Lumpy skin disease (LSD) kini menjadi penyakit lintas batas setelah awalnya ditemukan di Afrika, Timur Tengah, dan Eropa Tenggara, dan menyebar ke Asia termasuk Asia Tenggara. Pola penyebarannya dipicu oleh pergerakan ternak yang terinfeksi dan potensi transportasi vektor yang terinfeksi. Faktor risiko penyebaran penyakit ini antara lain perdagangan ternak dan perpindahan ternak.
AKSI NYATA MODUL 1.2-1 untuk pendidikan guru penggerak.pptx
Faktor Risiko LSD di Asia Tenggara
1. Epidemiologi & Dampak Ekonomi
Lumpy Skin Disease (LSD)
Drh TRI SATYA PUTRI NAIPOSPOS MPhil PhD
Ketua 2 PB PDHI
SEMINAR NASIONAL MITIGASI WABAH LUMPY
SKIN DISEASE DI INDONESIA
Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI)
Hotel Grand Whiz, Jakarta, 1 April 2022
4. Genus Capripoxvirus
▪ Lumpy skin disease (LSD), sheeppox, dan goatpox semuanya adalah
penyakit sistemik, dengan viraemia yang dikaitkan dengan sel (cell-
associated viremia) yang terjadi sebelum munculnya lesi dan ditandai
dengan limfadenopati.
▪ Virus LSD (LSDV) adalah anggota dari genus Capripoxvirus (CaPV) dan
keluarga Poxviridae (virus DNA yang besar dan stabil).
▪ LSDV secara antigenik berdekatan dengan virus sheeppox (SPPV) dan
virus goatpox (GTPV).
▪ LSD memiliki distribusi geografis berbeda dari sheeppox dan goatpox,
menunjukkan bahwa strain capripoxvirus sapi ini tidak menginfeksi atau
menular antara domba dan kambing (Ahmed & Kawther, 2008).
7. Apakah LSD zoonosis?
▪ Satu-satunya penelitian di
Mesir yang menemukan virus
LSD dapat menginfeksi
manusia (zoonosis), dan virus
LSD manusia menunjukkan
kedekatan dengan virus sapi.
▪ Publikasi ini tidak secara jelas menunjukkan jumlah kasus manusia yang
terinfeksi, hanya disebutkan orang yang terinfeksi dapat ditemukan di
daerah mana pun di mana ada hewan yang terinfeksi.
▪ Publikasi ini tidak dirujuk/direferensi oleh para peneliti lain dan
organisasi internasional yang berwenang (misal: WHO, OIE, FAO).
8. Distribusi geografis global LSD
WILAYAH TAHUN PENYEBARAN
AFRIKA
1929 Pertama kali ditemukan di Zambia
1943 Botzwana, Zimbabwe, Afrika Selatan
1957 Kenya
1974-1977 Sudan, Nigeria, Mauritania, Mali, Ghana, Liberia
1981-1986 Tanzania, Kenya, Zimbabwe, Somalia, Kameron
TIMUR
TENGAH
1988-2006 Palestina, Israel, Mesir, Bahrain, Kuwait, Oman, Yaman,
Libanon, Jordania, Turki, Saudi Arabia, Irak
EROPA
TENGGARA
2015-2016 Bulgaria, Albania, Serbia, Kroasia, Kazakstan, Yunani, Bosnia
Herzegovina, Yugoslavia, Rumania, Kroatia, Kosovo,
ASIA
2019 Bangladesh, China dan India
2020 Taiwan, Nepal, Vietnam, Bhutan, Hongkong, Myanmar
2021 Srilangka, Thailand, Laos, Malaysia
2022 Indonesia, Singapura
9. Pernyataan OIE dan FAO tentang LSD
(1) Tidak ada bukti bahwa virus LSD dapat menginfeksi manusia –
Lumpy Skin Disease (LSD) - OIE – Asia.
(2) LSD tidak bersifat zoonosis – LUMPY SKIN DISEASE Aetiology
Epidemiology Diagnosis Prevention and Control References.
Updated: 22/04/2002 (oie.int).
