi sumber perdarahan
anterior. Penemuan lain yang
didapatkan saat curiga epistaksis
posterior yaitu jika perdarahan berat
dari kedua lubang hidung atau
terlihat adanya aliran darah di
belakang tenggorokan.
- Pemeriksaan hitung darah
lengkap, PT dan PTT dapat
dilakukan pada epistaksis
anterior jika curiga koagulopati.
- Pikirkan CT scan kepala dan
tulang fasial jika epistaksis
merupakan akibat dari trauma
atau curiga neoplasma
Standar diagnosis Eropa yang
direkomendasikan yaitu:
- Endoskopi nasal
- Inspeksi kavum oral, kavum
nasal, dan nasofaring
- EKG
- Pemeriksaan darah
Prosedur diagnosis tambahan:
- Monitor tekanan darah
- Mikrobiologi: Kultur sekret nasal
- CT scan/MRI
F. PENATALAKSANAAN
Pada saat pasien dalam kondisi
epistaksis dapat dilakukan
pertolongan pertama sebelum
dibawa ke pelayanan kesehatan atau
rumah sakit terdekat.
1. Pertolongan pertama epistaksis
Adapun pertolongan pertama
yang dapat dilakukan yakni:
b. Posisikan kepala menunduk
dan duduk condong ke depan
c. Tekan cuping hidung selama
10-15 menit (metode trotter)
d. Bernafas melalui mulut
e. Kompres pangkal hidung
dengan air dingin
Jika darah tidak berhenti maka
segera ke pelayanan kesehatan
terdekat!
Gambar 6. Pertolongan pertama
epistaksis pada orang dewasa.
Gambar 7. Pertolongan pertama
epistaksis pada anak-anak.
2. Indikasi rumah sakit
Kondisi tertentu pada
epistaksis mengharuskan untuk
segera dibawa ke rumah sakit,
seperti:
a. Mimisan tidak berhenti
dengan penekanan
9. b. Mimisan hebat sampai
menyebabkan pingsan
c. Mimisan berulang
d. Mimisan pada bayi atau anak
2 tahun
e. Sumbatan jala nafas
f. Mimisan akibat kelainan
anatomi dan trauma pada
wajah (Primacakti, 2015).
3. Penatalaksanaan epistaksis di rumah sakit
Pasien dengan perdarahan hidung prinsip dalam menanganinya adalah
identifikasi perdarahan dan kontrol perdarahan. Disamping itu tidak jarang
penderita dan pemeriksa dalam kondisi cemas, penanganan yang sistematis
dan penggunaan alat yang tepat dapat mengurangi kecemasan.
a. Airway, Breathing, Circulation
Kelas 1 Kelas 2 Kelas 3 Kelas 4
Kehilangan darah
(ml)
Sampai 750 750-1500 1500-2000 >2000
Kehilangan darah
(% vol darah)
Sampai
15%
15%-30% 30%-40% >40%
Denyut nadi <100 >100 >120 >140
Tekanan darah Normal Normal Menurun Menurun
Tekanan nadi
(mmHg)
Normal
atau naik
Menurun Menurun
90-110
Menurun
<90
Frekuensi
pernafasan
14-20 20-30 30-40 >40
Produksi urine
(ml/jam)
>30 20-30 5-15 Tidak
berarti
CNS/ status mental Sedikit
cemas
Agak
cemas
Cemas,
bingung
Bingung,
lesu,
lethargic
Penggantian cairan
(hukum 3:1)
Kristaloid Kristaloid Kristaloid
dan darah
Kristaloid
dan darah
Estimated fluid and blood losses based on patient’s presentation
(Adapted from American College of Surgeons’ Committee on Trauma,
2004)
Estimated Blood Volume (EBV):
BB x rata-rata volume darah
Biasa digunakan pada
anastesi
Rata-rata volume darah
Prematur neonates = 95ml/kg
Fulltrem neonates = 85ml/kg
Infants = 80 ml/kg
Adult man= 75 ml/kg
Adult women= 65 ml/kg
(sumber: international anesthesia
research society)
10. Total blood volume
Rumus = Kg BB x 70 ml
(sumber: McCall, Root E. &
Catheem. E, 2008. Phlebotomy
essential. Philadelphia: Lippincott
William and Willkins)
Urin normal : 0,5ml/kgbb/jam
(sumber: ATLS)
Kristaloid : cairan isotonik
seperti RL dan NaCL, Asering
Pada pasien dengan syok
hipovolemik diberiakn cairan
kristaloid karena sifatnya yang
isotonis sehingga
mempertahankan cairan yang
berada di intersititial. Hindari
pemberian cairan hipertonis,
karena menyebabkan darah
intrasel dan interstitial tertarik
kedalam pembuluh darah
sehingga semakin memperburuk
keadaan.
