1. Dokumen tersebut membahas tentang makna tawakkal yang mencakup pengertian secara bahasa dan istilah, hakikat tawakkal, dan unsur-unsur pentingnya seperti mengenal Allah, menjalankan sebab, bergantung pada Allah, dan ridha.
1. 1
Memahami Makna Tawakkal
TAWAKKAL adalah sebuah sikap yang – seharusnya – dipilih oleh setiap
muslim, di mana pun, kapan pun dan dalam situasi dan kondisi apa pun.
Tetapi, ternyata untuk memilihnya tidak semudah yang kita katakan. Selalu
saja ada kendala yang menjadikan diri kita tak mampu bersikap tawakkal.
Bahkan, karena kesalahfahaman kita terhadap makna tawakkal, bukan tidak
mungkin ‘kita’ akan terjebak pada sikap yang salah.
Berkaitan dengan hal ini, ada sebuah hadits Nabi shallallâhu ‘alaihi wa
sallam yang berasala dari riwayat Umar bin al-Khaththab radhiyallâhu ‘anhu,
yang berisi penjelasan tentang masalah tawakkal, yang teks lengkapnya sebagai
berikut:
ْن
َ
عَْْرَم
ُ
عْْنبْْاب َّطَاْلَْْضَرُْْاللْْ
ُ
هن
َ
عْْنَعِّْْبَاّنلْْ
َ
ّل َصُْْاللْْهي
َ
لَعَْْم
َ
لَسَوْ
ْ
َ
ال
َ
قْ :ْو
َ
لْْم
ُ
ك
َ
ّن
َ
أْْ
َ
نو
ُ َ
َّكَوَت
َ
تْْ
َ ََعْْاللَْْقَحْْه
ل
َّكَو
َ
تَْْزَر
َ
لْم
ُ
ك
َ
قْاَم
َ
كْْ
ُ
قُزرَيْ
َْي َالّطْ،ْْوُغد
َ
تْا ًاصَِخْ،ُْْحوُر
َ
وتْا
ً
اّن َّطبْ
“Dari Umar bin al-Khatthab radhiyallâhu ‘anhu, dari Nabi shallallâhu ‘alaihi
wa sallam, beliau shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seandainya kalian
bertawakkal kepada Allâh dengan sungguh-sungguh tawakkal kepada-Nya,
sungguh kalian akan diberikan rezeki oleh Allâh sebagaimana Dia memberikan
rezeki kepada burung. Pagi hari burung tersebut keluar dalam keadaan lapar
dan pulang di sore hari dalam keadaan kenyang.” (Hadits Riwayat Ahmad bin
Hanbal, Musnad Ahmad ibn Hanbal, juz I, hal. 30, hadits no. 52; At-Tirmidzi,
Sunan at-Tirmidzi, juz IV, hal. 537, hadits no. 2344; An-Nasâi, As-Sunan al-
Kubrâ, juz , hal. , hadits no. 11805; Ibnu Majah, Sunan ibn Mâjah, juz V, hal.
266, hadits no. 4164; Al-Bazzar, Musnad al-Bazzâr, juz I, hal. 80, hadits no.
340; Al-Baghawi, Syarh as-Sunnah, juz XIV, hal. 301, hadits no. 4108; Abu
Ya’la, Musnad Abî Ya’lâ, juz I, hal. 212, hadits no. 247; ‘Abd bin Humaid, Al-
Muntakhab, juz I, hal. 32, hadits no. 10; dan Abu Dawud ath-Thayalisi,
Musnad ath-Thayâlîsi, juz I, hal. 11, hadits no. 51, dari Umar bin al-Khaththab
radhiyallâhu ‘anhu)
Hadits ini, menurut para ulama, adalah sebuah hadits yang menjadi
landasan kajian tentang persoalan tawakkal, yang difahami oleh para ulama
sebagai faktor yang sangat menentukan capaian kebahagiaan hidup bagi setiap
orang, baik (kebahagian hidup) di dunia maupun akhirat.
Ingat, ketika Allâh Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman:
2. 2
ْنَمَوْْق
َ
ت
َ
يَْْ َ
اّللْْلَع
َ
َيُْْ َ
لَْْر
َ
َماًجْ﴿٢﴾ْْ
ُ
هقُزرَيَوْْنمْْ
ُ
ثيَحْْ
َ
لُْْبس
َ
ت
َ
َيْْۚ
ْنَمَوْْ
َ
ّكَوَت
َ
يْْ
َ ََعْْ
َ
اّللَْْوُه
َ
فْْ
ُ
هُبسَحْ
“… barangsiapa bertakwa kepada Allâh niscaya Dia akan membukakan jalan
keluar baginya, dan Dia memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-
sangkanya. Dan barangsiapa bertawakkal kepada Allâh, niscaya Allâh akan
mencukupkan (keperluan)nya…” [QS ath-Thalâq/65: 2-3]
Dikisahkan, bahwa Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam membacakan ayat
di atas kepada Abu Dzar al-Ghifari radhiyallahu anhu, seraya bersabda
kepadanya: “Seandainya seluruh manusia mengambil ayat ini, maka ayat ini
cukup bagi mereka.”1 Maksudnya, seandainya manusia merealisasikan takwa
dan tawakkal, mereka akan cukup dengan keduanya dalam urusan agama dan
dunia mereka. Dan masalah ini telah dibahas pada syarah (penjelasan) hadits
Abbdullan bin Abbas radhiyallâhu ‘anhumâ,
“... Jagalah Allâh, niscaya Dia akan menjagamu ...”2
Sehingga ada ulama yang berkata: “Sesuai dengan kadar tawassulmu
kepada Allâh Subhânahu wa Ta’âlâ, Dia mengetahui kebaikan tawakkalmu
kepada-Nya dari hatimu. Betapa banyak hamba yang menyerahkan urusannya
kepada Allâh Subhânahu wa Ta’âlâ, kemudian Allâh ‘Azza wa Jalla mencukupi
apa yang diinginkan hamba tersebut.”