(3) Virus LSD tidak menular ke manusia – LSD-002_text_NO_logos__
2_.pdf (fao.org).
(4) Penyakit LSD tidak berdampak pada manusia – Lumpy skin
disease – A manual for veterinarians (fao.org).
10. Molekuler virus LSD
▪ Virus LSD relatif stabil dan tidak berubah secara drastis selama
bertahun-tahun.
▪ Analisis filogenetik virus LSD tetap menarik untuk dipelajari khususnya
dalam mempelajari epidemiologi molekuler.
▪ Strain vaksin “Neethling” (Neethling vaccine strain) untuk tujuan vaksinasi
dan pengendalian LSD, telah digunakan lebih dari 60 tahun dan masih
efektif sampai sekarang.
▪ Sekuens DNA yang dilakukan terhadap sampel positif PCR di Provinsi
Riau menunjukkan terdapat kesamaan 98,87% dengan strain LSDV China
untuk target gen GPCR dan kesamaan 99,50% dengan strain LSDV China
untuk target gen RPO30 (BBPMSOH, 2022).
11. Cara penularan
Vektor
Penularan mekanikal
melalui serangga
Arthropoda penghisap
darah dan penggigit
Kontak
langsung dan
tidak langsung
Penularan bisa
terjadi pada tingkat
yang rendah
Intrauterin
& semen
Penularan intrauterin
dan lewat semen
terkontaminasi
Iatrogenik
Jarum suntik yang
terkontaminasi dapat
menularkan virus
secara mekanik
1 2 3 4
13. Apa pola penyebaran LSD ke Asia?
▪ LSD saat ini menjadi penyakit lintas batas (transboundary) setelah
awalnya ditemukan di Afrika, Timur Tengah dan Eropa Tenggara, dan
menyebar ke Asia, termasuk Asia Tenggara.
▪ Pola penyebaran dari Timur Tengah/Rusia ke Asia dipicu penularan jarak
jauh yang dihubungkan dengan pergerakan ternak yang terinfeksi dan
potensi tranportasi vektor yang terinfeksi, yang selanjutnya menularkan
virus ke ternak yang naif.
▪ Masa inkubasi LSD yang potensial panjang pada hewan yang terinfeksi
secara alami (hingga 5 minggu) dan keberadaan hewan yang non-klinis
dapat memfasilitasi penyebaran lintas perbatasan (cross-border) ketika
terjadi perdagangan hewan terinfeksi yang nampak sehat tetapi
menginkubasi virus dalam tubuhnya (Spickler dan Roth, 2008).
14. Situasi LSD di Asia Tenggara
Negara
Provinsi
tertular
(s/d Des 21)
Jumlah
terinfeksi
(ekor)
Jumlah
mati (ekor)
Jumlah
wabah
Jumlah
wabah
berakhir
Masih
berlanjut
Kamboja 2 (25) 145 0 2 2 2
Laos 2 (18) 369 0 9 9 0
Malaysia 60 (94)* 217.140 600** 295 35 260
Myanmar 1 (15) 63 0 2 2 0***
Thailand 68 (72) 596.506 59.509 1.747 1.722 25
Vietnam 55 (63) 207.085 29.069 4.322 4.266 56
Singapura 1 (5) 13 0 1 1 0
* Semenanjung Malaysia
** Dipotong
*** Wabah selesai
s/d Desember 2021
15. Jangkauan hospes LSD
▪ LSD adalah penyakit yang sangat hospes spesifik,
menyerang semua ras sapi (Bos taurus dan Bos indicus)
dan kerbau (Bubalus bubalis) (Badhy er al., 2021).
▪ Baik jantan dan betina, semua kelompok umur dan
berbagai spesies dan ras sapi dianggap berisiko dan bisa
terinfeksi LSD, yang dapat diikuti dengan komplikasi
parah dan serius.
▪ Ras Bos taurus lebih rentan terhadap LSD daripada ras
Bos indicus, meskipun hewan yang lebih muda lebih
sering terinfeksi dan menunjukkan penyakit yang lebih
parah daripada yang dewasa (OIE Manual, 2010).
