Tiga kalimat ringkasan dokumen tersebut adalah:
Dokumen tersebut membahas tentang pengertian dan kerangka penilaian Corporate Governance Rating serta implementasi dan tantangan penerapan tata kelola perusahaan yang baik di Indonesia, termasuk kritik dan rekomendasi untuk perbaikan penerapan GCG.
1. BUSINESS ETHIC AND GOOD GOVERNANCE
Nama : RUSLAN
NIM : 55116120052
Dosen Pengampu : Prof. Dr. Ir. Hapzi Ali, MM, CMA
Program Studi Magister Manajemen
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS MERCUBUANA
JAKARTA
2017
2. Governance Rating
Corporate Governance Rating (CGR) dimaksudkan untuk menunjukkan tingkat relatif
dimana organisasi menerima dan mengikuti kode dan pedoman praktik tata kelola
perusahaan. Praktik tata kelola perusahaan yang lazim di perusahaan mencerminkan
distribusi hak dan tanggung jawab di antara berbagai peserta dalam organisasi seperti
Dewan, manajemen, pemegang saham dan pemangku kepentingan keuangan lainnya, dan
peraturan dan prosedur yang ditetapkan dan diikuti untuk mengambil keputusan mengenai
urusan perusahaan.
Penekanannya adalah pada praktik bisnis perusahaan dan standar pengungkapan kualitas
yang memenuhi persyaratan regulator dan adil dan transparan bagi pemangku kepentingan
keuangannya. Di sisi lain, terkait dengan pengelolaan nilai dan nilai bagi semua pemangku
kepentingan sebuah perusahaan, selain praktik tata kelola perusahaan. Penilaiannya juga
mempertimbangkan kinerja aktual perusahaan dan akrual dari keuntungan kinerja tersebut
di antara semua pemangku kepentingannya, terlepas dari kualitas praktik tata kelola
perusahaan. Ini adalah penilaian gabungan dari penciptaan dan pengelolaan nilai pemangku
kepentingan dan kualitas praktik tata kelola perusahaan yang menentukan Peringkat.
Hal ini dapat membantu perusahaan yang dinilai dalam :
Mengumpulkan dana
Daftar di bursa saham
Berurusan dengan pihak ketiga seperti kreditur
Memberikan kenyamanan kepada regulator
Memperbaiki citra / kredibilitas
Meningkatkan penilaian
Memperbaiki praktik tata kelola perusahaan melalui benchmarking.
Berdasarkan program penelitian Bank Dunia yang telah berlangsung lama, Worldwide
Governance Indicators menangkap enam dimensi utama tata kelola yaitu Voice &
3. Accountability, Stabilitas Politik dan Kekurangan Kekerasan, Efektivitas Pemerintah,
Kualitas Regulasi, Aturan Hukum, dan Pengendalian Korupsi) antara tahun 1996 dan
sekarang. Mereka mengukur kualitas pemerintahan di lebih dari 200 negara, berdasarkan
hampir 40 sumber data yang dihasilkan oleh lebih dari 30 organisasi di seluruh dunia dan
diperbarui setiap tahun sejak tahun 2002.
Indikator tata kelola berkontribusi pada penelitian empiris pemerintahan yang terus
berkembang yang telah memberi para aktivis dan pembaru di seluruh dunia dengan alat
advokasi untuk reformasi dan pemantauan kebijakan. Indikator, dan data mendasar di
belakang mereka, adalah bagian dari penelitian dan pendapat saat ini yang telah
memperkuat pengalaman dan pengamatan individu-individu yang berpikiran reformasi di
pemerintahan, masyarakat sipil, dan sektor swasta, bahwa tata kelola yang baik adalah
kunci untuk pembangunan. Pengakuan mereka terhadap hubungan antara tata
pemerintahan yang baik dan keberhasilan pembangunan, sebagaimana ditunjukkan oleh
bukti empiris, telah mendorong permintaan untuk memantau kualitas pemerintahan di
seluruh negara dan di masing-masing negara dari waktu ke waktu. Hampir semua sumber
data individual yang mendasari indikator agregat adalah, bersama dengan indikator agregat
sendiri, tersedia untuk umum.
