SlideShare a Scribd company logo
1 of 19
Madzhab-madzhab Tafsir
Oleh Dadang Syarif Al Huda
ABSTRAK
Fakta memperlihatkan begitu beragamnya tafsir al-Qur’an. malahan ada yang
sampai bertolak belakang. klaim kebenaran tidak bisa dilakukan, karena yang punya otoritas
itu hanyalah Alloh. Ketika Nabi SAW masih hidup perbedaan pemahaman bisa langsung
ditanyakan kepada Nabi dan dengan bantuan wahyu bisa langsung dapat keputusan.
Sepeninggalan Nabi semua Muffasir berusaha mendekati kebenaran dengan berbagai
madzhab, metode, corak penafsiran.
Pendahuluan
Menurut Abdul Mustaqim Madzahib at-Tafsir secara etimologis adalah bentuk susunan
kata dari Madzahib dan at-Tafsir. Madzahib merupakan bentuk jamak (plural) dari madzhab
yang artinya aliran pemikiran, pendapat, teori. Sedangkan at- Tafsir adalah hasil pemahaman
manusia (baca : mufassir) terhadap al-Qur’an dengan metode atau pendekatan tertentu yang
dipilih oleh mufassir. Secara teologis Normatif, al-Qur’an itu kebenarannya adalah mutlak,
sebab ia berasal dari Tuhan Dzat yang Mutlak. Namun demikian, setelah yang mutlak itu
masuk dalam “disket” pemikiran manusia, ia menjadi relatif kebenarannya. Sebab tidak
mungkin yang relatif itu –yaitu pemikiran manusia- akan mampu menangkap yang seratus
persen dari yang mutlak tersebut. Dengan demikian, di sana masih ada kebenaran-kebenaran
lain atau makna-makna lain yang mungkin belum tertangkap oleh manusia. Dari sini,
muncullah keragaman pemahaman. Adanya keragaman penafsiran tersebut oleh para ulama
(peneliti) berikutnya dikelompok-kelompokan menjadi aliran-aliran tertentu yang disebut
dengan madzahib at-Tafsir.
Madzhab tafsir merupakan tema besar yang berusaha mengkaji kritis mengenai berbagai
upaya, kelompok maupun individu, untuk menegakkan kitab suci al-Qur’an, bagaimana
setiap dari mereka memahami dan menginterpretasikan setiap makna kata sehingga satu kata
memiliki ragam penafsiran dan pemahaman dengan berbagai kepentingan dan tendensi yang
diusungnya. Dalam buku Madzahib
Tafsir, karya Abdul Mustaqim banyak membahas tentang mazhab-mazhab tafsir yang sudah
berkembang selama ini, ternyata para ulama berbeda-beda dalam memetakannya. Ada yang
membagi berdasarkan periodesasinya atau kronologis waktunya, sehingga menjadi mazhab
tafsir periode klasik, pertengahan, modern atau kontemporer. Ada pula yang berdasarkan
kecenderungannya, sehingga muncul mazhab teologi mufassiranya, sehingga muncul istilah
tafsir Sunni, Mu’tazili, Syi’i, dan lain sebagainya. Ada pula yang melihat dari sisi perspektif
atau pendekatan yang dipakainya, sehingga muncul istilah tafsir sufi, falsafi, fiqhi, ‘ilmi,
adabi ijtimai’ dan lain sebagainya. Bahkan ada pula yang melihat dari perkembangan
pemikiran manusia, sehingga mazhab tafsir itu dapat dipetakan menjadi mazhab tafsir yang
periode mitologis, ideologis, dan ilmiah.
Dalam makalah ini, penulis memaparkankan mazhab-madzhab tafsir berdasarkan sumber
(mashodir ) yaitu tafsir bi al-Riwayah (bi al Ma’tsur atau al-Naql), bi al-Dirayah (bi al-Aql
atau al –Ra’yi)
dan tafsir bi al-Isyarah. Dan beberapa pendapat yang memetakan madzhab tafsir dengan
berbagai sudut pandang.
Tafsir bi al-Riwayah
Manna al-Qattan mendefinisikan: Tafsir bil riwayah(bil ma’tsur) ialah tafsir yang
disandarkan kepada riwayat-riwayat yang shahih secara tertib yang sebagaimana telah
diceritakan dalam syarat-syarat mufassir, antara lain: menafsirkan Al-Quran dengan Al-
Quran, atau dengan sunnah karena sunnah merupakan penjelas bagi kitabullah, atau
dengan riwayat-riwayat yang diterima dari para sahabat. Sebab mereka lebih mengetahui
kitabullah, atau dengan riwayat-riwayat para tabi’in besar, sebab mereka telah
menerimanya dari para sahabat.
Sedangkan menurut Hasbi Ash Shiddieqy adalah “tafsir dengan ayat sendiri atau dengan
hadits, atau dengan pendapat para shahabat “
Pada waktu Nabi masih hidup, Nabi yang menafsirkan Al-Qur’an para shahabat apabila tidak
memahami Al-Qur’an langsung bertanya kepada Nabi, otoritas menafsirkan Al-Qur’an hanya
ada pada nabi, sebab tugas menjelaskan Al-Qur’an diserahkan kepada Nabi sebagaimana
firman Alloh surat al-Qiyamah(75:17-19), QS an-Nahl(16:44 dan 64)
) ‫ه‬ُ ) ‫ن‬َ‫ه‬‫رنآ‬ْ‫نآ‬ ‫ق‬ُ )‫و‬َ‫ه‬ ‫ه‬ُ ) ‫ع‬َ‫ه‬ ‫م‬ْ‫نآ‬ ‫ج‬َ‫ه‬ ‫ن ا‬َ‫ه‬‫ي‬ْ‫نآ‬‫ل‬َ‫ه‬‫ع‬َ‫ه‬ ‫ن‬َّ  ‫إ‬ِ١٧) ‫ه‬ُ ) ‫ن‬َ‫ه‬‫رنآ‬ْ‫نآ‬ ‫ق‬ُ ) ‫ع‬ْ‫نآ‬ ‫ب‬ِ‫ت‬َّ ‫ف ا‬َ‫ه‬ ‫ه‬ُ )‫ن ا‬َ‫ه‬‫أ‬ْ‫نآ‬‫ر‬َ‫ه‬ ‫ق‬َ‫ه‬ ‫ذ ا‬َ‫ه‬‫إ‬ِ‫ف‬َ‫ه‬(١٨) ‫ه‬ُ ) ‫ن‬َ‫ه‬‫ي ا‬َ‫ه‬‫ب‬َ‫ه‬ ‫ن ا‬َ‫ه‬‫ي‬ْ‫نآ‬‫ل‬َ‫ه‬‫ع‬َ‫ه‬ ‫ن‬َّ  ‫إ‬ِ ‫م‬َّ ‫ث‬ُ )(١٩ )
Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai)
membacanya. apabila Kami telah selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian,
Sesungguhnya atas tanggungan kamilah penjelasannya.
) ‫ن‬َ‫ه‬ ‫رو‬ُ ) ‫ك‬َّ  ‫ف‬َ‫ه‬‫ت‬َ‫ه‬‫ي‬َ‫ه‬ ‫م‬ْ‫نآ‬ ‫ه‬ُ ) ‫ل‬َّ ‫ع‬َ‫ه‬ ‫ل‬َ‫ه‬‫و‬َ‫ه‬ ‫م‬ْ‫نآ‬ ‫ه‬ِ ‫ي‬ْ‫نآ‬‫ل‬َ‫ه‬‫إ‬ِ ‫ل‬َ‫ه‬ ‫ِز‬ّ‫ َل‬ ‫ن‬ُ ) ‫م ا‬َ‫ه‬ ‫س‬ِ ‫ن ا‬َّ ‫لل‬ِ ‫ن‬َ‫ه‬ ‫ي‬ّ‫ َل‬‫ب‬َ‫ه‬‫ت‬ُ )‫ل‬ِ ‫ر‬َ‫ه‬ ‫ك‬ْ‫نآ‬ ‫ِذ‬ّ‫ َل‬‫ ال‬ ‫ك‬َ‫ه‬ ‫ي‬ْ‫نآ‬‫ل‬َ‫ه‬‫إ‬ِ ‫ن ا‬َ‫ه‬‫ل‬ْ‫نآ‬‫ِز‬َ‫ه‬ ‫ن‬ْ‫نآ‬‫أ‬َ‫ه‬‫و‬َ‫ه‬ ‫ر‬ِ ‫ب‬ُ )‫ِز‬ُّ ‫ ال‬‫و‬َ‫ه‬ ‫ت‬ِ ‫ن ا‬َ‫ه‬‫ي‬ّ‫ َل‬‫ب‬َ‫ه‬‫ل‬ْ‫نآ‬‫ ا‬‫ب‬ِ٤٤ )
keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu
menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan,
) ‫ن‬َ‫ه‬ ‫ننو‬ُ )‫م‬ِ ‫ؤ‬ْ‫نآ‬ ‫ي‬ُ ) ‫م‬ٍ ‫ي‬‫نو‬ْ‫نآ‬ ‫ق‬َ‫ه‬‫ل‬ِ ‫ة‬ً ‫ل‬ ‫م‬َ‫ه‬ ‫ح‬ْ‫نآ‬ ‫ر‬َ‫ه‬ ‫و‬َ‫ه‬ ‫د ى‬ً ‫ل‬‫ه‬ُ ) ‫و‬َ‫ه‬ ‫ه‬ِ ‫في‬ِ ‫فنو ا‬ُ )‫ل‬َ‫ه‬‫ت‬َ‫ه‬‫خ‬ْ‫نآ‬ ‫ ا‬ ‫ِذ ي‬ِ‫ل‬َّ ‫ ا‬ ‫م‬ُ )‫ه‬ُ ) ‫ل‬َ‫ه‬ ‫ن‬َ‫ه‬ ‫ي‬ّ‫ َل‬‫ب‬َ‫ه‬‫ت‬ُ )‫ل‬ِ ‫إال‬ِ ‫ب‬َ‫ه‬ ‫ت ا‬َ‫ه‬‫ك‬ِ ‫ل‬ْ‫نآ‬‫ ا‬ ‫ك‬َ‫ه‬ ‫ي‬ْ‫نآ‬‫ل‬َ‫ه‬‫ع‬َ‫ه‬ ‫ن ا‬َ‫ه‬‫ل‬ْ‫نآ‬‫ِز‬َ‫ه‬ ‫ن‬ْ‫نآ‬‫أ‬َ‫ه‬ ‫م ا‬َ‫ه‬ ‫و‬َ‫ه‬٦٤ )
dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al Quran) ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan
kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.
Ketiga ayat di atas menunjukan bahwa Nabi diperintahkan untuk menerangkan, menjelaskan
dan memberi tafsiran mengenai wahyu yang telah diturunkan atas persoalan-persoalan yang
diperselisihkan oleh umatnya dalam masalah-masalah keagamaan. Bentuk tafsirnya bisa
berbentuk sunnah qauliyah, sunnah fi’liyah, atau sunnah taririyyah. Salah satu kelebihan
tafsir Nabi adalah penafsiran beliau selalu dibantu dengan wahyu, sehingga apabila ada
kekeliruan terhadap ijtihad Nabi yang terkait persoalan syariat wahyu lain akan turun
memberi koreksi. Inilah salah satu makna kema’shuman Nabi. Setelah nabi Meninggal
shahabat beliaulah yang banyak mendalami al-Qur’an yang menafsirkan al-Qur’an berdasar
tuntunan yang telah diberikan Nabi dan apabila tidak ada mereka berijtihad.
Mengenai Shahabat yang menafsirkan al-Qur’an para ulama berbeda pendapat Pertama
mereka berpendapat bahwa semua shahabat sama pemahamannya terhadap ayat al-Qur’an,
karena al-Qur’an diturunkan dalam bahasa arab, yang merupakan bahasa asli para shahabat
Kedua sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa orang Arab juga termasuk para shahabat,
tidak sama pengertian dan pemahamannya terhadap al-Qur’an, karena meskipun bahasa
mereka namun didalamnya terdapat lapadz-lapdz gharib dan musykil yang hanya dapat
diketahuai melalui pemahaman atau penjelasan dari Nabi.
Dari kedua pendapat di atas, tampaknya pendapat kedua yang agak realistis, sebab disamping
para shahabat memiliki tingkat kecerdasan yang tidak sama, ada faktor lain yang
menyebabkan tingkat pemahaman mereka berbeda-beda yaitu perbedaan penguasaan bahasa,
intensitas mendampingi Nabi, pengetahuan tentang adat istiadat orang jahiliyah dan
pengetahuan tentang Yahudi dan Nasrani di Jazirah Arab ketika ketika Al-Qur’an turun.
Aqwalu al Shahabah (perkataan para shahabat), oleh para ulama dihukumi sebagai hadits
marfu (disandarkan kepada Rasullaloh), bila berkenaan dengan asbabun nujul dan semua hal
yang tidak mungkin dimasuki akal (ra’yu). Sedangkan hal yang memungkinkan dimasuki
akal, maka statusnya adalah mauquf (disandarkan kepada Shahabat).
Sebagian ulama mewajibkan untuk mengambil tafsir yang mauquf pada shahabat, karena
merekalah yang dianggap paling ahli dalam bahasa Arab dan menyaksikan langsung konteks
dan situasi serta kondisi yang hanya diketahui oleh mereka, disamping pemahaman mereka
yang benar. Menurut Abdul mustaqim tafsir shahabat adalah baik pada jamannya, sehingga
jika sekarang kita melihat penfsiran yang tidak relevan lagi bahkan tidak ilmiah maka kita
tidak harus mengikutinnya. Misalnya tentang penafsiran al-barqu (kilat) yang ditafsirkan
dengan shawtul malak (suara malaikat).
Sebagian ulama mufassir seperti Ibn
Syaibah dan Ibn Aqil masih memperdebatkan riwayah tabi`in, karena tabi`in tidak
mengetahui secara langsung turunnya ayat. Berbeda dengan Ikrima dan Ad-Dahhak
bin
Al-Muzahim yang menerima langsung otoritas mereka. Dalam pertentangan ini, Quraish
Shihab memberikan pandangan bahwa penafsiran nabi dan sahabat dibagi menjadi dua yaitu
La Maja li al Aql fihi (Masalah yang diungkapkan bukan dalam wilayah nalar) seperti
masalah metafisika, dan Fi majal al-Aql (dalam wilayah nalar) seperti masalah
kemasyarakatan
Dibawah ini kami ketengahkan contoh-contoh tafsir bil riwayah (bil ma’tsur):
Tafsir Al-Quran bil Quran
) ‫ن‬َ‫ه‬ ‫ري‬ِ ‫س‬ِ ‫خ ا‬َ‫ه‬ ‫ل‬ْ‫نآ‬‫ ا‬ ‫ن‬َ‫ه‬ ‫م‬ِ ‫ن‬َّ  ‫ن‬َ‫ه‬‫كنو‬ُ ) ‫ن‬َ‫ه‬‫ل‬َ‫ه‬ ‫ن ا‬َ‫ه‬‫م‬ْ‫نآ‬ ‫ح‬َ‫ه‬ ‫ر‬ْ‫نآ‬ ‫ت‬َ‫ه‬‫و‬َ‫ه‬ ‫ن ا‬َ‫ه‬‫ل‬َ‫ه‬ ‫ر‬ْ‫نآ‬ ‫ف‬ِ‫غ‬ْ‫نآ‬ ‫ت‬َ‫ه‬ ‫م‬ْ‫نآ‬ ‫ل‬َ‫ه‬ ‫ن‬ْ‫نآ‬ ‫إ‬ِ‫و‬َ‫ه‬ ‫ن ا‬َ‫ه‬‫س‬َ‫ه‬ ‫ف‬ُ )‫ن‬ْ‫نآ‬‫أ‬َ‫ه‬ ‫ن ا‬َ‫ه‬‫م‬ْ‫نآ‬ ‫ل‬َ‫ه‬‫ظ‬َ‫ه‬ ‫ن ا‬َ‫ه‬‫ب‬َّ ‫ر‬َ‫ه‬ ‫ق اال‬َ‫ه‬٢٣ )
Artinya: … keduanya berkata, ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri. Dan
apabila Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya kami
termasuk orang-orang yang merugi. (Q.S. Al-A’raf: 23)
Ayat tersebut merupakan penjelasan bagi lafadz kalimat yang terdapat dalam surat al-baqarah
ayat 37:
) ‫م‬ُ )‫حي‬ِ ‫ر‬َّ  ‫ ال‬ ‫ب‬ُ ) ‫نو ا‬َّ  ‫ت‬َّ ‫ ال‬ ‫نو‬َ‫ه‬ ‫ه‬ُ ) ‫ه‬ُ ) ‫ن‬َّ ‫إ‬ِ ‫ه‬ِ ‫ي‬ْ‫نآ‬‫ل‬َ‫ه‬‫ع‬َ‫ه‬ ‫ب‬َ‫ه‬ ‫ت ا‬َ‫ه‬‫ف‬َ‫ه‬ ‫ت‬ٍ ‫ي‬ ‫م ا‬َ‫ه‬ ‫ل‬ِ‫ك‬َ‫ه‬ ‫ه‬ِ ‫ب‬ّ‫ َل‬‫ر‬َ‫ه‬ ‫ن‬ْ‫نآ‬ ‫م‬ِ ‫م‬ُ )‫د‬َ‫ه‬‫نآ‬ ‫قآ ى‬َّ ‫ل‬َ‫ه‬‫ت‬َ‫ه‬‫ف‬َ‫ه‬٣٧ )
Artinya: … kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah
menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah maha penerima taubat lagi maha penyayang.
Tafsir Al-Quran bil Hadits
Artinya: Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan keimanan mereka
dengan kedzaliman (syirik) mereka itu orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka
itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk. (Q.S. Al-An’am : 82)
Rasulullah menafsirkan kata Dzalim dalam ayat ini dengan syirik. Penafsiran ini selaras
dengan penegasan Allah dalam surat al-Lukman ayat 13:
Artinya: … sesungguhnya menyekutukan Allah benar-benar kedzaliman yang besar.
Tafsir Al-Quran dengan Perkataan Shahabat
‫م ا‬‫م‬‫م‬َ‫ه‬ ‫و‬َ‫ه‬ ‫لل‬َّ ِ ‫م ا‬‫م‬‫ب‬ِ ‫م‬ْ‫نآ‬ ‫م‬‫م‬‫ت‬ُ )‫ن‬ْ‫نآ‬‫م‬َ‫ه‬ ‫نآ‬ ‫م‬ْ‫نآ‬ ‫ت‬ُ )‫ن‬ْ‫نآ‬‫ك‬ُ ) ‫ن‬ْ‫نآ‬ ‫إ‬ِ ‫ل‬ِ ‫بي‬ِ‫س‬َّ  ‫ ال‬ ‫ن‬ِ ‫ب‬ْ‫نآ‬‫و ا‬َ‫ه‬ ‫ن‬ِ ‫كي‬ِ ‫س ا‬َ‫ه‬ ‫م‬َ‫ه‬ ‫ل‬ْ‫نآ‬‫ ا‬‫و‬َ‫ه‬ ‫مآ ى‬َ‫ه‬ ‫ت ا‬َ‫ه‬‫ي‬َ‫ه‬‫ل‬ْ‫نآ‬‫ ا‬‫و‬َ‫ه‬ ‫بآ ى‬َ‫ه‬‫ر‬ْ‫نآ‬ ‫ق‬ُ )‫ل‬ْ‫نآ‬‫ ا‬ ‫ِذ ي‬ِ‫ل‬ِ‫و‬َ‫ه‬ ‫ل‬ِ ‫سنو‬ُ ) ‫ر‬َّ  ‫لل‬ِ‫و‬َ‫ه‬ ‫ه‬ُ ) ‫س‬َ‫ه‬ ‫م‬ُ ) ‫خ‬ُ ) ‫لل‬َّ ِِ ‫ن‬َّ  ‫أ‬َ‫ه‬‫ف‬َ‫ه‬ ‫ء‬ٍ ‫ي‬ ‫ي‬ْ‫نآ‬ ‫ش‬َ‫ه‬ ‫ن‬ْ‫نآ‬ ‫م‬ِ ‫م‬ْ‫نآ‬ ‫ت‬ُ )‫م‬ْ‫نآ‬ ‫ن‬ِ‫غ‬َ‫ه‬ ‫م ا‬َ‫ه‬ ‫ن‬َّ ‫أ‬َ‫ه‬ ‫منو ا‬ُ ) ‫ل‬َ‫ه‬‫ع‬ْ‫نآ‬ ‫و ا‬َ‫ه‬
) ‫ر‬ٌ  ‫دي‬ِ‫ق‬َ‫ه‬ ‫ء‬ٍ ‫ي‬ ‫ي‬ْ‫نآ‬ ‫ش‬َ‫ه‬ ‫ل‬ّ‫ َل‬ ‫ك‬ُ ) ‫لآ ى‬َ‫ه‬‫ع‬َ‫ه‬ ‫لل‬َّ ُ ) ‫و ا‬َ‫ه‬ ‫ن‬ِ ‫ع ا‬َ‫ه‬ ‫م‬ْ‫نآ‬ ‫ج‬َ‫ه‬ ‫ل‬ْ‫نآ‬‫ ا‬ ‫قآ ى‬َ‫ه‬‫ت‬َ‫ه‬‫ل‬ْ‫نآ‬‫ ا‬ ‫م‬َ‫ه‬‫نو‬ْ‫نآ‬ ‫ي‬َ‫ه‬ ‫ن‬ِ ‫ق ا‬َ‫ه‬‫ر‬ْ‫نآ‬ ‫ف‬ُ )‫ل‬ْ‫نآ‬‫ ا‬ ‫م‬َ‫ه‬‫نو‬ْ‫نآ‬ ‫ي‬َ‫ه‬ ‫ن ا‬َ‫ه‬‫د‬ِ‫ب‬ْ‫نآ‬‫ع‬َ‫ه‬ ‫لآ ى‬َ‫ه‬‫ع‬َ‫ه‬ ‫ن ا‬َ‫ه‬‫ل‬ْ‫نآ‬‫ِز‬َ‫ه‬ ‫ن‬ْ‫نآ‬‫أ‬َ‫ه‬٤١ )
ketahuilah, Sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, Maka Sesungguhnya
seperlima untuk Allah, rasul, Kerabat rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil, jika kamu
beriman kepada Allah dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari
Furqaan, Yaitu di hari bertemunya dua pasukan. dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Maksudnya: seperlima dari ghanimah itu dibagikan kepada: a. Allah dan RasulNya. b.
Kerabat Rasul (Banu Hasyim dan Muthalib). c. anak yatim. d. fakir miskin. e. Ibnussabil.
sedang empat-perlima dari ghanimah itu dibagikan kepada yang ikut bertempur. Ibnu Abbas
menafsirkan ketika Rasulalloh hidup, seperlima ghanimah dibagikan kepada yang berhak
menerimanya, seperti yang tercantum diatas. Setelah nabi wafat, gugurlah hak Nabi dan
kerabatnya. Hal ini disandarkan pada tradisi Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali di masa
kekhalifahan mereka yang hanya membagi pada tiga bagian yaitu, anak yatim, orang miskin
dan ibnu sabil.
Namun, tafsir
bil
riwayah juga banyak mendapat kritik keras sebab banyak riwayat-riwayat hadits shahih
bercampur dengan riwayat hadits yang tidak shahih atau bercampur dengan Israiliyat.
Misalnya seperti kata Goldziher, Ibnu Abbas telah mengutip secara bebas dan tanpa batas
dari Ahlu Kitab tuduhan serupa dilontarkan Ahmad Amin. Namun hal ini disanggah oleh
Muhammad Husain adz-Dzahabi, bahwa Ibnu Abbas tidak bertanya kepada Ahli Kitab yang
berhubungan dengan masalah akidah, pokok-pokok agama atau cabangnya, tetapi hanya
menerima keterangan yang tidak diragukan lagi kebenarannya mengenai kisah dan cerita-
cerita orang dahulu.
Tafsir bi al
Riwayah memiliki keistimewaan antara lain (a)Menekankan pentingnya bahasa dalam
memahami al-Qur’an. (b) Memaparkan ketelitian redaksi ayat ketika menyampaikan pesan-
pesannya (c) mengikat mufassir dalam bingkai teks ayat-ayat sehingga membatasi terjerumus
dalam subyektivitas yang berlebihan. Sedangkan kelemahannya adalah (a) Terjerumusnya
muffasir ke dalam uraian kebahasaan yang bertele-tele sehingga mengaburkan pesan pokok
al-Qur’an (b) Terjadi pemalsuan dalam tafsir (c) Masuknya unsur Israilliyat yang
didefinisikan sebagai unsur-unsur yahudi dan nasrani ke dalam penafsiran Al-Qur`an,(d)
Penghilangan sanad.
Diantara kitab-kitab tafsir bil ma’tsur atau tafsir bil riwayah diantaranya:
1. Tafsir Jamiul Bayan karya Ibn Jarir ath Thabari
2. Tafsir Bustan karya Abu Laits Samarqandyi
3. Tafsir Ma’alimut Tanzil karya Al-Baghawy
4. Tafsir Al-Quran al Adzim karya al Hafidz Ibn Katsir. Dll
Tafsir bi al-Dirayah
Menurut M. Aly Ash-Shabuny: “Tafsir bi Ar-Ra’yi adalah Ijtihad yang didasarkan kepada
dasar-dasar yang shahih, kaidah yang murni dan tepat, biasa diikuti dan sewajarnya diambil
oleh orang yang hendak mendalami tafsir al-Qur’an atau mendalami pengertiannya, dan
bukan berarti menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan kata hati atau kehendak sendiri.”
Tafsir Bi Al-Ra’yi yaitu menafsirkan Al-Qur’an dengan kekuatan penalaran dan unsur-unsur
keilmuan yang berkembang didunia Islam yang memang berkaitan dengan teks serta isyarat-
isyarat ilmiah yang datang dari Al-Qur’an sendiri atau dengan kata lain seorang mufassir
menafsirkan makna teks dengan menggunakan akal / penalaraan (Rasio). Yang dimaksud
dengan rasio adalah antonim (lawan) nash dan riwayat. Oleh karena itu, dinamakan dengan
tafsir bi al-Dirayah, (dengan rasio) sebagai antitesis tadsir-tafsir bir-riwayah (dengan
riwayat). Al-Bhaihaqi meriwayatkan dalam asy-Sya’ab dari Imam Malik, beliau berkata
bahwa jika ada seseorang yang tidak mengetahui ilmu bahasa arab, kemudian ia menafsirkan
kitab Allah maka datanglah ia kepadaku, niscaya akan aku hajar dia.
Setelah berakhir masa salaf sekitar abad ke-13 H dan peradaban Islam semakin maju dan
berkembang berbagai mazhab dan aliran dikalangan umat Islam. Masing-masing golongan
berusaha meyakinkan umat dalam rangka mengembangkan paham mereka. Untuk mencapai
maksud itu, mereka mencari ayat-ayat Al-Qur’an dan hadist-hadist Nabi saw, lalu mereka
tafsirkan sesuai dengan keyakinan mereka anut. Ketika inilah berkembang apa yang disebut
dengan tafsir bi al-ra’y (tafsir melalui pemikiran atau ijtihad). Kaum fuqaha menafsirkannya
dari sudut pandang hukum fiqh, seperti yang dilakukan oleh Al-Jashshash, al-Qurtubi, dan
lain-lain; kaum teolog menafsirkannya dari sudut pemahaman teologis seperti al-Kasysyaf,
karangan al-Zamakhsyari; dan kaum sufi juga menafsirkan Al-qur’an menurut pemahaman
dan pengalaman batin mereka seperti Tafsir al-Qur’an al-Azhim oleh al-Tustari, Futuhat
Makiyyat, oleh Ibn ‘Arabi dan lain-lain. Selain itu dalam bidang bahasa dan qiraat juga lahir
tafsir, seperti Tasir Abi al-Su’ud oleh Abu al-Su’ud, al-Bahr al-Muhith oleh Abu
Hayyan ; dan lain-lain. Dari sinilah mengapa tafsir begitu banyak, karena begitu banyak
sudut pandang menafsirkan Al-Qur’an dengan ra’yu dikalangan ulama-ulama muta’akhirin
sehingga tak heran jika sekarang abda modern lahir lagi tafsir menurut tinjauan sosiologis
dan sastra Arab seperti Tafsir Al-manar dan dalam bidang sains muncul pula karya Jawahir
Thanthawi dengan Tafsir al-Jawahir. Begitu pesat perkembangan tafsir bi al-ra’yu, maka
benar sekali apa yang dikatakan oleh Manna’ al-Qaththan bahwa tafsir bi al-ra’yu telah
mengalahkan perkembangan tafsir al-ma’tsur.
Menafsirkan Al-Qur’an dengan menggunakan akal dan ijtihad tanpa menggunakan sumber
dari Rasulullah SAW dengan menjaga dari dhaif (kelemahan), mengambil atau merujuk dari
perkataan sahabat, dan tidak melenceng atau keluar dari kaidah-kaidah syariah. Sebagaimana
Firman Allah :
‫م‬ٌ
…‫لللللللللللللللللللللللللللللل‬ْ‫ٌم‬‫ع‬ِ‫ل‬ ‫ه‬ِ‫ل‬ ‫بللللللللللللللللللللللللللللل‬ِ‫ل‬ ‫ك‬َ ‫ب‬ ‫لللللللللللللللللللللللللللللل‬َ ‫ب‬ ‫س‬َ ‫ب‬ ‫ي‬ْ‫ٌم‬‫ل‬َ ‫ب‬‫لا‬‫مللللللللللللللللللللللللللللل‬َ ‫ب‬ ‫ف‬ُ ‫م‬ ‫قللللللللللللللللللللللللللللل‬ْ‫ٌم‬‫ت‬َ ‫ب‬‫ال‬َ ‫ب‬ ‫و‬َ ‫ب‬
…….‫الةية‬
Janganlah mengikuti apa yang kamu tidak ilmu padanya
(Al-Isra : 36)
Dan sabda Rasulullah saw.
‫ه‬ِ‫ل‬ ‫لللللللللل‬‫ل‬‫ةي‬ِ‫أل‬ْ‫ٌم‬‫ر‬َ ‫ب‬ ‫ب‬ِ‫ل‬ ‫ن‬ِ‫ل‬ ‫را‬ْ‫ٌم‬ ‫لللللللللل‬‫ل‬‫ق‬ُ ‫م‬‫ال‬ْ‫ٌم‬ ‫لللللللللل ي‬‫ل‬‫ف‬ِ‫ل‬ ‫ل‬َ ‫ب‬ ‫لللللللللللا‬‫ل‬‫ق‬َ ‫ب‬ ‫ن‬ْ‫ٌم‬ ‫لللللللللل‬‫ل‬‫م‬َ ‫ب‬ } : ‫م‬َ ‫ب‬‫ل‬َّ‫م‬‫ل‬‫للللللللل‬‫ل‬‫س‬َ ‫ب‬ ‫و‬َ ‫ب‬ ‫ه‬ِ‫ل‬ ‫لللللللللل‬‫ل‬‫ي‬ْ‫ٌم‬‫ل‬َ ‫ب‬‫ع‬َ ‫ب‬ ‫لللللللللل‬‫ل‬‫هلل‬ُ ‫م‬ ‫ا‬ ‫لا ى‬َّ‫م‬‫ل‬‫للللللللل‬‫ل‬‫ص‬َ ‫ب‬ ‫ل‬َ ‫ب‬ ‫لللللللللللا‬‫ل‬‫ق‬َ ‫ب‬‫و‬َ ‫ب‬
‫حسن‬ ‫هذا‬ : ‫الترمذي‬ ‫وقلال‬ ، ‫والنسلائ‬ ‫الترمذي‬ ،‫داود‬ ‫أبو‬ ‫رأ{أخرجه‬ِ‫ل‬ ‫نلا‬َّ‫م‬‫ال‬ ‫ن‬َ ‫ب‬ ‫م‬ِ‫ل‬ ‫ه‬ُ ‫م‬‫د‬َ ‫ب‬‫ع‬َ ‫ب‬ ‫ق‬ْ‫ٌم‬‫م‬َ ‫ب‬ ‫ؤ‬ْ‫ٌم‬ ‫ب‬َ ‫ب‬‫ت‬َ ‫ب‬‫ي‬َ ‫ب‬‫ل‬ْ‫ٌم‬‫ف‬َ ‫ب‬ ‫م‬ْ‫ٌم‬ ‫ل‬َ ‫ب‬‫ع‬ْ‫ٌم‬ ‫ةي‬َ ‫ب‬ ‫ال‬َ ‫ب‬ ‫ملا‬َ ‫ب‬ ‫ب‬ِ‫ل‬ ‫و‬ْ‫ٌم‬ ‫أ‬َ ‫ب‬
“Barang siapa yang menafsirkan al-qur’an dengan akalnya atau dengan apa yang ia tidak
tahu maka akan tempatnya dineraka”.
Dan para ulama salaf tidak membenarkan hal ini yaitu menafsirkan, yang mereka tidak
mempunyai standarisasi keilmuan para mufassirin dalam hal menafsirkan Al-Qur’an.
Meskipun tafsir bi-al-ra’yu berkembang dengan pesat, namun dalam menerimanya para
ulama terbagi menjadi dua : ada yang membolehkan dan ada pula yang mengharamkannya.
Tapi setelah diteliti, ternyata kedua pendapat ini hanyalah bertentangan dari segi lafzhi saja
(Redaksional). Maksudnya kedua pihak sama-sama mencela penafsiran yang berdasarkan
ra’yu (pemikiran) semata (hawa nafsu) tanpa memandang / mengindahkan kaidah-kaidah dan
kriteria-kriteria yang berlaku. Penafsiran inilah yang di haramkan oleh Ibnu Taimiyyah.
Sebaliknya, keduanya sepakat membolehkan penafsiran Al-Qur’an dengan ijtihad
berdasarkan Al-Qur’an dan sunnah Rasul serta kaidah-kaidah yang mu’tabarat.
Adapun hadist-hadist yang menyatakan bahwa para ulama salaf lebih suka diam daripada
menafsirkan Al-Qur’an, sebagaimana ditulis Ibn Taymiyah : “Mereka senantiasa
membicarakan apa-apa yang mereka ketahui dan mereka diam pada hal-hal yang tidak
mereka ketahui. Inilah kewajiban setiap orang (lanjutnya), ia harus diam kalau tidak tahu,
dan sebaliknya harus menjawab jika ditanya tentang sesuatu yang diketahuinya Pendapat
Ibn Taimiyat ini ada benarnya karena didukung oleh Al-Qur’an antara lain terdapat di dalam
surat Ali ‘Imran
: ‫عمران‬ ‫ءال‬ ‫سلللللورة‬ } ‫ه‬ُ ‫م‬ ‫ن‬َ ‫ب‬‫مو‬ُ ‫م‬ ‫ت‬ُ ‫م‬‫ك‬ْ‫ٌم‬ ‫ت‬َ ‫ب‬‫ال‬َ ‫ب‬ ‫و‬َ ‫ب‬ ‫س‬ِ‫ل‬ ‫نلا‬َّ‫م‬‫لل‬ِ‫ل‬ ‫ه‬ُ ‫م‬ ‫ن‬َّ‫م‬‫ن‬ُ ‫م‬‫ي‬ِّ‫ن‬‫ب‬َ ‫ب‬‫ت‬ُ ‫م‬‫ل‬َ ‫ب‬187 }
(Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada menusia dan tidak menyembunyikannya)
Dan dipertegas lagi oleh hadist yang shahih dari Ibn ‘umar :
‫ر‬ِ‫ل‬ ‫نلا‬َّ‫م‬‫ال‬ ‫ن‬َ ‫ب‬ ‫م‬ِ‫ل‬ ‫م‬ِ‫ل‬‫جلا‬َ ‫ب‬ ‫ل‬ِ‫ل‬‫ب‬ِ‫ل‬ ‫ة‬ِ‫ل‬ ‫م‬َ ‫ب‬ ‫يلا‬َ ‫ب‬‫ق‬ِ‫ل‬‫ال‬ْ‫ٌم‬ ‫م‬َ ‫ب‬‫و‬ْ‫ٌم‬ ‫ةي‬َ ‫ب‬ ‫م‬َ ‫ب‬‫ج‬ِ‫ل‬ ‫ل‬ْ‫ٌم‬‫أ‬ُ ‫م‬ ‫ه‬ُ ‫م‬ ‫م‬َ ‫ب‬ ‫ت‬َ ‫ب‬‫ك‬َ ‫ب‬ ‫ف‬َ ‫ب‬ ‫م‬ٍ ‫ف‬‫ل‬ْ‫ٌم‬‫ع‬ِ‫ل‬ ‫ن‬ْ‫ٌم‬ ‫ع‬َ ‫ب‬ ‫ل‬َ ‫ب‬ ‫ئ‬ِ‫ل‬‫س‬ُ ‫م‬ ‫ن‬ْ‫ٌم‬ ‫م‬َ ‫ب‬ .
Barang siapa ditanya tentang sesuatu yang diketahuinya, lalu ia diam, maka ia akan
dikekang pada hari kiamat dengan kekang api neraka.
Jadi diamnya ulama salaf dari penafsiran suatu ayat bukan karena tidak mau menafsirkan dan
bukan pula karena dilarang menafsirkan, melainkan karena kesangat hati-hatian mereka
supaya tidak masuk ke dalam apa yang disebut dengan takhmin (perkiraan, spekulasi) dalam
menafsirkan Al-Qur’an apabila ini terjadi, ancamannya amat berat : masuk neraka,
sebagaimana yang dimaksud oleh hadist riwayat al-Tirmidzi.
Tafsir Bi Al Ra’yi terbagi menjadi 2 macam :

