Modul Ajar Biologi Kelas 11 Fase F Kurikulum Merdeka [abdiera.com]
PUASA
1. 1
UNIVERSITY RESIDENCE - UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
KARASIBAZHU
(Kajian Rabu Siang Ba’da Zhuhur
Tafsir QS al-Baqarah/2: 183:
“Berpuasa Untuk Menggapai Takwa”
Bulan Ramadhan adalah bulan al-Qurân. Semestinya di bulan al-
Qurân ini umat Islam mengencangkan ikat pinggang dan menancap gas untuk
lebih bersemangat membaca serta merenungkan isi al-Qurân al-Karim. Ya,
perenungan isi al-Qurân hendaknya mendapat porsi yang besar dari aktivitas
umat Islam di bulan suci ini. Mengingat hanya dengan inilah umat Islam
dapat mengembalikan peran al-Qurân sebagai pedoman hidup dan panduan
menuju jalan yang benar.
Ingat firman Allah,
ۚۖ
ۗ
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya
diturunkan (permulaan) al-Qurân sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-
penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil).
Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan
itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam
perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang
ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan
bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu
mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-
Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS al-Baqarah/2: 185)
Usaha yang mulia ini bisa dimulai dari sebuah ayat yang sering
dibacakan, dikumandangkan, bahkan dihafal oleh kaum muslimin, yaitu QS
al-Baqarah/2: 183, yang membahas tentang ibadah puasa.
Ayat yang mulia tersebut ialah:
2. 2
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kamu bertakwa” (QS al-
Baqarah/2: 183)
Karena ayat ini – dalam pandangan para ulama -- mengandung
banyak pelajaran berharga berkaitan dengan ibadah puasa. Oleh karenanya,
mari kita kupas ‘ibrah (pelajaran) yang mendalam pada ayat al-Qurân yang
mulia ini.
Ayat ini dimulai dengan nidâ’ (panggilan atau seruan) kepada orang-
orang yang beriman, dengan rangkaian kata:
“Wahai orang-orang yang beriman”
Dari lafazh ini diketahui bahwa ayat ini adalah ayat madaniyyah atau
(ayat) diturunkan pada periode Madinah (setelah hijrah, pen.), sedangkan
yang diawali dengan yâ ayyuhan nâs, atau yâ banî âdam, adalah ayat makkiyyah
atau (ayat) diturunkan pada periode Makkah (sebelum hijrah, pen.).1
Ath-Thabari, di dalam kitab tafsirnya, menyatakan bahwa maksud
ayat ini adalah: “Wahai orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-
Nya, membenarkan keduanya dan mengikrarkan keimanan kepada
keduanya”.2
Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini: “Firman Allah Subhânahu wa
Ta’âlâ ini ditujukan kepada orang-orang yang beriman dari umat manusia dan
ini merupakan perintah untuk melaksanakan ibadah puasa.”3
Dari ayat ini kita melihat dengan jelas adanya kaitan antara puasa
dengan keimanan seseorang. Allah Subhânahu wa Ta’âlâ memerintahkan puasa
kepada orang-orang yang memiliki ‘iman’, dengan demikian Allah Subhânahu
wa Ta’âlâ pun hanya menerima puasa dari jiwa-jiwa yang terdapat iman di
dalamnya. Dan puasa juga merupakan tanda kesempurnaan keimanan
seseorang.
Lalu, apakah iman itu?
1
Lihat, As-Suyuthi, Al-Itqân Fî ‘Ulum al-Qur’an, hal. 55
2
Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân Fî Ta’wîl al-Qur’an, juz III, hal. 409.
3
Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’ân al-‘Azhîm, juz I, hal. 497.
3. 3
Iman secara bahasa artinya: “percaya atau membenarkan”.