16. LSD pada satwa liar
▪ Peran satwa liar dalam epidemiologi LSD belum dipahami
dengan baik.
▪ Ruminansia liar, seperti springbok (Antidorcasc marsupialis)
diketahui terinfeksi (Lamien et al., 2011) dan kerentanan
impala (Aepyceros melampus) dan jerapah (Giraffa
camelopardalis) telah ditunjukkan secara eksperimental
(Young et al., 1970); kerbau Afrika (Syncerus caffer) pernah
ditemukan seropositif (Davies, 1982; Fagbo et al., 2014)
▪ Antibodi juga telah terdeteksi pada ruminansia liar seperti
blue wildebeest (Connochaetes taurinus), eland (Taurotragus
oryx) dan kudu (Tragelaphus strepsiceros) (Barnard, 1997).
17. Satwa liar terdeteksi LSD di Thailand
dan Malaysia
▪ Wabah LSD di Thailand juga menyerang satwa liar, seperti Dead Gaur
(Bos gaurus), Mainland serow (Capricornissumtraensis), Banteng (Bos
javanicus)
▪ Satwa liar seperti Gaur (Seladang) di Malaysia ditemukan terinfeksi LSD.
.
18. Daya tahan virus LSD
▪ Virus LSD sangat resisten dan bertoleransi baik
dengan sebagai besar agen fisik dan kimia.
▪ Virus LSD dapat berada di kulit nekrotik selama
lebih dari 1 bulan, sementara tetap hidup dalam
lesi kulit kering udara selama lebih dari 2 minggu
pada suhu sekitar.
▪ Virus LSD sangat stabil karena dapat bertahan
dalam nodul kulit nekrotik yang disimpan pada -
80°C selama 10 tahun dan dari jaringan terinfeksi
yang disimpan pada 4°C selama 6 bulan (Abulqa
et al., 2016).
19. Sapi tanpa gejala LSD
▪ Sapi tanpa gejala tetapi mengalami viraemia umumnya
terdeteksi di lapangan dan di antara hewan terinfeksi secara
eksperimental (Annandale et al., 2013; Osuagwuh et al., 2007;
Tuppurainen et al., 2005).
▪ Menghentikan penyebaran penyakit membutuhkan
pengamatan terhadap kemungkinan adanya kelompok
hewan yang viraemik yang tidak menunjukkan lesi kulit,
tetapi dapat menularkan virus melalui vektor penghisap
darah.
▪ Pergerakan sapi yang tidak divaksinasi dari daerah yang
terinfeksi merupakan risiko utama dari penyebaran penyakit.
Sumber: Tuppurainen (2017). empres-animal health 360, No. 47/2017.
20. Apakah hewan sembuh dari LSD
dapat menjadi ‘carrier’?
▪ Tidak diketahui adanya status ‘carrier’.
▪ Begitu sembuh, hewan terlindungi
dengan baik dan tidak dapat menjadi
sumber infeksi bagi hewan lainnya.
▪ Pada hewan terinfeksi yang tidak
menunjukkan gejala klinis, virus dapat
tetap berada dalam darah selama
beberapa minggu dan pada akhirnya
menghilang.
Sumber: Jawaban Dr Nadav Galon terhadap pertanyaan yang diajukan selama
LSD Coordination Meeting for South-East Asia pada tanggal 11 Juni 2021.
22. Faktor risiko LSD di Ethiopia
▪ Studi di Ethiopia (Zelalem et al., 2015) mengestimasi seroprevalensi di
tingkat individu sebesar 6,4% dan di tingkat kelompok 6,0%.
▪ Studi menunjukkan seroprevalensi yang relatif lebih tinggi pada hewan
yang lebih tua dan pada sapi Bos taurus dibandingkan Bos indicus.
▪ Dilaporkan juga bahwa beban penyakit lebih rendah di dataran tinggi
dibandingkan dengan dataran menengah dan rendah yang mungkin
terkait dengan kelimpahan relatif populasi lalat penggigit.
