SlideShare a Scribd company logo
1 of 45
Download to read offline
‫الرمضانية‬ ‫فقه‬
FIQH Ramadhan
(Hukum dan
Keringana Puasa)
Solin Al Banjari
Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang
dalam tentang Al Quran dan As Sunnah) kepada siapa
yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi
hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang
banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang
dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).”
(QS. Al Baqarah: 269)
ORANG YANG WAJIB BERPUASA
‫َا‬
‫ه‬ُّ
‫ي‬َ
‫أ‬‫َا‬
‫ي‬
‫ُوا‬
‫ن‬َ
‫م‬‫آ‬َ
‫ن‬‫ي‬ِ
‫ذ‬َّ
‫ل‬‫ا‬
َ
‫ن‬‫ي‬ِ
‫ذ‬َّ
‫ل‬‫ا‬‫َى‬
‫ل‬َ
‫ع‬َ
‫ب‬ِ
‫ت‬ُ
‫ك‬‫َا‬
‫م‬َ
‫ك‬ُ
‫م‬‫َا‬
‫ي‬ِّ
ِ
‫ص‬‫ل‬‫ا‬ُ
‫م‬ُ
‫ك‬ْ
‫ي‬َ
‫ل‬َ
‫ع‬َ
‫ب‬ِ
‫ت‬ُ
‫ك‬
ْ
‫م‬ُ
‫ك‬َّ
‫َل‬
‫ع‬َ
‫ل‬ْ
‫م‬ُ
‫ك‬ِ
‫ل‬ْ
‫ب‬َ
‫ق‬ْ
‫ن‬ِ
‫م‬
َ
‫ن‬‫ُو‬
‫ق‬َّ
‫َت‬
‫ت‬
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan
atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan
atas orang-orang sebelum kamu
supaya kalian bertaqwa.”
(Q.S. Al-Baqarah 2 : 183)
Muslim/Mukmin
Ketentuan ini berdasarkan pada QS. al-Baqarah : 183
yang menegaskan bahwa yang terkena kewajiban
menjalankan ibadah puasa Ramadhan hanyalah orang-
orang mukmin.
Berakal sehat
Baligh
”Dari Aisyah bahwa Nabi SAW bersabda: ”Tiga golongan yang
terlepas dari hukum (syara’), yaitu orang yang sedang tidur
sehingga bangun, orang gila sehingga sadar dan anak-anak
sehingga baligh”(HR. Abu Dawud dan Nasa’i)”.
Sehat
”maka barangsiapa diantara kalian sakit atau
dalam perjalanan maka (wajiblah baginya
berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu
pada hari-hari yang lain”. (QS. Al Baqarah: 184)
Dari penegasan ini dapat diambil
pemahaman (mafhum mukholafah) bahwa
orang yang sakit tidak ada kewajiban untuk
berpuasa.
Orang yang mukim
Pemahaman (mafhum mukholafah) QS. al-
Baqarah : 184.
Orang yang sedang tidak haid atau nifas
”Dari ‘Aisyah RA berkata: “Adalah kami haid di
masa Rasulullah, maka kami diperintahkan agar
mengqadha puasa dan kami tidak diperintahkan
untuk mengqadha shalat”.(HR. Jama’ah)
Hukum yang Meninggalkannya Puasa
Ramadhan Tanpa Udzur (alasan) Syar’i
Dari Abu Umâmah al-Bâhili, dia berkata: Aku mendengar
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ketika aku
sedang tidur, tiba-tiba ada dua laki-laki yang mendatangiku,
keduanya memegangi kedua lenganku, kemudian membawaku ke
sebuah gunung terjal. Keduanya berkata kepadaku, “Naiklah!”
Aku menjawab, “Aku tidak mampu”. Keduanya berkata, “Kami
akan memudahkannya untukmu”. Maka aku naik. Ketika aku
berada di tengah gunung itu, tiba-tiba aku mendengar suara-
suara yang keras, maka aku bertanya, “Suara apa itu?” Mereka
menjawab, “Itu teriakan penduduk neraka”.
Kemudian aku dibawa, tiba-tiba aku melihat
sekelompok orang tergantung (terbalik)
dengan urat-urat kaki mereka (di sebelah
atas), ujung-ujung mulut mereka sobek
mengalirkan darah. Aku bertanya, “Mereka
itu siapa?” Mereka menjawab, “Mereka
adalah orang-orang yang berbuka puasa
sebelum waktunya”.
[HR. Nasâ’i dalam as-Sunan al-Kubra, no. 3273; Ibnu Hibbân;
Ibnu Khuzaimah; al-Baihaqi, 4/216; al-Hâkim, no. 1568; ath-
Thabarani dalam Mu’jamul Kabîr. Dishahihkan oleh al-Hâkim,
adz-Dzahabi, al-Haitsami. Lihat: al-Jâmi’ li Ahkâmis Shiyâm,
1/60]
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa berbuka
sehari dari (puasa) bulan Ramadhân bukan dengan (alasan)
keringanan yang Allâh berikan kepadanya, maka tidak akan
diterima darinya (walaupun dia berpuasa) setahun
semuanya. [HR. Ahmad, no. 9002; Abu Dâwud, no. 2396; Ibnu
Khuzaimah, no.1987; dll]
 Namun hadits didha’ifkan oleh Imam Ibnu Khuzaimah, syaikh
Syu’aib al-Arnauth, syaikh al-Albani, dan lainnya, karena ada
perawi yang tidak dikenal yang bernama Ibnul Muqawwis.
 Walaupun hadits ini lemah secara marfû’ (riwayat dari Nabi)
akan tetapi banyak riwayat dari para sahabat yang
menguatkannya.
 Dari Abdulah bin Mas’ûd Radhiyallahu anhu berkata:
Barangsiapa berbuka sehari dari (puasa) bulan Ramadhân
dengan tanpa keringanan, dia bertemu Allâh dengannya, walaupun
dia berpuasa setahun semuanya, (namun) jika Allâh menghendaki,
Dia akan mengampuninya, dan jika Allâh menghendaki, Dia
akan menyiksanya”.
[HR.Thabarani, no. 9459, dihasankan oleh syaikh Al-Albani, tetapi riwayat
yang marfû’ didha’ifkan. (Dha’if Abi Dawud –Al-Umm- 2/275)]
 Dari Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu, berkata:
Barangsiapa berbuka sehari dari (puasa) bulan Ramadhân dengan
sengaja, berpuasa setahun penuh tidak bisa menggantinya”.
[Ibnu Hazm dalam al-Muhalla, 6/184]
 Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwa ada seorang
laki-laki berbuka di bulan Ramadhân dia berkata :
Berpuasa setahun penuh tidak bisa menggantinya.
[Ibnu Hazm, al-Muhalla, 6/184]
 Dari Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu, berkata:
Barangsiapa berbuka sehari dari (puasa) bulan
Ramadhân dengan sengaja, berpuasa setahun penuh
tidak bisa menggantinya”.
[Ibnu Hazm, al-Muhalla, 6/184]
 Bahkan sahabat Ali bin Abi Thâlib memberikan hukuman
dera (pukulan) kepada orang yang berbuka di bulan
Ramadhân (dengan sengaja tanpa udzur):
.
Dari Atha’ bin Abi Maryam, dari bapaknya, bahwa An-Najasyi
dihadapkan kepada Ali bin Abi Thâlib, dia telah minum khamr di
bulan Ramadhân. Ali memukulnya 80 kali, kemudian esoknya dia
memukulnya lagi 20 kali. Ali berkata, “Kami memukulmu 20 kali
karena kelancanganmu terhadap Allâh dan karena engkau
berbuka di bulan Ramadhân”. [Ibnu Hazm, al-Muhalla, 6/184]
 an-Najasyi ini adalah seorang penyair, namanya Qais bin
‘Amr al-Hâritsi. Dia mengikuti Ali sampai Ali menderanya,
kemudian dia lari menuju Mu’awiyah. (al-Jâmi’ li Ahkâmis
Shiyâm, 1/60)
 Barangsiapa yang meninggalkan satu jenis
ibadah yang sudah ditentukan waktunya,
sampai keluar dari waktu yang sudah
ditentukan tersebut (sampai batas waktunya
berahir), tanpa ada alasan yang bisa
dibenarkan oleh syariat (tanpa udzur syar’i),
kemudian dia bertaubat, maka dia tidak
perlu meng-qadha’ ibadah yang telah dia
tinggalkan tersebut.
 Hal ini karena ibadah yang ditentukan
waktunya tersebut, sudah dibatasi waktu
awal dan waktu akhir untuk melaksanakannya.
Keringanan Berpuasa
Bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan)