Tafsir Bi Al Ra’yi Al – Jaiz ( Mahmud)

Tafsir Bi Al Ra’yi Al – Jaiz (Mazmum)
Sebagaimana yang kita bahwa Tafsir Bi Al Ra’yi menafsirkan Al-Qur’an dengan penalaran
dan unsur – unsur keilmuan didunia islam atau dengan kata lain seorang mufassir harus
memenuhi kriteria keilmuan, seperti : ( Bahasa Arab, Nahwu, shorof, Balaghoh, usul fiqh,
tauhid, asbabun nuzul, sejarah, naasikh mansukh, hadist-hadist penjelas ayat-ayat Al-Qur’an,
fakih dan terakhir ilmu pemberian dari Allah SWT).
Mereka juga mensyaratkan kebersihan hati dari penyakit kibr, hawa nafsu, bid’ah, cinta dunia
dan senang melakukan dosa. Ini semua adalah yang menghalangi hatinya untuk mencapai
pengetahuan yang benar yang diturunkan oleh Allah SWT. Hal ini seperti firman Allah
SWT :
“Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa
alas an yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku….”(al-A’raf : 146)
Tafsir Bi Al Ra’yi Al – Jaiz ( Mahmud) yaitu apabila penafsirannya itu sesuai kaidah yang ada
jauh dari segala kebodohan dan kesesatan maka tafsir ini mahmud jika tidak maka tercela
(mazmum). Tafsir Bi Al Ra’yi wajib memperhatikan dan berpegang apa yang dibawa nabi
Muhammad SAW dan para sahabatnya supaya dapat menerangi pemikiran mufassir dengan
akalnya, harus bagi seorang mufassir mengetahui kaidah-kaidah lughoh dan mengetahui
uslub-uslubnya (manhaj).
Ada yang mungkin bertanya, apakah boleh menafsirkan Al-Qur’an dengan rasio. Padahal,
ada hadist dari Nabi saw yang melarang perbuatan itu ? juga ada riwayat yang menyebutkan
bahwa sebagian sahabat dan para pembesar ulama tabi’in amat takut untuk sembarangan
menafsirkan Al-Qur’an, padahal mereka adalah orang-orang yang demikian tinggi keilmuan
dan ketaqwaannya ? lantas mengapa sekarang kita ingin masuk dalam masalah yang dahulu
mereka takut untuk memasukinya, atau hati-hati terhadapnya?
Imam Abu Ja’Farath-Thabari telah menjelaskan hal itu dalam pembukaan tafsirnya
Jami’Bayan Al-Qur’an dan Iman Abu Muhammad Ibnu Qutaibah dalam kitab Takwil
Musykilul-Qur’an. Dan Imam al-Baihaqi dalam kitab al-Madkhal. Demikian juga Imam al-
Ghazali dalam Ihya Ulumuddin dan adab Tilawatil-Qur’an.
Dalil orang-orang yang mencegah dan melarang tafsir bir-ra’yi adalah hadist Ibnu Abbas
secara marfu’
{‫هأ‬ِ‫ل‬ ‫ةيللللللللللللللللللللللللللللل‬ِ‫أل‬ْ‫ٌم‬‫ر‬َ ‫ب‬ ‫ب‬ِ‫ل‬ ‫ن‬ِ‫ل‬ ‫را‬ْ‫ٌم‬ ‫قللللللللللللللللللللللللللللل‬ُ ‫م‬‫ال‬ْ‫ٌم‬ ‫فللللللللللللللللللللللللللللل ي‬ِ‫ل‬ ‫ل‬َ ‫ب‬ ‫قللللللللللللللللللللللللللللللا‬َ ‫ب‬ ‫ن‬ْ‫ٌم‬ ‫مللللللللللللللللللللللللللللل‬َ ‫ب‬
‫الترمذي‬ ‫رأ{أخرجه‬ِ‫ل‬ ‫نلا‬َّ‫م‬‫ال‬ ‫ن‬َ ‫ب‬ ‫م‬ِ‫ل‬ ‫ه‬ُ ‫م‬‫د‬َ ‫ب‬‫ع‬َ ‫ب‬ ‫ق‬ْ‫ٌم‬‫م‬َ ‫ب‬ ‫ؤ‬ْ‫ٌم‬ ‫ب‬َ ‫ب‬‫ت‬َ ‫ب‬‫ي‬َ ‫ب‬‫ل‬َ ‫ب‬ْ‫ٌم‬‫ف‬ُ ‫مم‬َ ‫ب‬‫عل‬ْ‫ٌم‬ ‫ةي‬َ ‫ب‬ ‫ال‬َ ‫ب‬ ‫بملا‬َ ‫ب‬ِ‫ول‬ْ‫ٌم‬ ‫أ‬َ ‫ب‬
“Barangsiapa yang mengatakan sesuatu tentang Al-Qur’an dengan pendapatnya sendiri,
maka siap-siaplah untuk menempati tempat di neraka”.
{‫أأ‬َ ‫ب‬‫ط‬َ ‫ب‬ ‫خ‬ْ‫ٌم‬ ‫أ‬َ ‫ب‬ ‫د‬ْ‫ٌم‬ ‫ق‬َ ‫ب‬‫ف‬َ ‫ب‬ ‫ب‬َ ‫ب‬ ‫صلا‬َ ‫ب‬ ‫أ‬َ ‫ب‬‫ف‬َ ‫ب‬ ‫ه‬ِ‫ل‬ ‫ةي‬ِ‫أل‬ْ‫ٌم‬‫ر‬َ ‫ب‬ ‫ب‬ِ‫ل‬ ‫ن‬ِ‫ل‬ ‫را‬ْ‫ٌم‬ ‫ق‬ُ ‫م‬‫ال‬ْ‫ٌم‬ ‫ف ي‬ِ‫ل‬ ‫ل‬َ ‫ب‬ ‫قلا‬َ ‫ب‬ ‫ن‬ْ‫ٌم‬ ‫م‬َ ‫ب‬ }
“Barangsiapa yang mengatakan sesuatu tentang Al-Qur’an dengan pendapatnya sendiri,
kemudian ia tepat telah membuat kesalahan.
Dan yang memperkuat hal itu adalah keengganan dan penolakan sahabat dan tabi’in terhadap
tafsir Al-Qur’an. Diriwayatkan dari Abu Bakar ia berkata, “bagian bumi mana yang akan
menahanku, dan langit yang mana yang akan menaunginya, jika aku mengatakan tentang
Kitab Allah apa yang aku tidak ketahui?. Ibnu Abi Malikah berkata bahwa Ibnu Abbas pernah
ditanya tentang satu ayat, yang jika ditanyakan kepada salah seorang kalian pasti akan
menjawabnya. Namun, Ibnu Abbas menolak untuk menjawabnya. Demikian juga dengan
para fuqaha tabi’in, mereka takut tehadap tafsir bir-ra’yi, fuqaha Kufah, dan lainnya. Imam
Abu Ja’far ath-Thabari meriwayatkan dalam mukadimah kitab tafsirnya dengan sanadnya
dari Abdullah bin Umar. Ia berkata, “Aku menemui fuqaha “madinah, dan mereka berkata
keras tentang tafsir (dengan rasio). Di antara mereka adalah Salim bin Abdullah, Qasim bin
Muhammad, Sa’id bin Musayyab dan Nafi.” Ia meriwayatkan dengan sanadnya juga dari
Yahya bin Sa’id, dari Sa’id bin Musayab bahwa ia jika ditanya tentang tafsir suatu ayat Al-
Qur’an, ia akan berkata, “Aku tidak ingin memberikan komentar terhadap Al-Qur’an
sedikitpun.” Diriwayatkan dari Yahya bin Sa’id dari Ibnu Musayab bahwa ia hanya berbicara
tentang hal-hal yang telah umum diketahui tentang Al-Qur’an. Dari Ibnu Sirin bahwa Abidah
as-Salmani bertanya tentang suatu ayat. Ibnu Sirin menjawab bahwa engkau harus mengikuti
jalan lurus, karena sesungguhnya sudah tidak ada lagi orang-orang yang mengetahui tentang
masalah-masalah yang padanya Al-Qur’an turun. Dari Walid bin Muslim, ia berkata, “Thalq
bin Habib datang kepada Jundub bin Abdullah, ia kemudian bertanya kepadanya tentang satu
ayat Al-Qur’an. “ia menjawab,”aku merasa tidak enak terhadapmu, jika aku seorang muslim
sedang engkau tidak duduk bersamaku. “Dari Yazid bin Abi Yazid, ia berkata, ia berkata,
“Kami bertanya kepada Sa’id bin Musayab tentang halal dan haram, dan ia adalah orang yang
paling tahu tentang hal itu. Namun, jika kami bertanya kepadanya tentang tafsir suatu ayat
Al-Qur’an, ia akan diam seakan tidak mendengar.” Amru bin Murrah berkata, ” seseorang
bertanya kepada Sa’id bin Musayab tentang satu ayat Al-Qur’an, lalu dijawabnya bahwa
jangan tanyakan kepadaku tentang Al-Qur’an, namun tanyakan orang yang dikenal tahu
segala sesuatu yaitu Ikrimah.” Dari Abdullah bin Abi safar. Asy-Syabi berkata,”Demi Allah,
setiap satu ayat aku telah tanyakan tafsirnya, namun semuanya adalah riwayat dari Allah
SWT.
Jawaban tentang hadist yang telah disebutkan tadi jika sahih sekalipun ia mempunyai
kemungkinan dua pengertian. Pertama, yang dimaksud dengan ar-ra’yu (rasio) itu adalah
hawa nafsu. Yaitu, menyeret Al-Qur’an untuk memperkuat hawa nafsunya dan pemikiran
yang ia anut. Dengan ini maka Al-Qur’an menjadi pengikut, bukan yang diikuti, di hukumi
bukan menjadi hakim, dan menjadi cabang bukan pokok. Artinya pemikiran, keyakinan dan
mazhab-mazhab itulah yang membuat orang yang menafsirkan Al-Qur’an atau berdalil
dengannya, mencekik ayat itu dan menyeretnya untuk mendukung pemikiran dan
keyakinannya. Kedua, makna hadist itu adalah mencela orang yang berani menafsirkan Al-
Qur’an sebelum memiliki perangkat yang seharusnya dan dibutuhkan dalam menafsirkan Al-
Qur’an, hadist-hadist yang sahih, dan riwayat dari sahabat tentang asbabun nuzul dan
sejenisnya, serta apa pernah dikatakan oleh para penafsir salaf dari hadzf, idhmar, taqdim,
ta’khir dan sejenisnya yang mengeluarkan pengertian lafaz dari zhahirnya. Sedangkan,orang
yang berpendapat tantang Al-Qur’an sekedar dengan rasio, maka ia adalah orang yang salah,
meskipun benar, karena ia melakukan sesuatu yang ia tidak ketahui sama sekali, dan
menjalankan sesuatu yang tidak diperintahkan kepadanya. Maka jika pun ia tepat dalam
memahami makna pada saat itu, namun pada saat yang ia tetap salah, karena ia melakukan
sesuatu tidak sebagaimana seharusnya.
Sedangkan riwayat yang disampaikan dari sebagian salaf, yang melarang melakukan
penafsiran, tampaknya mereka menahan diri karena kewaraan dan kehati-hatian diri mereka,
Dan itu tidak kontradiksi, karena mereka berbicara dalam batas yang mereka ketahui, dan
mereka diam terhadap apa yang mereka tidak ketahui. Ini adalah kewajiban setiap orang. Dan
sebagaimana wajib berdiam diri terhadap apa yang tidak diketahui, wajib juga untuk
mengatakan apa yang diketahui jika ditanya, dengan dalil firman Allah SWT,
‫ه‬ُ ‫م‬ ‫ن‬َ ‫ب‬‫مو‬ُ ‫م‬ ‫ت‬ُ ‫م‬‫ك‬ْ‫ٌم‬ ‫ت‬َ ‫ب‬‫ال‬َ ‫ب‬ ‫و‬َ ‫ب‬ ‫س‬ِ‫ل‬ ‫نلا‬َّ‫م‬‫لل‬ِ‫ل‬ ‫ه‬ُ ‫م‬ ‫ن‬َّ‫م‬‫ن‬ُ ‫م‬‫ي‬ِّ‫ن‬‫ب‬َ ‫ب‬‫ت‬ُ ‫م‬‫ل‬َ ‫ب‬
” Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia dan jangan kamu
menyembunyikannya. (Ali Imran : 187)
Inilah pemahaman yang benar terhadap hadist Nabi dan atsar yang diriwayatkan dari sahabat
dan tabi’in. berbeda dengan orang yang hanya membatasi tafsir semata pada naql dan
riwayat, inilah yang ditolak oleh para ulama besar. Az-Zarkasyi mengatakan dalam burhan
bahwa syekh Abu Hayyan pengarang kitab al-Bahrul Muhith dalam bidang tafsir
menceritakan tentang sebagian orang yang sezaman dengannya bahwa penuntut ilmu tafsir
dalam memahami makna-makna redaksional Al-Qur’an harus mengambil dari riwayat
Mujahid, Thawus, Ikrimah dan semacamnya dan pemahaman ayat-ayat bergantung pada hal
itu. Setelah itu ia menolak keras pendapat tadi, sambil berdalil dengan atsar
Ali r.a. bahwa Nabi Muhammad saw tidak memberikan sesuatu yang khusus kepadanya,
kecuali pemahaman yang diberikan Allah SWT kepada hamba-Nya tentang Kitab Allah.
Sebelum itu dinukilkan dari Imam Abi Hasan al-Mawardi dalam Nuktahnya bahwa sebagian
orang hati-hati memahami hadist,
” Siapa yang menafsirkan Al-Qur’an dengan rasionya………. “
Sesuai dengan zahirnya, dan menolak untuk menyimpulkan makna-makna al-Qur’an dengan
Ijtihadnya, meskipun dibantu dengan dalil-dalil penguat dan dalil-dalil itu tidak bertentangan
dengan nash yang sharih. Ia berkata bahwa ini merupakan tindakan menghindar dari
seharusnya, yaitu beribadah dengan mengkaji Al-Qur’an dan menyimpulkan hukum-hukum
darinya, seperti firman Allah SWT,
…. : ‫}النسلاء‬ .…‫م‬ْ‫ٌم‬ ‫ه‬ُ ‫م‬ ‫ن‬ْ‫ٌم‬‫م‬ِ‫ل‬ ‫ر‬ِ‫ل‬ ‫م‬ْ‫ٌم‬ ‫ل‬َ ‫ب‬ ‫ا‬ْ‫ٌم‬ ‫لا ى‬ِ‫ل‬‫و‬ْ‫ٌم‬ ‫أ‬ُ ‫م‬ ‫لا ى‬َ ‫ب‬‫إ‬ِ‫ل‬‫و‬َ ‫ب‬ ‫ل‬ِ‫ل‬ ‫سو‬ُ ‫م‬ ‫ر‬َّ‫م‬ ‫ال‬ ‫لا ى‬َ ‫ب‬‫إ‬ِ‫ل‬ ‫ه‬ُ ‫م‬‫دو‬ُّ‫و‬‫ر‬َ ‫ب‬ ‫و‬ْ‫ٌم‬ ‫ل‬َ ‫ب‬‫و‬َ ‫ب‬83 }
….tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya
dari mereka Rasul dan Ulil Amri (an-Nisa : 83)
Jika kita ambil sikap yang mereka ambil benar, niscaya tidak ada sesuatu yang diketahui dari
hasil penyimpulan dan pengkajian, serta akibatnya sebagian besar kitab Allah tidak dapat
dipahami sama sekali. Imam Zarkasyi berkata bahwa yang tepat adalah, ilmu tafsir,
diantaranya ada yang bergantung pada naql (riwayat), seperti sababun nuzul, naskh, mubham
dan tabyiinul mujmal, dan yang lainnya yang tidak bergantung pada hal itu, dan untuk
mengetahuinya cukup dengan bertafaquh (menyelidiki dan merenungkannya) dengan cara
yang benar. Ia kemudian berkata bahwa Al-Qur’an ada dua bagian : salah satunya
penafsirannya dengan naql (riwayat) dari orang yang diambil penafsirannya. Dan, bagian
lainnya tidak dengan naql itu.
Yang kesatu, ada tiga macam tafsir. Pertama bisa datang dari Nabi saw, kedua dari sahabat,
dan ketiga dari para tokoh tabi’in. pertama yang dikaji adalah kesahihan sanad. kedua yang
dikaji adalah tafsir para sahabat ; jika ia menafsirkannya dari segi bahasa, mereka adalah ahli
bahasa arab, sehingga kita ragu untuk menerimanya. Jika ia menafsirkan sesuai dengan apa
yang ia saksikan, dari asbabun nuzul dan qarain yang menyertainya, maka tidak diragukan.
Saat itu, jika pendapat sekelompok sahabat saling bertentangan, seandainya dapat
disimpulkan dan disatukan, maka hal itu dapat dilakukan. Namun jika tidak, maka tafsir Ibnu
Abbas didahulukan ; karena Nabi Muhammad saw, telah memberitakan tentang keunggulan
tafsir Ibnu Abbas, beliau berdoa,
” Ya Allah ajarkanlah dia takwil (ilmu tafsir).”
Sedangkan, ketiga-yaitu tafsir para tokoh tabi’in – jika mereka tidak me-marfu’nya
(menisbatkan langsung) kepada Rasulullah saw, juga tidak kepada salah seorang sahabat, jika
boleh taklid maka tafsir itu dapat diambil. Dan, jika tidak maka dalam hal itu wajib ijtihad.
Yang kedua, yang padanya tidak terdapat riwayat pendapat dari para mufasir generasi
pertama, dan bagian ini sedikit. Cara untuk sampai kepada pemahamannya adalah dengan
memperhatikan dan meneliti kata-kata lafalnya ditinjau dari sastra bahasa arab, dan
pengertiannya, serta penggunaannya berdasarkan konteksnya. Hal ini telah dilakukan dengan
cukup serius oleh ar-Raghib al-ashfahani dalam kitabnya al-mufradat, ia menyebutkan
tambahan batasan dari batasan ahli sastra arab dalam menafsirkan pengertian lafal, karena ia
mengartikannya dengan melihat konteksnya. Dapat dilihat disini, Imam Zarkasyi menyebut
sikap muqallid (orang yang bertaklid) terhadap para sahabat dan tabi’in, jika pendapat itu
saling bertentangan dan tidak mungkin disarikan menjadi satu, yaitu memilih pendapat mana
saja yang ia mau. Namun, ini bukan sikap yang terbaik. Sebaliknya, seorang yang
berpengetahuan yang telah menyempurnakan perangkat-perangkat tafsirnya, wajib untuk
berijtihad dalam mengunggulkan pendapat-pendapat itu, terutama yang dihasilkan dari rasio
dan kesimpulan pribadi bahkan ia dapat menambahkan pemahaman yang baru. Contoh tafsir
bil al-ra’yi : kata ‫لللللللللللللللللللللم‬‫ل‬‫عليه‬ ‫لللللللللللللللللللللت‬‫ل‬‫انعم‬
di dalam ayat ke-7 dari al-Fatihah ditafsirkan dengan ayat ke-69 dari an-nisa ‫والصديقين‬ ‫النبيين‬ ‫من‬
‫..والشهداء‬
Meskipun penafsiran ini ayat dengan ayat, tapi ia tetap masuk kategori tafsir bi al-ra’y karena
tafsiran tersebut tidak diwarisi dari Nabi saw atau sahabat beliau, melainkan berasal dari
ijtihad ulama tafsir.
Tafsir bi al-Isyari
Tafsir bil-isyarah atau tafsirul isyari adalah takwil Al Quran berbeda dengan lahirnya lafadz
atau ayat, karena isyarat-isyarat yang sangat rahasia yang hanya diketahui oleh sebagian ulul
‘ilmi yang telah diberi cahaya oleh Allah swt dengan ilham-Nya. Atau dengan kata lain,
dalam tafsirul isyari seorang Mufassir akan melihat makna lain selain makna zhahir yang
terkandung dalam Al Qur’an. Namun, makna lain itu tidak tampak oleh setiap orang, kecuali
orang-orang yang telah dibukakan hatinya oleh Allah swt.
Tafsir Isyari menurut Imam Ghazali adalah usaha mentakwilkan ayat-ayat Alquran bukan
dengan makna zahirnya malainkan dengan suara hati nurani, setelah sebelumnya menafsirkan
makna zahir dari ayat yang dimaksud.
Ibnu Abbas berkata: Sesungguhnya Al Qur’an itu mengandung banyak ancaman dan janji,
meliputi yang lahir dan bathin. Tidak pernah terkuras keajaibannya, dan tak terjangkau
puncaknya. Barangsiapa yang memasukinya dengan hati-hati akan selamat. Namun
barangsiapa yang memasukinya dengan ceroboh, akan jatuh dan tersesat. Ia memuat beberapa
khabar dan perumpamaan, tentang halal dan haram, nasikh dan mansukh, muhkam dan
mutasyabih, zhahir dan batin. Zhahirnya adalah bacaan, sedang bathinnya adalah takwil.
Tanyakan ia pada ulama, jangan bertanya kepada orang bodoh.
Menurut kaum sufi setiap ayat mempunyai makna yang zahir dan batin. Yang zahir adalah
yang segera mudah dipahami oleh akal pikiran sedangkan yang batin adalah isyarat-isyarat
yang tersembunyi dibalik itu yang hanya dapat diketahui oleh ahlinya. Isyarat-isyarat kudus
yang terdapat di balik ungkapan-ungkapan Al-Qur’an inilah yang akan tercurah ke dalam hati
dari limpahan pengetahuan gaib yang dibawa ayat-ayat. Itulah yang biasa disebut tafsir Isyari.
Ketika ilmu-ilmu agama dan science mengalami kemajuan pesat serta kebudayaan Islam
tersebar keseluruh pelosok dunia dan mengalami kebangkitan dalam segala segi, maka
berkembanglah ilmu tasawauf dan ilmu itu mengpunyai dua wujud: teoritis dan praktis
Dari kalangan tokoh-tokoh tasawuf lahir ulama yang mencurahkan waktunya untuk meneliti,
mengkaji, memahami dan mendalami Alquran dengan sudut pandang sesuai dengan teori-
teori tasawuf mereka. Mereka mentakwilkan ayat-ayat Alquran dengan tidak mengikuti cara-
cara untuk mentakwilkan ayat Alquran dan menjelaskannya dengan penjelasan yang
menyimpang dari pengertian tekstual yang telah dikenal dan didukung oleh dalil syar’i serta
terbukti kebenarannya dalam bahasa arab, yaitu dalam bab perihal isyarat.
Imam Al-Alusy dalam kitab tafsirnya mengemukakan sebagai berikut:
“Apa yang dikemukakan oleh tokoh-tokoh sufy tentang Alquran adalah termasuk ke dalam
bab isyarat terhadap pengertian-pengertian rumit yang berhasil diungkapkan oleh orang-
orang yang menguasai cara yang harus ditempuh untuk sampai kepada Allah dan pengertian-
pengertian itu dapat dipadukan dengan pengertian-pengertian tekstual yang dikehendaki. Hal
ini termasuk kesempurnaan iman dan pengetahuan yang sejati. Mereka berkeyakinan bahwa
pengertian tekstual sama sekali bukanlah yang dikehendaki (pengertian batin, bukan tekstual,
itulah yang dikehendaki). Oleh karena demikianlah keyakinan aliran Bathiniyyah yang
ekstrim, maka mereka sampai menafikan syari’at secara keseluruhan. Tokoh-tokoh sufy kita
tidaklah mungkin sampai bersikap demikian, oleh karena mereka menganjurkan agar tetap
dipelihara penafsiran dan pengertian tekstual. Mereka berkata: pada tahap pertama harus
dilakukan serta diketahui penafsiran dan pengertian tekstual, sebab tidak mungkin bisa
sampai kepada penafsiran dan pengertian batin (non tekstual) dari suatu ayat sebelum
penafsiran dan pengertian tekstualnya terlebih dahulu diketahui. Barang siapa mengaku dapat
memahami rahasia-rahasia Alquran sebelum mengetahui penafsiran dan pengertian