Apa Makna Tawakkal Itu?
Secara bahasa, tawakkal berarti: “mewakilkan, yaitu menampakkan
kelemahan dan bersandar atau bergantung kepada orang lain.”3
Ar-Râghib al-Ashfahani rahimahullâh (wafat th. 425 H.) berkata:
“(kata) tawakkal itu (bisa) dikatakan dari dua sisi. (Jika) dikatakan:
“tawakkaltu li fulân (Aku menjadi wakilnya si fulan),” maka maksudnya
adalah dia menjadi wakil si Fulan. Dan (jika) dikatakan juga: wakkaltuhu
fatawakkala lî, wa tawakkaltu ‘alaihi (aku menjadikan dia sebagai wakil,
1
Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qurân al-‘Azhîm, juz VIII, hal. 146.
2
Hadits Riwayat, At-Tirmidzi dari Abdullah bin Abbas radhiyallâhu
‘anhumâ, Sunan at-Tirmidzi, juz IV, hal. 667, hadits no. 2516.
3
Abul Husain Ahmad bin Faris (wafat th. 395 H.), Mujmal Maqâyis al-Lughah
(bab wakala).
3. 3
kemudian dia menjadi wakilku, dan aku bertawakkal kepadanya),” maka
maksudnya adalah aku bersandar atau bergantung kepadanya.”4
Ibnu Atsîr rahimahullâh (wafat th. 606 H.) berkata, “tawakkal terhadap
suatu perkara adalah apabila bergantung dan bersandar padanya. (Ungkapan)
Aku wakilkan urusanku kepada seseorang, berarti: "aku bersandar dan
bergantung padanya.”5
Secara istilah, Ibnu Rajab al-Hambali rahimahullâh (wafat th. 795 H.)
berkata, bahwa tawakkal ialah: “penyandaran hati dengan jujur kepada Allâh
Subhânahu wa Ta’âlâ dalam upaya memeroleh kebaikan-kebaikan dan
menolak bahaya-bahaya dalam seluruh urusan dunia dan akhirat.”6
Sa’id bin Jubair rahimahullâh berkata, “tawakkal kepada Allâh ‘Azza wa
Jalla ialah puncak iman.”7
Pengertian yang paling dekat yang dikumpulkan dari pengertian-
pengertian di atas yakni, “tawakkal ialah: “keadaan hati yang tumbuh dalam
mengenal Allâh ‘Azza wa Jalla, beriman kepada keesaan-Nya dalam
menciptakan, mengatur, mendatangkan manfaat, menolak bahaya, memberi
dan menahan, apa yang Dia kehendaki pasti terjadi, dan apa saja yang tidak
Dia kehendaki maka tidak akan terjadi.” Oleh karena itu, wajib bersandar dan
berserah diri kepada-Nya, percaya kepada-Nya, yakin bahwa Allâh ‘Azza wa
Jalla akan mencukupinya.”8
Hakikat Tawakkal
Untuk memahami hakikat tawakkal, ada beberapa hak yang perlu kita
ketahui.
1. Mengenal Allâh dan sifat-sifat-Nya seperti sifat maha kuasa-Nya, maha
kaya-Nya, dan sifat terus-menerus mengurus makhluk-Nya, sifat maha
tahu-Nya terhadap segala sesuatu dan mengetahui bahwa semua perkara
itu bersumber dari kehendak-Nya. Pengetahuan tentang masalah-masalah
ini merupakan langkah awal yang hendak manapaki jalan tawakkal.9
Orang-orang yang tidak mengimani hal-hal diatas, seperti orang yang
mengatakan bahwa Allâh ‘Azza wa Jalla itu tidak memiliki sifat, maka
mereka tidak akan bisa bertawakkal kepada Allâh ‘Azza wa Jalla
2. Mengakui dan menetapkan adanya sebab, menjaganya dan melakukan
sebab-sebab tersebut.
4
Al-Mufradât Li Alfâzhil Qur-ân, hal. 882.
5
An-Nihâyah Fî Gharîbil Hadîts, juz V, hal. 221.
6
Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam, juz II, hal. 497.
7
Hilyatul Auliyâ’, juz IV, hal. 304, hadits no. 5638.
8
At-Tawakkul ‘Alallâh, hal. 22.
9
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Madârijus Sâlikîn, juz II, hal. 123.
4. 4
3. Hati sangat tergantung kepada Allâh ‘Azza wa Jalla, bersandar kepada-
Nya, merasa tenang dengan-Nya dan percaya dengan pengaturan-Nya.
Sebagian orang yang berilmu, “Orang yang bertawakkal itu seperti anak
kecil yang tidak mengetahui apa-apa yang dapat melindunginya selain
ibunya, maka begitu juga orang yang bertawakkal, dia tidak mengetahui
sesuatu yang dapat melindunginya selain Rabb (Tuhan)-nya.10
4. Tawakkal adalah kemantapan di atas tauhid, bahkan hakikat tawakkal
adalah sepenuhnya mentauhidkan Allâh Subhânahu wa Ta’âlâdengan hati.
