Sistem pidana Islam memiliki beberapa keunggulan konseptual dan praktikal dibandingkan sistem pidana sekuler. Secara konseptual, sistem pidana Islam berasal dari wahyu Allah sehingga bersifat tetap dan konsisten, serta memiliki dimensi dunia dan akhirat. Secara praktikal, sistem pidana Islam memiliki peluang permainan hukum yang lebih kecil dan hakim memiliki independensi yang tinggi.
1. Keunggulan Sistem Pidana Islam
Oleh : KH. M. Shiddiq al-Jawi
Pengantar
Sistem pidana Islam dalam media massa atau buku-buku karya para orientalis kafir
dan pengikutnya –yakni kaum liberal— selalu diopinikan kejam dan tidak manusiawi.
Hukuman potong tangan untuk pencuri atau hukuman mati untuk orang murtad,
misalnya, sering dituduh terlalu kejam dan sadis. Ujung-ujungnya, ide yang mereka
tawarkan adalah mencari “substansi” sistem pidana Islam, yaitu yang penting
memberikan hukuman bagi yang bersalah, apa pun bentuk hukumannya. Pencuri
cukup dipenjara, misalnya, bukan dipotong tangannya. Pada akhirnya, sistem pidana
kafir warisan penjajah tetap bisa bercokol terus di negeri Islam ini.
Pandangan sinis terhadap sistem pidana Islam itu lahir bukan karena sistem pidana
Islamnya yang batil, melainkan lahir karena 2 (dua) alasan utama.
Pertama, secara konseptual, sistem pidana Islam dianggap bertentangan dengan
pola pikir kaum sekuler/liberal. Misalnya, hukuman mati untuk orang murtad, dianggap
kejam dan salah bukan karena Islamnya yang salah, tapi karena bertentangan dengan
prinsip kebebasan beragama yang dianut secara fanatik oleh kaum sekuler.
Kedua, secara praktikal, sistem pidana yang sedang diterapkan memang bukan
sistem pidana Islam. Hukum potong tangan untuk pencuri dipandang salah dan sadis
bukan karena Islamnya yang salah, melainkan karena bertentangan dengan sistem
pidana kafir warisan penjajah, yaitu pasal 362 KUHP. Dalam pasal ini, pencuri
diancam pidana penjara paling lama lima tahun. Patut diketahui KUHP ini adalah
pidana warisan penjajah Belanda yang dikenal dengan nama Wetboek van
Strafrecht yang berlaku di negeri muslim ini sejak 1946 (Muljatno, KUHP, 2001:128).
Padahal, studi mendalam dan objektif terhadap sistem pidana Islam telah
menunjukkan berbagai keunggulannya bila dibandingkan dengan sistem pidana
sekuler yang tengah diterapkan. Tulisan ini mencoba mengungkap segi-segi
keunggulan sistem pidana Islam tersebut, baik keunggulan secara konseptual
(teoretis), maupun keunggulan praktikal (empiris).
Keunggulan Konseptual
Secara konsektual (teoretis), paling tidak ada 5 (lima) keunggulan sistem pidana
Islam.
Pertama, sistem pidana Islam berasal dari Allah, Dzat yang Maha Mengetahui
perihal manusia secara sempurna termasuk gerak-gerik hati dan
kecenderungan naluriah manusia.
2. Ini tentu sangat berbeda dengan sistem pidana sekuler yang dibuat oleh manusia
yang sok tahu dan sok pinter tentang manusia, padahal sebenarnya ia lemah dan
serba terbatas jangkauan pandangannya.
Allah SWT berfirman :
ن ْوُنِق ُّْوي م ْوقِِّل اًمْكُح ِ ّٰللا نِم ُنسْحا ْنمو ن ْوُغْبي ِةَّيِلِهاجْال مْكُحفا
“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih
baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS Al-Maa`idah [5] : 50)
Ayat di atas maknanya adalah tidak ada hukum siapapun yang lebih baik daripada
hukum Allah. (Imam as-Suyuthi, Tafsir Al-Jalalain, hal. 91).
Jadi, meski redaksinya berupa pertanyaan (“siapakah”), tapi yang dimaksud adalah
menafikan atau mengingkari sesuatu (“tidak ada siapa pun”). (Ghayalaini, Jami’ al-
Durus al-‘Arabiyah, I/139).
Sumber sistem pidana Islam yang berasal dari wahyu Allah ini selanjutnya melahirkan
keunggulan-keunggulan lain sebagai implikasinya. Antara lain, penerapan sistem
pidana Islam akan dianggap sebagai wujud ketakwaan individu kepada Allah.