tekstualnya, maka ia seperti orang yang mengaku telah sampai ke bagian dalam ka’bah
sebelum ia melewati pintunya”
Oleh karena itu tidak sepantasnya bagi orang yang kemampuannya terbatas dan
keimanannya belum mendalam mengingkari bahwa Alquran mempunyai bagian-bagian batin
yang dilimpahkan oleh Allah Yang Maha Pencipta dan Maha Pelimpah kepada batin-batin
hamba-Nya yang dikendaki. Al-Alusy memberikan contoh tentang isyarat yang diberikan
oleh firman Allah (QS. 2:45), sebagai berikut:
) ‫ن‬َ  ‫عي‬ِ‫ني‬ ‫ش‬ِ‫ني‬ ‫خشا‬َ  ‫ل‬ْ‫خ‬‫ا‬ ‫ل ى‬َ ‫ع‬َ  ‫إال‬ِ‫ني‬ ‫ة‬ٌ ‫إ‬‫ر‬َ  ‫بي‬ِ‫ني‬‫ك‬َ  ‫ل‬َ  ‫هشا‬َ  ‫ن‬َّ‫ه‬‫إ‬ِ‫ني‬‫و‬َ  ‫ة‬ِ‫ني‬‫صةال‬َّ‫ه‬ ‫وال‬َ  ‫ر‬ِ‫ني‬ ‫ب‬ْ‫خ‬‫ص‬َّ‫ه‬ ‫بشال‬ِ‫ني‬ ‫ناوا‬ُ‫و‬‫عي‬ِ‫ني‬ ‫ت‬َ ‫س‬ْ‫خ‬ ‫وا‬َ ٤٥ )
“Jadikanlah sabar dan sholat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu
berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu‘”.
Bahwa sholat adalah sarana untuk memusatkan dan mengkonsentrasikan hati untuk
menangkap tajally (penampakan diri) Allah dan hal ini sangat berat, kecuali bagi orang-orang
yang luluh dan lunak hatinya untuk menerima cahaya-cahaya dari tajally-tajally Allah yang
amat halus dan menangkap kekuasaaa-Nya yang Perkasa. Merekalah orang-orang yang yakin,
bahwa mereka benar-benar berada di hadapan Allah dan hanya kepada-Nyalah mereka
kembali, dengan menghancurkan sifat-sifat kemanusiaan mereka (fana) dan meleburkannya
ke dalam sifat-sifat Allah (baqa), sehingga mereka tidak menemukan selain eksistensi Allah
sebagai Raja yang Maha Halus dan Maha Perkasa
Yang kedua tasawuf praktis adalah cara hidup yang berdasarkan atas hidup sederhana,
zuhud, lapar, tidak tidur pada malam hari, hidup menyendiri, menjaga diri dari segala
kenikmatan, memutuskan jiwa dari segala macam syahwat dan menghancurkan ddalam
ketaatan kepada Allah. Orang-orang sufy tersebut yang benar-benar menerapkan sikap-sikap
hidup sebagai seorang sufy untuk dirinya dalam kehidupan dunia dan selalu bersiap-siap diri
menghadapi kehidupan akhirat. DR. Muhammad Husain al-Dzahaby (al-marhum)
mengatakan “Kami tidak mendengar ada seorang mengarang kitab tertentu tentang tafsir sufy
teoritis yang menafsirkan ayat demi ayat dalam Alquran seperti dalam tafsir Isyary, yang
kami temukan adalah keterangan-keterangan terpencar-pencar yang termuat dalam penafsiran
yang disandarkan kepada Ibn ‘Araby dan kitab Al-futuhat al-Makkiyyah, karangan beliau,
sebagaimana sebagian lain dapat ditemukan dalam banyak kitab-kitab tafsir yang corak
penafsirannya berbeda-beda”
Hukum Tafsir bil-isyarah: Para ulama berselisih pendapat dalam menghukumi tafsir isyari,
sebagian mereka ada yang memperbolehkan (dengan syarat), dan sebagian lainnya
melarangnya. Dalam menghadapi tafsir isyari ini, para ulama berbeda pendapat. Ada yang
membenarkan dan bahkan menganggapnya sebagai kesempurnaan iman serta kema’rifatan
seseorang, tetapi ada juga yang tidak membenarkannya, bahkan menuduhnya sebagai
penyelewengan dari ajaran-ajaran Allah Swt yang sebenarnya.
Ulama yang membenarkan tafsir isyari berlandaskan Hadis riwayat Bukhari, dimana
Ibnu Abbas memahami ayat:
:‫)النصر‬ ‫والفتح‬ ‫ال‬ ‫نصر‬ ‫جـشاء‬ ‫اذا‬1 )
Artinya: “Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan“
Bahwa ayat tersebut menunjukkan isyarat dekatnya ajal Nabi Saw. Selanjutnya Ibn Abbas
sebagaimana ditulis oleh As-Suyuti menegaskan bahwa Alquran itu mengandung berbagai
bab ilmu, yang lahir maupun yang batin, keajaibannya tidak akan habis dan puncak tujuannya
tidak akan terjangkau. Barang siapa yang menyelami dengan penuh kelembutan niscaya akan
selamat, dan barang siapa yang menyelami dengan radikal niscaya adakan terjerumus, ia
mengandung berita dan perumpamaan, halal dan haram, nasikh dan mansukh, muhkan dan
mutasyabih yang lahir dan yang batin, secara lahir berupa bacaan dan secara batin berupa
ta’wil. Belajarlah dari ulama dan jauhkanlah dari orang-orang yang bodoh”
Badruddin Muhammad Ibn Adbullah Az-Zarkasyi adalah termasuk golongan orang
yang tidak mendukung tafsir isyari (menolak tafsir bil isyari), hingga beliau mengatakan:
“Adapaun perkataan golongan sufi dalam menafsirkan Alquran itu bukan tafsir, melainkan
hanya makna penemuan yang mereka peroleh ketika membaca”. Demikian juga An-Nasafi
mengatakan, sebagaimana dijelaskan Az-Zarqani dan As-Suyuti: “Nash-nash itu harus
berdasarkan zahirnya, memutarkan pada arti lain yang dilakukan oleh orang kebatinan adalah
merupakan bentuk penyelewengan”
Di samping tafsir isyari ada pula tafsir yang mirip dengannya, yaitu tafsir kebatinan,
namun tafsir ini termasuk tafsir yang bathil. Dan barang kali keengganan sebagian ulama
untuk menerima tafsirisyari ini karena khawatir terjerumus dalam tafsir kebatinan. Dalam
kitab At-Tibyan disebutkan perbedaan pokok tafsir isyari dengan tafsir kebatinan adalah:
“Tafsir isyari tidak membuang makna tersurat, tetapi mereka menetapkannya sebagai
dasar dan asas, mereka menganjurkan untuk berpegang kepadanya dengan mengatakan:
pertama-tama harus mengetahui terlebih dahulu arti yang tersurat, karena orang yang
mengaku mengerti rahasia Alquran, tetapi tidak menguasai zahirnya, sama halnya orang yang
mengaku telah masuk ke dalam rumah tetapi belum masuk pintunya.
Tafsir kebatinan, mereka mengatakan bahwa zahirnya ayat itu sama sekali bukan
tujuan, tetapi yang dimaksud adalah rahasianya (batinnya). Latar belakang dari kata-kata ini
adalah menghilangkan syari’at dan merusak hukum. Karena itu tidaklah diragukan lagi
bahwa pendapat ini adalah merupakan penyelewengan dalam ajaran agama”.
Imam As-Suyuti mengambil pendapat Ibn ‘Ata’illah yang mengatakan:
“Ketahuilah bahwa tafsir dalam golongan ini (tafsir isyari) terhadap Kalam Allah dan
Rasul-Nya dengan makna-makna yang pelik bukanlah berarti memalingkan dari zahirnya,
tetapi zahir ayat itu dapat dipahami makna sebenarnya, seperti yang dimaksud oleh ayat, di
samping itu juga dapat diketahui dari istilah bahasa, serta mereka memperoleh pengertian
yang tersirat dari Ayat dan Hadis bagi orang yang hatinya telah dibukakan oleh Allah SWT”.
Untuk mengatasi penyimpangan-penyimpangan tafsir isyari, maka di antara ulama telah
memberikan kriteria persyaratan untuk bisa diterima tafsirnya, Az-Zarqani telah menuliskan
sebagai berikut:
1.
Tidak boleh bertolak belakang dengan susunan AlQuran yang zahirnya
2. Tidak menyatakan bahwa makna isyarat itu merupakan makna sebenarnya (makna satu-
satunya), tanpa ada makna zhahir.
3. Hendaknya pentakwilan tersebut harus tidak terlalu jauh, yang sama sekali tidak ada
hubungannya dengan lafaz zahir
4. Tidak bertentangan dengan hukum syar’i atau naqli
5. Terdapat syahid (penopang) syar’i yang menguatkannya
Selanjutnya dijelaskan bahwa syarat-syarat tersebut di atas hanyalah sebagai syarat
diterimanya tafsir isyari, yakni tidak serta merta ditolak, bukan syarat yang baku dan bukan
pula hanya terbatas itu saja.
Contoh bentuk penafsiran secara Isyari antara lain adalah pada ayat:
: ‫)البقرة‬ ‫بقرة‬ ‫تذبحاوا‬ ‫ان‬ ‫يأمركم‬ ‫ال‬ ‫إن‬67 )
(Surat Al Baqarah: 67) Yang mempunyai makna zhahir adalah “……Sesungguhnya Allah
menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina…” tetapi dalam tafsir Isyari diberi makna
dengan “….Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih nafsu hewaniah”.
Tafsir Shufi/Isyari, corak penafsiran Ilmu Tashawwuf yang dari segi sumbernya termasuk
tafsir Isyariy. Nama-nama kitab tafsir yang termasuk corak shufi ini antara lain:
a. Tafsir al-Qur’an al-’Azhim, karya Sahl bin Abdillah al-Tustary. Dikenal dengan Tafsir
al-Tustasry.
b. Haqaiq al-Tafsir, karya Abu Abdirrahman al-Silmy, terkenal dengan sebutan Tafsir al-
Silmy.
c. Al-Kasyf Wa al-Bayan, karya Ahmad bin Ibrahim al-Naisabury, terkenal dengan nama
Tafsir al-Naisabury.
d. Tafsir Ibnu Araby, karya Muhyiddin Ibnu Araby, terkenal dengan nama Tafsir Ibnu
‘Araby.
e. Ruh al-Ma’ani, karya Syihabuddin Muhammad al-Alusy, terkenal dengan nama tafsir
al-Alusiy.
Madzhab-madzhab Tafsir
Selain yang tiga jenis madzhab tafsir ada berapa pendapat para ahli yang mengelompokan
dari berbagai perspektif.
Kategori Tafsir Model Ignaz Goldziher
Dalam buku madzhab Tafsir (madzhab at-tafsir al-islami), karya Ignaz Golziher kelahiran
Hongaria menurutnya terdapat lima madzhab atau kecenderungan dalam menafsirkan al-
Qur’an yaitu :
1. Tafsir bil Ma’tsur yaitu penafsiran dengan bantuan Hadit dan aqwal (perkataan) para
shahabat. Seperti tafsir Ibnu Abbas, Mujahid, Ikrimah, Ali Ibn Abi Thalib dan Tafsir
Thabari
2. Tafsir dalam perspektif teologi rasional atau penfsiran bersifat dogmatis. Yang
termasuk kategori ini seperti tafsir al-Kasysyaf karya Zamarkhsyari, al-Gharar wa
Durar karya Amali al-Murthadha, dan Mafatih al-Ghaib karya Imam Fakhruddin ar-
Razi.
3. Tafsir dalam perspektif tasawuf seperti Ikhwan ash-shafa Ibnu Arabi dan Imam al-
Ghazali
4. Tafsir dalam perspektif sekte keagamaan (sektarian) sepeti tafsir yang di tulis para
pengikut ahl us-sunnah, syiah, Asy’ariyah, Khawarij, tema-tema yang dikaji
didalamnya lebih cenderung untuk membela madzhabnya masing-masing.
5. Tafsir era kebangkitan Islam (Tafsir modernis) tema-tema yang menjadi isu sentral
adalah tentang gerakan tajdid (pembaharuan), bagaimana Islam memotivasi untuk
memajukan peradaban, misalnya dengan menyuarakan pentingnya kebebasan berfikir
dan melepaskan taklid buta. seperti tafsir yang ditulis Sayyid Amir Ali, Ahmad Khan,
Jamaluddin al-Afgani, Muhammad Abduh dll.
Kategori Tafsir Model J.J.G Jansen
Kategori yang dilakukan oleh J.J.G Jansen lebih spesifik. Karena hanya mengacu kepada
tafsir-tafsir yang berkembang di kawasan Islam tertentu, yaitu Mesir. Dalam kategorinya
sebagai berikut:
1. Tafsir Ilmi, yaitu penafsiran yang dipengaruhi oleh pengadopsian temuan-temuan
ilmiah mutakhir.
2. Tafsir linguistik dan filologis penafsiran yang didalamnya menggunakan analisis
linguistik.
3. Tafsir praktis penfasiran yang banyak menyangkut keseharian umat.
Kategori Tafsir Model Muhammad Husain adz-Dzahabi
Ini bisa dilihat dalam kitabnya at-Tafsir wal Mufassirun, ia cenderung mengkategorikan
berdasar kronologi waktu, di antaranya:
1. Tafsir pada masa Nabi dan Sahabat
Karakteristiknya umum pada masa ini adalah (a) tidak menafsirkan seluruh al-Qur’an
(b) tidak banyak perbedaan dalam menafsirkannya (c) bersifat ijmali (d) cenderung
hanya menafsirkan dari aspek makna bahasa (e) jarang melakukan istinbat hukum
secara ilmiah terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang ditafsirkan (f) tidak bersifat sektarian
(membela madzhab tertentu) (g) belum terkodifikasi secara utuh, sebab kodifikasi
mulai abad ke-2 Hijriah (h) benyak menggunakan riwayat yang menggunakan secara
oral atau lisan (i) cenderung mitis (penafsiran cenderung diterima begitu saja tanpa
kritik). Contoh : tafsir Ibnu Abbas, Mujahid, Ikrimah, Ali Ibn Abi Thalib
2. Tafsir pada masa Tabi’in
Karakteristiknyaa adalah (a) belum dikodifikasi secara tersendiri (b) masih bersifat
hapalan dan periwayatan (c) sudah dimasuki riwayat-riwayat israiliyat (d) sudah
mulai ada benih-benih perbedaan madzhab (e) sudah banyak perbedaan pendapat
dengan sahabat.
3. Tafsir pada masa Kodifikasi
Diperkirakan muncul pada pemerintahan Bani Umayyah, awal Bani Abbasiah. Tafsir-
tafsir mulai dibukukan. Sudah berkembang tafsir dengan berbagai madzhab, seperti
Mu’tazilah, syiah, Khawarij dan corak seperti corak sufistik, linguistik, fiqhi,
filosofis, teologis, adabi ijtima’I dll.
Kategori Tafsir Model Amina Wadud
Amina Wadud melihat dari perspektif gerakan feminisme yang memfokuskan pada isu-isu
gender. Menurutnya penafsiran al-Qur’an mengenai isu-isu jender dikategorikan jadi tiga :
1. Tafsir Tradisonal
Tafsir yang menggunakan pokok bahasan tertentu sesuai dengan minat dan
kemampuan mufassirnya, seperti hukum (fiqh), nahwu, sharaf, sejarah, tasawuf.
Model ini bersifat atomistik (ayat per ayat tidak tematik) sehingga bahasannya parsial,
dan tidak ada upaya untuk mendiskusikan tema-tema tertentu menurut al-Qur’an
sendiri.
2. Tafsir Reaktif
Tafsir berisi reaksi para pemikir modern terhadap sejumlah hambatan yang dialami
perempuan yang dianggap berasal dari al-Qur’an. Persoalan yang dibahas dan metode
yang digunakan seringkali berasal dari gagasan kaum feminis dan rasionalis, tapi
tanpa dibarengi dengan analisis yang kompreshensif terhadap ayat-ayat yang
bersangkutan. Dengan demikian, meskipun semangat yang dibawanya adalah
pembebasan (liberation), namun tidak terlihat hubungan dengan sumber ideologi dan
teologi Islam yaitu al-Qur’an
3. Tafsir Holistik
Tafsir yang menggunakan seluruh metode penafsiran dan mengaitkan dengan
berbagai persoalan sosial, moral ekonomi, politik termasuk isu-isu perempuan yang
muncul di era modern. Di sinilah posisi Amina Wadud dalam upaya menafsirkan
ayat-ayat al-Qur’an
Kategori Tafsir Model Abdul Mustaqim
Bisa dilihat dalam bukunya Madzahibut Tafsir
peta Metodologi penafsiran al-Qur’an periode klasik Hingga Kontemporer, Ia
mengkategorikan berdasar kronologis waktu, diantaranya :
1. Tafsir Periode Klasik
Tafsir yang muncul dari jaman Nabi sampai masa kodifikasi (jaman tabiin) abad I H
sampai abad II H. diwarnai tafsir bir Riwayah.
2. Tafsir periode Pertengahan
Dimulai dengan munculnya produk penafsiran yang sistematis dan sampai ke tangan
generasi sekarang sudah dalam bentuk buku (terkodifikasi dengan baik) karakternya
at-Tikrar (pengualangan), at-Tahwil (bertele-tele) atomistik (parsial). Coraknya
spesialis ulumuddin seperti fiqh, teologi, falsafi, dan ilmi.
3. Tafsir Periode Kontemporer
Istilah kontemporer terkait dengan situasi dan kondisi tafsir pada saat ini.
Karakteristiknya, seperti memposisikan al-Qur’an sebagai petunjuk dan menangkap
ruh al-Qur’an. Pola pendekatan cenderung analitis dan tematik.
Kategori Tafsir Model Masdar F. Mas’udi
Model tafsir yang menggunakan nalar formasi tafsir itu sendiri, yaitu:
1. Nalar Teosentris
Pandangan dan pemahaman memusat kepada Tuhan. Tafsir porsinya sangat besar
untuk berupaya membesarkan nama Alloh dengan membuktikan keajaiban dari al-
Qur’an sendiri. Sehingga, merebut seluruh perhatian bukan pada bagaimana
menyelesaikan krisis kemanusian multidimensi yang kasat mata. Dan menurut very
verdiansyah diaktegorikan tafsir bayani dan irfani, karena sudut pandangnya lebih
menekankan pada otoritas teks dan otoritas Tuhan.
2. Nalar Ideologis
Tafsir model ini dikodifikasi sesuai dengan ideologi yang mejadi pilihan kekuasaan.
Digunakan sebagai bahan indoktrinasi bagi pengukuhan kekuasaan. Kalangan Sunni
akan menafsirkan teks suci sesuai dengan ideologinya, begitu juga yang lainnya.
3. Nalar Antroposentris
Tafsir mempunyai orientasi pada wilayah problem kemanusian sehingga tafsir seperti
ini lebih cenderung praktis pembebasan manusia dari lingkungan agama baik yang
bersifat dogmatis maupun ideologis.
Penutup
Tafsir
sebagai sebuah hasil dialektika antara teks yang statis dan konteks yang dinamis memang
mau tidak mau harus mengalami perkembangan dan bahkan perubahan. Sebab hal itu
merupakan konsekuensi logis dari diktum yang dianut oleh umat Islam bahwa al-Qur’an itu
shalihun li kulli zaman wa makan.
Perbedaan aliran-aliran dalam pemikiran Islam, baik Fiqih, Kalam. Tasawuf maupun Tafsir
sebetulnya tidak lain dan tidak bukan adalah perbedaan penafsiran terhadap memahami ayat-
ayat al-Qur’an. Perbedaan itu jadi sebuah keniscaayaan, tinggal bagaimana menyingkapi
perbedaan tersebut dan penulis mengutip apa yang disampaikan al-Qur’an “… jika kalian
berselisih kembalikan kepada Alloh dan Rasul..” dalam arti dikembalikan kepada substansi
manusia diciptakan yaitu sebagai Hamba yang patuh, dan disisi lain sebagai Khalifah yang
dituntut harus kreatif-inovatif. dan untuk sempurna hal tersebut al-Qur’an-lah sebagai guide-
nya.
Dalam memahamai guide diperlukan intrepretasi / penafsiran-penafsiran, tapi jangan
sampai metode, corak, ataupun madzhab penafsiran al-Qur’an disakralkan sehingga akan
tidak mampu membedakan mana proses dan mana tujuan.
DAFTAR PUSTAKA
Ash Shiddieqy, Hasbi M, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an/Tafsir, Bulan
Bintang, Jakarta, 1992.
Az-Zarkoni, Muhammad abdul azim, Manahilul Urfan, (Dar al-Fikr, t.th)
As-Suyuti, Jalaluddin, Al-Itqan fi ‘ulum Al-Quran,(Bairut: Dar al-fikr, 1399 H)
Musthofa Hadnan, Ahmad, Problematika Menafsirkan Alquran, (Semarang: Toha
Putra, 1993)
Nata Abuddin, Metodologi Studi Islam, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004
Mustaqim Abdul, Madzahibut Tafsir, Nun Pustaka Yogyakarta, Yogyakarta, 2003.
Muhammad Abd. Azim Az-Zarqani, Manahilul’irfan fi ulum Al Qur’an,(tt : Isa al-
babi al-halabi, tth).
Khadim al Haramain asy Syarifain, Alquran dan Terjemahnya, (Saudi Arabia, 1971)
Verdiansyah Very, Islam Emansipatoris Menafsir Agama Untuk Praksis
Pembebasan, P3M, Jakarta, 2004.