Al Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-
penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak
dan yang batil). Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di
negeri tempat inggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa
pada bulan itu, dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan
(lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa),
sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang
lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu
mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan
Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu
bersyukur”
(QS. Al Baqarah: 185)
• Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam :
Sesungguhnya agama itu mudah. Orang yang berlebihan dalam
agama akan kesusahan. Maka istiqamahlah, atau mendekati
istiqamah, lalu bersiaplah menerima kabar gembira”
(HR. Bukhari no.39)
• Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di menjelaskan makna
hadits tersebut,
“Maksudnya, agama Islam itu ringan dan mudah, baik dalam
aqidah, akhlak, amal-amal ibadah, perintah dan larangannya…
semuanya ringan dan mudah. Setiap mukallaf akan merasa mampu
melaksanakannya, tanpa kesulitan dan tanpa merasa terbebani.
Aqidah Islam itu ringan, akan diterima oleh akan sehat dan fitrah
yang lurus. Kewajiban-kewajiban dalam Islam juga perkara yang
sangat mudah”
(Bahjah Qulub Al Abrar, 1/106)
Allah tidak membebani manusia kecuali sesuai kemampuannya” (QS.
Al Baqarah: 286)
• Bahkan, aturan syariat yang mudah inipun ketika dalam suatu
keadaan seseorang mengalami kesulitan yang besar dalam
melaksanakannya, maka berlaku kaidah:
“Adanya kesulitan menyebabkan timbulnya kemudahan”
• Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di menjelaskan:
“Dengan semua kemudahan dalam hukum-hukum Islam ini, jika
seseorang mengalami hal yang tidak biasa, yang menyebabkan dia
tidak mampu atau sangat tersulitkan dalam menjalankannya, ia
diberikan keringanan yang disesuaikan dengan keadaannya” (Qawa’id
Wal Ushul Al-Jami’ah, 1/50)
Batas Ukuran Safar
Jarak disebut safar jika telah mencapai 48 mil
atau 85 km.
Ini pendapat dari mayoritas ulama dari kalangan Syafi’i,
Hambali dan Maliki. Dalil mereka adalah hadits,
َ
َ
‫ان‬
َ
‫ك‬َ
‫و‬
َ
‫ن‬ْ‫اب‬
ََ
‫ر‬ َ‫م‬‫ع‬
َ
‫ن‬ْ‫اب‬ َ
‫و‬
َ
‫اس‬َّ‫ب‬
َ
‫ع‬ – َ
‫رض‬
‫هللا‬
‫عنهم‬ – َ
‫ان‬َ
‫ُص‬
ْ
‫ق‬َ‫ي‬
َ
‫ان‬َ
‫ر‬‫ط‬
ْ
‫ف‬‫ي‬ َ
‫و‬
َ
‫ف‬
ََ‫ب‬ْ
‫ر‬
َ
‫أ‬
َ
ِ َ‫َع‬
َ
‫د‬‫ر‬‫ب‬
ََ ْ
‫ه‬ َ
‫و‬
َ
َّ
‫ت‬‫س‬
َ
َ
ِ
ََ َ
‫ش‬
َ‫ع‬
‫ا‬
ً
‫خ‬ َ
‫س‬ْ
‫ر‬
َ
‫ف‬
“Dahulu Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu
‘anhum mengqashar shalat dan tidak berpuasa ketika
bersafar menempuh jarak 4 burud (yaitu: 16 farsakh).” (HR.
Bukhari secara mu’allaq –tanpa sanad-. Diwasholkan oleh Al Baihaqi 3:
137. Al Irwa’ 565)
Sanggahan: Hadits di atas bukan menunjukkan batasan jarak
disebut bersafar sehingga boleh mengqashar shalat.
Disebut safar jika telah melakukan perjalanan
dengan berjalan selama tiga hari tiga malam.
Ini pendapat ulama Hanafiyah. Dalil mereka adalah hadits dari
Ibnu ‘Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Janganlah seseorang itu bersafar selama tiga hari kecuali
bersama mahramnya.” (HR. Bukhari no. 1086; Muslim no. 1338)
Dari ‘Ali berkata,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan tiga hari
tiga malam sebagai jangka waktu mengusap khuf bagi musafir,
sedangkan sehari semalam untuk mukim.” (HR. Muslim no. 276)
Sanggahan: Dua hadits di atas juga tidak menunjukkan
batasan jarak safar.
 Tidak ada batasan untuk jarak safar, selama sudah
disebut safar, maka sudah boleh mengqashar shalat.
Inilah pendapat Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim dan madzhab
Zhahiri.
Ada hadits yang menyebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam pernah menempuh jarak kurang dari yang tadi
disebutkan. Namun ketika itu beliau sudah mengqashar shalat.
“Dari Yahya bin Yazid Al Huna-i, ia berkata, “Aku pernah
bertanya pada Anas bin Malik mengenai qashar shalat. Anas
menyebutkan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
menempuh jarak 3 mil atau 3 farsakh –Syu’bah ragu akan
penyebutan hal ini-, lalu beliau melaksanakan shalat dua
raka’at (qashar shalat).” (HR. Muslim no. 691).
Ibnu Hajar Al Asqolani menyatakan,
“Itulah hadits yang paling shahih yang
menerangkan masalah jarak safar untuk bisa
mengqashar shalat. Itulah hadits yang paling
tegas.” (Fathul Bari, 2: 567)
Jumhur ulama (mayoritas ulama) yang menyelisihi
pendapat di atas, mereka menyanggah bahwa jarak
yang dimaksud dalam hadits adalah jarak saat
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mulai qashar,
bukan jarak tujuan yang ingin dicapai.
Dalil lain yang mendukung pendapat ketiga ini adalah
hadits dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia
berkata,
“Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata
bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
shalat di Madinah empat raka’at, dan di Dzul
Hulaifah (saat ini disebut dengan: Bir Ali) shalat
sebanyak dua raka’at.” (HR. Bukhari no. 1089 dan
Muslim no. 690).
 Padahal jarak antara Madinah dan Bir Ali hanya
sekitar tiga mil.
2. Orang yang memiliki udzur tetap, yaitu :
Orang lanjut usia yang tidak lagi mampu
berpuasa,
Orang sakit menahun,
Orang yang penghidupannya adalah dengan
bekerja berat seperti pekerja tambang,
pelabuhan atau semacam itu yang apabila
berpuasa mereka akan mengalami kesulitan
besar dan merasa teramat berat dan
menderita.
Termasuk juga kategori ini adalah wanita
hamil dan menyusui.
Diberi rukhsah (dispensasi, keringanan)
untuk tidak berpuasa, tetapi diwajibkan
membayar fidyah, yaitu memberi makan
satu orang miskin untuk satu hari tidak
puasa dengan kadar sekurang-kurangnya
satu mud bahan pangan pokok (6 ons).
Dan wajib atas orang-orang yang berat
menjalankannya membayar fidyah (jika
mereka tidak berpuasa), yaitu: memberi
makan seorang miskin [QS. Al Baqarah, 2: 184]
 Akan tetapi, sesuai dengan akhir ayat 184 al-Baqarah,
jika mereka ini masih mampu dan mengupayakan untuk
berpuasa, maka hal itu lebih baik,
 Karena bagaimanapun berpuasa akan memperoleh
kebaikan dunia dan akhirat sedangkan membayar
fidyah hanya bersifat menutup dan menggugurkan
kewajiban
Dan atas orang-orang yang berat menjalankannya wajib