Apabila di dalam hati masih ada noda kesyirikan maka tawakkalnya masih
cacat. Dan bila seseorang sudah memurnikan tauhidnya maka
tawakkalnya menjadi benar.11
5. Ridha. Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullâh berkata: “Ridha adalah
buah tawakkal. Barangsiapa yang menafsirkan tawakkal dengan ridha,
maka dia telah menafsirkan tawakkal dengan buahnya yang maling mulia
dan faedahnya yang paling agung. Karena sesungguhnya jika seseorang
bertawakkal dengan sebenar-benarnya maka dia akan ridha dengan apa
yang diperbuat oleh Allâh ‘Azza wa Jalla.”12
6. Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullâh mengatakan, “Rahasia tawakkal
dan hakikatnya adalah kepasrahan dan ketergantungan hati kepada Allâh
semata. Tidaklah tercela mengambil sebab (melakukan usaha, ed.) dengan
tetap menjaga hati (agar bebas, ed.) dari ketergantungan kepada sebab
tersebut. Adalah merupakan sebuah kesia-siaan, orang yang mengatakan,
“Saya bertawakkal kepada Allâh ‘Azza wa Jalla” tetapi ia bersandar,
bergantung dan memiliki keyakinan kepada selain-Nya. Jadi, tawakkal
lisan berbeda dengan tawakkal hati. Oleh karena itu, tidak manfaatnya
sedikitpun, ucapan seseorang yang mengatakan, “Saya berawakal kepada
Allâh” tetapi ia masih bersandar dan bergantung kepada selain Allâh ‘Azza
wa Jalla. Sebagaimana orang yang berkata, “Saya bertaubat kepada Allâh
‘Azza wa Jalla, sedangkan ia terus berkubang dengan maksiat.”13
Ketahuilah, bahwa realisasi tawakkal tidak bertentangan dengan sebab-
sebab yang telah ditakdirkan Allâh ‘Azza wa Jalla dan merupakan ketentuan-
Nya bagi setiap makhluk, karena Allâh Subhânahu wa Ta’âlâ memerintahkan
makhluk-Nya untuk mengambil sebab-sebab (melakukan usaha, ed.) sekaligus
memerintahkan mereka agar bertawakkal.
Jadi, upaya mencari sebab-sebab dengan anggota badan adalah bentuk
ketaatan kepada-Nya, sedangkan tawakkal dengan hati, ialah: “iman kepada-
Nya,” seperti apa yang bisa kita fahami dari firman Allâh ‘Azza wa Jalla:
اَيْاَه
ل
ي
َ
أَْْين
َ
اَّلْواُنَآمْوا
ُ
ذ
ُ
خْْم
ُ
كَرذحْواُرفاّن
َ
فْْاتَب
ُ
ثْْو
َ
أْواُرفاّنْاًيع
َ
َجْ
10
Ibid., Madârijus Sâlikîn, hal. 126.
11
Ibid., Madârijus Sâlikîn, hal. 125.
12
Ibid., Madârijus Sâlikîn, hal. 127.
13
Ibu Qayyyim al-Jauziyyah, Fawâ-idul Fawâ-id, hal. 88-89.
5. 5
“Hai orang-orang yang beriman, bersiap siagalah kamu, dan majulah (ke
medan pertempuran) berkelompok-kelompok, atau majulah bersama-sama.”
[QS an-Nisâ’/4: 71]
Allâh Subhânahu wa Ta’âlâ juga berfirman:
وا
ل
دع
َ
أَوْْمُه
َ
لْاَمْْمُتع َّطَتاسْْنمْْةَو
ُ
قْْنمَوْْاطَبرْْليَاْلْْ
َ
ونُبهر
ُ
تْْهبَْْوُدَعْ
ْ
َ
اّللْْم
ُ
كَوُدَعَوَْْينر
َ
آخَوْْنمْْمهوّن
ُ
دْْ
َ
لُْْمُه
َ
ونُم
َ
لع
َ
تُْْ َ
اّللْْمُهُم
َ
لع
َ
ي
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu bisa
dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan
itu) kamu menggentarkan musuh Allâh dan musuhmu dan orang orang selain
mereka yang tidak kamu ketahui, sedang Allah mengetahuinya.” [QS al-
Anfâl/8: 60]
Allâh Subhânahu wa Ta’âlâ juga berfirman:
ا
َ
ذإ
َ
فْْتَيض
ُ
قْْ
ُ
ة
َ
َل َالّصْوُِش
َ
تاّن
َ
فاْْفْْضر
َ
اْلْوا
ُ
غَتابَوْْنمْْلض
َ
فْْ
َ
اّللْ
واُر
ُ
كاذَوَْْ َ
اّللْاًيث
َ
كْْم
ُ
ك
َ
لَع
َ
لْْ
َ
ونُحلف
ُ
تْ
“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan
carilah karunia Allâh dan ingatlah Allâh sebanyak-banyaknya supaya kamu
beruntung.” [QS al-Jumu’ah/62: 10]
Sahl at-Tusturi rahimahullâh berkata: “Barangsiapa mencela tawakkal,
sungguh ia telah mencela iman. Barangsiapa mencela usaha dan kerja,
sungguh ia telah mencela sunnah.”14
Urgensi (Artipenting) Tawakkal
Firman Allah Subhânahu wa Ta’âlâ:
َْاكَيإُْْدُبع
َ
نَْْاكَيإَوُْْيعَتس
َ
نْ
“Hanya Engkaulah yang kami ibadahi, dan hanya kepada Engkaulah kami
meminta pertolongan.” [QS al-Fâtihah/1: 5]
Ayat ini sarat akan makna tawakkal. Tawakkal memiliki artipenting dan
kedudukan yang sangat luas dan universal, mengingat kompleksnya hal-hal
yang berkait dengan tawakkal dan sangat banyaknya kebutuhan makhluk; juga
14
Hilyatul Auliyâ’, juz X, hal. 204, hadits no. no. 14939.
6. 6
karena keumuman tawakkal itu sendiri serta bisa dilakukan oleh kaum
mukminin, kafir, orang yang baik, jahat, bahkan hewan sekali pun. Seluruh
penghuni langit dan bumi berada dalam tingkatan tawakkal tertentu, namun
objek yang mereka tawakkal itu berbeda-beda. Para wali Allâh ‘Azza wa Jalla
dan orang-orang yang memiliki kedudukan istimewa di sisi Allâh ‘Azza wa
Jalla, mereka bertawakkal kepada Allah dalam masalah keimanan, usaha
menolong agama-Nya, menegakkan kalimat-Nya, dan berjihad melawan
musuh-musuh-Nya serta dalam kecintaan mereka kepada Allah dan dalam
melaksanakan segala perintah-Nya.15
Maka jelaslah bahwa tawakkal merupakan asas dari seluruh keimanan
dan kebaikan. Asas dari seluruh amalan Islam. Urgensi (artipenting)-nya ibarat
sebuah jasad dengan kepalanya. Sebagaimana kepala tidak akan tegak kecuali
dengan badan, demikian pula keimanan, kedudukan dan amalannya tidak
akan tegak kecuali dengan tawakkal.16 Tawakkal mempunyai hubungan erat
dengan iman, bahkan bisa dinyatakann sebagai bukti keimanan seseorang.
