SlideShare a Scribd company logo
1 of 27
Download to read offline
PENDAHULUAN
Hidung merupakan bagian dari
saluran pernafasan awal. Udara masuk ke
dalam tubuh manusia melalui mulut dan
hidung. Hidung memiliki banyak
pembuluh darah yang berfungsi sebagai
termoregulasi udara yang masuk melalui
hidung. Pembuluh darah hidung yang
pecah merupakan tanda adanya
epistaksis (mimisan) (Morre & Arthur,
2013).
Epistaksis merupakan gejala dari
suatu penyakit lokal atau sistemik.
Insidensi epistaksis secara global masih
belum diketahui secara pasti.
Diperkirakan 60% dari populasi dunia
pernah mengalami satu kali episode
epistaksis selama hidupnya, dan 6%
diantaranya mencari pertolongan medis
(Nabil & Abdulsalam, 2014).
Pada kondisi epistaksis, penderita
maupun pemeriksa tidak jarang menjadi
panik. Penanganan dengan langkah dan
alat yang tepat dapat mengurangi
kecemasan dalam kondisi tersebut.
Prinsip dari penatalaksanaan epistaksis
adalah mengidentifikasi perdarahan dan
mengontrol perdarahan (Roberts et al,
2014).
Epistaksis yang hebat dapat
menjadikan kondisi yang berbahaya
seperti aspirasi darah ke dalam saluran
nafas bawah, juga dapat mengakibatkan
syok, anemia dan gagal ginjal. Akibat
pembuluh darah yang terbuka dapat
terjadi infeksi. Penanganan epistaksis
yang tidak tepat dapat memperparah
kondisi penderita (Mangunkusumo et al,
2012).
ANATOMI & FISIOLOGI HIDUNG
Hidung meliputi hidung luar dan
cavitas nasi, yang dibagi menjadi cavitas
nasi kanan dan cavitas nasi kiri oleh
septum nasi. Fungsi hidung adalah
olfaktori (penghidu), respirasi
(pernapasan), filtrasi debu, kelembapan
udara yang dihirup, eliminasi sekresi dari
sinus paranasalis dan ductus
nasolacrimalis (Morre & Arthur, 2013).
Hidung Luar
Hidung luar adalah bagian yang dapat
dilihat dan menonjol dari wajah. Ukuran
dan bentuk hidung bervariasi, terutama
karena perbedaan kartilagonya. Hidung
luar dibentuk oleh kerangka tulang dan
cartilago hialin yang dilapisi oleh kulit,
jaringan ikat dan otot yang berfungsi
untuk melebarkan atau menyempitkan
lubang hidung ketika otot-otot yang
bekerja pada hidung berkontraksi.
Kerangka tulang (pars ossea) terdiri dari:
 Os.nasal
 Processus frontalis os maxillae
 Pars nasalis ossis frontalis dan spina
nasalisnya
 Pars ossea septi nasi
Kerangka tulang rawan (pars
cartilaginea) terdiri dari:
 Sepasang cartilago nasalis lateralis
 Sepasang cartilago alaris
 Satu cartilago septi nasi
Pada bagian kerangka tulang
dilapisi oleh kulit tipis, kulit pada
kartilago labih tebal dan banyak
mengandung glandula sebasea. Kulit
membentang ke dalam pada vestibulum
nasi, dimana terdapat rambut hidung
(vibrissae). Karena hidung biasanya
basah, rambut-rambut menyaring partikel
debu dari udara yang masuk cavitas nasi.
Septum nasi membagi ruang
hidung menjadi dua cavitas nasi serta
memiliki pars ossea dan pars cartilaginea
hialin yang mobil. Komponen utama
septum nasi:
 Lamina perpendicularis ossis
ethmoidalis, yang membentuk pars
superior septum nasi, turun dari
lamina cribosa dan terus ke superior
lamina tersebut sebagai crista galii
 Os. vomer, yang membentuk pars
posteroinferior septum nasi
(Morre & Arthur, 2013)
Cavitas Nasi
Cavitas nasi, dibagi menjadi dua yaitu
kanan dan kiri oleh septum nasi. Cavitas
nasi bagian depan disebut nares anterior
dan lubang belakang disebut nares
posterior (choanae) yang
menghubungkan cavum nasi dengan
nasopharynx. Mukosa melapisi cavitas
nasi kecuali vestibulum nasi yang hanya
ditutupi kulit dan vibrissae.
Batas-batas cavum nasi :
 Atas : lamina cribosa, os.
sphenoid, os. frontonasalis
 Dasar : os. maksila dan os.
palatum
 Medial : septum nasi
 Lateral : conchae nasi
Concha nasi (superior, media,
inferior) melengkung ke inferomedial,
struktur seperti gulungan yang
memberikan area permukaan yang luas
untuk pertukaran panas. Diantara
conchae terdapat rongga sempit yang
disebut meatus. Meatus ada 3 yaitu:
 Meatus nasi superior ( muara
sinus ethmoidalis dan sinus
sphenoidalis)
 Meatus nasi media (muara sinus
frontal, sinus maxillaries, sinus
ethmoidalis anterior)
 Meatus nasi inferior (muara
ductus nasolcrimalis)
( Soetjipto et al, 2012)
Mukosa nasal sangat kuat
terikat dengan periosteum dan
perichondrium tulang penunjang dan
cartilage nasi. Mukosa berlanjut
dengan lapisan semua ruangan yang
berhubungan dengan cavitas nasi:
nasopharynx di posterior, sinus
paranasalis di superior dan lateral,
saccus lacrimalis dan conjunctiva di
superior. Dua pertiga inferior mukosa
nasal adalah area respiratori dan
sepertiga superior adalah area
olfactori. Udara yang berjalan pada
area respirasi hangat dan basah
sebelum berjalan melalui bagian lain
saluran pernapasan atas ke paru
(Morre & Arthur, 2013).
Pada bagian yang lebih
terkena aliran udara mukosa lebih
tebal dan terkadang mengalami
metaplasia. Mukosa tersusun dari
epitel, sel goblet, dibawahnya
terdapat tunika propria yang
mengandung pembuluh darah,
kelenjar mukosa dan jaringan
limfoid. Vasokonstriksi dan
vasodilatasi pembuluh darah ini
dipengaruhi oleh saraf otonom (
Soetjipto et al, 2012).
Vascularisasi hidung (nasus)
Mukosa hidung pada cavum
nasi terdapat pembuluh darah.
Cavum nasi mendapatkan
pendarahan dari:
1. Atas cavum nasi: a.ethmoidalis
anterior et posterior, cabang dari
a.ophtalmica dari a.carotis
interna.
2. Bawah cavum nasi: a.palatina
mayor, cabang dari a. maxillaries
interna dan a.sphenopalatina
yang keluar dari foramen
sphenopalatina memasuki rongga
hidung dibelakang ujung
posterior conchae media cabang
dari a.carotis eksterna.
3. Anterior nasi: cabang-cabang
a.facialis
4. Anterior septum: Plexus
Kiesselbach, anastomosis dari:
 a. ethmoidalis anterior et
posterior
 a. sphenopalatina
 a. palatina mayor
 a. labialis superior
5. Posterior-inferior lateral: Plexus
Woodruff, anastomosis dari:
 a. sphenopalatina
 a. pharyngeal
(Fatakia et al, 2010).
Epistaksis
Epistaksis (mimisan) sering terjadi
karena aliran darah ke mukosa nasal
sangat banyak. Semburan darah dari
hidung disebabkan oleh rupturnya arteri
di hidung
(Morre & Arthur, 2013).
Sangat penting memperhatikan bagian
yang menghubungkan cavitas nasi
dengan telinga melalui tuba auditiva
yang terletak dibelakang choanae, serta
cavitas nasi yang menghubungkan
dengan mata melalui ductus
nasolacrimalis. Pada pemasangan
tampon pada epistaksis aktif, jika tidak
tepat dalam pemasangan maka akan
didapatkan darah keluar dari telinga
atau mata.
Gambar 1. Hidung luar
Gambar 2. Dinding lateral cavum nasi, terdapat conchae nasi
superior, conchae nasi media, conchae nasi inferior.
Gambar 3. Dinding medial cavum nasi. Pada bagian posterior
terdapat choanae.
EPISTAKSIS
A. DEFINISI
Epistaksis atau mimisan
merupakan gejala berupa perdarahan
hidung (Mangunkusumo & Retno,
2012).
B. EPIDEMIOLOGI
Insidensi epistaksis secara
global masih belum diketahui secara
pasti, namun diperkirakan 60% dari
populasi dunia pernah mengalami
satu kali episode epistaksis selama
hidupnya, dan 6 % diantaranya
mencari pertolongan medis.
Sedikitnya 55% pria dan 45% wanita
telah dilaporkan. Epistaksis jarang
pada neonates namun sering ditemui
pada anak dan dewasa muda, dan
mencapai puncaknya pada dekade
ke-6 kehidupan (Nabil &
Abdulsalam, 2014).Di Kanada dari
222 orang 73,4% mengalami
epistaksis tanpa didahului trauma
sebelumnya, sedangkan 10% lainnya
mengalami epistaksis 42,9%
diantaranya memiliki riwayat
keluarga engan hemophilia,
trombositopeni, dan von willebrand
disease lebih rentan mengalami
epistaksis (Nash & Fiel, 2008).
Penelitian yang dilakukan di
Manado dari tahun 2010-2012 dari
1048 pasien dengan epistaksis,
kelompok umur yang paling banyak
mengalami epistaksis pada usia 25-
44 tahun dengan jumlah 381
penderita (36,35%), pada penderita
usia <20 tahun umumnya
pendarahan dapat berhenti sendiri
sehingga jarang memerlukan
bantuan tenaga kesehatan. Penyebab
yang paling sering memicu
epistaksis adalah gangguan sistemik
yang dialami 613 penderita
(58,49%) dan sisanya 387 penderita
(36,93%) karena penyebab lokal
seperti trauma, bersin terlalu kuat
atau mengeluarkan secret terlalu
kuat (Limen et al, 2013).
C. ETIOLOGI
Lokal Sistemik
1. Trauma
 Fractur : facial dan
nasal,
 Iatrogenik
2. Perubahan tekanan
3. Perforasi septum
4. Bahan kimia
 Penyalahgunaan kokain
 Semprotan hidung (baik
steroid maupun
dekongestan
 Amonia
 Lainya : bensin, fosfor,
asam sulfat, dll
5. Tumor
6. Inflamasi
1. Koagulopati
 Pemakain antikoagulan:
heparin
 NSAID
 Hemofilia
 Von Willebrandt Disease
 Gangguan Platelet
 Kehamilan
 Demam dengue
2. Gangguan Granulomatous
 Penyakit Wegener
 Sarcoidosis
 Sifilis
 Tuberculosis
 Rhinoscleroma
 SLE
 Periarteritis nodosa
3. Intoksikasi
 Cobalt
 Fosfor
 arsenik
4. Vaskular
 Hipertensi
 Arterosklerosis
 Cicardian Onset
Selain etiologi diatas pada beberapa kasus penyebab dari epistaksis tidak
dapat diidentifikasi “Idiopatic”(Bertrand et al, 2005).
D. PATOFISIOLOGI
Perdarahan sering terjadi
ketika mukosa terkikis dan
mengenai pembuluh darah,
berdasarkan lokasinya epistaksis
dibagi menjadi dua bagian :
1. Epistaksis anterior
Pada epistaksis anterior
90 % muncul dari daerah plexus
Kiesselbach yang terletak pada
septum dan biasanya dapat
berhenti sendiri. Fungsi kelenjar
seromusinosa tidak baik
menyebabkan mukosa kering,
berkrusta, silia tidak berfungsi
serta mukosa erosi. Jika terpapar
oleh bakteri maka akan terinvasi
bakteri dan masuk enzim
fibrinolitik sehingga terjadi reaksi
inflamasi dan jaringan granulasi.
Apabila terjadi trauma ringan
mengakibatkan mudah berdarah
sehingga terjadilah epistaksis
(Nguyen et al, 2015).
Gambar 4. Mukosa hidung yang
tenang dalam kondisi normal
Gambar 5. Mukosa hidung
dalam kondisi epistaksis
2. Epistaksis posterior
Pada epistaksis posterior
81% muncul dari daerah dinding
nasal lateral, dapat berasal dari
a.sphenopalatina (plexus
Woodruff) dan a.ethmoidalis
posterior. Perdarahan biasanya
hebat dan jarang berhenti dengan
sendirinya. Sering ditemukan
pada pasien dengan hipertensi,
arteriosklerosis atau pasien
dengan penyakit kardiovaskuler
(Throntor et al, 2005).
Dalam penelitian Adhikari et al pada
pasien epistaksis aktif didapatkan
tekanan darah 141/92 mmHg
sedangkan saat kondisi post
epistaksis tekanan darah kembali
normal tanpa pemberian anti
hipertensi. Hipertensi pada
epistaksis, pada pasien dengan
perdarahan hidung pada umunya
akian merasa cemas dan binggung.
Kecemasan berhubungan dengan
stimulaasi simpatik dan sekresi
ketokolamin  keadaan ini akan
meningkatkan kontraksi jantung 
meningkatkan tekanan darah
sistolik. Stimulasi simpatik
berhubungan dengan vasokonstriksi
pembuluh darah  meningkatkan
tekanan diastol (Adhikari et al,
2007).
E. DIAGNOSA
Diagnosis epistaksis secara
umum berdasarkan keluhan yang
dirasakan pasien, walau beberapa
individu dapat saja tidak mengalami
perdarahan aktif saat mencari
pertolongan medis. Pemeriksa perlu
mencari sumber perdarahan dan
menentukan apakah perdarahan
tersebut merupakan perdarahan
anterior atau posterior. Selebihnya,
penyebab lain yang mungkin
didapatkan dari riwayat medis dan
penemuan pada pemeriksaan fisik.
Diagnosis epistaksis posterior
biasanya didapatkan saat perdarahan
tidak dapat berhenti dengan tampon
anterior dan jika tidak dapat
mengidentifikasi sumber perdarahan
anterior. Penemuan lain yang
didapatkan saat curiga epistaksis