membayar fidyah (jika mereka tidak berpuasa), yaitu:
memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan
kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itu adalah lebih
baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika
kamu mengetahui [Q. 2: 184].
Jika seandainya mereka miskin sehingga
tidak mampu membayar fidyah, maka
tidak ada kewajiban membayar fidyah,
sesuai dengan firman Allah,
Allah tidak akan membebani seseorang
kecuali sebatas kemampuannya
[QS. Al Baqarah: 286]
Rincian Yang Mendapat Keringanan Tidak
Berpuasa
A. Orang sakit ketika sulit berpuasa.
 Yang dimaksudkan sakit adalah seseorang
yang mengidap penyakit yang membuatnya
tidak lagi dikatakan sehat.
 Para ulama telah sepakat mengenai bolehnya
orang sakit untuk tidak berpuasa secara
umum. Nanti ketika sembuh, dia diharuskan
mengqodho’ puasanya (menggantinya di hari
lain).
Untuk orang sakit ada tiga kondisi:
1. Apabila sakitnya ringan dan tidak berpengaruh
apa-apa jika tetap berpuasa, seperti: pilek, pusing
atau sakit kepala yang ringan, dan perut
keroncongan.
 Untuk kondisi pertama ini tetap diharuskan
untuk berpuasa.
2. Apabila sakitnya bisa bertambah parah atau akan
menjadi lama sembuhnya dan menjadi berat jika
berpuasa, namun hal ini tidak membahayakan.
 Untuk kondisi ini dianjurkan untuk tidak
berpuasa dan dimakruhkan jika tetap
ingin berpuasa.
3.Apabila tetap berpuasa akan
menyusahkan dirinya bahkan bisa
mengantarkan pada kematian.
 Untuk kondisi ini diharamkan untuk
berpuasa.
Dan janganlah kamu membunuh dirimu.”
(QS. An Nisa’: 29)
(Shahih Fiqh Sunnah, 2/118-120.)
B. Orang yang bersafar ketika sulit
berpuasa.
 Musafir yang melakukan perjalanan jauh
sehingga mendapatkan keringanan untuk
mengqoshor shalat dibolehkan untuk tidak
berpuasa.
Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari
yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.”
(QS. Al Baqarah: 185)
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Hamzah bin ‘Amr al
Aslamiy bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
–
–
Apakah aku boleh puasa ketika safar ? (Hamzah adalah orang yang
banyak puasa). Maka Nabi menjawab: “Berpuasalah jika engkau
mau, dan jangan puasa jika engkau suka” [HR. Bukhari
(1943);Muslim (1121)]
Dari Hamzah bin Amr radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau berkata:
Wahai Rasulullah aku merasa bahwa aku ini mampu puasa ketika bersafar.
Apakah aku berdosa (ketika puasa saat safar) ? Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda: “Itu adalah keringanan (rukhshah) dari
Allah. Barangsiapa yang mengambil keringanan tadi, maka
itu baik dan barangsiapa yang lebih suka puasa, maka
tidak ada dosa baginya” [HR. Muslim Muslim (1122), Abu Dawud
(2402), An Nasai (2294)]
Musafir ada tiga kondisi:
1. Kondisi pertama adalah jika berat untuk berpuasa atau sulit
melakukan hal-hal yang baik ketika itu, maka lebih utama untuk
tidak berpuasa. Dalil hadits Jabir bin ‘Abdillah,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika bersafar melihat
orang yang berdesak-desakan. Lalu ada seseorang yang diberi
naungan. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,
“Siapa ini?” Orang-orang pun mengatakan, “Ini adalah orang yang
sedang berpuasa.” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Bukanlah suatu yang baik jika seseorang berpuasa
ketika dia bersafar”.
(HR. Bukhari no. 1946 dan Muslim no. 1115)
 Di sini dikatakan tidak baik berpuasa ketika safar
karena ketika itu adalah kondisi yang menyulitkan.
 Ketika puasa membuat dirinya tidak bisa melakukan
kegiatan secara normal. Sehingga dia lebih membutuhkan
bantuan orang lain. Dalam kondisi ini lebih dianjurkan
tidak berpuasa.
Sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu menceritakan,
Kami pernah safar bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Orang yang paling bisa berteduh adalah yang punya banyak
kain. Mereka berteduh dengan kain. Mereka yang puasa,
tidak bisa melakukan apapun. Sementara mereka yang
tidak puasa, mereka menggiring onta, melayani yang
puasa, mengambilkan air, memasak, dan membuat tenda.
Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkomentar,
Hari ini yang tidak puasa, memborong pahala.
(HR. Bukhari 2890; Muslim 2678)
2.Kondisi kedua adalah jika tidak memberatkan untuk berpuasa dan
tidak menyulitkan untuk melakukan berbagai hal kebaikan, maka pada
saat ini lebih utama untuk berpuasa. Hal ini sebagaimana dicontohkan
oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, di mana beliau masih tetap
berpuasa ketika safar. Dari Abu Darda’, beliau berkata,
–
–
–
–
“Kami pernah keluar bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di beberapa
safarnya pada hari yang cukup terik. Sehingga ketika itu orang-orang
meletakkan tangannya di kepalanya karena cuaca yang begitu panas. Di
antara kami tidak ada yang berpuasa. Hanya Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam saja dan Ibnu Rowahah yang berpuasa ketika itu.”
(HR. Bukhari no. 1945 dan Muslim no. 1122)
 Apabila tidak terlalu menyulitkan ketika safar, maka puasa itu lebih
baik karena lebih cepat terlepasnya kewajiban.
 Begitu pula hal ini lebih mudah dilakukan karena berpuasa dengan orang
banyak itu lebih menyenangkan daripada mengqodho’ puasa sendiri
sedangkan orang-orang tidak berpuasa.
3. Kondisi ketiga adalah jika berpuasa akan mendapati kesulitan yang
berat bahkan dapat mengantarkan pada kematian, maka pada saat ini
wajib tidak berpuasa dan diharamkan untuk berpuasa. Dari Jabir bin
‘Abdillah, berkata,
Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar pada tahun
Fathul Makkah (8 H) menuju Makkah di bulan Ramadhan. Beliau ketika itu
berpuasa. Kemudian ketika sampai di Kuroo’ Al Ghomim (suatu lembah
antara Mekkah dan Madinah), orang-orang ketika itu masih berpuasa.
Kemudian beliau meminta diambilkan segelas air. Lalu beliau mengangkatnya
dan orang-orang pun memperhatikan beliau. Lantas beliau pun meminum air
tersebut. Setelah beliau melakukan hal tadi, ada yang mengatakan,
“Sesungguhnya sebagian orang ada yang tetap berpuasa.” Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengatakan, “Mereka itu adalah orang yang
durhaka. Mereka itu adalah orang yang durhaka”.”(HR. Muslim no. 1114)
 Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencela keras seperti ini karena
berpuasa dalam kondisi sangat sulit adalah sesuatu yang tercela.
Waktu diperbolehkan tidak berpuasa bagi musafir
1. Jika safar dimulai sebelum terbit fajar atau ketika fajar
sedang terbit dan dalam keadaan bersafar, lalu diniatkan
untuk tidak berpuasa pada hari itu; untuk kondisi semacam ini
diperbolehkan untuk tidak berpuasa berdasarkan
kesepakatan para ulama. Alasannya, pada kondisi semacam ini
sudah disebut musafir karena sudah adanya sebab yang
memperbolehkan untuk tidak berpuasa.
2. Jika safar dilakukan setelah fajar (atau sudah di waktu
siang), maka menurut pendapat Imam Ahmad yang lain, juga
pendapat Ishaq dan Al Hasan Al Bashri, dan pendapat ini juga
dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, boleh berbuka
(tidak berpuasa) di hari itu. Inilah pendapat yang lebih kuat.
Dalil dari pendapat adalah keumuman firman Allah Ta’ala,
Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka),
maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang
ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 185)
Dari Muhammad bin Ka’ab. Dia mengatakan,
Aku pernah mendatangi Anas bin Malik di bulan Ramadhan. Saat ini itu Anas juga
ingin melakukan safar. Dia pun sudah mempersiapkan kendaraan dan sudah
mengenakan pakaian untuk bersafar. Kemudian beliau meminta makanan, lantas
beliau pun memakannya. Kemudian aku mengatakan pada Annas, “Apakah ini
termasuk sunnah (ajaran Nabi)?” Beliau mengatakan, “Ini termasuk sunnah.” Lantas
beliau pun berangkat dengan kendaraannya.”(HR. Tirmidzi no. 799)
3. Jika berniat puasa padahal sedang bersafar, kemudian
karena suatu sebab di tengah perjalanan berbuka, maka hal
ini diperbolehkan. Dari Abu Darda’, beliau berkata,
–
–
–
–
Kami pernah keluar bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di beberapa
safarnya pada hari yang cukup terik. Sehingga ketika itu orang-orang meletakkan
tangannya di kepalanya karena cuaca yang begitu panas. Di antara kami tidak ada
yang berpuasa. Hanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja dan Ibnu Rowahah yang
berpuasa ketika itu.”[HR. Bukhari no. 1945 dan Muslim no. 1122)
C. Orang yang sudah tua rentah dan dalam keadaan
lemah, juga orang sakit yang tidak kunjung
sembuh.
 Para ulama sepakat bahwa orang tua yang tidak mampu
berpuasa, boleh baginya untuk tidak berpuasa dan tidak
ada qodho baginya.
 Menurut mayoritas ulama, cukup bagi mereka untuk
memberi fidyah yaitu memberi makan kepada orang
miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan.
‫ى‬َ‫ل‬َ‫ع‬ َ‫و‬
‫ين‬ِ‫ك‬ْ‫س‬ِ‫م‬ ُ‫م‬‫ا‬َ‫ع‬َ‫ط‬ ٌ‫ة‬َ‫ي‬ْ‫د‬ِ‫ف‬ ُ‫ه‬َ‫ن‬‫و‬ُ‫ق‬‫ي‬ِ‫ط‬ُ‫ي‬ َ‫ِين‬‫ذ‬َّ‫ال‬
“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya
(jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu):
memberi makan seorang miskin.” (QS. Al Baqarah: 184)
 Begitu pula orang sakit yang tidak kunjung sembuh, dia
disamakan dengan orang tua renta yang tidak mampu
melakukan puasa sehingga dia diharuskan
mengeluarkan fidyah (memberi makan kepada orang
miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan).
D. Wanita hamil dan menyusui.
 Jika wanita hamil dan atau menyusui khawatir
terhadap kesehatan dirinya dan atau janin yang
berada dalam kandungannya karena berpuasa,
maka boleh baginya untuk tidak berpuasa, dan
hal ini tidak ada perselisihan di antara para
ulama.
ْ‫َط‬‫ش‬ ِ
‫ر‬ِ‫ف‬‫ا‬َ‫س‬ُ‫م‬ْ‫ال‬ ِ‫ن‬َ‫ع‬ َ‫ع‬َ‫ض‬ َ‫و‬ َّ‫ل‬َ‫ج‬ َ‫و‬ َّ‫ز‬َ‫ع‬ َ َّ
‫َّللا‬ َّ‫ن‬ِ‫إ‬
َ‫ح‬ْ‫ال‬ َ‫و‬ ِ
‫ر‬ِ‫ف‬‫ا‬َ‫س‬ُ‫م‬ْ‫ال‬ ِ‫ن‬َ‫ع‬ َ‫و‬ ِ‫ة‬َ‫ال‬َّ‫ص‬‫ال‬ َ‫ر‬
ِ‫ل‬ِ‫ام‬
َ‫ام‬َ‫ي‬ِّ ِ
‫الص‬ ِ‫و‬َ‫أ‬ َ‫م‬ ْ‫و‬َّ‫ص‬‫ال‬ ِ‫ع‬ ِ
‫ض‬ ْ‫ر‬ُ‫م‬ْ‫ال‬ َ‫و‬
“Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla meringankan
setengah shalat untuk musafir dan meringankan
puasa bagi musafir, wanita hamil dan
menyusui.”(HR. An Nasai no. 2275, Ibnu Majah no.
1667, dan Ahmad 4/347)
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata,
“Keringanan dalam hal ini adalah bagi orang yang tua renta
dan wanita tua renta, lalu mereka mampu berpuasa. Mereka
berdua berbuka jika mereka mau dan memberi makan
kepada orang miskin setiap hari yang ditinggalkan, pada
saat ini tidak ada qodho’ bagi mereka. Kemudian hal ini
dihapus dengan ayat (yang artinya): “Karena itu, barang
siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di
bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu”.
Namun hukum fidyah ini masih tetap ada bagi orang yang
tua renta dan wanita tua renta jika mereka tidak mampu
berpuasa. Kemudian bagi wanita hamil dan menyusui jika
khawatir mendapat bahaya, maka dia boleh berbuka (tidak
berpuasa) dan memberi makan orang miskin bagi setiap
hari yang ditinggalkan.”
(Ibnul Jarud, Al Muntaqho dan Al Baihaqi. Irwa’ul Gholil 4/18)
Dari Ibnu ‘Abbas, mengenai firman Allah (yang
artinya), “Dan wajib bagi orang-orang yang berat
menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa)
membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang
miskin,”(QS. Al baqarah 184) beliau mengatakan, “Ayat
ini menunjukkan keringanan bagi laki-laki dan
perempuan yang sudah tua renta dan mereka merasa
berat berpuasa, mereka dibolehkan untuk tidak
berpuasa, namun mereka diharuskan untuk memberi
makan setiap hari satu orang miskin sebagai ganti tidak
berpuasa. Hal ini juga berlaku untuk wanita hamil dan
menyusui jika keduanya khawatir –Abu Daud
mengatakan: khawatir pada keselamatan anaknya-,
mereka dibolehkan tidak berpuasa, namun keduanya
tetap memberi makan (kepada orang miskin).”
(HR. Abu Daud no. 2318)
Dari Ibnu ‘Abbas, beliau dulu pernah menyuruh wanita hamil
untuk tidak berpuasa di bulan Ramadhan. Beliau mengatakan,
“Engkau seperti orang tua yang tidak mampu berpuasa, maka
berbukalah dan berilah makan kepada orang miskin setengah
sho’ gandum untuk setiap hari yang ditinggalkan.”(HR. ‘Abdur
Razaq)
Dari Ibnu ‘Umar. Dari Nafi’ berkata,
“Putri Ibnu Umar yang menikah dengan orang Quraisy sedang
hamil. Ketika berpuasa di bulan Ramadhan, dia
merasa kehausan. Kemudian Ibnu ‘Umar memerintahkan
putrinya tersebut untuk berbuka dan memberi makan orang
miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan.”
(Irwa’ul Gholil, 4/20)