More Related Content

What's hot

Mu'tazilah - Aliran dalam Ilmu Kalam
Mu'tazilah - Aliran dalam Ilmu KalamMu'tazilah - Aliran dalam Ilmu Kalam
Mu'tazilah - Aliran dalam Ilmu Kalamade orreo
 
'urf, syar'u man qablana
'urf, syar'u man qablana'urf, syar'u man qablana
'urf, syar'u man qablanaMarhamah Saleh
 
TAFSIR BIL MA’TSUR, TAFSIR BIR RA’YI DAN TAFSIR ISYARI
TAFSIR BIL MA’TSUR, TAFSIR BIR RA’YI DAN TAFSIR ISYARITAFSIR BIL MA’TSUR, TAFSIR BIR RA’YI DAN TAFSIR ISYARI
TAFSIR BIL MA’TSUR, TAFSIR BIR RA’YI DAN TAFSIR ISYARIarfian kurniawan
 
PPT Ulumul Qur'an, Al-Qur'an dan Wahyu
PPT Ulumul Qur'an, Al-Qur'an dan WahyuPPT Ulumul Qur'an, Al-Qur'an dan Wahyu
PPT Ulumul Qur'an, Al-Qur'an dan WahyuIbanez Sofadella
 
Makalah islam indonesia zaman modern dan kontemporer
Makalah islam indonesia zaman modern dan kontemporerMakalah islam indonesia zaman modern dan kontemporer
Makalah islam indonesia zaman modern dan kontemporerjuniska efendi
 
Peradaban islam pada masa abu bakar. cover 2
Peradaban islam pada masa abu bakar. cover 2Peradaban islam pada masa abu bakar. cover 2
Peradaban islam pada masa abu bakar. cover 2Ltfltf
 
Muhkam Mutasyabih
Muhkam MutasyabihMuhkam Mutasyabih
Muhkam Mutasyabihqoida malik
 
Ulumul Qur'an (2)
Ulumul Qur'an (2)Ulumul Qur'an (2)
Ulumul Qur'an (2)Ibnu Ahmad
 
Quran Sebagai sumber Ajaran Islam
Quran Sebagai sumber Ajaran IslamQuran Sebagai sumber Ajaran Islam
Quran Sebagai sumber Ajaran IslamMarhamah Saleh
 
Makalah I'jaaz Al qur'an
Makalah I'jaaz Al qur'anMakalah I'jaaz Al qur'an
Makalah I'jaaz Al qur'anLinbud
 
makalah takhrij hadits
makalah takhrij haditsmakalah takhrij hadits
makalah takhrij haditsFeri Nugroho
 
Makalah pengertian hadits sunah.khabar dan atsar serta unsurnya
Makalah pengertian hadits sunah.khabar dan atsar serta unsurnyaMakalah pengertian hadits sunah.khabar dan atsar serta unsurnya
Makalah pengertian hadits sunah.khabar dan atsar serta unsurnyaRobet Saputra
 
(Kc) kondisi masyarakat arab sebelum islam
(Kc) kondisi masyarakat arab sebelum islam(Kc) kondisi masyarakat arab sebelum islam
(Kc) kondisi masyarakat arab sebelum islamkreasi_cerdik
 

What's hot (20)

Mu'tazilah - Aliran dalam Ilmu Kalam
Mu'tazilah - Aliran dalam Ilmu KalamMu'tazilah - Aliran dalam Ilmu Kalam
Mu'tazilah - Aliran dalam Ilmu Kalam
 
'urf, syar'u man qablana
'urf, syar'u man qablana'urf, syar'u man qablana
'urf, syar'u man qablana
 
Presentasi Fiqh 1
Presentasi Fiqh 1Presentasi Fiqh 1
Presentasi Fiqh 1
 
TAFSIR BIL MA’TSUR, TAFSIR BIR RA’YI DAN TAFSIR ISYARI
TAFSIR BIL MA’TSUR, TAFSIR BIR RA’YI DAN TAFSIR ISYARITAFSIR BIL MA’TSUR, TAFSIR BIR RA’YI DAN TAFSIR ISYARI
TAFSIR BIL MA’TSUR, TAFSIR BIR RA’YI DAN TAFSIR ISYARI
 
Ppt tasawuf
Ppt tasawufPpt tasawuf
Ppt tasawuf
 
Asbabun nuzul
Asbabun nuzulAsbabun nuzul
Asbabun nuzul
 
PPT Ulumul Qur'an, Al-Qur'an dan Wahyu
PPT Ulumul Qur'an, Al-Qur'an dan WahyuPPT Ulumul Qur'an, Al-Qur'an dan Wahyu
PPT Ulumul Qur'an, Al-Qur'an dan Wahyu
 
Makalah islam indonesia zaman modern dan kontemporer
Makalah islam indonesia zaman modern dan kontemporerMakalah islam indonesia zaman modern dan kontemporer
Makalah islam indonesia zaman modern dan kontemporer
 
Resensi buku ilmu kalam
Resensi buku ilmu kalamResensi buku ilmu kalam
Resensi buku ilmu kalam
 
Naskh mansukh
Naskh mansukhNaskh mansukh
Naskh mansukh
 
Peradaban islam pada masa abu bakar. cover 2
Peradaban islam pada masa abu bakar. cover 2Peradaban islam pada masa abu bakar. cover 2
Peradaban islam pada masa abu bakar. cover 2
 
Muhkam Mutasyabih
Muhkam MutasyabihMuhkam Mutasyabih
Muhkam Mutasyabih
 
Ulumul Qur'an (2)
Ulumul Qur'an (2)Ulumul Qur'an (2)
Ulumul Qur'an (2)
 
Quran Sebagai sumber Ajaran Islam
Quran Sebagai sumber Ajaran IslamQuran Sebagai sumber Ajaran Islam
Quran Sebagai sumber Ajaran Islam
 
Makalah I'jaaz Al qur'an
Makalah I'jaaz Al qur'anMakalah I'jaaz Al qur'an
Makalah I'jaaz Al qur'an
 
Surat al maun
Surat al maunSurat al maun
Surat al maun
 
Ppt hadits
Ppt haditsPpt hadits
Ppt hadits
 
makalah takhrij hadits
makalah takhrij haditsmakalah takhrij hadits
makalah takhrij hadits
 
Makalah pengertian hadits sunah.khabar dan atsar serta unsurnya
Makalah pengertian hadits sunah.khabar dan atsar serta unsurnyaMakalah pengertian hadits sunah.khabar dan atsar serta unsurnya
Makalah pengertian hadits sunah.khabar dan atsar serta unsurnya
 
(Kc) kondisi masyarakat arab sebelum islam
(Kc) kondisi masyarakat arab sebelum islam(Kc) kondisi masyarakat arab sebelum islam
(Kc) kondisi masyarakat arab sebelum islam
 

Viewers also liked

Makalah Muhkam Mutasyabih
Makalah Muhkam MutasyabihMakalah Muhkam Mutasyabih
Makalah Muhkam Mutasyabihazzaazza50746
 
Al-Quran dalam Studi Orientalis
Al-Quran dalam Studi OrientalisAl-Quran dalam Studi Orientalis
Al-Quran dalam Studi OrientalisQosim Nursheha
 
Eric Hartman_resume
Eric Hartman_resumeEric Hartman_resume
Eric Hartman_resumeEric Hartman
 
Diagnostic 2009 de l'Aquitaine Numérique - Présentation
Diagnostic 2009 de l'Aquitaine Numérique  - PrésentationDiagnostic 2009 de l'Aquitaine Numérique  - Présentation
Diagnostic 2009 de l'Aquitaine Numérique - PrésentationUNITEC
 
Problems of the world
Problems of the worldProblems of the world
Problems of the worldMAVSS
 
Presentation1 (1)
Presentation1 (1)Presentation1 (1)
Presentation1 (1)nornadiya
 
Sumbangan sarjana sains Islam Kepada tamadun dunia
Sumbangan sarjana sains Islam Kepada tamadun duniaSumbangan sarjana sains Islam Kepada tamadun dunia
Sumbangan sarjana sains Islam Kepada tamadun duniamohd adib
 
Capesun SMP Negeri 13 Bogor per tanggal 16-12-2014
Capesun SMP Negeri 13 Bogor per tanggal 16-12-2014Capesun SMP Negeri 13 Bogor per tanggal 16-12-2014
Capesun SMP Negeri 13 Bogor per tanggal 16-12-2014Ruhyat Yogaprana
 

Viewers also liked (18)

Makalah Muhkam Mutasyabih
Makalah Muhkam MutasyabihMakalah Muhkam Mutasyabih
Makalah Muhkam Mutasyabih
 
Al-Quran dalam Studi Orientalis
Al-Quran dalam Studi OrientalisAl-Quran dalam Studi Orientalis
Al-Quran dalam Studi Orientalis
 
Eric Hartman_resume
Eric Hartman_resumeEric Hartman_resume
Eric Hartman_resume
 
Akidah
AkidahAkidah
Akidah
 
Dato ir abdul nasir abdul razak
Dato ir abdul nasir abdul razakDato ir abdul nasir abdul razak
Dato ir abdul nasir abdul razak
 
Diagnostic 2009 de l'Aquitaine Numérique - Présentation
Diagnostic 2009 de l'Aquitaine Numérique  - PrésentationDiagnostic 2009 de l'Aquitaine Numérique  - Présentation
Diagnostic 2009 de l'Aquitaine Numérique - Présentation
 
Dr Rahul Hajare_ Detail cv
Dr Rahul Hajare_ Detail cvDr Rahul Hajare_ Detail cv
Dr Rahul Hajare_ Detail cv
 
[IJET-V2I2P5] Authors:Mr. Veer Karan Bharat1, Miss. Dethe Pratima Vilas2, Mis...
[IJET-V2I2P5] Authors:Mr. Veer Karan Bharat1, Miss. Dethe Pratima Vilas2, Mis...[IJET-V2I2P5] Authors:Mr. Veer Karan Bharat1, Miss. Dethe Pratima Vilas2, Mis...
[IJET-V2I2P5] Authors:Mr. Veer Karan Bharat1, Miss. Dethe Pratima Vilas2, Mis...
 