Sebagaimana yang dijeaslan dalam ayat al-Qur’an:
“Dan kamu sekali-kali tidak akan percaya kepada kami, sekalipun kami adalah orang-
orang yang benar” (QS Yûsuf/12: 17)
Secara gamblang Rasulullah Shallallâhu ’Alaihi wa Sallam menjelaskan
makna iman dalam sebuah hadits:
“(Iman adalah) engkau mengimani Allah, mengimani Malaikat-Nya, mengimani
Kitab-kitab-Nya, mengimani para Rasul-Nya, mengimani hari kiamat, mengimani
qadha dan qadar, yang baik maupun yang buruk”4
Demikianlah enam poin yang harus dimiliki oleh orang yang
mengaku beriman. Maka orang yang enggan memersembahkan ibadah kepada
Allah semata, atau menyembah sesembahan lain selain Allah, perlu
dipertanyakan kesempurnaan imannya. Orang yang enggan mengimani
Muhammad adalah Rasulullah Shallallâhu ’Alaihi wa Sallam atau
meninggalkan sunnahnya, mengada-adakan ibadah yang tidak beliau
tuntunkan, perlu dipertanyakan kesempurnaan imannya. Orang yang tidak
percaya adanya Malaikat, tidak percaya akan datangnya kiamat, tidak percaya
terhadap takdir, perlu dipertanyakan kesempurnaan imannya.
Namun janganlah ‘anda’ mengira bahwa iman itu sekadar percaya di
dalam hati. Imam asy-Syafi’i – dalam hal ini -- menjelaskan:
“(Setahu saya), telah menjadi ijma’ (kesepakatan) para sahabat serta para tabi’in
bahwa iman itu berupa perkataan, perbuatan, dan niat (perbuatan hati), jangan
mengurangi salah satu pun dari tiga hal ini.”5
4
Hadits Riwayat Muslim dari Umar bin al-Khaththab, Shahîh Muslim, juz I,
hal. 28, hal. 102.
4. 4
Dengan demikian tidak dapat dibenarkan orang yang mengaku
beriman namun enggan melaksanakan shalat, enggan membayar zakat, dan
amalan-amalan lahiriah lainnya. Atau wanita yang mengatakan “Walau saya
tidak berjilbab, yang penting hati saya berjilbab”. Jika imannya benar, tentu
hati yang ‘berjilbab’ akan ditunjukkan juga secara lahiriah, yaitu memakai
jilbab dan busana muslimah dengan benar. Oleh karena itu pula, puasa sebagai
amalan lahiriah merupakan konsekuensi iman.
“Telah diwajibkan atas kamu berpuasa ”
Al-Qurthubi menafsirkan ayat ini: “Sebagaimana Allah Subhânahu wa
Ta’âlâ telah menyebutkan wajibnya ‘qishash’6
dan wasiat kepada orang-orang
yang mukallaf pada ayat sebelumnya, Allah Subhânahu wa Ta’âlâ juga
menyebutkan kewajiban puasa dan mewajibkannya kepada mereka. Tidak ada
perselisihan pendapat mengenai wajibnya.”7
Namun ketahuilah, di awal perkembangan Islam, puasa belum
diwajibkan melainkan hanya dianjurkan. Sebagaimana ditunjukkan oleh ayat:
“Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada
hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika
mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.
Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan (puasa), maka itulah
yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”
(QS al-Baqarah/2: 184)
5
Asy-Syafi’i, Syarh Ushûl I’tiqâd Ahl as-Sunnah, juz IV, hal. 149.
6
Qishash (bahasa arab: /قصاصQishâsh) adalah istilah dalam Hukum Islam
yang berarti pembalasan (memberi hukuman yang setimpal), mirip dengan istilah
"utang nyawa dibayar nyawa". Dalam kasus pembunuhan, hukum qishash:
“memberikan hak kepada keluarga korban untuk meminta hukuman mati kepada
pembunuh”.
7
Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân, juz II, hal. 272.