Transfusi mulai diberikan
pada pasien syok hipovolemik
grade 3. Transfusi yang diberikan
pada Hb turun (7), kehilangan
cairan 15% diberikan transfusi
PRC karena yang hilang adalah
komponen darahnya bukan
volume darahnya. Kalau masuk
syok hipovolemik grade 2-3
transfusi WB. Tanda kelebihan
cairan udem dan sesak, sesak
karena cairan mengumpul di
paru-paru saat dicek dengan
auskultasi menjadi suara dasar
vesikuler menurun sampai ronkhi
basah. Syok kardiogenik ditandai
dengan adanya :
– Ada gangguan irama
– JVP tinggi
– Ronchi basah dikedua basal
paru
– S3 gallop
– Bising jantung
– Deviasi trachea
b. Posisikan pasien
Ketika pasien
epistaksis datang, posisikan
pasien dengan benar. Jika
pasien sadar posisikan pasien
duduk tegak dan kepala
menunduk. Jika pasien dalam
kondisi kesadaran menurun,
posisikan berbaring, kapala
miring ke posisi yang
berlawanan dari hidung yang
epistaksis.
Why ?
Mengapa harus
posisi duduk
dan berbaring
dengan kepala
dimiringkan?
Untuk mencegah
terjadinya aspirasi
jika pasien mengalami
penurunan kesadaran.
Mengapa
kepala
dimiringkan ke
arah
berlawanan dari
epistaksis?
Darah membeku
mengikuti arah
gravitasi, jika miring
ke arah yang terjadi
epistaksis maka akan
menyumbat rongga
hidung karena bekuan
darah yang terbentuk.
Selain itu juga
mempermudah untuk
pemasangan tampon.
11. c. Metode trotter
Setelah memposisikan
pasien, tekan cuping hidung
selama 10-15 menit (metode
trotter) untuk menghentikan
perdarahan. Selama menekan
cuping hidung kita
memerintahkan petugas
kesehatan yang lain untuk
menyiapkan alat-alat yang
akan digunakan, dan lakukan
anamnesis secukupnya untuk
mengetahui keberatannya
epistaksis, yakni:
Anamnesis:
1) Lokasi (hidung,
mulut)
2) Waktu
3) Kuantitas (dengan
ukuran gelas
blimbing, dapat
digunakan untuk
mempertimbangkan
banyaknya darah
yang keluar curiga
adanya syok)
4) Trauma
5) Penyakit penyerta
6) Penggunaan obat
7) Riwayat perdarahan
sebelumnya
Persiapkan alat-alat:
1) Headlight
2) Gloves, mask, and
gown
3) Anastesi topical,
vasokonstriktor,
antibiotic ointment,
vaselin
4) Nasal speculum
5) Tongue depressors
6) Small red rubber
catheters
7) Bayonet forceps
8) Scissors
9) Kidney basin
10) gauze
11) nasal tampons, dual-
ballon pack, foley
cateter (no.16,14,12)
12) silver nitrat sticks or
electrocautery
12. Gambar 8. Alat-alat penanganan epistaksis
Perlu memikirkan tindakan
apa yang akan dilakukan. Pada
epistkasis anterior, mungkin dapat
dilakukan penanganan sampai akhir
namun jika epistaksis posterior
memerlukan manuver yang sering
dilakukan hingga proses berhenti
atau konsulan dapat
menyempurnakan prosedur
hemostatik definitif. Mengontrol
perdarahan dipengaruhi oleh waktu
dalam persiapan alat dan pasien yang
kooperatif. Adapun indikasi,
kontraindikasi dan komplikasi dalam
penatalaksanaan epistaksis, yakni:
– Indikasi : Epistaksis
menetap.