posterior yaitu jika perdarahan berat
dari kedua lubang hidung atau
terlihat adanya aliran darah di
belakang tenggorokan.
- Pemeriksaan hitung darah
lengkap, PT dan PTT dapat
dilakukan pada epistaksis
anterior jika curiga koagulopati.
- Pikirkan CT scan kepala dan
tulang fasial jika epistaksis
merupakan akibat dari trauma
atau curiga neoplasma
Standar diagnosis Eropa yang
direkomendasikan yaitu:
- Endoskopi nasal
- Inspeksi kavum oral, kavum
nasal, dan nasofaring
- EKG
- Pemeriksaan darah
Prosedur diagnosis tambahan:
- Monitor tekanan darah
- Mikrobiologi: Kultur sekret nasal
- CT scan/MRI
F. PENATALAKSANAAN
Pada saat pasien dalam kondisi
epistaksis dapat dilakukan
pertolongan pertama sebelum
dibawa ke pelayanan kesehatan atau
rumah sakit terdekat.
1. Pertolongan pertama epistaksis
Adapun pertolongan pertama
yang dapat dilakukan yakni:
b. Posisikan kepala menunduk
dan duduk condong ke depan
c. Tekan cuping hidung selama
10-15 menit (metode trotter)
d. Bernafas melalui mulut
e. Kompres pangkal hidung
dengan air dingin
Jika darah tidak berhenti maka
segera ke pelayanan kesehatan
terdekat!
Gambar 6. Pertolongan pertama
epistaksis pada orang dewasa.
Gambar 7. Pertolongan pertama
epistaksis pada anak-anak.
2. Indikasi rumah sakit
Kondisi tertentu pada
epistaksis mengharuskan untuk
segera dibawa ke rumah sakit,
seperti:
a. Mimisan tidak berhenti
dengan penekanan
b. Mimisan hebat sampai
menyebabkan pingsan
c. Mimisan berulang
d. Mimisan pada bayi atau anak
2 tahun
e. Sumbatan jala nafas
f. Mimisan akibat kelainan
anatomi dan trauma pada
wajah (Primacakti, 2015).
3. Penatalaksanaan epistaksis di rumah sakit
Pasien dengan perdarahan hidung prinsip dalam menanganinya adalah
identifikasi perdarahan dan kontrol perdarahan. Disamping itu tidak jarang
penderita dan pemeriksa dalam kondisi cemas, penanganan yang sistematis
dan penggunaan alat yang tepat dapat mengurangi kecemasan.
a. Airway, Breathing, Circulation
Kelas 1 Kelas 2 Kelas 3 Kelas 4
Kehilangan darah
(ml)
Sampai 750 750-1500 1500-2000 >2000
Kehilangan darah
(% vol darah)
Sampai
15%
15%-30% 30%-40% >40%
Denyut nadi <100 >100 >120 >140
Tekanan darah Normal Normal Menurun Menurun
Tekanan nadi
(mmHg)
Normal
atau naik
Menurun Menurun
90-110
Menurun
<90
Frekuensi
pernafasan
14-20 20-30 30-40 >40
Produksi urine
(ml/jam)
>30 20-30 5-15 Tidak
berarti
CNS/ status mental Sedikit
cemas
Agak
cemas
Cemas,
bingung
Bingung,
lesu,
lethargic
Penggantian cairan
(hukum 3:1)
Kristaloid Kristaloid Kristaloid
dan darah
Kristaloid
dan darah
Estimated fluid and blood losses based on patient’s presentation
(Adapted from American College of Surgeons’ Committee on Trauma,
2004)
Estimated Blood Volume (EBV):
BB x rata-rata volume darah
 Biasa digunakan pada
anastesi
Rata-rata volume darah
Prematur neonates = 95ml/kg
Fulltrem neonates = 85ml/kg
Infants = 80 ml/kg
Adult man= 75 ml/kg
Adult women= 65 ml/kg
(sumber: international anesthesia
research society)
Total blood volume
Rumus = Kg BB x 70 ml
(sumber: McCall, Root E. &
Catheem. E, 2008. Phlebotomy
essential. Philadelphia: Lippincott
William and Willkins)
Urin normal : 0,5ml/kgbb/jam
(sumber: ATLS)
Kristaloid : cairan isotonik
seperti RL dan NaCL, Asering
Pada pasien dengan syok
hipovolemik diberiakn cairan
kristaloid karena sifatnya yang
isotonis sehingga
mempertahankan cairan yang
berada di intersititial. Hindari
pemberian cairan hipertonis,
karena menyebabkan darah
intrasel dan interstitial tertarik
kedalam pembuluh darah
sehingga semakin memperburuk
keadaan.
Transfusi mulai diberikan
pada pasien syok hipovolemik
grade 3. Transfusi yang diberikan
pada Hb turun (7), kehilangan
cairan 15% diberikan transfusi
PRC karena yang hilang adalah
komponen darahnya bukan
volume darahnya. Kalau masuk
syok hipovolemik grade 2-3 
transfusi WB. Tanda kelebihan
cairan udem dan sesak, sesak
karena cairan mengumpul di
paru-paru saat dicek dengan
auskultasi menjadi suara dasar
vesikuler menurun sampai ronkhi
basah. Syok kardiogenik ditandai
dengan adanya :
– Ada gangguan irama
– JVP tinggi
– Ronchi basah dikedua basal
paru
– S3 gallop
– Bising jantung
– Deviasi trachea
b. Posisikan pasien
Ketika pasien
epistaksis datang, posisikan
pasien dengan benar. Jika
pasien sadar posisikan pasien
duduk tegak dan kepala
menunduk. Jika pasien dalam
kondisi kesadaran menurun,
posisikan berbaring, kapala
miring ke posisi yang
berlawanan dari hidung yang
epistaksis.
Why ?
Mengapa harus
posisi duduk
dan berbaring
dengan kepala
dimiringkan?
Untuk mencegah
terjadinya aspirasi
jika pasien mengalami
penurunan kesadaran.
Mengapa
kepala
dimiringkan ke
arah
berlawanan dari
epistaksis?
Darah membeku
mengikuti arah
gravitasi, jika miring
ke arah yang terjadi
epistaksis maka akan
menyumbat rongga
hidung karena bekuan
darah yang terbentuk.
Selain itu juga
mempermudah untuk
pemasangan tampon.
c. Metode trotter
Setelah memposisikan
pasien, tekan cuping hidung
selama 10-15 menit (metode
trotter) untuk menghentikan
perdarahan. Selama menekan
cuping hidung kita
memerintahkan petugas
kesehatan yang lain untuk
menyiapkan alat-alat yang
akan digunakan, dan lakukan
anamnesis secukupnya untuk
mengetahui keberatannya
epistaksis, yakni:
Anamnesis:
1) Lokasi (hidung,
mulut)
2) Waktu
3) Kuantitas (dengan
ukuran gelas
blimbing, dapat
digunakan untuk
mempertimbangkan
banyaknya darah
yang keluar curiga
adanya syok)
4) Trauma
5) Penyakit penyerta
6) Penggunaan obat
7) Riwayat perdarahan
sebelumnya
Persiapkan alat-alat:
1) Headlight
2) Gloves, mask, and
gown
3) Anastesi topical,
vasokonstriktor,
antibiotic ointment,
vaselin
4) Nasal speculum
5) Tongue depressors
6) Small red rubber
catheters
7) Bayonet forceps
8) Scissors
9) Kidney basin
10) gauze
11) nasal tampons, dual-
ballon pack, foley
cateter (no.16,14,12)
12) silver nitrat sticks or
electrocautery
Gambar 8. Alat-alat penanganan epistaksis
Perlu memikirkan tindakan
apa yang akan dilakukan. Pada
epistkasis anterior, mungkin dapat
dilakukan penanganan sampai akhir
namun jika epistaksis posterior
memerlukan manuver yang sering
dilakukan hingga proses berhenti
atau konsulan dapat
menyempurnakan prosedur
hemostatik definitif. Mengontrol
perdarahan dipengaruhi oleh waktu
dalam persiapan alat dan pasien yang
kooperatif. Adapun indikasi,
kontraindikasi dan komplikasi dalam
penatalaksanaan epistaksis, yakni:
– Indikasi : Epistaksis
menetap.
– Kontraindikasi : Trauma
facial massif dengan
kemungkinan fraktur basis cranii
– Komplikasi :
1) Kauter : nasal septal
injury/perforation,
rebleeding
2) Tampon anterior : sinusitis,
nasolacrimal bleeding, nasal
mucosa pressure necrosis
3) Tampon posterior : infeksi,
disfagia, disfungsi tuba
eustachii, nekrosis jaringan,
dislodgment, hipoksia,
hiperkapnia, aspirasi,
hipertensi, aritmia,
myocardial infraction,
kematian
Perhatian !
Kenapa tampon posterior kontra
indikasi pada fraktur basis crinii?
1) Karena bisa saja mengenai otak karena
ada celahnya
2) Bagian yang terkena trauma menjadi
lebar karena tekanan tampon tadi
3) Bisa saja yang dimasukkan tidak steril
sehingga menjadi rute bakteri masuk ke
atas
Tanda-tanda fraktur basis cranii Raccoon eyes, battle sign, perdarahan
telinga otoraghi (bukan otore), kesadaran
menurun
Selama mempersiapkan
penanganan epistaksis, lakukan
evaluasi status hemodinamik pasien
dengan vital sign dan gejala
orthostatic serta jumlah banyaknya
perdarahan. Jika pasien
menunjukan gejala perdarahan di
tempat lain, maka memulai
memasang jalur intravena untuk
memasukan cairan.
d. Tampon dengan vasokonstriktor
Jika metode trotter
perdarahan belum berhenti maka
kita persiapkan untuk pemasangan
tampon anterior sementara dengan
vasokontriktor. Tampon yang
digunakan sudah direndam dalam
larutan adrenalin dan lidokain
dengan pengenceran 1:200.000
dimana efek dosis yang dibutuhkan
sesuai dan efek samping minimal.
1) Pehacain
Pehacain, permililiter mengandung (Lidocain 20 mg dan Adrenalin
0,0125mg). Adrenalin memiliki konsentrasi 1:80.000, cara membacanya 1gr
(1000 mg) adrenalin dalam 80.000 ml larutan. Pengenceran 1:80.000
mengandung 0,0125 mg /ml adrenalin (12,5 mcg/ml).
Cara Menghitung
Pengenceran
Gambar 9. Sediaan Pehacain 1 ampul 2 ml
Soal
Untuk mengencerkan 1:80.000 menjadi 1:200.000, berapa
banyak larutan yang dibutuhkan ?
Jawab
Konsentrasi
yang diketahui
= banyak larutan
yang dibutuhkan (y)
X pengenceran yang
diinginkan
1gr
80.000
= (y) X 1gr
200.000
1000 mg
80.000
= (y) X 1000 mg
200.000
80 y = 200
Y = 2,5 ml
Dalam 1 ampul pehacain berisi 2 ml maka  2,5 ml x 2 = 5 ml
5 ml  mengandung 2 ml dalam 1 ampul dan 3 ml larutan. Jadi
untuk mengencerkan 1:80.000 menjadi 1:200.000 membutuhkan
larutan = 3ml
2) Adrenalin
Adrenalin, permililiter memiliki 2 konsentrasi yaitu 1: 1.000
atau 1:10.000. Adrenalin memiliki konsentrasi 1:1.000, cara
membacanya 1gr (1000 mg) adrenalin dalam 1.000 ml larutan.
Adrenalin memiliki konsentrasi 1:10.000, cara membacanya 1gr
(1000 mg) adrenalin dalam 10.000 ml larutan. Pengenceran 1:1.000
mengandung 1 mg /ml adrenalin (1000 mcg/ml)
Gambar 10. Sediaan epinephrine 1 ampul 1:1000
Soal
Untuk mengencerkan 1:1.000 menjadi 1:200.000, berapa
banyak larutan yang dibutuhkan ?
Jawab
Konsentrasi
yang diketahui
= banyak larutan
yang dibutuhkan (y)
X pengenceran yang
diinginkan
1gr
1.000
= (y) X 1gr
200.000
1000 mg
1.000
= (y) X 1000 mg
200.000
Y = 200
Dalam 1 ampul adrenalin berisi 1 ml maka  200 ml.
200 ml  mengandung 1 ml dalam 1 ampul dan 199 ml
larutan. Jadi untuk mengencerkan 1:1.000 menjadi 1:200.000
membutuhkan larutan = 199 ml.
Langkah awal penanganan epistaksis yang disebutkan dalam Robert et
al tahun 2013 yaitu sebagai berikut:
1) Posisikan pasien duduk tegak
dengan dasar hidung sejajar
dengan lantai. Diperlukan
cahaya yang cukup
menggunakan headlamp
2) Meminta pasien untuk
menghembuskan udara dari
hidung untuk menghilangkan
darah dan gumpalan darah dari
rongga hidung
3) Cara lain dengan menggunakan
suction pada cavum nasal.
Lakukan suction dari depan ke
belakang bersama septum
septum nasal kemudian ke
lateral
4) Jika perdarahan minimal cobalah
untuk melokalisasi sumber
perdarahan yang spesifik
menggunakan speculum hidung
5) Jika perdarahan masih banyak,
berikan vasokontriktor topical
seperti oxymetazoline
6) Cara lain gunakan tampon kapas
yang direndam dalam kokain,
dimasukan ke dalam cavum
nasal menggunakn pinset
bayonet
e. Kauterisasi
Pada perdarahan
anterior kauterisasi dapat
dilakukan untuk
menghentikan perdarahan.
Kauterisasi tidak dapat
bekerja jika perdarahan aktif.
Jika pembuluh menonjol pada
kedua sisi septum, hindari
multipelkauter dan
mengkauter daerah yang sama
pada kedua sisi agar tidak
terjadi perforasi septum. Jika
tekhnik kauter barhasil maka
tidak dilakukan pemasangan
tampon, namun jika tidak
berhasil maka lakukan
tampon anterior .
Langkah keuterisasi dalam penanganan epistaksis yang disebutkan
dalam Robert et al tahun 2013 yaitu sebagai berikut:
1) Kauterisasi digunakan pada
perdarahan anterior. Bersihkan
dengan kapas pada daerah sumber
perdarahan. Jika perdarahan aktif
maka kauter tidak dapat bekerja
2) Kauter jika sudah tidak ada
perdarahan. Gunakan silver
nitrate stick dan biarkan 4-5 detik.
Kebanyakan pasien akan bersin
setelah diberikan silver nitrate
stick
3) Pada area kauterisasi akan terlihat
abu-abu. Jika perdarahan kembali,
penanganan kauter sudah cukup.