More Related Content

Similar to 4. Fiqh Ramadhan (Hukum dan Keringanan Puasa).pdf

Penjelasan mengenai puasa ‘arafah
Penjelasan mengenai puasa ‘arafahPenjelasan mengenai puasa ‘arafah
Penjelasan mengenai puasa ‘arafahMuhsin Hariyanto
 
Hukum tatacara-sunnah-kaifiyah-sholat-ied-dan-takbiran
Hukum tatacara-sunnah-kaifiyah-sholat-ied-dan-takbiranHukum tatacara-sunnah-kaifiyah-sholat-ied-dan-takbiran
Hukum tatacara-sunnah-kaifiyah-sholat-ied-dan-takbiranHannif Mardani
 
Masbuq dalam shalat dan permasalahannya
Masbuq dalam shalat dan permasalahannyaMasbuq dalam shalat dan permasalahannya
Masbuq dalam shalat dan permasalahannyaAbyanuddin Salam
 
tata cara shala tarawih dan witir
tata cara shala tarawih dan witirtata cara shala tarawih dan witir
tata cara shala tarawih dan witirTeguh Prasetyo
 
tata cara shalat tarawih dan witir
tata cara shalat tarawih dan witirtata cara shalat tarawih dan witir
tata cara shalat tarawih dan witirTeguh Prasetyo
 
KIAT SUKSES IBADAH DI BULAN RAMADHAN.pptx
KIAT SUKSES IBADAH DI BULAN RAMADHAN.pptxKIAT SUKSES IBADAH DI BULAN RAMADHAN.pptx
KIAT SUKSES IBADAH DI BULAN RAMADHAN.pptxSaptoSutardi2
 
12 hadits lemah dan palsu seputar ramadhan
12 hadits lemah dan palsu seputar ramadhan12 hadits lemah dan palsu seputar ramadhan
12 hadits lemah dan palsu seputar ramadhanJaka Supriyanta
 
Materi tarhib ramadhan 1440 h
Materi tarhib ramadhan 1440 hMateri tarhib ramadhan 1440 h
Materi tarhib ramadhan 1440 hYayan Somantri
 
Kultum puasa tq
Kultum puasa tqKultum puasa tq
Kultum puasa tqteguh.qi
 
Khutbah ttg qurban
Khutbah ttg qurbanKhutbah ttg qurban
Khutbah ttg qurbanalfatfatoha
 
28_fiqh dan adab khutbah jumat.pptx
28_fiqh dan adab khutbah jumat.pptx28_fiqh dan adab khutbah jumat.pptx
28_fiqh dan adab khutbah jumat.pptxbadri muhammad
 
Pendapat ulama syafi
Pendapat ulama syafiPendapat ulama syafi
Pendapat ulama syafimunawir_army
 
Materi Rentang Fiqih Ramadhan Muhammadiyah
Materi Rentang Fiqih Ramadhan MuhammadiyahMateri Rentang Fiqih Ramadhan Muhammadiyah
Materi Rentang Fiqih Ramadhan MuhammadiyahMuhtarSholikhin1
 
