2. Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang
dalam tentang Al Quran dan As Sunnah) kepada siapa
yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi
hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang
banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang
dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).”
(QS. Al Baqarah: 269)
5. Muslim/Mukmin
Ketentuan ini berdasarkan pada QS. al-Baqarah : 183
yang menegaskan bahwa yang terkena kewajiban
menjalankan ibadah puasa Ramadhan hanyalah orang-
orang mukmin.
Berakal sehat
Baligh
”Dari Aisyah bahwa Nabi SAW bersabda: ”Tiga golongan yang
terlepas dari hukum (syara’), yaitu orang yang sedang tidur
sehingga bangun, orang gila sehingga sadar dan anak-anak
sehingga baligh”(HR. Abu Dawud dan Nasa’i)”.
6. Sehat
”maka barangsiapa diantara kalian sakit atau
dalam perjalanan maka (wajiblah baginya
berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu
pada hari-hari yang lain”. (QS. Al Baqarah: 184)
Dari penegasan ini dapat diambil
pemahaman (mafhum mukholafah) bahwa
orang yang sakit tidak ada kewajiban untuk
berpuasa.
7. Orang yang mukim
Pemahaman (mafhum mukholafah) QS. al-
Baqarah : 184.
Orang yang sedang tidak haid atau nifas
”Dari ‘Aisyah RA berkata: “Adalah kami haid di
masa Rasulullah, maka kami diperintahkan agar
mengqadha puasa dan kami tidak diperintahkan
untuk mengqadha shalat”.(HR. Jama’ah)
9. Dari Abu Umâmah al-Bâhili, dia berkata: Aku mendengar
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ketika aku
sedang tidur, tiba-tiba ada dua laki-laki yang mendatangiku,
keduanya memegangi kedua lenganku, kemudian membawaku ke
sebuah gunung terjal. Keduanya berkata kepadaku, “Naiklah!”
Aku menjawab, “Aku tidak mampu”. Keduanya berkata, “Kami
akan memudahkannya untukmu”. Maka aku naik. Ketika aku
berada di tengah gunung itu, tiba-tiba aku mendengar suara-
suara yang keras, maka aku bertanya, “Suara apa itu?” Mereka
menjawab, “Itu teriakan penduduk neraka”.
10. Kemudian aku dibawa, tiba-tiba aku melihat
sekelompok orang tergantung (terbalik)
dengan urat-urat kaki mereka (di sebelah
atas), ujung-ujung mulut mereka sobek
mengalirkan darah. Aku bertanya, “Mereka
itu siapa?” Mereka menjawab, “Mereka
adalah orang-orang yang berbuka puasa
sebelum waktunya”.
[HR. Nasâ’i dalam as-Sunan al-Kubra, no. 3273; Ibnu Hibbân;
Ibnu Khuzaimah; al-Baihaqi, 4/216; al-Hâkim, no. 1568; ath-
Thabarani dalam Mu’jamul Kabîr. Dishahihkan oleh al-Hâkim,
adz-Dzahabi, al-Haitsami. Lihat: al-Jâmi’ li Ahkâmis Shiyâm,
1/60]
11. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa berbuka
sehari dari (puasa) bulan Ramadhân bukan dengan (alasan)
keringanan yang Allâh berikan kepadanya, maka tidak akan
diterima darinya (walaupun dia berpuasa) setahun
semuanya. [HR. Ahmad, no. 9002; Abu Dâwud, no. 2396; Ibnu
Khuzaimah, no.1987; dll]
Namun hadits didha’ifkan oleh Imam Ibnu Khuzaimah, syaikh
Syu’aib al-Arnauth, syaikh al-Albani, dan lainnya, karena ada
perawi yang tidak dikenal yang bernama Ibnul Muqawwis.
Walaupun hadits ini lemah secara marfû’ (riwayat dari Nabi)
akan tetapi banyak riwayat dari para sahabat yang
menguatkannya.