Indikator Tata Pemerintahan Seluruh Dunia adalah kompilasi persepsi kelompok
responden yang sangat beragam, yang dikumpulkan dalam sejumlah besar survei dan
penilaian pemerintahan lintas negara lainnya. Beberapa instrumen ini menangkap
pandangan perusahaan, individu, dan pejabat publik di negara-negara yang sedang dinilai.
Yang lain mencerminkan pandangan LSM dan donor bantuan dengan pengalaman yang
cukup di negara-negara yang sedang dinilai, sementara yang lain didasarkan pada penilaian
lembaga pemeringkat risiko komersial.
4. Kerangka Penilaian
Salah satu kerangka penilaiannya adalah dengan menggunakan template self assessment
yang disediakan oleh pihak ketiga, seperti yang dikeluarkan oleh Forum for Corporate
Governance in Indonesia (FCGI). Secara singkat, ada lima aspek yang dinilai dalam
kerangka penilaian GCG versi FCGI ini, yaitu:
1. Hak pemegang saham (bobot 20%).
Dalam hak-hak pemegang saham, antara lain kita dapat memberikan evaluasi, apakah
perusahaan telah:
menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dalam kurun waktu 6
bulan setelah akhir tahun buku, sesuai dengan pasal 65 ayat 2 UU Perusahaan
Terbatas;
menyerahkan kepada pemegang saham pemberitahuan mengenai Rapat
Tahunan Pemegang Saham sekurang-kurangnya 28 hari sebelum RUPS
diselenggarakan;
mendorong para pemegang saham untuk menghadiri RUPS dan memanfaatkan hak
suara mereka;
memberikan kesempatan yang cukup kepada para pemegang saham untuk
menyampaikan pertanyaan di RUPS; dll.
2. Kebijakan GCG (bobot 15%).
Dalam kebijakan GCG antara lain kita dapat menilai sendiri apakah perusahaan telah:
memiliki aturan tertulis tentang GCG di mana dijelaskan hak-hak pemegang
saham, tugas dan tanggung jawab Dewan Direksi dan Dewan Komisaris;
menyediakan akses bagi publik untuk mengetahui kebijakan perusahaan mengenai
investor publik;
5. membentuk sebuah organ yang bertanggung jawab (misalnya Dewan Komisaris)
untuk memastikan bahwa perusahaan mematuhi aturan GCG yang telah ditetapkan;
memiliki aturan perilaku / etika bagi karyawan secara tertulis;
menginformasikan dan melaksanakan dengan baik aturan perilaku / etika
tersebut; dll.
3. Praktik GCG (bobot 30%).
Dalam praktik GCG ini antara lain kita dapat menguji apakah di dalam perusahaan:
Dewan Direksi mengadakan rapat berkala secara teratur dengan Dewan Komisaris;
ada rencana strategis dan rencana operasional yang memberi petunjuk kepada
Dewan Direksi dan Dewan Komisaris untuk melaksanakan tugas dan fungsi
mereka;
Dewan Direksi dan Dewan Komisaris telah diberikan pelatihan atau mempunyai
latar belakang yang tepat, yang memungkinkan mereka untuk melakukan tugas-
tugas mereka;
anggota Dewan Komisaris dan Dewan Direksi tidak terlibat konflik kepentingan;
ada sistem penilaian kinerja Dewan Direksi maupun Dewan Komisaris; dll.
4. Pengungkapan (bobot 20%).
Dalam seksi ini kita dapat menilai apakah perusahaan telah:
menyediakan akses yang sama bagi pemegang saham dan analis keuangan;
memberikan penjelasan yang tepat tentang risiko usaha;
mengungkapkan remunerasi Dewan Direksi dan Dewan Komisaris dengan benar;
mengungkap transaksi pihak terkait;
menyajikan hasil kinerja keuangan dan manajemen analisis melalui internet; dll.