Hindari multipelcauter dan
kauterisasi dua sisi karena akan
menyebabkan kerusakan septum
atau perforasi
f. Tampon anterior
Tampon anterior memiliki
beberapa alat :
1) Tampon Kasa
2) Merocel
3) Rapid Rhino Device
Tampon kasa dapat dibuat
sendiri, sedangkan merocel
dan rapid rhino device tidk
semua tempat pelayanan
kesehatan memilikinya.
1) Tampon kasa
Langkah pertama
yang perlu diersiapkan
yaitu, tampon kasa dibuat
dari lembaran kasa steril
berukuran 72x1/2 inci,
campur tampon kasa
dengan pelicin supaya
pasien nyaman dan mudah
dalam memasukkan
tampon kasa. Pelicin
yang digunakan adalah
salep antibiotik. Siapkan
lampu kepala, speculum
hidung, gunakan apron,
bengkok,
Perhatian !
Campur kasa dengan salep
antibiotik berguna sebagai
pelicin, antibiotic, serta
mencegah infeksi dan terjadinya
Toxic Syok Syndrome (TSS)
akibat kuman Staphylococcus
aureus.
Ada 3 macam pelicin :
– Vaselin  hanya pelicin
– Salep antibiotic  ex.
Kalmicetin (pelicin dan
antibiotic)
– Salep lidocain  (pelicin,
analgetik)
Yang paling baik digunakan
adalah salep antibiotic, lebih
banyak manfaatnya, dan
sedikit kerugian
Perhatikan posisi bilah speculum
hidung, bilah speculum berada
diatas dan di bawah agar tidak
menutupi sumber perdarahan.
Masukan kasa
tampon, menggunakan
speculum hidung dan pinset
bayonet dari bawah ke atas
dan mengarah ke septum agar
tidak mengenai dinding
lateral yang terdapat concha
media. Masukkan kembali
tampon ke atas dengan
menarik speculum kemudian
masukan kembali dimana
bilah atas berada di bawah
tampon atas yang telah
dimasukkan untuk menahan,
dan lakukan seterusnya
hingga padat.
Jika perdarahan
berhenti dan tanpa adanya
gangguan medis primer,
pasien dapat diperlakukan
sebagai pasien rawat jalan
dan diberitahu untuk duduk
tegak dengan tenang
sepanajang hari, serta kepala
sedikit ditinggikan pada
malam hari. Tampon dapat
diangkat dalam dua atau tiga
hari. Pasien tua atau dengan
kemunduran fisik harus
dirawat dirumah sakit. Jika
perdarahan tidak berhenti
lakukan pemasangan tampon
posterior, lepas tampon
anterior, pasang tampon
posterior (Adam et al, 1997).
g. Tampon posterior
Epistaksis posterior
dicurigai bila 1) sebagian
besar perdarahan berasal dari
faring, 2) tampon anterior
gagal mengontrol perdarahan,
3) perdarahan posterior dan
superior maka perlu
menggunakan tampon
posterior (Adam et al, 1997)
Ada beberapa cara tampon
posterior :
1) Belloque tampon
(traditional posterior
packing)
2) Foley catheter
technique
3) Dual balloon
tamponade catheter
Langkah tampon posterior dengan tekhnik foley catheter dalam
penanganan epistaksis yang disebutkan dalam Robert et al tahun 2013
yaitu sebagai berikut:
1) Masukkan foley kateter
dari hidung hingga phaynx
posterior
2) Lihat orofaring untuk
memastikan posisi ujung
kateter sudah masuk atau
belum
3) Isi balon kateter 5-7 ml air
4) Traksi/ tarik kateter agar
berada di belakang
nasopharynx
5) Setelah Foley kateter
berada di posterior
nasopharynx, isi balon
kateter dengan 5-7 ml air
6) Untuk menjaga traksi, beri
klem umbilical di depan
hidung. Berikan kasa di
diantara tanpon anterior
dan klem umbilical
Perhatikan !
Belloque tampon - kelebihan: darah menyerap
ke kasa, sehingga mencegah
aspirasi karena stolsel.
- kerugian: sebelum
memasang harus mengukur
kasa tampon bellock, jika
salah harus di keluarkan lagi.
Foley cateter - kelebihan: ukuran dapat diatur
tanpa harus mengeluarkan
alat.
- kerugian : darah tidak dapat
diserap oleh foley cateter
sehingga rawan untuk
terjadinya aspirasi.
Perhatikan dalam pengisian air
balloon catheter
Tangan kiri memegang ujung
luar dari cateter dan ujung jari
menempatkan ujung spuit, spuit
dimasukkan dengan dorongan
dari tekanan telapak tangan
kanan pada bagian terkuat,
kemudian lepas spuit dari ujung
luar cateter dengan ujung jari dan
jempol tangan kiri menjepit
lubang yang akan dilepas spuit
agar air yang berada didalam
balon foley cateter tidak keluar
(dilakukan secara bersamaan)
Pada tampon permanen tidak
dilapasi vasokonstriktor. Kenapa?
Karena makin lama dosis akan
berkurang, tidak lagi sebgai
vasokonstriksi melainkan akan
menjadi vasodilatasi  rebound
phenomena
Jika perdarahan tidak
berhenti lakukan pemasangan
tampon posterior, lepas tampon
anterior, pasang tampon posterior
dan tampon anterior jika memang
dari depan maupun tenggorokan
mengalami perdarahan.
Pasien dengan
pemasangan tampon posterior
harus dirawat di rumah sakit,
sedang pasien usia lanjut atau
dengan penyakit primer
ditempatkan pada bagian
perawatan intensif. Tampon
posterior dipertahankan 3
hingga 5 hari. Selama itu
kenyamanan pasien akan
terganggu (Adam et al, 1997;
Roberts et al, 2014).
h. Ligasi arteri
Tampon anterior dan
posterior gagal
mengendalikan epistaksis,
maka perlu dilakukan ligasi
arteri spesifik. Arteri tersebut
antara lain a.carotis externa,
a.maxillaris interna,
a.sphenopalatina, dan
a.ethoidalis posterior et
anterior (Adam et al, 1997).
i. Pemberian obat yang
diperlukan untuk pasien
epistaksis
1) Antibiotik (injeksi/oral)
2) Antihemolitik, seperti:
Asam traneksamat, Vit K,
Adona, Dycinone, dll
(injeksi/oral)
3) Analgetik (injeksi/oral)
(Roberts et al, 2014)
j. Cara pelepasan tampon
Cara pelepasan
tampon sesuaikan posisi
pasien dengan benar seperti
saat pemasangan tampon.
Pelepasan tampon anterior
dengan mengunakan cairan
saline untuk membasahi kasa
tampon sehingga mudah
untuk diambil (Roberts et al,
2014).
Pelepasan tampon
posterior, pada foley catheter
keluarkan air pada balon
cateter dengan spuit, pastikan
jumlah yang dikeluarkan
kurang lebih sesuai dengan
saat dimasukan, kemudian
klem cateter depan hidung
(antara hidung dengan klem
umbilical), kemudian tarik
kateter keluar perlahan-lahan.
k. Edukasi pasien
Perawatan pasca epistaksis :
1) Cara memijit hidung yang
benar
2) Hindari makan-makanan
yang pedas atau makanan
yang merangsang pasien
untuk bersin
3) Makan lembut dan dingin
4) Bersin, mulut terbuka
5) Istirahat kepala elevasi
6) Jangan buang ingus
7) Minum panas 24 jam
pertama
8) Hindari aktivitas berat
9) Tidak boleh mengejan,
jika BAB sulit maka
banyak makan makanan
mengandung serat
10) Hindari faktor resiko :
seperti makan makanan
yang tinggi natrium,
daging, sering mengorek-
ngorek hidung, sisi
dengan satu lubang
ditutup
11) Hindari posisi sujud ± 2
minggu.
12) Kontrol jika perlu
Untuk mencegah berulangnya
epistaksis :
1) Hidung ttp lembab: salep
AB / vaselin
2) Kuku tetap pendek
3) Hentikan rokok
4) Kebiasaan buka mulut jk
bersin
5) Stop obat antikoagulan
6) Atasi reaksi inflamasi
lokal, alergi, infeksi
l. Obat anti Perdarahan
(Hemostatik)
1) Tranexamic acid
Mekanisme kerja
dari asam tranrksamat
menghambat aktivasi
plasminogen dengan
membentuk kompleks
reversibel yang
menggantikan
plasminogen dari fibrin.
Sehingga menghambar
terjadinya fibrinolisis
(Munoz et al, 2014).
Asam
traneksamat diindikasikan
untuk perdarahan
gastrointestinal dan jika
ada risiko persarahan
seperti henofilia,
menoragia, dan ekstraksi
dental dengan efek
sampung mual, muntah
dan diare (Horton-Szar,
2012).
2) Ethamsylate (Dycinone)
Merupakan agen
non hormonal yang
mengurangi eksudasi
kapiler dan kehilangan
darah yang tidak
mempengaruhi proses
koagulasi karena tidak
memiliki efek terhadap
prothrombine times,
fibrinolisis,fungsi maupun
hitung trombosit.
Walaupun mekanime
tepatnya masih belum
diketahui, ethamsylate
dipercayamenigkatkan
resistensi dinding kapiler,
perlekatan trombosit
melalui inhibisi sintesis
dan aksi prostaglandid
yang mentebabkan
disagregasi platelet, dan
meningkatkan
permeabilitas kapiler.
(Dickman, 2012)
3) Vit K
Vitamin K
bekerja dengan
meningkatkan produksi
dari faktor-faktor
pembekuan darah
sehingga mempercepat
waktu pembekuan dan
memperpendek waktu
perdarahan (Beckerman,
2015).
4) Adona
Adona bekerja
dengan memicu
bradikinin sehingga
menginduksi sel-sel
endotel dengan
meningkatkan
permeabilitasnya sehingga
mengurangi pembentukan
actin dan memperbaiki
ikatan antar sel sehingga
rapat kembali (Cecilia et
al, 2009)
KESIMPULAN
Epistaksis adalah suatu gejala
yang disebabkan oleh kondi kelainan
atau keadaan tertentu. Epistaksis dapt
bersifat ringan maupun berat hingga
dapat berakibat fatal. Epistaksis
disebabkan banyak hal dan dibagi dalam
dua kelompok besar yaitu lokal dan
sistemik, namun apabila penyabab tidak
diketahui disebut idiopatik. Dalam
memeriksa dan menangani pasien
epistaksis harus menggunakan alat dan
cara yang tepat agar perdarahan dapat
berhenti.
Prinsip penanganan epistaksis
adalah mencari sumber perdarhan dan
mengontrol perdarahan agar tidak terjadi
perdarahan berulang dan perdarahan
berhenti. Pemeriksaan yang dapat
dilakukan untuk memeriksa pasien
dengan epistaksis antara lain dengan
rinoskopi anterior dan posterior,
pemeriksaan tekanan darah, foto rontgen
sinus, atau CT-Scan, atau MRI,
endoskopi, skrining koagulopati dan
mencari informasi riwayat penyakit
pasien.
DAFTAR PUSTAKA
Adams G., Lawrence R Boies., Peter A
Higler., 1997. BOIES Buku Ajar
Penyakit THT (BOIES
Fundamentals of
Otolaryngology). Edisi 6. Jakarta:
EGC.
Adhikari P., Tappas P., Rabbindra B.,
2007. Epistaxis in Normotensive
Individuals May Lead to
Transiant Hypertension.
International Archive of
Otorhinolaryngology., 11:2
Beckerman J.,2015. Vitamin K.,WebMD;
23 Januari 2016.
http://www.webmd.com/drugs/2/
drug-93625/vitamin-k-
injection/details.
Bertrand B., Ph Eloy., Ph Rombaux., C
Lamarque., J B Watelet., S
Collet., 2005. Guidlines to the
Management of Epistaxis. B-
ENT; 1: 27-43.
Cecilia et al, 2009. Effect of Furosemide
and-Carbazochrome Combination
On Exercise-Induced Pulmonary
Hemorrhage In Standarbred
Racehorses. Can Vet J 50:821-
827.
Dickman, Andrew. 2012. Drugs in
Palliative Cares. Hampshire:
Oxford UniversityPress
Fatakia, Adil MD., Ryan Winters MD.,
Ronald G., Amedee MD. 2010.
Epistaxis: A Common Problem.
The Ochsner Journal; 10:176-
178.
Primacakti F, ,IDAI;23 Januari
2016.www. idai.or.id
Horton Szar, Dan. 2012. Pharmacology.
China: Elsevier
Limen Merry P, Ora Palandeng, and
Ronny Tumbel. 2013. Epistaksis
di Poliklinik THT-KL BLU
RSUP Prof.Dr. R. D. Kandou
Manado Periode Januari 2010-
Desember 2012.eBm;1(1) 478-83.
Nabil Abdulghany S., Abdulsalam
Mahmoud Algamal. 2014.
Relationship between epistaxis
and hypertention: Acause and
effect or coincidence? J Saudi
Heart Assos; 27:79-79.
Nash CM MSc and Fiel S. MB Bch.
2008. Epidemiology of Epistaxis
in a Canadian Emergency
Departement. IJEM; 8(3) 23-28.
Mangunkusumo, Endang., Retno S
Wardani., 2012. Perdarahan
Hidung dan Gangguan Penghidu
di Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorokkan
Kepala dan Leher. Fakultas
Kedokteran Universitas
Indonesia.
Morre, Keith L., Arthur F Dalley., 2013.
Anatomi Berorientasi Klinis.
Ed:kelima, jilid 3. Jakarta:
Erlangga.
Munoz, Ricardo, et al. 2014. Handbook
of Pediatric Cardiovascular
Drugs. New York: Springer.
Roberts J.,James R Hadges., 2014.
Clinical Procedure in Emergency
Medicine. Philadelphia: Elsevier.
Soetjipto, Damayanti., Endang
Mangunkusumo., Retno S
Wardani., 2012. Sumbatan
Hidung di Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorokkan Kepala dan Leher.
Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
Thornton MA, Mahest BN., Lang J.,
2005. Posterior epistaxis:
Identification of common
bleeding sites.
Laryngoscope.Vol:155 (4);588-
90.