– Kontraindikasi : Trauma
facial massif dengan
kemungkinan fraktur basis cranii
– Komplikasi :
1) Kauter : nasal septal
injury/perforation,
rebleeding
2) Tampon anterior : sinusitis,
nasolacrimal bleeding, nasal
mucosa pressure necrosis
3) Tampon posterior : infeksi,
disfagia, disfungsi tuba
eustachii, nekrosis jaringan,
dislodgment, hipoksia,
hiperkapnia, aspirasi,
hipertensi, aritmia,
myocardial infraction,
kematian
13. Perhatian !
Kenapa tampon posterior kontra
indikasi pada fraktur basis crinii?
1) Karena bisa saja mengenai otak karena
ada celahnya
2) Bagian yang terkena trauma menjadi
lebar karena tekanan tampon tadi
3) Bisa saja yang dimasukkan tidak steril
sehingga menjadi rute bakteri masuk ke
atas
Tanda-tanda fraktur basis cranii Raccoon eyes, battle sign, perdarahan
telinga otoraghi (bukan otore), kesadaran
menurun
Selama mempersiapkan
penanganan epistaksis, lakukan
evaluasi status hemodinamik pasien
dengan vital sign dan gejala
orthostatic serta jumlah banyaknya
perdarahan. Jika pasien
menunjukan gejala perdarahan di
tempat lain, maka memulai
memasang jalur intravena untuk
memasukan cairan.
d. Tampon dengan vasokonstriktor
Jika metode trotter
perdarahan belum berhenti maka
kita persiapkan untuk pemasangan
tampon anterior sementara dengan
vasokontriktor. Tampon yang
digunakan sudah direndam dalam
larutan adrenalin dan lidokain
dengan pengenceran 1:200.000
dimana efek dosis yang dibutuhkan
sesuai dan efek samping minimal.
1) Pehacain
Pehacain, permililiter mengandung (Lidocain 20 mg dan Adrenalin
0,0125mg). Adrenalin memiliki konsentrasi 1:80.000, cara membacanya 1gr
(1000 mg) adrenalin dalam 80.000 ml larutan. Pengenceran 1:80.000
mengandung 0,0125 mg /ml adrenalin (12,5 mcg/ml).
Cara Menghitung
Pengenceran
14. Gambar 9. Sediaan Pehacain 1 ampul 2 ml
Soal
Untuk mengencerkan 1:80.000 menjadi 1:200.000, berapa
banyak larutan yang dibutuhkan ?
Jawab
Konsentrasi
yang diketahui
= banyak larutan
yang dibutuhkan (y)
X pengenceran yang
diinginkan
1gr
80.000
= (y) X 1gr
200.000
1000 mg
80.000
= (y) X 1000 mg
200.000
80 y = 200
Y = 2,5 ml
Dalam 1 ampul pehacain berisi 2 ml maka 2,5 ml x 2 = 5 ml
5 ml mengandung 2 ml dalam 1 ampul dan 3 ml larutan. Jadi
untuk mengencerkan 1:80.000 menjadi 1:200.000 membutuhkan
larutan = 3ml
2) Adrenalin
Adrenalin, permililiter memiliki 2 konsentrasi yaitu 1: 1.000
atau 1:10.000. Adrenalin memiliki konsentrasi 1:1.000, cara
membacanya 1gr (1000 mg) adrenalin dalam 1.000 ml larutan.
Adrenalin memiliki konsentrasi 1:10.000, cara membacanya 1gr
(1000 mg) adrenalin dalam 10.000 ml larutan. Pengenceran 1:1.000
mengandung 1 mg /ml adrenalin (1000 mcg/ml)
15. Gambar 10. Sediaan epinephrine 1 ampul 1:1000
Soal
Untuk mengencerkan 1:1.000 menjadi 1:200.000, berapa
banyak larutan yang dibutuhkan ?
Jawab
Konsentrasi
yang diketahui
= banyak larutan
yang dibutuhkan (y)
X pengenceran yang
diinginkan
1gr
1.000
= (y) X 1gr
200.000
1000 mg
1.000
= (y) X 1000 mg
200.000
Y = 200
Dalam 1 ampul adrenalin berisi 1 ml maka 200 ml.
