Wawasan Nusantara sebagai satu kesatuan, politik, ekonomi, sosial, budaya, d...
Hermeneutika dan Penerapannya dalam Penafsiran Al-Qur'an (Konteks ke-Indonesia-an)
1. HERMENEUTIKA DAN PENERAPANNYA
DALAM PENAFSIRAN AL-QUR’AN
(KONTEKS KEINDONESIAAN)
MAKALAH
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Studi Al-Qur’an
Oleh:
Muhammad Maghfur Amin
NIM. F12518226
Dosen Pengampu:
Dr. H. M. Arif, M.Ag
ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2018
2. 2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Penafsiran Al-Qur’an merupakan kegiatan para ulama’ yang sejak dahulu
menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam khazanah keilmuan Islam. Kegiatan itu
berkembang dari yang awalnya menggunakan nukilan riwayat (bi al-ma’tsur) hingga
kemudian lebih banyak menggunakan ra’yu. Pada tataran ini, para ulama tidak
melepaskan sama sekali pemahaman historis dari ayat yang ditafsirkan. Asbabun
nuzul, Makkiyah-Madaniyah, Nasikh-Mansukh merupakan komponen ulu>mul Qur’an
yang memperhatikan historis ayat.
Sebagaimana ulu>mul Qur’an klasik di atas, hermeneutika adalah metode
analisis terhadap teks yang konsep utamanya adalah dengan memperhatikan konteks
historisnya pada masa lalu untuk ditarik ke konteks saat ini.Hermeneutika menjadi
semakin ‘populer’ di kalangan akademisi, tidak hanya dikaji sebagai metode analisis
teks tetapi juga telah menjadi metode yang diterapkan dalam meneliti teks. Beberapa
cabang ilmu telah banyak menggunakan analisis ini seperti sosiologi, antropologi,
dan juga penelitan teks yang lain.
Namun sayangnya di kalangan muslim sendiri hermeneutika dipandang
sebelah mata, karena beranggapan komponen metodologi yang berasal dari ‘luar’
akan mencederai sakralitas Al-Qur’an. Oleh karena itu tidak sedikit yang memiliki
pandangan sinis dan skeptis terhadap hermeneutika bahwa ia adalah metode yang
berusaha dikembangkan untuk ‘merusak’ otentisitas Al-Qur’an. Ada pula yang
berpandangan bahwa tidak layak hermeneutika yang merupakan komponen
metodologi penelitian teks Bibel digunakan untuk meneliti Al-Qur’an. Pandangan-
pandangan ini yang awalnya membendung masuknya hermeneutika dalam
menafsirkan dan meneliti Al-Qur’an di kalangan muslim kontemporer.
Dalam arus berikutnya, hermenutika tidak dapat terbendung, beberapa
sarjana Islam termasuk di Indonesia, turut serta membangkitkan kajian
hermeneutika. Hingga beberapa universitas Islam telah memasukkan hermeneutika
dalam silabi pembahasan untuk para mahasiswanya. Kajian hermeneutika dan
penerapan hermeneutik dalam penafsiran teks terus berkembang di ranah ilmiah
akademik yang ada di Indonesia.
3. 3
Beberapa buku pembahasan tafsir hasil metode hermeneutika dijadikan buku
rujukan wajib dibanyak perguruan tinggi Islam, seperti karya Abu Zayd, Fazlur
Rahman , karangan Muhammad Arkoun yang berjudul ‚Rethingking Islam ‚. Hasil
dari penggunaan metode hermeneutika di Indonesia memunculkan tokoh-tokoh yang
dianggap liberal di sejumlah perguruan tinggi Islam negeri. Karena mereka
menerapkan hermeneutika sebagai mata kuliah wajib pada jurusan tafsir dan hadits
Fakultas Ushuluddin dan Filsafat. Beberapa Universitas Islam Negeri yang ada
menerapkan metode hermeneutika sebagai kajian pengembangan metode tafsir.
Rektor UIN Sunan Kalijaga (Yogyakarta), Amin Abdullah, mengatakan
bahwa sebagian tafsir dan ilmu penafsiran yang diwarisi umat Islam selama ini telah
melanggengkan status quo dan kemrosotan umat Islam secara moral, politik, dan
budaya. Hermeneutika sebagai kebenaran yang harus disampaikan kepada umat
Islam. Dalam kata pengantar, ‚Mendengarkan Kebenaran Hermeneutika‛, yang
ditulisnya untuk buku yang disusun oleh Fahruddin Faiz, Hermeneutika Al-Qur’an
Tema-tema Kontroversial, Amin mengemukakan bahwa tidaklah heran jika
hermeneutika menjadi perdebatan dalam traidisi Islam. Namun ‘kebenaran’
hermeneutika dapat disuarakan dan diperdengarkan gaungnya salah satunya melalui
buku Faiz tersebut.
Dengan sagala perdebatannya, hermeneutika memperlihatkan bentuknya
setelah gaungnya terdengar di penjuru nusantara. Berikut sebagian nama-nama
pejuang hermeneutika di Indonesia :
1. Profesor Amin Abdullah, rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
mengidentifikasikan teori historitas kontemporer Al-Qur’an dengan riwayat-
riwayat sebab turun Al-Quran (asba>b an-nuzu>l).
2. Ulil Abshor Abdala bersama Jaringan Islam Liberalnya (JIL). Ia banyak
melakukan pembelaan kelompok yang memperjuangkan kebebasan, feminisme,
komunisme, kelompok minoritas yang anti hukum Islam.
3. Dr. Yusuf Rahman, dosen dan pakar hermeneutika di UIN Jakarta mengatakan
bahwa apakah karena hanya hermeneutika dari Barat, atau dipakai untuk Bibel
lalu tidak bisa diterapkan pada Al-Qur’an?. Menurutnya tidak ada masalah
4. 4
menerima hermeneutika sebagai metode tafsir Al-Qur’an, dan tidak adalagi
monopoli penafsiraan oleh pihak tertentu.
4. Nur Ichwan, dalam tesisnya dia tulis dan diterbitkan dalam bahasa Indonesia.
mengatakan bahwa teori hermeneutika Al-Qur’an Nashr Abu Zayd adalah salah
satu contoh yang paling baik dari trend saat ini.
5. Buku Aksin Wijaya yang diterbitkan dari tugas akhir kesarjanaan strata-2 di
IAIN Sunan Kalijaga. Dia mendudukkan Al-Qur’an Mushaf Utsmani sejajar
dengan teks-teks lain yang tidak mempunyai nilai sakral maupun keabsolutan
sedikitpun. Bagi Aksin yang sakral adalah pesan Tuhan yang nyempil disela-sela
Mushaf tersebut dan itupun masih dalam proses pencarian.
6. Fakhruddin Faiz, dosen Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga. Dengan
hermeneutika didapat bahwa Al-Quran adalah sebuah produk budaya hal ini
dimaksud untuk mendobrak manipulasi pemahaman teks dan mengatasi
pemutarbalikan pemahaman teks . Hal ini banyak terjadi dalam masa peradaban
Islam oleh ulama terdahulu dalam menyikapi teks secara berlebihan dengan
mengabaikan realita.
7. Sahiron Syamsuddin, dosen Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, telah
banyak menulis artikel-artikel ilmiah yang membahas teori-teori hermenetika.
Beberapa tulisannya dimuat dalam jurnal ilmiah dan antologi bersama. Di
dalamnya, ia mencoba mengintegrasikan integrasikan hermeneutika dengan
kajian Al-Qur’an (ulumul Qur’an). Bukunya yang paling mutaakhir berjudul
Hermenutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an diterbitkan tahun 2017 .