6. 5. Audit (bobot 15%) .
Pada bagian ini kita dapat menilai apakah perusahaan telah:
memiliki audit internal yang efektif,
diaudit oleh akuntan publik yang independen,
memiliki komite audit yang efektif,
mengembangkan komunikasi yang efektif antara audit internal, audit eksternal dan
komite audit, dll.
Implementasi di Indonesia
Efektivitas good corporate governace tidak terlepas dari rerangka legal dan ekonomi (legal
and economic framework) suatu negara. Sebagai suatu governance system ia dipengaruhi
oleh rerangka legal dan ekonomi tersebut dan pada gilirannya mempengaruhi rerangka
tersebut. Tantangan terbesar dan unik bagi perusahaan-perusahaan publik dalam penerapan
good corporate governance mungkin bukan lagi kekurangan legal references, melainkan
tantangan untuk mengubah kultur perusahaan yang umunya sudah mengakar melalui
kepemimpinan yang lugas, kompeten dan memiliki integritas tinggi. Terdapat berbagai
kendala dalam pelaksanaan good corporate governance di Indonesia. Kendala-kendala
dimaksud antara lain :
1) Kendala Hukum.
Corporate governance haruslah menjamin perlakuan yang sama dan perlindungan
atas hak-hak semua pemegang saham dari berbagai kemungkinan penyalahgunaan
(abuses) oleh pihak-pihak tertentu. Di Indonesia, pemegang saham minoritas dan
stakeholders lainnya hanya mempunyai sedikit celah untuk melindungi diri mereka
terhadap tindakan penyalahgunaan yang dilakukan oleh pemegang saham
mayoritas. Dalam sistem hukum kita mekanisme terhadap tindakan seperti itu
memang ada diatur, tetapi karena masih lemahnya penegakan hukum dan praktik
pengadilan (judiciary) maka efektivitasnya menjadi terbatas. Begitu juga halnya
7. dengan sistem kepailitan dan pengadilan yang memiliki kelemahan telah membuat
para kreditur hanya memiliki pengaruh yang kecil terhadap para debitur mereka.
2) Kendala Budaya.
Sebagaimana disinggung sebelumnya bahwa terdapat suatu pandangan bahwa
praktik corporate governance itu hanyalah merupakan suatu bentuk kepatuhan
(conformance) terhadap peraturan atau ketentuan dan bukannya sebagai suatu
sistem diperlukan oleh perusahaan untuk meningkatkan kinerja. Hal ini
mengakibatkan aplikasi good corporate governance tidak sepenuh hati
dilaksanakan, sehingga efektivitasnya menjadi berkurang. Begitu juga halnya
dengan adanya dan telah membudayanya anggapan bahwa tindakan
penyelewengan (fraud) maupun transaksi dengan orang dalam (insider
transactions) hanyalah merupakan hal yang biasa dan lumrah dilakukan dan bahkan
tindakan korupsi pun dipandang sebagai sesuatu tindakan yang tidak salah.
Anggapan yang seperti ini jelas bertentangan dengan jiwa corporate governance,
sehingga akan mengganggu dan bahkan menghambat berjalannya aplikasi tersebut.
Kondisi ini ditambah lagi dengan masih lemahnya praktik pengungkapan dan
keterbukaan serta tidak efektifnya mekanisme pengungkapan dan kedisiplinan di
pasar modal. Dalam beberapa kasus juga dijumpai fenomena bahwa para manajer
dan direktur sangat kebal (immune) terhadap pertanggungjawaban kepada para
stakeholder.
3) Kendala Politik.