▪ Penggembalaan dan akses air minum komunal juga dikaitkan dengan
kejadian LSD yang lebih tinggi, kemungkinan karena meningkatnya
peluang untuk penularan mekanis virus oleh Stomoxys spp. dan nyamuk
(Aedes aegypti) (Waret-Szkuta et al., 2011).
23. Faktor risiko LSD di Zimbabwe
▪ Studi di Zimbabwe (Gomo et al., 2017) menunjukkan
kejadian LSD yang lebih tinggi dihubungkan dengan
kedekatan dengan taman konservasi satwa liar yang
mengindikasikan bahwa antarmuka satwa liar-sapi
dapat menjadi faktor penting dalam penularan.
Sejumlah hospes satwa liar dicurigai terinfeksi
termasuk kerbau Cape Afrika.
▪ Kegiatan berternak dan menggembala yang
berpindah-pindah (transhumance) dan alasan lain
untuk pergerakan hewan dihubungkan dengan
peningkatan risiko wabah LSD (Zelalem et al., 2015).
24. Faktor risiko: ternak pengganti
▪ Penggantian ternak dari luar peternakan dikaitkan
dengan peningkatan risiko LSD, kemungkinan
karena introduksi virus melalui hewan terinfeksi
yang sedang dalam masa inkubasi penyakit dan
karenanya tidak menunjukkan gejala klinis; hewan
terinfeksi subklinis; atau hewan menunjukkan
gejala klinis yang dibeli dengan harga murah.
▪ Pergerakan hewan karena alasan perdagangan
dan pencarian padang rumput dan air selama
musim kemarau juga dianggap sebagai faktor
risiko LSD (Zelalem et al., 2015).
25. Faktor risiko wabah LSD di Kenya
Variabel Kategori Kasus
(n)
% Kontrol
(n)
% OR 95%
CI
Nilai P
Ras - Eksotik
- Asli
- Campuran
29
10
2
71
24
5
102
59
3
62
36
2
15,01
Ref.
15,50
2,09
-
0,03
108,4
-
1,39
0,01
-
172,83
Sistim
‘dipping’
- ‘Spraying’
- Dip komunal
37
4
90
10
155
5
97
3
Ref.
3,71
-
0,80
-
17,29
-
0,01
Ternak
pengganti
- Ternak sendiri
- Dari luar
30
11
73
27
157
7
96
4
Ref.
8,38 2,93 23,92 <0,01
Berdasarkan analisis ‘univariable’, terdapat bukti statistik yang sangat baik dalam menyatakan
sumber pengganti sapi dari luar sebagai faktor risiko (P<0,01). Sedangkan bukti statistik yang
agak lemah teridentifikasi dalam membandingkan prevalensi lebih tinggi pada kelompok
ternak yang terdiri dari ras eksotik (misal ras Eropa) (P = 0,01), dan juga dalam penggunaan
dip komunal dibandingkan dengan ‘spraying’ untuk pengendalian caplak (P = 0,01).
Sumber: Kiplagat et al., (2020). Frontiers in Veterinary Science, Volume 7, Article 259.
27. Dari mana masuknya LSD ke
Provinsi Riau?
▪ Asumsi: Perdagangan ilegal ruminansia
besar dan kecil dari Semenanjung
Malaysia ke Provinsi Riau.
▪ Provinsi Riau: Dengan tidak
terdeteksinya kasus indeks, maka
dapat diasumsikan kasus LSD pertama
sebenarnya terjadi lebih awal lagi
(Januari 2022?) dan bukan di
Kabupaten Indragiri Hulu (mungkin
Kabupaten Bengkalis?)
28. Provinsi berbatasan dengan Provinsi Riau
▪ Provinsi-provinsi terancam LSD memiliki
perbatasan darat dengan Provinsi Riau yaitu:
• Sumatera Barat (sebelah barat)
• Sumatera Utara (sebelah utara)
• Jambi (sebelah selatan)
• Kepulauan Riau (sebelah timur).