Melihat latar belakang masalah yang demikian, maka dianggap penting untuk
mengkaji hermenutika —yang saat ini dalam aplikasinya untuk menafsirkan Al-
Qur’an –berkembang semakin pesat, termasuk di Indonesia. Dalam makalah ini akan
dibahas mengenai hermeneutika dan penerapannya terhadap penafsiran Al-Qur’an
dengan konteks ke-Indonesia-an. Penulis membatasi masalah yang akan dibahas
dengan memusatkan pada sub-tema yang dianggap penting yang berhubungan
dengan hermeneutika dalam eksplorasi dan aplikasinya.
5. 5
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas maka dapat dirumuskan masalah-masalah yang
akan dibahas dalam makalah ini sebagai berikut:
1. Apa Pengertian Hermeneutika?>
2. Bagaimana Sejarah Perkembangan Hermeneutika?
3. Apa saja Macam Aliran-aliran Hermeneutika?
4. Bagaimana Potensi Hermeneutika dalam Pengembangan Kajian Al-Qur’an?
5. Bagiamana Contoh Aplikasi Hermeneutika dalam Penafsiran?
C. Tujuan Pembahasan
Beberapa masalah yang akan dibahas dalam makalah ini memiliki tujuan
pembahasan sebagai berikut:
1. Untuk Mengetahui Pengertian Hermeneutika.
2. Untuk Mengetahui Sejarah Perkembangan Hermeneutika.
3. Untuk Mengetahui Macam Aliran Hermeneutika.
4. Untuk Mengetahui Potensi Hermeneutika dalam Pengembangan Kajian Al-
Qur’an
5. Untuk Mengetahui Contoh Aplikasi Hermeneutika dalam Penafsiran.
6. 6
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian dan Ruang Lingkup Hermeneutika
Hermeneutika secara etimologis diambil dari bahasa Yunani hermeneuin yang
artinya adalah menjelaskan. Kata hermeneuin diambil dari nama Hermes, yang
merupakan makhluk mitologi Yunani yang memiliki peran sebagai perantara pesan
Tuhan kepada manusia. Kata tersebut kemudian diserap ke dalam bahasa Jerman
Hermeneutik dan bahasa Inggris Hermeneutics.1
Adapun secara terminologis, hermeneutika didefiniskan sebagai sebuah
istilah secara beragam dan bertingkat oleh Hans Georg Gadamer dalam artikelnya
‚Classical and Philoshophical Hemeneutics‛. Menurutnya sebelum menjadi sebuah
displin keilmuan, kata tersebut dia definisikan dengan mengatakan:
Hermeneutika adalah seni praktis, takne techne, yang
digunakan dalam hal-hal seperti berceramah,
menafsirkan bahasa-bahasa lain, menerangkan dan
menjelaskan teks. Dan sebagai dasar dari semua
kegiatan itu adalah seni memahami, sebuah senikhusus
yang dibutuhkan ketika makna teks itu tidak jelas.2
Berangkat dari makna yang diungkapkan oleh Gadamer, Friedrich
Shleiernacher mengartikan hermeneutika dengan seni memahami secara benar bahasa
orang lain, khususnya bahasa tulis. Menurut Gadamer, sebagaimana juga yang
diungkapkan oleh Franz Peter Burkard hermeneutika modern tidak hanya diartikan
sebagai seni menafsirkan, melainkan lebih dari itu ia menjelma sebagai disiplin ilmu
yang merupakan refleksi teoritis tentang metode-metode dan syarat-syarat
pemahaman.3
1
Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: Pesantren
Nawasea Press, 2017), 13
2
Lihat Hans Georg Gadamer, ‚Classical and Philosophical Hermeneutics,‛ Dalam Theory, Culture
and Society(London: SAGE, 2006), vol. 23, 29
3
Lihat Franz-Peter Burkard, ‚Hermeneutik,‛ dalam Peter Prechtl dan Franz-Peter Burkarrd Metsler
philosophie Lexikon (Stuttgart: Metzler, 1999), 231
7. 7
Sedangkan mengenai tingkatan definisi hermeneutika dapat kita lihat dalam
pemaparan Ben Vedder dalam bukunya Was ist Hermeneutik?.4
Dalam buknya
tersebut Vedder membedakan empat terma yang saling terkait sebagai berikut:
Pertama, Hermeneuse (act of interpreting; aktifitas atau praktek menafsirkan
dan karya tafsir) adalah penjelasan atau interpretasi sebuah teks, karya seni atau
perilaku seseorang. dari pengetian tersebut dapat diketahui bahwa istilah itu merujuk
pada aktivitas penafsiran terhadap obyek-obyek tertentu seperti teks, simbol-simbol
seni dan perilaku manusia. Jadi istilah tersbut tidak terkait dengan metode-metode,
syarat-syarat dan hal-hal yang melandasi penafsiran.
Kedua, Hermeneutik (Hermeneutika). Menurut Vedder hermeneutik adalah
teknik menguak kesatuan makna teks. Istilah ini memiliki definisi regulasi, aturan,
metode, strategi atau langkah penafsiran. Yang termasuk dalam kategori
hermeneutika adalah misalnya, pemikiran-pemikiran J. Dannhaueser dalam bukunya
Hermeneutica sarca sive methodus exponendarum sacrarum literarum, yang memuat
teori-teori dan prinsip-prinsip penafsiran. Selain itu ada juga Shleiermacher yang
tertarik dengan permasalahan bahagaimana seseorang menafsirkan teks secara benar
dan obyektif. Selain mereka berdua ada lagi Grant R Osborne dengan buku
Hermeneutical Spiral juga bisa digolongkan dalam karya hermeneutik, karena di
dalamnya dibahas teori, metode dan strategi penafsiran dengan sangat detail.
Ketiga, Philocophisce Hermeneutik (Hermeneutika Filosofis). Hermeneutika
filosofis tidak lagi membicarakan metode penafsiran tertentu sebagai obyek
pembahasan. Hermeneutika filosofis, menurut Jung, lebih banyak berbicara mengenai
jalan masuk ke realitas dan kondisi-kondisi penafsiran. Istilah ini mengarah pada
kondisi-kondisi kemungkinan yang dengannya seseorang dapat memahami dan
menafsirkan sebuah teks, simbol atau perilaku.
Keempat, Hermeneutiche Philosophie (Filsafat Hermeneutis). Ia adalah
bagian dari pemikiran-pemikiran filsafat yang mencoba menjawab masalah dalam
kehidupan manusia dengan cara menafsirkan apa yang diterima oleh kehidupan
manusia dari sejarah dan tradisi. Manusia sendiri dipandang sebagai ‘makhluk
4
Tentang Ben Vedder, ‚Was Its Hermeneutik? Ein Weg von der Textdeutung zur Interpretation der
Wirklichkeit‛. dalam Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan…, 15
8. 8
hermeneutis, dalam arti makhluk yang harus memahami dirinya. jadi hermeneutika
ini terkait dengan hal-hal seperti epistemologi, ontologi, etika dan estetika.
Sebagai kesimpulan, secara epistemologis, hermeneutika dalam pengertian
sempit adalah dispilin yang membahas metode-metode yang tepat untuk memahami
dan menafsirkan hal-hal yang perlu difsirkan. Sedangkan dalam pengertian luas, yang
mencakup empat macam tingkatan hermeneutika di atas, adalah cabang ilmu
pengetahuan yang membahas hakekat, metode, dan landasan filosofi dalam kegiatan
penafsiran.