12. Dari Abdulah bin Mas’ûd Radhiyallahu anhu berkata:
Barangsiapa berbuka sehari dari (puasa) bulan Ramadhân
dengan tanpa keringanan, dia bertemu Allâh dengannya, walaupun
dia berpuasa setahun semuanya, (namun) jika Allâh menghendaki,
Dia akan mengampuninya, dan jika Allâh menghendaki, Dia
akan menyiksanya”.
[HR.Thabarani, no. 9459, dihasankan oleh syaikh Al-Albani, tetapi riwayat
yang marfû’ didha’ifkan. (Dha’if Abi Dawud –Al-Umm- 2/275)]
Dari Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu, berkata:
Barangsiapa berbuka sehari dari (puasa) bulan Ramadhân dengan
sengaja, berpuasa setahun penuh tidak bisa menggantinya”.
[Ibnu Hazm dalam al-Muhalla, 6/184]
13. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwa ada seorang
laki-laki berbuka di bulan Ramadhân dia berkata :
Berpuasa setahun penuh tidak bisa menggantinya.
[Ibnu Hazm, al-Muhalla, 6/184]
Dari Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu, berkata:
Barangsiapa berbuka sehari dari (puasa) bulan
Ramadhân dengan sengaja, berpuasa setahun penuh
tidak bisa menggantinya”.
[Ibnu Hazm, al-Muhalla, 6/184]
14. Bahkan sahabat Ali bin Abi Thâlib memberikan hukuman
dera (pukulan) kepada orang yang berbuka di bulan
Ramadhân (dengan sengaja tanpa udzur):
.
Dari Atha’ bin Abi Maryam, dari bapaknya, bahwa An-Najasyi
dihadapkan kepada Ali bin Abi Thâlib, dia telah minum khamr di
bulan Ramadhân. Ali memukulnya 80 kali, kemudian esoknya dia
memukulnya lagi 20 kali. Ali berkata, “Kami memukulmu 20 kali
karena kelancanganmu terhadap Allâh dan karena engkau
berbuka di bulan Ramadhân”. [Ibnu Hazm, al-Muhalla, 6/184]
an-Najasyi ini adalah seorang penyair, namanya Qais bin
‘Amr al-Hâritsi. Dia mengikuti Ali sampai Ali menderanya,
kemudian dia lari menuju Mu’awiyah. (al-Jâmi’ li Ahkâmis
Shiyâm, 1/60)
15. Barangsiapa yang meninggalkan satu jenis
ibadah yang sudah ditentukan waktunya,
sampai keluar dari waktu yang sudah
ditentukan tersebut (sampai batas waktunya
berahir), tanpa ada alasan yang bisa
dibenarkan oleh syariat (tanpa udzur syar’i),
kemudian dia bertaubat, maka dia tidak
perlu meng-qadha’ ibadah yang telah dia
tinggalkan tersebut.
Hal ini karena ibadah yang ditentukan
waktunya tersebut, sudah dibatasi waktu
awal dan waktu akhir untuk melaksanakannya.
17. Bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan)
Al Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-
penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak
dan yang batil). Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di
negeri tempat inggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa
pada bulan itu, dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan
(lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa),
sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang
lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu
mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan
Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu
bersyukur”
(QS. Al Baqarah: 185)
18. • Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam :
Sesungguhnya agama itu mudah. Orang yang berlebihan dalam
agama akan kesusahan. Maka istiqamahlah, atau mendekati
istiqamah, lalu bersiaplah menerima kabar gembira”
(HR. Bukhari no.39)
• Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di menjelaskan makna
hadits tersebut,
“Maksudnya, agama Islam itu ringan dan mudah, baik dalam
aqidah, akhlak, amal-amal ibadah, perintah dan larangannya…
semuanya ringan dan mudah. Setiap mukallaf akan merasa mampu
melaksanakannya, tanpa kesulitan dan tanpa merasa terbebani.