▪ Meskipun pengendalian perbatasan (border
control) dilakukan ketat, tetapi ternak yang
berpotensi terinfeksi dapat melintasi
perbatasan (lewat/tanpa lewat pemeriksaan
cekpoin), dan menjadi sumber infeksi oleh
vektor, pada saat ternak berada di tempat
penampungan RPH atau pasar ternak.
29. Perdagangan ternak dengan Provinsi
Riau di Pulau Sumatera
▪ Provinsi-provinsi yang memiliki
hubungan perdagangan ternak
dengan Provinsi Riau yaitu:
• Sumatera Barat;
• Jambi;
• Sumatera Utara;
• Aceh;
• Kepulauan Riau; dan
• Lampung.
▪ Penyebaran difasilitasi perdagangan
ternak seperti munculnya kasus LSD
di Jambi, Sumbar dan Aceh.
Lampung
Sumbar
Jambi
Sumut
Aceh
30. Pasar ternak sebagai tempat
penyebaran LSD
▪ Pasar ternak sebagai tempat
transaksi untuk menjual hewan yang
terkena dampak LSD dan membeli
pengganti ternak baru, menunjukkan
bahwa tempat ini dapat bertindak
sebagai pusat penyebaran infeksi.
▪ Pemeriksaan klinis oleh dokter
hewan terhadap setiap ternak yang
diperjual belikan di pasar ternak
dapat membantu upaya mengurangi
penyebaran penyakit.
31. Pencegahan penyebaran lebih
lanjut oleh peternak
Pisahkan kasus
terduga (suspek)
dari ternak lain
dalam kelompok.
Pisahkan ternak dari
kelompok ternak berdekatan
dengan tidak
menggembalakannya secara
komunal.
Hentikan
pergerakan ternak
dari/ke peternakan.
Batasi pengunjung
ke layanan penting
di peternakan.
Sumber: OIE Poster Lumpy skin disease (LSD).
33. Kepentingan ekonomi
▪ Meski tingkat morbiditas dan mortalitas LSD biasanya rendah, tetapi
menjadi penyakit sapi yang penting secara ekonomi karena:
❑ kehilangan produktivitas sapi potong dan sapi perah yang
berkepanjangan;
❑ penurunan berat badan;
❑ mastitis;
❑ orchitis yang parah, yang dapat menyebabkan infertilitas temporer
dan kadang-kadang sterilitas permanen;
❑ sapi induk bunting dapat mengalami keguguran dan infertilitas
yang dapat berlangsung selama beberapa bulan;
❑ pada ternak yang terinfeksi parah, kerusakan kulit permanen dan
nilainya untuk industri kulit sangat berkurang.
Sumber: Tuppurainen, S M (2005). Thesis University of Pretoria.
34. Morbiditas dan mortalitas LSD
▪ Wabah LSD biasanya musiman, tetapi tidak terbatas
pada musim panas dan lembab dengan banyaknya
vektor penghisap darah: di banyak wilayah yang
terkena dampak, tidak ada musim yang sepenuhnya
bebas vektor, sehingga wabah sepanjang tahun
dapat terjadi.
▪ Morbiditas bervariasi antara 2-45%; mortalitas
biasanya <10% (Coetzer, 2004).
▪ Laporan terbaru dari wilayah epidemi di Timur
Tengah dan Eropa terindikasi morbiditas LSD 5–45%,
dan mortalitas biasanya <10% pada sapi (FAO, 2017).
35. Dampak LSD jangka panjang
▪ LSD sangat berdampak pada peternak, sementara di tingkat regional
dan negara dapat menghancurkan industri ternak.
▪ Secara umum LSD di negara-negara Afrika dianggap sebagai penyakit
yang memiliki tekanan ekonomi yang tinggi karena kemampuannya
untuk mengganggu ketahanan pangan melalui kehilangan tenaga kerja
ternak, pengurangan output produksi ternak, peningkatan biaya
produksi karena meningkatnya biaya pengendalian penyakit, dan
gangguan perdagangan ternak dan produknya.
▪ Selain itu, terjadi kerugian ekonomi yang parah karena penolakan
terhadap karkas dan biaya pemeriksaan daging.