200 ml mengandung 1 ml dalam 1 ampul dan 199 ml
larutan. Jadi untuk mengencerkan 1:1.000 menjadi 1:200.000
membutuhkan larutan = 199 ml.
16. Langkah awal penanganan epistaksis yang disebutkan dalam Robert et
al tahun 2013 yaitu sebagai berikut:
1) Posisikan pasien duduk tegak
dengan dasar hidung sejajar
dengan lantai. Diperlukan
cahaya yang cukup
menggunakan headlamp
2) Meminta pasien untuk
menghembuskan udara dari
hidung untuk menghilangkan
darah dan gumpalan darah dari
rongga hidung
3) Cara lain dengan menggunakan
suction pada cavum nasal.
Lakukan suction dari depan ke
belakang bersama septum
septum nasal kemudian ke
lateral
17. 4) Jika perdarahan minimal cobalah
untuk melokalisasi sumber
perdarahan yang spesifik
menggunakan speculum hidung
5) Jika perdarahan masih banyak,
berikan vasokontriktor topical
seperti oxymetazoline
6) Cara lain gunakan tampon kapas
yang direndam dalam kokain,
dimasukan ke dalam cavum
nasal menggunakn pinset
bayonet
e. Kauterisasi
Pada perdarahan
anterior kauterisasi dapat
dilakukan untuk
menghentikan perdarahan.
Kauterisasi tidak dapat
bekerja jika perdarahan aktif.
Jika pembuluh menonjol pada
kedua sisi septum, hindari
multipelkauter dan
mengkauter daerah yang sama
pada kedua sisi agar tidak
terjadi perforasi septum. Jika
tekhnik kauter barhasil maka
tidak dilakukan pemasangan
tampon, namun jika tidak
berhasil maka lakukan
tampon anterior .
18. Langkah keuterisasi dalam penanganan epistaksis yang disebutkan
dalam Robert et al tahun 2013 yaitu sebagai berikut:
1) Kauterisasi digunakan pada
perdarahan anterior. Bersihkan
dengan kapas pada daerah sumber
perdarahan. Jika perdarahan aktif
maka kauter tidak dapat bekerja
2) Kauter jika sudah tidak ada
perdarahan. Gunakan silver
nitrate stick dan biarkan 4-5 detik.
Kebanyakan pasien akan bersin
setelah diberikan silver nitrate
stick
3) Pada area kauterisasi akan terlihat
abu-abu. Jika perdarahan kembali,
penanganan kauter sudah cukup.
Hindari multipelcauter dan
kauterisasi dua sisi karena akan
menyebabkan kerusakan septum
atau perforasi
19. f. Tampon anterior
Tampon anterior memiliki
beberapa alat :
1) Tampon Kasa
2) Merocel
3) Rapid Rhino Device
Tampon kasa dapat dibuat
sendiri, sedangkan merocel
dan rapid rhino device tidk
semua tempat pelayanan
kesehatan memilikinya.
1) Tampon kasa
Langkah pertama
yang perlu diersiapkan
yaitu, tampon kasa dibuat
dari lembaran kasa steril
berukuran 72x1/2 inci,
campur tampon kasa
dengan pelicin supaya
pasien nyaman dan mudah
dalam memasukkan
tampon kasa. Pelicin
yang digunakan adalah
salep antibiotik. Siapkan
lampu kepala, speculum
hidung, gunakan apron,
bengkok,
Perhatian !
Campur kasa dengan salep
antibiotik berguna sebagai
pelicin, antibiotic, serta
mencegah infeksi dan terjadinya
Toxic Syok Syndrome (TSS)
akibat kuman Staphylococcus
aureus.
Ada 3 macam pelicin :
– Vaselin hanya pelicin
– Salep antibiotic ex.
Kalmicetin (pelicin dan
antibiotic)
– Salep lidocain (pelicin,
analgetik)
Yang paling baik digunakan
adalah salep antibiotic, lebih
banyak manfaatnya, dan
sedikit kerugian
Perhatikan posisi bilah speculum
hidung, bilah speculum berada
diatas dan di bawah agar tidak
menutupi sumber perdarahan.
