PPT PERUBAHAN LINGKUNGAN MATA PELAJARAN BIOLOGI KELAS X.pptx
USHUL FIQH : Kajian fiqh perempuan
1. USHUL FIQH, SEBUAH KAJIAN FIQH PEREMPUAN
DosenPengampu :
Dr. Hj. Umi Chaidaroh, SH, M.HI
OLEH :
Neneng Royhatul Jannah (2013011001)
Nikmatul Khusnah (2013011002)
PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAH KH.A.WAHAB HASBULLAH
Tambakberas Jombang
2015
2. 2 Ushul Fiqh II
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ada beberapa teori yang menjadi sebab mengapa perempuan
termarginalisasi atau tersubordinasi. Bersamaan dengan itu ada teori yang
menawarkan upaya untuk menempatkan kembali status perempuan dengan posisi
yang sesuai dalam islam dengan kedatangan Nabi Muhammad SAW. Di antara
teori tersebut ada pemisahan antara ayat Universal-normatif dan Praktis-temporal.
Pengelompokan teori tersebut karena pada saat itu Nabi Muhammad membawa
ajaran yang relevan dengan segala zaman dan segala perubahan konteks baik
waktu, tempat, situasi dan lain sebagainya. Pada intinya ajaran Nabi tidak terikat
dengan konteks tertentu.
Di sisi yang lain ajaran Nabi Muhammad harus bisa menuntaskan
problem-problem yang dihadapi oleh masyarakat Arab pada masa pewahyuan.
Berarti ajaran pada kelompok ini terikat dengan konteks masyarakat arab dari sisi
waktu, situasi, tempat, dan semacamnya.
Makalah ini akan berusaha memperlihatkan peran teori – teori ini dalam
upaya mengetahui status perempuan dalam Al-Quran.
B. Rumusan Masalah
1. Signifikansi pengelompokan Nash
2. Relevansi pembagian Nash dengan status perempuan
3. 3 Ushul Fiqh II
BAB II
PEMBAHASAN
A. Signifikansi Pengelompokan Nash
Al-Quran merupakan wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
SAW. Sebagai umat islam sangatlah penting untuk memahami Al-Quran dengan
benar dan lengkap, karena Al-Quran sebagai pedoman hidup. Dan untuk
memahaminya terlebih dahulu kita harus memahami posisi Nabi Muhammad
dengan Al-Quran yang dibawanya. Yang pertama Al-Quran telah
memberitahukan bahwa Nabi Muhammad adalah nabi terakhir (khatamu al
nabiyin). Kedua, kehadiran Nabi Muhammad adalah untuk seluruh manusia,
seluruh alam, dan seluruh jagat raya (hudan li an-nas). Konsekuensi dari status
Nabi Muhammad sebagai khatamu al nabiyin adalah bahwa ajaran Nabi
Muhammad diharapkan harus selalu relevan sepanjang jaman, sejak Nabi
Muhammad SAW. Diutus 13 abad yang lalu sampai nanti dunia kiamat.1
Adapun konsekuensi ajaran Nabi Muhammad sebagai petunjuk bagi
seluruh manusia adalah bahwa ajarannya harus selalu relevan dengan seluruh
kelompok masyarakat, harus sesuai dengan tuntutan, mampu menjawab semua
jenis persoalan yang dihadapi umat manusia, semua jenis suku, semua ras yang
hidup di seluruh jagat bumi ini, harus selalu relevan dengan tuntutan dan
kehidupan orang-orang Afrika, relevan dengan masalah-masalah yang dihadapi
orang Amerika, bisa menuntaskan masalah-masalah yang dihadapi orang Eropa,
bisa menuntaskan persoalan-persoalan yang muncul dikalangan orang Asia
Tenggara, harus sanggup menyelesaikan kasus-kasus yang dihadapi orang
Pakistan, India, Bangladesh dan seterusnya.2
Kehadiran Nabi Muhammad SAW tentu juga harus bisa menyelesaikan
permasalahan-permasalahan yang dihadapi masyarakat arab ketika Nabi
Muhammad masih hidup (di masa pewahyuan). Karena Nabi Muhammad
merupakan problem solver bagi masyarakat arab ketika itu. Kalau tidak, ajaran
1 Amin abdullah, mazhab jogja,(jogjakarta: ar-ruzz press,2002) hlm.249.
2 Ibid, mazhab jogja.hlm 249.
4. 4 Ushul Fiqh II
yang dibawa Nabi Muhammad hanya dianggap sebagai aturan yang tertulis yang
tidak mampu menyelesaikan masalah-masalah yang mereka hadapi saat itu.