▪ Kerusakan permanen dari kulit sangat mempengaruhi industri kulit.
36. Kehilangan produksi
▪ LSD menyebabkan:
❑ kehilangan ternak;
❑ penurunan produksi daging;
❑ penurunan produksi susu; dan
❑ kulit dari hewan yang bertahan hidup menjadi cacat dan
berkurang nilainya.
▪ Implementasi tindakan-tindakan pengendalian untuk mengurangi
penyebaran membutuhkan biaya yang mahal.
▪ Pembatasan perdagangan sapi dan produk sapi di tingkat lokal,
regional dan internasional sangat merugikan peternak, pedagang
dan pihak lainnya yang terlibat dalam rantai pasar (value chain).
37. Dampak perdagangan
▪ LSD menyebabkan pelarangan perdagangan internasional ternak
dan menyebabkan kerugian ekonomi begitu situasi menjadi
endemik dan mengakibatkan kerugian stok yang serius.
▪ Kerugian finansial yang signifikan di tingkat nasional dapat terjadi
karena:
❑ pembatasan perdagangan global ternak hidup dan produk
hewan;
❑ mahalnya tindakan-tindakan pengendalian dan pemberantasan,
seperti kampanye vaksinasi; dan
❑ biaya tidak langsung karena pembatasan wajib dalam lalulintas
ternak.
39. Tantangan kampanye vaksinasi LSD
▪ Operasi vaksinasi skala besar memerlukan adanya perencanaan darurat
(contingency plan), ketersediaan tenaga yang memadai dan pelatihan;
▪ Kekebalan kelompok (herd immunity) harus dicapai setidaknya dengan
cakupan 80%.
▪ Vaksinasi cincin (radius 25-50 km) di sekitar zona tertular dan di lingkungan
Rumah Potong Hewan (RPH);
▪ Vaksin hidup memerlukan pemeliharaan rantai dingin (cold chain);
▪ Vaksin harus dijauhkan dari sinar matahari;
▪ Botol vaksin yang telah dibuka harus digunakan dalam waktu 2 - 6 jam dan
kemudian dibuang (tanpa kecuali);
▪ Jarum harus diganti antar hewan (jika memungkinkan);
▪ Peternak harus diberitahu tentang reaksi merugikan yang biasanya muncul
setelah vaksinasi;
40. ▪ Vaksin harus terjangkau/disubsidi terutama untuk
peternak skala kecil dan praktik peternakan yang
terintegrasi dengan perkebunan;
▪ Dalam keadaan wabah, ternak bunting juga harus
divaksin.
▪ Anak sapi dari induk sapi yang divaksinasi harus
divaksin pada umur 4-6 bulan, dan dari induk sapi
yang tidak divaksinasi divaksin secepatnya.
▪ Pengendalian sapi yang tidak divaksinasi sangat
sulit dilakukan sehingga menjadi tantangan yang
cukup besar di lapangan.
Tantangan kampanye vaksinasi LSD
(lanjutan)
41. ● Vaksinasi telah dibuktikan sebagai alat yang paling efektif untuk
mengendalikan LSD, meskipun tantangan yang dihadapi Indonesia saat ini
adalah bagaimana melaksanakan kampanye vaksinasi darurat (emergency
vaccination) yang efektif dan cepat di zona target.
● Endemisitas seperti yang terjadi di negara-negara Afrika dan Timur Tengah
bisa menjadi situasi yang sama di negara-negara Asia termasuk Indonesia,
apabila penyebaran tidak berhasil diminimalisir.
● Surveilans yang efektif untuk deteksi dini, pengendalian vektor, vaksinasi,
dan pengaturan lalulintas ternak diperlukan untuk menghambat
penyebaran lebih lanjut ke wilayah-wilayah lainnya di Pulau Sumatera.
● Seluruh Pulau Sumatera harus dianggap sebagai daerah tertular dan
apabila memungkinkan dilakukan vaksinasi pencegahan (preventive
vaccination) untuk menghindari kerugian yang lebih besar (menyebar ke
Pulau Jawa dimana ada populasi sapi perah yang rentan dan cukup besar).