20. Masukan kasa
tampon, menggunakan
speculum hidung dan pinset
bayonet dari bawah ke atas
dan mengarah ke septum agar
tidak mengenai dinding
lateral yang terdapat concha
media. Masukkan kembali
tampon ke atas dengan
menarik speculum kemudian
masukan kembali dimana
bilah atas berada di bawah
tampon atas yang telah
dimasukkan untuk menahan,
dan lakukan seterusnya
hingga padat.
Jika perdarahan
berhenti dan tanpa adanya
gangguan medis primer,
pasien dapat diperlakukan
sebagai pasien rawat jalan
dan diberitahu untuk duduk
tegak dengan tenang
sepanajang hari, serta kepala
sedikit ditinggikan pada
malam hari. Tampon dapat
diangkat dalam dua atau tiga
hari. Pasien tua atau dengan
kemunduran fisik harus
dirawat dirumah sakit. Jika
perdarahan tidak berhenti
lakukan pemasangan tampon
posterior, lepas tampon
anterior, pasang tampon
posterior (Adam et al, 1997).
g. Tampon posterior
Epistaksis posterior
dicurigai bila 1) sebagian
besar perdarahan berasal dari
faring, 2) tampon anterior
gagal mengontrol perdarahan,
3) perdarahan posterior dan
superior maka perlu
menggunakan tampon
posterior (Adam et al, 1997)
Ada beberapa cara tampon
posterior :
1) Belloque tampon
(traditional posterior
packing)
2) Foley catheter
technique
3) Dual balloon
tamponade catheter
21. Langkah tampon posterior dengan tekhnik foley catheter dalam
penanganan epistaksis yang disebutkan dalam Robert et al tahun 2013
yaitu sebagai berikut:
1) Masukkan foley kateter
dari hidung hingga phaynx
posterior
2) Lihat orofaring untuk
memastikan posisi ujung
kateter sudah masuk atau
belum
3) Isi balon kateter 5-7 ml air
4) Traksi/ tarik kateter agar
berada di belakang
nasopharynx
22. 5) Setelah Foley kateter
berada di posterior
nasopharynx, isi balon
kateter dengan 5-7 ml air
6) Untuk menjaga traksi, beri
klem umbilical di depan
hidung. Berikan kasa di
diantara tanpon anterior
dan klem umbilical
Perhatikan !
Belloque tampon - kelebihan: darah menyerap
ke kasa, sehingga mencegah
aspirasi karena stolsel.
- kerugian: sebelum
memasang harus mengukur
kasa tampon bellock, jika
salah harus di keluarkan lagi.
Foley cateter - kelebihan: ukuran dapat diatur
tanpa harus mengeluarkan
alat.
- kerugian : darah tidak dapat
diserap oleh foley cateter
sehingga rawan untuk
terjadinya aspirasi.
23. Perhatikan dalam pengisian air
balloon catheter
Tangan kiri memegang ujung
luar dari cateter dan ujung jari
menempatkan ujung spuit, spuit
dimasukkan dengan dorongan
dari tekanan telapak tangan
kanan pada bagian terkuat,
kemudian lepas spuit dari ujung
luar cateter dengan ujung jari dan
jempol tangan kiri menjepit
lubang yang akan dilepas spuit
agar air yang berada didalam
balon foley cateter tidak keluar
(dilakukan secara bersamaan)
Pada tampon permanen tidak
dilapasi vasokonstriktor. Kenapa?
Karena makin lama dosis akan
berkurang, tidak lagi sebgai
vasokonstriksi melainkan akan
menjadi vasodilatasi rebound
phenomena
Jika perdarahan tidak
berhenti lakukan pemasangan
tampon posterior, lepas tampon
anterior, pasang tampon posterior
dan tampon anterior jika memang
dari depan maupun tenggorokan
mengalami perdarahan.
24. Pasien dengan
pemasangan tampon posterior
harus dirawat di rumah sakit,
sedang pasien usia lanjut atau
dengan penyakit primer
ditempatkan pada bagian
perawatan intensif. Tampon
posterior dipertahankan 3
hingga 5 hari. Selama itu
kenyamanan pasien akan
terganggu (Adam et al, 1997;
Roberts et al, 2014).
h. Ligasi arteri
Tampon anterior dan
posterior gagal
mengendalikan epistaksis,
maka perlu dilakukan ligasi
arteri spesifik. Arteri tersebut
antara lain a.carotis externa,
a.maxillaris interna,
a.sphenopalatina, dan
a.ethoidalis posterior et
anterior (Adam et al, 1997).
i. Pemberian obat yang
diperlukan untuk pasien
epistaksis
1) Antibiotik (injeksi/oral)
2) Antihemolitik, seperti:
Asam traneksamat, Vit K,
Adona, Dycinone, dll
(injeksi/oral)
3) Analgetik (injeksi/oral)
(Roberts et al, 2014)
j. Cara pelepasan tampon
Cara pelepasan
tampon sesuaikan posisi
pasien dengan benar seperti
saat pemasangan tampon.
