Makalah ini membahas tentang ijtihad, termasuk pengertian ijtihad, dasar-dasar hukum ijtihad, syarat-syarat mujtahid, tingkatan mujtahid, objek kajian ijtihad, metode-metode ijtihad, hukum dan fungsi melakukan ijtihad.
1. MAKALAH USHUL FIQIH
“IJTIHAD”
Dosen Pengampu: Saiful Bakhri M.M
Di susun oleh :
1. Aini Wardatus Sholihah
2. Magdha Kuslarieza
3. Abdur Rohman
Program Studi Perbankan Syari’ah
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM SALAHUDDIN PASURUAN
Tahun Akademik 2017/2018
2017
2. i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga makalah Ushul Fiqih yang berjudul “Ijtihad” dapat
diselesaikan tepat pada waktunya. Sholawat dan salam selalu kita limpahkan
kepada Nabi Muhammad SAW
Selesainya makalah ini juga tidak lepas dari bantuan beberapa pihak,
maka kami mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya
kepada:
1. Pak Saiful Bakhri M.M selaku dosen materi kuliah Ushul Fiqih.
2. Semua pihak yang telah membantu sehingga makalah ini dapat
terselesaikan.
Semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan bagi para
mahasiswa maupun para pembaca lain. Karena keterbatasan pengetahuan
maupun pengalaman kami, kami yakin masih banyak kekurangan dalam
makalah ini. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari para mahasiswa, dosen atau pembaca demi kesempurnaan
makalah ini.
01 Oktober 2017
Penyusun
3. ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR ................................................................................... i
DAFTAR ISI............... ...................................................................................ii
BAB I. PENDAHULUAN .............................................................................1
1.1 Latar Belakang ..................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..............................................................................1
1.3 Tujuan penulisan makalah..................................................................1
BAB II. PEMBAHASAN ..............................................................................3
2.1 Pengertian ijtihad................................................................................3
2.2 Dasar-dasar hukum ijtihad .................................................................3
2.3 Syarat-syarat mujtahid........................................................................5
2.4 Tingkatan-tingkatan mujtahid ............................................................8
2.5 Objek kajian ijtihad ..........................................................................10
2.6 Metode-metode ijtihad .....................................................................11
2.7 Hukum melakukan ijtihad. ...............................................................14
2.8 fungsi melakukan ijtihad ..................................................................14
BAB III. PENUTUP ................................................................................16
3.1 Kesimpulan...... ................................................................................16
3.2 Saran................ ................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................18
4. 1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada era modern saat ini tidak dapat dipungkiri bahwa perubahan
yang terjadi di lingkungan sekitar kita tidak lepas dengan adanya
teknologi. Sehingga perubahan tersebut dapat memunculkan problematika
yang tidak ditemukan penyelesaiannya di dalam Al-Qura’an dan As-
Sunnah. Banyak umat islam yang mulai bertanya satatus hukum islam
tentang hal-hal baru tersebut. Sehingga, perlu yang namanya ijtihad untuk
menjawab bagaimana status hukumnya dalam syari’at islam.
Dengan adanya ijtihad masalah-masalah tersebut dapat
diselesaikan dengan keputusan bersama dengan al-quran dan as-sunnah
sebagai dasar adanya penentuan hukum baru. Maka dari itu ijtihad sangat
diperlukan bagi umat islam pada kehidupan sekarang dan yang akan
datang.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa pengertian ijtihad?.
2. Apa saja dasar-dasar hukum ijtihad?.
3. Apa saja syarat-syarat melakukan ijtihad?.
4. Apa saja tingkatan-tingakatan mujtahid?.
5. Apa sajakah objek kajian ijtihad?.
6. Apa saja metode-metode ijtihad?.
7. Bagaimana hukum melakukan ijtihad?.
8. Apa saja fungsi melakukan ijtihad?.
1.3 Tujuan penulisan makalah
1. Mengetahui pengertian ijtihad.
2. Mengetahui apa saja dasar-dasar hukum ijtihad.
3. Mengetahui bagaimana syarat-syarat melakukan ijtihad.
5. 2
4. Mengetahui apa saja tingkatan-tingkatan mujtahid.
5. Mengetahui objek kajian ijtihad.
6. Mengetahui apa saja metode-metode ijtihad.
7. Mengetahui hukum melakukan ijtihad.
8. Mengetahui fungsi melakukan ijtihad.
6. 3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian ijtihad
Secara etimologi, ijtihad diambil dari kata al-jahd atau al-juhd, yang
berarti al-masyaqat (kesulitan dan kesusahan) dan ath-thaqat (kesanggupan
dan kemampuan) , dalam al qur‟an disebutkan dalam surat at taubah ayat 79
yang artinya :
“… dan (mencela) orang yang tidak memperoleh (sesuatu untuk
disedekahkan) selain kesanggupan”
Adapun definisi ijtihad secara terminology cukup beragam
dikemukakan oleh ulama-ulama ushul fiqih yang salah satunya yaitu Ijtihad
adalah aktifitas memperoleh pengetahuan (istimbath) hukum syara’ dari dalil
terperinci dalam syari’at.