Menurut Sahiron Syamsuddin, sebagai contoh dari pengertian-pengertian di
atas, maka dalam tradisi Islam telah banyak lahir karya yang termasuk dalam
hemeneuse dan hermeneutika. Kitab-kitab tafsir seperti Ja>mi’ al-Baya>n karya Ibnu
Jariri Ath-Thabari, Mafa>tih al-Ghai>b karya Fakhr Ad-Din Ar-Razi, dan Tafsir Al-
Qur’an karya Quraish Shihab adalah beberapa contoh produk Hermeneuse. Termasuk
juga kitab-kitab syarah Hadist seperti Subul as-Sala>m yang merupakan syarah
hadits-hadist yang dikumpulkan oleh Al-Asqalani dalam Bulu>gh al Mara>m.5
Adapun karya-karya yang di dalamnya memuat regulasi dan metode
penafsiran maka ia termasuk dalam kategori hermeneutika (dalam arti sempit). Hal
ini seperti kitab-kitab ulu>mul Qur’a>n antara lain sebagaimana Al-Itqa>n fi> ‘Ulu>m al-
Qur’a>n karya Jalal ad-Din As-Suyuthi, Al-Burha>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n katya Az-
Zarkasyi dan Maba>hits fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n karya Shubhi Shalih. Juga kitab-kitab
ushul fiqh sepeti Al-Mustasyfa karya Abu Hamid Al-Ghazali dan al-Muwafaqa>t
karya Asy-Syathibi.6
Yang masih jarang ditemui dalam tradisi Islam saat ini adalah karya-karya
yang memuat apa yang disebut dengan philosophical hermeneutics dan hermeneutical
philosophy. Hal ini tidak terlepas mengenai bagaimana hermeneutika dipandang
sebagai tradisi kritik Bibel yang berusaha melepaskan sakralitas Bibel sendiri. Ketika
hermeneutika sebagai pengertian dalam tingkat filsafat hermeneutika, maka
mejadikan penafsir harus meminjam sudut pandang author of text-nya. Jadi Al-
Qur’an ketika harus melalui filasafat hermeneutika ini, melalui nalar epistemologis
5
Ibid., 19
6
Ibid.
9. 9
misalnya, maka kita harus menggunakan pertanyaan; bagaimana author—yang dalam
hal ini adalah Allah—mendapatkan dan mentrasmisikan teks. Dan dapat dipastikan
kita tidak dapat menjawab pertanyaan filosofis yang transendental tersebut.
B. Sejarah Perkembangan Hermeneutika
1. Hermeneutika Klasik
Hermeneutika klasik, sebagai cirinya adalah ia lebih difungsikan sebagai
landasan interpretasi teks suci seperti Bibel, karena itu ia sering disebut dengan
hermeneutika Bibel.7
Kelahiran hermeneutika sebagai dasar menginterpretasikan
teks Bibel sebenarnya telah muncul pada abad ke-1 M. Penafsiran alegoris yang
pertama kali dilakukan oleh para filosof Stoa dan dipraktekkan oleh para teolog
masa periode awal penafsiran Bibel.8
Muncul penafsiran alegoris yang dilakukan oleh Philo von Alexandrien
terhadap Perjanjian Lama secara mendalam dan metodis. Bahkan dengan
penafsiran alegorisnya ia dikenal sebagai ‚Bapak penafsiran alegoris‛. Proses
pemahaman alegoris bertujuan untuk mendapatkan makna yang mendalam dari
teks, hingga Philo mengatakan ‚Der Geist zählt, nitch der Buchstabe‛ (yang
dipandang adalah jiwanya, bukan hurufnya), dasar teori hermeneutik yang hingga
kini masih relevan. Dari situ menurutnya teks memiliki makna literal dan makna
alegoris yang erat saling berhubungan.
Pada awal abad ke-3 M. tokoh yang juga berjasa dalam pemikiran
hermeneutis Bibel adalah Origenes. Dia mengembangkan dualisme makna yang
idenya telah dibuka oleh Philo sebelumnya dengan menambahkna satu makna
lain. Dia membedakan makna teks ke dalam tiga macam, yaitu, makna literal,
makna moral, dan makna spiritual. Tiga makna itu digunakan dengan fungsi
hirarki makna teks dimana makna spiritual adalah makna paling tinggi, sebagai
kebijakan Tuhan.9
Selanjutnya pada abad ke-13 M. para teolog Kristen kemudian
mengembangkan pemikiran yang ditawarkan oleh Philo dan Origenes. Maka
dikenal empat macam makna; (1)makna literal, adalah makna kata perkata dari
7
Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan.., 33
8
Ibid., 21-22
9
Ibid., 22-23
10. 10
teks; (2)makna alegoris, adalah makna yang digunakan untuk ide dasar penafsiran
dan untuk mengungkap kata-kata metaforis dalam teks; (3)makna moral, adalah
yang berkaitan dengan dimensi moral yang diterapkan dalam kehidupan; dan
(4)makna anagogis, adalah dimensi transendental (kehidupan akhirat yang kekal)
dari sebuah kata atau teks. Sebagai contoh kata Yerussalem jika dipahami
sebagai hirarki makna maka, secara literal bermakna Palestina; secara alegoris
adalah Gereja Christi; secara anagogis adalah jiwa manusia; dan secara anagogis
adalah Yerussalem yang kekal yakni surga.
2. Hermeneutika Modern
Hermeneutika modern lebih merupakan hermeneutika yang dipandang
sebagai displin ilmu yang mandiri dan dikenal sebagai hermeneutika umum. Ia
lahir dengan munculnya kata tersebut abad ke 17. Pertama kali kata ini
diperkenalkan oleh Johann Conrad Dannhauer sebagai syarat penting bagi setiap
ilmu pengetahuan yang menuju pada interpretasi teks. Dannhauer
memperkenalkan kata ini dengan menyatakan bahwa ia terinspirasi dari risalah
Peri hermeneias Aristoteles, yang mengatakan bahwa ilmu interpretasi yang baru
berlaku tidak lain menjadi pelengkap bagi Organon Aristotelian.10
Didalamnya,
Aristoteles menjelaskan hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan penelitian
terhadap simbol-simbol bahasa: (1)ungkapan tertulis yang terdiri dari huruf-
huruf, (2)ungkapan dalam bentuk suara, (3)kondisi kejiwaan, dan (4)realitas.
Dannhauer mengembangkan pemikiran Aristotels ini antara lain dalam bukunya
Idea boni Interpretis et maliotesi Calumniatoris (1630).11
Banyak pemikir hermeneutika umum selain Dannhauer dengan model
pemikiran yang beragam seperti Johann Heinrich Lambert (1728-1777), yang
merupakan ahli dalam bidang semiotika. Melalui semiotika, sesorang berusaha
memahami makna di balik simbol-simbol kata dan kalimat tertentu. Selain itu ia
juga memiliki teori filsafat bahasa yang diataranya mengatakan bahwa bahasa
tidak bisa dipahami melalui arti setiap kata dalam kalimat, melainkan juga
melalui konteks, perbandingan dan hubungan antara kata-kata yang ada.
10
Jean Grodin, Sejarah Hermeneutika dari Plato sampai Gadamer, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2010),
45.
11
Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan…, 34.
11. 11
Hermeneutika berkembang menjadi displin pokok filsafat modern fase
kedua sejak diterbitkannya tulisan-tulisan Schleiermacher pada abad 19 M., ia
dikenal sebagai ‚Bapak Hermeneutika Modern‛.12
Perkembangan pada masa ini
merupakan perubahan signifikan dalam pemikiran hermeneutika yang diungkap
Schleiermacher. Teks dipandang sebagai ungkapan kejiwaan, ungkapan hidup dan
epos historis penulis. Ketika penafsir memahami teks maka berarti ia harus
‚mengalami kembali‛, memasuki kesadaran, kehidupan dan epos sejarah itu
berasal. Hermeneutika semacam ini merupakan satu prinsip dalam aliran
Historisisme. Pemikiran ini selanjutnya mempengaruhi pemikir-pemikir lain
seperti Emilio Betti, seorang ahli hermeneutika berkebangsaan Itali. Yang
menjadi obyek penelitian hermeneutik Schleiermacher adalah mengenai upaya
mencari jalan untuk memahami teks secara benar.