Dengan demikian ajaran Nabi Muhammad harus up to date sepanjang masa di
seluruh jagat raya, serta harus praktis dan taktis untuk menjawab persoalan yang
dihadapi masyarakat arab.
Posisi dilematis ini menuntut ajaran yang dibawa Nabi menjadi dua jenis :
1. Nash normatif-universal
Nash ini berguna dan disediakan sebagai sarana untuk menuntaskan
persoalan-persoalan yang mungkin terjadi di masa depan, yaitu jauh setelah
Nabi Muhammad wafat, sebelum dunia kiamat. Nash ini juga berguna dan
dipersiapkan untuk menjawab tantangan-tantangan dan persoalan-persoalan
yang kelak dihadapi umat manusia di seluruh dunia selain bangsa Arab.
2. Nash praktis-temporal
Nash ini dimaksudkan untuk menjawab persoalan-persoalan dan kasus-
kasus masyarakat arab khususnya di masa pewahyuan.
Menurut Fazlur Rahman ayat-ayat Al-Quran dibagi menjadi dua kelompok
besar, yaitu :
1. Ayat-ayat yang mengandung prinsip-prinsip umum, yang jumlah ayatnya
terbatas. Yaitu ajaran-ajaran atau ayat-ayat yang berisi norma tanpa
dihubungkan dengan konteks tertentu.
2. Ayat-ayat yang mengandung ajaran khusus (kasuistik), yang jumlah
ayatnya jauh lebih banyak. Yaitu ajaran atau ayat-ayat khusus bersifat
respon terhadap masalah-masalah khusus yang muncul ketika itu.
Tahir Al-Haddad membagi ayat-ayat Al-Quran menjadi dua kelompok
besar, yaitu :
1. Ayat-ayat yang mengandung ajaran prinsip umum, yaitu norma yang
bersifat universal yang harus berlaku dari waktu ke waktu, dari satu
tempat ke tempat lain.
5. 5 Ushul Fiqh II
2. Perintah atau ajaran-ajaran yang aplikasinya tergantung pada konteks
sosial. Al-Haddad berargumen bahwa untuk dapat memahami lebih baik
Al-Quran dan tesis-tesis umum yang ada di dalamnya adalah penting
menempatkanya sesuai dengan kondisi sosial dimana akan
diaplikasikan.3
Menurut Asghar Ali Engineer pengelompokan ayat Al-Quran dibedakan
menjadi dua, yaitu :
1. Pernyataan-pernyataan umum sebagai ayat-ayat normatif
2. Ayat-ayat kasuistik sebagai ayat-ayat kontekstual
Sebagai tambahan, adanya usaha para ilmuan membedakan antara ayat-
ayat normatif dan ayat-ayat kontekstual bukan berarti keduanya tidak
berhubungan, namun untuk memudahkan memahami dengan indikasi masing-
masing.
Adapun diantar ciri-ciri nash normatif-universal adalah, bahwa nash ini
mempunyai ajaran universal, prinsip, fundamental dan tidak terikat dengan
konteks, baik konteks waktu, tempat, situasi, dan semacamnya. Sementara nash
praktis-temporal adalah detail, rinci, bersifat terapan, dapat dipraktekan dalam
kehidupan nyata.4
Menurut Masdar Farid Mas’udi prinsip nash normatif-universal sama
dengan nash qath’i dan prinsip praktis-temporal sama dengan nash zhanni.
Pemahaman terhadap kedua jenis nash ini ternyata mempunyai peran signifikan
dalam memahami posisi perempuan di dalam Al-Quran.
3 Ibid, mazhab jogja. Hlm. 252
4 Ibid.,mazhab jogja.,hlm. 254-255
6. 6 Ushul Fiqh II
B. Relevansi pembagian Nash dengan status perempuan
Nash-nash yang berbicara tentang hubungan antara laki-laki dengan
perempuan sering dijadikan dasar diskriminasi atau subordinasi terhadap
perempuan pada umumnya adalah nash praktis-temporal, diantara nash tersebut
adalah sebagai berikut :
Pertama ayat yang menegaskan pria sebagai pemimpin (qawwam)dalam
surat an-nisa ayat 34.
“kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah
melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita),
dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.
sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara
diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka).”