Allâh Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman:
ْ
َ ََعَوْْ
َ
اّللْوا
ُ َ
َّكَوَت
َ
فْْنإْْمُتن
ُ
كَْْينمؤُمْ
“…Dan hanya kepada Allâh hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-
benar orang yang beriman.” [QS al-Mâidah/5: 23]
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullâh berkata: “Dalam ayat ini Allâh
‘Azza wa Jalla menjadikan tawakkal kepada Allâh ‘Azza wa Jalla sebagai
‘syarat’ keimanan. Maka indikasi, lenyapnya keimanan adalah hilangnya
tawakkal”. Lanjutnya lagi.
Dalam ayat yang lain Allâh Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman:
ْ
َ
ال
َ
قَوْْى َ
وسُمْاَيْْمو
َ
قْْنإْْمُتن
ُ
كْْمُتنَآمْْ
َ
اّللبْْهي
َ
لَع
َ
فْوا
ُ َ
َّكَو
َ
تْْنإْْمُتن
ُ
كْ
َْيملسُمْ
“Berkata Musa, Hai kaumku, jika kamu beriman kepada Allâh, maka
bertawakkallah kepada-Nya saja, jika kamu benar-benar orang yang berserah
diri.” [QS Yûnus/10: 84]
Dalam ayat ini Allâh ‘Azza wa Jalla menegaskan, kebenaran pengakuan
keislaman seorang hamba dengan sikap tawakkalnya. Maka semakin kuat
sikap tawakkal seorang hamba, semakin kuat pula bukti keimanannya.
15
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Madârijus Sâlikîn, juz II, hal. 118.
16
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Tharîq Hijratain Wa Bâbus Sa’âdatain, hal. 253
7. 7
Demikian juga sebaliknya, apabila lemah imannya, lemah pula
tawakkalnya. Apabila tawakkalnya lemah, sudah bis diduga, bahwa
keimanannya ‘lemah’.17
Allâh ‘Azza wa Jalla berfirman:
اَم
َ
نإْْ
َ
ونُنمؤُمالَْْين
َ
اَّلْا
َ
ذإَْْرك
ُ
ذُْْ َ
اّللْْت
َ
لجَوْْمُهُوب
ُ
ل
ُ
قْا
َ
ذإَوْْتَيل
ُ
تْْمهي
َ
لَعْ
ْ
ُ
ه
ُ
اتَآيْْمُهت
َ
ادَزْا
ً
اّنَيمإْْى َ ََعَوْْهّبَرْمْْ
َ
ون
ُ َ
َّكَوَت
َ
يْ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila
disebut nama Allâh gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada
mereka Ayat-ayat-Nya, bertambahalah iman mereka (karenanya) dan kepada
Rabblah mereka bertawakkal.” [QS al-Anfâl/8: 2]
Mengambil Sebab, Tidak Menafikan Tawakkal!
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullâh berkata: “Umat (Islam) ini
telah bersepakat bahwa tawakkal tidak menafikan usaha untuk melakukan
sebab (ikhtiar). (Bahkan), tawakkal seseorang tidak sah kecuali dengan
mengambil atau melakukan faktor penyebab (berikhtiar, ed.). Jika tidak
demikian, maka tawakkalnya rusak dan sia-sia.”18
Tawakkal tidak menafikan usaha mengambil atau melakukan sebab
(ikhtiar). Sungguh Allâh ‘Azza wa Jalla telah memerintahkan para hamba-Nya
untuk mengambil sebab dengan tetap tawakkal kepada-Nya. Jadi, berusaha
mengambil sebab dengan anggota badan merupakan ketaatan kepada Allâh
‘Azza wa Jalla. Dan tawakkal dengan hati merupakan bukti keimanan kepada-
Nya.
Allâh ‘Azza wa Jalla berfirman:
اَيْاَه
ل
ي
َ
أَْْين
َ
اَّلْواُنَآمْوا
ُ
ذ
ُ
خْْم
ُ
كَرذحْواُرفاّن
َ
فْْاتَب
ُ
ثْْو
َ
أْواُرفاّنْاًيع
َ
َجْ
“Wahai orang-orang yang beriman, bersiap-siagalah kamu, dan majulah (ke
medan pertempuran) berkelompok-kelompok, atau majulah bersama-sama.”
[QS an-Nisâ’/4:71]
Ibnu Katsir rahimahullâh mengatakan, bahwa “Allâh ‘Azza wa Jalla
memerintahkan para hamba-Nya yang beriman untuk tetap waspada terhadap
musuh. Ini berarti tuntutan untuk menakut-nakuti mereka dengan
17
Tharîq Hijratain Wa Bâbus Sa’âdatain, hal. 251.
18
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Madârijus Sâlikîn, juz II, hal. 121.
