Laporan Guru Piket untuk Pengisian RHK Guru Pengelolaan KInerja Guru di PMM
Al-Qur'an dan As-Sunnah Relevansi Abadi
1. “AL-QUR’AN DAN AS-SUNNAH SERTA
INTEPRETASI DAN RELEVANSINYA ”
Makalah Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Mata Perkuliahan MSI
Dosen Pengampu :
Dadang Aji Permana M. Hum
Penulis:
Uur Kholifah
Nim : 201199010002
Prodi: SI PAI (Pendidikan Agama Islam)
Fakultas :
Tarbiyah
Sekolah Tinggi Islam Blambangan (STIB)- Banyuwangi Tahun ajaran 2012
2. BAB I
PENDAHULUAN
A. Rumusan masalah
Al-Qur’an telah diturunkan kepada nabi besar kita, Nabi Muhammad SAW
di samping itu, sepertinya Al-Qur’an kurang lengkap bila tidak ada As-Sunnah atau
yang kita kenal dengan Al-Hadist. Jika Al-Qur’an tanpa Al-Hadist bagaikan jiwa
tanpa raga. Yang tidak akan pernah hidup. Oleh sebab itu penulis mendapatkan
tugas makalah yang berjudul “Al-Qur’an Dan As-Sunnah Serta Interprentasi dan
Relevansinya”. Mari kita diskusikan bersama.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kaedah Tafsir dan Interpretasi
Sumber hukum Islam yang selalu dijadikan idiom oleh orang-orang muslim
adalah Al-Qur’an dan As Sunnah. Terlepas dengan persolan tentangnya. para
Ulamapun hampir sepakat dengan pernyataan di atas tersebut. Fahrurahman
misalnya, dia sepakat bahwasanya, sumber hukum Islam itu adalah Quran dan
Sunnah. kemudian tokoh-tokoh Islam kontemporer pun menyepakati bahwasanya
hal tersebut merupakan barometer hukum Islam
Saya teringat aritkel yang dibuat oleh : Dr. Aswadi Syuhadak, M.Ag. Satu di
antara sekian banyak kaedah interpretasi terhadap nash al-Qur’an adalah al-`ibrah
bi umum al-lafdhi la bi khusus al-sabab -memahami nash-nash al-Qur’an dengan
berpegang pada keumuman lafadz bukan kekhususan sebab turunnya ayat. Kaedah
ini identik dengan teknik analisis induktif-deduktif yang selanjutnya dapat dikenal
dengan istilah generalistik maupun nilai rata-rata, mean, median atau modus dalam
dunia statistik. Pengambilan keputusan ini terkadang hanya didasarkan pada
pengambilan sample, contoh kecil dari sebagian sasaran yang menjadi obyek kajian.
Kaedah ini sudah barang tentu selain mengandung banyak keunggulan juga sarat
dengan berbagai kekurangan. Keunggulan kaedah ini memang segera dapat
dipahami secara cepat dari berbagai permasalahan yang sedang berkembang.
Namun tidak jarang teknik analisis demikian juga sering mengabaikan persoalan-
persoalan yang sifatnya sangat spesifik, baik keberadaannya terletak posisi ekstrim
kanan maupun ekstrim kiri. Analisis ini sering mengabaikan kelompok-kelompok
minoritas dari kalangan bawah maupun minoritas dari kalangan atas. Kalangan
minoritas terkadang jarang dan bahkan tidak pernah mendapat perhatian khusus
sesuai dengan kapasitas yang bersangkutan.
Kelemahan dari beberapa penerapan kaedah tersebut, mengundang perhatian
untuk mencermati persoalan-persoalan yang lebih spesifik, dengan memberlakukan
kebalikan dari kaedah di atas melalui ungkapan: al-ibrah bi khusus al-sabab la bi
umum al-lafdzi -memahami ayat-ayat al-Qur’an dengan berpegang pada sebab
turunnya ayat al-Qur’an dan bukan pada keumuman lafadhnya. Pendekatan ini
3. benar-benar sangat spesifik, karena semua persoalan dihadapkan pada sasaran
utamanya sesuai dengan berbagai persoalan yang sedang berkembang. Pernyataan
ini lebih tepat disebut sebagai keunggulan dalam penggunaan kaedah spesifik,
namun di sisi lain kaedah ini juga sarat dengan kelemahan. Pertama, selain cukup
lama dalam proses pengambilan keputusan dalam persoalan-persoalan yang sudah
meluas, juga harus melibatkan banyak tenaga sesuai dengan permasalahan yang
sedang berkembang. Kedua, penggunaan kaedah spesifik ini sudah barang tentu
membutuhkan seperangkat analogi ataupun qiyas antara kasus lama dengan
berbagai kasus baru yang sedang berkembang. Tanpa adanya keahlian dalam
menemukan sinergi di antara dua kasus, maka sangat sulit berkembang secara cepat
bahkan boleh jadi bisa kandas dan macet. Ketiga, signifikasi kajian al-Qur`an
berdasarkan sebab nuzul hanya berkisar pada 10 hingga 11 %, selebihnya termasuk
kategori ayat-ayat tanpa sebab nuzul.