Sebaliknya, penerapan sistem pidana sekuler dengan sendirinya sama sekali akan
kosong dari unsur ketakwaan, karena ia tidak bersumber dari wahyu Allah. Ketika
hukum potong tangan diterapkan, ia adalah wujud ketakwaan kepada Allah. Sebab
hukuman itu diperintahkan oleh Allah dalam Al-Qur`an (lihat QS Al-Maidah [5] : 38).
Tapi ketika manusia menerapkan hukum pidana penjara untuk pencuri, yaitu
menerapkan pasal 362 KUHP, berarti ia tidak bertakwa kepada Allah, karena ia tidak
menjalankan sanksi ketetapan Allah, tapi sekedar sanksi bikinan manusia
sesamanya. Kalau hakim muslim merasa bertakwa kepada Allah dengan menjalankan
pasal 362 KUHP, jelas ia sedang berkhayal atau bermimpi kosong.
Dengan kata lain, menjalankan sistem pidana Islam tak ubahnya dengan
melaksanakan sholat, puasa, haji, dan ibadah ritual lainnya. Jadi sistem pidana Islam
bersifat spiritual (ruhiyah). Sebab semuanya adalah hukum yang berasal dari Allah
SWT yang merupakan ketakwaan jika dilaksanakan dengan benar oleh seorang
muslim.
Kedua, sebagai implikasi dari keunggulan pertama, maka keunggulan
berikutnya adalah, sistem pidana Islam bersifat tetap (dawam), konsisten, dan
tidak berubah-ubah mengikuti situasi, kondisi, waktu dan tempat. (Audah, at-
Tasyri’ al-Jina`i al-Islami, I/24-25).
Allah SWT berfirman :
ُميِلعْٱل ُعيِمَّسٱل وُهو ۚ ۦِهِت َٰمِلكِل ِلِّدبُم َّّل ۚ ًّلْدعو اًقْد ِص كِِّبر ُتمِلك ْتَّمتو
3. “Telah sempurna kalimat Tuhanmu, sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada
yang dapat mengubah-ubah kalimat-kalimat-Nya dan Dialah yang Maha Mendengar
lagi Maha Mengetahui.” (QS Al-An’aam [6] : 115)
Sebaliknya sistem pidana sekuler tidak memiliki sifat konsisten ini, karena ia akan
selalu berubah dan berbeda-beda mengikuti kehendak manusia sesuai situasi,
kondisi, waktu dan tempat.
Penyebab hal ini tiada lain karena sumbernya bukan dari wahyu Allah, tapi dari
manusia itu sendiri, sehingga berpotensi sangat tinggi untuk berubah, berbeda, dan
berganti.
Dalam sistem pidana Islam, meminum minuman keras (khamr) adalah haram dan
merupakan kejahatan (jarimah/jinayah) untuk siapapun di mana pun dan kapan pun
(al-Maliki, Nizham al-Uqubat, hal. 49). Minum khamr hukumnya haram di negeri Arab
yang panas, sebagaimana ia haram untuk muslim yang tinggal di Rusia yang dingin.
Ini beda sekali dengan sistem pidana sekuler. Dulu pada tahun 1920-an Amerika
Serikat pernah melarang minuman keras. Tapi dasar bangsa Amerika adalah bangsa
pemabok, akhirnya mereka tidak tahan dan minuman keras lalu dibolehkan lagi tahun
1930-an untuk ditenggak oleh masyarakat Amerika yang kafir.
Memang dalam sistem pidana Islam ada jenis hukuman ta’zir yang memungkinkan
adanya perbedaan sanksi hukuman yang penetapannya diserahkan kepada qadhi
(hakim).
Misalnya pengguna narkoba, dapat dipenjara sampai 15 tahun atau dikenakan denda
yang besarnya diserahkan kepada qadhi (al-Maliki, Nizham al-Uqubat, hal.189). Ini
berarti bisa saja sanksi penjaranya bisa kurang dari 15 tahun, dan besarnya denda
bisa berbeda-beda.
Tetapi ini bukan berarti hukum bisa berubah mengikuti waktu dan tempat, sebab
hukumnya tidak berubah, yaitu hukum mengkonsumsi narkoba itu tetap haram. Yang
berbeda hanyalah kadar sanksinya, bukan boleh tidaknya mengkonsumsi narkoba. Ini
beda sekali dengan kejadian di AS, dimana yang berubah justru boleh tidaknya minum
khamr.
Ketiga, sanksi dalam pidana Islam bersifat zawajir (membuat jera di dunia) dan
jawabir (menghapus dosa di akhirat). Jadi sistem pidana Islam itu berdimensi dunia
dan akhirat. Sedang sistem pidana sekuler jelas hanya berdimensi dunia saja. Sistem
sekuler memang sangat cetek (dangkal) dan picik wawasan dan dimensinya.