8. 8
mempersiapkan senjata dan memperbanyak personil pasukan untuk terjun ke
medan pertempuran.”19
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullâh mengatakan: “tawakkal
merupakan sebab yang paling besar untuk meraih apa yang diinginkan dan
menolak segala yang dibenci. Barangsiapa yang mengingkari sebab (ikhtiar,
ed.), maka tawakkalnya tidak akan pernah baik. Namun di antara (syarat, ed.)
kesempurnaan tawakkal adalah ‘tidak bersandar’ kepada sebab tersebut dan
menghilangkan ketergantungan hati kepadanya. Hatinya bergantung kepada
Allâh bukan kepada sebab, sedangkan badannya berusaha dengan mengambil
sebab.”20
Demikian pula Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam mengajarkan
untuk melakukan sebab. Dalam sebuah riwayat ada seseorang yang bertanya
kepada Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasûlullâh, apakah
saya ikat onta saya lalu tawakkal kepada Allâh ‘Azza wa Jalla ataukah saya
lepas saja sambil bertawakkal kepada-Nya? Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa
sallam menjawab:
اَهلقعإْْ
َ
ّكَو
َ
تَو
“Ikatlah dulu untamu itu kemudian baru engkau bertawakkal.”21
Para ulama menyatakan, bahwa amal perbuatan yang dikerjakan setiap
hamba Allah terbagi ke dalam tiga bagian:
1. Ketaatan yang Allâh ‘Azza wa Jalla perintahkan kepada para hamba-Nya.
Allâh ‘Azza wa Jalla menjadikan ketaatan sebagai sebab atau faktor agar
selamat dari neraka dan masuk surga. Maka hal yang seperti ini harus
dilakukan oleh seorang hamba, dengan tetap tawakkal dan meminta
pertolongan kepada-Nya, karena tidak ada daya dan upaya kecuali dengan
bantuan-Nya.
2. Berupa perkara duniawi. Dalam masalah ini, Allâh ‘Azza wa Jalla tetap
memerintahkan hamba-Nya untuk mengambil sebab, seperti makan ketika
lapar, minum ketika haus, berteduh ketika panas, menghangatkan diri dari
hawa dingin, dan lainnya. Beliau (Rasulullah) shallallâhu ‘alaihi wa sallam
bersabda kepada mereka:
19
Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qurân al-‘Azhîm, juz II, hal. 357.
20
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Madârijus Sâlikîn, juz II, hal. 125
21
Hadits Hasan. Hadits Riwayat At-Tirmidzi dari Anas bin Malik
radhiyallâhu ‘anhu, Sunan at-Tirmidzi, juz IV, hal. 668. hadits no. 2517.
Dihasankan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani dalam Takhrîj
Musykilatil Faqr, hadits no. 22. Tentang mengambil sebab, para Ulama
rahimahumullâh berkata, “Sebab-sebab yang dinashkan tidak boleh diingkari, tidak
diyakini semata-mata. Mengingkarinya adalah kejahilan, bersandar semata-mata pada
sebab adalah kesyirikan. Karena yang memberi manfaat, mudharat, mencegah, dan
mengabulkan hanya Allâh semata.”
9. 9
ْ
ّ
ّنإُْْتس
َ
لْْم
ُ
كت
َ
ئيَه
َ
كْ،ْْ
ّ
ّنإُْْمَعط
ُ
أْْ
َ
قس
ُ
أَو
“Aku tidak seperti kalian, aku diberi makan dan minum.”22
Dalam riwayat lain dinyatakan:
ْ
ّ
ّنإْْ
ل
لظ
َ
أْْ
َ
دنعْْ
َ
ّبَرْْنُمعّط
ُ
يْْنيقسَيَو
“Aku senantiasa berada di sisi Rabb-ku yang memberiku makan dan minum.”23
Maksudnya bahwa Allâh ‘Azza wa Jalla menguatkan Nabi shallallâhu
‘alaihi wa sallam dan memberi beliau makan dengan hal-hal yang masuk ke
hati beliau, yaitu al-futûh al-qudsiyyah, al-manh al-Ilahiyyah, dan ma’rifat
rabbaniyah yang membuat beliau shallallâhu ‘alaihi wa sallam tidak butuh
makan dan minum dalam waktu tertentu.
Ada dari generasi salaf yang mempunyai kekuatan meninggalkan
makanan dan minuman yang tidak dimiliki orang lain dan mereka tidak
mendapatkan mudharat (bahaya) dengannya.
Dalam hadits yang panjang tentang keislaman Abu Dzar al-Ghifari
radhiyallâhu ‘anhu, beliau shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اَمْْ
َ
ن
َ
َكْْلْْامَع َطْْ
َ
لإُْْاءَمَْْمَزمَزُْْتنم َس
َ
فْْ َّتَحْْتَ َ
َّس
َ
ك
َ
تُْْن
َ
كُعْْنّطَبْ
اَمَوُْْدج
َ
أْْ
َ ََعْْيدب
َ
كْْ
َ
ة
َ
فخُسْْوعُج
“Aku tidak mempunyai makanan kecuali air zam-zam, maka aku menjadi
gemuk sampai perutku sedikit gendut, dan aku tidak mendapati pada hatiku
kelemahan karena lapar.”24
3. Berupa perkara dunia yang bersifat umum seperti berobat ketika sakit.
Dalam masalah ini Ulama berselisih pendapat, apakah bagi orang yang
tertimpa sakit lebih utama berobat atau tidak berobat jika si sakit ingin
merelisasikan tawakkkal kepada Allâh ‘Azza wa Jalla.
22
Hadits Riwayat Muslim dari Abdullah bin Umar radhiyallâhu ‘anhumâ,
Shahîh Muslim, juz III, hal. 133, hadits no. 2618.
23
Hadits Riwayat Ahmad bin Hanbal dari Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu,
Musnad Ahmad ibn Hanbal, juz II, hal. 377, hadits no. 8889.
24
Hadits Riwayat Muslim dari Abdullah bin Shamit, Shahîh Muslim, juz VII,
hal. 152, hadits no.6513.
10. 10
Pendapat Imam Ahmad rahimahullâh bahwa tawakkal bagi orang yang
sanggup melakukannya adalah lebih baik karena diriwayatkan dengan shahih
dari Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam, beliau shallallâhu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
ْ
ُ
ل
ُ
خدَيْْ
َ
ة
َ
نَاْلْْنمْْت
َ
م
ُ
أْْ
َ
نوُعبَسْا
ً
فل
َ
أْْي
َ
غبْْاب َسحْ،ْاو
ُ
ال
َ
قْ:ْنَمْْم
ُ
هْ
ْ
َ
لوُسَارَيْْاللْ؟ْْ
َ
ال
َ
قْْ:ُْم
ُ
هَْْني
َ
اَّلْْ
َ
لْْ
َ
نو
ُ
ق
َ
َتسَيْ،ْْ
َ
لَوْْ
َ
نوُ َي َّطَت
َ
يْ،ْْ
َ
لَوْ
ْ
َ
نوُوَتكَيْ،ْْ
َ ََعَوْْمهّبَرْْ
ُ َ
َّكَوَت
َ
يْ
َ
نو.