Terlepas dengan beberapa kekurangan dua kaedah di atas, pada tataran
realitasnya ternyata masih sangat relevan untuk dijadikan pijakan dasar dalam
proses interpretasi atau penafsiran ayat-ayat ووو وويةوق maupun ayat-ayat ووو كوووية, mulai
dari awal hingga akhir keputusan. Pertama, proses pemahaman dari awal hingga
tahap akhir dapat berpegang pada realitas menuju makna yang tersembunyi, mulai
dari yang umum ke khusus, atau berpegang dari realitas menuju hakekat. Kaedah ini
diungkapakan oleh al-Razi dengan ungkapan: وووو ا ة ووو وووفة وووفاألظهةىتهق أنةيتمسووواةظوووفاألظهة
ة
وفاو – an yatamassak bi al-adhar fal adhar mutaraqqiyan ilal akhfa fal akhfa -
hendaknya anda berpegang pada realitas yang satu kepada realitas lainnya menuju
makna tersembunyi yang satu kepada yang tersembunyi lainnya. Kedua, dengan
jalan berargumentasi mulai dari yang paling tinggi, paling agung dan paling mulya
hingga menurun sampai pada tingkatan yang paling bawah maupun yang paling
rendah. Dalam teks aslinya disebutkan: ة ووهوفاأل ة ووهوةظفاأل ةعةلىوووف ووتوأنةيح
ا ة ووو وووفإلة
ة ووو
فا – an yahtajjallah ta`ala bil asyraf fal asyraf nazilan ilal adna fal adna.
Interpretasi Nabi SAW. terhadap ayat-ayat Qur’an, baik dalam bentuk perilaku,
penjelasan lisan maupun sikap diam beliau (takrir), dianggap sebagai referensi terpenting
dalam praktik keagamaan, baik pada waktu beliau masih hidup maupun sesudah wafat. Oleh
karena itu meskipun beliau setengah melarang kepada para sahabat untuk menuliskan apa
saja dari beliau selain ayat-ayat Qur’an, sejumlah sahabat tetap melakukannya, untuk
kepentingan mereka sendiri. Meskipun demikian sepeninggal beliau upaya menuliskan
Sunnah beliau dipandang sangat penting, dan oleh karena itu pelacakan terhadap hal ini mulai
dilakukan oleh sejumlah orang, di antaranya dan agaknya yang pertama, oleh Abdullah bin
Abbas dan Abdullah bin Umar. Dari sinilah di kemudian hari upaya yang lebih besar lagi
dilakukan oleh para kolektor dan dibukukan menjadi kitab-kitab Hadits yang cukup banyak
jumlahnya dan kita kenal hingga sekarang1
B. Relevansi Al-Qur’an
Jika dilihat dari aspek teoritis antara Qur’an dan Sunnah, jelas bahwa kedua
hal tersebut adalah sumber hukum Islam. akan tetapi, kedua hal tersebut harus
dipandang lebih mendalam jika dihadapkan dengan realita sosial tentang relevansi
1 Moelyono. Journal/Article/View
4. keduanya. permasalhan Al-Qur'an misalnya, dengan idiom bahwa Al-Qur’an adalah
kitab yang berlaku setiap waktu dan ruang, masyarakat Islam khusunya para ulama
cenderung memahami bahwa Al-Quran memiliki makna kompleks. dan hal itu
memang tidak bisa terbantahkan. akan tetapi, tokoh Islam menjadi lebih cnederung
memaksakan pemaknaan ayat Al-Quran ketika di sandingkan dengan realita sosial.
sehingga pada akhirnya bermunculan tafsir-tafsir model baru secara esensinya.
maka pertanyaan yang muncul adalah batasan seperti apa yang dapat mengukur
bahwa makna tafsiran tentang suatu ayat itu dapat dikatakan benar?