5. 5
Ibnu Katsir menjelaskan dengan panjang lebar tentang masalah ini,
kemudian beliau menyatakan: “Kesimpulannya, penghapusan hukum
(dianjurkannya puasa) benar adanya bagi orang yang tidak sedang bepergian
dan sehat badannya, yaitu dengan diwajibkannya puasa berdasarkan ayat:
‘Barangsiapa di antara kamu hadir di bulan (Ramadhan) itu, wajib baginya puasa‘
(QS al Baqarah/2: 185).”8
Bertahapnya pewajiban ibadah puasa ini berjalan sesuai kondisi
aqidah umat Islam ketika itu. Syaikh Ali Hasan al-Halabi – hafizhahullâh –
menyatakan: “Kewajiban puasa ditunda hingga tahun kedua Hijriah, yaitu
ketika para sahabat telah mantap dalam bertauhid dan dalam mengagungkan
syiar Islam. Perpindahan hukum ini dilakukan secara bertahap. Karena
awalnya mereka diberi pilihan untuk berpuasa atau tidak, namun tetap
dianjurkan.”9
Dari hal ini terdapat sebuah pengajaran berharga bagi kita, bahwa
ketaatan seorang hamba kepada Rabb-Nya berbanding lurus dengan sejauh
mana ia menerapkan tauhid.
“Sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian”
Al-Alusi dalam kitab tafsirnya menjelaskan: “Yang dimaksud dengan
‘orang-orang sebelum kalian’ adalah para Nabi sejak masa Nabi Adam ‘Alaihi as-
Salâm sampai sekarang, sebagaimana keumuman yang ditunjukkan dengan
adanya isim maushûl. Menurut ‘Abdullâh ibn ‘Abbâs dan Mujâhid, yang
dimaksud di sini adalah Ahl al-Kitâb. Menurut al-Hasan, as Suddi, dan as-
Sya’bi, yang dimaksud adalah kaum Nasrani.
Ayat ini menunjukkan adanya penekanan hukum, penambah
semangat, serta melegakan hati lawan bicara (yaitu manusia). Karena suatu
perkara yang sulit itu jika sudah menjadi hal yang umum dilakukan orang
banyak, akan menjadi hal yang biasa saja.
8
Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, juz I, hal. 500.
9
Ali Hasan al-Halabi, Shifatu Shaum an-Nabiy Fî Ramadhân, juz I, hal. 21.
6. 6
Adapun permisalan puasa umat Muhammad dengan umat
sebelumnya, yaitu baik berupa sama-sama wajib hukumnya, atau sama waktu
pelaksanaannya, atau juga sama kadarnya”10
.
Beberapa riwayat menyatakan bahwa puasa umat sebelum umat
Muhammad adalah disyariatkannya puasa tiga hari setiap bulannya,
sebagaimana diterangkan oleh Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya: “Terdapat
riwayat dari Muâdz ibn Jabal, Abdullâh ibn Mas’ud, ‘Abdullâh ibn ‘Abbâs,
‘Atha’, Qatâdah, Adh-Dhahhâk bin Mazâhim, yang menyatakan bahwa
ibadah puasa awalnya hanya diwajibkan selama tiga hari setiap bulannya,
kemudian hal itu di-nasakh (dihapus) dengan disyariatkannya puasa
Ramadhan. Dalam riwayat tersebut terdapat tambahan bahwa kewajiban
puasa tiga hari setiap bulan sudah ada sejak zaman Nabi Nuh ‘Alaihi as-Salâm
hingga akhirnya di-nasakh oleh Allah Subhânahu wa Ta’âlâ dengan puasa
Ramadhan.”11
“Agar kalian bertaqwa”
Kata la’alla dalam al-Quran memiliki beberapa makna, di antaranya
ta’lîl (alasan) dan tarajji ‘inda al-mukhâthab (harapan dari sisi orang diajak
bicara). Dengan makna ta’lil, dapat kita artikan bahwa alasan diwajibkannya
puasa adalah agar orang yang berpuasa mencapai derajat taqwa. Dengan
makna tarajji, dapat kita artikan bahwa orang yang berpuasa berharap dengan
perantaraan puasanya ia dapat menjadi orang yang bertaqwa.12
.