Sifat zawajir itu, artinya sistem pidana Islam akan membuat jera manusia sehingga
tidak akan melakukan kejahatan serupa. Misalnya dengan menyaksikan hukuman
qishash bagi pelaku pembunuhan, akan membuat anggota masyarakat enggan untuk
membunuh sehingga nyawa manusia di tengah masyarakat akan dapat terjamin
dengan baik. Allah SWT berfirman :
4. ن ْوُقَّتت ْمُكَّلعل ِبابْل ْاّل ىِلوُآّٰٰي وةَٰيح ِاصصِقْال ىِف ْمُكلو
“Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang
berakal, supaya kamu bertakwa.” (QS al-Baqarah [2] : 179)
Sedang sifat jawabir, artinya sistem pidana Islam akan dapat menggugurkan dosa
seorang muslim di akhirat nanti. Dalam peristiwa Baiat Aqabah II, Rasulullah SAW
menerangkan bahwa barangsiapa yang melakukan suatu kejahatan, seperti berzina,
mencuri, dan berdusta, lalu ia dijatuhi hukuman atas perbuatannya itu, maka sanksi
itu akan menjadi kaffarah (penebus dosa) baginya (HR. Bukhari, dari Ubadah bin
Shamit RA) (M. Husain Abdullah, Dirasat fi al-Fikr al-Islami, hal. 64).
Maka, dalam sistem pidana Islam, kalau orang mencuri lalu dihukum potong tangan,
di akhirat Allah tidak akan menyiksanya lagi akibat pencurian yang dilakukannya di
dunia. Hukum potong tangan sudah menebus dosanya itu. Tapi dalam sistem pidana
sekuler, sifat jawabir ini tidak ada. Nihil. Jadi kalau seseorang mencuri dan dipenjara
(bukan dipotong tangan), di akhirat nanti masih akan diazab oleh Allah karena
pencurian yang dilakukannya di dunia. Jadi, dengan sistem pidana sekuler, orang
akan menderita secara double, di dunia sekaligus di akhirat. Mengerikan, bukan?
Nauzhu billah….
Keempat, Dalam sistem pidana Islam, peluang permainan hukum dan peradilan
sangat kecil. Ini terutama karena, sistem pidana Islam itu bersifat spiritual, yakni
menjalankannya berarti bertakwa kepada Allah. Selain itu, hakim yang curang dalam
menjatuhkan hukuman, atau menerima suap dalam mengadili, diancam hukuman
yang berat oleh Allah, yaitu masuk neraka atau malah bisa menjadi kafir (murtad).
Rasulullah SAW bersabda : “Akhdhul amiiri suhtun wa qabuulul qaadhiy ar-risywata
kufrun.” (Hadiah yang diterima oleh seorang penguasa adalah suht (haram) dan suap
yang diterima oleh hakim adalah kufur) (HR. Ahmad).
Berdasar hadits itu, seorang ulama dari kalangan tabi’in, yakni Abu Wa`il bin Salamah
berkata,”Seorang qadhi (hakim) yang menerima hadiah, ia makan barang haram dan
jika menerima suap, ia telah sampai pada kekufuran.” (Al-Baghdadi, Serial Hukum
Islam, hal. 62)
Kelima, Dalam sistem pidana Islam, seorang qadhi memiliki independensi
tinggi, yaitu vonis yang dijatuhkannya tak bisa dibatalkan, kecuali jika vonis itu
menyalahi syariat Islam. Kaidah fiqih menyebutkan, ”al-ijtihad laa yunqadhdhu bi-
mitslihi.” (Ijtihad tidak dapat dibatalkan dengan ijtihad yang semisalnya). (Zallum,
Nizham al-Hukm fi al-Islam, hal. 193). Artinya, vonis yang dijatuhkan seorang hakim
sebagai hasil ijtihadnya, tidak dapat dibatalkan oleh ijtihad yang dihasilkan oleh hakim
lainnya.
Maka dalam peradilan Islam tidak dikenal sistem “banding” yakni mengajukan
peninjauan vonis pada tingkat peradilan yang lebih tinggi, sebagaimana dalam sistem
peradilan sekuler. Sebab sekali vonis dijatuhkan, ia berlaku secara mengikat dan
5. langsung dijalankan. Kecuali jika vonis itu salah, maka wajib dibatalkan. Misalnya
seorang yang dijatuhi vonis hukuman mati (qishash) atas dasar pengakuan, lalu
terbukti pengakuannya tidak benar karena ada saksi-saksi yang membatalkan
kesaksiannya itu.
