Dokumen tersebut membahas tentang arti pentingnya memberi maaf menurut ajaran Islam berdasarkan teladan Rasulullah saw. Rasulullah saw mencontohkan sikap lapang dada dan memaafkan orang yang pernah bersalah padanya, kecuali jika kesalahan tersebut melecehkan agama atau hak Allah. Walaupun pernah disakiti, Rasulullah saw selalu berdoa agar Allah memberi hidayah kepada mereka.
1. 1
Belajar Memberi Maaf
ِذ
ُ
خَِِو
ْ
فَع
ْ
الِِ
ْ
أَوِْرُمِِفْرُع
ْ
البِِ
ْ
ضر
ْ
ع
َ
أَوِِنَعَِِيلاهَْ
اْل
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang
ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.” (QS
al-A'râf [7]: 199).
Ketika turun ayat tersebut, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bertanya
kepada Malaikat Jibril. ''Apakah maksud ayat ini, wahai Jibril?'' Jibril menjawab,
''Sesungguhnya Allah menyuruhmu memaafkan orang yang telah mezalimimu, dan
bersilaturahim kepada orang yang memutuskan hubungan denganmu.''
Menanggapi ayat tersebut, Ibnu Jarir berkata, ''Allah menyuruh Rasul-Nya
supaya menganjurkan segala kebaikan, amal, dan ketataan. Di samping itu juga
agar menanggung tantangan orang-orang yang tidak memahami hukum Allah
dengan penuh kesabaran dan lapang dada.'' (Muhammad Ibnu Jarir ath-Thabari,
Jâmi’ al-Bayân Fî Ta’wîl al-Qurân, juz XIII, hal. 326)
Kata maaf berasal dari al-‘afwu, yang artinya: “sikap memberi maaf
terhadap kesalahan orang lain tanpa menyisakan rasa benci, sakit hati, dan
keinginan balas dendam.” Allah Subhânahu Wa Ta’âlâ sendiri menyebut diri-Nya
sebagai ‘afuwwun, yang artinya: “Maha Pemaaf”. Sebagaima firman-Nya,
نإِواُدْب
ُ
تِاً ْْي
َ
خِِْو
َ
أُِِوه
ُ
ف
ْ ُ
ُتِِْو
َ
أِوا
ُ
ف
ْ
ع
َ
تِنَعِِوءُسِِ
ّ
نإ
َ
فَِِ ّ
اّللِِ
َ
ن
َ
َكِ
اًو
ُ
ف
َ
عِاًيرد
َ
قِ
“Jika kamu melahirkan sesuatu kebaikan atau menyembunyikan atau
memaafkan sesuatu kesalahan (orang lain), maka sesungguhnya
Allah Maha Pemaaf lagi Maha Kuasa.” (QS an-Nisâ’ [4]: 149).
Sikap “memaafkan” ini dicontohkan oleh Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa
sallam sendiri dalam kehidupan bermasyarakat. Beliau memberi contoh: “tidak
pernah membalas kesalahan orang lain yang pernah bersalah terhadap dirinya
dengan kesalahan apapun, bahkan – dalam banyak hal -- dibalasnya dengan
sejumlah kebaikan, sebagai tanda pemberian maaf darinya untuk siapa pun yang
pernah bersalah terhadapnya.”
Namun, apabila kesalahan tersebut berupa pelecehan terhadap kehormatan
Islam dan yang berhubungan dengan hak-hak Allah Subhânahu Wa Ta’âlâ, beliau
tidak segan-segan untuk bersikap tegas, dengan tidak memberi maaf. Sebab,
2. 2
pemaafan dalam hal ini berarti pelecehan terhadap hak-hak Allah Subhânahu Wa
Ta’âlâ.
Pernah suatu ketika dalam perang Khaibar, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa
sallam disuguhi kambing bakar yang telah diberi racun oleh Zainab binti Harits,
isteri Salam bin Misykam, salah seorang pemuka Yahudi. Kemudian beliau
mengambil sedikit daging paha kambing itu dan mengunyahnya. Tetapi beliau
tidak menyukainya, lalu dimuntahkan apa yang telah beliau kunyah. Sedangkan
Bisyr bin Barra yang makan daging kambing itu, tidak berapa lama kemudian
meninggal.
Dari peristiwa itu, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam pun bersabda:
''Sesungguhnya tulang ini memberi tahu kepadaku bahwa dirinya telah diberi
racun.'' Lalu dipanggillah Zainab binti Harits dan ditanya atas perbuatannya, dan ia
(Zainab) pun mengakui perbuatannya. Walaupun Zainab telah berniat jahat akan
membunuh Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam, namun beliau bersedia untuk
memaafkannya, karena kelapangan hatinya.
Bukan hanya itu, karena sudah terlalu sering Rasulullah shallallâhu ‘alaihi
wa sallam disakiti masyarakat jahiliyah, para sahabatnya mengadu agar
Rasulullahnya (Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam) yang mulia berdoa supaya
musuh-musuh yang di hadapannya langsung diazab oleh Allah Subhânahu Wa
Ta’âlâ. Bahkan, (dikisahkan) malaikat pun menawarkan dirinya untuk mengangkat
sebuah gunung agar ditimpakan kepada kaum yang mendustakan Rasulullah
Muhammad (Rasulullah) shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Tetapi, apa jawab
Rasulullah Muhammad (Rasulullah) shallallâhu ‘alaihi wa sallam? (Beliau
menjawab) ''Aku diutus bukan untuk melaknati, tetapi (aku diutus) sebagai da’i dan
pembawa rahmat. “
Setelah itu, beliau pun mengucapkan doa:
“ِ
ّ
اللُِهِّمِِ
ْ
اهِدِِ
َ
قِْوِْم،ِِ
َ
فِإِ
ّ
نُِهِْمِِ
َ
لِِ
َ
يِ
ْ
عِ
َ
لُِمِْوِ
َ
ن”
(Allâhumahdi qaumî, fainnahum lâ ya’lamûn)
“Ya Allah! Berilah petunjuk kepada kaumku. Sesungguhnya mereka
tidak mengerti.'' (Lihat: Ibnu Katsir, Tafsir al-Qurân al-’Azhîm, Juz
VI, halaman 571)
Demikian kajian ringkas tentang artipenting ’memberi maaf’, yang
ternyata lebih didahulukan oleh Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam
daripada meminta maaf. Yang oleh karenaya, sebagai pengikut Rasulullah
shallallâhu ‘alaihi wa sallam, kita seharusnya meneladaninya.
Wallâhu a’lamu bish-shawâb.