Aqidah Islam itu ringan, akan diterima oleh akan sehat dan fitrah
yang lurus. Kewajiban-kewajiban dalam Islam juga perkara yang
sangat mudah”
(Bahjah Qulub Al Abrar, 1/106)
19. Allah tidak membebani manusia kecuali sesuai kemampuannya” (QS.
Al Baqarah: 286)
• Bahkan, aturan syariat yang mudah inipun ketika dalam suatu
keadaan seseorang mengalami kesulitan yang besar dalam
melaksanakannya, maka berlaku kaidah:
“Adanya kesulitan menyebabkan timbulnya kemudahan”
• Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di menjelaskan:
“Dengan semua kemudahan dalam hukum-hukum Islam ini, jika
seseorang mengalami hal yang tidak biasa, yang menyebabkan dia
tidak mampu atau sangat tersulitkan dalam menjalankannya, ia
diberikan keringanan yang disesuaikan dengan keadaannya” (Qawa’id
Wal Ushul Al-Jami’ah, 1/50)
20.
21. Batas Ukuran Safar
Jarak disebut safar jika telah mencapai 48 mil
atau 85 km.
Ini pendapat dari mayoritas ulama dari kalangan Syafi’i,
Hambali dan Maliki. Dalil mereka adalah hadits,
َ
َ
ان
َ
كَ
و
َ
نْاب
ََ
ر َمع
َ
نْاب َ
و
َ
اسَّب
َ
ع – َ
رض
هللا
عنهم – َ
انَ
ُص
ْ
قَي
َ
انَ
رط
ْ
في َ
و
َ
ف
ََبْ
ر
َ
أ
َ
ِ ََع
َ
درب
ََ ْ
ه َ
و
َ
َّ
تس
َ
َ
ِ
ََ َ
ش
َع
ا
ً
خ َ
سْ
ر
َ
ف
“Dahulu Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu
‘anhum mengqashar shalat dan tidak berpuasa ketika
bersafar menempuh jarak 4 burud (yaitu: 16 farsakh).” (HR.
Bukhari secara mu’allaq –tanpa sanad-. Diwasholkan oleh Al Baihaqi 3:
137. Al Irwa’ 565)
Sanggahan: Hadits di atas bukan menunjukkan batasan jarak
disebut bersafar sehingga boleh mengqashar shalat.
22. Disebut safar jika telah melakukan perjalanan
dengan berjalan selama tiga hari tiga malam.
Ini pendapat ulama Hanafiyah. Dalil mereka adalah hadits dari
Ibnu ‘Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Janganlah seseorang itu bersafar selama tiga hari kecuali
bersama mahramnya.” (HR. Bukhari no. 1086; Muslim no. 1338)
Dari ‘Ali berkata,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan tiga hari
tiga malam sebagai jangka waktu mengusap khuf bagi musafir,
sedangkan sehari semalam untuk mukim.” (HR. Muslim no. 276)
Sanggahan: Dua hadits di atas juga tidak menunjukkan
batasan jarak safar.
23. Tidak ada batasan untuk jarak safar, selama sudah
disebut safar, maka sudah boleh mengqashar shalat.
Inilah pendapat Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim dan madzhab
Zhahiri.
Ada hadits yang menyebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam pernah menempuh jarak kurang dari yang tadi
disebutkan. Namun ketika itu beliau sudah mengqashar shalat.
“Dari Yahya bin Yazid Al Huna-i, ia berkata, “Aku pernah
bertanya pada Anas bin Malik mengenai qashar shalat. Anas
menyebutkan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
menempuh jarak 3 mil atau 3 farsakh –Syu’bah ragu akan
penyebutan hal ini-, lalu beliau melaksanakan shalat dua
raka’at (qashar shalat).” (HR. Muslim no. 691).
24. Ibnu Hajar Al Asqolani menyatakan,
“Itulah hadits yang paling shahih yang
menerangkan masalah jarak safar untuk bisa
mengqashar shalat. Itulah hadits yang paling
tegas.” (Fathul Bari, 2: 567)
Jumhur ulama (mayoritas ulama) yang menyelisihi
pendapat di atas, mereka menyanggah bahwa jarak
yang dimaksud dalam hadits adalah jarak saat
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mulai qashar,
bukan jarak tujuan yang ingin dicapai.