Kemudian nash ini diperkuat dengan teks hadis ini :
نَعيِبَأَةَركَبَالَقاَّمَلَغَلَبَولُس َرِ َّاَللىَّلَصُ َّاَللِهيَلَعَمَّلَس َوَّنَأَلهَأَس ِارَفدَقواُكَّلَمَلَعمِِيَتنِب
ى َرسِكَالَقنَلَحِلفُيموَقاوَّل َومُه َرمَأةَأ َرام(رواهالبخاريوالنسائوالترمذيواحمد)
“Ketika Rasulullah Saw. Mengetahui bahwa masyarakat Persia mengangkat
Putri Kisra sebagai penguasa mereka, beliau bersabda, “Tidak akan beruntung
satu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada perempuan.” (diriwayatkan
oleh Bukhari, An-Nasa’I dan Ahmad melalui Abu Bakrah) “
7. 7 Ushul Fiqh II
Kedua tentang pembagian warisan bahwa laki-laki mendapat jumlah
bagian dua kali lipat dari bagian perempuan sebagaimana disebutkan dalam QS.
An Nisa ayat 11 :
“...Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-
anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang
anak perempuan...”
Ketiga, di bidang persaksian, bahwa nilai kesaksian dua perempuan sama
dengan nilai kesaksian satu laki-laki, seperti diungkapkan dalam QS. Al Baqarah
ayat 282 :
“...dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di
antaramu). jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua
orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa
Maka yang seorang mengingatkannya...”
Posisi hadist yang menceritakan tentang tidak pantasnya perempuan
menjadi pemimpin, pada prinsipnya sama dengan hadist yang menyebutkan
bahwa kepemimpinan adalah hak bangsa Quraisy (al a’immatu min Quraisy.)
Hadist ini bukan mutlak menyebutkan suku Quraisy tetapi pada saat itu suku
Quraisy merupakan suku yang berkualitas.
8. 8 Ushul Fiqh II
Al-Qurtubi menyatakan ayat ini menunjukan bahwa kuantitas saksi dalam
masalah mu’amalah dan hudud alalah dua orang saksi, sementara dalam masalah
zina adalah empat orang saksi. Namun tidak ada penjelasan kenapa porsi satu
saksi laki-laki disamakan dengan nilai saksi dua orang perempuan. Menurutnya
perempuan boleh menjadi saksi hanya dalam masalah mu’amalah, bahkan
kesaksian perempuan harus disertai dengan laki-laki. akan tetapi kesaksian wanita
ini tidak diterima dalam hal hukum-hukum badani, seperti hudud, qishas, nikah,
thalak dan ruju’.5
Menurut Al-jassan, dia juga sependapat dengan Al-Qurtubi bahwa tidak
ada penjelasan kenapa nilai saksi perempuan sama dengan separoh nilai saksi laki-
laki. dari pendapat keduanya disimpulkan bahwa masalah nilai kesaksian
perempuan yang tidak sebanding dengan nilai kesaksian laki-laki dianggap satu
hal yang wajar di masa mereka.
Sayyid Qutub dalam kitabnya Fi zilal Al-Quran berpendapat bahwa nilai
saksi perempuan hanya setengah laki-laki karena memang secara psikologi wanita
tidak secekatan kaum laki-laki.6
Sedangkan menurut Al-Maraghi nilai kesaksian perempuan disamakan
dengan separoh nilai kesaksian laki-laki, karena menurut adat perempuan ketika
itu tidak terlibat secara langsung terhadap masalah-masalah mu’amalah. Sehingga
pengetahuan mereka di bidang mu’amalah sangat terbatas. Namun demikian
meskipun Al-Maraghi mengakui adanya perubahan peran yang dimainkan
perempuan dalam masalah-masalah mu’amalah, dimana dahulu perempuan tidak
terlibat, sementara sekarang perempuan terlibat, namun keterlibatan mereka tidak
mengurangi nilai kesaksian yang ditetapkan dalam ayat tersebut. Sebab ketetapan
hukum berdasarkan keumuman dan kebanyakan. Sementara fakta menunjukan
sedikit jumlah perempuan yang terlibat dalam urusan mu’amalah disetiap suku
dan bangsa. (Ahmad Mustafa Al-Maraghi:1974).7
5 Sayyid sabiq, fikih sunnah,(bandung:al ma’arif, 1996), hlm. 72
6 Amin abdullah, mazhab jogja,(jogjakarta: ar-ruzz press,2002) .,hlm. 258
7 Ibid.,mazhab jogja.,hlm.258-259
9. 9 Ushul Fiqh II
Menurut Mahmud Syaltut dengan mengutip Muhammad Abduh bahwa
masalah saksi ini harus dihubungkan dengan konteks, dimana pada masa itu
perempuan tidak banyak terlibat dalam urusan mu’amalah. Pantas jika kesaksian
perempuan tidak sebanding dengan laki-laki. Namun dalam masalah rumah
tangga perempuan lebih profesional dari pada laki-laki karena perempuan lebih
banyak terlibat dalam masalah rumah tangga ketika itu. Sehingga nilai kesaksian
yang disebut dalam ayat ini bukan karena ingatan perempuan yang lemah
dibandingkan laki-laki.