“Tujuh puluh ribu orang dari ummatku akan masuk surga tanpa hisab. Mereka
(Para sahabat) berkata, ‘Siapa mereka wahai Rasûlullâh?’ Rasûlullâh
shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Mereka adalah orang-orang yang
tidak minta diruqyah, tidak bertathayyur (merasa sial dengan sesuatu), tidak
melakukan kayy (berobat dengan besi panas), dan mereka bertawakkal kepada
Rabb mereka.”25
Para ulama yang berpendapat bahwa berobat lebih baik berpendapat,
bahwa berobat adalah perilaku yang selalu dikerjakan Nabi shallallâhu ‘alaihi
wa sallam dan beliau (Nabi) shallallâhu ‘alaihi wa sallam tidak melakukan
sesuatu kecuali yang paling baik. Ulama tersebut menafsirkan permintaan
ruqyah -- di sini – dimakruhkan, karena dikhawatirkan mengandung ‘syirik’.
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullâh berkata: “Dalam hadits-hadits
yang shahih diperintahkan untuk berobat, dan hal ini tidak menafikan
tawakkal, sebagaimana juga kita menolak penyakit lapar dengan makan, rasa
haus (kita lawan) dengan minum, (udara) panas dengan berteduh dan (cuaca)
dingin dengan memakai baju hangat. Bahkan tidak sempurna hakikat tauhid
kecuali dengan melaksanakan sebab (syar’i) yang telah ditetapkan Allâh , baik
secara Qadar maupun syar’i. Dan meniadakan sebab berarti mencela tawakkal,
sebagaimana mencela perintah dan hikmah…”26
Begitu pula tentang rezeki, seandainya kaum Muslimin merealisasikan
tawakkal kepada Allâh dengan hati mereka, Allâh ‘Azza wa Jalla pasti akan
memberikan rezeki kepada mereka dengan sebab usaha yang paling rendah
(ringan) sekali pun, sebagaimana Dia memberikan rezeki kepada burung-
burung yang hanya dengan sekadar pergi di pagi hari dan kembali pada
petang hari yang merupakan bagian dari kerja namun kerja ringan.
Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda:
25
Hadits Riwayat Al-Bukhari dari Abdullah bin Abbas, radhiyallâhu
‘anhumâ, Shahîh al-Bukhâriy, juz VIII, hal. 124, hadits no. 6472 dan Muslim dari
Imran bin Hushain, Shahîh Muslim, juz I, hal.137, hadits no. 547.
26
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Zâdul Ma’âd Fî Hadyi Khairil ‘Ibâd, juz IV, hal.
15)
11. 11
اَه
ل
ي
َ
أْْ ُاسَاّنلْوا
ُ
ق
َ
اتَْْاللْاو
ُ
لَج
َ
أَوْْفْْب
َ
ل َالّطْْ
َ
نإ
َ
فْا ًسف
َ
نْْن
َ
لْْ
َ
وتُم
َ
تْْ َّتَحْ
ْوَتس
َ
تَْفْاَه
َ
قزرْْنإَوْْ
َ
أ َّطب
َ
أْاَهن
َ
عْاو
ُ
ق
َ
ات
َ
فَْْاللْاو
ُ
لَج
َ
أَوْْفْْب
َ
ل َالّطْاو
ُ
ذ
ُ
خْ
اَمْْ
َ
لَحْاوُع
َ
دَوْاَمَْْمُرَح
“Wahai manusia! Bertaqwalah kepada Allâh dan berusahalah dengan cara
yang baik! Sesungguhnya satu jiwa itu tidak akan mati hingga rezekinya
diberikan secara sempurna, walaupun lambat. Oleh karena itu bertakwalah
kalian kepada Allâh ‘Azza wa Jalla dan berusahalah dengan cara yang baik!
Ambillah yang halal dan tinggalkan yang haram.”27
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbâs radhiyallâhu ‘anhumâ, bahwa beliau
radhiyallâhu ‘anhumâ mengatakan: “Orang-orang Yaman berangkat haji
tanpa perbekalan. Mereka berkata, bahwa ‘Kami orang-orang yang
bertawakkal.’ Mereka pun berangkat haji dan tiba di Mekah kemudian
mengemis kepada manusia. Karena itu, Allâh ‘Azza wa Jalla menurunkan ayat
ini:
وا
ُ
دَوَز
َ
تَوْْ
َ
نإ
َ
فَْْي
َ
خْْادَالزْْىىَوقَاّتلْْْۚون
ُ
ق
َ
اتَوْاَيْْول
ُ
أْْابَْل
َ
اْلْ
“…Bawalah bekal, karena sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Dan
bertakwalah kepada-Ku Wahai orang-orang yang mempunyai akal sehat.” [QS
al-Baqarah/2:197]28
Hal yang sama dikatakan oleh Mujâhid, Ikrimah, an-Nakhâ’i, dan
generasi salaf lainnya. Jadi, tidak ada alasan yang melegalkan seseorang untuk
meninggalkan sebab-sebab secara totalitas bagi orang yang hatinya tidak
bergantung kepada manusia secara total.
Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar dan Umar bin Khatthab
radhiyallâhu ‘anhumâ juga berusaha maksimal dan mereka juga mencari
nafkah, dan tidak ada satupun dari mereka yang berkata, bahwa “Kami hanya
duduk dan berpangku tangan hingga Allâh memberi kami rezeki.”
Allâh ‘Azza wa Jalla berfirman:
27
Hadits Riwayat Ibnu Majah dari jabir bin Abdullah, Sunan ibn Mâjah, juz
III, hal.275 , hadits no. 2144.