Herramientas web 2.0
Herramientas web 2.0Herramientas web 2.0
Herramientas web 2.0
 
Problems of the world
Problems of the worldProblems of the world
Problems of the world
 
Kompilasi peminatan 2015 1
Kompilasi peminatan 2015 1Kompilasi peminatan 2015 1
Kompilasi peminatan 2015 1
 
Marketing Overview Handout
Marketing Overview HandoutMarketing Overview Handout
Marketing Overview Handout
 
ZUBAIR CV 5
ZUBAIR CV  5ZUBAIR CV  5
ZUBAIR CV 5
 
Thi is jhordan
Thi is jhordanThi is jhordan
Thi is jhordan
 
1 мая
1 мая1 мая
1 мая
 
Presentation1 (1)
Presentation1 (1)Presentation1 (1)
Presentation1 (1)
 
Sumbangan sarjana sains Islam Kepada tamadun dunia
Sumbangan sarjana sains Islam Kepada tamadun duniaSumbangan sarjana sains Islam Kepada tamadun dunia
Sumbangan sarjana sains Islam Kepada tamadun dunia
 
Capesun SMP Negeri 13 Bogor per tanggal 16-12-2014
Capesun SMP Negeri 13 Bogor per tanggal 16-12-2014Capesun SMP Negeri 13 Bogor per tanggal 16-12-2014
Capesun SMP Negeri 13 Bogor per tanggal 16-12-2014
 

Similar to Madzhab Tafsir

Method of Tafsir
Method of TafsirMethod of Tafsir
Method of TafsirHakim Ahma
 
Pengertian tafsir
Pengertian tafsirPengertian tafsir
Pengertian tafsir4n9ry_61rd5
 
20140306100342 modul unit 1 5 (1)
20140306100342 modul unit 1 5 (1)20140306100342 modul unit 1 5 (1)
20140306100342 modul unit 1 5 (1)Sukor Bakar
 
Model penafsiran al qur’an
Model penafsiran al qur’anModel penafsiran al qur’an
Model penafsiran al qur’anAgus Rahmat
 
Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS...
Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS...Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS...
Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS...Hasaniahmadsaid
 
TAFSIR BI AL-MA'TSUR DAN TAFSIR BI AL-RA'YI
TAFSIR BI AL-MA'TSUR DAN TAFSIR BI AL-RA'YITAFSIR BI AL-MA'TSUR DAN TAFSIR BI AL-RA'YI
TAFSIR BI AL-MA'TSUR DAN TAFSIR BI AL-RA'YIMuhammad Rizaki
 
Israiliyyat
IsrailiyyatIsrailiyyat
Israiliyyatezudien
 
Konsep Tanzil: Arkoun dan Zarqani
Konsep Tanzil: Arkoun dan ZarqaniKonsep Tanzil: Arkoun dan Zarqani
Konsep Tanzil: Arkoun dan ZarqaniAnwar Ma'rufi
 
Tafsir, pembagian dan metodenya
Tafsir, pembagian dan metodenyaTafsir, pembagian dan metodenya
Tafsir, pembagian dan metodenyaQomaruz Zaman
 
Makalah muhkam & mutasyabi
Makalah muhkam & mutasyabiMakalah muhkam & mutasyabi
Makalah muhkam & mutasyabiilmanafia13
 

Similar to Madzhab Tafsir (20)

Method of Tafsir
Method of TafsirMethod of Tafsir
Method of Tafsir
 
Pengertian tafsir
Pengertian tafsirPengertian tafsir
Pengertian tafsir
 
20140306100342 modul unit 1 5 (1)
20140306100342 modul unit 1 5 (1)20140306100342 modul unit 1 5 (1)
20140306100342 modul unit 1 5 (1)
 
Al qur’an dan tafsir
Al qur’an dan tafsirAl qur’an dan tafsir
Al qur’an dan tafsir
 
Metodologi tafsir
Metodologi tafsirMetodologi tafsir
Metodologi tafsir
 
TUGAS TAFSIR TEMATIK-2 OLEH Agung Setiawan. SM IV-B FDK UINSU 2019/2020
TUGAS TAFSIR TEMATIK-2 OLEH Agung Setiawan. SM IV-B FDK UINSU 2019/2020TUGAS TAFSIR TEMATIK-2 OLEH Agung Setiawan. SM IV-B FDK UINSU 2019/2020
TUGAS TAFSIR TEMATIK-2 OLEH Agung Setiawan. SM IV-B FDK UINSU 2019/2020
 
Model penafsiran al qur’an
Model penafsiran al qur’anModel penafsiran al qur’an
Model penafsiran al qur’an
 
Mahamai kitab tafsir
Mahamai kitab tafsirMahamai kitab tafsir
Mahamai kitab tafsir
 
Modul 10 kb 2
Modul 10 kb 2Modul 10 kb 2
Modul 10 kb 2
 
Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS...
Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS...Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS...
Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS...
 
TAFSIR BI AL-MA'TSUR DAN TAFSIR BI AL-RA'YI
TAFSIR BI AL-MA'TSUR DAN TAFSIR BI AL-RA'YITAFSIR BI AL-MA'TSUR DAN TAFSIR BI AL-RA'YI
TAFSIR BI AL-MA'TSUR DAN TAFSIR BI AL-RA'YI
 
TUGAS-1 TAFSIR TEMATIK PMI OLEH Eriza Ricki. SM II PMI-A FDK UINSU 2019/2020
TUGAS-1 TAFSIR TEMATIK PMI OLEH Eriza Ricki. SM II PMI-A FDK UINSU 2019/2020TUGAS-1 TAFSIR TEMATIK PMI OLEH Eriza Ricki. SM II PMI-A FDK UINSU 2019/2020
TUGAS-1 TAFSIR TEMATIK PMI OLEH Eriza Ricki. SM II PMI-A FDK UINSU 2019/2020
 
Israiliyyat
IsrailiyyatIsrailiyyat
Israiliyyat
 
TUGAS-1 TAFSIR TEMATIK OLEH SYARIF HIDAYAT LASE. SM IV MD-E. FDK UINSU 2019/2020
TUGAS-1 TAFSIR TEMATIK OLEH SYARIF HIDAYAT LASE. SM IV MD-E. FDK UINSU 2019/2020TUGAS-1 TAFSIR TEMATIK OLEH SYARIF HIDAYAT LASE. SM IV MD-E. FDK UINSU 2019/2020
TUGAS-1 TAFSIR TEMATIK OLEH SYARIF HIDAYAT LASE. SM IV MD-E. FDK UINSU 2019/2020
 
Konsep Tanzil: Arkoun dan Zarqani
Konsep Tanzil: Arkoun dan ZarqaniKonsep Tanzil: Arkoun dan Zarqani
Konsep Tanzil: Arkoun dan Zarqani
 
MAKALAH TAFSIR TAHLI
MAKALAH TAFSIR TAHLIMAKALAH TAFSIR TAHLI
MAKALAH TAFSIR TAHLI
 
Tafsir, pembagian dan metodenya
Tafsir, pembagian dan metodenyaTafsir, pembagian dan metodenya
Tafsir, pembagian dan metodenya
 
Makalah muhkam & mutasyabi
Makalah muhkam & mutasyabiMakalah muhkam & mutasyabi
Makalah muhkam & mutasyabi
 
PENGANTAR TAFSIR-1 OLEH Ahmad Mutawalli Nasution. SM MD IV-C. FDK UINSU 2019/...
PENGANTAR TAFSIR-1 OLEH Ahmad Mutawalli Nasution. SM MD IV-C. FDK UINSU 2019/...PENGANTAR TAFSIR-1 OLEH Ahmad Mutawalli Nasution. SM MD IV-C. FDK UINSU 2019/...
PENGANTAR TAFSIR-1 OLEH Ahmad Mutawalli Nasution. SM MD IV-C. FDK UINSU 2019/...
 
Makalah al quran hadist
Makalah al quran hadistMakalah al quran hadist
Makalah al quran hadist
 

Recently uploaded

kesalahan tipe 1 dan 2 pada statistik.pptx
kesalahan tipe 1 dan 2 pada statistik.pptxkesalahan tipe 1 dan 2 pada statistik.pptx
kesalahan tipe 1 dan 2 pada statistik.pptxAhmadSyajili
 
MATERI SESI 2 KONSEP ETIKA KOMUNIKASI.pptx
MATERI SESI 2 KONSEP ETIKA KOMUNIKASI.pptxMATERI SESI 2 KONSEP ETIKA KOMUNIKASI.pptx
MATERI SESI 2 KONSEP ETIKA KOMUNIKASI.pptxrikosyahputra0173
 
PPT Olah Nilai Kurikulum merdeka belajar.pptx
PPT Olah Nilai Kurikulum merdeka belajar.pptxPPT Olah Nilai Kurikulum merdeka belajar.pptx
PPT Olah Nilai Kurikulum merdeka belajar.pptxnursariheldaseptiana
 
MARIA NOVILIA BOISALA FASILITATOR PMM.pptx
MARIA NOVILIA BOISALA FASILITATOR PMM.pptxMARIA NOVILIA BOISALA FASILITATOR PMM.pptx
MARIA NOVILIA BOISALA FASILITATOR PMM.pptxmariaboisala21
 
pertemuan-3-distribusi pada-frekuensi.ppt
pertemuan-3-distribusi pada-frekuensi.pptpertemuan-3-distribusi pada-frekuensi.ppt
pertemuan-3-distribusi pada-frekuensi.pptAhmadSyajili
 
SOP MEDIA KOMUNIKASI DAN KOORDINASI pkms
SOP MEDIA KOMUNIKASI DAN KOORDINASI pkmsSOP MEDIA KOMUNIKASI DAN KOORDINASI pkms
SOP MEDIA KOMUNIKASI DAN KOORDINASI pkmsedyardy
 
SKP GURU satuan kinerja pegawai tahun 2023 untuk PNS Aceh
SKP GURU satuan kinerja pegawai tahun 2023 untuk PNS AcehSKP GURU satuan kinerja pegawai tahun 2023 untuk PNS Aceh
SKP GURU satuan kinerja pegawai tahun 2023 untuk PNS AcehBISMIAULIA
 
VULKANISME.pdf vulkanisme dan pengaruh nya terhadap kehidupan
VULKANISME.pdf vulkanisme dan pengaruh nya terhadap kehidupanVULKANISME.pdf vulkanisme dan pengaruh nya terhadap kehidupan
VULKANISME.pdf vulkanisme dan pengaruh nya terhadap kehidupanBungaCitraNazwaAtin
 
Manajemen Lalu Lintas Baru Di Jalan Selamet Riyadi
Manajemen Lalu Lintas Baru Di Jalan Selamet RiyadiManajemen Lalu Lintas Baru Di Jalan Selamet Riyadi
Manajemen Lalu Lintas Baru Di Jalan Selamet RiyadiCristianoRonaldo185977
 
Metode penelitian Deskriptif atau Survei
Metode penelitian Deskriptif atau SurveiMetode penelitian Deskriptif atau Survei
Metode penelitian Deskriptif atau Surveikustiyantidew94
 
415418921-statistika- mean media modus data tunggal dan data kelompok
415418921-statistika- mean media modus data tunggal dan data kelompok415418921-statistika- mean media modus data tunggal dan data kelompok
415418921-statistika- mean media modus data tunggal dan data kelompokelmalinda2
 
manajemen analisis data export data epidata 3.1
manajemen analisis data export data epidata 3.1manajemen analisis data export data epidata 3.1
manajemen analisis data export data epidata 3.1YudiPradipta
 

Recently uploaded (12)

kesalahan tipe 1 dan 2 pada statistik.pptx
kesalahan tipe 1 dan 2 pada statistik.pptxkesalahan tipe 1 dan 2 pada statistik.pptx
kesalahan tipe 1 dan 2 pada statistik.pptx
 
MATERI SESI 2 KONSEP ETIKA KOMUNIKASI.pptx
MATERI SESI 2 KONSEP ETIKA KOMUNIKASI.pptxMATERI SESI 2 KONSEP ETIKA KOMUNIKASI.pptx
MATERI SESI 2 KONSEP ETIKA KOMUNIKASI.pptx
 
PPT Olah Nilai Kurikulum merdeka belajar.pptx
PPT Olah Nilai Kurikulum merdeka belajar.pptxPPT Olah Nilai Kurikulum merdeka belajar.pptx
PPT Olah Nilai Kurikulum merdeka belajar.pptx
 
MARIA NOVILIA BOISALA FASILITATOR PMM.pptx
MARIA NOVILIA BOISALA FASILITATOR PMM.pptxMARIA NOVILIA BOISALA FASILITATOR PMM.pptx
MARIA NOVILIA BOISALA FASILITATOR PMM.pptx
 
pertemuan-3-distribusi pada-frekuensi.ppt
pertemuan-3-distribusi pada-frekuensi.pptpertemuan-3-distribusi pada-frekuensi.ppt
pertemuan-3-distribusi pada-frekuensi.ppt
 
SOP MEDIA KOMUNIKASI DAN KOORDINASI pkms
SOP MEDIA KOMUNIKASI DAN KOORDINASI pkmsSOP MEDIA KOMUNIKASI DAN KOORDINASI pkms
SOP MEDIA KOMUNIKASI DAN KOORDINASI pkms
 
SKP GURU satuan kinerja pegawai tahun 2023 untuk PNS Aceh
SKP GURU satuan kinerja pegawai tahun 2023 untuk PNS AcehSKP GURU satuan kinerja pegawai tahun 2023 untuk PNS Aceh
SKP GURU satuan kinerja pegawai tahun 2023 untuk PNS Aceh
 
VULKANISME.pdf vulkanisme dan pengaruh nya terhadap kehidupan
VULKANISME.pdf vulkanisme dan pengaruh nya terhadap kehidupanVULKANISME.pdf vulkanisme dan pengaruh nya terhadap kehidupan
VULKANISME.pdf vulkanisme dan pengaruh nya terhadap kehidupan
 
Manajemen Lalu Lintas Baru Di Jalan Selamet Riyadi
Manajemen Lalu Lintas Baru Di Jalan Selamet RiyadiManajemen Lalu Lintas Baru Di Jalan Selamet Riyadi
Manajemen Lalu Lintas Baru Di Jalan Selamet Riyadi
 
Metode penelitian Deskriptif atau Survei
Metode penelitian Deskriptif atau SurveiMetode penelitian Deskriptif atau Survei
Metode penelitian Deskriptif atau Survei
 
415418921-statistika- mean media modus data tunggal dan data kelompok
415418921-statistika- mean media modus data tunggal dan data kelompok415418921-statistika- mean media modus data tunggal dan data kelompok
415418921-statistika- mean media modus data tunggal dan data kelompok
 
manajemen analisis data export data epidata 3.1
manajemen analisis data export data epidata 3.1manajemen analisis data export data epidata 3.1
manajemen analisis data export data epidata 3.1
 