Al Farmawi merumuskan bahwa, metodologi tafsir itu terbagi empat.
Tahlili, Ijmali ,Muqoron, Maudui. kemudian di spesifikan lagi oleh Ulama
kontemporer bahwasanya tafsir dilihat secara sumber terbagi dua yaitu Ma'tsur dan
Ra'yi. (AL FARMAWI. 2000)
Dua sumber diatas telah muktabar dan di akui oleh para Ulama, akan tetapi
jika diihat dari realita tafsir yang ada, tafsir yang bersumber dari hadits rosul ( bil
ma'tsur) dan yang bersumber dari logika mansuia (bira'yi) hampir tidak bisa di
pisahkan secara utuh (AL FARMAWI. 2000).
Contohnya, Pertama : Tafsir Fidzilalil Quran karangan Ibn Kastir misalnya,
tafsir ini dikatakan sebagai tafsir Bilma'sur, tafsir yang pemaknaan ayatnya
memakai hadits rosul. disadari atau tidak, ternyata di dalamnya masih tereduksi oleh
pemikiran si pengarangnya. hal itu di tunjukan ketika dilihat dari kedalaman
intelektual si penafsir itu sendiri.berarti secara tidak langsung, keterlibatan pola fikir
dan gagasan si penafsir masih di pastikan mempengaruhi hasil tafsirnya. karena,
saat ia menafsirkan ayat dengan hadits, ia pun melakukan pemaknaan ulang
terhadap maksud hadits yang ia tulis (IBN KASTIR. Tafsir Fidzilalil Quran)
. Kedua : Tafsir Alkasyaf karangan Az-Zamakhsyari. Tafsir ini di katakan
sebagai tafsir Bira'yi atau tafsir yang dalam pemaknaan ayatnya menggunakan
logika atau keilmuan yang dimiliki si penafsir. Tetapi lagi-lagi jika dilihat secara
konteks tafsirnya sendiri, Zamakshsyari pun menggunakan hadits sebagai penguat
dari gagasan-gagasan yang ia tuangkan dalam tafsirnya. (Az-Zamakhsyari. Tafsir
Alkasyaf)
Kemudian jika dilihat dari perdebatan antara pembukaan ruang ijtihad.
Sebagian ulama mengatakan ijtihad sudah ditutup dan sebagian mengatakan masih
dibuka dan harus tetap dibuka. maka persoalan tentang batasan kebenaran suatu
makna penafsiran ayat semakin tak bisa di identifikasi. yang pada akhirnya,
munculah perkataan dari tokoh Islam kontemporer bahwa semua orang berhak
menafsirkan ayat Al-Quran dan kebenarannya bersifat relative. Asalkan memiliki
pijakan yang kuat.
Menurut pandangan saya, relevansi Al-Qur'an memang terjaga dan akan
selalu relevan dengan kondisi sosial apapun, meski permasalahan di hari ini
semakin kompleks. akan tetapi yang harus diperhatikan adalah bagaimana bahwa
5. sinergitas antara teks dan konteks ayat harus menjadi bahan terpenting saat
menuangkan penafsiran suatu ayat. karena yang harus ditarik lebih dahulu untuk
memahami ayat adalah bukan maksud si penafsir dalam menafsirkan ayat, tetapi
adalah maksud Tuhan saat menurunkan ayat tersebut kepada Nabi Muhammad
SAW. maka jika telah tersusun logika seperti itu, akan terlihatlah sebuah batasan
kebenran suatu penafsiran, karena inti dari maksud tuhan telah terakomodir dan tak
terlupakan oleh gagasan-gagasan si penafsir dalam tafsirnya. Dalam artian akan
terlihat mana yang harus di ungkap dan mana yang harus di batasi dalam
menafsirkan ayat. agar tidak terjadi pemerkosaan ayat.