Pelepasan tampon anterior
dengan mengunakan cairan
saline untuk membasahi kasa
tampon sehingga mudah
untuk diambil (Roberts et al,
2014).
Pelepasan tampon
posterior, pada foley catheter
keluarkan air pada balon
cateter dengan spuit, pastikan
jumlah yang dikeluarkan
kurang lebih sesuai dengan
saat dimasukan, kemudian
klem cateter depan hidung
(antara hidung dengan klem
umbilical), kemudian tarik
kateter keluar perlahan-lahan.
k. Edukasi pasien
Perawatan pasca epistaksis :
1) Cara memijit hidung yang
benar
2) Hindari makan-makanan
yang pedas atau makanan
yang merangsang pasien
untuk bersin
3) Makan lembut dan dingin
4) Bersin, mulut terbuka
5) Istirahat kepala elevasi
6) Jangan buang ingus
7) Minum panas 24 jam
pertama
8) Hindari aktivitas berat
9) Tidak boleh mengejan,
jika BAB sulit maka
banyak makan makanan
mengandung serat
10) Hindari faktor resiko :
seperti makan makanan
yang tinggi natrium,
daging, sering mengorek-
ngorek hidung, sisi
dengan satu lubang
ditutup
25. 11) Hindari posisi sujud ± 2
minggu.
12) Kontrol jika perlu
Untuk mencegah berulangnya
epistaksis :
1) Hidung ttp lembab: salep
AB / vaselin
2) Kuku tetap pendek
3) Hentikan rokok
4) Kebiasaan buka mulut jk
bersin
5) Stop obat antikoagulan
6) Atasi reaksi inflamasi
lokal, alergi, infeksi
l. Obat anti Perdarahan
(Hemostatik)
1) Tranexamic acid
Mekanisme kerja
dari asam tranrksamat
menghambat aktivasi
plasminogen dengan
membentuk kompleks
reversibel yang
menggantikan
plasminogen dari fibrin.
Sehingga menghambar
terjadinya fibrinolisis
(Munoz et al, 2014).
Asam
traneksamat diindikasikan
untuk perdarahan
gastrointestinal dan jika
ada risiko persarahan
seperti henofilia,
menoragia, dan ekstraksi
dental dengan efek
sampung mual, muntah
dan diare (Horton-Szar,
2012).
2) Ethamsylate (Dycinone)
Merupakan agen
non hormonal yang
mengurangi eksudasi
kapiler dan kehilangan
darah yang tidak
mempengaruhi proses
koagulasi karena tidak
memiliki efek terhadap
prothrombine times,
fibrinolisis,fungsi maupun
hitung trombosit.
Walaupun mekanime
tepatnya masih belum
diketahui, ethamsylate
dipercayamenigkatkan
resistensi dinding kapiler,
perlekatan trombosit
melalui inhibisi sintesis
dan aksi prostaglandid
yang mentebabkan
disagregasi platelet, dan
meningkatkan
permeabilitas kapiler.
(Dickman, 2012)
3) Vit K
Vitamin K
bekerja dengan
meningkatkan produksi
dari faktor-faktor
pembekuan darah
sehingga mempercepat
waktu pembekuan dan
memperpendek waktu
perdarahan (Beckerman,
2015).