Madzhab Tafsir

  • 1. Madzhab-madzhab Tafsir Oleh Dadang Syarif Al Huda ABSTRAK Fakta memperlihatkan begitu beragamnya tafsir al-Qur’an. malahan ada yang sampai bertolak belakang. klaim kebenaran tidak bisa dilakukan, karena yang punya otoritas itu hanyalah Alloh. Ketika Nabi SAW masih hidup perbedaan pemahaman bisa langsung ditanyakan kepada Nabi dan dengan bantuan wahyu bisa langsung dapat keputusan. Sepeninggalan Nabi semua Muffasir berusaha mendekati kebenaran dengan berbagai madzhab, metode, corak penafsiran. Pendahuluan Menurut Abdul Mustaqim Madzahib at-Tafsir secara etimologis adalah bentuk susunan kata dari Madzahib dan at-Tafsir. Madzahib merupakan bentuk jamak (plural) dari madzhab yang artinya aliran pemikiran, pendapat, teori. Sedangkan at- Tafsir adalah hasil pemahaman manusia (baca : mufassir) terhadap al-Qur’an dengan metode atau pendekatan tertentu yang dipilih oleh mufassir. Secara teologis Normatif, al-Qur’an itu kebenarannya adalah mutlak, sebab ia berasal dari Tuhan Dzat yang Mutlak. Namun demikian, setelah yang mutlak itu masuk dalam “disket” pemikiran manusia, ia menjadi relatif kebenarannya. Sebab tidak mungkin yang relatif itu –yaitu pemikiran manusia- akan mampu menangkap yang seratus persen dari yang mutlak tersebut. Dengan demikian, di sana masih ada kebenaran-kebenaran lain atau makna-makna lain yang mungkin belum tertangkap oleh manusia. Dari sini, muncullah keragaman pemahaman. Adanya keragaman penafsiran tersebut oleh para ulama (peneliti) berikutnya dikelompok-kelompokan menjadi aliran-aliran tertentu yang disebut dengan madzahib at-Tafsir. Madzhab tafsir merupakan tema besar yang berusaha mengkaji kritis mengenai berbagai upaya, kelompok maupun individu, untuk menegakkan kitab suci al-Qur’an, bagaimana setiap dari mereka memahami dan menginterpretasikan setiap makna kata sehingga satu kata memiliki ragam penafsiran dan pemahaman dengan berbagai kepentingan dan tendensi yang diusungnya. Dalam buku Madzahib Tafsir, karya Abdul Mustaqim banyak membahas tentang mazhab-mazhab tafsir yang sudah berkembang selama ini, ternyata para ulama berbeda-beda dalam memetakannya. Ada yang membagi berdasarkan periodesasinya atau kronologis waktunya, sehingga menjadi mazhab tafsir periode klasik, pertengahan, modern atau kontemporer. Ada pula yang berdasarkan kecenderungannya, sehingga muncul mazhab teologi mufassiranya, sehingga muncul istilah tafsir Sunni, Mu’tazili, Syi’i, dan lain sebagainya. Ada pula yang melihat dari sisi perspektif atau pendekatan yang dipakainya, sehingga muncul istilah tafsir sufi, falsafi, fiqhi, ‘ilmi, adabi ijtimai’ dan lain sebagainya. Bahkan ada pula yang melihat dari perkembangan pemikiran manusia, sehingga mazhab tafsir itu dapat dipetakan menjadi mazhab tafsir yang periode mitologis, ideologis, dan ilmiah. Dalam makalah ini, penulis memaparkankan mazhab-madzhab tafsir berdasarkan sumber (mashodir ) yaitu tafsir bi al-Riwayah (bi al Ma’tsur atau al-Naql), bi al-Dirayah (bi al-Aql
  • 2. atau al –Ra’yi) dan tafsir bi al-Isyarah. Dan beberapa pendapat yang memetakan madzhab tafsir dengan berbagai sudut pandang. Tafsir bi al-Riwayah Manna al-Qattan mendefinisikan: Tafsir bil riwayah(bil ma’tsur) ialah tafsir yang disandarkan kepada riwayat-riwayat yang shahih secara tertib yang sebagaimana telah diceritakan dalam syarat-syarat mufassir, antara lain: menafsirkan Al-Quran dengan Al- Quran, atau dengan sunnah karena sunnah merupakan penjelas bagi kitabullah, atau dengan riwayat-riwayat yang diterima dari para sahabat. Sebab mereka lebih mengetahui kitabullah, atau dengan riwayat-riwayat para tabi’in besar, sebab mereka telah menerimanya dari para sahabat. Sedangkan menurut Hasbi Ash Shiddieqy adalah “tafsir dengan ayat sendiri atau dengan hadits, atau dengan pendapat para shahabat “ Pada waktu Nabi masih hidup, Nabi yang menafsirkan Al-Qur’an para shahabat apabila tidak memahami Al-Qur’an langsung bertanya kepada Nabi, otoritas menafsirkan Al-Qur’an hanya ada pada nabi, sebab tugas menjelaskan Al-Qur’an diserahkan kepada Nabi sebagaimana firman Alloh surat al-Qiyamah(75:17-19), QS an-Nahl(16:44 dan 64) ) ‫ه‬ُ ) ‫ن‬َ‫ه‬‫رنآ‬ْ‫نآ‬ ‫ق‬ُ )‫و‬َ‫ه‬ ‫ه‬ُ ) ‫ع‬َ‫ه‬ ‫م‬ْ‫نآ‬ ‫ج‬َ‫ه‬ ‫ن ا‬َ‫ه‬‫ي‬ْ‫نآ‬‫ل‬َ‫ه‬‫ع‬َ‫ه‬ ‫ن‬َّ ‫إ‬ِ١٧) ‫ه‬ُ ) ‫ن‬َ‫ه‬‫رنآ‬ْ‫نآ‬ ‫ق‬ُ ) ‫ع‬ْ‫نآ‬ ‫ب‬ِ‫ت‬َّ ‫ف ا‬َ‫ه‬ ‫ه‬ُ )‫ن ا‬َ‫ه‬‫أ‬ْ‫نآ‬‫ر‬َ‫ه‬ ‫ق‬َ‫ه‬ ‫ذ ا‬َ‫ه‬‫إ‬ِ‫ف‬َ‫ه‬(١٨) ‫ه‬ُ ) ‫ن‬َ‫ه‬‫ي ا‬َ‫ه‬‫ب‬َ‫ه‬ ‫ن ا‬َ‫ه‬‫ي‬ْ‫نآ‬‫ل‬َ‫ه‬‫ع‬َ‫ه‬ ‫ن‬َّ ‫إ‬ِ ‫م‬َّ ‫ث‬ُ )(١٩ ) Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. apabila Kami telah selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian, Sesungguhnya atas tanggungan kamilah penjelasannya. ) ‫ن‬َ‫ه‬ ‫رو‬ُ ) ‫ك‬َّ ‫ف‬َ‫ه‬‫ت‬َ‫ه‬‫ي‬َ‫ه‬ ‫م‬ْ‫نآ‬ ‫ه‬ُ ) ‫ل‬َّ ‫ع‬َ‫ه‬ ‫ل‬َ‫ه‬‫و‬َ‫ه‬ ‫م‬ْ‫نآ‬ ‫ه‬ِ ‫ي‬ْ‫نآ‬‫ل‬َ‫ه‬‫إ‬ِ ‫ل‬َ‫ه‬ ‫ِز‬ّ‫ َل‬ ‫ن‬ُ ) ‫م ا‬َ‫ه‬ ‫س‬ِ ‫ن ا‬َّ ‫لل‬ِ ‫ن‬َ‫ه‬ ‫ي‬ّ‫ َل‬‫ب‬َ‫ه‬‫ت‬ُ )‫ل‬ِ ‫ر‬َ‫ه‬ ‫ك‬ْ‫نآ‬ ‫ِذ‬ّ‫ َل‬‫ ال‬ ‫ك‬َ‫ه‬ ‫ي‬ْ‫نآ‬‫ل‬َ‫ه‬‫إ‬ِ ‫ن ا‬َ‫ه‬‫ل‬ْ‫نآ‬‫ِز‬َ‫ه‬ ‫ن‬ْ‫نآ‬‫أ‬َ‫ه‬‫و‬َ‫ه‬ ‫ر‬ِ ‫ب‬ُ )‫ِز‬ُّ ‫ ال‬‫و‬َ‫ه‬ ‫ت‬ِ ‫ن ا‬َ‫ه‬‫ي‬ّ‫ َل‬‫ب‬َ‫ه‬‫ل‬ْ‫نآ‬‫ ا‬‫ب‬ِ٤٤ ) keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan, ) ‫ن‬َ‫ه‬ ‫ننو‬ُ )‫م‬ِ ‫ؤ‬ْ‫نآ‬ ‫ي‬ُ ) ‫م‬ٍ ‫ي‬‫نو‬ْ‫نآ‬ ‫ق‬َ‫ه‬‫ل‬ِ ‫ة‬ً ‫ل‬ ‫م‬َ‫ه‬ ‫ح‬ْ‫نآ‬ ‫ر‬َ‫ه‬ ‫و‬َ‫ه‬ ‫د ى‬ً ‫ل‬‫ه‬ُ ) ‫و‬َ‫ه‬ ‫ه‬ِ ‫في‬ِ ‫فنو ا‬ُ )‫ل‬َ‫ه‬‫ت‬َ‫ه‬‫خ‬ْ‫نآ‬ ‫ ا‬ ‫ِذ ي‬ِ‫ل‬َّ ‫ ا‬ ‫م‬ُ )‫ه‬ُ ) ‫ل‬َ‫ه‬ ‫ن‬َ‫ه‬ ‫ي‬ّ‫ َل‬‫ب‬َ‫ه‬‫ت‬ُ )‫ل‬ِ ‫إال‬ِ ‫ب‬َ‫ه‬ ‫ت ا‬َ‫ه‬‫ك‬ِ ‫ل‬ْ‫نآ‬‫ ا‬ ‫ك‬َ‫ه‬ ‫ي‬ْ‫نآ‬‫ل‬َ‫ه‬‫ع‬َ‫ه‬ ‫ن ا‬َ‫ه‬‫ل‬ْ‫نآ‬‫ِز‬َ‫ه‬ ‫ن‬ْ‫نآ‬‫أ‬َ‫ه‬ ‫م ا‬َ‫ه‬ ‫و‬َ‫ه‬٦٤ ) dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al Quran) ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. Ketiga ayat di atas menunjukan bahwa Nabi diperintahkan untuk menerangkan, menjelaskan dan memberi tafsiran mengenai wahyu yang telah diturunkan atas persoalan-persoalan yang diperselisihkan oleh umatnya dalam masalah-masalah keagamaan. Bentuk tafsirnya bisa berbentuk sunnah qauliyah, sunnah fi’liyah, atau sunnah taririyyah. Salah satu kelebihan tafsir Nabi adalah penafsiran beliau selalu dibantu dengan wahyu, sehingga apabila ada kekeliruan terhadap ijtihad Nabi yang terkait persoalan syariat wahyu lain akan turun memberi koreksi. Inilah salah satu makna kema’shuman Nabi. Setelah nabi Meninggal shahabat beliaulah yang banyak mendalami al-Qur’an yang menafsirkan al-Qur’an berdasar tuntunan yang telah diberikan Nabi dan apabila tidak ada mereka berijtihad. Mengenai Shahabat yang menafsirkan al-Qur’an para ulama berbeda pendapat Pertama
  • 3. mereka berpendapat bahwa semua shahabat sama pemahamannya terhadap ayat al-Qur’an, karena al-Qur’an diturunkan dalam bahasa arab, yang merupakan bahasa asli para shahabat Kedua sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa orang Arab juga termasuk para shahabat, tidak sama pengertian dan pemahamannya terhadap al-Qur’an, karena meskipun bahasa mereka namun didalamnya terdapat lapadz-lapdz gharib dan musykil yang hanya dapat diketahuai melalui pemahaman atau penjelasan dari Nabi. Dari kedua pendapat di atas, tampaknya pendapat kedua yang agak realistis, sebab disamping para shahabat memiliki tingkat kecerdasan yang tidak sama, ada faktor lain yang menyebabkan tingkat pemahaman mereka berbeda-beda yaitu perbedaan penguasaan bahasa, intensitas mendampingi Nabi, pengetahuan tentang adat istiadat orang jahiliyah dan pengetahuan tentang Yahudi dan Nasrani di Jazirah Arab ketika ketika Al-Qur’an turun. Aqwalu al Shahabah (perkataan para shahabat), oleh para ulama dihukumi sebagai hadits marfu (disandarkan kepada Rasullaloh), bila berkenaan dengan asbabun nujul dan semua hal yang tidak mungkin dimasuki akal (ra’yu). Sedangkan hal yang memungkinkan dimasuki akal, maka statusnya adalah mauquf (disandarkan kepada Shahabat). Sebagian ulama mewajibkan untuk mengambil tafsir yang mauquf pada shahabat, karena merekalah yang dianggap paling ahli dalam bahasa Arab dan menyaksikan langsung konteks dan situasi serta kondisi yang hanya diketahui oleh mereka, disamping pemahaman mereka yang benar. Menurut Abdul mustaqim tafsir shahabat adalah baik pada jamannya, sehingga jika sekarang kita melihat penfsiran yang tidak relevan lagi bahkan tidak ilmiah maka kita tidak harus mengikutinnya. Misalnya tentang penafsiran al-barqu (kilat) yang ditafsirkan dengan shawtul malak (suara malaikat). Sebagian ulama mufassir seperti Ibn Syaibah dan Ibn Aqil masih memperdebatkan riwayah tabi`in, karena tabi`in tidak mengetahui secara langsung turunnya ayat. Berbeda dengan Ikrima dan Ad-Dahhak bin Al-Muzahim yang menerima langsung otoritas mereka. Dalam pertentangan ini, Quraish Shihab memberikan pandangan bahwa penafsiran nabi dan sahabat dibagi menjadi dua yaitu La Maja li al Aql fihi (Masalah yang diungkapkan bukan dalam wilayah nalar) seperti masalah metafisika, dan Fi majal al-Aql (dalam wilayah nalar) seperti masalah kemasyarakatan Dibawah ini kami ketengahkan contoh-contoh tafsir bil riwayah (bil ma’tsur): Tafsir Al-Quran bil Quran ) ‫ن‬َ‫ه‬ ‫ري‬ِ ‫س‬ِ ‫خ ا‬َ‫ه‬ ‫ل‬ْ‫نآ‬‫ ا‬ ‫ن‬َ‫ه‬ ‫م‬ِ ‫ن‬َّ ‫ن‬َ‫ه‬‫كنو‬ُ ) ‫ن‬َ‫ه‬‫ل‬َ‫ه‬ ‫ن ا‬َ‫ه‬‫م‬ْ‫نآ‬ ‫ح‬َ‫ه‬ ‫ر‬ْ‫نآ‬ ‫ت‬َ‫ه‬‫و‬َ‫ه‬ ‫ن ا‬َ‫ه‬‫ل‬َ‫ه‬ ‫ر‬ْ‫نآ‬ ‫ف‬ِ‫غ‬ْ‫نآ‬ ‫ت‬َ‫ه‬ ‫م‬ْ‫نآ‬ ‫ل‬َ‫ه‬ ‫ن‬ْ‫نآ‬ ‫إ‬ِ‫و‬َ‫ه‬ ‫ن ا‬َ‫ه‬‫س‬َ‫ه‬ ‫ف‬ُ )‫ن‬ْ‫نآ‬‫أ‬َ‫ه‬ ‫ن ا‬َ‫ه‬‫م‬ْ‫نآ‬ ‫ل‬َ‫ه‬‫ظ‬َ‫ه‬ ‫ن ا‬َ‫ه‬‫ب‬َّ ‫ر‬َ‫ه‬ ‫ق اال‬َ‫ه‬٢٣ ) Artinya: … keduanya berkata, ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri. Dan apabila Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang merugi. (Q.S. Al-A’raf: 23)
  • 4. Ayat tersebut merupakan penjelasan bagi lafadz kalimat yang terdapat dalam surat al-baqarah ayat 37: ) ‫م‬ُ )‫حي‬ِ ‫ر‬َّ ‫ ال‬ ‫ب‬ُ ) ‫نو ا‬َّ ‫ت‬َّ ‫ ال‬ ‫نو‬َ‫ه‬ ‫ه‬ُ ) ‫ه‬ُ ) ‫ن‬َّ ‫إ‬ِ ‫ه‬ِ ‫ي‬ْ‫نآ‬‫ل‬َ‫ه‬‫ع‬َ‫ه‬ ‫ب‬َ‫ه‬ ‫ت ا‬َ‫ه‬‫ف‬َ‫ه‬ ‫ت‬ٍ ‫ي‬ ‫م ا‬َ‫ه‬ ‫ل‬ِ‫ك‬َ‫ه‬ ‫ه‬ِ ‫ب‬ّ‫ َل‬‫ر‬َ‫ه‬ ‫ن‬ْ‫نآ‬ ‫م‬ِ ‫م‬ُ )‫د‬َ‫ه‬‫نآ‬ ‫قآ ى‬َّ ‫ل‬َ‫ه‬‫ت‬َ‫ه‬‫ف‬َ‫ه‬٣٧ ) Artinya: … kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah maha penerima taubat lagi maha penyayang. Tafsir Al-Quran bil Hadits Artinya: Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan keimanan mereka dengan kedzaliman (syirik) mereka itu orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk. (Q.S. Al-An’am : 82) Rasulullah menafsirkan kata Dzalim dalam ayat ini dengan syirik. Penafsiran ini selaras dengan penegasan Allah dalam surat al-Lukman ayat 13: Artinya: … sesungguhnya menyekutukan Allah benar-benar kedzaliman yang besar. Tafsir Al-Quran dengan Perkataan Shahabat ‫م ا‬‫م‬‫م‬َ‫ه‬ ‫و‬َ‫ه‬ ‫لل‬َّ ِ ‫م ا‬‫م‬‫ب‬ِ ‫م‬ْ‫نآ‬ ‫م‬‫م‬‫ت‬ُ )‫ن‬ْ‫نآ‬‫م‬َ‫ه‬ ‫نآ‬ ‫م‬ْ‫نآ‬ ‫ت‬ُ )‫ن‬ْ‫نآ‬‫ك‬ُ ) ‫ن‬ْ‫نآ‬ ‫إ‬ِ ‫ل‬ِ ‫بي‬ِ‫س‬َّ ‫ ال‬ ‫ن‬ِ ‫ب‬ْ‫نآ‬‫و ا‬َ‫ه‬ ‫ن‬ِ ‫كي‬ِ ‫س ا‬َ‫ه‬ ‫م‬َ‫ه‬ ‫ل‬ْ‫نآ‬‫ ا‬‫و‬َ‫ه‬ ‫مآ ى‬َ‫ه‬ ‫ت ا‬َ‫ه‬‫ي‬َ‫ه‬‫ل‬ْ‫نآ‬‫ ا‬‫و‬َ‫ه‬ ‫بآ ى‬َ‫ه‬‫ر‬ْ‫نآ‬ ‫ق‬ُ )‫ل‬ْ‫نآ‬‫ ا‬ ‫ِذ ي‬ِ‫ل‬ِ‫و‬َ‫ه‬ ‫ل‬ِ ‫سنو‬ُ ) ‫ر‬َّ ‫لل‬ِ‫و‬َ‫ه‬ ‫ه‬ُ ) ‫س‬َ‫ه‬ ‫م‬ُ ) ‫خ‬ُ ) ‫لل‬َّ ِِ ‫ن‬َّ ‫أ‬َ‫ه‬‫ف‬َ‫ه‬ ‫ء‬ٍ ‫ي‬ ‫ي‬ْ‫نآ‬ ‫ش‬َ‫ه‬ ‫ن‬ْ‫نآ‬ ‫م‬ِ ‫م‬ْ‫نآ‬ ‫ت‬ُ )‫م‬ْ‫نآ‬ ‫ن‬ِ‫غ‬َ‫ه‬ ‫م ا‬َ‫ه‬ ‫ن‬َّ ‫أ‬َ‫ه‬ ‫منو ا‬ُ ) ‫ل‬َ‫ه‬‫ع‬ْ‫نآ‬ ‫و ا‬َ‫ه‬ ) ‫ر‬ٌ ‫دي‬ِ‫ق‬َ‫ه‬ ‫ء‬ٍ ‫ي‬ ‫ي‬ْ‫نآ‬ ‫ش‬َ‫ه‬ ‫ل‬ّ‫ َل‬ ‫ك‬ُ ) ‫لآ ى‬َ‫ه‬‫ع‬َ‫ه‬ ‫لل‬َّ ُ ) ‫و ا‬َ‫ه‬ ‫ن‬ِ ‫ع ا‬َ‫ه‬ ‫م‬ْ‫نآ‬ ‫ج‬َ‫ه‬ ‫ل‬ْ‫نآ‬‫ ا‬ ‫قآ ى‬َ‫ه‬‫ت‬َ‫ه‬‫ل‬ْ‫نآ‬‫ ا‬ ‫م‬َ‫ه‬‫نو‬ْ‫نآ‬ ‫ي‬َ‫ه‬ ‫ن‬ِ ‫ق ا‬َ‫ه‬‫ر‬ْ‫نآ‬ ‫ف‬ُ )‫ل‬ْ‫نآ‬‫ ا‬ ‫م‬َ‫ه‬‫نو‬ْ‫نآ‬ ‫ي‬َ‫ه‬ ‫ن ا‬َ‫ه‬‫د‬ِ‫ب‬ْ‫نآ‬‫ع‬َ‫ه‬ ‫لآ ى‬َ‫ه‬‫ع‬َ‫ه‬ ‫ن ا‬َ‫ه‬‫ل‬ْ‫نآ‬‫ِز‬َ‫ه‬ ‫ن‬ْ‫نآ‬‫أ‬َ‫ه‬٤١ ) ketahuilah, Sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, Maka Sesungguhnya seperlima untuk Allah, rasul, Kerabat rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil, jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqaan, Yaitu di hari bertemunya dua pasukan. dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Maksudnya: seperlima dari ghanimah itu dibagikan kepada: a. Allah dan RasulNya. b. Kerabat Rasul (Banu Hasyim dan Muthalib). c. anak yatim. d. fakir miskin. e. Ibnussabil. sedang empat-perlima dari ghanimah itu dibagikan kepada yang ikut bertempur. Ibnu Abbas menafsirkan ketika Rasulalloh hidup, seperlima ghanimah dibagikan kepada yang berhak menerimanya, seperti yang tercantum diatas. Setelah nabi wafat, gugurlah hak Nabi dan kerabatnya. Hal ini disandarkan pada tradisi Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali di masa kekhalifahan mereka yang hanya membagi pada tiga bagian yaitu, anak yatim, orang miskin dan ibnu sabil. Namun, tafsir bil riwayah juga banyak mendapat kritik keras sebab banyak riwayat-riwayat hadits shahih bercampur dengan riwayat hadits yang tidak shahih atau bercampur dengan Israiliyat.
  • 5. Misalnya seperti kata Goldziher, Ibnu Abbas telah mengutip secara bebas dan tanpa batas dari Ahlu Kitab tuduhan serupa dilontarkan Ahmad Amin. Namun hal ini disanggah oleh Muhammad Husain adz-Dzahabi, bahwa Ibnu Abbas tidak bertanya kepada Ahli Kitab yang berhubungan dengan masalah akidah, pokok-pokok agama atau cabangnya, tetapi hanya menerima keterangan yang tidak diragukan lagi kebenarannya mengenai kisah dan cerita- cerita orang dahulu. Tafsir bi al Riwayah memiliki keistimewaan antara lain (a)Menekankan pentingnya bahasa dalam memahami al-Qur’an. (b) Memaparkan ketelitian redaksi ayat ketika menyampaikan pesan- pesannya (c) mengikat mufassir dalam bingkai teks ayat-ayat sehingga membatasi terjerumus dalam subyektivitas yang berlebihan. Sedangkan kelemahannya adalah (a) Terjerumusnya muffasir ke dalam uraian kebahasaan yang bertele-tele sehingga mengaburkan pesan pokok al-Qur’an (b) Terjadi pemalsuan dalam tafsir (c) Masuknya unsur Israilliyat yang didefinisikan sebagai unsur-unsur yahudi dan nasrani ke dalam penafsiran Al-Qur`an,(d) Penghilangan sanad. Diantara kitab-kitab tafsir bil ma’tsur atau tafsir bil riwayah diantaranya: 1. Tafsir Jamiul Bayan karya Ibn Jarir ath Thabari 2. Tafsir Bustan karya Abu Laits Samarqandyi 3. Tafsir Ma’alimut Tanzil karya Al-Baghawy 4. Tafsir Al-Quran al Adzim karya al Hafidz Ibn Katsir. Dll Tafsir bi al-Dirayah Menurut M. Aly Ash-Shabuny: “Tafsir bi Ar-Ra’yi adalah Ijtihad yang didasarkan kepada dasar-dasar yang shahih, kaidah yang murni dan tepat, biasa diikuti dan sewajarnya diambil oleh orang yang hendak mendalami tafsir al-Qur’an atau mendalami pengertiannya, dan bukan berarti menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan kata hati atau kehendak sendiri.” Tafsir Bi Al-Ra’yi yaitu menafsirkan Al-Qur’an dengan kekuatan penalaran dan unsur-unsur keilmuan yang berkembang didunia Islam yang memang berkaitan dengan teks serta isyarat- isyarat ilmiah yang datang dari Al-Qur’an sendiri atau dengan kata lain seorang mufassir menafsirkan makna teks dengan menggunakan akal / penalaraan (Rasio). Yang dimaksud dengan rasio adalah antonim (lawan) nash dan riwayat. Oleh karena itu, dinamakan dengan tafsir bi al-Dirayah, (dengan rasio) sebagai antitesis tadsir-tafsir bir-riwayah (dengan riwayat). Al-Bhaihaqi meriwayatkan dalam asy-Sya’ab dari Imam Malik, beliau berkata bahwa jika ada seseorang yang tidak mengetahui ilmu bahasa arab, kemudian ia menafsirkan kitab Allah maka datanglah ia kepadaku, niscaya akan aku hajar dia. Setelah berakhir masa salaf sekitar abad ke-13 H dan peradaban Islam semakin maju dan berkembang berbagai mazhab dan aliran dikalangan umat Islam. Masing-masing golongan berusaha meyakinkan umat dalam rangka mengembangkan paham mereka. Untuk mencapai maksud itu, mereka mencari ayat-ayat Al-Qur’an dan hadist-hadist Nabi saw, lalu mereka
  • 6. tafsirkan sesuai dengan keyakinan mereka anut. Ketika inilah berkembang apa yang disebut dengan tafsir bi al-ra’y (tafsir melalui pemikiran atau ijtihad). Kaum fuqaha menafsirkannya dari sudut pandang hukum fiqh, seperti yang dilakukan oleh Al-Jashshash, al-Qurtubi, dan lain-lain; kaum teolog menafsirkannya dari sudut pemahaman teologis seperti al-Kasysyaf, karangan al-Zamakhsyari; dan kaum sufi juga menafsirkan Al-qur’an menurut pemahaman dan pengalaman batin mereka seperti Tafsir al-Qur’an al-Azhim oleh al-Tustari, Futuhat Makiyyat, oleh Ibn ‘Arabi dan lain-lain. Selain itu dalam bidang bahasa dan qiraat juga lahir tafsir, seperti Tasir Abi al-Su’ud oleh Abu al-Su’ud, al-Bahr al-Muhith oleh Abu Hayyan ; dan lain-lain. Dari sinilah mengapa tafsir begitu banyak, karena begitu banyak sudut pandang menafsirkan Al-Qur’an dengan ra’yu dikalangan ulama-ulama muta’akhirin sehingga tak heran jika sekarang abda modern lahir lagi tafsir menurut tinjauan sosiologis dan sastra Arab seperti Tafsir Al-manar dan dalam bidang sains muncul pula karya Jawahir Thanthawi dengan Tafsir al-Jawahir. Begitu pesat perkembangan tafsir bi al-ra’yu, maka benar sekali apa yang dikatakan oleh Manna’ al-Qaththan bahwa tafsir bi al-ra’yu telah mengalahkan perkembangan tafsir al-ma’tsur. Menafsirkan Al-Qur’an dengan menggunakan akal dan ijtihad tanpa menggunakan sumber dari Rasulullah SAW dengan menjaga dari dhaif (kelemahan), mengambil atau merujuk dari perkataan sahabat, dan tidak melenceng atau keluar dari kaidah-kaidah syariah. Sebagaimana Firman Allah : ‫م‬ٌ …‫لللللللللللللللللللللللللللللل‬ْ‫ٌم‬‫ع‬ِ‫ل‬ ‫ه‬ِ‫ل‬ ‫بللللللللللللللللللللللللللللل‬ِ‫ل‬ ‫ك‬َ ‫ب‬ ‫لللللللللللللللللللللللللللللل‬َ ‫ب‬ ‫س‬َ ‫ب‬ ‫ي‬ْ‫ٌم‬‫ل‬َ ‫ب‬‫لا‬‫مللللللللللللللللللللللللللللل‬َ ‫ب‬ ‫ف‬ُ ‫م‬ ‫قللللللللللللللللللللللللللللل‬ْ‫ٌم‬‫ت‬َ ‫ب‬‫ال‬َ ‫ب‬ ‫و‬َ ‫ب‬ …….‫الةية‬ Janganlah mengikuti apa yang kamu tidak ilmu padanya (Al-Isra : 36) Dan sabda Rasulullah saw. ‫ه‬ِ‫ل‬ ‫لللللللللل‬‫ل‬‫ةي‬ِ‫أل‬ْ‫ٌم‬‫ر‬َ ‫ب‬ ‫ب‬ِ‫ل‬ ‫ن‬ِ‫ل‬ ‫را‬ْ‫ٌم‬ ‫لللللللللل‬‫ل‬‫ق‬ُ ‫م‬‫ال‬ْ‫ٌم‬ ‫لللللللللل ي‬‫ل‬‫ف‬ِ‫ل‬ ‫ل‬َ ‫ب‬ ‫لللللللللللا‬‫ل‬‫ق‬َ ‫ب‬ ‫ن‬ْ‫ٌم‬ ‫لللللللللل‬‫ل‬‫م‬َ ‫ب‬ } : ‫م‬َ ‫ب‬‫ل‬َّ‫م‬‫ل‬‫للللللللل‬‫ل‬‫س‬َ ‫ب‬ ‫و‬َ ‫ب‬ ‫ه‬ِ‫ل‬ ‫لللللللللل‬‫ل‬‫ي‬ْ‫ٌم‬‫ل‬َ ‫ب‬‫ع‬َ ‫ب‬ ‫لللللللللل‬‫ل‬‫هلل‬ُ ‫م‬ ‫ا‬ ‫لا ى‬َّ‫م‬‫ل‬‫للللللللل‬‫ل‬‫ص‬َ ‫ب‬ ‫ل‬َ ‫ب‬ ‫لللللللللللا‬‫ل‬‫ق‬َ ‫ب‬‫و‬َ ‫ب‬ ‫حسن‬ ‫هذا‬ : ‫الترمذي‬ ‫وقلال‬ ، ‫والنسلائ‬ ‫الترمذي‬ ،‫داود‬ ‫أبو‬ ‫رأ{أخرجه‬ِ‫ل‬ ‫نلا‬َّ‫م‬‫ال‬ ‫ن‬َ ‫ب‬ ‫م‬ِ‫ل‬ ‫ه‬ُ ‫م‬‫د‬َ ‫ب‬‫ع‬َ ‫ب‬ ‫ق‬ْ‫ٌم‬‫م‬َ ‫ب‬ ‫ؤ‬ْ‫ٌم‬ ‫ب‬َ ‫ب‬‫ت‬َ ‫ب‬‫ي‬َ ‫ب‬‫ل‬ْ‫ٌم‬‫ف‬َ ‫ب‬ ‫م‬ْ‫ٌم‬ ‫ل‬َ ‫ب‬‫ع‬ْ‫ٌم‬ ‫ةي‬َ ‫ب‬ ‫ال‬َ ‫ب‬ ‫ملا‬َ ‫ب‬ ‫ب‬ِ‫ل‬ ‫و‬ْ‫ٌم‬ ‫أ‬َ ‫ب‬ “Barang siapa yang menafsirkan al-qur’an dengan akalnya atau dengan apa yang ia tidak tahu maka akan tempatnya dineraka”. Dan para ulama salaf tidak membenarkan hal ini yaitu menafsirkan, yang mereka tidak mempunyai standarisasi keilmuan para mufassirin dalam hal menafsirkan Al-Qur’an. Meskipun tafsir bi-al-ra’yu berkembang dengan pesat, namun dalam menerimanya para ulama terbagi menjadi dua : ada yang membolehkan dan ada pula yang mengharamkannya. Tapi setelah diteliti, ternyata kedua pendapat ini hanyalah bertentangan dari segi lafzhi saja (Redaksional). Maksudnya kedua pihak sama-sama mencela penafsiran yang berdasarkan ra’yu (pemikiran) semata (hawa nafsu) tanpa memandang / mengindahkan kaidah-kaidah dan kriteria-kriteria yang berlaku. Penafsiran inilah yang di haramkan oleh Ibnu Taimiyyah. Sebaliknya, keduanya sepakat membolehkan penafsiran Al-Qur’an dengan ijtihad berdasarkan Al-Qur’an dan sunnah Rasul serta kaidah-kaidah yang mu’tabarat. Adapun hadist-hadist yang menyatakan bahwa para ulama salaf lebih suka diam daripada menafsirkan Al-Qur’an, sebagaimana ditulis Ibn Taymiyah : “Mereka senantiasa membicarakan apa-apa yang mereka ketahui dan mereka diam pada hal-hal yang tidak mereka ketahui. Inilah kewajiban setiap orang (lanjutnya), ia harus diam kalau tidak tahu,