2.2 Dasar-dasar hukum ijtihad
Ijtihad dapat dikatakan sebagai salah satu metode untuk menggali
hukum islam. Berikut dalil-dalil dari Al-Qur’an dan Al-Hadits yang
melandasi dibolehkannya melakukan ijtihad :
1. Al-Qur’an
مأُتأزَعََٰنَت نِإَف ۡۖمأُكنِم ِر مأَ أٱۡل يِل ْوُأ َو َلوُس َّٱلر ْاوُعيِطَأ َو َ َّٱَّلل ْاوُعيِطَأ ْا َٰٓوُنَماَء َينِذَّلاٱَهُّيَأَََٰٰٓيىَلِإ ُهُّودُرَف ٖء أَيش يِف
ُنَس أحَأ َو ٞرأَيخ َكِلََٰذ ِِۚر ِخَٰٓ أٱۡلِم أوَيأٱل َو ِ َّٱَّللِب َونُنِم أؤُت مأُتنُك نِإ ِلوُس َّٱلر َو ِ َّٱَّللايًلِوأأَت٥٩
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya),
dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan
Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya”. (QS.An-nisa:59)
Di dalam firman Allah yang lain :
ِر ََٰص أبَ أٱۡل يِل ْوُأَََٰٰٓي ْاوُرِبَتأٱعَف َينِنِم أؤُمأٱل يِدأيَأ َو ......٢
7. 4
“......Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-
orang yang mempunyai wawasan (QS.Al-Hasyr : 2)
َينِنِس أحُمأٱل َعَمَل َ َّٱَّلل َّنِإ َو َِۚانَلُبُس مأُهَّنَيِد َهأنَل َانيِف ْاُودَه ََٰج َينِذَّلٱ َو٦٩
“Dan orang-orang yang berjihad untuk ( mencari keridlaan ) Kami,
benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan
sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat
baik”.( Q.S. Al-‘Ankabut:69 )
َمِب ِاسَّنٱل َنأيَب َمُك أحَتِل ِقَحأٱلِب َبََٰتِكأٱل َكأيَلِإ َٰٓاَنألَنزَأ َٰٓاَّنِإُكَت ََل َو ُِۚ َّٱَّلل َكَٰىَرَأ َٰٓاا ٗيم َِصخ َينِنِئَٰٓاَخألِل ن١٠
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan
membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa
yang telah Allah wahyukan kepadamu”. (Q.S.An-nisa:105)
2. Al-Hadits
Sabda Rosulullah yang diriwayatkan Bukhori Muslim
)مسلم و (بخارى .ٌد ِاح َو ٌرْجَا ُهَلَف َأَطْخَاَف َدَهَتْج ِِنا َو ِانَرْجَا ُهَلَف َابَصَاَف َدَهَتْجا اَذِا ُمِكاَحْلَا
“Hakim apabila berijtihad kemudian dapat mencapai kebenaran maka ia
mendapat dua pahala (pahala melakukan ijtihad dan pahala kebenaran
hasilnya). Apabila ia berijtihad kemudian tidak mencapai kebenaran, maka
ia mendapat satu pahala (pahala melakukan ijtihad)”.(Hadits riwayat
Bukhari dan Muslim).
