1) Makalah ini membahas tentang ijma' dan qiyas sebagai sumber hukum Islam selain Al-Quran dan Hadis. Ijma' didefinisikan sebagai kesepakatan para mujtahid, sedangkan qiyas adalah menyamakan hukum baru dengan hukum lama berdasarkan persamaan alasan hukum.
PEDOMAN PROTOTYPE PUSKESMAS_KEMENKES ALL by zb NERMI.pdf
Makalah ijma' dan qiyas
1. MAKALAHILMU FIQIH
Ijma' dan Qiyas
DISUSUN OLEH
HASBULLAH ALWI
203001200070
DOSEN PEMBIMBING
(Dra.Besse Ruhaya, M.Pd.i)
PRODIMPI B
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN ALAUDDIN MAKASSAR
2020
2. A. PENDAHULUAN
Pada masa Rasulullah Saw, permasalahan yang timbul selalu bisa ditangani
dengan baik dan pengambilan sumber hukumnya adalah Al-Qur`an dan Rasulullah
Saw. Dan apa bila ada suatu hukum yang sekiranya kurang di mengerti oleh para
sahabat maka hal tersebut dapat ditanyakan langsung kepada baginda Rasulullah Saw.
Akan tetapi, setelah beliau Rasulullah Saw wafat, para sahabat agak sedikit kesulitan
dalam memutuskan permasalahan-permasalahan yang terjadi yang dalilnya tidak
ditemukan/tersurat dalam Al-Qur`an dan Al-Hadist. Padahal permasalahan yang
muncul semakin kompleks, oleh karena itu muncullah Ijma’ dan Qiyas.
Dari uraian tersebut di atas dapat kita munculkan rumusan masalah sebagi berikut:
1. Definisi Ijma’ dan bagaimanakah kehujjahan dari Ijma’?
2. Apakah saat ini masih mungin terjadi Ijma’?
3. Definisi Qiyas dan kehujjahan Qiyas?
B. PEMBAHASAN
1. Pengertan Ijma’
Ijma’ secara etimonologi adalah sepakat.Adapun Ijma’ secara istilah kesepakatan
mujtahid setelah wafatnya Rasulullah Saw.
2. Dalil-dalil yang menunjukkan pada kehujjahan Ijma’ akan kita paparkan
sebagai berikut :
a. Sabda Rasulullah Saw yang berbunyi :
مارأه سن ح هللا ند ع هو ف نا س ح لمون س م ال
Artinya : “Apa yang dipandang oleh kaum muslimin baik, maka menurut
pandangan Allah juga baik”.
b. Sabda Rasulullah Saw
ةاللض لى ع تى ام جمع ت ال
Artinya : “UmatKu tidak akan bersepakat atas perbuatan yang sesat”.
c. Demikian juga sabda Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh Imam Syafi’i dari
sahabat Umar bin Khatab R.A :
عد اب ين ن االث من وهو فذ ال مع يطان ش ال إن ف جماعة ال لزم ي ل ف نة ج ال حجة ب سره من ف اال
Artinya : “Ingatlah barang siapa yang ingin menempati surga, maka
bergabunglah (ikutilah) jammah. Karena syaithan bersama orang-orang yang
menyendiri. Ia akan lebih jauh dari 2 orang dari pada orang yang menyendiri”.
Firman Allah Swt :
3. ما هول ن ين ن مؤم ال يل ب س ير غ بع ت وي الهدى ين ب ت ما عد ب من سول ر ال ف شاق ي ومن
نم جه له ص ون ى ول ت يرا ص م سأت و ( ءاسنلا :115 )
Artinya : “Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas
kebenarannya baginya dan mengikutijalan yang bukanjalan orang-orang mukmin,
kami biarkan ia berkuasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan kami
masukkan ia k edalam neraka jahanam dan jahanam itu seburuk-buruk tempat
kembali”.
Nash di atas menjelaskan bahwa yang bukan jalannya orang mukmin adalah
harom. Karena berarti dia telah menentang Allah dan Rasul-Nya dengan ancaman
neraka jahanam. Dengan demikian mengikuti jalan orang mukmin adalah wajib.
Jika jama’ah orang mukmin mengatakan “ini halal” jika ada orang yang
menyatakan hal tersebut sebagai suatu yang “haram” maka dia tidak mengikuti jalan
orang mukmin.