Keunggulan Praktis (Empiris)
Secara empiris, keunggulan sistem pidana Islam pun masih dapat dibuktikan hingga
sekarang, meski negara Khilafah sebagai institusi penegaknya sudah hancur sejak
tahun 1924.
Negara Arab Saudi, walaupun belum Islami seratus persen --karena masih
menggunakan sistem monarki (bukan Khilafah)-- tapi sistem pidana Islam yang
diterapkannya menunjukkan keunggulan signifikan bila dibandingkan sistem pidana
sekuler yang dijalankan di negara-negara Arab lainnya, yaitu di Suriah, Sudan, Mesir,
Irak, Libanon, dan Kuwait. Rata-rata angka pembunuhan di Saudi (dalam 100.000
penduduk) dalam periode 1970-1979 yang besarnya 53, ternyata hanya 1/6 dari
angka pembunuhan Mesir dan Kuwait, 1/7 dari angka pembunuhan Suriah, 1/9 dari
angka pembunuhan Sudan, 1/16 dari angka pembunuhan Irak, dan hanya 1/25 dari
angka pembunuhan Libanon. (Topo Santoso, 2003: 138-143).
Jika Saudi dibandingkan dengan negara Barat, seperti Amerika Serikat, angkanya
akan lebih signifikan dan dramatis. Bayangkan, angka pembunuhan Saudi selama 1
tahun sama dengan angka pembunuhan AS dalam sehari! Sebab rata-rata angka
pembunuhan Saudi selama 10 tahun (1970-1979) hanya ada 53 kasus pembunuhan
per tahun. Di AS (sepanjang 1992 saja) terjadi 20.000 kasus pembunuhan, atau 54
orang terbunuh per hari (al-Basyr, 1995:45).
Bayangkan pula, angka perkosaan di Saudi selama 1 bulan sama dengan angka
perkosaan AS dalam sehari! Sebab rata-rata angka perkosaan Saudi selama 10 tahun
(1970-1979) hanya ada 352 kasus perkosaan per tahun. Jadi per bulan di Saudi terjadi
sekitar 29 perkosaan. Di AS (sepanjang 1992 saja) terjadi 10.000 kasus perkosaan,
atau sekitar 27 perempuan diperkosa per hari. Ini kurang lebih setara dengan angka
perkosaan Saudi selama 1 bulan (Qonita, 2001:53-54). Subhanallah!
Penutup
Dari uraian keunggulan konseptual dan praktikal di atas, nampak jelas sistem pidana
Islam jauh lebih unggul jika dibandingkan sistem pidana sekuler yang diterapkan saat
ini. Sudah saatnya sistem pidana sekuler warisan penjajah yang kafir itu dihapuskan
sekarang juga, sebab ia bertentangan secara total dengan Islam dan hanya
menimbulkan dosa dan kerusakan di dunia dan akhirat. [ ]
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M. Husain. 1990. Dirasat fi al-Fikr al-Islami. Beirut : Darul Bayariq.
Audah, Abdul Qadir. 1992. at-Tasyri’ al-Jina`i al-Islami. Beirut : Mu`assah ar- Risalah.
6. al-Baghdadi, Abdurrahman. 1987. Serial Hukum Islam (Penyewaan Tanah Lahan,
Kekayaan Gelap, Ukuran Panjang, Luas, Takaran, dan Timbangan). Bandung : PT.
Alma’arif.
al-Basyr, M. bin Saud. 1995. Amerika di Ambang Keruntuhan (As-Suquth min al-
Dakhil). Penerjemah Mustholah Maufur. Jakarta : Pustaka Al-Kautsar.
Ghalayaini, Syaikh Musthofa. Jami’ al-Durus al-‘Arabiyah. 1994. Beirut : al-Maktabah
al-‘Ashriyah.
al-Maliki, Abdurrahman. 1990. Nizham al-Uqubat fi al-Islam. Beirut : Darul Ummah
Moeljatno. 2001. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Cetakan kedua puluh
satu. Jakarta : Bumi Aksara.
Santoso, Topo. 2003. Membumikan Hukum Pidana Islam. Jakarta : Gema Insani
Press.
as-Suyuthi & al-Mahalli. 1991. Tafsir Al-Jalalain. Cetakan Pertama. Beirut : Darul Fikr.
Qonita, Arina. 2001. Jilbab dan Hijab. Jakarta : Bina Mitra Press.
Zallum, Abdul Qadim. 2002. Nizham al-Hukm fi al-Islam. Beirut : Darul Ummah.