Hadits yang menerangkan dialog Rasulullah SAW dengan Mu’adz bin
Jabal, ketika Muadz diutus menjadi hakim di Yaman berikut ini:
ااذاَعُم َثَعْبَي ْنَأ َداَرَأ اَّمَل ِهللا ُل ْوُس َر َّنِإ ِلَبَج ِْنب اذَعُم ِباَحْصَأ ْنِم صَمَح ِلْهَا ْنِم ٍسَانُأ ْنَع
ْيَك :َلاَق ِنَمَيْلا َيِلاْمَل ْنِإَف :َلاَق .ِهللا ِباَتِكِب ى ِضْقَأ :َلاَق ؟ٌءاَضَق َكَل َض َرَعاَذِإ ِضْقَت َفيِف ْد َِِت
ِك يِف ََل َو ِهللا ِل ْوُس َر ِةَّنُس يِف ْد َِِت ْمَل ْنِإَف :َلاَق .ِهللا ِل ْوُس َر ِةَّنُسِبَف :َلاَق هللا؟ ِباَتِك:َلاَق ؟ِهللا ِباَت
ََل َو ِْئياَر ُدِهَتْجَاِهللا ِل ْوُس َر َل ْوُس َر َقَّف َو ْيِذَّلا ِ َّ َُِّللدْمَحْلَا :َلاَق َو ُه َْردَص ِهللا ُل ْوُس َر َبَرَضَف . ْوُلآاَّمَل
ِهللا ُل ْوُس َر يَض ْرَيابوداود (رواه
8. 5
“Diriwayatkan dari penduduk homs, sahabat Muadz ibn Jabal, bahwa
Rasulullah saw. Ketika bermaksud untuk mengutus Muadz ke Yaman,
beliau bertanya: apabila dihadapkan kepadamu satu kasus hukum,
bagaimana kamu memutuskannya?, Muadz menjawab:, Saya akan
memutuskan berdasarkan Al-Qur’an. Nabi bertanya lagi:, Jika kasus
itu tidak kamu temukan dalam Al-Qur’an?, Muadz menjawab:,Saya
akan memutuskannya berdasarkan Sunnah Rasulullah. Lebih lanjut
Nabi bertanya:, Jika kasusnya tidak terdapat dalam Sunnah Rasul dan
Al-Qur’an?,Muadz menjawab:, Saya akan berijtihad dengan seksama.
Kemudian Rasulullah menepuk-nepuk dada Muadz dengan tangan
beliau, seraya berkata:, Segala puji bagi Allah yang telah memberi
petunjuk kepada utusan Rasulullah terhadap jalan yang diridloi-
Nya.”(HR.Abu Dawud)
2.3 Syarat-syarat mujtahid
MenurutAl-Syaukani, untuk dapat melakukan ijtihad hukum diperlukan
lima syarat. Masing-masing dalam lima persyaratan itu sebagai berikut :
1. Mengetahui al-Kitab (al-Qur’an) dan sunnah.
Persyaratan pertamaini disepakati oleh segenap ulama usul Fikih.
Ibn al-Hummam, salah seorang ulamah Fikih Hanafiah, menyebutkan
bahwa mengetahui al-Qur’an dana sunnah merupakan syarat mutlakyang
harus dimiliki oleh mujtahid. Akan tetapi, menurut al-Syaukani, cukup
bagi seorang mujtahid hanya mengetahui ayat-ayat hukum saja. Bagi al-
Syaukani, ayat-ayat hukum itu tidak perlu dihafal oleh mujtahid, tetapi
cukup jika ia mengetahui letak dan asbabun nuzulnya ayat itu, sehingga
dengan mudah ditemukannya ketika diperlukan.
Sebenarnya, apa yang dikemukakan al-Syaukani di atas merupakan
syarat bagi seseorang mujtahid mutlak yang akan melakukan ijtihad
dalam segenap masalah hukum. Akan tetapi, bagi seseorang yang hanya
ingin melakukan ijtihad dalam suatu masalah tertentu, ia hanya dituntut
9. 6
memiliki pengetahuan tentang ayat-ayat hukum yang menyangkut
tersebut secara mendalam.
Di samping itu, seseorang mujtahid – menurut al-Syaukani - tidak
hanya wajib mengetahui sejumlah besar hadits dari segi lafalnya, tetapi
wajib pula mengetahui rijal (periwayat-periwayat) yang terdapat dalam
sanad (kesinambungan riwayat hadits sampai kepada Nabi) menyangkut
hadits-hadits yang akan dipergunakannya, sehingga ia dapat memilah
antara hadits yang sahih, hasan, dan dha’if (lemah) yang disebut dengan
ilmu diroyah hadits. Namun seorang mujtahid seharusnya mengetahui
asbab al-wurud hadits syarat ini sama dengan seorang mujtahid yang
seharusnya mengetahui asbabun nuzul.
2. Mengetahui ijmak
Persaratan yang kedua harus mengetahui ijmak sehingga ia tidak
mengeluarkan fatwa yang bertentangan dengan ijmak. Akan tetapi,
seandainya mujtahid tidak memandang ijmak sebagai dasar hukum, maka
mengetahui ijmak ini tidak menjadi syarat baginya untuk dapat
melakukan ijtihad.