Oleh karena itu bisa disimpulkan bahwasannya mengikuti pendapat orang-orang
mukmin berati suatu hal yang ditetapkan berdasarkan Ijma’. Dengan demikian
Ijma’ dapat dijadikan hujjahyang harus dipergunakan untuk menggali hukum syara’
(istinbath) dari nash-nash Syara’.
3. Syarat-syarat Ijma’
a. Yang bersepakat adalah para mujtahid
b. Yang bersepakat adalah seluruh mujtahid
c. Para mujtahid harus umat Muhammad Saw
d. Dilakukan setelah wafatnya Nabi
e. Kesepakatan mereka harus berupa syariat.
Dalam hal persyaratan Ijma’ ada ulama yang mengatakan bahwasannya
zaman/masa sebagai syarat Ijma’.
4. Tingkatan Ijma’
Ijma’ memiliki beberapa tingkatan yaitu sebagai berikut :
a. Ijma’ sharih
Dimana setiap mujtahid menyatakan bahwa mereka menerima pendapat yang
disepakati tersebut.
b. Ijma’ Sukuti
Dimana suatu pendapat yang dikemukakan oleh seorang mujtahid, kemudian
pendapat itu diketahui oleh mujtahid yang hidup semasa dengan mujtahid atas,
tidak ada seorangpun mengingkarinya dan/mengiyakannya. Dalam hal ini Imam
Syafi’i tidak memasukkan Ijma’ Sukutidalam kategori Ijma’ yang dapat
dijadikan hujjah.
Ulama-ulama yang berpendapat tentang ijma’ sukuti :
1) Tidak memasukkan ijma’ sukuti ini dalam kategori ijma’ (oleh imam Syafi’i)
4. 2) Memasukan ijma’ sukuti dalam kategori ijma’, hanyasaja tingkat kekuatanya di
bawah ijma’ sharih. (oleh fuqoha selain Syafi’i dan Hanafi)
3) Ijma’ sukuti dapat dijadikan argumentasi (hujjah) tapi bukan termasuk kategori
ijma’. (Madzhab Hanafi)
Dari 3 golongan tersebut masing-masing memiliki alasan masing-masing. Adapun
organisasi ulama yang menganggap bahwa ijma’ sukuti tidak dapat dijadikan hujjah
sariyyah adalah sebagai berikut :
1) Orang diam tidakdapat dipandang sebagai orang berpendapat. Karena apa? Jika
dianggap sebagai ijma’ ini diam dapat dianggap sebagai pembicaraan yang
dinisbatkan pada seorang mujtahid.
2) Diam tidakdapat di pandang sebagai setuju. Karena diamnya
seorang mujtahid mungkin setuju/tidak, mungkin berijtihad dengan masalah
tersebut/mungkin sudah tetapi belum memperoleh hasil yang mantap dan masih
banyak kemungkinan-kemungkinan yang lain. Segala kemungkinan tersebut di
atas, maka diam tidak dapat dijadikan sebagai hujjah untuk menerima pendapat
seorang mujtahid.
Sedang yang ke 2 memiliki alasan sebagai sebagai berikut :
1) Pada dasarnya diam tidak bisa dikategorikan hujjah kecuali sesudah merenung dan
berfikir.
2) Pada umumnya tidak semua pemberi fatwa memberikan keterangan pada suatu
masalah.
3) Diamnya seorang mujtahid setelah merenung dan berfikir terhadap
hasil ijtihad orang lain yang bertentangan dengan hukum yang benar
menurut ijtihadnya adalah haram.
ةاللض ال لى ع تى ام جمع ت ال
Artinya : “Umatku tidak akan bersepakat atas perbuatan sesat”
5. Kemungkinan terjadi Ijma’
Para ulama berbeda pendapat tentang kemungkinan terjadinya ijma’ dan nilai
argumentasinya. Mengapa? Karena terjadinya perbedan pendapat dalam mengartikan
ijma’. Diantaranya berpendapat bahwa : Ijma’ adalah kesepakatan para Mujtahid pada
setiap masa terhadap hukum syara’ jika demikian maka ijma’ tersebut tidak mungkin
terjadi.
Tetapi jika yang dimaksud ijma’ adalah kesepakatan para mujtahid terhadap
hukum-hukum syara tetap ditetapkan berdasarkan dalil nash yang qoth’i.