Tokoh penting lainnya adalah Wilhelm Dilthey. Dalam perdebatan
mengenai awal lahirnya hermeneutika ia berpendapat bahwa sebetulnya
hermeneutika telah muncul satu abad lebih awal, yang dikemukakan oleh
Protestantisme setelah lahirnya prinsip sola scriptura yang diungkap oleh
Luther.13
Prinsip tersebut dikemukakan oleh Luther dalam menentang otoritas
tradisi dalam penafsiran Bibel yang didukung oleh Gereja Katolik. Pendapat
Dilthey ini juga didukung oleh sejarawan hermeneutika lain seperti R. Bultman,
G. Ebeling dan Hans Georg Gadamer yang menaruh perhatian besar pada prinsip
Luther tersebut. Namun pemikiran Luther tidak dapat dipandang sebagai suatu
hermeneutika atau suatu refleksi teoritis dalam prektek interpretasi, karena dia
hanya berkonsentrasi pada interpretasi-interpretasi konkret terhadap teks,
terutama teks yang tertulis.14
Mekipun begitu itu reformasi Luther, dengan prinsip dasar bahwa Bibel
manfsirkan dirinya sendiri, menjadi benih respon atau reaksi kontra oleh para
Katolik dimana pihak Gereja menganggap bahwa tradisi otoritas Bibel adalah
satu-satunya perspektif penafsiran. Sedangkan Protestan berbeda pendapat
dengan Gereja Katolik, mereka mengangkut tradisi hermeneutik Luther dan
12
Fahruddin Faiz, Hermeneutika Al-Qur’an Tema-tema Kontroversial, (Yogyakarta: Kalimedia,
2015), 7
13
Tentang W. Dilthey, Das Hermeneutische System Begriffgeschichte, 18, 1974, 35-84 dalam Grodin,
Sejarah Hermeneutika, 46.
14
Ibid., 47.
12. 12
menjadi Lutheran yang setia. Orang pertama yang menawarkan pengertian
hermeneutika yang mendekati pengertian kita sekarang adalah pengikut
Lutheran, yakni Philipp Melanchton. Ia mengungkapnya dalam risalah-risalah
tentang retorika pada tahun 1519 dan 1531. Begitu pula Matthius Flacius
Illyricus yang mengemukakan pendapatnya tentang hemeneutika dalam Clavis
scipture sacrae di tahun 1567.15
Wilhem Dilthey memilah antara ilmu eksakta dan non-eksakta. Di
tangannya hermeneutika tidak lagi terbatas pada pemahaman teks kebahasaan,
melainkan pada seluruh obyek penilitian dalam ilmu non-eksakta melalui
kosntruksi sebuah metode universal dengan didasarkan pada pondasi kejiwaan.
Dalam hal ini antara Schleiermacher dan Dilthey termasuk dalam satu aliran,
yang lebih menekankan pada upaya rekonstruksi maksud asli teks yang
ditafsrikan.
Salah satu tokoh lainnya adalah Gadamer. Menurut Gadamer kunci
pemahaman adalah partisipasi dan keterbukaan, bukan manipulasi dan
pengendalian. Bagi dia pemahaman bukalah suatu tujuan, tapi yang paling
penting adalah bagaimana sejarah dan tradisi menjadi sebuah jalan terjadinya
dialog. Dalam pemikirannya pengetahuan terjadi karena adanya dialog. Dan
bahasa menjadi media penting terjadinya dialog. Sedangkan bahasa tidak terbatas
pada teks, namun segala sesuatu adalah teks.16
Dalam hal ini pemikiran Gadamer
tergolong dalam jenis pemikiran filsafat hermeneutis, yang titik tekannya adalah
pada nalar ontologis.
Kemudian hermeneutika berkembang dan mempengaruhi pemikir-pemikir
muslim kontemporer dalam kajian penafsiran, seperti Hasan Hanafi, Mohammad
Arkoun, Farid Esack dan Nashr Hamid Abu Zayd. Tidak luput pula hermeneutika
mulai memasuki khazana pemikiran cendekiawan Nusantara. Beberapa pemikir
Indonesia abad modern dan kontemporer—bahkan dalam karya tafsirnya—turut
menerapkan beberapa model hermeneutika. Mereka melalukan itu tanpa
15
Ibid., 47
16
F. Budi Hardiman, ‚Ilmu-ilmu sosial dalam Diskursus Modernisme dan Pasca-Modernisme,‛ dalam
Jurnal Ulumul Quran Vol. 5 (1994), 7
13. 13
meninggalkan pertimbangan kesesuaiannya dalam aktifvitas penafsiran Al-
Qur’an.
C. Aliran-aliran Hermeneutika
Sebagai sebuah metodologi penafsiran, hermeneutika bukan hanya sebuah
bentuk yang tunggal melainkan terdiri atas berbagai model dan varian. Dari beberapa
tokoh yang telah disebutkan diatas digolongkan ke dalam tiga bentuk atau model
hermeneutika.
1. Hermenutika Objektif
Hermeneutika objektif dikembangkan tokoh-tokoh klasik, khususnya
Friedrick Schleiermacher (1768-1834), Wilhelm Dilthey (1833-1911) dan Emilio
Betti (1890-1968).17
Menurut aliran pertama ini, menafsirkan berarti memahami
teks sebagaimana yang dipahami pengarangnya. Yang disebut teks, menurut
Schleiermacher, adalah ungkapan jiwa pengarangnya. Seperti juga disebutkan
dalam teori Emilio Betti, apa yang disebut makna atau tafsiran atasnya tidak
didasarkan atas kesimpulan kita melainkan diturunkan dan bersifat instruktif
(dari pengarang).18
Menurut Schleiermacher, untuk mencapai tingkat menyelami jiwa
pengarang, ada dua cara yang dapat ditempuh; melalui bahasanya yang
mengungkapkan hal-hal baru, atau lewat karakteristik bahasanya yang ditransfer
kepada kita. Metode ini didasarkan atas konsepnya tentang teks. Setiap teks,
menurutnya, mempunyai dua sisi; sisi linguistik dan sisi psikologis. Sisi
linguistik, yakni makna secara bahasa yang menjadikan proses memahami
menjadi mungkin, sedangkan sisi psikologis merupakan makna yang menunjuk
pada kejiwaan dan pikiran pengarang yang tertuang dalam gaya bahasa yang
digunakan. Dalam kaitan dua aspek inilah pembaca mengkonstruksinya dalam
upaya memahami pikiran pengarang dan pengalamannya, sehingga pembaca
mendapatkan pemahaman yang objektif.19
Sedangkan untuk dapat memahami
maksud pengarang, karena gaya dan karakter bahasanya berbeda, maka penafsir
harus keluar dari tradisinya sendiri untuk kemudian menyelami tradisi dalam
17
Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas, terj. Ahsin Muhammad, (Bandung: Pustaka, 1985), 9-10.
18
Nasr Hamid Abu Zayd, Isyka>liya>t at-Ta’wi>ll wa Aliya>t al-Qira>’ah, (Kairo: Al-Markaz Ats-Tsaqafi,
tt), 11. Lihat juga, Sumaryono, Hermeneutik, (Yogya: Kanisius, 1996), 31.
19
Sumaryono, Hermeneutik, (Yogya: Kanisius, 1996), 32.
