4. MENGAPA TARJIH
Dalam kajian fiqih Islam, akan sering
dijumpai khilafiyah (perbedaan
pendapat) di kalangan fuqaha (ahli
fiqih).
Misal : juml rakaat tarawih, ada yang
berpendapat 20 rakaat ada yang 8
rakaat.
Termasuk juga dalam fiqih muamalah.
Misal : multi akad & murabahah, ada
yg membolehkan dan ada yg
mengharamkan.
5. MENGAPA TARJIH
Menghadapi perbedaan pendapat tsb,
sikap seorang muslim adalah
melakukan tarjih.
Tarjih adalah memilih pendapat yang
paling kuat di antara pendapat-
pendapat yang ada berdasarkan dalil
yang paling kuat.
Tidak boleh mengikuti salah satu
pendapat khilafiyah tanpa melakukan
tarjih.
6. MENGAPA TARJIH
Mengikuti salah satu pendapat
khilafiyah tanpa melakukan tarjih tidak
dibolehkan, sebab itu berarti
mengikuti hawa nafsu,
Mengikuti hawa nafsu dicela oleh
Allah SWT :
ََلَفَواُعِبَّتَتىَوَهال
“Maka janganlah kamu mengikuti
hawa nafsu.” (QS An Nisaa` : 135).
8. PENGERTIAN TARJIH
Tarjih menurut arti bahasa artinya at-
tamyiil (mencondongkan) atau at taghliib
(menguatkan)
Tarjih menurut arti istilah ulama ushul
fiqih :
تقويةأحدالدليلينعلىاألخرليعملبهلوجودمزيةفيالدليل
الراجح
Tarjih adalah menguatkan satu dalil atas
dalil yang lain untuk diamalkan karena
adanya keistimewaan pada dalil yang
rajih. (M. Husain Abdullah, Al Wadhih fi
ushul Al Fiqh, h. 389).
10. HUKUM TARJIH
Ada dua hukum terpenting mengenai
tarjih :
(1) Tarjih hukumnya wajib jika ada
perbedaan pendapat.
(2) Mengamalkan dalil yang kuat (raajih)
hukumnya wajib pula.
Keduanya berdasarkan Ijma’ Shahabat
(Kesepakatan para sahabat Nabi SAW).
Lihat Taqiyuddin An Nabhani, Al
Syakhshiyyah Al Islamiyyah, Juz 1, Bab
Quwwatud Dalil.
12. HUKUM TARJIH
Artinya :
Para shahabat Nabi SAW merajihkan
(menguatkan) hadits ‘A`isyah RA dalam
masalah bertemuanya dua khitan, yaitu
perkataan ‘A`isyah :
اَذِإىَقَتالَِانَناَت ِخالَدَقَفََبَجَواَُلسُغلَُهُتلَعَفاَنَأََوولُسَرَِللا
صلىللاعليهوسلماَنلَسَتاغَف
“Jika bertemu dua khitan, maka
sungguh sudah wajib mandi. Aku dan
Rasulullah SAW mengerjakan itu, lalu
kami mandi.” (HR Ahmad)
13. HUKUM TARJIH
Hadits tersebut dianggap lebih kuat
oleh para shahabat daripada hadits
Abu Said Al Khudri RA, yaitu
perkataannya bahwa Nabi SAW telah
bersabda :
اَمَّنِإَُءاَمالََنِمالماء
“Sesungguhnya air itu (mandi) adalah
dari air (terpancarnya mani/ejakulasi).”
(HR Bukhari dan Muslim).
14. HUKUM TARJIH
Para shahabat juga merajihkan (menguatkan)
hadits dari istri-istri Nabi SAW bahwa :
أنهكانصبحُيًَانبُج
“Sesungguhnya Nabi SAW memasuki waktu
Shubuh dalam keadaan junub.”
Hadits tersebut dianggap lebih kuat oleh
para shahabat dibandingkan hadits dari Al
Fadhl bin ‘Abbas dari Abu Hurairah RA
bahwa :
ََّإنَنَمََحَبأصًَابُنَجََلَفََموَصَُهَل
“Barangsiapa pada waktu Shubuh masih
dalam keadaan junub, maka tak ada puasa
baginya.” (HR Bukhari dan Muslim).
15. HUKUM TARJIH
Kesimpulan :
Berdasarkan dua peristiwa di zaman
shahabat Nabi SAW tersebut,
sesungguhnya telah tejadi Ijma’
Shahabat (kesepakatan shahabat Nabi
SAW) bahwa :
(1) Tarjih hukumnya wajib jika ada
perbedaan pendapat.
(2) Mengamalkan dalil yang kuat (raajih)
hukumnya wajib pula.
(Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakhshiyyah Al
Islamiyyah, Juz I, Bab Quwwatud Dalil).
16. MENGAMALKAN DALIL RAJIH?
Mengamalkan pendapat yg rajih (kuat)
adalah wajib.
Sedangkan mengamalkan pendapat yg
lemah (marjuuh) tidak boleh.
Kaidah fiqih :
العملبالراجحواجبوالعملبالمرجوحممتنع
Al ‘amalu bir raajih waajibun wal ‘amalu
bil marjuuhi mumtani’un
Mengamalkan pendapat yg rajih wajib,
mengamalkan pendapat marjuh tidak
boleh.
18. CARA TARJIH
(1) Bagi muqallid yang tidak mampu
menilai dalil, maka murajjih (faktor
pentarjih) yang harus dipertimbangkan
adalah sosok MUJTAHID-nya.
Dua kriteria untuk mentarjih mujtahid
yang satu atas mujtahid lainnya adalah :
Pertama, ilmu, yaitu siapa mujtahid yang
dinilai lebih paham atau lebih berilmu
Kedua, ‘adalah (keadilan), yaitu mujtahid
yang diikuti wajib mempunyai sifat
‘adalah.
19. CARA TARJIH
Kriteria ‘adalah (keadilan), ialah tidak
melakukan dosa-dosa besar (kaba`ir),
tidak terus menerus melakukan dosa kecil
(shagha`ir), dan tidak melakukan
perbuatan yang merusak kepatutan
(muru`ah).
(2) Bagi mujtahid ataupun muqallid yang
mampu menilai dalil, maka murajjih
(faktor pentarjih) yang harus
dipertimbangkan adalah DALIL-nya,
bukan sosok MUJTAHID-nya.
Cara mentarjih dalil LIHAT Ushul Fiqih.
20. KAPAN TARJIH?
Tarjih (dalil) dilakukan (oleh mujtahid) jika dua
dalil yg nampak bertentangan tidak mungkin
dijama’ (dikompromikan) dan tidak diketahui
mana dalil yang terdahulu dan dalil yang
kemudian.
Jika masih mungkin dijama’, maka dijama’
dulu.
Jika dijama’ tidak mungkin, dan diketahui
mana dalil yang terdahulu dan dalil yang
kemudian, maka dilakukan nasakh (nasikh
mansukh).
Jika tak diketahui mana dalil yang terdahulu
dan dalil yang kemudian, barulah melakukan
tarjih.