Seperti: Kesepakatan mereka tentang wajibnya mereka shalat menghadapi
qiblat, kewajiban puasa, zakat, ibadah haji dan lain-lain. Maka hal tersebut mungkin
terjadi. Dalam hal ini yang menjadi argumentasi (hujjah) bukan ijma’, melainkan dalil-
dalil nash qoth’i. Dengan demikian ijma’ tidak memiliki peran apa-apa karena ijma’
bisa di katakan berfungsi jika ia mampu meningkatkan hukum yang
bersifat dhonny menuju Qoth’i. Hukum-hukum seperti disebutkan di atas seperti
5. wajibnya shalat, puasa dan sebagainya pada dasarnya sudah bersifatqoth’i. Kemudian
siapakah orang-orang yang ijma’nya bisa diterima? Dan bagaimana kriteria mujtahid
yang ijma’nya dapat diterima? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini beliau
imam Syafi’i membuka dialog dalam kitab Jima’ul Ilmu : “Siapakah diantara ulama
ijma’nya dapat dijadikan hujjah ialah orang-orang yang diakui (diangkat) oleh
penduduk suatu Negara sebgai ahli fiqih yang fatwa-fatwanya dapat diterima oleh
penduduk tersebut dengan senang hati. Akan tetapi jawaban tersebut diangkat oleh
imam Syafi’i, karena tidak ada ulama’ yang memiliki sifat-sifat diatas walaupun ada
ahli fiqh yang diakui sebagian penduduk dalam suatu negara namun dianggap orang
bodoh yang tidak berhak memberikan fatwa oleh sebagian penduduk lain. Apalagi
ulama’ yang fatwanya diterima secara bulat oleh seluruh penduduk antar Negara.
Dengan adanya pernyataan-pernyataan diatas beliau Imam Syafi’i cenderung
menolak ijma’ dengan alasan-alasan sebagai berikut :
1) Para Fuqoha berdomisili di berbagai tempat yang saling berjauhan, sehingga
mereka tidak mungkin dapat bertemu.
2) Terjadinya perbedaan pendapat diantara para fuqoha yang tersebar diberbagai
daerah diseluruh Negara-negara Islam.
Tidak ada kesepakatan ulama’ tentang orang-orang yang diterima ijma’nya.
Dengan demikian ijma’ yang dapat dijadikan argumentasi (Hujjah) hanyalah ijma’ para
sahabat. Karena pada masa itu mereka masih berdomisili dalam suatu jazirah dan belum
berpencar di berbagai negara sehingga memungkinkan terjadinya ijma’. Akan tetapi
pada masa tabi’in berhubung sudah berpencar di berbagai negara hingga sulit
mengadakan pertemuan diantara mereka. Maka benarlah sesungguhnya jika ulama
mengatakan bahwa tidak ada ijma’ yang dispakati dan diterima oleh semua ulama,
kecuali ijma’nya para sahabat. Dan dapat disimpulkan bahwa masa sekarang ini tidak
mungkin terjadinya ijma’.
6. Pengertian Qiyas
Qiyas secara bahasa adalah
نهما ي ب ساوات م ال لم ع ي ل أخر ب شئ ال ر قدي ت
Qiyas secara istilah adalah
كم ح ال ى ف عها جم ت لة ع ب صل اال ى ال فرع ال رد
Qiyas juga bisa berarti menyamakan sesuatu yang tidak ada nash hukumnya
dengan sesuatu yang ada nash hukumnya karena ada persamaan illat hukum. Karena
dengan qiyas ini berarti para mujtahid telah mengembalikan ketentuan hukum kepada
sumbernya al-quran dan hadits. Sebab dalam hukum Islam kadang tersurat jelas dalam
al-quran dan hadits, tapi kadang juga bersifat implicit-analogik (tersirat) yang
terkandung dalam nash. Beliau Imam Syafi’i mengatakan “Setiap peristiwa pasti ada
kepastian hukum dan umat Islam wajib melaksanakannya”. Namun jika tidak ada
6. ketentuan hukum yang pasti, maka haruslah dicari dengan cara ijtihad. Dan ijtihad itu
adalah qiyas.