Kendala ini terutama terkait dengan perusahaan-perusahaan BUMN, yaitu
perusahaan yang dimiliki negara. Sebagaimana dikatakan di atas bahwa pengertian
negara selalu menjadi kabur, terkadang diartikan sebagai pemerintah, tetapi juga
ada yang mengartikannya sebagai lembaga negara yang lain. Hal ini ditambah lagi
dengan dikaburkannya pemisahan antara kepentingan bisnis dan kepentingan
pemerintah maupun lembaga negara yang lain. Akibatnya berbagai keputusan
bisnis di BUMN sangat diintervensi oleh pemerintah dan dalam kasus yang lain
BUMN justru dieksploitasi oleh para politisi (Prasetiantono dalam Nugroho dan
8. Siahaan 2005). Dalam beberapa kasus, hal ini juga terjadi pada perusahaan-
perusahaan swasta. Kondisi lain yang mungkin dapat menjadi perhatian adalah
bahwa peranan lembaga pasar modal (Bapepam begitu juga JSX) sebagai lembaga
pengatur masih belum cukup kuat dalam menutupi kelemahan yang ada di
pengadilan.
4) Kendala Lingkungan Bisnis.
Sebagaimana kondisi yang umum berlaku di berbagai negara Asia lainnya, bahwa
perusahaan-perusahaan (meskipun berbentuk perseroan) Indonesia terutama
dimiliki oleh keluarga (family-owned). Dengan kondisi ini, maka praktik corporate
governance dapat saja melenceng dari praktik yang seharusnya karena
pertimbangan dan kepentingan keluarga, misalnya dalam penunjukan anggota
komisaris independen. Keadaan ini dalam berbagai kasus juga tetap berlaku
meskipun perusahaan-perusahaan tersebut sudah masuk dan memperdagangkan
sahamnya di pasar modal (publicly listed).
5) Kendala Lainnya.
Bank-bank di Indonesia telah diakui keberadaannya sebagai salah satu lembaga
intermediary keuangan yang amat berperan dalam penyediaan (juga membantu
dalam menyediakan) dana yang dibutuhkan oleh para pelaku bisnis. Sebagai
penyedia dana (pinjaman) bank-bank tersebut semestinya berperan besar dalam
memonitor aktivitas perusahaan, termasuk aktivitas manajernya dalam penggunaan
dana. Dalam berbagai kasus terlihat bahwa fungsi monitoring ini tidak berjalan
secara efektif, bahkan hal itu sudah terjadi selama proses penilaian terhadap
proposal pinjaman yang diajukan. Hal ini dapat dilihat dari kasus-kasus
disetujuinya proposal kredit yang tidak/kurang feasible sehingga pada akhirnya
menimbulkan masalah dalam pengembaliannya kemudian (kredit macet).
9. Kritik dan Rekomendasi
Menurut pemakahaman saya, ada beberapa hal yang menurut saya perlu dikritisi dalam
kaitannya tentang penerapan GCG di Indonesia yaitu :
Setiap perusahaan jangan bersifat individualistis dengan berprinsip untuk dapat
mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dengan pengeluaran yang sekecil-
kecilnya karena perusahaan bertanggung jawab kepada seluruh stakeholder yaitu
konsumen, karyawan, anggota masyarakat serta pemerintah
Perusahaan harus secara transparan dalam mengelola struktur keuangan, serta
menghindari cara-cara/praktik-praktik yang tidak jujur dalam mengelola
keuangannya.
Lembaga pemerintah harus lebih efektif dan efisien dalam melaksanakan kebijakan
terkait penerapan GCG serta adanya sanksi hukum yang jelas dan tegas
Banyaknya perusahaan yang melanggar ketentuan pajak karena hal ini dapat
merugikan pemerintah dan seluruh stakeholder
Berdasarkan pemahaman saya dari modul dan berbagai sumber yang saya pelajari serta
tentang implementasi di Indonesia, menurut saya untuk memperbaiki proses GCG agar
mendapatkan nilai yang maksimal dalam Governance Rating yaitu :
Mempromosikan etika dan nilai-nilai yang pantas dalam organisasi
Memastikan manajemen dan akuntabilitas kinerja organisasi yang efektif
Mengomunikasikan informasi risiko dan pengendalian kepada bidang-bidang yang
sesuai di dalam organisasi
Mengoordinasikan kegiatan dan mengomunikasikan informasi di antara Board,
auditor internal dan eksternal, serta manajemen.