  • 7. dan sebaliknya harus menjawab jika ditanya tentang sesuatu yang diketahuinya Pendapat Ibn Taimiyat ini ada benarnya karena didukung oleh Al-Qur’an antara lain terdapat di dalam surat Ali ‘Imran : ‫عمران‬ ‫ءال‬ ‫سلللللورة‬ } ‫ه‬ُ ‫م‬ ‫ن‬َ ‫ب‬‫مو‬ُ ‫م‬ ‫ت‬ُ ‫م‬‫ك‬ْ‫ٌم‬ ‫ت‬َ ‫ب‬‫ال‬َ ‫ب‬ ‫و‬َ ‫ب‬ ‫س‬ِ‫ل‬ ‫نلا‬َّ‫م‬‫لل‬ِ‫ل‬ ‫ه‬ُ ‫م‬ ‫ن‬َّ‫م‬‫ن‬ُ ‫م‬‫ي‬ِّ‫ن‬‫ب‬َ ‫ب‬‫ت‬ُ ‫م‬‫ل‬َ ‫ب‬187 } (Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada menusia dan tidak menyembunyikannya) Dan dipertegas lagi oleh hadist yang shahih dari Ibn ‘umar : ‫ر‬ِ‫ل‬ ‫نلا‬َّ‫م‬‫ال‬ ‫ن‬َ ‫ب‬ ‫م‬ِ‫ل‬ ‫م‬ِ‫ل‬‫جلا‬َ ‫ب‬ ‫ل‬ِ‫ل‬‫ب‬ِ‫ل‬ ‫ة‬ِ‫ل‬ ‫م‬َ ‫ب‬ ‫يلا‬َ ‫ب‬‫ق‬ِ‫ل‬‫ال‬ْ‫ٌم‬ ‫م‬َ ‫ب‬‫و‬ْ‫ٌم‬ ‫ةي‬َ ‫ب‬ ‫م‬َ ‫ب‬‫ج‬ِ‫ل‬ ‫ل‬ْ‫ٌم‬‫أ‬ُ ‫م‬ ‫ه‬ُ ‫م‬ ‫م‬َ ‫ب‬ ‫ت‬َ ‫ب‬‫ك‬َ ‫ب‬ ‫ف‬َ ‫ب‬ ‫م‬ٍ ‫ف‬‫ل‬ْ‫ٌم‬‫ع‬ِ‫ل‬ ‫ن‬ْ‫ٌم‬ ‫ع‬َ ‫ب‬ ‫ل‬َ ‫ب‬ ‫ئ‬ِ‫ل‬‫س‬ُ ‫م‬ ‫ن‬ْ‫ٌم‬ ‫م‬َ ‫ب‬ . Barang siapa ditanya tentang sesuatu yang diketahuinya, lalu ia diam, maka ia akan dikekang pada hari kiamat dengan kekang api neraka. Jadi diamnya ulama salaf dari penafsiran suatu ayat bukan karena tidak mau menafsirkan dan bukan pula karena dilarang menafsirkan, melainkan karena kesangat hati-hatian mereka supaya tidak masuk ke dalam apa yang disebut dengan takhmin (perkiraan, spekulasi) dalam menafsirkan Al-Qur’an apabila ini terjadi, ancamannya amat berat : masuk neraka, sebagaimana yang dimaksud oleh hadist riwayat al-Tirmidzi. Tafsir Bi Al Ra’yi terbagi menjadi 2 macam :  Tafsir Bi Al Ra’yi Al – Jaiz ( Mahmud)  Tafsir Bi Al Ra’yi Al – Jaiz (Mazmum) Sebagaimana yang kita bahwa Tafsir Bi Al Ra’yi menafsirkan Al-Qur’an dengan penalaran dan unsur – unsur keilmuan didunia islam atau dengan kata lain seorang mufassir harus memenuhi kriteria keilmuan, seperti : ( Bahasa Arab, Nahwu, shorof, Balaghoh, usul fiqh, tauhid, asbabun nuzul, sejarah, naasikh mansukh, hadist-hadist penjelas ayat-ayat Al-Qur’an, fakih dan terakhir ilmu pemberian dari Allah SWT). Mereka juga mensyaratkan kebersihan hati dari penyakit kibr, hawa nafsu, bid’ah, cinta dunia dan senang melakukan dosa. Ini semua adalah yang menghalangi hatinya untuk mencapai pengetahuan yang benar yang diturunkan oleh Allah SWT. Hal ini seperti firman Allah SWT : “Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alas an yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku….”(al-A’raf : 146) Tafsir Bi Al Ra’yi Al – Jaiz ( Mahmud) yaitu apabila penafsirannya itu sesuai kaidah yang ada jauh dari segala kebodohan dan kesesatan maka tafsir ini mahmud jika tidak maka tercela (mazmum). Tafsir Bi Al Ra’yi wajib memperhatikan dan berpegang apa yang dibawa nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya supaya dapat menerangi pemikiran mufassir dengan akalnya, harus bagi seorang mufassir mengetahui kaidah-kaidah lughoh dan mengetahui uslub-uslubnya (manhaj).
  • 8. Ada yang mungkin bertanya, apakah boleh menafsirkan Al-Qur’an dengan rasio. Padahal, ada hadist dari Nabi saw yang melarang perbuatan itu ? juga ada riwayat yang menyebutkan bahwa sebagian sahabat dan para pembesar ulama tabi’in amat takut untuk sembarangan menafsirkan Al-Qur’an, padahal mereka adalah orang-orang yang demikian tinggi keilmuan dan ketaqwaannya ? lantas mengapa sekarang kita ingin masuk dalam masalah yang dahulu mereka takut untuk memasukinya, atau hati-hati terhadapnya? Imam Abu Ja’Farath-Thabari telah menjelaskan hal itu dalam pembukaan tafsirnya Jami’Bayan Al-Qur’an dan Iman Abu Muhammad Ibnu Qutaibah dalam kitab Takwil Musykilul-Qur’an. Dan Imam al-Baihaqi dalam kitab al-Madkhal. Demikian juga Imam al- Ghazali dalam Ihya Ulumuddin dan adab Tilawatil-Qur’an. Dalil orang-orang yang mencegah dan melarang tafsir bir-ra’yi adalah hadist Ibnu Abbas secara marfu’ {‫هأ‬ِ‫ل‬ ‫ةيللللللللللللللللللللللللللللل‬ِ‫أل‬ْ‫ٌم‬‫ر‬َ ‫ب‬ ‫ب‬ِ‫ل‬ ‫ن‬ِ‫ل‬ ‫را‬ْ‫ٌم‬ ‫قللللللللللللللللللللللللللللل‬ُ ‫م‬‫ال‬ْ‫ٌم‬ ‫فللللللللللللللللللللللللللللل ي‬ِ‫ل‬ ‫ل‬َ ‫ب‬ ‫قللللللللللللللللللللللللللللللا‬َ ‫ب‬ ‫ن‬ْ‫ٌم‬ ‫مللللللللللللللللللللللللللللل‬َ ‫ب‬ ‫الترمذي‬ ‫رأ{أخرجه‬ِ‫ل‬ ‫نلا‬َّ‫م‬‫ال‬ ‫ن‬َ ‫ب‬ ‫م‬ِ‫ل‬ ‫ه‬ُ ‫م‬‫د‬َ ‫ب‬‫ع‬َ ‫ب‬ ‫ق‬ْ‫ٌم‬‫م‬َ ‫ب‬ ‫ؤ‬ْ‫ٌم‬ ‫ب‬َ ‫ب‬‫ت‬َ ‫ب‬‫ي‬َ ‫ب‬‫ل‬َ ‫ب‬ْ‫ٌم‬‫ف‬ُ ‫مم‬َ ‫ب‬‫عل‬ْ‫ٌم‬ ‫ةي‬َ ‫ب‬ ‫ال‬َ ‫ب‬ ‫بملا‬َ ‫ب‬ِ‫ول‬ْ‫ٌم‬ ‫أ‬َ ‫ب‬ “Barangsiapa yang mengatakan sesuatu tentang Al-Qur’an dengan pendapatnya sendiri, maka siap-siaplah untuk menempati tempat di neraka”. {‫أأ‬َ ‫ب‬‫ط‬َ ‫ب‬ ‫خ‬ْ‫ٌم‬ ‫أ‬َ ‫ب‬ ‫د‬ْ‫ٌم‬ ‫ق‬َ ‫ب‬‫ف‬َ ‫ب‬ ‫ب‬َ ‫ب‬ ‫صلا‬َ ‫ب‬ ‫أ‬َ ‫ب‬‫ف‬َ ‫ب‬ ‫ه‬ِ‫ل‬ ‫ةي‬ِ‫أل‬ْ‫ٌم‬‫ر‬َ ‫ب‬ ‫ب‬ِ‫ل‬ ‫ن‬ِ‫ل‬ ‫را‬ْ‫ٌم‬ ‫ق‬ُ ‫م‬‫ال‬ْ‫ٌم‬ ‫ف ي‬ِ‫ل‬ ‫ل‬َ ‫ب‬ ‫قلا‬َ ‫ب‬ ‫ن‬ْ‫ٌم‬ ‫م‬َ ‫ب‬ } “Barangsiapa yang mengatakan sesuatu tentang Al-Qur’an dengan pendapatnya sendiri, kemudian ia tepat telah membuat kesalahan. Dan yang memperkuat hal itu adalah keengganan dan penolakan sahabat dan tabi’in terhadap tafsir Al-Qur’an. Diriwayatkan dari Abu Bakar ia berkata, “bagian bumi mana yang akan menahanku, dan langit yang mana yang akan menaunginya, jika aku mengatakan tentang Kitab Allah apa yang aku tidak ketahui?. Ibnu Abi Malikah berkata bahwa Ibnu Abbas pernah ditanya tentang satu ayat, yang jika ditanyakan kepada salah seorang kalian pasti akan menjawabnya. Namun, Ibnu Abbas menolak untuk menjawabnya. Demikian juga dengan para fuqaha tabi’in, mereka takut tehadap tafsir bir-ra’yi, fuqaha Kufah, dan lainnya. Imam Abu Ja’far ath-Thabari meriwayatkan dalam mukadimah kitab tafsirnya dengan sanadnya dari Abdullah bin Umar. Ia berkata, “Aku menemui fuqaha “madinah, dan mereka berkata keras tentang tafsir (dengan rasio). Di antara mereka adalah Salim bin Abdullah, Qasim bin Muhammad, Sa’id bin Musayyab dan Nafi.” Ia meriwayatkan dengan sanadnya juga dari Yahya bin Sa’id, dari Sa’id bin Musayab bahwa ia jika ditanya tentang tafsir suatu ayat Al- Qur’an, ia akan berkata, “Aku tidak ingin memberikan komentar terhadap Al-Qur’an sedikitpun.” Diriwayatkan dari Yahya bin Sa’id dari Ibnu Musayab bahwa ia hanya berbicara tentang hal-hal yang telah umum diketahui tentang Al-Qur’an. Dari Ibnu Sirin bahwa Abidah as-Salmani bertanya tentang suatu ayat. Ibnu Sirin menjawab bahwa engkau harus mengikuti jalan lurus, karena sesungguhnya sudah tidak ada lagi orang-orang yang mengetahui tentang masalah-masalah yang padanya Al-Qur’an turun. Dari Walid bin Muslim, ia berkata, “Thalq bin Habib datang kepada Jundub bin Abdullah, ia kemudian bertanya kepadanya tentang satu ayat Al-Qur’an. “ia menjawab,”aku merasa tidak enak terhadapmu, jika aku seorang muslim sedang engkau tidak duduk bersamaku. “Dari Yazid bin Abi Yazid, ia berkata, ia berkata, “Kami bertanya kepada Sa’id bin Musayab tentang halal dan haram, dan ia adalah orang yang paling tahu tentang hal itu. Namun, jika kami bertanya kepadanya tentang tafsir suatu ayat Al-Qur’an, ia akan diam seakan tidak mendengar.” Amru bin Murrah berkata, ” seseorang
  • 9. bertanya kepada Sa’id bin Musayab tentang satu ayat Al-Qur’an, lalu dijawabnya bahwa jangan tanyakan kepadaku tentang Al-Qur’an, namun tanyakan orang yang dikenal tahu segala sesuatu yaitu Ikrimah.” Dari Abdullah bin Abi safar. Asy-Syabi berkata,”Demi Allah, setiap satu ayat aku telah tanyakan tafsirnya, namun semuanya adalah riwayat dari Allah SWT. Jawaban tentang hadist yang telah disebutkan tadi jika sahih sekalipun ia mempunyai kemungkinan dua pengertian. Pertama, yang dimaksud dengan ar-ra’yu (rasio) itu adalah hawa nafsu. Yaitu, menyeret Al-Qur’an untuk memperkuat hawa nafsunya dan pemikiran yang ia anut. Dengan ini maka Al-Qur’an menjadi pengikut, bukan yang diikuti, di hukumi bukan menjadi hakim, dan menjadi cabang bukan pokok. Artinya pemikiran, keyakinan dan mazhab-mazhab itulah yang membuat orang yang menafsirkan Al-Qur’an atau berdalil dengannya, mencekik ayat itu dan menyeretnya untuk mendukung pemikiran dan keyakinannya. Kedua, makna hadist itu adalah mencela orang yang berani menafsirkan Al- Qur’an sebelum memiliki perangkat yang seharusnya dan dibutuhkan dalam menafsirkan Al- Qur’an, hadist-hadist yang sahih, dan riwayat dari sahabat tentang asbabun nuzul dan sejenisnya, serta apa pernah dikatakan oleh para penafsir salaf dari hadzf, idhmar, taqdim, ta’khir dan sejenisnya yang mengeluarkan pengertian lafaz dari zhahirnya. Sedangkan,orang yang berpendapat tantang Al-Qur’an sekedar dengan rasio, maka ia adalah orang yang salah, meskipun benar, karena ia melakukan sesuatu yang ia tidak ketahui sama sekali, dan menjalankan sesuatu yang tidak diperintahkan kepadanya. Maka jika pun ia tepat dalam memahami makna pada saat itu, namun pada saat yang ia tetap salah, karena ia melakukan sesuatu tidak sebagaimana seharusnya. Sedangkan riwayat yang disampaikan dari sebagian salaf, yang melarang melakukan penafsiran, tampaknya mereka menahan diri karena kewaraan dan kehati-hatian diri mereka, Dan itu tidak kontradiksi, karena mereka berbicara dalam batas yang mereka ketahui, dan mereka diam terhadap apa yang mereka tidak ketahui. Ini adalah kewajiban setiap orang. Dan sebagaimana wajib berdiam diri terhadap apa yang tidak diketahui, wajib juga untuk mengatakan apa yang diketahui jika ditanya, dengan dalil firman Allah SWT, ‫ه‬ُ ‫م‬ ‫ن‬َ ‫ب‬‫مو‬ُ ‫م‬ ‫ت‬ُ ‫م‬‫ك‬ْ‫ٌم‬ ‫ت‬َ ‫ب‬‫ال‬َ ‫ب‬ ‫و‬َ ‫ب‬ ‫س‬ِ‫ل‬ ‫نلا‬َّ‫م‬‫لل‬ِ‫ل‬ ‫ه‬ُ ‫م‬ ‫ن‬َّ‫م‬‫ن‬ُ ‫م‬‫ي‬ِّ‫ن‬‫ب‬َ ‫ب‬‫ت‬ُ ‫م‬‫ل‬َ ‫ب‬ ” Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia dan jangan kamu menyembunyikannya. (Ali Imran : 187) Inilah pemahaman yang benar terhadap hadist Nabi dan atsar yang diriwayatkan dari sahabat dan tabi’in. berbeda dengan orang yang hanya membatasi tafsir semata pada naql dan riwayat, inilah yang ditolak oleh para ulama besar. Az-Zarkasyi mengatakan dalam burhan bahwa syekh Abu Hayyan pengarang kitab al-Bahrul Muhith dalam bidang tafsir menceritakan tentang sebagian orang yang sezaman dengannya bahwa penuntut ilmu tafsir dalam memahami makna-makna redaksional Al-Qur’an harus mengambil dari riwayat Mujahid, Thawus, Ikrimah dan semacamnya dan pemahaman ayat-ayat bergantung pada hal itu. Setelah itu ia menolak keras pendapat tadi, sambil berdalil dengan atsar Ali r.a. bahwa Nabi Muhammad saw tidak memberikan sesuatu yang khusus kepadanya, kecuali pemahaman yang diberikan Allah SWT kepada hamba-Nya tentang Kitab Allah. Sebelum itu dinukilkan dari Imam Abi Hasan al-Mawardi dalam Nuktahnya bahwa sebagian orang hati-hati memahami hadist, ” Siapa yang menafsirkan Al-Qur’an dengan rasionya………. “
  • 10. Sesuai dengan zahirnya, dan menolak untuk menyimpulkan makna-makna al-Qur’an dengan Ijtihadnya, meskipun dibantu dengan dalil-dalil penguat dan dalil-dalil itu tidak bertentangan dengan nash yang sharih. Ia berkata bahwa ini merupakan tindakan menghindar dari seharusnya, yaitu beribadah dengan mengkaji Al-Qur’an dan menyimpulkan hukum-hukum darinya, seperti firman Allah SWT, …. : ‫}النسلاء‬ .…‫م‬ْ‫ٌم‬ ‫ه‬ُ ‫م‬ ‫ن‬ْ‫ٌم‬‫م‬ِ‫ل‬ ‫ر‬ِ‫ل‬ ‫م‬ْ‫ٌم‬ ‫ل‬َ ‫ب‬ ‫ا‬ْ‫ٌم‬ ‫لا ى‬ِ‫ل‬‫و‬ْ‫ٌم‬ ‫أ‬ُ ‫م‬ ‫لا ى‬َ ‫ب‬‫إ‬ِ‫ل‬‫و‬َ ‫ب‬ ‫ل‬ِ‫ل‬ ‫سو‬ُ ‫م‬ ‫ر‬َّ‫م‬ ‫ال‬ ‫لا ى‬َ ‫ب‬‫إ‬ِ‫ل‬ ‫ه‬ُ ‫م‬‫دو‬ُّ‫و‬‫ر‬َ ‫ب‬ ‫و‬ْ‫ٌم‬ ‫ل‬َ ‫ب‬‫و‬َ ‫ب‬83 } ….tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka Rasul dan Ulil Amri (an-Nisa : 83) Jika kita ambil sikap yang mereka ambil benar, niscaya tidak ada sesuatu yang diketahui dari hasil penyimpulan dan pengkajian, serta akibatnya sebagian besar kitab Allah tidak dapat dipahami sama sekali. Imam Zarkasyi berkata bahwa yang tepat adalah, ilmu tafsir, diantaranya ada yang bergantung pada naql (riwayat), seperti sababun nuzul, naskh, mubham dan tabyiinul mujmal, dan yang lainnya yang tidak bergantung pada hal itu, dan untuk mengetahuinya cukup dengan bertafaquh (menyelidiki dan merenungkannya) dengan cara yang benar. Ia kemudian berkata bahwa Al-Qur’an ada dua bagian : salah satunya penafsirannya dengan naql (riwayat) dari orang yang diambil penafsirannya. Dan, bagian lainnya tidak dengan naql itu. Yang kesatu, ada tiga macam tafsir. Pertama bisa datang dari Nabi saw, kedua dari sahabat, dan ketiga dari para tokoh tabi’in. pertama yang dikaji adalah kesahihan sanad. kedua yang dikaji adalah tafsir para sahabat ; jika ia menafsirkannya dari segi bahasa, mereka adalah ahli bahasa arab, sehingga kita ragu untuk menerimanya. Jika ia menafsirkan sesuai dengan apa yang ia saksikan, dari asbabun nuzul dan qarain yang menyertainya, maka tidak diragukan. Saat itu, jika pendapat sekelompok sahabat saling bertentangan, seandainya dapat disimpulkan dan disatukan, maka hal itu dapat dilakukan. Namun jika tidak, maka tafsir Ibnu Abbas didahulukan ; karena Nabi Muhammad saw, telah memberitakan tentang keunggulan tafsir Ibnu Abbas, beliau berdoa, ” Ya Allah ajarkanlah dia takwil (ilmu tafsir).” Sedangkan, ketiga-yaitu tafsir para tokoh tabi’in – jika mereka tidak me-marfu’nya (menisbatkan langsung) kepada Rasulullah saw, juga tidak kepada salah seorang sahabat, jika boleh taklid maka tafsir itu dapat diambil. Dan, jika tidak maka dalam hal itu wajib ijtihad. Yang kedua, yang padanya tidak terdapat riwayat pendapat dari para mufasir generasi pertama, dan bagian ini sedikit. Cara untuk sampai kepada pemahamannya adalah dengan memperhatikan dan meneliti kata-kata lafalnya ditinjau dari sastra bahasa arab, dan pengertiannya, serta penggunaannya berdasarkan konteksnya. Hal ini telah dilakukan dengan cukup serius oleh ar-Raghib al-ashfahani dalam kitabnya al-mufradat, ia menyebutkan tambahan batasan dari batasan ahli sastra arab dalam menafsirkan pengertian lafal, karena ia mengartikannya dengan melihat konteksnya. Dapat dilihat disini, Imam Zarkasyi menyebut sikap muqallid (orang yang bertaklid) terhadap para sahabat dan tabi’in, jika pendapat itu saling bertentangan dan tidak mungkin disarikan menjadi satu, yaitu memilih pendapat mana saja yang ia mau. Namun, ini bukan sikap yang terbaik. Sebaliknya, seorang yang berpengetahuan yang telah menyempurnakan perangkat-perangkat tafsirnya, wajib untuk berijtihad dalam mengunggulkan pendapat-pendapat itu, terutama yang dihasilkan dari rasio dan kesimpulan pribadi bahkan ia dapat menambahkan pemahaman yang baru. Contoh tafsir bil al-ra’yi : kata ‫لللللللللللللللللللللم‬‫ل‬‫عليه‬ ‫لللللللللللللللللللللت‬‫ل‬‫انعم‬
  • 11. di dalam ayat ke-7 dari al-Fatihah ditafsirkan dengan ayat ke-69 dari an-nisa ‫والصديقين‬ ‫النبيين‬ ‫من‬ ‫..والشهداء‬ Meskipun penafsiran ini ayat dengan ayat, tapi ia tetap masuk kategori tafsir bi al-ra’y karena tafsiran tersebut tidak diwarisi dari Nabi saw atau sahabat beliau, melainkan berasal dari ijtihad ulama tafsir. Tafsir bi al-Isyari Tafsir bil-isyarah atau tafsirul isyari adalah takwil Al Quran berbeda dengan lahirnya lafadz atau ayat, karena isyarat-isyarat yang sangat rahasia yang hanya diketahui oleh sebagian ulul ‘ilmi yang telah diberi cahaya oleh Allah swt dengan ilham-Nya. Atau dengan kata lain, dalam tafsirul isyari seorang Mufassir akan melihat makna lain selain makna zhahir yang terkandung dalam Al Qur’an. Namun, makna lain itu tidak tampak oleh setiap orang, kecuali orang-orang yang telah dibukakan hatinya oleh Allah swt. Tafsir Isyari menurut Imam Ghazali adalah usaha mentakwilkan ayat-ayat Alquran bukan dengan makna zahirnya malainkan dengan suara hati nurani, setelah sebelumnya menafsirkan makna zahir dari ayat yang dimaksud. Ibnu Abbas berkata: Sesungguhnya Al Qur’an itu mengandung banyak ancaman dan janji, meliputi yang lahir dan bathin. Tidak pernah terkuras keajaibannya, dan tak terjangkau puncaknya. Barangsiapa yang memasukinya dengan hati-hati akan selamat. Namun barangsiapa yang memasukinya dengan ceroboh, akan jatuh dan tersesat. Ia memuat beberapa khabar dan perumpamaan, tentang halal dan haram, nasikh dan mansukh, muhkam dan mutasyabih, zhahir dan batin. Zhahirnya adalah bacaan, sedang bathinnya adalah takwil. Tanyakan ia pada ulama, jangan bertanya kepada orang bodoh. Menurut kaum sufi setiap ayat mempunyai makna yang zahir dan batin. Yang zahir adalah yang segera mudah dipahami oleh akal pikiran sedangkan yang batin adalah isyarat-isyarat yang tersembunyi dibalik itu yang hanya dapat diketahui oleh ahlinya. Isyarat-isyarat kudus yang terdapat di balik ungkapan-ungkapan Al-Qur’an inilah yang akan tercurah ke dalam hati dari limpahan pengetahuan gaib yang dibawa ayat-ayat. Itulah yang biasa disebut tafsir Isyari. Ketika ilmu-ilmu agama dan science mengalami kemajuan pesat serta kebudayaan Islam tersebar keseluruh pelosok dunia dan mengalami kebangkitan dalam segala segi, maka berkembanglah ilmu tasawauf dan ilmu itu mengpunyai dua wujud: teoritis dan praktis Dari kalangan tokoh-tokoh tasawuf lahir ulama yang mencurahkan waktunya untuk meneliti, mengkaji, memahami dan mendalami Alquran dengan sudut pandang sesuai dengan teori- teori tasawuf mereka. Mereka mentakwilkan ayat-ayat Alquran dengan tidak mengikuti cara- cara untuk mentakwilkan ayat Alquran dan menjelaskannya dengan penjelasan yang menyimpang dari pengertian tekstual yang telah dikenal dan didukung oleh dalil syar’i serta terbukti kebenarannya dalam bahasa arab, yaitu dalam bab perihal isyarat. Imam Al-Alusy dalam kitab tafsirnya mengemukakan sebagai berikut: “Apa yang dikemukakan oleh tokoh-tokoh sufy tentang Alquran adalah termasuk ke dalam bab isyarat terhadap pengertian-pengertian rumit yang berhasil diungkapkan oleh orang- orang yang menguasai cara yang harus ditempuh untuk sampai kepada Allah dan pengertian-