Bahan perjumpaan sumur kali ke 2
Bahan perjumpaan sumur  kali ke 2Bahan perjumpaan sumur  kali ke 2
Bahan perjumpaan sumur kali ke 2sumursmkatb
 
Tafsir surat al baqarah 183
Tafsir surat al baqarah 183Tafsir surat al baqarah 183
Tafsir surat al baqarah 183Muhsin Hariyanto
 

Similar to 4. Fiqh Ramadhan (Hukum dan Keringanan Puasa).pdf (20)

Penjelasan mengenai puasa ‘arafah
Penjelasan mengenai puasa ‘arafahPenjelasan mengenai puasa ‘arafah
Penjelasan mengenai puasa ‘arafah
 
Hukum tatacara-sunnah-kaifiyah-sholat-ied-dan-takbiran
Hukum tatacara-sunnah-kaifiyah-sholat-ied-dan-takbiranHukum tatacara-sunnah-kaifiyah-sholat-ied-dan-takbiran
Hukum tatacara-sunnah-kaifiyah-sholat-ied-dan-takbiran
 
Masbuq dalam shalat dan permasalahannya
Masbuq dalam shalat dan permasalahannyaMasbuq dalam shalat dan permasalahannya
Masbuq dalam shalat dan permasalahannya
 
KEUTAMAAN ISLAM
KEUTAMAAN ISLAMKEUTAMAAN ISLAM
KEUTAMAAN ISLAM
 
tata cara shala tarawih dan witir
tata cara shala tarawih dan witirtata cara shala tarawih dan witir
tata cara shala tarawih dan witir
 
tata cara shalat tarawih dan witir
tata cara shalat tarawih dan witirtata cara shalat tarawih dan witir
tata cara shalat tarawih dan witir
 
Risalah iktikaf (2)
Risalah iktikaf (2)Risalah iktikaf (2)
Risalah iktikaf (2)
 
7 (tujuh) puasa sunnah
7 (tujuh) puasa sunnah7 (tujuh) puasa sunnah
7 (tujuh) puasa sunnah
 
KIAT SUKSES IBADAH DI BULAN RAMADHAN.pptx
KIAT SUKSES IBADAH DI BULAN RAMADHAN.pptxKIAT SUKSES IBADAH DI BULAN RAMADHAN.pptx
KIAT SUKSES IBADAH DI BULAN RAMADHAN.pptx
 
Tafsir Ayat Puasa
Tafsir Ayat PuasaTafsir Ayat Puasa
Tafsir Ayat Puasa
 
12 hadits lemah dan palsu seputar ramadhan
12 hadits lemah dan palsu seputar ramadhan12 hadits lemah dan palsu seputar ramadhan
12 hadits lemah dan palsu seputar ramadhan
 
Materi tarhib ramadhan 1440 h
Materi tarhib ramadhan 1440 hMateri tarhib ramadhan 1440 h
Materi tarhib ramadhan 1440 h
 
Shalat = Ga shalat
Shalat = Ga shalatShalat = Ga shalat
Shalat = Ga shalat
 
Kultum puasa tq
Kultum puasa tqKultum puasa tq
Kultum puasa tq
 
Khutbah ttg qurban
Khutbah ttg qurbanKhutbah ttg qurban
Khutbah ttg qurban
 
28_fiqh dan adab khutbah jumat.pptx
28_fiqh dan adab khutbah jumat.pptx28_fiqh dan adab khutbah jumat.pptx
28_fiqh dan adab khutbah jumat.pptx
 
Pendapat ulama syafi
Pendapat ulama syafiPendapat ulama syafi
Pendapat ulama syafi
 
Materi Rentang Fiqih Ramadhan Muhammadiyah
Materi Rentang Fiqih Ramadhan MuhammadiyahMateri Rentang Fiqih Ramadhan Muhammadiyah
Materi Rentang Fiqih Ramadhan Muhammadiyah
 
Bahan perjumpaan sumur kali ke 2
Bahan perjumpaan sumur  kali ke 2Bahan perjumpaan sumur  kali ke 2
Bahan perjumpaan sumur kali ke 2
 
Tafsir surat al baqarah 183
Tafsir surat al baqarah 183Tafsir surat al baqarah 183
Tafsir surat al baqarah 183
 

More from c9fhbm7gzj

q1.1.1.22.047-Zionisme-Internasional.ppt
q1.1.1.22.047-Zionisme-Internasional.pptq1.1.1.22.047-Zionisme-Internasional.ppt
q1.1.1.22.047-Zionisme-Internasional.pptc9fhbm7gzj
 
Makna makna 1.1.1.03.-014-Makna-Ilah.pptx
Makna makna 1.1.1.03.-014-Makna-Ilah.pptxMakna makna 1.1.1.03.-014-Makna-Ilah.pptx
Makna makna 1.1.1.03.-014-Makna-Ilah.pptxc9fhbm7gzj
 
Materi ngaji ngaji 1.1.3.13.061-Taubat.ppt
Materi ngaji ngaji 1.1.3.13.061-Taubat.pptMateri ngaji ngaji 1.1.3.13.061-Taubat.ppt
Materi ngaji ngaji 1.1.3.13.061-Taubat.pptc9fhbm7gzj
 
BA Internalisasi Ideologi Muhammadiyah.pptx
BA Internalisasi Ideologi Muhammadiyah.pptxBA Internalisasi Ideologi Muhammadiyah.pptx
BA Internalisasi Ideologi Muhammadiyah.pptxc9fhbm7gzj
 
Materi Bimbingan Manasik Haji Tarwiyah.pptx
Materi Bimbingan Manasik Haji Tarwiyah.pptxMateri Bimbingan Manasik Haji Tarwiyah.pptx
Materi Bimbingan Manasik Haji Tarwiyah.pptxc9fhbm7gzj
 
Pengajian Tarawih Nuzulul Quran 1444.pptx
Pengajian Tarawih Nuzulul Quran 1444.pptxPengajian Tarawih Nuzulul Quran 1444.pptx
Pengajian Tarawih Nuzulul Quran 1444.pptxc9fhbm7gzj
 
Ilmu Falak Problematika Hisab Rukyat.pptx
Ilmu Falak Problematika Hisab Rukyat.pptxIlmu Falak Problematika Hisab Rukyat.pptx
Ilmu Falak Problematika Hisab Rukyat.pptxc9fhbm7gzj
 
Materi Kuliah Ramadhan WARISAN SYAWAL 1444.pptx
Materi Kuliah Ramadhan WARISAN SYAWAL 1444.pptxMateri Kuliah Ramadhan WARISAN SYAWAL 1444.pptx
Materi Kuliah Ramadhan WARISAN SYAWAL 1444.pptxc9fhbm7gzj
 