Penerapan good corporate governance bisa dilihat sebagai tantangan sekaligus bisa dilihat
sebagai kesempatan, dimana pada saat ini good corporate governance bukan saja dirasakan
sebagai pressure di Indonesia tetapi juga di semua belahan dunia, maka bila perusahaan di
10. Indonesia dapat lebih cepat dan tepat bertindak dari pesaing-pesaing mereka (terlepas
masih banyaknya kekurangan-kekurangan secara makro) maka mereka dapat
mempertahankan keberadaan dan meningkatkan kinerja serta menjaga sustainability usaha
yang berkualitas di Indonesia.
Oleh sebab itu diperlukan upaya kolektif dari berbagai pelaku pasar/bisnis termasuk
regulator, akuntan, dewan komisaris, dan lain-lain untuk mensosialisasikan manfaat,
kegunaan, dan pentingnya good corporate governance sehingga timbul kesadaran akan
pentingnya praktik good corporate governance bagi peningkatan kinerja dan
kesinambungan perusahaan.
Konsep dan Fungsi dari Governance Rating pada PT Bank Central Asia Tbk
BCA menyadari bahwa penerapan Tata Kelola Perusahaan yang baik atau Good Corporate
Governance (GCG) merupakan suatu keharusan demi menjaga kelangsungan usaha
perusahaan dalam jangka panjang dan memaksimalkan nilai perusahaan. Penerapan GCG
di BCA ditujukan antara lain untuk:
a. Mendukung visi dan misi BCA
b. Memberikan manfaat dan nilai tambah (added value) bagi para pemegang saham
(shareholders) dan para pemangku kepentingan (stakeholders).
c. Mempertahankan dan meningkatkan kelangsungan usaha yang sehat dan kompetitif
dalam jangka panjang (sustainable).
d. Meningkatkan kepercayaan para investor kepada BCA.
Penyusunan kebijakan GCG di BCA dilakukan dengan mengacu antara lain:
Surat Edaran Bank Indonesia No. 15/15/DPNP tentang Pelaksanaan Good
Corporate Governance Bagi Bank Umum.
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 17/ POJK.03/2014 tentang Penerapan
Manajemen Risiko Terintegrasi Bagi Konglomerasi Keuangan.
11. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 18/ POJK.03/2014 tentang Penerapan Tata
Kelola Terintegrasi Bagi Konglomerasi Keuangan.
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 32/ POJK.04/2014 tentang Rencana dan
Penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham Perusahaan Terbuka.
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 33/POJK.04/2014 tentang Direksi dan
Dewan Komisaris Emiten atau Perusahaan Publik.
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 34/ POJK.04/2014 tentang Komite Nominasi
dan Remunerasi Emiten atau Perusahaan Publik.
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 35/ POJK.04/2014 tentang Sekretaris
Perusahaan Emiten atau Perusahaan Publik.
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 32/ POJK.03/2016 tentang Perubahan Atas
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 6/POJK.03/2015 tentang Transparansi dan
Publikasi Laporan Bank.
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 21/POJK.04/2015 tentang Penerapan
Pedoman Tata Kelola Perusahaan Terbuka.
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 45/ POJK.03/2015 tentang Penerapan Tata
Kelola dalam Pemberian Remunerasi bagi Bank Umum.
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 55/ POJK.04/2015 tentang Pembentukan dan
Pedoman Pelaksanaan Kerja Komite Audit.