25. Dalil lain yang mendukung pendapat ketiga ini adalah
hadits dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia
berkata,
“Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata
bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
shalat di Madinah empat raka’at, dan di Dzul
Hulaifah (saat ini disebut dengan: Bir Ali) shalat
sebanyak dua raka’at.” (HR. Bukhari no. 1089 dan
Muslim no. 690).
Padahal jarak antara Madinah dan Bir Ali hanya
sekitar tiga mil.
26. 2. Orang yang memiliki udzur tetap, yaitu :
Orang lanjut usia yang tidak lagi mampu
berpuasa,
Orang sakit menahun,
Orang yang penghidupannya adalah dengan
bekerja berat seperti pekerja tambang,
pelabuhan atau semacam itu yang apabila
berpuasa mereka akan mengalami kesulitan
besar dan merasa teramat berat dan
menderita.
Termasuk juga kategori ini adalah wanita
hamil dan menyusui.
27. Diberi rukhsah (dispensasi, keringanan)
untuk tidak berpuasa, tetapi diwajibkan
membayar fidyah, yaitu memberi makan
satu orang miskin untuk satu hari tidak
puasa dengan kadar sekurang-kurangnya
satu mud bahan pangan pokok (6 ons).
Dan wajib atas orang-orang yang berat
menjalankannya membayar fidyah (jika
mereka tidak berpuasa), yaitu: memberi
makan seorang miskin [QS. Al Baqarah, 2: 184]
28. Akan tetapi, sesuai dengan akhir ayat 184 al-Baqarah,
jika mereka ini masih mampu dan mengupayakan untuk
berpuasa, maka hal itu lebih baik,
Karena bagaimanapun berpuasa akan memperoleh
kebaikan dunia dan akhirat sedangkan membayar
fidyah hanya bersifat menutup dan menggugurkan
kewajiban
Dan atas orang-orang yang berat menjalankannya wajib
membayar fidyah (jika mereka tidak berpuasa), yaitu:
memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan
kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itu adalah lebih
baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika
kamu mengetahui [Q. 2: 184].
29. Jika seandainya mereka miskin sehingga
tidak mampu membayar fidyah, maka
tidak ada kewajiban membayar fidyah,
sesuai dengan firman Allah,
Allah tidak akan membebani seseorang
kecuali sebatas kemampuannya
[QS. Al Baqarah: 286]
30. Rincian Yang Mendapat Keringanan Tidak
Berpuasa
A. Orang sakit ketika sulit berpuasa.
Yang dimaksudkan sakit adalah seseorang
yang mengidap penyakit yang membuatnya
tidak lagi dikatakan sehat.
Para ulama telah sepakat mengenai bolehnya
orang sakit untuk tidak berpuasa secara
umum. Nanti ketika sembuh, dia diharuskan
mengqodho’ puasanya (menggantinya di hari
lain).
31. Untuk orang sakit ada tiga kondisi:
1. Apabila sakitnya ringan dan tidak berpengaruh
apa-apa jika tetap berpuasa, seperti: pilek, pusing
atau sakit kepala yang ringan, dan perut
keroncongan.
Untuk kondisi pertama ini tetap diharuskan
untuk berpuasa.
2. Apabila sakitnya bisa bertambah parah atau akan
menjadi lama sembuhnya dan menjadi berat jika
berpuasa, namun hal ini tidak membahayakan.
Untuk kondisi ini dianjurkan untuk tidak
berpuasa dan dimakruhkan jika tetap
ingin berpuasa.
32. 3.Apabila tetap berpuasa akan
menyusahkan dirinya bahkan bisa
mengantarkan pada kematian.
Untuk kondisi ini diharamkan untuk
berpuasa.
Dan janganlah kamu membunuh dirimu.”
(QS. An Nisa’: 29)
(Shahih Fiqh Sunnah, 2/118-120.)