KRITERIA KRITERIA JAHILIYAH AL ASHRI.pptx
KRITERIA KRITERIA JAHILIYAH AL ASHRI.pptxKRITERIA KRITERIA JAHILIYAH AL ASHRI.pptx
KRITERIA KRITERIA JAHILIYAH AL ASHRI.pptxc9fhbm7gzj
 
Reuni Di Surga Bersama Keluarga 1444.pptx
Reuni Di Surga Bersama Keluarga 1444.pptxReuni Di Surga Bersama Keluarga 1444.pptx
Reuni Di Surga Bersama Keluarga 1444.pptxc9fhbm7gzj
 
Materi IMPLEMENTASI-IDEOLOGI-BERGAMBAR.pptx
Materi IMPLEMENTASI-IDEOLOGI-BERGAMBAR.pptxMateri IMPLEMENTASI-IDEOLOGI-BERGAMBAR.pptx
Materi IMPLEMENTASI-IDEOLOGI-BERGAMBAR.pptxc9fhbm7gzj
 
Materi Paham Risalah Islam Berkemajuan.pptx
Materi Paham Risalah Islam Berkemajuan.pptxMateri Paham Risalah Islam Berkemajuan.pptx
Materi Paham Risalah Islam Berkemajuan.pptxc9fhbm7gzj
 
BerEtika Dalam Digital Medsos masa kini.pptx
BerEtika Dalam Digital Medsos masa kini.pptxBerEtika Dalam Digital Medsos masa kini.pptx
BerEtika Dalam Digital Medsos masa kini.pptxc9fhbm7gzj
 

More from c9fhbm7gzj (13)

q1.1.1.22.047-Zionisme-Internasional.ppt
q1.1.1.22.047-Zionisme-Internasional.pptq1.1.1.22.047-Zionisme-Internasional.ppt
q1.1.1.22.047-Zionisme-Internasional.ppt
 
Makna makna 1.1.1.03.-014-Makna-Ilah.pptx
Makna makna 1.1.1.03.-014-Makna-Ilah.pptxMakna makna 1.1.1.03.-014-Makna-Ilah.pptx
Makna makna 1.1.1.03.-014-Makna-Ilah.pptx
 
Materi ngaji ngaji 1.1.3.13.061-Taubat.ppt
Materi ngaji ngaji 1.1.3.13.061-Taubat.pptMateri ngaji ngaji 1.1.3.13.061-Taubat.ppt
Materi ngaji ngaji 1.1.3.13.061-Taubat.ppt
 
BA Internalisasi Ideologi Muhammadiyah.pptx
BA Internalisasi Ideologi Muhammadiyah.pptxBA Internalisasi Ideologi Muhammadiyah.pptx
BA Internalisasi Ideologi Muhammadiyah.pptx
 
Materi Bimbingan Manasik Haji Tarwiyah.pptx
Materi Bimbingan Manasik Haji Tarwiyah.pptxMateri Bimbingan Manasik Haji Tarwiyah.pptx
Materi Bimbingan Manasik Haji Tarwiyah.pptx
 
Pengajian Tarawih Nuzulul Quran 1444.pptx
Pengajian Tarawih Nuzulul Quran 1444.pptxPengajian Tarawih Nuzulul Quran 1444.pptx
Pengajian Tarawih Nuzulul Quran 1444.pptx
 
Ilmu Falak Problematika Hisab Rukyat.pptx
Ilmu Falak Problematika Hisab Rukyat.pptxIlmu Falak Problematika Hisab Rukyat.pptx
Ilmu Falak Problematika Hisab Rukyat.pptx
 
Materi Kuliah Ramadhan WARISAN SYAWAL 1444.pptx
Materi Kuliah Ramadhan WARISAN SYAWAL 1444.pptxMateri Kuliah Ramadhan WARISAN SYAWAL 1444.pptx
Materi Kuliah Ramadhan WARISAN SYAWAL 1444.pptx
 
KRITERIA KRITERIA JAHILIYAH AL ASHRI.pptx
KRITERIA KRITERIA JAHILIYAH AL ASHRI.pptxKRITERIA KRITERIA JAHILIYAH AL ASHRI.pptx
KRITERIA KRITERIA JAHILIYAH AL ASHRI.pptx
 
Reuni Di Surga Bersama Keluarga 1444.pptx
Reuni Di Surga Bersama Keluarga 1444.pptxReuni Di Surga Bersama Keluarga 1444.pptx
Reuni Di Surga Bersama Keluarga 1444.pptx
 
Materi IMPLEMENTASI-IDEOLOGI-BERGAMBAR.pptx
Materi IMPLEMENTASI-IDEOLOGI-BERGAMBAR.pptxMateri IMPLEMENTASI-IDEOLOGI-BERGAMBAR.pptx
Materi IMPLEMENTASI-IDEOLOGI-BERGAMBAR.pptx
 
Materi Paham Risalah Islam Berkemajuan.pptx
Materi Paham Risalah Islam Berkemajuan.pptxMateri Paham Risalah Islam Berkemajuan.pptx
Materi Paham Risalah Islam Berkemajuan.pptx
 
BerEtika Dalam Digital Medsos masa kini.pptx
BerEtika Dalam Digital Medsos masa kini.pptxBerEtika Dalam Digital Medsos masa kini.pptx
BerEtika Dalam Digital Medsos masa kini.pptx
 

Recently uploaded

2 KISI-KISI Ujian Sekolah Dasar mata pelajaranPPKn 2024.pdf
2 KISI-KISI Ujian Sekolah Dasar  mata pelajaranPPKn 2024.pdf2 KISI-KISI Ujian Sekolah Dasar  mata pelajaranPPKn 2024.pdf
2 KISI-KISI Ujian Sekolah Dasar mata pelajaranPPKn 2024.pdfsdn3jatiblora
 
BAHAN SOSIALISASI PPDB SMA-SMK NEGERI DISDIKSU TP. 2024-2025 REVISI.pptx
BAHAN SOSIALISASI PPDB SMA-SMK NEGERI DISDIKSU TP. 2024-2025 REVISI.pptxBAHAN SOSIALISASI PPDB SMA-SMK NEGERI DISDIKSU TP. 2024-2025 REVISI.pptx
BAHAN SOSIALISASI PPDB SMA-SMK NEGERI DISDIKSU TP. 2024-2025 REVISI.pptxJamhuriIshak
 
JAWAPAN BAB 1 DAN BAB 2 SAINS TINGKATAN 5
JAWAPAN BAB 1 DAN BAB 2 SAINS TINGKATAN 5JAWAPAN BAB 1 DAN BAB 2 SAINS TINGKATAN 5
JAWAPAN BAB 1 DAN BAB 2 SAINS TINGKATAN 5ssuserd52993
 
Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 4 Fase B
Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 4 Fase BModul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 4 Fase B
Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 4 Fase BAbdiera
 