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 56/POJK.04/2015 tentang Pembentukan dan
Pedoman Penyusunan Piagam Unit Audit Internal.
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 60/ POJK.04/2015 tentang Keterbukaan
Informasi Pemegang Saham Tertentu.
Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan No. 15/ SEOJK.03/2015 tentang Penerapan
Tata Kelola Terintegrasi bagi Konglomerasi Keuangan.
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 5/ POJK.03/2016 tentang Rencana Bisnis
Bank.
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 29/ POJK.04/2016 tentang Laporan Tahunan
Emiten atau Perusahaan Publik.
12. Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan No. 40/SEOJK.03/2016 tentang Penerapan
Tata Kelola dalam Pemberian Remunerasi bagi Bank Umum.
Peraturan Bank Indonesia No. 8/14/PBI/2006 tentang Perubahan Atas Peraturan
Bank Indonesia No. 8/4/PBI/2006 tentang Pelaksanaan Good Corporate
Governance Bagi Bank Umum, yang kemudian digantikan dengan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan No. 55/POJK.03/2016 tentang Penerapan Tata Kelola Bagi
Bank Umum.
Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan No. 43/SEOJK.03/2016 tentang Transparansi
dan Publikasi Laporan Bank Umum Konvensional.
Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan No. 30/SEOJK.04/2016 tentang Bentuk dan
Isi Laporan Tahunan Emiten atau Perusahaan.
Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan No.32/SEOJK.04/2015 tentang Pedoman
Tata Kelola Perusahaan.
Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan No.14/ SEOJK.03/2015 tentang Penerapan
Manajemen Risiko terintegrasi Bagi konglomerasi keuangan.
Penilaian terhadap faktor GCG didasarkan ke dalam tiga aspek utama yaitu, governance
structure, governance process, dan governance output. Berdasarkan ketetapan Bank
Indonesia yang disajikan dalam Laporan Pengawasan Bank (2012:36) :
a. Governance stucture mencakup pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Dewan
Komisaris dan Dewan Direksi serta kelengkapan dan pelaksanaan tugas komite.
b. Governance process mencakup fungsi kepatuhan bank, penanganan benturan
kepentingan, penerapan fungsi audit intern dan ekstern, penerapan manajemen
risiko termasuk sistem pengendalian intern, penyediaan dana kepada pihak terkait
dan dana besar, serta rencana strategis bank.
c. Govenance output mencakup transparansi kondisi keuangan dan non keuangan,
laporan pelaksanaan GCG yang memenuhi prinsip Transparancy, Accountability,
Responsibility, Indepedency, dan Fairness (TARIF)”.
13. Hasil GCG Assesment
Penilaian Sendiri (Self Assessment)
Pelaksanaan GCG Pada tahun 2016, BCA melakukan penilaian sendiri (self assessment)
atas pelaksanaan GCG sesuai dengan:
a. Surat Edaran Bank Indonesia No.15/15/DPNP tentang Pelaksanaan Good
Corporate Governance bagi Bank Umum.
b. Peraturan Bank Indonesia No. 8/14/PBI/2006 tentang Perubahan Atas Peraturan
Bank Indonesia No. 8/4/PBI/2006 tentang Pelaksanaan Good Corporate
Governance Bagi Bank Umum, yang kemudian digantikan dengan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan No. 55/POJK.03/2016 tentang Penerapan Tata Kelola Bagi
Bank Umum.
Bank wajib melakukan penilaian sendiri (self assessment) atas pelaksanaan GCG. BCA
telah melakukan penilaian tersebut yang mencakup 3 (tiga) aspek Governance, yaitu:
1. Governance Structure.
2. Governance Process.
3. Governance Outcome.
Adapun 3 (tiga) aspek Governance tersebut diterapkan pada 11 (sebelas) Faktor Penilaian
Pelaksanaan GCG, yaitu:
1. Pelaksanaan Tugas dan Tanggung Jawab Dewan Komisaris.
2. Pelaksanaan Tugas dan Tanggung Jawab Direksi.
3. Kelengkapan dan Pelaksanaan Tugas Komite.
4. Penanganan Benturan Kepentingan.
5. Penerapan Fungsi Kepatuhan.
14. 6. Penerapan Fungsi Audit Intern.