4) Adona
Adona bekerja
dengan memicu
bradikinin sehingga
menginduksi sel-sel
endotel dengan
meningkatkan
permeabilitasnya sehingga
26. mengurangi pembentukan
actin dan memperbaiki
ikatan antar sel sehingga
rapat kembali (Cecilia et
al, 2009)
KESIMPULAN
Epistaksis adalah suatu gejala
yang disebabkan oleh kondi kelainan
atau keadaan tertentu. Epistaksis dapt
bersifat ringan maupun berat hingga
dapat berakibat fatal. Epistaksis
disebabkan banyak hal dan dibagi dalam
dua kelompok besar yaitu lokal dan
sistemik, namun apabila penyabab tidak
diketahui disebut idiopatik. Dalam
memeriksa dan menangani pasien
epistaksis harus menggunakan alat dan
cara yang tepat agar perdarahan dapat
berhenti.
Prinsip penanganan epistaksis
adalah mencari sumber perdarhan dan
mengontrol perdarahan agar tidak terjadi
perdarahan berulang dan perdarahan
berhenti. Pemeriksaan yang dapat
dilakukan untuk memeriksa pasien
dengan epistaksis antara lain dengan
rinoskopi anterior dan posterior,
pemeriksaan tekanan darah, foto rontgen
sinus, atau CT-Scan, atau MRI,
endoskopi, skrining koagulopati dan
mencari informasi riwayat penyakit
pasien.
DAFTAR PUSTAKA
Adams G., Lawrence R Boies., Peter A
Higler., 1997. BOIES Buku Ajar
Penyakit THT (BOIES
Fundamentals of
Otolaryngology). Edisi 6. Jakarta:
EGC.
Adhikari P., Tappas P., Rabbindra B.,
2007. Epistaxis in Normotensive
Individuals May Lead to
Transiant Hypertension.
International Archive of
Otorhinolaryngology., 11:2
Beckerman J.,2015. Vitamin K.,WebMD;
23 Januari 2016.
http://www.webmd.com/drugs/2/
drug-93625/vitamin-k-
injection/details.
Bertrand B., Ph Eloy., Ph Rombaux., C
Lamarque., J B Watelet., S
Collet., 2005. Guidlines to the
Management of Epistaxis. B-
ENT; 1: 27-43.
Cecilia et al, 2009. Effect of Furosemide
and-Carbazochrome Combination
On Exercise-Induced Pulmonary
Hemorrhage In Standarbred
Racehorses. Can Vet J 50:821-
827.
Dickman, Andrew. 2012. Drugs in
Palliative Cares. Hampshire:
Oxford UniversityPress
Fatakia, Adil MD., Ryan Winters MD.,
Ronald G., Amedee MD. 2010.
Epistaxis: A Common Problem.
The Ochsner Journal; 10:176-
178.
Primacakti F, ,IDAI;23 Januari
2016.www. idai.or.id
Horton Szar, Dan. 2012. Pharmacology.
China: Elsevier
Limen Merry P, Ora Palandeng, and
Ronny Tumbel. 2013. Epistaksis
di Poliklinik THT-KL BLU
RSUP Prof.Dr. R. D. Kandou
27. Manado Periode Januari 2010-
Desember 2012.eBm;1(1) 478-83.
Nabil Abdulghany S., Abdulsalam
Mahmoud Algamal. 2014.
Relationship between epistaxis
and hypertention: Acause and
effect or coincidence? J Saudi
Heart Assos; 27:79-79.
Nash CM MSc and Fiel S. MB Bch.
2008. Epidemiology of Epistaxis
in a Canadian Emergency
Departement. IJEM; 8(3) 23-28.
Mangunkusumo, Endang., Retno S
Wardani., 2012. Perdarahan
Hidung dan Gangguan Penghidu
di Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorokkan
Kepala dan Leher. Fakultas
Kedokteran Universitas
Indonesia.
Morre, Keith L., Arthur F Dalley., 2013.
Anatomi Berorientasi Klinis.
Ed:kelima, jilid 3. Jakarta:
Erlangga.
Munoz, Ricardo, et al. 2014. Handbook
of Pediatric Cardiovascular
Drugs. New York: Springer.
Roberts J.,James R Hadges., 2014.
Clinical Procedure in Emergency
Medicine. Philadelphia: Elsevier.
Soetjipto, Damayanti., Endang
Mangunkusumo., Retno S
Wardani., 2012. Sumbatan
Hidung di Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorokkan Kepala dan Leher.
Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
Thornton MA, Mahest BN., Lang J.,
2005. Posterior epistaxis:
Identification of common
bleeding sites.
Laryngoscope.Vol:155 (4);588-
90.