3. Mengetahui bahasa Arab
Yang ketiga mengetahui bahasa Arab yang memungkinkannya
menggali hukum dari al-Qur’an dan sunnah secara baik dan benar.Dalam
hal ini menurut al-Syaukani- seorang mujtahid harus mengetahui seluk-
beluk bahasa Arab secara sempurna, sehingga ia mampu mengetahui
makna-makna yang terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’an dan sunnah
Nabi saw. Secara rinci dan mendalam: mengetahui makna lafal-lafal
gharib (yang jarang dipakai); mengetahui susunan-susunan kata yang khas
(khusus), yang memilki keistimewaan-keistimewaan unik. Untuk
mengetahui seluk-beluk kebahasan itu diperlukan beberapa cabang ilmu,
yaitu: nahwu,saraf, ma’ani dan bayan. Akan tetapi, menurutnya,
pengetahuan (kaidah-kaidah) kebahasaan itu tidak harus dihafal luar
kepala, cukup bagi seorang mujtahid mengetahui ilmu-ilmu tersebut
melalui buku-buku yang ditulis oleh para pakar di bidang itu, sehingga
10. 7
ketika ilmu-ilmu tersebut diperlukan, maka dengan mudah diketahui
tempat pengambilannya.
Para ulama usul fikih sepakat bahwa syarat untuk menjadi
mujtahid hendaklah menguasai bahasa Aarab secara baik dan benar.
Sebab, bahasa al-Qur’an dan hadits adalah bahasa Aarab, seseorang tidak
mungkin akan dapat menegluarkan hukum dari dua sumber hukum kalau
tidak mengetahui bahasa Arab. Atas dasar demikian, sementara ulama-
antara lain’Abd al-Wahhab Khallaf—menempatkan pengetahuan tentang
bahasa Arab sebagai syarat pertama bagi seorang mujtahid untuk dapat
melakukan ijtihad.
4. Mengetahui ilmu ushul fikih
Menurut al-Syaukani, ilmu usul fikih penting diketahui oleh
seseorang mujtahid karena melalui ilmu inilah diketahui tentang dasar-
dasar dan cara-cara berijtihad. Seseorang akan dapat memperoleh jawaban
suatu masalah secara benar apabila ia mampu menggalinya dari al-Qur’an
dan sunnahn dengan menggunakan metode dan cara yang benar pula.
Dasar dan cara itu dijelaskan secara luas di dalam ilmu usul fikih.
Segenap ulama memandang bahwa pengetahuan tentang usul fikih
merupakan suatu hal penting dalam menggali hukum dari sumber-
sumbernya. Karena hanya di dalam usul fikih diajarkan tenteng cara-cara
meng-istinbath-kan hukum dari sumber-sumbernya.Tanpa mengetahui
cara meng-istinbath-kan hukum, tidak mungkin hukum akan
ditemukan.Dalam ushul fiqh, mujtahid juga dituntut untuk memahami
qiyas sebagai modal pengambilan ketetapan hukum.
5. Mengetahui nasikh (yang menghapuskan) dan mansukh (yang
dihapuskan).
Menurut al-Syaukani, pengetahuan tentang nasikh dan mansukh
penting agar mujtahid tidak menerapkan suatu hukum yang telah
mansukh, baik yang terdapat dalam ayat-ayat atau hadits-hadits.
Namun persyaratan di atas merupakan persyaratan menurut
pandangan al-syaukani ada beberapa ulama’ yang menambahkan kriteria
atau syarat-syarat yang harus dimiliki mujtahid diantaranya yaitu :
11. 8
6. Mengetahui maqashidu Asy-Syari’ah
Mengetahui maqashidu Asy-Syari’ah (tujuan syari’at) secara
umum, karena bagaimanapun juga syari’at itu berkaitan dengan maqashidu
Asy-Syari’ah atau rahasia disyari’atkannya suatu hukum..
Maksud dari maqashidu al-Syari’ah, antara lain menjaga
kemaslahatan manusia dan menjauhkan dari kemadaratan. Namun,
standarnya adalah syara’, bukan kehendak manusia, karena manusia tidak
jarang menganggap yang hak menjadi tidak hak dan sebaliknya.
7. Mengetahuimaksud-maksud hukum
Seorangmujtahidharusmengertitentangmaksuddantujuansyariat,
yang
manaharusbersendikanpadakemaslahatanumat.Dalamartilain, melindungi
dan memelihara kepentingan manusia.
8. Bersifat adil dan taqwa
Hal ini bertujuan agar produk hukum yang telah diformulasikan
oleh mujtahid benar-benar proporsional karena memiliki sifat adil, jauh
dari kepentingan politik dalam istimbat hukumnya. Adil dalam artian
bukan fasiq.
9. mengenal manusia dan kehidupan sekitarnya
Seorang Mujtahid harus mengetahui tentang keadaan zamannya,
masyarakat, problemnya, aliran ideologinya, politiknya, agamanya dan
mengenal hubungan masyarakatnya dengan masyarakat lain serta sejauh
mana interaksi saling mempengaruhi antara masyarakat tersebut.