C. Relevansi Sunnah
Permaslah yang paling utama tentang Sunnah adalah dimulai dari perbedaan
pendapat tentang definisi sunnah itu sendiri. sebagian ulama berpendapat bahwa
sunnah adalah hadits, sunnah lebih umum dari hadits kemudian yang terakhir
berpendapat bahwa sunnah lebih kecil ruang lingkupnya dari pada hadits.
singkat saja, jika dilihat secara historis kemunculan Islam, Islam tidak pernah
terbatasi kapan ia muncul. karena secara hakiki, sejak zaman Nabi Adam hingga
Nabi Muhammad, Islam itu sudah ada. kemudian kemunculan nabi-nabi tersebut
pada hakikatnya membawa risalah Islam. lalu pertanyaanya adalah sejak kapan kata
sunnah itu muncul, apakah zaman adam dan perlakukan yang dilakukan nabi
setelahnya tidak bisa dijadikan sebagai sunnah? ataukah hanya sejak zaman Nabi
Muhammad dan hanya perlakuan yang dilakukan Muhammad yang bisa disebut
sunnah?
Secara Epistimologi, diakui atau tidak, Nabi-Nabi/Rosul-Rosul yang
muktabar di sebutkan oleh para ulama –dua puluh lima nabi- adalah pembawa
risalah Islam. maka dari itu, kemunculan sunnah adalah sejak mereka di turunkan
kebumi. dan selanjutnya definisi sunnah pun tidak terbatas hanya zaman
Muhammad saja, akan tetapi seluruh peristiwa, perlakuan, dan apapun itu yang ada
selama zaman nabi dan rosul yang di utus Tuhan sampai sekarang, maka itulah
sunnah. dan dapat dispesifikan bahwa "sunnah itu adalah suatu peristiwa yang
berjalan (Fazrurrahman) -dari awal kemunculan nabi-nabi di muka bumi hinga saat
ini (penulis)i-". tegasnya sunnah itu adalah nilai-nilai yang muncul di muka bumi,
yang bersifat kebaikan, maka itulah sunnah dan sunnah itu tidak bersifat berubah.
meskipun peristiwa-peristiwa yang muncul dari zaman nabi hingga sekarang
berubah, akan tetapi nilai-nilai yang muncul atas peristiwa tersebut tidak akan
berubah kecuali antara baik dan buruk. jelek dan indah. bagus dan tidak bagus, yang
jika penulis simpulkan menjadi tiga kategori yaitu "Etis dan Edukatif" dalam artian
nilai-nilai yang mengandung kemanusiaan. (AL FARMAWI. 2000)
6. Selesailah permasalah defiisi tentang sunnah bila pola fikir yang di jadikan
nalar awal secara Kaffah di pertimbangkan. permasalah yang kedua adalah apakah
hadits itu bagian dari sunnah atau sebaliknya?
Jika dilihat dari definisi di atas, maka hadits adalah bagian dari sunnah,
perlakuan Muhammad saat mengahadapi persoalan di zamannya adalah sebuah
contoh saja dari pengaplikasian maksud Tuhan untuk manusia demi terwujudnya
Islam. maka yang muncul adalah nilai. pertanyaan yang muncul adalah? apakah
hadits yang di jadikan sumber hukum kedua ataukah sunnah?
Jika dilihat dari sabda Muhammad dalam haji wada’ nya (haji terakhir)
beliau memberikan sabdanya adalah "aku tinggalkan bagi kalian dua hal, dan jika
kalian mengunakannya kalian tidak akan tersesat. kedua hal tersebut adalah Al-
Quran dan Sunnah"
jelaslah bahwa nabi Muhammad tidak mengatakan Al-Quran dan Hadits.
secara tidak langsung, Nabi Muhammad menyadari bahwa perkataan beliau (Hadits-
Hadits) adalah sebagai sebuah contoh saja dari pengaplikasian nilai-nilai keIslaman.
karen mau tidak mau, disadari atau tidak, prodak hukum yang dilontarkan nabi
Muhammad terbatasi oleh konteks permasalahan yang muncul, sehingga perkataan
beliau terbatasi oleh ruang lingkup sosial yang ada pada zamanya.
Maka dari itu, dapat di simpulkan bahwa, penerapan hukum di hari ini tidak
bisa hanya di hukumi oleh Hadits saja, akan tetapi harus di barengi dengan Al-
Quran dan di kembalikan pada nilai-nilai yang ada dalam Sunnah. sehingga pada
akhirnya akan terjadi kesinergisan antara hukum Islam dan realita sosial. dan tidak
akan terjadi pemerkosaan atau penyalahgunaan hukum Islam.