14. 14
kehidupan penulis teks tersebut, atau sekedar membayangkan seolah dirinya
hadir pada zaman itu. Sedemikian, sehingga dengan masuk pada tradisi
pengarang, memahami dan menghayati budaya yang melingkupinya.20
Dalam hirarki analisis Schleiermacher ini, Abu Zayd menyatakan bahwa
diantara dua sisi ini Schleiermacher lebih mendahulukan sisi linguistik dibanding
analisa psikologis, meski dalam tulisannya sering dinyatakan bahwa analisa
dimulai dari sisi manapun sah saja—sepanjang sisi yang satu memberi
pemahaman kepada yang lain dalam upaya memahami teks.21
Jika penafsiran atas Al-Qur’an dilakukan dengan teori ini sebagai metode
analisis, maka; pertama, kita harus mempunyai kemampuan gramatika bahasa
Arab yang memadai; kedua, memahami tradisi yang berkembang dalam ruang
dan waktu turunnya ayat. Karena kita tidak memungkinkan untuk menyelami
‘psikologis’ Allah, maka komponen ini ditiadakan. Dengan dua komponen
landasan dalam menyelami teks itu, kita dapat benar-benar memahami apa yang
dimaksud dan diharapkan oleh Al-Qur’an. Berbeda halnya dalam teks-teks
sekunder keagamaan, semisal karya-karya Asy-Syafi’i (767-820 M). Selain kita
dapat—dan harus—memahami karakter bahasa dan istilah-istilah yang biasa
digunakan, kita juga harus paham tempat dan tradisi dimana karya-karya tersebut
ditulis. Selain itu, kita harus memahami kondisi psikologis Syafi’i sendiri pada
saat itu dalam ruang lingkup kepengarangannya.
2. Hermeneutika Subjektif
Hermeneutika subjektif ini kembangkan oleh tokoh-tokoh modern abad
ke-20 seperti Hans-Georg Gadamer dan Jacques Derida.22
Adapun bagi aliran
kedua ini, hermeneutika bukan usaha menemukan makna objektif yang dimaksud
pengarang seperti yang diasumsikan model hermeneutika objektif melainkan
memahami langsung pada teks itu sendiri.23
Maka menurut hermeneutika
subjektif, pengarang telah ‘mati’ dalam kepengaranganya atas teks dan siapapun
berhak menafsirkan teks itu sendiri sebagai objek utamanya.
20
K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX, I, (Jakarta: Gramedia, 1981), 230.
21
Abu Zayd, Isyka>liya>t at-Ta’wi>l, 12-13.
22
Rahman, Islam dan Modernitas, 13.
23
Bertens, Filsafat Barat…, I, 231.
15. 15
Pemahaman atas tradisi si pengarang seperti yang disebutkan dalam
hermeneutika objektif, tidak diperlukan lagi. Menurut Gadamer, dalam teknik
penafsiran seorang penafsir tidak perlu melepaskan diri dari tradisinya sendiri
dalam rangka menyelami tradisi pengarang. Bahkan, hal itu adalah sesuatu yang
tidak mungkin, karena keluar dari tradisi sendiri berarti mematikan kreativitas.
Sebaliknya, justru seseorang harus menafsirkan teks berdasarkan apa yang
dimiliki saat ini, apa yang dilihat dan apa yang akan diperoleh kemudian—
artinya secara mandiri.24
Jelasnya, sebuah teks diinterpretasikan justru berdasarkan pengalaman
dan tradisi yang ada pada si penafsir itu sendiri dan bukan berdasarkan tradisi si
pengarang, sehingga hermeneutika tidak lagi sekedar mereproduksi ulang wacana
yang telah diberikan pengarang melainkan memproduksi wacana baru demi
kebutuhan masa kini sesuai dengan subjektifitas penafsir.
Meskipun begitu realitas historis masa lalu tidak dianggap sebagai
sesuatu yang terpisah dari masa kini melainkan satu kesatuan atau tepatnya
sebuah kesinambungan. Dalam pandangan Gadamer jarak antara masa lalu dan
masa kini tidak terpisahkan oleh jurang yang curam, melainkan jarak yang penuh
dengan kesinambungan tradisi dan kebiasaan dimana masa lalu itu
mengejawatahkan dirinya di masa kini.25
Pandangan ini tercermin dalam Teori
Keterpengaruhan oleh Sejarah yang dikemukakannya. Karena pandangan ini ada
sebagian sarjana yang mengkategorikan Gadamer ke dalam aliran Objektifis-
cum-Subjektifis.26
Jika hermeneutika model ini diaplikasikan untuk Al-Qur’an maka ia harus
menjadi teks yang ditafsirkan dengan konteks dan kebutuhan saat ini. Dalam hal
ini maka Al-Qur’an harus terlepas dari konteks historisnya seperti asbab an-
nuzu>l, makki-madani, nasikh-mansukh. Sehingga akan lahir interpretasi yang
benar-benar baru, yang murni dengan melihat teks an-sich.
24
Sumaryono, Hermeneutik, 77
25
Ibid.
26
Sebagai perbandingan lihat misalnya, Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan.., 50
16. 16
3. Hermeneutika Pembebasan
Hermeneutika pembebasan dikembangkan oleh tokoh-tokoh muslim
kontemporer seperti Hasan Hanafi dan Farid Esack. Yang menjadi landasan dari
hermeneutika ini sebenarnya adalah pemikiran hermeneutika subjektif,
khususnya dari Gadamer. Namun, pengembangannya adalah bahwa hermeneutika
tidak hanya berarti ilmu interpretasi atau metode pemahaman tetapi lebih dari itu
adalah aksi. Menurut Hanafi, hermeneutika adalah pada tiga tataran; pertama,
kritik historis; kedua, proses pemahaman teks; ketiga, kritik praksis.27
Pertama adalah kritik historis untuk menjamin keaslian teks dalam
sejarah. Ini penting, karena tidak akan terjadi pemahaman yang benar jika tidak
ada kepastian bahwa yang difahami tersebut secara historis adalah asli.
Pemahaman atas teks yang tidak asli akan menjerumuskan orang pada
kesalahan.28
Untuk menjamin keaslian sebuah teks suci, Hanafi mengajukan
persyaratan sebagai berikut; (1) Teks tersebut tidak ditulis setelah melewati
masa pengalihan secara lisan tetapi harus ditulis pada saat pengucapannya, dan
ditulis secara in verbatim (persis sama dengan kata-kata yang diucapkan pertama
kali). Maka narator harus orang yang hidup pada zaman yang sama dengan saat
dituliskannya kejadian-kejadian tersebut dalam teks. (2) Adanya keutuhan teks.
Semua yang di sampaikan oleh narator atau nabi harus disimpan dalam bentuk
tulisan, tanpa ada yang kurang atau berlebih. (3) Nabi atau malaikat yang
menyampaikan teks harus bersikap netral, hanya sekedar sebagai alat komunikasi
murni dari Tuhan secara in verbatim kepada manusia, tanpa campur tangan
sedikitpun dari pihaknya, baik menyangkut bahasa maupun isi gagasan yang ada
di dalamnya. Istilah-istilah dan arti yang ada di dalamnya bersifat ketuhanan
yang sinomin dengan bahasa manusia. Jika sebuah teks memenuhi persyaratan
sebagaimana diatas, ia dinilai sebagai teks asli dan sempurna. Dengan landasan
tersebut, Hanafi menilai bahwa hanya Al-Qur’an yang bisa diyakini sebagai teks
asli dan sempurna, karena tidak ada teks suci lain yang ditulis secara in-verbatim
dan utuh seperti al-Qur`an.
27
Hasan Hanafi, Liberalisasi, Revolusi, Hermeneutik, terj. Jajat Firdaus, (Yogyakarta: Prisma, 2003),
109.
28
Hasan Hanafi, Dialog Agama dan Revolusi, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), 1.
