Syar'u man qablana (hukum agama terdahulu) dibagi menjadi tiga kategori dalam Islam: 1) yang telah dinaskhkan, 2) yang diwarisi, dan 3) yang statusnya tidak jelas dalam al-Quran dan hadis. Kategori ketiga ini menimbulkan perbedaan pendapat ulama tentang apakah masuk syariat Islam atau tidak. Sebagian mengatakan masuk, sebagian lagi tidak karena tidak ada dalil tegas. Perbedaan ini menjadi inti
1. C. KEHUJJAHAN SYAR”U MAN QABLANA ( (حجية شرع من قبلنا في الشريعةالإسلامية
Pembagian syar’u Man Qablana dan contohnya :
Syar’u Man Qablana dibagi menjadi dua bagian. Pertama, setiap hukum syariat dari
umat terdahulu namun tidak disebutkan dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Ulama’
sepakat bahwa macam pertama ini jelas tidak termasuk syariat Islam.Kedua, setiap
hukum syariat dari umat terdahulu namun disebutkan dalam al-Qur’an dan al-Sunnah.
Pembagian kedua ini diklasifikasi menjadi tiga :
a. Ajaran agama terdahulu yang telah dihapuskan oleh syariat Islam(dimansukh).
Ajaran agama terdahulu tersebut tidak termasuk syariat agama Islam menurut
kesepakatan semua ulama.
Misalnya Q.S. al-An’am ayat 146 yang artinya sebagai berikut :
“Dan kepada orang-orang Yahudi, Kami haramkan segala binatang yang berkuku. Sedangkan
dari sapi dan domba, Kami haramkan atas mereka lemak dari kedua binatang itu, selain lemak
yang melekat di punggung keduanya atau yang di perut besar dan usus atau yang bercampur
dengan tulang. Demikianlah Kami hukum mereka disebabkan kedurhakaan mereka, dan
sesungguhnya Kami adalah Maha Benar”.
Berdasarkan pesan dalam ayat di atas, umat Muhammad yang ingin menebus
dosa cukup berhenti melakukan perbuatan yang dipandang memiliki konsekuensi
dosa dan menyesali perbuatan yang telah dilakukan dengan dibuktikan secara nyata
adanya tekad yang terealisasi secara empiris bahwa perbuatan dosa tersebut tidak
diulangi lagi. Begitu juga dengan kotoran yang dipandang najis apabila mengenai
salah satu pakaian. Dalam syari’at terdahulu pakaian tersebut harus dipotong sesuai
dengan bagian pakaian yang kena najis. Namun setelah Islam lahir, kewajiban seperti
ini tidak ditetapkan kepada Nabi Muhammad dan umatnya. Kenyataan ini dapat
dilihat pada Q.S. 74: 4 (yang artinnya: Dan pakaianmu bersihkanlah).
Berdasarkan ayat-ayat Alqur’an di atas, para ahli usul al-fiqh dapat menentukan
dengan mudah bahwa syar’u man Qablana semacam itu sudah tidak berlaku lagi
karena telah dibatalkan atau diganti (mansukh) oleh ayat Alqur’an sendiri yang nota
bene merupakan syari’at Nabi Muhammad
b. Ajaran yang ditetapkan diwarisi oleh syariat islam. Dianggap
syariat Islammelalui al-Qur’an dan al-Sunnah.
Contohnya perintah menjalankan puasa. Pada bentuk kedua ini justru Nabi
Muhammad dan umatnya mewarisi dan melanjutkan apa yang telah ditetapkan oleh
umat terdahulu. Di antara warisan hukum itu dapat dilihat pada Q.S. 2: 183 yang
terjemahnya sebagai berikut:
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas
orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”.
2. Warisan lain yang ditetapkan untuk umat Nabi Muhammad adalah perintah
berkurban yang sebelumnya pernah diwajibkan kepada Nabi Ibrahim. Ketentuan itu
tetap diberlakukan untuk Muhammad dan umatnya berdasarkan pernyataan Nabi
Muhammad sendiri melalui sabdanya:
“Berkurbanlah karena yang demikian itu adalah sunnah bapakmu, yaitu Ibrahim”.
c. Ajaran yang tidak ditetapkan oleh Syari’at islam.
a) Yang diberitakan kepada Islam baik melalui al-Qur'an atau as-Sunnah, tetapi tidak tegas
diwajibkan kepada Islam sebagaimana diwajibkan kepada umat sebelum Islam.
Tidak ada penegasan dari syariat Islam apakah dinaskh atau dianggap sebagai syariat
Islam. Pembagian ketiga inilah yang menjadi inti pokok pembahasan dalil syara’
ini(Syar’u Man Qablana) :
Misalnya Q.S.5:32 yang menyebutkan:
Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa barang siapa yang
membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain atau bukan
karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia
seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah
dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Sesungguhnya telah datang kepada
mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian
banyak di antara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat
kerusakan di muka bumi.
Begitu juga pada Q.S. 5: 45 yang artinya sebagai berikut:
Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas)
dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan
gigi, dan luka-luka (pun) ada kisasnya. Barang siapa yang melepaskan (hak kisas)-nya, maka
melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara
menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.