28
Hadits Riwayat An-Nasâi dari Abdullah bin Abbas, Sunan an-Nasâi, juz
VIII, hal. 100, hadits no. 8739.
12. 12
ا
َ
ذإ
َ
فْْتَيض
ُ
قْْ
ُ
ة
َ
َل َالّصْواُِش
َ
تاّن
َ
فْْفْْضر
َ
اْلْوا
ُ
غَتابَوْْنمْْلض
َ
فْْ
َ
اّللْ
واُر
ُ
كاذَوَْْ َ
اّللْاًيث
َ
كْْم
ُ
ك
َ
لَع
َ
لْْ
َ
ونُحلف
ُ
تْ
“Apabila shalat telah dilaksanakan, maka bertebaranlah kamu di bumi; carilah
karunia Allâh dan ingatlah Allâh banyak-banyak agar kamu beruntung.” [QS
Al-Jumu’ah/62: 10]
Setiap orang wajib mencari nafkah dengan mengerjakan sebab-sebab
agar Allâh ‘Azza wa Jalla memberikan rezeki. Dan tidak boleh sekali-kali ia
menelantarkan orang yang berada dalam tanggungannya. Nabi shallallâhu
‘alaihi wa sallam bersabda:
ْ
َ
ف
َ
كْْءرَمالبْاًمإثْْن
َ
أَْْعّي
َ
ضُيْْنَمْْ
ُ
تو
ُ
ق
َ
ي
“Cukuplah seseorang itu berdosa jika ia menelantarkan orang yang ia beri
makan.”29
Tidak boleh seorang muslim meminta-minta, mengemis atau menjadi
beban bagi orang lain. Dia wajib mencari nafkah.
Orang yang bertawakkal kepada Allâh ‘Azza wa Jalla dengan benar
ialah orang yang mengetahui bahwa Allâh ‘Azza wa Jalla telah menjamin
rezeki dan kecukupan untuk hamba-Nya kemudian ia mengimani jaminan
Allâh tersebut dengan hatinya, dan merealisasikan dengan sikap bergantung
kepada-Nya karena Allâh telah menjamin rezekinya tanpa menempatkan
tawakkal seperti sebab-sebab untuk mendatangkan rezeki, karena rezeki itu
dibagi-bagikan kepada semua orang; orang baik maupun jahat, Mukmin
maupun kafir, seperti dalam firman Allâh ‘Azza wa Jalla:
اَمَوْْنمْْةَاب
َ
دْْفْْضر
َ
اْلْْ
َ
لإْْ
َ ََعْْ
َ
اّللْاَه
ُ
قزرُْْم
َ
لعَيَوْا
َ
هَر
َ
قَتسُمْ
اَه
َ
ع
َ
دوَتسُمَوْْْۚ
ّ ُ
ُكْْفْْابَتكْْيبُمْ
“Dan tidak ada satu pun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan
semuanya dijamin Allâh rezekinya. Dia mengetahui tempat kediamannya dan
tempat penyimpanannya. Semua (tertulis) dalam Kitab yang nyata (Lauh
Mahfuuzh).” [QS Hûd/11: 6]
Sudah menjadi sunnatullâh terhadap semua makhluk, bahwa segala
rezeki yang terkandung di dalam bumi, bahan-bahan makanan yang telah
29
Hadits Riwayat Ahmad bin Hanbal dqri Amr bin al-‘Ashi, Musnad Ahmad
ibn Hanbal, juz II, hal. 160. Hadits no. 6495.
13. 13
disiapkan, serta sumber-sumber kekayaan yang menyenangkan; Semua itu
tidak akan dapat dicapai, melainkan harus dengan kerja keras dan usaha
sungguh-sungguh. Karena itu, Allâh Subhânahu wa Ta’âlâ kan memberi rezeki
kepada hamba-Nya yang mau berusaha di atas permukaan bumi ini.
Allâh ‘Azza wa Jalla berfirman:
وا
ُ
شام
َ
فْْفْاَهباك
َ
نَمْوا
ُ ُ
َّكَوْْنمْْهقزرْ...ْ
”… Maka jelajahilah di seluruh penjurunya dan makanlah sebagian dari
rezeki-Nya…” [QS al-Mulk/67: 15]
Barangsiapa mau berusaha di atas permukaan bumi, niscaya ia akan
mendapat rezeki.
Allâh ‘Azza wa Jalla berfirman:
ا
َ
ذإ
َ
فْْتَيض
ُ
قْْ
ُ
ة
َ
َل َالّصْواُِش
َ
تاّن
َ
فْْفْْضر
َ
اْلْوا
ُ
غَتابَوْْنمْْلض
َ
فْْ
َ
اّللْ
“Apabila shalat telah dilaksanakan, maka bertebaranlah kamu di bumi; carilah
karunia Allâh.” [QS Al-Jumu’ah/62: 10]
Barangsiapa berjalan di muka bumi ini sambil mengharap karunia dan
rezeki Allâh ‘Azza wa Jalla, niscaya ia termasuk orang-orang yang berhak
menerimanya. Sebaliknya, barangsiapa berpangku tangan dan bermalas-
malasan, maka ia termasuk orang-orang yang tidak berhak menerima karunia
Allâh ‘Azza wa Jalla.