2.4 Tingkatan-tingkatan mujtahid
Menurut As-Suyuthi “Umat sekarang (pada zamannya) telah terjebak
pada pemikiran bahwa mujtahid mutlaqitu sudah tidak ada lagi dan yang ada
sekarang hanyalah mujtahid muqayyad’’. Pernyataan seperti itu adalah salah
besar dan tidak sesuai dengan pendapat para ulama. Mereka tidak mengetahui
apa sebenarnya perbedaan antaramujtahid mutlaq, mujtahid muqayyad,
dan mujtahid muntasib yang semuanya berbeda.
12. 9
Dilihat dari luas atau sempitnya cakupan bidang ilmu yang diijtihadkan,
tingkatan mujtahid terdiri atas mujtahid fisy syar’i, mujtahid fil masa’il,
mujtahid fil mazhab, mujtahid muqayyad, dan mujtahid fatwa.
1. Mujtahid Fisy Syar’i (Mujtahid Mustaqi)
Mujtahid fisy syar’I adalah orang-orang yang berkemampuan
mengijtihadkan seluruh masalah syariat yang hasilnya diikuti dan
dijadikan pedoman oleh orang-orang yang tidak sanggup berijtihad.
Merekalah yang membangun mazhab-mazhab tertentu. Ijtihad yang
mereka lakukan semata-mata hasil usahanya sendiri tanpa mengambil
pendapat orang lain. Oleh karena itu, mereka disebut dengan mujtahid
mustaqil (berdiri sendiri). Mereka yang termasuk mujtahid fisy syar’i
antara lain Imam Hanafi, Iman Malik, Iman Syafi’i Iman Ahmad bin
Hambal, Iman Al Auza’i dan Ja’far As Siddiq.
2. Mujtahid Fil Masa’il
Mujtahid fil masa’i adalah mujtahid yang mengarahkan ijtihadnya
kepada masalah tertentu dari suatu mazhab, bukan kepada dasar-dasar
pokok yang bersifat umum. Misalnya, At Tahawi merupakan mujtahid
dalammazhab Hanafi, Imam Al Gazali merupakan mujtahid dalam
mazhab Syafi’i, dan Al Khiraqi merupakan mujtahid dalam mazhab
Hambali.
3. Mujtahid Fil Mazhab ( Mujtahid mutlaq ghairu mustaqil)
Mujtahid yang ijtihadnya tidak sampai membentuk mazhab
tersendiri. Akan tetapi, mereka cukup mengikuti salah seorang imam
mazhab yang telah ada dengan beberapa perbedaan, baik dalam
beberapa masalah yang utama maupun dalam beberapa masalah
cabang. Misalnya, Imam Abu Yusuf dan Muhammad Ubnul Hasan
adalah mujtahid fil mazhab Hanafi dan Imam Al Muzanniy adalah
mujtahid fil mazhab Syafi’i.
4. Mujtahid Muqayyad
Mujtahid muqayyad adalah mujtahid yang mengikatkan diri dan
menganut pendapat-pendapat ulama salaf dengan mengetahui
sumber-sumber hukum dan dalalah-dalalahnya. Mereka mampu
13. 10
menetapkan pendapat yang lebih utama di antara pendapat yang
berbeda-beda dalam suatu mazhab dan dapat membedakan antara
riwayat yang kuat dan yang lemah. Mereka adalah Al Karakhi yang
merupakan mujtahid dalam mazhab Hanafi serta Ar Rafi’i dan An
Nawawi yang merupakan mujtahid dalam mazhab Syafi’i.
5. Mujtahid fatwa,
adalah orang yang hapal dan paham terhadap kaidah-kaidah imam
madzhab, mampu menguasai permasalahan yang sudah jelas atau
yang sulit, namun dia masih lemah dalam menetapkan suatu putusan
berdasarkan dalil serta lemah dalam menetapkan qiyas. Menurut
Imam Nawawi, “Tingkatan ini dalam fatwanya sangat bergantung
kepada fatwa-fatwa yang telah disusun oleh imam madzhab, serta
berbagai cabang yang ada dalam madzhab tersebut”.
2.5 Objek kajian ijtihad
Tidak semua kedudukan hukum Islam bisa menjadi pokok ijthad,
melainkan hanya beberapa kedudukan tertentu. Kedudukan yang tidak boleh
menjadi objek ijtihad ialah :
1. Hukum yang dibawa oleh nas qat’I baik kedudukannya maupun
pengertiannya, atau dibawa oleh Hadits Mutawir, seperi kewajiban
shalat, puasa, zakat, haji, dan sebagainya, haramnya riba dan makan harta
orang. Demikian pula penentuan bilangan-bilangan tertentu syara’ yang
dibawa oleh Hadits mutawir juga tidak menjadi obyek ijtihad, seperti
bilangan raka’at shalat, waktu-waktu shalat, cara-cara melakukan haji,
dan sebagainya.