More Related Content

What's hot

Referat pneumothorax
Referat pneumothoraxReferat pneumothorax
Referat pneumothoraxListiana Dewi
 
Ppt peritonitis ec app
Ppt peritonitis ec appPpt peritonitis ec app
Ppt peritonitis ec appPuteri Mentira
 
Orkitis (Orchitis) - Presentasi Kasus
Orkitis (Orchitis) - Presentasi KasusOrkitis (Orchitis) - Presentasi Kasus
Orkitis (Orchitis) - Presentasi KasusAris Rahmanda
 
232593414 atelektasis-radiologi-ppt
232593414 atelektasis-radiologi-ppt232593414 atelektasis-radiologi-ppt
232593414 atelektasis-radiologi-pptdini dimas
 
EKG, Hipertrofi Jantung
EKG, Hipertrofi JantungEKG, Hipertrofi Jantung
EKG, Hipertrofi JantungADam Raeyoo
 
Penatalaksanaan Kejang Demam - Konsensus IDAI
Penatalaksanaan Kejang Demam - Konsensus IDAIPenatalaksanaan Kejang Demam - Konsensus IDAI
Penatalaksanaan Kejang Demam - Konsensus IDAISeascape Surveys
 
ppt_Penatalaksanaan Syok (Adam_FIK UI)
ppt_Penatalaksanaan Syok (Adam_FIK UI)ppt_Penatalaksanaan Syok (Adam_FIK UI)
ppt_Penatalaksanaan Syok (Adam_FIK UI)Adam Muhammad
 
Referat Ruptur Ginjal
Referat Ruptur GinjalReferat Ruptur Ginjal
Referat Ruptur GinjalKharima SD
 
Pneumothorax powerpoint
Pneumothorax powerpointPneumothorax powerpoint
Pneumothorax powerpointDwika Marbun
 
Status Dermatologikus
Status DermatologikusStatus Dermatologikus
Status Dermatologikuspeternugraha
 
case report of Hernia inguinalis lateralis reponible
case report of Hernia inguinalis lateralis reponiblecase report of Hernia inguinalis lateralis reponible
case report of Hernia inguinalis lateralis reponiblemuhammad ikhlas yakin
 
Morning Report Neurology
Morning Report NeurologyMorning Report Neurology
Morning Report NeurologyPhil Adit R
 
Laporan Kasus BPH
Laporan Kasus BPHLaporan Kasus BPH
Laporan Kasus BPHKharima SD
 

What's hot (20)

Baca ct scan
Baca ct scanBaca ct scan
Baca ct scan
 
Wsd
WsdWsd
Wsd
 
Referat pneumothorax
Referat pneumothoraxReferat pneumothorax
Referat pneumothorax
 
Skdi tahun-2012
Skdi tahun-2012Skdi tahun-2012
Skdi tahun-2012
 
Giovanni status bedah
Giovanni   status bedahGiovanni   status bedah
Giovanni status bedah
 
Ppt peritonitis ec app
Ppt peritonitis ec appPpt peritonitis ec app
Ppt peritonitis ec app
 
Orkitis (Orchitis) - Presentasi Kasus
Orkitis (Orchitis) - Presentasi KasusOrkitis (Orchitis) - Presentasi Kasus
Orkitis (Orchitis) - Presentasi Kasus
 
Terapi cairan pada anak
Terapi cairan pada anakTerapi cairan pada anak
Terapi cairan pada anak
 
232593414 atelektasis-radiologi-ppt
232593414 atelektasis-radiologi-ppt232593414 atelektasis-radiologi-ppt
232593414 atelektasis-radiologi-ppt
 
Otitis media akut
Otitis media akutOtitis media akut
Otitis media akut
 
EKG, Hipertrofi Jantung
EKG, Hipertrofi JantungEKG, Hipertrofi Jantung
EKG, Hipertrofi Jantung
 
Penatalaksanaan Kejang Demam - Konsensus IDAI
Penatalaksanaan Kejang Demam - Konsensus IDAIPenatalaksanaan Kejang Demam - Konsensus IDAI
Penatalaksanaan Kejang Demam - Konsensus IDAI
 
ppt_Penatalaksanaan Syok (Adam_FIK UI)
ppt_Penatalaksanaan Syok (Adam_FIK UI)ppt_Penatalaksanaan Syok (Adam_FIK UI)
ppt_Penatalaksanaan Syok (Adam_FIK UI)
 
Cairan infuse
Cairan infuseCairan infuse
Cairan infuse
 
Referat Ruptur Ginjal
Referat Ruptur GinjalReferat Ruptur Ginjal
Referat Ruptur Ginjal
 
Pneumothorax powerpoint
Pneumothorax powerpointPneumothorax powerpoint
Pneumothorax powerpoint
 
Status Dermatologikus
Status DermatologikusStatus Dermatologikus
Status Dermatologikus
 
case report of Hernia inguinalis lateralis reponible
case report of Hernia inguinalis lateralis reponiblecase report of Hernia inguinalis lateralis reponible
case report of Hernia inguinalis lateralis reponible
 
Morning Report Neurology
Morning Report NeurologyMorning Report Neurology
Morning Report Neurology
 
Laporan Kasus BPH
Laporan Kasus BPHLaporan Kasus BPH
Laporan Kasus BPH
 

Similar to EPISTAKSIS (20)

OMSK
OMSKOMSK
OMSK
 
Sinusitis dan Penanganan Fisioterapi
Sinusitis dan Penanganan FisioterapiSinusitis dan Penanganan Fisioterapi
Sinusitis dan Penanganan Fisioterapi
 
indera penciuman
indera penciumanindera penciuman
indera penciuman
 
Mengenal indra pembau
Mengenal indra pembauMengenal indra pembau
Mengenal indra pembau
 
Otitis media akuta
Otitis media akutaOtitis media akuta
Otitis media akuta
 
Case report-rinitis-alergi
Case report-rinitis-alergiCase report-rinitis-alergi
Case report-rinitis-alergi
 
Otitis media supuratif akut ok
Otitis media supuratif akut okOtitis media supuratif akut ok
Otitis media supuratif akut ok
 
review jurnal epistaksis aulia dwi juanita tht.docx
review jurnal epistaksis aulia dwi juanita tht.docxreview jurnal epistaksis aulia dwi juanita tht.docx
review jurnal epistaksis aulia dwi juanita tht.docx
 
116642547 fraktur-basis-kranii
116642547 fraktur-basis-kranii116642547 fraktur-basis-kranii
116642547 fraktur-basis-kranii
 
lapkas dellla.pptx
lapkas dellla.pptxlapkas dellla.pptx
lapkas dellla.pptx
 
178664185 intubasi-pdf
178664185 intubasi-pdf178664185 intubasi-pdf
178664185 intubasi-pdf
 
Otitis media akut
Otitis media akutOtitis media akut
Otitis media akut
 
Ompa
OmpaOmpa
Ompa
 
Crs minggu 2 kelompok 2
Crs minggu 2 kelompok 2Crs minggu 2 kelompok 2
Crs minggu 2 kelompok 2
 
[Tara] sken 1 pertemuan 2
[Tara] sken 1 pertemuan 2[Tara] sken 1 pertemuan 2
[Tara] sken 1 pertemuan 2
 
Atelektasis
AtelektasisAtelektasis
Atelektasis
 
jurnal efusu flaura
jurnal efusu flaurajurnal efusu flaura
jurnal efusu flaura
 
Tinitus
Tinitus Tinitus
Tinitus
 
Case rian hasni (kista epiglotis) (1)
Case rian hasni (kista epiglotis) (1)Case rian hasni (kista epiglotis) (1)
Case rian hasni (kista epiglotis) (1)
 
Lapsus mely
Lapsus melyLapsus mely
Lapsus mely
 

More from Kharima SD

HUBUNGAN OBESITAS DENGAN MIGRAIN DI POLIKLINIK SARAF RSUD DR MOEWARDI SURAKARTA
HUBUNGAN OBESITAS DENGAN MIGRAIN DI POLIKLINIK SARAF RSUD DR MOEWARDI SURAKARTAHUBUNGAN OBESITAS DENGAN MIGRAIN DI POLIKLINIK SARAF RSUD DR MOEWARDI SURAKARTA
HUBUNGAN OBESITAS DENGAN MIGRAIN DI POLIKLINIK SARAF RSUD DR MOEWARDI SURAKARTAKharima SD
 
LAPORAN KASUS INTRAHEPATIC CHOLESTATIS OF PREGNANCY
LAPORAN KASUS INTRAHEPATIC CHOLESTATIS OF PREGNANCYLAPORAN KASUS INTRAHEPATIC CHOLESTATIS OF PREGNANCY
LAPORAN KASUS INTRAHEPATIC CHOLESTATIS OF PREGNANCYKharima SD
 
Referat Mata Kabur
Referat Mata KaburReferat Mata Kabur
Referat Mata KaburKharima SD
 
CASE REPORT TUBERKULOSIS PARU
CASE REPORT TUBERKULOSIS PARUCASE REPORT TUBERKULOSIS PARU
CASE REPORT TUBERKULOSIS PARUKharima SD
 
Treating Asthma in Pregnancy
Treating Asthma in Pregnancy Treating Asthma in Pregnancy
Treating Asthma in Pregnancy Kharima SD
 
Refrat Idiopathic Purpura Trombocytopenic
Refrat Idiopathic Purpura TrombocytopenicRefrat Idiopathic Purpura Trombocytopenic
Refrat Idiopathic Purpura TrombocytopenicKharima SD
 
Case report Rehabilitasi Medis pada Malunion fraktur condylus lateralis
Case report Rehabilitasi Medis pada Malunion fraktur condylus lateralisCase report Rehabilitasi Medis pada Malunion fraktur condylus lateralis
Case report Rehabilitasi Medis pada Malunion fraktur condylus lateralisKharima SD
 
Laporan kasus kolitis
Laporan kasus kolitisLaporan kasus kolitis
Laporan kasus kolitisKharima SD
 
Tahapan pemberian makanan pendamping asi
Tahapan pemberian makanan pendamping asiTahapan pemberian makanan pendamping asi
Tahapan pemberian makanan pendamping asiKharima SD
 
Case Report ITP
Case Report ITPCase Report ITP
Case Report ITPKharima SD
 
Journal reading Neonatal Hypoglicemia
Journal reading Neonatal HypoglicemiaJournal reading Neonatal Hypoglicemia
Journal reading Neonatal HypoglicemiaKharima SD
 
Case Report Meningitis
Case Report MeningitisCase Report Meningitis
Case Report MeningitisKharima SD
 
Case Report BPPV
Case Report BPPVCase Report BPPV
Case Report BPPVKharima SD
 
Journal Reading, Winter season, frequent hand washing, and irritant patch tes...
Journal Reading, Winter season, frequent hand washing, and irritant patch tes...Journal Reading, Winter season, frequent hand washing, and irritant patch tes...
Journal Reading, Winter season, frequent hand washing, and irritant patch tes...Kharima SD
 
Referat Dispepsia
Referat DispepsiaReferat Dispepsia
Referat DispepsiaKharima SD
 
Case Report Pansitopenia susp Multiple Myeloma
Case Report Pansitopenia susp Multiple MyelomaCase Report Pansitopenia susp Multiple Myeloma
Case Report Pansitopenia susp Multiple MyelomaKharima SD
 

More from Kharima SD (16)

HUBUNGAN OBESITAS DENGAN MIGRAIN DI POLIKLINIK SARAF RSUD DR MOEWARDI SURAKARTA
HUBUNGAN OBESITAS DENGAN MIGRAIN DI POLIKLINIK SARAF RSUD DR MOEWARDI SURAKARTAHUBUNGAN OBESITAS DENGAN MIGRAIN DI POLIKLINIK SARAF RSUD DR MOEWARDI SURAKARTA
HUBUNGAN OBESITAS DENGAN MIGRAIN DI POLIKLINIK SARAF RSUD DR MOEWARDI SURAKARTA
 