7. Penerapan Fungsi Audit Ekstern.
8. Penerapan Manajemen Risiko Termasuk Sistem Pengendalian Intern.
9. Penyediaan Dana Kepada Pihak Terkait (Related Party) dan Penyediaan Dana Besar
(Large
Exposures).
10. Transparansi Kondisi Keuangan dan Non Keuangan Bank, Laporan Pelaksanaan GCG
dan Pelaporan Internal.
11. Rencana Strategis Bank.
Penilaian Pelaksanaan GCG oleh Pihak Eksternal
Untuk mengevaluasi dan mengukur penerapan GCG di BCA, pada tahun 2016 BCA
berpartisipasi dalam program riset dan pemeringkatan GCG di Indonesia – Corporate
Governance Perception Index (CGPI) yang diselenggarakan oleh The Indonesian Institute
for Corporate Governance (IICG) bekerjasama dengan Majalah SWA. Tema CGPI tahun
2016 adalah “Good Corporate Governance dalam Perspektif Keberlanjutan”. Penilaian
CGPI terdiri dari 5 (lima) tahap, yaitu:
a. Self assessment.
b. Penilaian dokumen.
c. Penilaian makalah.
d. Data Isian Perusahaan.
e. Observasi.
Dari keikutsertaan BCA dalam program tersebut, BCA berhasil meraih predikat “The Most
Trusted Company” (“Sangat Terpercaya”) yang merupakan predikat penilaian tertinggi.
15. Pada tahun 2016, The Indonesian Intitute for Corporate Directorship (IICD) melakukan
evaluasi dan pemeringkatan terhadap 100 (seratus) perusahaan terbuka dengan kapitalisasi
pasar terbesar yang tercatat (listed) di Bursa Efek Indonesia. Dalam The 8th IICD
Corporate Governance Conference & Award 2016, BCA berhasil meraih penghargaan
untuk kategori “Top 50 Public Listed Companies & The Best Responsibilities of the
Board.”
Rekomendasi
Berdasarkan modul yang saya pelajari mengenai Governance Rating, menurut pemahaman
saya, penerapan dan pencapaian konsep GCG pada PT Bank Central Asia Tbk sudah baik,
dilihat dari penghargaan yang telah didapat, dan untuk mempertahankan serta
meningkatkan tata kelola perusahaan, saya merekomendasikan :
1. Untuk menghadapi persaingan antar bank yang semakin kuat, Bank BCA
diharapkan untuk terus meningkatkan pelayanan prima bahkan melampaui harapan
nasabah agar terciptanya loyalitas nasabah.
2. Agar menjadi institusi perbankan yang handal dan disegani sesuai dengan visi nya,
baik di dalam negeri maupun di level dunia, manajemen diharapkan untuk terus
meningkatkan kualitas SDM agar dapat menghadapi persaingan global.
3. Manajemen terus melakukan dan memperkuat monitoring dan audit internal untuk
menjaga kredibilitas Bank BCA.
4. Dalam hal menghadapi persaingan dan perubahan ekonomi global yang membuat
turunnya kualitas dana yang dihimpun dari masyarakat dalam bentuk CASA
(Current Account dan Saving account), Bank BCA agar terus menggali dan mencari
new customer potensial sebagai rekanan bisnis jangka panjang.
5. Ciptakan persepsi positif dari semua unsure stakeholder dengan selalu mematuhi
regulasi baik dari internal perusahaan maupun dari pemerintah.
6. Menjadikan budaya Smart Solution Bank BCA sebagai keunggulan perusahaan
dengan meningkatkan kesadaran dan implementasi nyata dari semua unsur SDM.