2. Hukum-hukum yang tidak dibawa oleh sesuatu nas, dan tidak pula
diketahui dengan pasti dari agama, melainkan telah disepakati
(diijma’kan) oleh para mujtahidin dari sesuatu masa, seperti pemberian
warisan untuk nenek perempuan, tidak sahnya perkawinan yang
dilakukan antara wanita Islam dengan orang lelaki bukan muslim.
Adapun kedudukan yang bisa menjadi obyek ijtihad adalah:
14. 11
1. Kedudukan yang dibawa oleh nas yang dhanni, baik dari segi
pengertiannya, dan nas seperti ini adalah hadits. Ijtihad dalam hal ini
ditujukan kepada segi sanad dan pen-sahinannya, juga dari pertalian
pengertiannya dengan hukum yang sedang dicari.
2. Kedudukan yang dibawa oleh nas yang qat’i kedudukannya, tetapi
dhanni pengertiannya, dan nas seperti ini terdapat dalam Qur’an dan
Hadits juga: Obyek ijtihad disini ialah segi pengertiannya saja.
3. Kedudukan yang dibawa oleh nas yang dhannu kedudukannya, tetapi
qat’i pengertiannya, dan hal ini hanya terdapat dalam Hadits. Obyek
Ijtihad dalam hal ini ialah segi sanad, sahihnya hadits, dan pertaliannya
dengan Rasul. Dalam ketiga-tiga kedudukan hukum tersebut di atas
semua, daerah ijtihad terbatas sekitar nas, di mana seseorang mujtahid
tidak bisa melampaui kemungkinan-kemungkinan pengertian nas.
4. Kedudukan yang tidak ada nas-nya atau tidak iijma’kan dan tidak pula
diketahui dari agama dengan pasti. Di sini seseorang yang berijtihad
memakai qiyas, atau istihsan atau ‘urf atau jalan-jalan lain. Di sini daerah
ijtihad lebih luas daripada kedudukan-kedudukan lain.
2.6 Metode-metode ijtihad
1. Ijma’
ijma’ ialah kesepakatan hukum yang diambil dari musyawaroh para
ulama’ tentang suatu masalah atau suatu perkara yang tidak ditemukan
hukumnya didalam AL-Quran atau Hadits. Tetapi rujukannya ada didalam
Al-Quran dan Hadits. Ijma’ pada masa sekarang diambil dari keputusan-
keputusan ulama’ islam seperti MUI (di indinesia). Contohnya, hukum
mengkonsumsi ganja atau sabu-sabu adalah haram, karena dapat
memabukkan dan berbahaya bagi tubuh serta merusak pikiran.
2. Qiyas
Qiyas memiliki arti menyamakan dengan kata lain qiyas ialah
menetapkan suatu hukum pada suatu perkara baru
dengancaramenyamakan atau membandingkan hukumsesuatu perkara
barudenganhukum lain yang sudah adahukumnya dalam
15. 12
nash dikarenakanadanyapersamaan sebab, manfaat, bahaya, atau aspek
lainnya. Contohnya, seperti pada surat Al-isro ayat 23 dikatakan bahwa
perkataan “ah” kepada orang tua tidak diperbolehkan karena dianggap
meremehkan dan menghina, sedangkan memukul orang tua tidak
disebutkan. Jadi di qiyaskan oleh para ulama’ bahwa hukum memukul dan
memarahi orang tua sama dengan hukum mengatakan “ah” yaitu sama-
sama menyakiti hati orang tua dan sama-sama berdosa. Adapun cotoh
lainnya yaitu setiapminuman yang memabukanhukumnya haram. Hal
inidiqiyaskandenganhukumkhamr (arak) atau yang sejenisnyayaitu haram.
3. Maslahah Mursalah
Yaitu menetapkan hukum yang sama sekali tidak ada nashnya
dengan pertimbangan untuk kepentingan hidup manusia dengan menarik
segala yang memberikan manfaat dan menghindari segala yang
mendatangkan mudharat. Contohnya, membuat buku pernikahan,
dicetaknya mata uang, ditetapkannya pajak penghasilan. Adapun contoh
lainnya yaitu di dalam Al-Quran ataupun Hadits tidak terdapat dalil yang
memerintahkan untuk membukukan ayat-ayat Al-Quran. Akan tetapi,
membukukan ayat-ayat Al-Quran tersebut dilakukan demi kemaslahatan
umat islam.