Ath-Thabari menafsirkan ayat ini: “Maksudnya adalah agar kalian
bertaqwa (menjauhkan diri) dari makan, minum dan berjima’ dengan wanita
ketika puasa.”13
Al-Baghawi memerluas tafsir tersebut dengan penjelasannya:
“Maksudnya, mudah-mudahan kalian bertaqwa karena sebab puasa. Karena
puasa adalah wasîlah (sarana) menuju taqwa. Sebab puasa dapat
menundukkan nafsu14
dan mengalahkan syahwat15
. Sebagian ahli tafsir juga
10
Al-Alusi, Rûh al-Ma’âniî Fî Tafsîr al Qu’rîn al-‘Azhîm, juz II, hal. 121.
11
Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, juz I, 497.
12
Lihat, Syihâb ad-Dîn Abû al-‘Abbâs ibn Yûsuf ib as-Samîn al-Halabiy, Ad-
Durr al-Mashûn fî 'Ulûm al-Kitâb al-Maknûn , hal. 138, dan As-Suyuthi, Al Itqân Fî ‘Ulûm
al- Qur’ân, hal. 504.
13
Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân Fî Ta’wîl al-Qur’ân, juz III, hal. 413.
14
Nafsu, yang sering disebut dengan ‘hawa-nafsu’, memiliki tabiat menuntut
pemuasan seketika tanpa mempedulikan dampak bagi diri sendiri maupun bagi orang
lain. Begitu kuatnya dorongan hawa nafsu, maka al Qur’an mengibaratkan kedudukan
hawa nafsu bagi orang yang tidak mampu mengendalikannya seperti tuhan yang harus
7. 7
menyatakan, maksudnya: agar kalian waspada terhadap syahwat yang muncul
dari makanan, minuman dan jima’ (bersetubuh).”16
Dalam Tafsir Jalâlain dijelaskan dengan ringkas: “Maksudnya, agar
kalian bertaqwa dari maksiat. Sebab puasa dapat mengalahkan syahwat yang
merupakan sumber maksiat”17
.
Yang menjadi pertanyaan sekarang, apakah taqwa itu?
Secara bahasa (Arab), taqwa berasal dari fi’il ittaqa-yattaqi, yang
artinya: “berhati-hati, waspada, atau takut”. Yang dimaksud dengan bertaqwa
dari maksiat: “waspada dan takut terjerumus dalam maksiat”. Namun secara
istilah, definisi taqwa yang terindah adalah yang diungkapkan oleh Thalq bin
Habib al-’Anazi:
“Taqwa adalah mengamalkan ketaatan kepada Allah dengan cahaya Allah (dalil),
mengharap ampunan Allah, meninggalkan maksiat dengan cahaya Allah (dalil), dan
takut terhadap adzab Allah.”18
Demikianlah sifat orang yang bertaqwa. Orang yang bertaqwa
beribadah, bermuamalah, bergaul, mengerjakan kebaikan karena ia teringat
dalil yang menjanjikan ganjaran dari Allah Subhânahu wa Ta’âlâ, bukan atas
dasar ikut-ikutan, tradisi, taqlid buta, atau orientasi duniawi. Demikian juga
orang bertaqwa senantiasa takut mengerjakan hal yang dilarang oleh Allah
dan Rasul-Nya, karena ia teringat dalil yang mengancam dengan azab yang
mengerikan. Dari sini kita tahu bahwa ketaqwaan tidak mungkin tercapai
tanpa memiliki cahaya Allah, yaitu ilmu terhadap dalil al-Qurân dan sunnah
Nabi Shallallâhu ’Alaihi wa Sallam. Jika seseorang memenuhi kriteria ini,
layaklah ia menjadi hamba yang mulia di sisinya:
disembah (ittakhadza ilâhahu hawâhu). Pengabdi hawa nafsu akan menuruti apa pun
perilaku yang harus dikerjakan, betapa pun itu menjijikkan. Jika orang memanjakan
syahwat dapat terjerumus pada sikap hedonistik, maka orang yang selalu mengikuti
dorongan hawa nafsunya akan terjerumus pada kesesatan, kejahatan dan kenistaan.