17. 17
Kedua, proses pemahaman terhadap teks atau kritik eiditis. Sebagaimana
yang terjadi pada tahap kritik sejarah, dalam pandangan Hanafi, pamahaman
terhadap teks bukan monopoli atau wewenang suatu lembaga atau agama, bukan
wewenang dewan pakar, dewan gereja, atau lembaga-lembaga tertentu,
melainkan dilakukan atas aturan-aturan tata bahasa dan situasi-situasi
kesejarahan yang menyebabkan munculnya teks.29
Dalam proses pemahaman teks ini, Hanafi mempersyaratkan, (1) penafsir
harus melepaskan diri dari dogma atau pemahaman-pemahaman yang ada. Tidak
boleh ada keyakinan atau bentuk apapun sebelum menganalisa linguistis terhadap
teks dan pencarian arti-arti. (2) Setiap fase dalam teks, mengingat bahwa Al-
Qur’an sebagai teks turun secara bertahap, harus difahami sebagai suatu
keseluruhan yang berdiri sendiri. Masing-masing harus difahami dan dimengerti
dalam kesatuanya, dalam keutuhannya dan dalam intisarinya.30
Ketiga, kritik praksis. Sebuah dogma akan diakui sebagai sistem ideal jika
tampak dalam tindakan manusia. Begitu pula hasil tafsiran, akan dianggap positif
dan bermakna jika dapat dikenali dalam kehidupan, bukan atas dasar fakta-fakta
material. Karena itu, pada tahap terakhir dari proses hermeneutika ini, yang
penting adalah bagaimana hasil penafsiran ini bisa diaplikasikan dalam
kehidupan manusia, bisa memberi motivasi pada kemajuan dan kesempurnan
hidup manusia.31
D. Potensi Hermeneutika dalam Pengembangan Kajian Al-Qur’an32
Meskipun hingga saat ini masih terjadi perdebatan mengenai penggunaan
hermeneutika dalam penafsiran Al-Qur’an, namun disini akan dipaparkan sebagian
poin potensi—relevansi antara—hermeneutika dari tokoh tertentu dan
pengembangan kajian Al-Qur’an.
1. F. Schleiermacher
Pemikiran hermeneutika yang dikembangkannya dapat dipetakan ke
kedalam; hermeneutika gramatikal dan hermeneutika psikologis.
29
Ibid, 16.
30
Ibid, 17.
31
Ibid., 22-25
32
Lihat, Syamsuddin, hermeneutika dan Pengembangan…,59-88
18. 18
a) Hermeneutika Gramatikal
Hermeneutika Gramatikal adalah penafsiran yang didasarkan pada
analisa bahasa. Prinsip dan kaedah linguistik yang harus dipegang antara lain:
i. Seorang penafsir harus mengerti bahasa yang digunakan oleh
pengarang.
Tentu saja seorang mufassir harus mengerti dan memahami
bahasa yang digunakan oleh Al-Qur’an, yakni bahasa Arab, termasuk
aturan dan kaedah gramatikal di dalamnya seperti nahw dan sharf.
ii. Dalam proses penafsiran seorang mufassir harus melakukan analisa
sitagmatis.
Artinya ketika seorang mufassir menafsirkan satu kata dalam
ayat Al-Qur’an maka ia harus memperhatikan kata-kata yang ada di
sekelilingnya. Prinsip ini sangat bermanfaat untuk penafsiran ayat-
ayat Al-Qur’an dimana terdapat banyak kata-kata yang memiliki lebih
dari satu arti (musytarak al-ma’a>ni). Dalam upaya mencermati hal
semacam itu, karya-karya yang muncul dalam tradisi Islam adalah
sebagai apa yang dibahasakan dengan al-asybah wa an-nazha>’ir.
iii. Dalam proses penafsiran seorang mufassir harus memperhatikan
hubungan antara bagian-bagian dan kesluruhan.
Prinsip ini sangat penting dalam penafsiran Al-Qur’an. Dengan
prinsip tersebut artinya seorang mufassir dalam proses pemahaman
maksud ayat maka harus memahami masing-masing arti kata
didalamnya. Dan ayat atau sekumpulan ayat dapat dipahami dengan
memperhatikan kesulurahan pesan Al-Qur’an. Prinsip ini dapat
dikatakan sebagai perhatian terhadap konteks tekstual, dan hal ini
sangat membantu dalam proses penafsiran.
b) Hermeneutika Psikologis
Mengenai hermeneutika psikologis seperti yang ditawarkan
Schleiermacher dapat diakatakan bahwa ia tidak dapat diterapkan secara
19. 19
hakiki dalam proses penafsiran Al-Qur’an. Karena ia merujuk pada keharusan
bagi seorang mufassir untuk menyelami kejiwaan author, yang dalam
kaitannya dengan Al-Qur’an adalah Allah seabagai ‘sang pengarang’, dan
untuk melakukan itu adalah hal yang mustahil. Meskipun demikian, semangat
dari prinsip ini dapat dikatakan sebagaimana perhatian mufassir dalam tradisi
Islam dengan pentingnya memperhatikan asbab an-nuzu>l.
2. H.-G. Gadamer
Teori-teori Gadamer dalam hermenetika subjektifis telah dipaparkan
dalam penjelasan terdahulu. Maka dari teori-teori tersebut akan ada beberapa
poin relevansi dalam kaitannya dengan penafsiran Al-Qur’an.
a) Teori Kesadaran Keterpengaruhan oleh Sejarah
Sejarah tradisi tidak membentuk jurang yang menganga, dan justru
terjalin kesinambungan. Oleh karena, pengetahuan merupakan hasil dari
pengalaman yang merupakan bentukan dari tradisi. Kaitan teori ini dengan
penafsiran Al-Qur’an, adalah bahwa seorang mufassir haruslah berhati-hati
dalam menafsirkan teks dan menghindari penafsiran dengan kehendaknya
yang berasal dari keterpangaruhannya oleh sejarah— baik pengetahuan,
pengalaman dan apa yang dirasakan—semata. Dan hal ini tentu sangat
bermanfaat dalam proses penafsiran Al-Qur’an untuk mendapatkan
penafsiran yang sesuai. Hal ini bersesuaian dengan apa yang disabdakan oleh
Nabi Muhammad agar menghindari ‚man fassara al-Qur’a>n bi ghairi ‘ilm‛,
dalam artian jangan sampai kita menjadi orang yang menafsirkan tanpa ilmu.
b) Teori Fusion of Horizons (Asimilasi Horison-horison)
Gadamer menegaskan bahwa dalam prose penafsiran terdapat dua
horison utama; horison teks dan horison penafsir. Kedua horison itu harurs
diperhatikan dan diasimilasikan oleh penafsir. Horison teks hanya dapat
diketahui dengan memperhatikan atau analisa apa yang disebut oleh Amin
Al-Khulli dengan ma> fi an-nash (apa yang ada di dalam teks) dan ma> h}aula
an-nash (sesuatu yang melingkupi teks). Analisa terhadap ma> fi an-nash dapat
dilakukan dengan analisis kebahasaan. Sedangkan analisis terhadap ma> h}aula
an-nash dapat dilakukan dengan melihat asbab an-nuzul, baik makro maupun
mikro.
20. 20
c) Teori Aplikasi (Anwendung)
Setelah mufassir menemukan makna yang dimaksud secara
kontekstual teks tersebut muncul, maka mufassir melakukan reinterpretasi
dan pengembangan penafsiran serta aktualisasi dengan memperhatikan
relevasinya dengan makna asal. Maka dalam hal ini dalam tradisi Islam, Al-
Ghazali mengungkapnya adanya ma’na zhahir dan ma’na bathin. Atau ma’na
dan maghza yang disebutkan Nashr Hamid Abu Zayd. Tentu saja teori ini
dapat diaplikasikan dalam penafsiran dan menjadi pengembangan ulumul
Qur’an yang siginifikan.