LAPORAN KASUS INTRAHEPATIC CHOLESTATIS OF PREGNANCY
LAPORAN KASUS INTRAHEPATIC CHOLESTATIS OF PREGNANCYLAPORAN KASUS INTRAHEPATIC CHOLESTATIS OF PREGNANCY
LAPORAN KASUS INTRAHEPATIC CHOLESTATIS OF PREGNANCY
 
Referat Mata Kabur
Referat Mata KaburReferat Mata Kabur
Referat Mata Kabur
 
CASE REPORT TUBERKULOSIS PARU
CASE REPORT TUBERKULOSIS PARUCASE REPORT TUBERKULOSIS PARU
CASE REPORT TUBERKULOSIS PARU
 
Treating Asthma in Pregnancy
Treating Asthma in Pregnancy Treating Asthma in Pregnancy
Treating Asthma in Pregnancy
 
Refrat Idiopathic Purpura Trombocytopenic
Refrat Idiopathic Purpura TrombocytopenicRefrat Idiopathic Purpura Trombocytopenic
Refrat Idiopathic Purpura Trombocytopenic
 
Case report Rehabilitasi Medis pada Malunion fraktur condylus lateralis
Case report Rehabilitasi Medis pada Malunion fraktur condylus lateralisCase report Rehabilitasi Medis pada Malunion fraktur condylus lateralis
Case report Rehabilitasi Medis pada Malunion fraktur condylus lateralis
 
Laporan kasus kolitis
Laporan kasus kolitisLaporan kasus kolitis
Laporan kasus kolitis
 
Tahapan pemberian makanan pendamping asi
Tahapan pemberian makanan pendamping asiTahapan pemberian makanan pendamping asi
Tahapan pemberian makanan pendamping asi
 
Case Report ITP
Case Report ITPCase Report ITP
Case Report ITP
 
Journal reading Neonatal Hypoglicemia
Journal reading Neonatal HypoglicemiaJournal reading Neonatal Hypoglicemia
Journal reading Neonatal Hypoglicemia
 
Case Report Meningitis
Case Report MeningitisCase Report Meningitis
Case Report Meningitis
 
Case Report BPPV
Case Report BPPVCase Report BPPV
Case Report BPPV
 
Journal Reading, Winter season, frequent hand washing, and irritant patch tes...
Journal Reading, Winter season, frequent hand washing, and irritant patch tes...Journal Reading, Winter season, frequent hand washing, and irritant patch tes...
Journal Reading, Winter season, frequent hand washing, and irritant patch tes...
 
Referat Dispepsia
Referat DispepsiaReferat Dispepsia
Referat Dispepsia
 
Case Report Pansitopenia susp Multiple Myeloma
Case Report Pansitopenia susp Multiple MyelomaCase Report Pansitopenia susp Multiple Myeloma
Case Report Pansitopenia susp Multiple Myeloma
 

Recently uploaded

LAPORAN KASUS HB demam tifoid dr syarifuddin rauf
LAPORAN KASUS HB demam tifoid dr syarifuddin raufLAPORAN KASUS HB demam tifoid dr syarifuddin rauf
LAPORAN KASUS HB demam tifoid dr syarifuddin raufalmahdaly02
 
Sediaan Kream semisolid farmasi Industri.pptx
Sediaan Kream semisolid farmasi Industri.pptxSediaan Kream semisolid farmasi Industri.pptx
Sediaan Kream semisolid farmasi Industri.pptxwisanggeni19
 
PEMBUATAN STR BAGI APOTEKER PASCA UU 17-2023.pptx
PEMBUATAN STR  BAGI APOTEKER PASCA UU 17-2023.pptxPEMBUATAN STR  BAGI APOTEKER PASCA UU 17-2023.pptx
PEMBUATAN STR BAGI APOTEKER PASCA UU 17-2023.pptxpuspapameswari
 
PPT_ AYU SASKARANI (proposal) fix fix.pdf
PPT_ AYU SASKARANI (proposal) fix fix.pdfPPT_ AYU SASKARANI (proposal) fix fix.pdf
PPT_ AYU SASKARANI (proposal) fix fix.pdfhurufd86
 
2. Kebijakan ILP di Posyandu-1234567.pdf
2. Kebijakan ILP di Posyandu-1234567.pdf2. Kebijakan ILP di Posyandu-1234567.pdf
2. Kebijakan ILP di Posyandu-1234567.pdfMeboix
 
2 Adaptasi Sel dan Jejas Sel.pptx Ilmu Dasar Kep
2 Adaptasi Sel dan Jejas Sel.pptx Ilmu Dasar Kep2 Adaptasi Sel dan Jejas Sel.pptx Ilmu Dasar Kep
2 Adaptasi Sel dan Jejas Sel.pptx Ilmu Dasar KepHaslianiBaharuddin
 
FARMAKOLOGI HORMONAL obat hormonal Diabetes
FARMAKOLOGI HORMONAL obat hormonal DiabetesFARMAKOLOGI HORMONAL obat hormonal Diabetes
FARMAKOLOGI HORMONAL obat hormonal DiabetesNadrohSitepu1
 
Materi Asuhan Keperawatan Jiwa Halusinasi
Materi Asuhan Keperawatan Jiwa HalusinasiMateri Asuhan Keperawatan Jiwa Halusinasi
Materi Asuhan Keperawatan Jiwa Halusinasiantoniareong
 
Presentasi Pelaporan-Insiden KTD di Rumah Sakit
Presentasi Pelaporan-Insiden KTD di Rumah SakitPresentasi Pelaporan-Insiden KTD di Rumah Sakit
Presentasi Pelaporan-Insiden KTD di Rumah SakitIrfanNersMaulana
 
serbuk terbagi dan serbuk tabur yang gunakan untuk farmas
serbuk terbagi dan serbuk tabur yang gunakan untuk farmasserbuk terbagi dan serbuk tabur yang gunakan untuk farmas
serbuk terbagi dan serbuk tabur yang gunakan untuk farmasmufida16
 
Presentasi farmakologi materi hipertensi
Presentasi farmakologi materi hipertensiPresentasi farmakologi materi hipertensi
Presentasi farmakologi materi hipertensissuser1cc42a
 
konsep komunikasi terapeutik dalam keperawatan.ppt
konsep komunikasi terapeutik dalam keperawatan.pptkonsep komunikasi terapeutik dalam keperawatan.ppt
konsep komunikasi terapeutik dalam keperawatan.pptKianSantang21
 
ETIKA DAN HUKUM KESEHATAN SERTA KEBIDANAN
ETIKA DAN HUKUM KESEHATAN SERTA KEBIDANANETIKA DAN HUKUM KESEHATAN SERTA KEBIDANAN
ETIKA DAN HUKUM KESEHATAN SERTA KEBIDANANDianFitriyani15
 
3. HEACTING LASERASI.ppt pada persalinan
3. HEACTING LASERASI.ppt pada persalinan3. HEACTING LASERASI.ppt pada persalinan
3. HEACTING LASERASI.ppt pada persalinanDwiNormaR
 
1 Konsep Patologi dan Patofisologi.pptx Ilmu Dasar Keperawatan
1 Konsep Patologi dan Patofisologi.pptx Ilmu Dasar Keperawatan1 Konsep Patologi dan Patofisologi.pptx Ilmu Dasar Keperawatan
1 Konsep Patologi dan Patofisologi.pptx Ilmu Dasar KeperawatanHaslianiBaharuddin
 
Asuhan Keperawatan Jiwa Resiko Bunuh Diri
Asuhan Keperawatan Jiwa Resiko Bunuh DiriAsuhan Keperawatan Jiwa Resiko Bunuh Diri
Asuhan Keperawatan Jiwa Resiko Bunuh Diriandi861789
 
materi kkr dan uks tingkat smp dan sma/ma
materi kkr dan uks tingkat smp dan sma/mamateri kkr dan uks tingkat smp dan sma/ma
materi kkr dan uks tingkat smp dan sma/maGusmaliniEf
 
ppt hipotiroid anak end tf uygu g uygug o.pptx
ppt hipotiroid anak end tf uygu g uygug o.pptxppt hipotiroid anak end tf uygu g uygug o.pptx
ppt hipotiroid anak end tf uygu g uygug o.pptxmarodotodo
 
TUMBUH KEMBANG KELUARGAaaaaaaaaaaaa.pptx
TUMBUH KEMBANG KELUARGAaaaaaaaaaaaa.pptxTUMBUH KEMBANG KELUARGAaaaaaaaaaaaa.pptx
TUMBUH KEMBANG KELUARGAaaaaaaaaaaaa.pptxTriNurmiyati
 
ATRIBUT BIDAN PROFESIONAL DALAM KEBIDANAN.pptx
ATRIBUT BIDAN PROFESIONAL DALAM KEBIDANAN.pptxATRIBUT BIDAN PROFESIONAL DALAM KEBIDANAN.pptx
ATRIBUT BIDAN PROFESIONAL DALAM KEBIDANAN.pptxDesiNatalia68
 

Recently uploaded (20)

LAPORAN KASUS HB demam tifoid dr syarifuddin rauf
LAPORAN KASUS HB demam tifoid dr syarifuddin raufLAPORAN KASUS HB demam tifoid dr syarifuddin rauf
LAPORAN KASUS HB demam tifoid dr syarifuddin rauf
 
Sediaan Kream semisolid farmasi Industri.pptx
Sediaan Kream semisolid farmasi Industri.pptxSediaan Kream semisolid farmasi Industri.pptx
Sediaan Kream semisolid farmasi Industri.pptx
 
PEMBUATAN STR BAGI APOTEKER PASCA UU 17-2023.pptx
PEMBUATAN STR  BAGI APOTEKER PASCA UU 17-2023.pptxPEMBUATAN STR  BAGI APOTEKER PASCA UU 17-2023.pptx
PEMBUATAN STR BAGI APOTEKER PASCA UU 17-2023.pptx
 
PPT_ AYU SASKARANI (proposal) fix fix.pdf
PPT_ AYU SASKARANI (proposal) fix fix.pdfPPT_ AYU SASKARANI (proposal) fix fix.pdf
PPT_ AYU SASKARANI (proposal) fix fix.pdf
 
2. Kebijakan ILP di Posyandu-1234567.pdf
2. Kebijakan ILP di Posyandu-1234567.pdf2. Kebijakan ILP di Posyandu-1234567.pdf
2. Kebijakan ILP di Posyandu-1234567.pdf
 
2 Adaptasi Sel dan Jejas Sel.pptx Ilmu Dasar Kep
2 Adaptasi Sel dan Jejas Sel.pptx Ilmu Dasar Kep2 Adaptasi Sel dan Jejas Sel.pptx Ilmu Dasar Kep
2 Adaptasi Sel dan Jejas Sel.pptx Ilmu Dasar Kep
 
FARMAKOLOGI HORMONAL obat hormonal Diabetes
FARMAKOLOGI HORMONAL obat hormonal DiabetesFARMAKOLOGI HORMONAL obat hormonal Diabetes
FARMAKOLOGI HORMONAL obat hormonal Diabetes
 
Materi Asuhan Keperawatan Jiwa Halusinasi
Materi Asuhan Keperawatan Jiwa HalusinasiMateri Asuhan Keperawatan Jiwa Halusinasi
Materi Asuhan Keperawatan Jiwa Halusinasi
 
Presentasi Pelaporan-Insiden KTD di Rumah Sakit
Presentasi Pelaporan-Insiden KTD di Rumah SakitPresentasi Pelaporan-Insiden KTD di Rumah Sakit
Presentasi Pelaporan-Insiden KTD di Rumah Sakit
 
serbuk terbagi dan serbuk tabur yang gunakan untuk farmas
serbuk terbagi dan serbuk tabur yang gunakan untuk farmasserbuk terbagi dan serbuk tabur yang gunakan untuk farmas
serbuk terbagi dan serbuk tabur yang gunakan untuk farmas
 
Presentasi farmakologi materi hipertensi
Presentasi farmakologi materi hipertensiPresentasi farmakologi materi hipertensi
Presentasi farmakologi materi hipertensi
 
konsep komunikasi terapeutik dalam keperawatan.ppt
konsep komunikasi terapeutik dalam keperawatan.pptkonsep komunikasi terapeutik dalam keperawatan.ppt
konsep komunikasi terapeutik dalam keperawatan.ppt
 
ETIKA DAN HUKUM KESEHATAN SERTA KEBIDANAN
ETIKA DAN HUKUM KESEHATAN SERTA KEBIDANANETIKA DAN HUKUM KESEHATAN SERTA KEBIDANAN
ETIKA DAN HUKUM KESEHATAN SERTA KEBIDANAN
 
3. HEACTING LASERASI.ppt pada persalinan
3. HEACTING LASERASI.ppt pada persalinan3. HEACTING LASERASI.ppt pada persalinan
3. HEACTING LASERASI.ppt pada persalinan
 
1 Konsep Patologi dan Patofisologi.pptx Ilmu Dasar Keperawatan
1 Konsep Patologi dan Patofisologi.pptx Ilmu Dasar Keperawatan1 Konsep Patologi dan Patofisologi.pptx Ilmu Dasar Keperawatan
1 Konsep Patologi dan Patofisologi.pptx Ilmu Dasar Keperawatan
 
Asuhan Keperawatan Jiwa Resiko Bunuh Diri
Asuhan Keperawatan Jiwa Resiko Bunuh DiriAsuhan Keperawatan Jiwa Resiko Bunuh Diri
Asuhan Keperawatan Jiwa Resiko Bunuh Diri
 
materi kkr dan uks tingkat smp dan sma/ma
materi kkr dan uks tingkat smp dan sma/mamateri kkr dan uks tingkat smp dan sma/ma
materi kkr dan uks tingkat smp dan sma/ma
 
ppt hipotiroid anak end tf uygu g uygug o.pptx
ppt hipotiroid anak end tf uygu g uygug o.pptxppt hipotiroid anak end tf uygu g uygug o.pptx
ppt hipotiroid anak end tf uygu g uygug o.pptx
 