  • 12. pengertian itu dapat dipadukan dengan pengertian-pengertian tekstual yang dikehendaki. Hal ini termasuk kesempurnaan iman dan pengetahuan yang sejati. Mereka berkeyakinan bahwa pengertian tekstual sama sekali bukanlah yang dikehendaki (pengertian batin, bukan tekstual, itulah yang dikehendaki). Oleh karena demikianlah keyakinan aliran Bathiniyyah yang ekstrim, maka mereka sampai menafikan syari’at secara keseluruhan. Tokoh-tokoh sufy kita tidaklah mungkin sampai bersikap demikian, oleh karena mereka menganjurkan agar tetap dipelihara penafsiran dan pengertian tekstual. Mereka berkata: pada tahap pertama harus dilakukan serta diketahui penafsiran dan pengertian tekstual, sebab tidak mungkin bisa sampai kepada penafsiran dan pengertian batin (non tekstual) dari suatu ayat sebelum penafsiran dan pengertian tekstualnya terlebih dahulu diketahui. Barang siapa mengaku dapat memahami rahasia-rahasia Alquran sebelum mengetahui penafsiran dan pengertian tekstualnya, maka ia seperti orang yang mengaku telah sampai ke bagian dalam ka’bah sebelum ia melewati pintunya” Oleh karena itu tidak sepantasnya bagi orang yang kemampuannya terbatas dan keimanannya belum mendalam mengingkari bahwa Alquran mempunyai bagian-bagian batin yang dilimpahkan oleh Allah Yang Maha Pencipta dan Maha Pelimpah kepada batin-batin hamba-Nya yang dikendaki. Al-Alusy memberikan contoh tentang isyarat yang diberikan oleh firman Allah (QS. 2:45), sebagai berikut: ) ‫ن‬َ ‫عي‬ِ‫ني‬ ‫ش‬ِ‫ني‬ ‫خشا‬َ ‫ل‬ْ‫خ‬‫ا‬ ‫ل ى‬َ ‫ع‬َ ‫إال‬ِ‫ني‬ ‫ة‬ٌ ‫إ‬‫ر‬َ ‫بي‬ِ‫ني‬‫ك‬َ ‫ل‬َ ‫هشا‬َ ‫ن‬َّ‫ه‬‫إ‬ِ‫ني‬‫و‬َ ‫ة‬ِ‫ني‬‫صةال‬َّ‫ه‬ ‫وال‬َ ‫ر‬ِ‫ني‬ ‫ب‬ْ‫خ‬‫ص‬َّ‫ه‬ ‫بشال‬ِ‫ني‬ ‫ناوا‬ُ‫و‬‫عي‬ِ‫ني‬ ‫ت‬َ ‫س‬ْ‫خ‬ ‫وا‬َ ٤٥ ) “Jadikanlah sabar dan sholat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu‘”. Bahwa sholat adalah sarana untuk memusatkan dan mengkonsentrasikan hati untuk menangkap tajally (penampakan diri) Allah dan hal ini sangat berat, kecuali bagi orang-orang yang luluh dan lunak hatinya untuk menerima cahaya-cahaya dari tajally-tajally Allah yang amat halus dan menangkap kekuasaaa-Nya yang Perkasa. Merekalah orang-orang yang yakin, bahwa mereka benar-benar berada di hadapan Allah dan hanya kepada-Nyalah mereka kembali, dengan menghancurkan sifat-sifat kemanusiaan mereka (fana) dan meleburkannya ke dalam sifat-sifat Allah (baqa), sehingga mereka tidak menemukan selain eksistensi Allah sebagai Raja yang Maha Halus dan Maha Perkasa Yang kedua tasawuf praktis adalah cara hidup yang berdasarkan atas hidup sederhana, zuhud, lapar, tidak tidur pada malam hari, hidup menyendiri, menjaga diri dari segala kenikmatan, memutuskan jiwa dari segala macam syahwat dan menghancurkan ddalam ketaatan kepada Allah. Orang-orang sufy tersebut yang benar-benar menerapkan sikap-sikap hidup sebagai seorang sufy untuk dirinya dalam kehidupan dunia dan selalu bersiap-siap diri menghadapi kehidupan akhirat. DR. Muhammad Husain al-Dzahaby (al-marhum) mengatakan “Kami tidak mendengar ada seorang mengarang kitab tertentu tentang tafsir sufy teoritis yang menafsirkan ayat demi ayat dalam Alquran seperti dalam tafsir Isyary, yang kami temukan adalah keterangan-keterangan terpencar-pencar yang termuat dalam penafsiran yang disandarkan kepada Ibn ‘Araby dan kitab Al-futuhat al-Makkiyyah, karangan beliau, sebagaimana sebagian lain dapat ditemukan dalam banyak kitab-kitab tafsir yang corak penafsirannya berbeda-beda”
  • 13. Hukum Tafsir bil-isyarah: Para ulama berselisih pendapat dalam menghukumi tafsir isyari, sebagian mereka ada yang memperbolehkan (dengan syarat), dan sebagian lainnya melarangnya. Dalam menghadapi tafsir isyari ini, para ulama berbeda pendapat. Ada yang membenarkan dan bahkan menganggapnya sebagai kesempurnaan iman serta kema’rifatan seseorang, tetapi ada juga yang tidak membenarkannya, bahkan menuduhnya sebagai penyelewengan dari ajaran-ajaran Allah Swt yang sebenarnya. Ulama yang membenarkan tafsir isyari berlandaskan Hadis riwayat Bukhari, dimana Ibnu Abbas memahami ayat: :‫)النصر‬ ‫والفتح‬ ‫ال‬ ‫نصر‬ ‫جـشاء‬ ‫اذا‬1 ) Artinya: “Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan“ Bahwa ayat tersebut menunjukkan isyarat dekatnya ajal Nabi Saw. Selanjutnya Ibn Abbas sebagaimana ditulis oleh As-Suyuti menegaskan bahwa Alquran itu mengandung berbagai bab ilmu, yang lahir maupun yang batin, keajaibannya tidak akan habis dan puncak tujuannya tidak akan terjangkau. Barang siapa yang menyelami dengan penuh kelembutan niscaya akan selamat, dan barang siapa yang menyelami dengan radikal niscaya adakan terjerumus, ia mengandung berita dan perumpamaan, halal dan haram, nasikh dan mansukh, muhkan dan mutasyabih yang lahir dan yang batin, secara lahir berupa bacaan dan secara batin berupa ta’wil. Belajarlah dari ulama dan jauhkanlah dari orang-orang yang bodoh” Badruddin Muhammad Ibn Adbullah Az-Zarkasyi adalah termasuk golongan orang yang tidak mendukung tafsir isyari (menolak tafsir bil isyari), hingga beliau mengatakan: “Adapaun perkataan golongan sufi dalam menafsirkan Alquran itu bukan tafsir, melainkan hanya makna penemuan yang mereka peroleh ketika membaca”. Demikian juga An-Nasafi mengatakan, sebagaimana dijelaskan Az-Zarqani dan As-Suyuti: “Nash-nash itu harus berdasarkan zahirnya, memutarkan pada arti lain yang dilakukan oleh orang kebatinan adalah merupakan bentuk penyelewengan” Di samping tafsir isyari ada pula tafsir yang mirip dengannya, yaitu tafsir kebatinan, namun tafsir ini termasuk tafsir yang bathil. Dan barang kali keengganan sebagian ulama untuk menerima tafsirisyari ini karena khawatir terjerumus dalam tafsir kebatinan. Dalam kitab At-Tibyan disebutkan perbedaan pokok tafsir isyari dengan tafsir kebatinan adalah: “Tafsir isyari tidak membuang makna tersurat, tetapi mereka menetapkannya sebagai dasar dan asas, mereka menganjurkan untuk berpegang kepadanya dengan mengatakan: pertama-tama harus mengetahui terlebih dahulu arti yang tersurat, karena orang yang mengaku mengerti rahasia Alquran, tetapi tidak menguasai zahirnya, sama halnya orang yang mengaku telah masuk ke dalam rumah tetapi belum masuk pintunya. Tafsir kebatinan, mereka mengatakan bahwa zahirnya ayat itu sama sekali bukan tujuan, tetapi yang dimaksud adalah rahasianya (batinnya). Latar belakang dari kata-kata ini adalah menghilangkan syari’at dan merusak hukum. Karena itu tidaklah diragukan lagi bahwa pendapat ini adalah merupakan penyelewengan dalam ajaran agama”. Imam As-Suyuti mengambil pendapat Ibn ‘Ata’illah yang mengatakan:
  • 14. “Ketahuilah bahwa tafsir dalam golongan ini (tafsir isyari) terhadap Kalam Allah dan Rasul-Nya dengan makna-makna yang pelik bukanlah berarti memalingkan dari zahirnya, tetapi zahir ayat itu dapat dipahami makna sebenarnya, seperti yang dimaksud oleh ayat, di samping itu juga dapat diketahui dari istilah bahasa, serta mereka memperoleh pengertian yang tersirat dari Ayat dan Hadis bagi orang yang hatinya telah dibukakan oleh Allah SWT”. Untuk mengatasi penyimpangan-penyimpangan tafsir isyari, maka di antara ulama telah memberikan kriteria persyaratan untuk bisa diterima tafsirnya, Az-Zarqani telah menuliskan sebagai berikut: 1. Tidak boleh bertolak belakang dengan susunan AlQuran yang zahirnya 2. Tidak menyatakan bahwa makna isyarat itu merupakan makna sebenarnya (makna satu- satunya), tanpa ada makna zhahir. 3. Hendaknya pentakwilan tersebut harus tidak terlalu jauh, yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan lafaz zahir 4. Tidak bertentangan dengan hukum syar’i atau naqli 5. Terdapat syahid (penopang) syar’i yang menguatkannya Selanjutnya dijelaskan bahwa syarat-syarat tersebut di atas hanyalah sebagai syarat diterimanya tafsir isyari, yakni tidak serta merta ditolak, bukan syarat yang baku dan bukan pula hanya terbatas itu saja. Contoh bentuk penafsiran secara Isyari antara lain adalah pada ayat: : ‫)البقرة‬ ‫بقرة‬ ‫تذبحاوا‬ ‫ان‬ ‫يأمركم‬ ‫ال‬ ‫إن‬67 ) (Surat Al Baqarah: 67) Yang mempunyai makna zhahir adalah “……Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina…” tetapi dalam tafsir Isyari diberi makna dengan “….Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih nafsu hewaniah”. Tafsir Shufi/Isyari, corak penafsiran Ilmu Tashawwuf yang dari segi sumbernya termasuk tafsir Isyariy. Nama-nama kitab tafsir yang termasuk corak shufi ini antara lain: a. Tafsir al-Qur’an al-’Azhim, karya Sahl bin Abdillah al-Tustary. Dikenal dengan Tafsir al-Tustasry. b. Haqaiq al-Tafsir, karya Abu Abdirrahman al-Silmy, terkenal dengan sebutan Tafsir al- Silmy. c. Al-Kasyf Wa al-Bayan, karya Ahmad bin Ibrahim al-Naisabury, terkenal dengan nama Tafsir al-Naisabury.
  • 15. d. Tafsir Ibnu Araby, karya Muhyiddin Ibnu Araby, terkenal dengan nama Tafsir Ibnu ‘Araby. e. Ruh al-Ma’ani, karya Syihabuddin Muhammad al-Alusy, terkenal dengan nama tafsir al-Alusiy. Madzhab-madzhab Tafsir Selain yang tiga jenis madzhab tafsir ada berapa pendapat para ahli yang mengelompokan dari berbagai perspektif. Kategori Tafsir Model Ignaz Goldziher Dalam buku madzhab Tafsir (madzhab at-tafsir al-islami), karya Ignaz Golziher kelahiran Hongaria menurutnya terdapat lima madzhab atau kecenderungan dalam menafsirkan al- Qur’an yaitu : 1. Tafsir bil Ma’tsur yaitu penafsiran dengan bantuan Hadit dan aqwal (perkataan) para shahabat. Seperti tafsir Ibnu Abbas, Mujahid, Ikrimah, Ali Ibn Abi Thalib dan Tafsir Thabari 2. Tafsir dalam perspektif teologi rasional atau penfsiran bersifat dogmatis. Yang termasuk kategori ini seperti tafsir al-Kasysyaf karya Zamarkhsyari, al-Gharar wa Durar karya Amali al-Murthadha, dan Mafatih al-Ghaib karya Imam Fakhruddin ar- Razi. 3. Tafsir dalam perspektif tasawuf seperti Ikhwan ash-shafa Ibnu Arabi dan Imam al- Ghazali 4. Tafsir dalam perspektif sekte keagamaan (sektarian) sepeti tafsir yang di tulis para pengikut ahl us-sunnah, syiah, Asy’ariyah, Khawarij, tema-tema yang dikaji didalamnya lebih cenderung untuk membela madzhabnya masing-masing. 5. Tafsir era kebangkitan Islam (Tafsir modernis) tema-tema yang menjadi isu sentral adalah tentang gerakan tajdid (pembaharuan), bagaimana Islam memotivasi untuk memajukan peradaban, misalnya dengan menyuarakan pentingnya kebebasan berfikir dan melepaskan taklid buta. seperti tafsir yang ditulis Sayyid Amir Ali, Ahmad Khan, Jamaluddin al-Afgani, Muhammad Abduh dll. Kategori Tafsir Model J.J.G Jansen Kategori yang dilakukan oleh J.J.G Jansen lebih spesifik. Karena hanya mengacu kepada tafsir-tafsir yang berkembang di kawasan Islam tertentu, yaitu Mesir. Dalam kategorinya sebagai berikut: 1. Tafsir Ilmi, yaitu penafsiran yang dipengaruhi oleh pengadopsian temuan-temuan ilmiah mutakhir. 2. Tafsir linguistik dan filologis penafsiran yang didalamnya menggunakan analisis linguistik.
  • 16. 3. Tafsir praktis penfasiran yang banyak menyangkut keseharian umat. Kategori Tafsir Model Muhammad Husain adz-Dzahabi Ini bisa dilihat dalam kitabnya at-Tafsir wal Mufassirun, ia cenderung mengkategorikan berdasar kronologi waktu, di antaranya: 1. Tafsir pada masa Nabi dan Sahabat Karakteristiknya umum pada masa ini adalah (a) tidak menafsirkan seluruh al-Qur’an (b) tidak banyak perbedaan dalam menafsirkannya (c) bersifat ijmali (d) cenderung hanya menafsirkan dari aspek makna bahasa (e) jarang melakukan istinbat hukum secara ilmiah terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang ditafsirkan (f) tidak bersifat sektarian (membela madzhab tertentu) (g) belum terkodifikasi secara utuh, sebab kodifikasi mulai abad ke-2 Hijriah (h) benyak menggunakan riwayat yang menggunakan secara oral atau lisan (i) cenderung mitis (penafsiran cenderung diterima begitu saja tanpa kritik). Contoh : tafsir Ibnu Abbas, Mujahid, Ikrimah, Ali Ibn Abi Thalib 2. Tafsir pada masa Tabi’in Karakteristiknyaa adalah (a) belum dikodifikasi secara tersendiri (b) masih bersifat hapalan dan periwayatan (c) sudah dimasuki riwayat-riwayat israiliyat (d) sudah mulai ada benih-benih perbedaan madzhab (e) sudah banyak perbedaan pendapat dengan sahabat. 3. Tafsir pada masa Kodifikasi Diperkirakan muncul pada pemerintahan Bani Umayyah, awal Bani Abbasiah. Tafsir- tafsir mulai dibukukan. Sudah berkembang tafsir dengan berbagai madzhab, seperti Mu’tazilah, syiah, Khawarij dan corak seperti corak sufistik, linguistik, fiqhi, filosofis, teologis, adabi ijtima’I dll. Kategori Tafsir Model Amina Wadud Amina Wadud melihat dari perspektif gerakan feminisme yang memfokuskan pada isu-isu gender. Menurutnya penafsiran al-Qur’an mengenai isu-isu jender dikategorikan jadi tiga : 1. Tafsir Tradisonal Tafsir yang menggunakan pokok bahasan tertentu sesuai dengan minat dan kemampuan mufassirnya, seperti hukum (fiqh), nahwu, sharaf, sejarah, tasawuf. Model ini bersifat atomistik (ayat per ayat tidak tematik) sehingga bahasannya parsial, dan tidak ada upaya untuk mendiskusikan tema-tema tertentu menurut al-Qur’an sendiri. 2. Tafsir Reaktif Tafsir berisi reaksi para pemikir modern terhadap sejumlah hambatan yang dialami perempuan yang dianggap berasal dari al-Qur’an. Persoalan yang dibahas dan metode yang digunakan seringkali berasal dari gagasan kaum feminis dan rasionalis, tapi
  • 17. tanpa dibarengi dengan analisis yang kompreshensif terhadap ayat-ayat yang bersangkutan. Dengan demikian, meskipun semangat yang dibawanya adalah pembebasan (liberation), namun tidak terlihat hubungan dengan sumber ideologi dan teologi Islam yaitu al-Qur’an 3. Tafsir Holistik Tafsir yang menggunakan seluruh metode penafsiran dan mengaitkan dengan berbagai persoalan sosial, moral ekonomi, politik termasuk isu-isu perempuan yang muncul di era modern. Di sinilah posisi Amina Wadud dalam upaya menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an Kategori Tafsir Model Abdul Mustaqim Bisa dilihat dalam bukunya Madzahibut Tafsir peta Metodologi penafsiran al-Qur’an periode klasik Hingga Kontemporer, Ia mengkategorikan berdasar kronologis waktu, diantaranya : 1. Tafsir Periode Klasik Tafsir yang muncul dari jaman Nabi sampai masa kodifikasi (jaman tabiin) abad I H sampai abad II H. diwarnai tafsir bir Riwayah. 2. Tafsir periode Pertengahan Dimulai dengan munculnya produk penafsiran yang sistematis dan sampai ke tangan generasi sekarang sudah dalam bentuk buku (terkodifikasi dengan baik) karakternya at-Tikrar (pengualangan), at-Tahwil (bertele-tele) atomistik (parsial). Coraknya spesialis ulumuddin seperti fiqh, teologi, falsafi, dan ilmi. 3. Tafsir Periode Kontemporer Istilah kontemporer terkait dengan situasi dan kondisi tafsir pada saat ini. Karakteristiknya, seperti memposisikan al-Qur’an sebagai petunjuk dan menangkap ruh al-Qur’an. Pola pendekatan cenderung analitis dan tematik. Kategori Tafsir Model Masdar F. Mas’udi Model tafsir yang menggunakan nalar formasi tafsir itu sendiri, yaitu: 1. Nalar Teosentris Pandangan dan pemahaman memusat kepada Tuhan. Tafsir porsinya sangat besar untuk berupaya membesarkan nama Alloh dengan membuktikan keajaiban dari al- Qur’an sendiri. Sehingga, merebut seluruh perhatian bukan pada bagaimana menyelesaikan krisis kemanusian multidimensi yang kasat mata. Dan menurut very verdiansyah diaktegorikan tafsir bayani dan irfani, karena sudut pandangnya lebih menekankan pada otoritas teks dan otoritas Tuhan. 2. Nalar Ideologis
  • 18. Tafsir model ini dikodifikasi sesuai dengan ideologi yang mejadi pilihan kekuasaan. Digunakan sebagai bahan indoktrinasi bagi pengukuhan kekuasaan. Kalangan Sunni akan menafsirkan teks suci sesuai dengan ideologinya, begitu juga yang lainnya. 3. Nalar Antroposentris Tafsir mempunyai orientasi pada wilayah problem kemanusian sehingga tafsir seperti ini lebih cenderung praktis pembebasan manusia dari lingkungan agama baik yang bersifat dogmatis maupun ideologis. Penutup Tafsir sebagai sebuah hasil dialektika antara teks yang statis dan konteks yang dinamis memang mau tidak mau harus mengalami perkembangan dan bahkan perubahan. Sebab hal itu merupakan konsekuensi logis dari diktum yang dianut oleh umat Islam bahwa al-Qur’an itu shalihun li kulli zaman wa makan. Perbedaan aliran-aliran dalam pemikiran Islam, baik Fiqih, Kalam. Tasawuf maupun Tafsir sebetulnya tidak lain dan tidak bukan adalah perbedaan penafsiran terhadap memahami ayat- ayat al-Qur’an. Perbedaan itu jadi sebuah keniscaayaan, tinggal bagaimana menyingkapi perbedaan tersebut dan penulis mengutip apa yang disampaikan al-Qur’an “… jika kalian berselisih kembalikan kepada Alloh dan Rasul..” dalam arti dikembalikan kepada substansi manusia diciptakan yaitu sebagai Hamba yang patuh, dan disisi lain sebagai Khalifah yang dituntut harus kreatif-inovatif. dan untuk sempurna hal tersebut al-Qur’an-lah sebagai guide- nya. Dalam memahamai guide diperlukan intrepretasi / penafsiran-penafsiran, tapi jangan sampai metode, corak, ataupun madzhab penafsiran al-Qur’an disakralkan sehingga akan tidak mampu membedakan mana proses dan mana tujuan. DAFTAR PUSTAKA Ash Shiddieqy, Hasbi M, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an/Tafsir, Bulan Bintang, Jakarta, 1992. Az-Zarkoni, Muhammad abdul azim, Manahilul Urfan, (Dar al-Fikr, t.th) As-Suyuti, Jalaluddin, Al-Itqan fi ‘ulum Al-Quran,(Bairut: Dar al-fikr, 1399 H) Musthofa Hadnan, Ahmad, Problematika Menafsirkan Alquran, (Semarang: Toha Putra, 1993) Nata Abuddin, Metodologi Studi Islam, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004 Mustaqim Abdul, Madzahibut Tafsir, Nun Pustaka Yogyakarta, Yogyakarta, 2003.
  • 19. Muhammad Abd. Azim Az-Zarqani, Manahilul’irfan fi ulum Al Qur’an,(tt : Isa al- babi al-halabi, tth). Khadim al Haramain asy Syarifain, Alquran dan Terjemahnya, (Saudi Arabia, 1971) Verdiansyah Very, Islam Emansipatoris Menafsir Agama Untuk Praksis Pembebasan, P3M, Jakarta, 2004.