4. Istihsan
Yaitumemandangsesuatulebihbaiksesuaidengan tujuansyariatdanm
eninggalkandalilkhususdanmengamalkandalilumum.Contohnya, bolehmen
jualhartawakafkarenadenganmenjualnyaakantercapaitujuansyariat,
yaitumembuatsesuatuitutidakmubazir. Adapun contoh lainnya didalam
syara’ kita dilarang untuk mengadakan jual beli yang barangnya belum ada
saat terjadi akad. Akan tetapi menurut istihsan, syara’ memberikan
rukhsah yaitu kemudahan atau keringanan, bahwa jual beli diperbolehkan
dengan sistem pembayaran di awal, sedangkan barangnya dikirim
kemudian.
5. Istishab
Yaitu mengambil hukum yang telah ada atau ditetapkan pada masa
lalu dan tetap dipakai hingga sekarang, sampai ada ketentuan dalil yang
16. 13
dapat mengubahnya.Contohnya ketika kita menetapkan bahwa si A adalah
pemilik rumah atau mobil, entah itu melalui jual beli maupun harta
warisan, maka selama tidak menemukan bukti yang dapat mengubah
kepemilikan tersebut, kita tetap berkeyakinan bahwa si A adalah pemilik
rumah atau mobil tersebut hingga sekarang atau nanti. Adapun contoh
lainnya seperti seseorang yang ragu-ragu apakah ia sudah berwudhu atau
belum. Di saat seperti ini, ia harus berpegang atau yakin kepada keadaan
sebelum ia berwudhu’, sehingga ia harus berwudhu’ kembali karena shalat
tidak sah apabila tidak berwudhu’.
6. ‘Urf
Yaitu kebiasaan yang sudah mendarah daging dilakukan oleh suatu
kelompok masyarakat. Ada dua macam ‘urf :
Pertama ‘urf shahih, yaitu ‘urf yang dapat diterima oleh
masyarakat secara luas, dibenarkan oleh akal yang sehat, membawa
kebaikan dan sejalan dengan prinsip nash. Contohnya, acara tahlilan,
bagian harta gono gini untuk istri yang ditinggal suaminya.
Kedua, ‘urf fasid, yaitu kebiasaan jelek yang merupakan lawan
‘urf shahih. Contohnya, kebiasaan meninggalkan shalat bagi seseorang
yang sedang menjadi pengantin, mabuk-mabukan dalam acara resepsi
pernikahan dsb.
7. Saddu adzari’ah
Adalah memutuskan suatu perkara yang mubah makruh atau haram
demi kepentingan umat. Contoh jika mengerjakan shalat Jum’at adalah
wajib, maka wajib pula berusaha untuk sampai ke masjid dan
meninggalkan perbuatan lain. Contoh lain adalah jika menuntut ilmu
adalah sesuatu yang diwajibkan, maka wajib pula segala hal yang menjadi
sarana untuk tercapai usaha menuntut ilmu, seperti membangun sekolah
dan menyusun anggaran pendidikan yang memadai.
Sementara sadd al-
dzarỉ‘ah sendiritidakdisepakatiolehseluruhulamasebagaimetode istinbâthho
kum(penalaranhukum). Hal itukarenabagisebagianmereka, terutama di
kalanganulamaSyafi’iyyah, masalahsadd al-dzarỉ‘ah dan fath al-
17. 14
dzarỉ‘ah masukdalambabpenerapankaedah. Kaedah-kaedah tersebut
berkaitan pula dengan masalah muqaddimah (pendahuluan)
darisuatupekerjaan yang telahdibahassebelumnya. Hal ini pula yang
menjadisalahsatufaktor yang
membuatperbedaanpendapatulamaterhadapkedudukan sadd al-
dzarỉ‘ah.Apa yang dimaksudkan al-dzarỉ‘ah olehulama Maliki
danHambali, ternyatabagiulamaSyafi’iadalahsekadar muqaddimah.
2.7 Hukum melakukan ijtihad.
Menurut para ulama, bagi seseorang yang sudah memenuhi persyaratan
ijtihad di atas, ada lima hukum yang bisa dikenakan pada orang tersebut
berkenaan dengan ijtihad, yaitu:
1. Orang tersebut dihukumi fardu ain untuk berijtihad apabila ada
permasalahan yang menimpa dirinya, dan harus mengamalkan hasil
dari ijtihad-nua dan tidak boleh taqliq kepada orang lain. Karena
hukum ijtihad itu sama dengan hukum Allah terhadap permasalahan
yang ia yakini bahwa itu termasuk hukum Allah.