TUMBUH KEMBANG KELUARGAaaaaaaaaaaaa.pptx
TUMBUH KEMBANG KELUARGAaaaaaaaaaaaa.pptxTUMBUH KEMBANG KELUARGAaaaaaaaaaaaa.pptx
TUMBUH KEMBANG KELUARGAaaaaaaaaaaaa.pptx
 
ATRIBUT BIDAN PROFESIONAL DALAM KEBIDANAN.pptx
ATRIBUT BIDAN PROFESIONAL DALAM KEBIDANAN.pptxATRIBUT BIDAN PROFESIONAL DALAM KEBIDANAN.pptx
ATRIBUT BIDAN PROFESIONAL DALAM KEBIDANAN.pptx
 

EPISTAKSIS

  • 1. PENDAHULUAN Hidung merupakan bagian dari saluran pernafasan awal. Udara masuk ke dalam tubuh manusia melalui mulut dan hidung. Hidung memiliki banyak pembuluh darah yang berfungsi sebagai termoregulasi udara yang masuk melalui hidung. Pembuluh darah hidung yang pecah merupakan tanda adanya epistaksis (mimisan) (Morre & Arthur, 2013). Epistaksis merupakan gejala dari suatu penyakit lokal atau sistemik. Insidensi epistaksis secara global masih belum diketahui secara pasti. Diperkirakan 60% dari populasi dunia pernah mengalami satu kali episode epistaksis selama hidupnya, dan 6% diantaranya mencari pertolongan medis (Nabil & Abdulsalam, 2014). Pada kondisi epistaksis, penderita maupun pemeriksa tidak jarang menjadi panik. Penanganan dengan langkah dan alat yang tepat dapat mengurangi kecemasan dalam kondisi tersebut. Prinsip dari penatalaksanaan epistaksis adalah mengidentifikasi perdarahan dan mengontrol perdarahan (Roberts et al, 2014). Epistaksis yang hebat dapat menjadikan kondisi yang berbahaya seperti aspirasi darah ke dalam saluran nafas bawah, juga dapat mengakibatkan syok, anemia dan gagal ginjal. Akibat pembuluh darah yang terbuka dapat terjadi infeksi. Penanganan epistaksis yang tidak tepat dapat memperparah kondisi penderita (Mangunkusumo et al, 2012). ANATOMI & FISIOLOGI HIDUNG Hidung meliputi hidung luar dan cavitas nasi, yang dibagi menjadi cavitas nasi kanan dan cavitas nasi kiri oleh septum nasi. Fungsi hidung adalah olfaktori (penghidu), respirasi (pernapasan), filtrasi debu, kelembapan udara yang dihirup, eliminasi sekresi dari sinus paranasalis dan ductus nasolacrimalis (Morre & Arthur, 2013). Hidung Luar Hidung luar adalah bagian yang dapat dilihat dan menonjol dari wajah. Ukuran dan bentuk hidung bervariasi, terutama karena perbedaan kartilagonya. Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan cartilago hialin yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan otot yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung ketika otot-otot yang bekerja pada hidung berkontraksi. Kerangka tulang (pars ossea) terdiri dari:  Os.nasal  Processus frontalis os maxillae  Pars nasalis ossis frontalis dan spina nasalisnya  Pars ossea septi nasi Kerangka tulang rawan (pars cartilaginea) terdiri dari:  Sepasang cartilago nasalis lateralis  Sepasang cartilago alaris  Satu cartilago septi nasi Pada bagian kerangka tulang dilapisi oleh kulit tipis, kulit pada kartilago labih tebal dan banyak mengandung glandula sebasea. Kulit
  • 2. membentang ke dalam pada vestibulum nasi, dimana terdapat rambut hidung (vibrissae). Karena hidung biasanya basah, rambut-rambut menyaring partikel debu dari udara yang masuk cavitas nasi. Septum nasi membagi ruang hidung menjadi dua cavitas nasi serta memiliki pars ossea dan pars cartilaginea hialin yang mobil. Komponen utama septum nasi:  Lamina perpendicularis ossis ethmoidalis, yang membentuk pars superior septum nasi, turun dari lamina cribosa dan terus ke superior lamina tersebut sebagai crista galii  Os. vomer, yang membentuk pars posteroinferior septum nasi (Morre & Arthur, 2013) Cavitas Nasi Cavitas nasi, dibagi menjadi dua yaitu kanan dan kiri oleh septum nasi. Cavitas nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (choanae) yang menghubungkan cavum nasi dengan nasopharynx. Mukosa melapisi cavitas nasi kecuali vestibulum nasi yang hanya ditutupi kulit dan vibrissae. Batas-batas cavum nasi :  Atas : lamina cribosa, os. sphenoid, os. frontonasalis  Dasar : os. maksila dan os. palatum  Medial : septum nasi  Lateral : conchae nasi Concha nasi (superior, media, inferior) melengkung ke inferomedial, struktur seperti gulungan yang memberikan area permukaan yang luas untuk pertukaran panas. Diantara conchae terdapat rongga sempit yang disebut meatus. Meatus ada 3 yaitu:  Meatus nasi superior ( muara sinus ethmoidalis dan sinus sphenoidalis)  Meatus nasi media (muara sinus frontal, sinus maxillaries, sinus ethmoidalis anterior)  Meatus nasi inferior (muara ductus nasolcrimalis) ( Soetjipto et al, 2012) Mukosa nasal sangat kuat terikat dengan periosteum dan perichondrium tulang penunjang dan cartilage nasi. Mukosa berlanjut dengan lapisan semua ruangan yang berhubungan dengan cavitas nasi: nasopharynx di posterior, sinus paranasalis di superior dan lateral, saccus lacrimalis dan conjunctiva di superior. Dua pertiga inferior mukosa nasal adalah area respiratori dan sepertiga superior adalah area olfactori. Udara yang berjalan pada area respirasi hangat dan basah sebelum berjalan melalui bagian lain saluran pernapasan atas ke paru (Morre & Arthur, 2013). Pada bagian yang lebih terkena aliran udara mukosa lebih tebal dan terkadang mengalami metaplasia. Mukosa tersusun dari epitel, sel goblet, dibawahnya terdapat tunika propria yang
  • 3. mengandung pembuluh darah, kelenjar mukosa dan jaringan limfoid. Vasokonstriksi dan vasodilatasi pembuluh darah ini dipengaruhi oleh saraf otonom ( Soetjipto et al, 2012). Vascularisasi hidung (nasus) Mukosa hidung pada cavum nasi terdapat pembuluh darah. Cavum nasi mendapatkan pendarahan dari: 1. Atas cavum nasi: a.ethmoidalis anterior et posterior, cabang dari a.ophtalmica dari a.carotis interna. 2. Bawah cavum nasi: a.palatina mayor, cabang dari a. maxillaries interna dan a.sphenopalatina yang keluar dari foramen sphenopalatina memasuki rongga hidung dibelakang ujung posterior conchae media cabang dari a.carotis eksterna. 3. Anterior nasi: cabang-cabang a.facialis 4. Anterior septum: Plexus Kiesselbach, anastomosis dari:  a. ethmoidalis anterior et posterior  a. sphenopalatina  a. palatina mayor  a. labialis superior 5. Posterior-inferior lateral: Plexus Woodruff, anastomosis dari:  a. sphenopalatina  a. pharyngeal (Fatakia et al, 2010). Epistaksis Epistaksis (mimisan) sering terjadi karena aliran darah ke mukosa nasal sangat banyak. Semburan darah dari hidung disebabkan oleh rupturnya arteri di hidung (Morre & Arthur, 2013). Sangat penting memperhatikan bagian yang menghubungkan cavitas nasi dengan telinga melalui tuba auditiva yang terletak dibelakang choanae, serta cavitas nasi yang menghubungkan dengan mata melalui ductus nasolacrimalis. Pada pemasangan tampon pada epistaksis aktif, jika tidak tepat dalam pemasangan maka akan didapatkan darah keluar dari telinga atau mata. Gambar 1. Hidung luar
  • 4. Gambar 2. Dinding lateral cavum nasi, terdapat conchae nasi superior, conchae nasi media, conchae nasi inferior. Gambar 3. Dinding medial cavum nasi. Pada bagian posterior terdapat choanae.
  • 5. EPISTAKSIS A. DEFINISI Epistaksis atau mimisan merupakan gejala berupa perdarahan hidung (Mangunkusumo & Retno, 2012). B. EPIDEMIOLOGI Insidensi epistaksis secara global masih belum diketahui secara pasti, namun diperkirakan 60% dari populasi dunia pernah mengalami satu kali episode epistaksis selama hidupnya, dan 6 % diantaranya mencari pertolongan medis. Sedikitnya 55% pria dan 45% wanita telah dilaporkan. Epistaksis jarang pada neonates namun sering ditemui pada anak dan dewasa muda, dan mencapai puncaknya pada dekade ke-6 kehidupan (Nabil & Abdulsalam, 2014).Di Kanada dari 222 orang 73,4% mengalami epistaksis tanpa didahului trauma sebelumnya, sedangkan 10% lainnya mengalami epistaksis 42,9% diantaranya memiliki riwayat keluarga engan hemophilia, trombositopeni, dan von willebrand disease lebih rentan mengalami epistaksis (Nash & Fiel, 2008). Penelitian yang dilakukan di Manado dari tahun 2010-2012 dari 1048 pasien dengan epistaksis, kelompok umur yang paling banyak mengalami epistaksis pada usia 25-
  • 6. 44 tahun dengan jumlah 381 penderita (36,35%), pada penderita usia <20 tahun umumnya pendarahan dapat berhenti sendiri sehingga jarang memerlukan bantuan tenaga kesehatan. Penyebab yang paling sering memicu epistaksis adalah gangguan sistemik yang dialami 613 penderita (58,49%) dan sisanya 387 penderita (36,93%) karena penyebab lokal seperti trauma, bersin terlalu kuat atau mengeluarkan secret terlalu kuat (Limen et al, 2013). C. ETIOLOGI Lokal Sistemik 1. Trauma  Fractur : facial dan nasal,  Iatrogenik 2. Perubahan tekanan 3. Perforasi septum 4. Bahan kimia  Penyalahgunaan kokain  Semprotan hidung (baik steroid maupun dekongestan  Amonia  Lainya : bensin, fosfor, asam sulfat, dll 5. Tumor 6. Inflamasi 1. Koagulopati  Pemakain antikoagulan: heparin  NSAID  Hemofilia  Von Willebrandt Disease  Gangguan Platelet  Kehamilan  Demam dengue 2. Gangguan Granulomatous  Penyakit Wegener  Sarcoidosis  Sifilis  Tuberculosis  Rhinoscleroma  SLE  Periarteritis nodosa 3. Intoksikasi  Cobalt  Fosfor  arsenik 4. Vaskular  Hipertensi  Arterosklerosis  Cicardian Onset Selain etiologi diatas pada beberapa kasus penyebab dari epistaksis tidak dapat diidentifikasi “Idiopatic”(Bertrand et al, 2005).
  • 7. D. PATOFISIOLOGI Perdarahan sering terjadi ketika mukosa terkikis dan mengenai pembuluh darah, berdasarkan lokasinya epistaksis dibagi menjadi dua bagian : 1. Epistaksis anterior Pada epistaksis anterior 90 % muncul dari daerah plexus Kiesselbach yang terletak pada septum dan biasanya dapat berhenti sendiri. Fungsi kelenjar seromusinosa tidak baik menyebabkan mukosa kering, berkrusta, silia tidak berfungsi serta mukosa erosi. Jika terpapar oleh bakteri maka akan terinvasi bakteri dan masuk enzim fibrinolitik sehingga terjadi reaksi inflamasi dan jaringan granulasi. Apabila terjadi trauma ringan mengakibatkan mudah berdarah sehingga terjadilah epistaksis (Nguyen et al, 2015). Gambar 4. Mukosa hidung yang tenang dalam kondisi normal Gambar 5. Mukosa hidung dalam kondisi epistaksis 2. Epistaksis posterior Pada epistaksis posterior 81% muncul dari daerah dinding nasal lateral, dapat berasal dari a.sphenopalatina (plexus Woodruff) dan a.ethmoidalis posterior. Perdarahan biasanya hebat dan jarang berhenti dengan sendirinya. Sering ditemukan pada pasien dengan hipertensi, arteriosklerosis atau pasien dengan penyakit kardiovaskuler (Throntor et al, 2005). Dalam penelitian Adhikari et al pada pasien epistaksis aktif didapatkan tekanan darah 141/92 mmHg sedangkan saat kondisi post epistaksis tekanan darah kembali normal tanpa pemberian anti hipertensi. Hipertensi pada epistaksis, pada pasien dengan perdarahan hidung pada umunya akian merasa cemas dan binggung. Kecemasan berhubungan dengan stimulaasi simpatik dan sekresi ketokolamin  keadaan ini akan meningkatkan kontraksi jantung  meningkatkan tekanan darah sistolik. Stimulasi simpatik berhubungan dengan vasokonstriksi pembuluh darah  meningkatkan tekanan diastol (Adhikari et al, 2007). E. DIAGNOSA Diagnosis epistaksis secara umum berdasarkan keluhan yang dirasakan pasien, walau beberapa individu dapat saja tidak mengalami perdarahan aktif saat mencari pertolongan medis. Pemeriksa perlu mencari sumber perdarahan dan menentukan apakah perdarahan tersebut merupakan perdarahan