Menurut Fazlur Rahman nilai kesaksian perempuan hanya separoh dari
nilai kesaksian laki-laki, mengapa tidak boleh pembuktian dengan empat
perempuan untuk dipersamakan dengan kesaksian dua laki-laki. ayat ini harus
difahami secara kontekstual.
Dan kalau garis argumen tadi benar, mengapa hukum tidak dirubah sesuai
dengan perubahan sosial. Artinya bahwa perubahan yang terjadi tidak hanya
perempuan mendapat pendidikan sama dengan yang didapat laki-laki, tetapi
perempuan juga sekarang benar-benar terlibat dalam urusan bisnis. Dalam konsep
muslim tradisional diyakini, bahwa perempuan dengan pengetahuan tentang ilmu
kebidanan sebagai orang yang mempunyai kewenangan menjadi saksi dalam hal-
hal yang berhubungan dengan ilmu kebidanan.(Fazlur Rahman : 1982)8
Dari pemikiran diatas dapat disimpulkan bahwa masalah nilai kesaksian
perempuan yang tidak sebanding dengan nilai kesaksian laki-laki yang disebutkan
dalam nash diatas, berkaitan dengan masalah mu’amalah yang tergantung pada
konteks. Dan untuk memahami teks nash tersebut tidak dapat dipisahkan dari
konteks yang menjadi latar belakangnya. Konteks tidak terlibatnya perempuan
dalam masalah mu’amalah menjadikan mereka tidak mengetahui persoalan-
persoalan mu’amalah, sementara laki-laki cenderung terlibat didalam urusan
mu’amalah sehingga mereka mengetahui persis masalah-masalah mu’amalah.
Akibat keterbatasan pengetahuan perempuan tentang mu’amalah, sehingga nilai
kesaksianya dinilai separoh dari nilai kesaksian laki-laki. dengan demikian jelas
bahwa unsur yang ingin dibangun dalam nash tentang persaksian, bukan pada
8 Ibid.,mazhab jogja.,hml. 260
10. 10 Ushul Fiqh II
laki-laki atau perempuannya, tetapi terletak pada kedalaman pengetahuan terhadap
suatu persoalan.
11. 11 Ushul Fiqh II
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat disimpulakan betapa penting pembagian
nash di satu sisi sebagai nash normatif-universal dan nash praktis-temporal di sisi
lain, untuk memahami status perempuan di dalam Al-Quran. Nash yang menjadi
dasar subordiansi perempuan yang kami bahas termasuk nash praktis-temporal.
Oleh karena itu, untuk memahami dan mengaplikasikan ajaran dari nash tersebut
pada masa sekarang, diperlukan pemahaman yang kontekstual. Adapun unsur
yang menjadi tolok ukur kesaksian adalah pengetahuan tentang apa yang terjadi
terhadap kasus tertentu. Pengetahuan yang dimaksud dalam nash adalah
pengetahuan yang berkaitan dengan urusan mu’amalah. Ketika itu pengetahuan
masalah mu’amalah didominasi oleh kaum laki-laki. dengan perubahan zaman,
kondisi dan tuntutan, perempuan juga terlibat dalam masalah-masalah mu’amalah
di zaman modern seperti sekarang. Konsekuensinya pengetahuan mereka tentang
urusan mu’amalah menjadi sama dengan laki-laki. oleh karena itu unsur yang
ditekankan nash dalam persaksian bukan masalah laki-laki atau perempuanya,
tetapi pada tingkat pengetahuan tentang masalah yang diperselisihkan.
Pemahaman terhadap nilai kesakian itu terjadi perkembangan pemikiran dari
waktu ke waktu.
12. 12 Ushul Fiqh II
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, amin, mazhab jogja. jogjakarta : Ar-Ruzz Press, 2002.
Sabiq, sayyid, fikih sunnah 14. Bandung : Al-Ma’arif, 1996.