15
Syahwat adalah: “kecenderungan jiwa terhadap apa yang dikehendakinya.
Dorongan syahwat jika diikuti dengan tetap memerhatikan nilai-nilai moral, maka ia
bernilai positif. Namun, jika dorongan syahwat dituruti tanpa kendali moral, maka ia
akan berubah menjadi dorongan hawa nafsu yang bersifat destruktif.”
16
Al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, juz I, hal. 196.
17
Al-Mahalli dan as-Suyuthi, Tafsir al-Jalâlain, juz I, hal. 189.
18
Thalq bin Habib al-’Anazi, Siyar Ā’lamîn Nubalâ’ juz VIII, hal. 175.
8. 8
“Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa di
antara kalian” (QS al Hujurât/49: 13)
Setelah mengetahui makna taqwa, simaklah penjelasan indah berikut
ini dari Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullâh dalam tafsirnya,
tentang keterkaitan antara puasa dengan ketaqwaan: “Puasa itu salah satu
sebab terbesar menuju ketaqwaan. Karena orang yang berpuasa telah
melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangannya. Selain itu,
keterkaitan yang lebih luas lagi antara puasa dan ketaqwaan:
1. Orang yang berpuasa menjauhkan diri dari yang diharamkan oleh
Allah berupa makan, minum jima’ dan semisalnya. Padahal jiwa
manusia memiliki kecenderungan kepada semua itu. Ia meninggalkan
semua itu demi mendekatkan diri kepada Allah, dan mengharap pahala
dari-Nya. Ini semua merupakan bentuk taqwa.
2. Orang yang berpuasa melatih dirinya untuk mendekatkan diri kepada
Allah, dengan menjauhi hal-hal yang disukai oleh nafsunya, padahal
sebetulnya ia mampu untuk makan, minum atau berjima tanpa
diketahui orang, namun ia meninggalkannya karena sadar bahwa Allah
mengawasinya
3. Puasa itu memersempit gerak setan dalam aliran darah manusia,
sehingga pengaruh setan melemah. Akibatnya maksiat dapat dikurangi
4. Puasa itu secara umum dapat memerbanyak ketaatan kepada Allah,
dan ini merupakan tabiat orang yang bertaqwa
5. Dengan puasa, orang kaya merasakan perihnya rasa lapar. Sehingga ia
akan lebih peduli kepada orang-orang faqîr yang kekurangan. Dan ini
juga merupakan tabiat orang yang bertaqwa”19
Demikian kajian tafsir QS al-Baqarah/2: 183 yang dapat penulis
sajikan. Semoga bermanfaat.
Kita senantiasa bermohon kepada Allah agar puasa kita dapat
menjadi saksi di hadapan Allah tentang keimanan kita kepada-Nya. Dan
semoga puasa kita bisa mengantarkan diri kita menuju derajat taqwa, sehingga
diri kita benar-benar menjadi hamba yang mulia di sisi Allah Subhânahu wa
Ta’âlâ.
Āmîn Yâ Mujîbas Sâilîn.
(Dikutip dan diselaraskan dari tulisan Yulian Purnama, dalam
http://muslim.or.id/ramadhan/tafsir-surat-al-baqarah-183-berpuasa-
menggapai-takwa.html)
19
As-Sa’di, Taisîr al-Karîm ar-Rahmân fi Tafsîri Kalâm al-Mannân, juz I, hal. 86.