  • 8. anterior atau posterior. Selebihnya, penyebab lain yang mungkin didapatkan dari riwayat medis dan penemuan pada pemeriksaan fisik. Diagnosis epistaksis posterior biasanya didapatkan saat perdarahan tidak dapat berhenti dengan tampon anterior dan jika tidak dapat mengidentifikasi sumber perdarahan anterior. Penemuan lain yang didapatkan saat curiga epistaksis posterior yaitu jika perdarahan berat dari kedua lubang hidung atau terlihat adanya aliran darah di belakang tenggorokan. - Pemeriksaan hitung darah lengkap, PT dan PTT dapat dilakukan pada epistaksis anterior jika curiga koagulopati. - Pikirkan CT scan kepala dan tulang fasial jika epistaksis merupakan akibat dari trauma atau curiga neoplasma Standar diagnosis Eropa yang direkomendasikan yaitu: - Endoskopi nasal - Inspeksi kavum oral, kavum nasal, dan nasofaring - EKG - Pemeriksaan darah Prosedur diagnosis tambahan: - Monitor tekanan darah - Mikrobiologi: Kultur sekret nasal - CT scan/MRI F. PENATALAKSANAAN Pada saat pasien dalam kondisi epistaksis dapat dilakukan pertolongan pertama sebelum dibawa ke pelayanan kesehatan atau rumah sakit terdekat. 1. Pertolongan pertama epistaksis Adapun pertolongan pertama yang dapat dilakukan yakni: b. Posisikan kepala menunduk dan duduk condong ke depan c. Tekan cuping hidung selama 10-15 menit (metode trotter) d. Bernafas melalui mulut e. Kompres pangkal hidung dengan air dingin Jika darah tidak berhenti maka segera ke pelayanan kesehatan terdekat! Gambar 6. Pertolongan pertama epistaksis pada orang dewasa. Gambar 7. Pertolongan pertama epistaksis pada anak-anak. 2. Indikasi rumah sakit Kondisi tertentu pada epistaksis mengharuskan untuk segera dibawa ke rumah sakit, seperti: a. Mimisan tidak berhenti dengan penekanan
  • 9. b. Mimisan hebat sampai menyebabkan pingsan c. Mimisan berulang d. Mimisan pada bayi atau anak 2 tahun e. Sumbatan jala nafas f. Mimisan akibat kelainan anatomi dan trauma pada wajah (Primacakti, 2015). 3. Penatalaksanaan epistaksis di rumah sakit Pasien dengan perdarahan hidung prinsip dalam menanganinya adalah identifikasi perdarahan dan kontrol perdarahan. Disamping itu tidak jarang penderita dan pemeriksa dalam kondisi cemas, penanganan yang sistematis dan penggunaan alat yang tepat dapat mengurangi kecemasan. a. Airway, Breathing, Circulation Kelas 1 Kelas 2 Kelas 3 Kelas 4 Kehilangan darah (ml) Sampai 750 750-1500 1500-2000 >2000 Kehilangan darah (% vol darah) Sampai 15% 15%-30% 30%-40% >40% Denyut nadi <100 >100 >120 >140 Tekanan darah Normal Normal Menurun Menurun Tekanan nadi (mmHg) Normal atau naik Menurun Menurun 90-110 Menurun <90 Frekuensi pernafasan 14-20 20-30 30-40 >40 Produksi urine (ml/jam) >30 20-30 5-15 Tidak berarti CNS/ status mental Sedikit cemas Agak cemas Cemas, bingung Bingung, lesu, lethargic Penggantian cairan (hukum 3:1) Kristaloid Kristaloid Kristaloid dan darah Kristaloid dan darah Estimated fluid and blood losses based on patient’s presentation (Adapted from American College of Surgeons’ Committee on Trauma, 2004) Estimated Blood Volume (EBV): BB x rata-rata volume darah  Biasa digunakan pada anastesi Rata-rata volume darah Prematur neonates = 95ml/kg Fulltrem neonates = 85ml/kg Infants = 80 ml/kg Adult man= 75 ml/kg Adult women= 65 ml/kg (sumber: international anesthesia research society)
  • 10. Total blood volume Rumus = Kg BB x 70 ml (sumber: McCall, Root E. & Catheem. E, 2008. Phlebotomy essential. Philadelphia: Lippincott William and Willkins) Urin normal : 0,5ml/kgbb/jam (sumber: ATLS) Kristaloid : cairan isotonik seperti RL dan NaCL, Asering Pada pasien dengan syok hipovolemik diberiakn cairan kristaloid karena sifatnya yang isotonis sehingga mempertahankan cairan yang berada di intersititial. Hindari pemberian cairan hipertonis, karena menyebabkan darah intrasel dan interstitial tertarik kedalam pembuluh darah sehingga semakin memperburuk keadaan. Transfusi mulai diberikan pada pasien syok hipovolemik grade 3. Transfusi yang diberikan pada Hb turun (7), kehilangan cairan 15% diberikan transfusi PRC karena yang hilang adalah komponen darahnya bukan volume darahnya. Kalau masuk syok hipovolemik grade 2-3  transfusi WB. Tanda kelebihan cairan udem dan sesak, sesak karena cairan mengumpul di paru-paru saat dicek dengan auskultasi menjadi suara dasar vesikuler menurun sampai ronkhi basah. Syok kardiogenik ditandai dengan adanya : – Ada gangguan irama – JVP tinggi – Ronchi basah dikedua basal paru – S3 gallop – Bising jantung – Deviasi trachea b. Posisikan pasien Ketika pasien epistaksis datang, posisikan pasien dengan benar. Jika pasien sadar posisikan pasien duduk tegak dan kepala menunduk. Jika pasien dalam kondisi kesadaran menurun, posisikan berbaring, kapala miring ke posisi yang berlawanan dari hidung yang epistaksis. Why ? Mengapa harus posisi duduk dan berbaring dengan kepala dimiringkan? Untuk mencegah terjadinya aspirasi jika pasien mengalami penurunan kesadaran. Mengapa kepala dimiringkan ke arah berlawanan dari epistaksis? Darah membeku mengikuti arah gravitasi, jika miring ke arah yang terjadi epistaksis maka akan menyumbat rongga hidung karena bekuan darah yang terbentuk. Selain itu juga mempermudah untuk pemasangan tampon.
  • 11. c. Metode trotter Setelah memposisikan pasien, tekan cuping hidung selama 10-15 menit (metode trotter) untuk menghentikan perdarahan. Selama menekan cuping hidung kita memerintahkan petugas kesehatan yang lain untuk menyiapkan alat-alat yang akan digunakan, dan lakukan anamnesis secukupnya untuk mengetahui keberatannya epistaksis, yakni: Anamnesis: 1) Lokasi (hidung, mulut) 2) Waktu 3) Kuantitas (dengan ukuran gelas blimbing, dapat digunakan untuk mempertimbangkan banyaknya darah yang keluar curiga adanya syok) 4) Trauma 5) Penyakit penyerta 6) Penggunaan obat 7) Riwayat perdarahan sebelumnya Persiapkan alat-alat: 1) Headlight 2) Gloves, mask, and gown 3) Anastesi topical, vasokonstriktor, antibiotic ointment, vaselin 4) Nasal speculum 5) Tongue depressors 6) Small red rubber catheters 7) Bayonet forceps 8) Scissors 9) Kidney basin 10) gauze 11) nasal tampons, dual- ballon pack, foley cateter (no.16,14,12) 12) silver nitrat sticks or electrocautery
  • 12. Gambar 8. Alat-alat penanganan epistaksis Perlu memikirkan tindakan apa yang akan dilakukan. Pada epistkasis anterior, mungkin dapat dilakukan penanganan sampai akhir namun jika epistaksis posterior memerlukan manuver yang sering dilakukan hingga proses berhenti atau konsulan dapat menyempurnakan prosedur hemostatik definitif. Mengontrol perdarahan dipengaruhi oleh waktu dalam persiapan alat dan pasien yang kooperatif. Adapun indikasi, kontraindikasi dan komplikasi dalam penatalaksanaan epistaksis, yakni: – Indikasi : Epistaksis menetap. – Kontraindikasi : Trauma facial massif dengan kemungkinan fraktur basis cranii – Komplikasi : 1) Kauter : nasal septal injury/perforation, rebleeding 2) Tampon anterior : sinusitis, nasolacrimal bleeding, nasal mucosa pressure necrosis 3) Tampon posterior : infeksi, disfagia, disfungsi tuba eustachii, nekrosis jaringan, dislodgment, hipoksia, hiperkapnia, aspirasi, hipertensi, aritmia, myocardial infraction, kematian
  • 13. Perhatian ! Kenapa tampon posterior kontra indikasi pada fraktur basis crinii? 1) Karena bisa saja mengenai otak karena ada celahnya 2) Bagian yang terkena trauma menjadi lebar karena tekanan tampon tadi 3) Bisa saja yang dimasukkan tidak steril sehingga menjadi rute bakteri masuk ke atas Tanda-tanda fraktur basis cranii Raccoon eyes, battle sign, perdarahan telinga otoraghi (bukan otore), kesadaran menurun Selama mempersiapkan penanganan epistaksis, lakukan evaluasi status hemodinamik pasien dengan vital sign dan gejala orthostatic serta jumlah banyaknya perdarahan. Jika pasien menunjukan gejala perdarahan di tempat lain, maka memulai memasang jalur intravena untuk memasukan cairan. d. Tampon dengan vasokonstriktor Jika metode trotter perdarahan belum berhenti maka kita persiapkan untuk pemasangan tampon anterior sementara dengan vasokontriktor. Tampon yang digunakan sudah direndam dalam larutan adrenalin dan lidokain dengan pengenceran 1:200.000 dimana efek dosis yang dibutuhkan sesuai dan efek samping minimal. 1) Pehacain Pehacain, permililiter mengandung (Lidocain 20 mg dan Adrenalin 0,0125mg). Adrenalin memiliki konsentrasi 1:80.000, cara membacanya 1gr (1000 mg) adrenalin dalam 80.000 ml larutan. Pengenceran 1:80.000 mengandung 0,0125 mg /ml adrenalin (12,5 mcg/ml). Cara Menghitung Pengenceran
  • 14. Gambar 9. Sediaan Pehacain 1 ampul 2 ml Soal Untuk mengencerkan 1:80.000 menjadi 1:200.000, berapa banyak larutan yang dibutuhkan ? Jawab Konsentrasi yang diketahui = banyak larutan yang dibutuhkan (y) X pengenceran yang diinginkan 1gr 80.000 = (y) X 1gr 200.000 1000 mg 80.000 = (y) X 1000 mg 200.000 80 y = 200 Y = 2,5 ml Dalam 1 ampul pehacain berisi 2 ml maka  2,5 ml x 2 = 5 ml 5 ml  mengandung 2 ml dalam 1 ampul dan 3 ml larutan. Jadi untuk mengencerkan 1:80.000 menjadi 1:200.000 membutuhkan larutan = 3ml 2) Adrenalin Adrenalin, permililiter memiliki 2 konsentrasi yaitu 1: 1.000 atau 1:10.000. Adrenalin memiliki konsentrasi 1:1.000, cara membacanya 1gr (1000 mg) adrenalin dalam 1.000 ml larutan. Adrenalin memiliki konsentrasi 1:10.000, cara membacanya 1gr (1000 mg) adrenalin dalam 10.000 ml larutan. Pengenceran 1:1.000 mengandung 1 mg /ml adrenalin (1000 mcg/ml)
  • 15. Gambar 10. Sediaan epinephrine 1 ampul 1:1000 Soal Untuk mengencerkan 1:1.000 menjadi 1:200.000, berapa banyak larutan yang dibutuhkan ? Jawab Konsentrasi yang diketahui = banyak larutan yang dibutuhkan (y) X pengenceran yang diinginkan 1gr 1.000 = (y) X 1gr 200.000 1000 mg 1.000 = (y) X 1000 mg 200.000 Y = 200 Dalam 1 ampul adrenalin berisi 1 ml maka  200 ml. 200 ml  mengandung 1 ml dalam 1 ampul dan 199 ml larutan. Jadi untuk mengencerkan 1:1.000 menjadi 1:200.000 membutuhkan larutan = 199 ml.
  • 16. Langkah awal penanganan epistaksis yang disebutkan dalam Robert et al tahun 2013 yaitu sebagai berikut: 1) Posisikan pasien duduk tegak dengan dasar hidung sejajar dengan lantai. Diperlukan cahaya yang cukup menggunakan headlamp 2) Meminta pasien untuk menghembuskan udara dari hidung untuk menghilangkan darah dan gumpalan darah dari rongga hidung 3) Cara lain dengan menggunakan suction pada cavum nasal. Lakukan suction dari depan ke belakang bersama septum septum nasal kemudian ke lateral
  • 17. 4) Jika perdarahan minimal cobalah untuk melokalisasi sumber perdarahan yang spesifik menggunakan speculum hidung 5) Jika perdarahan masih banyak, berikan vasokontriktor topical seperti oxymetazoline 6) Cara lain gunakan tampon kapas yang direndam dalam kokain, dimasukan ke dalam cavum nasal menggunakn pinset bayonet e. Kauterisasi Pada perdarahan anterior kauterisasi dapat dilakukan untuk menghentikan perdarahan. Kauterisasi tidak dapat bekerja jika perdarahan aktif. Jika pembuluh menonjol pada kedua sisi septum, hindari multipelkauter dan mengkauter daerah yang sama pada kedua sisi agar tidak terjadi perforasi septum. Jika tekhnik kauter barhasil maka tidak dilakukan pemasangan tampon, namun jika tidak berhasil maka lakukan tampon anterior .
  • 18. Langkah keuterisasi dalam penanganan epistaksis yang disebutkan dalam Robert et al tahun 2013 yaitu sebagai berikut: 1) Kauterisasi digunakan pada perdarahan anterior. Bersihkan dengan kapas pada daerah sumber perdarahan. Jika perdarahan aktif maka kauter tidak dapat bekerja 2) Kauter jika sudah tidak ada perdarahan. Gunakan silver nitrate stick dan biarkan 4-5 detik. Kebanyakan pasien akan bersin setelah diberikan silver nitrate stick 3) Pada area kauterisasi akan terlihat abu-abu. Jika perdarahan kembali, penanganan kauter sudah cukup. Hindari multipelcauter dan kauterisasi dua sisi karena akan menyebabkan kerusakan septum atau perforasi