33. B. Orang yang bersafar ketika sulit
berpuasa.
Musafir yang melakukan perjalanan jauh
sehingga mendapatkan keringanan untuk
mengqoshor shalat dibolehkan untuk tidak
berpuasa.
Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari
yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.”
(QS. Al Baqarah: 185)
34. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Hamzah bin ‘Amr al
Aslamiy bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
–
–
Apakah aku boleh puasa ketika safar ? (Hamzah adalah orang yang
banyak puasa). Maka Nabi menjawab: “Berpuasalah jika engkau
mau, dan jangan puasa jika engkau suka” [HR. Bukhari
(1943);Muslim (1121)]
Dari Hamzah bin Amr radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau berkata:
Wahai Rasulullah aku merasa bahwa aku ini mampu puasa ketika bersafar.
Apakah aku berdosa (ketika puasa saat safar) ? Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda: “Itu adalah keringanan (rukhshah) dari
Allah. Barangsiapa yang mengambil keringanan tadi, maka
itu baik dan barangsiapa yang lebih suka puasa, maka
tidak ada dosa baginya” [HR. Muslim Muslim (1122), Abu Dawud
(2402), An Nasai (2294)]
35. Musafir ada tiga kondisi:
1. Kondisi pertama adalah jika berat untuk berpuasa atau sulit
melakukan hal-hal yang baik ketika itu, maka lebih utama untuk
tidak berpuasa. Dalil hadits Jabir bin ‘Abdillah,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika bersafar melihat
orang yang berdesak-desakan. Lalu ada seseorang yang diberi
naungan. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,
“Siapa ini?” Orang-orang pun mengatakan, “Ini adalah orang yang
sedang berpuasa.” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Bukanlah suatu yang baik jika seseorang berpuasa
ketika dia bersafar”.
(HR. Bukhari no. 1946 dan Muslim no. 1115)
Di sini dikatakan tidak baik berpuasa ketika safar
karena ketika itu adalah kondisi yang menyulitkan.
36. Ketika puasa membuat dirinya tidak bisa melakukan
kegiatan secara normal. Sehingga dia lebih membutuhkan
bantuan orang lain. Dalam kondisi ini lebih dianjurkan
tidak berpuasa.
Sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu menceritakan,
Kami pernah safar bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Orang yang paling bisa berteduh adalah yang punya banyak
kain. Mereka berteduh dengan kain. Mereka yang puasa,
tidak bisa melakukan apapun. Sementara mereka yang
tidak puasa, mereka menggiring onta, melayani yang
puasa, mengambilkan air, memasak, dan membuat tenda.
Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkomentar,
Hari ini yang tidak puasa, memborong pahala.
(HR. Bukhari 2890; Muslim 2678)
37. 2.Kondisi kedua adalah jika tidak memberatkan untuk berpuasa dan
tidak menyulitkan untuk melakukan berbagai hal kebaikan, maka pada
saat ini lebih utama untuk berpuasa. Hal ini sebagaimana dicontohkan
oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, di mana beliau masih tetap
berpuasa ketika safar. Dari Abu Darda’, beliau berkata,
–
–
–
–
“Kami pernah keluar bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di beberapa
safarnya pada hari yang cukup terik. Sehingga ketika itu orang-orang
meletakkan tangannya di kepalanya karena cuaca yang begitu panas. Di
antara kami tidak ada yang berpuasa. Hanya Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam saja dan Ibnu Rowahah yang berpuasa ketika itu.”
(HR. Bukhari no. 1945 dan Muslim no. 1122)
Apabila tidak terlalu menyulitkan ketika safar, maka puasa itu lebih
baik karena lebih cepat terlepasnya kewajiban.
Begitu pula hal ini lebih mudah dilakukan karena berpuasa dengan orang
banyak itu lebih menyenangkan daripada mengqodho’ puasa sendiri
sedangkan orang-orang tidak berpuasa.