2. Juga dihukumi fardu ‘ain ditanyakan tentang suatu permasalahan yang
belum ada hukumnya. Karena jika tidak segera dijawab,
dikhawatirkan akan terjadi kesalahan dalam melaksanakan hukum
tersebut atau habis waktunya dalam mengetahui kejadian tersebut.
3. Dihukumi fardu kifayah, jika permasalahan yang diajukan kepadanya
tidak dikhawatirkan akan habis waktunya, atau ada orang lainselain
dirinya yang sama-sama memenuhi syarat sebagai seorang mujtahid.
4. Dihukumi sunah apabila ber-ijtihad terhadap permasalahan yang baru,
baik ditanya ataupun tidak.
5. Dihukumi haram apabila ber-ijtihad terhadap permasalahan yang
sudah ditetapkan secara qathi’, sehingga hasil ijtihadnya itu
bertentangan dengan dalil syara’
2.8 fungsi melakukan ijtihad
18. 15
1. mengembangkan prinsip hukum yang terdapat dalam Al-Quran dan Hadits
seperti ijmak, qiyas, istihsan
2. Dapat mengetahui hukumnya, dari setiap permasalahan baru yang dialami
oleh umat muslim, sehingga hukum islam selalu berkembang dan mampu
menjawab tantangan.
3. jtihad merupakan sarana untuk menyelesaikan persoalan-persoalan baru
yang muncul dengan tetap berpegang pada Al-Qur’an dan sunah.
4. Dapat menyesuaikan hukum berdasarkan perubahan zaman, waktu dan
keadaan. Ijtihad berfungsi pula sebagai suatu cara menentukan hukum
yang di syariatkan untuk menyesuaiakan perubahan-perubahan sosial
dengan ajaran-ajaran Islam.
5. Menetapkan fatwa terhadap permasalahan-permasalahan yang tidak
terkait dengan halal atau haram.
6. Dapat membantu umat muslim dalam menghapi masalah yang belum ada
hukumnya secara islam.
19. 16
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Setelah memahami, membuat dan mempelajari makalah ini maka
penyusun dapat menyimpulkan :
1. Ijtihad menurut pengertian etimologi, ijtihad diambil dari kata al-jahd atau
al-juhd, yang berarti al-masyaqat (kesulitan dan kesusahan) dan ath-thaqat
(kesanggupan dan kemampuan). Sedangkan ijtihad menurut terminology
adalah aktifitas yang menguras pikiran untuk memperoleh pengetahuan
(istinbath) hukum syara’ dari dalil terperinci dalam syari’at.
2. Dasar hukum ijtihad
Firman Allah surat An-nisa' :59 dan 105, Al-Hasyr: 2, Al-
‘Ankabut:69, An-Nisa’ : 105.
Banyak juga hadits-hadits Rosulullah SAW yang menyebutkan
tentang dasar-dasar ijtihad.
3. Syarat melakukan ijtihad
Mengetahui al-Kitab (al-Qur’an) dan sunnah
Mengetahui ijmak
Mengetahui bahasa Arab
Mengetahui ilmu ushul fikih
Mengetahui nasikh (yang menghapuskan) dan mansukh (yang
dihapuskan).
Mengetahui maqashidu Asy-Syari’ah
Mengetahuimaksud-maksud hokum
Bersifat adil dan taqwa
mengenal manusia dan kehidupan sekitarnya
4. Tingkatan-tingkatan mujtahid
Mujtahid Fisy Syar’i (Mujtahid Mustaqi)
Mujtahid Fil Masa’il
20. 17
Mujtahid Fil Mazhab ( Mujtahid mutlaq ghairu mustaqil)
Mujtahid Muqayyad
Mujtahid fatwa,
5. Objek kajian ijtihad
Perkara yang tidak ada nas (ketentuan) sama sekali
Perkara yang ada nasnya, tetapi tidak qath’i wurud dan dalalahnya.
6. Metode-metode ijtihad
Ijma’
Qiyas
Maslahah Mursalah
Istihsan
Istishab
‘Urf
Saddu adzari’ah
7. Hukum melakukan ijtihad
fardu ain
fardu kifayah
sunah
haram
8. fungsi melakukan ijtihad
mengembangkan prinsip hukum yang terdapat dalam Al-Quran dan Hadits
seperti ijmak, qiyas, istihsan, dll. Serta sebagai sarana menentukan hukum
mengikuti perubahan zaman dan sosial namun tetap berpegang teguh pada
Al-Quran dan Hadits.
3.2 Saran
Kita sebagai umat islam alangkah baiknya apabial memahami betul
masalah-masalah mengenai ijtihad karena dengan ijtihad seseorang mampu
menetapkan hukum syara’ namun tetap berpegang teguh terhadap Al-Quran
dan Hadits.