Pada kedua ayat di atas terlihat dengan jelas bahwa Tuhan menceritakan adanya
kewajiban kepada Bani Israil hukum yang tercatat dalam Taurat. Namun tidak
menjelaskan apakah ketentuan itu berlaku juga terhadap umat Islam atau tidak. Tidak
adanya kejelasan pada ayat itu menimbulkan berbagai pertanyaan di kalangan para
ahli usul al-fiqh, apakah hal tersebut diberlakukan juga untuk umat Islam atau tidak
mengingat ketentuan itu terdapat di dalam Alqur’an yang nota bene merupakan
Islamb suci umat Islam.
Berkaitan dengan masalah tersebut, Bazdawi (t.t.: 232) mengatakan bahwa
syari’at terdahulu yang tidak ditemukan ketegasan pengamalannya bagi umat Islam
adalah tidak berlaku bagi umat Islam sampai ditemukannya dalil yang
mewajibkannya. Namun yang populer dari pendapat Bazdawi adalah tentang
anggapannya yang menyatakan bahwa ketentuan itu merupakan syari’at karena ia
dituliskan kembali dalam Alqur’an, sehingga ia telah menjadi syari’at Muhammad.
Hal ini ditanggapi berbeda oleh Hazm (1404, V: 149) yang mengatakan bahwa bentuk
syari’at seperti itu hanya merupakan nass atau teks semata yang tidak perlu
diamalkan.
Sedangkan Syairazi (1985: 34) mengatakan bahwa perbedaan tersebut tampak
semakin berkembang dengan adanya 3 kelompok yang berkiprah memberikan
3. pendapat yakni: 1) bukan sebagai syari’at umat Islam, 2) sebagai syari’at Islam,
kecuali adanya dalil yang membatalkannya, 3) semua syari’at terdahulu, baik syari’at
Ibrahim, syari’at Musa (kecuali yang telah di-naskholeh syari’at Isa), dan syari’at Isa
sendiri adalah syari’at Islam.
Pendapat Mazhab-mazhab terhadap permasalahan yang ke tiga ini :
a. Juhmuru al-Hanafiyah, Malikiyah dan sebagian kalangan Syafi’iyah mengatakan bahwa
hukum-hukum syariat umat sebelum Islam bilasoheh maka menjadi syariat bagi Islam,
tapi tinjauannya tetap melaluiWahyu dari Rasul bukan Islamb-Islamb mereka.
b. Asya’irah Mu’tazilah, Si’ah dan yang Rajih dari kalangan Syafi’ie mengatakan bahwa
syariat umat sebelumnya apabila tidak ditegaskan oleh syariat Islam, maka tidak
termasuk syariat Islam. Pendapat mereka ini diambil juga oleh al-Ghazali, al-Amudi,
al-Razi, Ibnu Hazm dankebanyakan para ulama’.
Ada empat dalil yang dibuat tendensi mereka, para ulama’ yang menganggap bahwa
syariat umat sebelum Islam adalah syariat Islam :
1. Syariat umat sebelum Islam adalah syariat Allah yang tidak ditegaskan kalausanya telah
dinasakh, karena itu Islam dituntut mengikutinya serta mengamalkan berdasarkan
firman Allah dalam surat al-An’am, ayat, 90, al-Nahl,ayat, 123 dan surat al-Syura, ayat,
13. Disebutkan juga bahwa Ibnu Abbas pernah melakukan Sujud Tilawah ketika
membaca salah satu ayat al-Quran dalam surat shod( ص) ayat 24.
2. kewajiban menqadho’i shalat Fardhu berdasarkan hadis nabi”Barangsiapa yang tertidur
atau lupa melakukan shalat maka Qadho’ilah kalau nanti sudah ingat” dan
ayat”Kerjakanlah shalat untuk mengingatku” yang disebutkan oleh Nabi secara
berurutan dengan hadis di atas. Ayat ini ditujukan pada Nabi Musa AS, karena itu
seandainya Nabi tidak dituntut untuk mengikuti syariat nabi sebelumnya niscaya
penyebutan ayat di atas tidak dapat memberikan faidah.
3. Ayat kelima dalam surat al-Ma’idah yang menyebutkan permasalahan Qishas. Ayat ini
dibuat tendensi oleh para ulama’ akan kewajibannya Qishas dalam syariat Islam.
4. Nabi itu senang untuk mencocoki Ahli al-Qitab dalam permasalahan yang belum
ditetapkan keberadaannya oleh Wahyu.
Ada empat dalil yang juga dipakai oleh mereka yang mengingkari syariat umat
sebelum Islam sebagai syariat Islam, yaitu :
1. Ketika Nabi mengutus Muadz Bin Jabal ke Yaman beliau menanyainya tentang apa
yang akan Muadz jadikan dalil ketika mau menghukumi suatu masalah. Sahabat
Muadz menjawab “aku akan memakai al-Quran dan hadis dan bila aku dalam
keduanya tidak mendapatkan jawaban permasalahan tersebut maka aku akan
berijtihad.
2. Firman Allah yang menunjukkan bahwa Allah telah menciptakan syariat dalam
masing-masing umat, baik umat Nabi Muhammad atau umat Nabi terdahulu.
3. Seandainya Nabi, umatnya wajib mengikuti syariat umat terdahulu, niscaya beliau
wajib mempelajari syariat tersebut.
4. 4. Syariat terdahulu adalah husus bagi umat tertentu, sementara syariat islam adalah
syariat umum yang menasakh syariat-syraiat terdahulu.
b) Yang tidak disebut-sebut (diceritakan) oleh syari'at Islam.