  • 19. f. Tampon anterior Tampon anterior memiliki beberapa alat : 1) Tampon Kasa 2) Merocel 3) Rapid Rhino Device Tampon kasa dapat dibuat sendiri, sedangkan merocel dan rapid rhino device tidk semua tempat pelayanan kesehatan memilikinya. 1) Tampon kasa Langkah pertama yang perlu diersiapkan yaitu, tampon kasa dibuat dari lembaran kasa steril berukuran 72x1/2 inci, campur tampon kasa dengan pelicin supaya pasien nyaman dan mudah dalam memasukkan tampon kasa. Pelicin yang digunakan adalah salep antibiotik. Siapkan lampu kepala, speculum hidung, gunakan apron, bengkok, Perhatian ! Campur kasa dengan salep antibiotik berguna sebagai pelicin, antibiotic, serta mencegah infeksi dan terjadinya Toxic Syok Syndrome (TSS) akibat kuman Staphylococcus aureus. Ada 3 macam pelicin : – Vaselin  hanya pelicin – Salep antibiotic  ex. Kalmicetin (pelicin dan antibiotic) – Salep lidocain  (pelicin, analgetik) Yang paling baik digunakan adalah salep antibiotic, lebih banyak manfaatnya, dan sedikit kerugian Perhatikan posisi bilah speculum hidung, bilah speculum berada diatas dan di bawah agar tidak menutupi sumber perdarahan.
  • 20. Masukan kasa tampon, menggunakan speculum hidung dan pinset bayonet dari bawah ke atas dan mengarah ke septum agar tidak mengenai dinding lateral yang terdapat concha media. Masukkan kembali tampon ke atas dengan menarik speculum kemudian masukan kembali dimana bilah atas berada di bawah tampon atas yang telah dimasukkan untuk menahan, dan lakukan seterusnya hingga padat. Jika perdarahan berhenti dan tanpa adanya gangguan medis primer, pasien dapat diperlakukan sebagai pasien rawat jalan dan diberitahu untuk duduk tegak dengan tenang sepanajang hari, serta kepala sedikit ditinggikan pada malam hari. Tampon dapat diangkat dalam dua atau tiga hari. Pasien tua atau dengan kemunduran fisik harus dirawat dirumah sakit. Jika perdarahan tidak berhenti lakukan pemasangan tampon posterior, lepas tampon anterior, pasang tampon posterior (Adam et al, 1997). g. Tampon posterior Epistaksis posterior dicurigai bila 1) sebagian besar perdarahan berasal dari faring, 2) tampon anterior gagal mengontrol perdarahan, 3) perdarahan posterior dan superior maka perlu menggunakan tampon posterior (Adam et al, 1997) Ada beberapa cara tampon posterior : 1) Belloque tampon (traditional posterior packing) 2) Foley catheter technique 3) Dual balloon tamponade catheter
  • 21. Langkah tampon posterior dengan tekhnik foley catheter dalam penanganan epistaksis yang disebutkan dalam Robert et al tahun 2013 yaitu sebagai berikut: 1) Masukkan foley kateter dari hidung hingga phaynx posterior 2) Lihat orofaring untuk memastikan posisi ujung kateter sudah masuk atau belum 3) Isi balon kateter 5-7 ml air 4) Traksi/ tarik kateter agar berada di belakang nasopharynx
  • 22. 5) Setelah Foley kateter berada di posterior nasopharynx, isi balon kateter dengan 5-7 ml air 6) Untuk menjaga traksi, beri klem umbilical di depan hidung. Berikan kasa di diantara tanpon anterior dan klem umbilical Perhatikan ! Belloque tampon - kelebihan: darah menyerap ke kasa, sehingga mencegah aspirasi karena stolsel. - kerugian: sebelum memasang harus mengukur kasa tampon bellock, jika salah harus di keluarkan lagi. Foley cateter - kelebihan: ukuran dapat diatur tanpa harus mengeluarkan alat. - kerugian : darah tidak dapat diserap oleh foley cateter sehingga rawan untuk terjadinya aspirasi.
  • 23. Perhatikan dalam pengisian air balloon catheter Tangan kiri memegang ujung luar dari cateter dan ujung jari menempatkan ujung spuit, spuit dimasukkan dengan dorongan dari tekanan telapak tangan kanan pada bagian terkuat, kemudian lepas spuit dari ujung luar cateter dengan ujung jari dan jempol tangan kiri menjepit lubang yang akan dilepas spuit agar air yang berada didalam balon foley cateter tidak keluar (dilakukan secara bersamaan) Pada tampon permanen tidak dilapasi vasokonstriktor. Kenapa? Karena makin lama dosis akan berkurang, tidak lagi sebgai vasokonstriksi melainkan akan menjadi vasodilatasi  rebound phenomena Jika perdarahan tidak berhenti lakukan pemasangan tampon posterior, lepas tampon anterior, pasang tampon posterior dan tampon anterior jika memang dari depan maupun tenggorokan mengalami perdarahan.
  • 24. Pasien dengan pemasangan tampon posterior harus dirawat di rumah sakit, sedang pasien usia lanjut atau dengan penyakit primer ditempatkan pada bagian perawatan intensif. Tampon posterior dipertahankan 3 hingga 5 hari. Selama itu kenyamanan pasien akan terganggu (Adam et al, 1997; Roberts et al, 2014). h. Ligasi arteri Tampon anterior dan posterior gagal mengendalikan epistaksis, maka perlu dilakukan ligasi arteri spesifik. Arteri tersebut antara lain a.carotis externa, a.maxillaris interna, a.sphenopalatina, dan a.ethoidalis posterior et anterior (Adam et al, 1997). i. Pemberian obat yang diperlukan untuk pasien epistaksis 1) Antibiotik (injeksi/oral) 2) Antihemolitik, seperti: Asam traneksamat, Vit K, Adona, Dycinone, dll (injeksi/oral) 3) Analgetik (injeksi/oral) (Roberts et al, 2014) j. Cara pelepasan tampon Cara pelepasan tampon sesuaikan posisi pasien dengan benar seperti saat pemasangan tampon. Pelepasan tampon anterior dengan mengunakan cairan saline untuk membasahi kasa tampon sehingga mudah untuk diambil (Roberts et al, 2014). Pelepasan tampon posterior, pada foley catheter keluarkan air pada balon cateter dengan spuit, pastikan jumlah yang dikeluarkan kurang lebih sesuai dengan saat dimasukan, kemudian klem cateter depan hidung (antara hidung dengan klem umbilical), kemudian tarik kateter keluar perlahan-lahan. k. Edukasi pasien Perawatan pasca epistaksis : 1) Cara memijit hidung yang benar 2) Hindari makan-makanan yang pedas atau makanan yang merangsang pasien untuk bersin 3) Makan lembut dan dingin 4) Bersin, mulut terbuka 5) Istirahat kepala elevasi 6) Jangan buang ingus 7) Minum panas 24 jam pertama 8) Hindari aktivitas berat 9) Tidak boleh mengejan, jika BAB sulit maka banyak makan makanan mengandung serat 10) Hindari faktor resiko : seperti makan makanan yang tinggi natrium, daging, sering mengorek- ngorek hidung, sisi dengan satu lubang ditutup
  • 25. 11) Hindari posisi sujud ± 2 minggu. 12) Kontrol jika perlu Untuk mencegah berulangnya epistaksis : 1) Hidung ttp lembab: salep AB / vaselin 2) Kuku tetap pendek 3) Hentikan rokok 4) Kebiasaan buka mulut jk bersin 5) Stop obat antikoagulan 6) Atasi reaksi inflamasi lokal, alergi, infeksi l. Obat anti Perdarahan (Hemostatik) 1) Tranexamic acid Mekanisme kerja dari asam tranrksamat menghambat aktivasi plasminogen dengan membentuk kompleks reversibel yang menggantikan plasminogen dari fibrin. Sehingga menghambar terjadinya fibrinolisis (Munoz et al, 2014). Asam traneksamat diindikasikan untuk perdarahan gastrointestinal dan jika ada risiko persarahan seperti henofilia, menoragia, dan ekstraksi dental dengan efek sampung mual, muntah dan diare (Horton-Szar, 2012). 2) Ethamsylate (Dycinone) Merupakan agen non hormonal yang mengurangi eksudasi kapiler dan kehilangan darah yang tidak mempengaruhi proses koagulasi karena tidak memiliki efek terhadap prothrombine times, fibrinolisis,fungsi maupun hitung trombosit. Walaupun mekanime tepatnya masih belum diketahui, ethamsylate dipercayamenigkatkan resistensi dinding kapiler, perlekatan trombosit melalui inhibisi sintesis dan aksi prostaglandid yang mentebabkan disagregasi platelet, dan meningkatkan permeabilitas kapiler. (Dickman, 2012) 3) Vit K Vitamin K bekerja dengan meningkatkan produksi dari faktor-faktor pembekuan darah sehingga mempercepat waktu pembekuan dan memperpendek waktu perdarahan (Beckerman, 2015). 4) Adona Adona bekerja dengan memicu bradikinin sehingga menginduksi sel-sel endotel dengan meningkatkan permeabilitasnya sehingga
  • 26. mengurangi pembentukan actin dan memperbaiki ikatan antar sel sehingga rapat kembali (Cecilia et al, 2009) KESIMPULAN Epistaksis adalah suatu gejala yang disebabkan oleh kondi kelainan atau keadaan tertentu. Epistaksis dapt bersifat ringan maupun berat hingga dapat berakibat fatal. Epistaksis disebabkan banyak hal dan dibagi dalam dua kelompok besar yaitu lokal dan sistemik, namun apabila penyabab tidak diketahui disebut idiopatik. Dalam memeriksa dan menangani pasien epistaksis harus menggunakan alat dan cara yang tepat agar perdarahan dapat berhenti. Prinsip penanganan epistaksis adalah mencari sumber perdarhan dan mengontrol perdarahan agar tidak terjadi perdarahan berulang dan perdarahan berhenti. Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk memeriksa pasien dengan epistaksis antara lain dengan rinoskopi anterior dan posterior, pemeriksaan tekanan darah, foto rontgen sinus, atau CT-Scan, atau MRI, endoskopi, skrining koagulopati dan mencari informasi riwayat penyakit pasien. DAFTAR PUSTAKA Adams G., Lawrence R Boies., Peter A Higler., 1997. BOIES Buku Ajar Penyakit THT (BOIES Fundamentals of Otolaryngology). Edisi 6. Jakarta: EGC. Adhikari P., Tappas P., Rabbindra B., 2007. Epistaxis in Normotensive Individuals May Lead to Transiant Hypertension. International Archive of Otorhinolaryngology., 11:2 Beckerman J.,2015. Vitamin K.,WebMD; 23 Januari 2016. http://www.webmd.com/drugs/2/ drug-93625/vitamin-k- injection/details. Bertrand B., Ph Eloy., Ph Rombaux., C Lamarque., J B Watelet., S Collet., 2005. Guidlines to the Management of Epistaxis. B- ENT; 1: 27-43. Cecilia et al, 2009. Effect of Furosemide and-Carbazochrome Combination On Exercise-Induced Pulmonary Hemorrhage In Standarbred Racehorses. Can Vet J 50:821- 827. Dickman, Andrew. 2012. Drugs in Palliative Cares. Hampshire: Oxford UniversityPress Fatakia, Adil MD., Ryan Winters MD., Ronald G., Amedee MD. 2010. Epistaxis: A Common Problem. The Ochsner Journal; 10:176- 178. Primacakti F, ,IDAI;23 Januari 2016.www. idai.or.id Horton Szar, Dan. 2012. Pharmacology. China: Elsevier Limen Merry P, Ora Palandeng, and Ronny Tumbel. 2013. Epistaksis di Poliklinik THT-KL BLU RSUP Prof.Dr. R. D. Kandou
  • 27. Manado Periode Januari 2010- Desember 2012.eBm;1(1) 478-83. Nabil Abdulghany S., Abdulsalam Mahmoud Algamal. 2014. Relationship between epistaxis and hypertention: Acause and effect or coincidence? J Saudi Heart Assos; 27:79-79. Nash CM MSc and Fiel S. MB Bch. 2008. Epidemiology of Epistaxis in a Canadian Emergency Departement. IJEM; 8(3) 23-28. Mangunkusumo, Endang., Retno S Wardani., 2012. Perdarahan Hidung dan Gangguan Penghidu di Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokkan Kepala dan Leher. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Morre, Keith L., Arthur F Dalley., 2013. Anatomi Berorientasi Klinis. Ed:kelima, jilid 3. Jakarta: Erlangga. Munoz, Ricardo, et al. 2014. Handbook of Pediatric Cardiovascular Drugs. New York: Springer. Roberts J.,James R Hadges., 2014. Clinical Procedure in Emergency Medicine. Philadelphia: Elsevier. Soetjipto, Damayanti., Endang Mangunkusumo., Retno S Wardani., 2012. Sumbatan Hidung di Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokkan Kepala dan Leher. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Thornton MA, Mahest BN., Lang J., 2005. Posterior epistaxis: Identification of common bleeding sites. Laryngoscope.Vol:155 (4);588- 90.