E. Contoh Aplikasi Hermeneutika (Konteks Ke-Indonesia-an)
Gejolak politik negara-negara dunia saat ini sedang menjadi isu internasional
yang aktual. Gejolak itu dikolaborasi dengan kebangkitan kembali gerakan ‘jihadis’
yang menjalar di wilayah-wilayah negera mayoritas muslim, yang bahkan gerakan itu
memiliki mimpi besar mewujudkan kepemimpinan khilafah. Tidak dapat dipungkiri
aroma jihad ini juga tercium di Indonesia. Sementara Islam dengan pesan moral yang
utama mengajarkan dan menekankan pentingnya perdamaian.
Dalam contoh aplikasi penafsiran hermeneutis ini akan diangkat penafsiran
tentang ayat-ayat perang, dimana ayat-ayat itu—tidak jarang disalah-artikan dan
disalah-pahami, dan bahkan—menjadi alat legitimasi gerakan jihad, hingga jihad
yang beraroma perebutan kekuasaan di kancah internasional.
Penafsiran QS. Al-Hajj [22] ayat 29-40
1. Konteks Historis Ayat
21. 21
‚Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena
Sesungguhnya mereka telah dianiaya. dan Sesungguhnya Allah, benar-benar
Maha Kuasa menolong mereka itu, (yaitu) orang-orang yang telah diusir dari
kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka
berkata: "Tuhan Kami hanyalah Allah". dan Sekiranya Allah tiada menolak
(keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah
dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi
dan masjid- masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah.
Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya.
Sesungguhnya Allah benar-benar Maha kuat lagi Maha perkasa,‛
Ayat tersebut tergolong ayat Madaniyyah (diturunkan pada masa setelah
Nabi hijrah ke Madinah). Ath-Thabari menafsirkan ayat 29 dengan: ‚Tuhan
mengizinkan kaum mukmin untuk berperang melawan kaum musyrik karena
mereka menindas kaum mukmin dengan menyerang mereka.‛33
Az-Zamakhsyari
mengugkapkan bahwa kaum musyrik Makkah menyakiti kaum mukmin dan
datang kepada Nabi Muhammad dan menyakiti beliau pula, tetapi Nabi
Muhammad mengatakan kepada pengikutnya: ‚Sabarlah! Aku belum
diperintahkan untuk pergi berperang‛.34
Ar-Ra>zi juga memberikan penjelasan
yang sama.35
Ath-Thabari mengutip pernyataan Ibnu Zayd yang manyatakan bahwa
kebolehan perang diberikan setelah Nabi dan para sahabatnya bersabar terhadap
perlakuan kaum musyrik selama sepuluh tahun.36
Az-Zamakhsyari dan Ar-Ra>zi
menegaskan bahwa perang baru diizinkan dalam ayat yang turun, setelah
diturukan tujuh puluh ayat yang melarangnya.37
Dalam sejarah Islam, peperangan besar pertama yang terjadi antara kaum
mukmin dan kaum musyrik Makkah terjadi pada tahun 2 Hijriyah, yakni perang
Badar yang setelah hijrah ke Madinah. Dan ayat perang tersebut turun setelah
memang tidak ada jalan keluar lain untuk mengatasi kaum Musyrik Mekkah
yang telah banyak melakukan tindak kekerasan terhadap Nabi Muhammad dan
33
Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir Ath-Thabari, Ja>mi’ al-Baya>n ‘an Ta’wi>l A<>y al-Qur’a>n, (Kairo:
Hajar, 2001), Juz 16, 571.
34
Mahmud ibn Umar Az-Zamakhsyari, Al-Kasysya>f, (Kairo: Maktabah al-‘Abikan, 1998), 199 .
35
Fakhr Ad-Di>n Ar-Ra>zi, Mafa>tih al-Ghaib, (Beirut: Dar al-Fikr, 1981), Juz 23, 40.
36
Ath-Thabari, Ja>mi’ al-Baya>n, 575.
37
Az-Zamakhsyari, al-Kasysya>f, Juz 4, 199; Ar-Ra>zi, Mafa>tih al-Ghaib, Juz 23, 40.
22. 22
para pengikutnya. Upaya bertahan dengan bersabar dan membiarkan kaum
musyrik telah dilakukan, akan tetapi mereka tetap melakukan tekanan dan
serangan.
2. Analisis Bahasa
Dua ayat ini terdiri dari rangkaian idiom sebagai kunci pemaknaan, yang
menunjukkan situasi yang dapat menyebabkan diizinkannya berperang. Dan
beberapa kata menunjukkan makna yang memiliki konsekuensi hukum
tersendiri. Adapun urainya sebagai berikut.
a)
Potongan ayat ini diartikan dengan: Telah diizinkan (berperang) bagi orang-
orang yang diperangi, karena Sesungguhnya mereka telah dianiaya. Di
dalamnya terdapat dua kata kunci yang perlu diperhatikan yaitu ‚udzina‛ dan
‚zhulimu‛. Mengenai kata udzina ia adalah bentuk pasif (mabni majhul) yang
artinya diizinkan, sedangkan bentuk aktifnya (mabni ma’lu>m) adalah adzina
yang artinya mengizinkan. Ibnu Mandzu>r menyebutkan kata adzina lahu fi
asy-syai’ artinya sama dengan aba>h}ahu lahu (seseroang membolehkan sesuatu
kepada orang lain.38
Dengan bentuk udzina menunjukkan bahwa perang
hanyalah sesuatu yang diperbolehkan, dalam artian lebih baik dihindari dan
tidak harus menempuh jalan perang.
Sedangkan li al-ladzi>na yuqa>talu>na (bagi mereka yang diperangi) dan
biannahum zhulimu (karena mereka ditindas), menunjukkan bahwa
diperbolehkannya jalan perang adalah ketika dalam kondisi penindasan.
Dalam hal makna penindasan secara konteks historis masa Nabi Muhammad,
maka kita harus melihat rekam sejarah bagaimana yang dialami olehnya dan
para pengikutnya. Dan kita tidak bisa menrapkan makna penindasan ini
secara general.
Secara implikasi hukum, ayat yang terdapat struktut udzina lebih rendah
kadar perintahnya daripada ayat yang memuat perintah langsung seperti
38
Ibnu Mandzu>r, Lisa>n al-‘Arab, (Kairo: Da>r Al-Ma’arif, tt.), 52
23. 23
qa>tilu> (berperanglah/perangilah) dalam surat Al-Baqarah ayat 190, Ali Imra>n
ayat 167, An-Nisa’ ayat 76 dan sejenisnya, dan infiru (berangkatlah untuk
berperang) seperti yang terdapat dalam surat At-Taubah ayat 38, 41. Namun
ayat-ayat yang mengandung bentuk perintah tersebut tidak seharusnya
menjadi pemahaman utama untuk berperang, akan tetapi bahwa bentuk
perintah ini turun setelah diizinkan (udzina) sebagai yang pertama turun
dalam ‘kebolehan’ berperang.
b)
Penggalan ayat tersebut diterjemahkan dengan: ‚ (yaitu) orang-orang yang
telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali
karena mereka berkata: "Tuhan Kami hanyalah Allah". Izin untuk berperang
diberikan dengan kondisi bahwa ketidak-adilan dan penindasan yang
dilakukan terhadap orang mukmin adalah yang hingga kaum musyrik Makkah
mengusir mereka dari tanah kelahiran tanpa alasan yang dapat diterima. Itu
ditunjukkan pada bagian alladzi>na ukhriju> min diya>rihim bi-ghairi haqq.
Lanjutan dari potongan kalimat itu, illa an yaqu>lu> rabbuna Allah yang
menunjukkan adalah bahwa kaum Mukmin diusir dari sana karena perbedaan
keyakinan dimana orang mukmin hanya mengakui Allah sebagai Tuhan.