38. 3. Kondisi ketiga adalah jika berpuasa akan mendapati kesulitan yang
berat bahkan dapat mengantarkan pada kematian, maka pada saat ini
wajib tidak berpuasa dan diharamkan untuk berpuasa. Dari Jabir bin
‘Abdillah, berkata,
Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar pada tahun
Fathul Makkah (8 H) menuju Makkah di bulan Ramadhan. Beliau ketika itu
berpuasa. Kemudian ketika sampai di Kuroo’ Al Ghomim (suatu lembah
antara Mekkah dan Madinah), orang-orang ketika itu masih berpuasa.
Kemudian beliau meminta diambilkan segelas air. Lalu beliau mengangkatnya
dan orang-orang pun memperhatikan beliau. Lantas beliau pun meminum air
tersebut. Setelah beliau melakukan hal tadi, ada yang mengatakan,
“Sesungguhnya sebagian orang ada yang tetap berpuasa.” Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengatakan, “Mereka itu adalah orang yang
durhaka. Mereka itu adalah orang yang durhaka”.”(HR. Muslim no. 1114)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencela keras seperti ini karena
berpuasa dalam kondisi sangat sulit adalah sesuatu yang tercela.
39. Waktu diperbolehkan tidak berpuasa bagi musafir
1. Jika safar dimulai sebelum terbit fajar atau ketika fajar
sedang terbit dan dalam keadaan bersafar, lalu diniatkan
untuk tidak berpuasa pada hari itu; untuk kondisi semacam ini
diperbolehkan untuk tidak berpuasa berdasarkan
kesepakatan para ulama. Alasannya, pada kondisi semacam ini
sudah disebut musafir karena sudah adanya sebab yang
memperbolehkan untuk tidak berpuasa.
2. Jika safar dilakukan setelah fajar (atau sudah di waktu
siang), maka menurut pendapat Imam Ahmad yang lain, juga
pendapat Ishaq dan Al Hasan Al Bashri, dan pendapat ini juga
dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, boleh berbuka
(tidak berpuasa) di hari itu. Inilah pendapat yang lebih kuat.
Dalil dari pendapat adalah keumuman firman Allah Ta’ala,
Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka),
maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang
ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 185)
40. Dari Muhammad bin Ka’ab. Dia mengatakan,
Aku pernah mendatangi Anas bin Malik di bulan Ramadhan. Saat ini itu Anas juga
ingin melakukan safar. Dia pun sudah mempersiapkan kendaraan dan sudah
mengenakan pakaian untuk bersafar. Kemudian beliau meminta makanan, lantas
beliau pun memakannya. Kemudian aku mengatakan pada Annas, “Apakah ini
termasuk sunnah (ajaran Nabi)?” Beliau mengatakan, “Ini termasuk sunnah.” Lantas
beliau pun berangkat dengan kendaraannya.”(HR. Tirmidzi no. 799)
3. Jika berniat puasa padahal sedang bersafar, kemudian
karena suatu sebab di tengah perjalanan berbuka, maka hal
ini diperbolehkan. Dari Abu Darda’, beliau berkata,
–
–
–
–
Kami pernah keluar bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di beberapa
safarnya pada hari yang cukup terik. Sehingga ketika itu orang-orang meletakkan
tangannya di kepalanya karena cuaca yang begitu panas. Di antara kami tidak ada
yang berpuasa. Hanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja dan Ibnu Rowahah yang
berpuasa ketika itu.”[HR. Bukhari no. 1945 dan Muslim no. 1122)
41. C. Orang yang sudah tua rentah dan dalam keadaan
lemah, juga orang sakit yang tidak kunjung
sembuh.
Para ulama sepakat bahwa orang tua yang tidak mampu
berpuasa, boleh baginya untuk tidak berpuasa dan tidak
ada qodho baginya.
Menurut mayoritas ulama, cukup bagi mereka untuk
memberi fidyah yaitu memberi makan kepada orang
miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan.