Semua amalan duniawi yang dikerjakan dengan penuh ketekunan dan
disertai niat yang benar serta tidak menyimpang dari hukum-hukum Islam,
merupakan ibadah. Jerih payah seseorang dalam mempertahankan hidup,
demi kehormatan diri dan keluarganya, atau demi berbuat baik terhadap
kerabat dan tetangganya, atau demi membantu usaha-usaha dakwah dan sosial
dan menegakkan kebenaran, itu termasuk dalam kategori jihad fii sabîlillâh
(berjuang di jalan Allâh). Karena itu, Allâh ‘Azza wa Jalla mensejajarkan dua
perkara itu dalam firman-Nya:
ْ...ْ
َ
ونُر
َ
آخَوْْضَيْ
َ
ونُبْْفْْضر
َ
اْلْْ
َ
ون
ُ
غَتبَيْْنمْْلض
َ
فْْ
َ
اّللْْْۙ
َ
ونُر
َ
آخَوْ
ْ
َ
ون
ُ
لات
َ
ق
ُ
يْْفْْيلبَسْ
”… Dan yang lain berjalan di muka bumi mencari karunia Allâh; dan yang
lain berperang di jalan Allâh…” [QS Al-Muzzammil/73: 20]
14. 14
Dalam menggalakkan usaha pertanian dan perkebunan, Nabi
shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اَمْْنمْْملسُمْْ ُسرغ
َ
يْاًسر
َ
غْْو
َ
أْْ
ُ
عَرزَيًْْعرَزْ،ْ؛ْْ
ُ
ل
ُ
كأَي
َ
فْْ
ُ
هنمْْي َطْْو
َ
أْ
ْان َسنإْْو
َ
أْْةَميـهَبْْ
َ
لإْْ
َ
ن
َ
َكُْْ َ
لْْهبْْة
َ
ق
َ
د َص
“Tidak seorang muslim pun yang menaburkan benih atau menanam tanaman,
lalu seekor burung, atau seseorang, atau seekor binatang makan sebagian
darinya, kecuali akan dinilai sebagai sedekah baginya.”30
Dalam menggalakkan usaha pertukangan dan kerajinan tangan, Nabi
shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اَمْْ
َ
ل
َ
ك
َ
أْْدَح
َ
أْاًامَع َطْْ لط
َ
قْاًي
َ
خْْنمْْن
َ
أْْ
َ
ل
ُ
كأَيْْنمْْلَم
َ
عْْهدَيَْْوْْ
َ
نإَِْْب
َ
ّنْ
ْاللْْ
َ
دُاو
َ
دْْ
َ
ن
َ
َكْْ
ُ
ل
ُ
كأَيْْنمْْلَم
َ
عْْهدَي
“Tidaklah seseorang mengkonsumsi makanan yang lebih baik daripada apa
yang dihasilkan dari karya tangannya sendiri. Dan adalah Nabi Dawud q
makan dari hasil usaha kerjanya.”31
Walaupun banyak sekali hewan lemah tidak dapat mencari rezeki,
namun Allâh ‘Azza wa Jalla berfirman:
ْن
ّ
ي
َ
أ
َ
كَوْْنمْْةَاب
َ
دْْ
َ
لْْ
ُ
لم
َ
َتْاَه
َ
قزرُْْ َ
اّللْاَه
ُ
قُزرَيْْم
ُ
اكَيإَوَْْْۚو
ُ
هَوُْْيعم َالسْ
ُْيملَعالْ
“Dan berapa banyak makhluk bergerak yang bernyawa yang tidak (dapat)
membawa (mengurus) rezekinya sendiri. Allâh-lah yang memberi rezeki
kepadanya dan kepadamu. Dia Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” [QS Al-
‘Ankabût/29: 60]
Jadi, selama seorang hamba masih hidup, maka rezekinya ada pada
Allâh ‘Azza wa Jalla dan terkadang Allâh ‘Azza wa Jalla memberikan rezekinya
kepadanya melalui usaha atau tanpa usaha. Karenanya, barangsiapa yang
30
Hadits Riwayat Al-Bukhâri, Shahîh al-Bukhâriy, juz III, hal. 135, hadits no.
2320 dan Muslim , Shahîh Muslim, juz V, hal. 28, hadits no. 4055, dari Anas bin Malik
radhiyallâhu ‘anhu.
31
Hadits Riwayat Al-Bukhari dari Al-Miqdam radhiyallâhu anhu, Shahîh al-
Bukhâriy, juz III, hal. 74, hadits no. 2072.
15. 15
bertawakkal kepada Allâh Subhânahu wa Ta’âlâْuntuk mencari rezeki, maka ia
menjadikan tawakkal sebagai sebab dan usaha. Dan barangsiapa bertawakkal
kepada Allâh ‘Azza wa Jalla karena keyakinannya akan penjaminan-Nya,
sungguh ia bertawakkal kepada Allâh dengan yakin dan membenarkan-Nya.
Pelajaran penting yang wajib diperhatikan dalam memahami tawakkal
adalah:ْ “Seseorang yang bersikap tawakkal akan selalu busa menyandarkan
hati sepenuhnya kepada Allâh, melakukan usaha untuk memeroleh apa pun
yang diharapkan dengan sikap ridha dengan apa yang Allâh Subhânahu wa
Ta’âlâ sudah takdirkan. Sebagaimana penejelasan para ulama, bahwa buah
tawakkal ialah: “ridha dengan qadha (takdir)." Siapa pun yang menyerahkan
semua urusannya kepada Allâh ‘Azza wa Jalla, ridha terhadap apa saja yang
diputuskan baginya, dan memilihnya, sungguh ia telah merealisasikan sikap
tawakkalnya kepada Allâh dalam keridhaannya.”
Jadi, jika orang bertawakkal kepada Allâh ‘Azza wa Jalla, jika ia
bersabar atas cobaan penyakit, rezeki dan selainnya yang telah ditakdirkan
Allâh Subhânahu wa Ta’âlâ baginya, maka ia adalah orang yang sabar. Jika ia
ridha kepada apa saja yang ditakdirkan baginya setelah terjadi, maka ia orang
yang ridha. Seperti yang dikatakan oleh Umar bin Abdul Aziz rahimahullâh,
“Pada pagi hari, aku tidak mempunyai kebahagiaan kecuali (ridha) pada qadha
dan qadar Allah.”32
Demikianlah pembahasan ringkas tentang tawakkal. Mudah-mudahan
bermanfaat.
Wallâhu a’lamu bish-shawâb.
(Dikutip dan diselaraskan dari tulisan Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas,
dalam https://almanhaj.or.id/3831-tawakkal-kepada-allah-subhanahu-wa-
taala.html)
32
Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam , juz II, hal. 509.