Proses pengqiyasan dilakukan dengan cara menganalogikan sesuatu yang
serupa karena prinsip persamaan‘illat akan melahirkan hukum yang sama. Asas qiyas
adalah menghubungkan dua masalah secara analogis berdasarkan persamaan sebab dan
sifatnya. Apabila pendekatan tersebut menemukan titik persamaan maka konsekuensi
hukumnya harus sama pula dengan hukum yang ditetapkan. A1-Qur’an menjelaskan
perbedaan hukum karena tidak adanya persamaan sifat dan perbuatan yaitu firman
Allah :
هللا دمر لهم ب ق من ن ذي ال بة عاق ان ك يف ل نظروا ي ف االرض ى ف يروا س ي لم اف
هم ثال ام ن ري كاف ل ول يهم ل ع
Artinya : Maka apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi ini
sehingga mereka dapat melihat bagaimana kesudahan orang-orang sebelum mereka.
Allah telah menimpakan kebinasaan atas mereka dan orang-orang kafir akan
menerima akibat-akibat seperti itu.
Yang kedua adalah analogi beda sifat, beda hukum.
لوا وعم نوا أم ن ذي ال ا ك لهم ع ج ت ان يأت س ال ترجوا اح ن ذي ال سب ح ام ياهم مح سواء حات صال ال
كمون ح ي ما سأ هم وممات (ةيثاجلا : 21)
Artinya : Apakah orang yang membuat kejahatan itu menyangka bahwa kami
akan menjadikan mereka seperti orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal
sholeh, yaitu sama antara kehidupan dan kematian mereka? Amat buruklah apa yang
mereka sangka itu.
Dan Firman Allah yang berbunyi.
ا ك ين ق ت م ال عل ج ن ام االرض ى ف ن سدي ف م ال ا ك حات صال ال لوا وعم نوا ام ن ذي ال عل ج ن ام
فجار ال (داصلا : 28)
Artinya : Patutkah kami menganggap orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal sho!eh samadengan orang-orang yang berbuat kerusakan di muka
bumi? Patutkah kami menganggap orang-orang yang bertaqwa sama dengan orang-
orang yang berbuat maksiat?
Dengan ketiga dalil Al-Qur’an tersebut di atas sangat sesuai dengan prinsip
berfikir rasional yaitu menyamakan sesuatu karena adanya persamaan dan
membedakan sesuatu karena adanya faktor perbedaan. Menurut pendapat Imam Al-
Muzani seorang sahabat Imam Syafi’i menyimpulkan pandangan beliau tentang qiyas
yaitu : Para ahli hukum dan masa Rasulullah hingga sekarang selalu
mempergunakannya dalam setiap masalah agama. Sesuatu yang setara dengan hak
adalah hak dan yang dengan setara bathil ya bathil pula. Ibnu Qoyyim sependapat
dengan hal tersebut.
Karena qiyas merupakan aktivitas akal, maka ada ulama yang berbeda pendapat
dengan jumhur ulamatentang tentang digunakannya/tidak digunakannya qiyas. Dalam
hal ini terdapat tiga kelompok besar yaitu :
7. 1) Kelompok Jumhur : Mempergunakan qiyas sebagai dasar hukum pada hal-hal yang
tidak jelas nashnya baik dalam Al-Qur’an/Al-hadist pendapat shahabat/ijma’ ulama
tapi hal tersebut dilakukan dengan tidak berlebihan dan melampaui batas.
2) Madzab Dhohiriyah dan Syiah Imamiyah : Samasekali tidak memakai qiyas, hanya
terpaku pada teks.
3) Akhor/kelompok yang lebih memperluas pemakaian qiyas. Terkadang dalam
kondisi/masalah tertentu kelompok ini menerapkan qiyas sebagai pentaskhih dan
keumuman Al-Qur’an dan Al Hadist.
7. Dalil Kehujjahan Qiyas
Tidak diragukan lagi bahwa aliran jumhur adalah aliran yang tepat dan paling
kuat. Mengapa? Dikarenakan argumentasinya berdasarkan atas prinsip berpikir logis
disamping tetap berpegang pada Al-Aqur’an dan petunjuk Rasulullah. Dalil Al-
qur’annya adalah sebagai berikut:
سو ر ال عوا ي واط هللا عوا ي اط نوا ام ن ذي ال ها ااي ي سيء ى ف تم نازع ت إن ف كم ن م االمر واول ل
.ر االخ يوم وال اهلل ب نون ؤم ت تم ن ك ان سول ر وال هللا ى ال ردواه ف
(ءاسنلا : 59)
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman. Taatilah Allah dan Rasul-Nya dan
Ulil Amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
makakembalikanlahIa kepadaAllah (Al-Qur ‘an) dan rasul (sunnah) jikakamubenar-
bear beriman kepada Allah dan hari kemudian.