Kaum musyrik Makkah memaksa setiap otang untuk mengikuti kepercayaan
politeisme mereka. Dan orang yang tidak menerimanya maka akan mereka
tekan dan mereka tindas.
c)
Arti dari ptongan ayat tersebut : dan Sekiranya Allah tiada menolak
(keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah
dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang
Yahudi dan masjid- masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah.
24. 24
Az-Zamakhsyari menafsirkannya dengan menyatakan: ‚Allah memberikan
kekuatan kepada kaum Muslim lebih daripada kaum kafir untuk berperang.
Jika tidak, maka kaum kafir akan menyerang pengikut agama lain pada masa
itu, merebut tempat-tempat ibadah mereka dan kemudian merusaknya.
Mereka tidak akan membiarkan gereja dan baira umat Kristen, sinagog kaum
Yahudi dan masjid umat Islam.‛39
Ini menunjukkan pelawanan yang
dilakukan oleh kaum muslim terhadap kaum musyrik dalam semangat
melindungi kedamaian pemeluk agama-agama, termasuk agama selain Islam.
3. Pesan Utama Ayat
Ayat tersebut harus dipahami konsteks historis dan tekstualnya agar
dapat diperoleh pehaman yang tepat. Bagian-bagian utama dalam penggalan-
penggalan ayat diatas menunjukkan beberapa maksud dan pesan utama ayat
tersebut, yang seharusnya bersesuaian maksud keseluruhan Al-Qur’an, dan
Islam sebagai agama yang menekankan pentingnya perdamaian dan
kesetaraan, dan kebebasan beragama.
a) Penghapusan Penindasan
Penindasan dalam bahasa Arab diartikan dengan zhulm yang
secara leksikal kata ini bermakna wadh’ asy-syai’ fi ghairi mahallihi
(menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya).40
Dalam Al-Qur’an, kata
ini merujuk pada tindakan yang menyalahi hukum dan aturan Allah.
Sedangkan kata zhulm sendiri digunakan untuk menyifati perbuatan
syirik dengan ‚zhulm azhim‛. Arti lain dari zhulm adalah tindakan yang
dapat menyakiti orang lain. Apa yang dilakukan oleh kamu musyrik
Makkah dengan mengusir kamm mukmin merupakan tidakan zhulm. Dan
kaum mukmin dalam kondisi sebagai yang terzhalimi kemudian
‘diizinkan’ untuk melakukan perlawanan dengan solusi terakhir perang.
b) Penegakan Kebebasan Beragama
39
Az-Zamakhsyari, Al-Kasysya>f…, 199.
40
Ibnu Mandzu>r, Lisa>n al-‘Arab, 31.
25. 25
Di dalam ayat 256 surat Al-Baqarah disebutkan bahwa tidak ada
paksaan dalam agama. Izin melakukan peperangan pada waktu itu
diberikan dalam rangka menegakkan kebebasan beragama. Dimana saat
itu kaum musyrik Makkah melakukan penindasan terhadap setiap orang
yang menolak keyakinan politeisme mereka.
c) Penegakan Perdamaian
Meskipun perang merupakan jalan yang ditempuh oleh kaum
muslim saat itu mewujudkan perdamaian, akan tetapi ia bukanlah satu-
satunya jalan. Penegakan perdamaian merupakan salah satu pesan
utamadari pembolehan melakukan perang. Sikap Nabi Muhammad dan
kaum muslim di Madinah. yang satu itu hidup berdampingan dengan
kaum Yahudi dan Nasrani, menunjukkan sikap damai yang dicontohkan
oleh Rasulullah. Maka atas dasar nilai-nilai dari Rasulullah ini, maka ayat
perang dalam QS. Al-Hajj ayat 39-40 tersebut seharusnya yang diambil
bukanlah perangnya, akan tetapi pesan utamanya yakni penegakan
perdamaian.
26. 26
BAB III
PENUTUP
Kesimpuan
Bahwa hermenutika diperdebatkan penggunaannya dalam penafsiran Al-Qur’an
bukanlah suatu yang menghalangi mufassir abad ini untuk terus menggali relevansinya.
Hermeneutika sebagai tradisi kritik Bible dalam sejarah awalnya, menjadi embrio penting
perkembangnnya hingga ia menjadi metode penafsiran yang menyuarakan kebenaran. Dan
tidak ada yang salah ketika intelektual Islam mengembangkannya, dengan mengadopsi teori
dan metode analisis teks yang relevan untuk diterapkan dalam proses penafsiran Al-Qur’an.
Pertimbangan antara konteks tekstual dan konteks historis ayat perlu diperhatikan
dalam proses penafsiran. Sehingga apa yang ditemukan sebagai maghza (pesan utama) suatu
ayat dapat berkesinambungan dengan konteks tekstualnya. Beberapa tafsir yang ada, dalam
hal ini tafsir maudhu’I dilihat dari beberapa kasus, melupakan kritik konteks histori dari segi
runtutan turunnya ayat (tarti>b nuzu>li). Satu ayat yang jadikan objek kajian terkadang
dipisahkan dari kaitannya dengan ayat lain yang satu tema. Dan hal ini melahirkan
pemahaman yang salah terhadap ayat yang ditafsirkan.
Dalam memahami ayat perang kaum fundamentalis melewatkan pesan-pesan utama
yang dikandungnya; (1) penghapusan penindasan, (2) penegakan kebebasan beragama, dan
(3) penegakan perdamaian. Oleh karenanya ayat itu mereka gunakan untuk melegalkan aksi
‘jihad’ yang mereka lakukan, yang bisa jadi karena didukung oleh kesalahan mereka dalam
pemahaman ayat tersebut atau karena memang ayat tersebut sengaja disalah-gunakan.
27. 27
DAFTAR PUSTAKA
Abu Zayd, Nasr Hamid, Isyka>liya>t at-Ta’wi>ll wa Aliya>t al-Qira>’ah, Kairo: al-Markaz al-
Tsaqafi, tt.
Bertens, K., Filsafat Barat Abad XX, I, Jakarta: Gramedia, 1981.
Faiz, Fahruddin, Hermeneutika Al-Qur’an Tema-tema Kontroversial, Yogyakarta:
Kalimedia, 2015.
Gadamer, Hans Georg, ‚Classical and Philosophical Hermeneutics,‛ Dalam Theory, Culture
and Society, London: SAGE, 2006, vol. 23.
Grodin, Jean,Sejarah Hermeneutika dari Plato sampai Gadamer, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media,
2010.
Hanafi, Hasan, Liberalisasi, Revolusi, Hermeneutik, terj. Jajat Firdaus, Yogyakarta: Prisma,
2003.
-------, Dialog Agama dan Revolusi, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994.
Hardiman, F. Budi, ‚Ilmu-ilmu sosial dalam Diskursus Modernisme dan Pasca-
Modernisme,‛ dalam Jurnal Ulumul Quran Vol. 5 (1994).
Rahman, Fazlur, Islam dan Modernitas, terj. Ahsin Muhammad, Bandung: Pustaka, 1985.
Ra>zi (Ar), Fakhr Ad-Di>n, Mafa>tih al-Ghaib, Beirut: Dar al-Fikr, 1981, Juz 23.
Sumaryono, Hermeneutik, Yogya: Kanisius, 1996.
Syamsuddin, Sahiron, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an, Yogyakarta:
Pesantren Nawasea Press, 2017.
Thabari (Ath), Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir, Ja>mi’ al-Baya>n ‘an Ta’wi>l A<>y al-Qur’a>n,
Kairo: Hajar, 2001, Juz 16.
Zamakhsyari (Az), Mahmud ibn Umar, Al-Kasysya>f, Kairo: Maktabah al-‘Abikan, 1998.