ىَلَع َو
ينِكْسِم ُماَعَط ٌةَيْدِف ُهَنوُقيِطُي َِينذَّال
“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya
(jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu):
memberi makan seorang miskin.” (QS. Al Baqarah: 184)
Begitu pula orang sakit yang tidak kunjung sembuh, dia
disamakan dengan orang tua renta yang tidak mampu
melakukan puasa sehingga dia diharuskan
mengeluarkan fidyah (memberi makan kepada orang
miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan).
42. D. Wanita hamil dan menyusui.
Jika wanita hamil dan atau menyusui khawatir
terhadap kesehatan dirinya dan atau janin yang
berada dalam kandungannya karena berpuasa,
maka boleh baginya untuk tidak berpuasa, dan
hal ini tidak ada perselisihan di antara para
ulama.
َْطش ِ
رِفاَسُمْال ِنَع َعَض َو َّلَج َو َّزَع َ َّ
َّللا َّنِإ
َحْال َو ِ
رِفاَسُمْال ِنَع َو ِةَالَّصال َر
ِلِام
َامَيِّ ِ
الص ِوَأ َم ْوَّصال ِع ِ
ض ْرُمْال َو
“Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla meringankan
setengah shalat untuk musafir dan meringankan
puasa bagi musafir, wanita hamil dan
menyusui.”(HR. An Nasai no. 2275, Ibnu Majah no.
1667, dan Ahmad 4/347)
43. Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata,
“Keringanan dalam hal ini adalah bagi orang yang tua renta
dan wanita tua renta, lalu mereka mampu berpuasa. Mereka
berdua berbuka jika mereka mau dan memberi makan
kepada orang miskin setiap hari yang ditinggalkan, pada
saat ini tidak ada qodho’ bagi mereka. Kemudian hal ini
dihapus dengan ayat (yang artinya): “Karena itu, barang
siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di
bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu”.
Namun hukum fidyah ini masih tetap ada bagi orang yang
tua renta dan wanita tua renta jika mereka tidak mampu
berpuasa. Kemudian bagi wanita hamil dan menyusui jika
khawatir mendapat bahaya, maka dia boleh berbuka (tidak
berpuasa) dan memberi makan orang miskin bagi setiap
hari yang ditinggalkan.”
(Ibnul Jarud, Al Muntaqho dan Al Baihaqi. Irwa’ul Gholil 4/18)
44. Dari Ibnu ‘Abbas, mengenai firman Allah (yang
artinya), “Dan wajib bagi orang-orang yang berat
menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa)
membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang
miskin,”(QS. Al baqarah 184) beliau mengatakan, “Ayat
ini menunjukkan keringanan bagi laki-laki dan
perempuan yang sudah tua renta dan mereka merasa
berat berpuasa, mereka dibolehkan untuk tidak
berpuasa, namun mereka diharuskan untuk memberi
makan setiap hari satu orang miskin sebagai ganti tidak
berpuasa. Hal ini juga berlaku untuk wanita hamil dan
menyusui jika keduanya khawatir –Abu Daud
mengatakan: khawatir pada keselamatan anaknya-,
mereka dibolehkan tidak berpuasa, namun keduanya
tetap memberi makan (kepada orang miskin).”
(HR. Abu Daud no. 2318)
45. Dari Ibnu ‘Abbas, beliau dulu pernah menyuruh wanita hamil
untuk tidak berpuasa di bulan Ramadhan. Beliau mengatakan,
“Engkau seperti orang tua yang tidak mampu berpuasa, maka
berbukalah dan berilah makan kepada orang miskin setengah
sho’ gandum untuk setiap hari yang ditinggalkan.”(HR. ‘Abdur
Razaq)
Dari Ibnu ‘Umar. Dari Nafi’ berkata,
“Putri Ibnu Umar yang menikah dengan orang Quraisy sedang
hamil. Ketika berpuasa di bulan Ramadhan, dia
merasa kehausan. Kemudian Ibnu ‘Umar memerintahkan
putrinya tersebut untuk berbuka dan memberi makan orang
miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan.”
(Irwa’ul Gholil, 4/20)