Ayat tersebut menjadi dasar hukum qiyas. Karena didalamnya terdapat
ungkapan “kembali kepada Allah dan Rasulnya” tidak lain dan tidak bukan adalah
perintah supaya menyelidiki tanda-tanda bahwa apa sesungguhnya yang dikehendaki
Allah dan Rasul-Nya. Hal ini dilakukan dengan jalan mencari illat hukum yang
dinamakan qiyas.
Kemudian dalil Al-qur’annya sebagai berikut:
ف ان ك قد برةل ع صهم ص ق ى (فسوي : 111)
Sesungguhnya dalam kisah mereka terdapat pelajaran....
Di dalam lafadz ‘itibar di atas ditafsirkan dengan makna Al-itt’azh (mengambil
pelajaran). Hal itu tidak lain adalah penetapan terhadap firman Allah dan ciptaan-Nya
yaitu bahwa sesuatu yang berlaku bagi contoh, maka ia berlaku pula pada yang menjadi
contohnya.
Analoginya adalah seperti ini: Apabila seorang pegawai dijatuhi hukuman
karena menerima suap, lalu sang kepala berkata kepada teman-teman sekantor
“Sesungguhnya ini adalah suatu pelajaran bagi kamu, maka ambilah sebagai
pelajaran”. Maka dapat dipahami dari kata-kata Sang Kepala tersebut kamu akan
sepertinya, jika kamu melakukan hal yang sama, kamu akan dihukum sebagaimana
hukuman yang menimpanya, dan juga sebuah hadist Rasulullah SAW:
8. ,ضاء ق ه ل عرض اذا ضى ق ت يف ل ه ل ال ق .يمن ال ى ال ثه ع ب ي ان اراد ما ل ص.م هللا سول ر ان
ص.م هللا سول ر نة س ب ف أجد م ل إن ف هللا تاب ك ب ضى اق : ال ق هلل حمد ال : ال ق صدره لى ع
ص.م هللا سول ر ضى ر ي ما ل هللا سول ر ق وف ذى ال
Artinya : “Bahwasannya Rasulullah Saw, ketika hendak mengutus Muadz
menuju negeri Yaman, berkata kepadanya : Bagaimanakah kau memberi putusan?
Muadz menjawab : “Saya akan memutuskan berdasarkan kitab Allah. Jika saya tidak
menemukannya,saya memutuskan berdasarkan Sunnah Rasulullah Saw, kemudian jika
saya tidak menemukannya, maka saya akan berijtihad dan saya tidak akan sembrono.
Lantas Rasulullah Saw menepuk-nepuk dadanya dan berkata : “Segala puji adalah
bagi Allah yang telah memberi taufiq kepada utusan Rasulullah kepada apa yang
diridhoi oleh Rasulullah Saw”.
Dari hadist di atas Rasulullah Saw mengakui Muadz untuk berijtihad, bila dia
tidak menemukan nash yang dia gunakan untuk memberi putusan baik Al-Qur’an
ataupun As-Sunnah. Sedang ijtihad adalah mencurahkan segala kemampuan untuk
sampai kepada hukum. Dan Ijtihad juga meliputi qiyas.
Dengan adanya dalil kehujjahan qiyas diatas, dapat kita simpulkan
bahwasannya pada saat sekarangpun qiyas masih terjadi.
C. KESIMPULAN
Dan uraian makalah di atas kita dapat mengetahui bahwasannya ijma’ yang
disepkati/disetujui oleh ulama adalah hanya ijma’nya shahabat. Dan pada masa
sekarang ini ijma’ sudah tidak terjadi, tetapi ijma’ berlaku sebagai dalil syara’ satu
tingkat di bawah As-sunnah.
Kalau untuk qiyas, untuk saat sekarang ini masih terjadi dan berlaku sebagai
metode ijtihad ulama dalam pengambilan hukum.