Aksi nyata disiplin positif Hj. Hasnani (1).pdf
Aksi nyata disiplin positif Hj. Hasnani (1).pdfAksi nyata disiplin positif Hj. Hasnani (1).pdf
Aksi nyata disiplin positif Hj. Hasnani (1).pdfDimanWr1
 
tugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docx
tugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docxtugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docx
tugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docxmawan5982
 
442539315-ppt-modul-6-pend-seni-pptx.pptx
442539315-ppt-modul-6-pend-seni-pptx.pptx442539315-ppt-modul-6-pend-seni-pptx.pptx
442539315-ppt-modul-6-pend-seni-pptx.pptxHendryJulistiyanto
 
DEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 PENDIDIKAN GURU PENGGERAK
DEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 PENDIDIKAN GURU PENGGERAKDEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 PENDIDIKAN GURU PENGGERAK
DEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 PENDIDIKAN GURU PENGGERAKirwan461475
 
PELAKSANAAN + Link2 Materi TRAINING "Effective SUPERVISORY & LEADERSHIP Sk...
PELAKSANAAN  + Link2 Materi TRAINING "Effective  SUPERVISORY &  LEADERSHIP Sk...PELAKSANAAN  + Link2 Materi TRAINING "Effective  SUPERVISORY &  LEADERSHIP Sk...
PELAKSANAAN + Link2 Materi TRAINING "Effective SUPERVISORY & LEADERSHIP Sk...Kanaidi ken
 
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptx
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptxDESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptx
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptxFuzaAnggriana
 
Wawasan Nusantara sebagai satu kesatuan, politik, ekonomi, sosial, budaya, d...
Wawasan Nusantara  sebagai satu kesatuan, politik, ekonomi, sosial, budaya, d...Wawasan Nusantara  sebagai satu kesatuan, politik, ekonomi, sosial, budaya, d...
Wawasan Nusantara sebagai satu kesatuan, politik, ekonomi, sosial, budaya, d...MarwanAnugrah
 
Kesebangunan Segitiga matematika kelas 7 kurikulum merdeka.pptx
Kesebangunan Segitiga matematika kelas 7 kurikulum merdeka.pptxKesebangunan Segitiga matematika kelas 7 kurikulum merdeka.pptx
Kesebangunan Segitiga matematika kelas 7 kurikulum merdeka.pptxDwiYuniarti14
 
Modul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase C
Modul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase CModul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase C
Modul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase CAbdiera
 
Bab 6 Kreatif Mengungap Rasa dan Realitas.pdf
Bab 6 Kreatif Mengungap Rasa dan Realitas.pdfBab 6 Kreatif Mengungap Rasa dan Realitas.pdf
Bab 6 Kreatif Mengungap Rasa dan Realitas.pdfbibizaenab
 
AKSI NYATA MODUL 1.2-1 untuk pendidikan guru penggerak.pptx
AKSI NYATA MODUL 1.2-1 untuk pendidikan guru penggerak.pptxAKSI NYATA MODUL 1.2-1 untuk pendidikan guru penggerak.pptx
AKSI NYATA MODUL 1.2-1 untuk pendidikan guru penggerak.pptxWirionSembiring2
 
Modul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdf
Modul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdfModul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdf
Modul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdfSitiJulaeha820399
 
Tugas 1 pembaruan dlm pembelajaran jawaban tugas tuton 1.docx
Tugas 1 pembaruan dlm pembelajaran jawaban tugas tuton 1.docxTugas 1 pembaruan dlm pembelajaran jawaban tugas tuton 1.docx
Tugas 1 pembaruan dlm pembelajaran jawaban tugas tuton 1.docxmawan5982
 
Kelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdf
Kelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdfKelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdf
Kelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdftsaniasalftn18
 
soal AKM Mata Pelajaran PPKN kelas .pptx
soal AKM Mata Pelajaran PPKN kelas .pptxsoal AKM Mata Pelajaran PPKN kelas .pptx
soal AKM Mata Pelajaran PPKN kelas .pptxazhari524
 
REFLEKSI MANDIRI_Prakarsa Perubahan BAGJA Modul 1.3.pdf
REFLEKSI MANDIRI_Prakarsa Perubahan BAGJA Modul 1.3.pdfREFLEKSI MANDIRI_Prakarsa Perubahan BAGJA Modul 1.3.pdf
REFLEKSI MANDIRI_Prakarsa Perubahan BAGJA Modul 1.3.pdfirwanabidin08
 

Recently uploaded (20)

2 KISI-KISI Ujian Sekolah Dasar mata pelajaranPPKn 2024.pdf
2 KISI-KISI Ujian Sekolah Dasar  mata pelajaranPPKn 2024.pdf2 KISI-KISI Ujian Sekolah Dasar  mata pelajaranPPKn 2024.pdf
2 KISI-KISI Ujian Sekolah Dasar mata pelajaranPPKn 2024.pdf
 
BAHAN SOSIALISASI PPDB SMA-SMK NEGERI DISDIKSU TP. 2024-2025 REVISI.pptx
BAHAN SOSIALISASI PPDB SMA-SMK NEGERI DISDIKSU TP. 2024-2025 REVISI.pptxBAHAN SOSIALISASI PPDB SMA-SMK NEGERI DISDIKSU TP. 2024-2025 REVISI.pptx
BAHAN SOSIALISASI PPDB SMA-SMK NEGERI DISDIKSU TP. 2024-2025 REVISI.pptx
 
JAWAPAN BAB 1 DAN BAB 2 SAINS TINGKATAN 5
JAWAPAN BAB 1 DAN BAB 2 SAINS TINGKATAN 5JAWAPAN BAB 1 DAN BAB 2 SAINS TINGKATAN 5
JAWAPAN BAB 1 DAN BAB 2 SAINS TINGKATAN 5
 
Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 4 Fase B
Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 4 Fase BModul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 4 Fase B
Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 4 Fase B
 
Aksi nyata disiplin positif Hj. Hasnani (1).pdf
Aksi nyata disiplin positif Hj. Hasnani (1).pdfAksi nyata disiplin positif Hj. Hasnani (1).pdf
Aksi nyata disiplin positif Hj. Hasnani (1).pdf
 
tugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docx
tugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docxtugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docx
tugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docx
 
442539315-ppt-modul-6-pend-seni-pptx.pptx
442539315-ppt-modul-6-pend-seni-pptx.pptx442539315-ppt-modul-6-pend-seni-pptx.pptx
442539315-ppt-modul-6-pend-seni-pptx.pptx
 
DEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 PENDIDIKAN GURU PENGGERAK
DEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 PENDIDIKAN GURU PENGGERAKDEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 PENDIDIKAN GURU PENGGERAK
DEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 PENDIDIKAN GURU PENGGERAK
 
PELAKSANAAN + Link2 Materi TRAINING "Effective SUPERVISORY & LEADERSHIP Sk...
PELAKSANAAN  + Link2 Materi TRAINING "Effective  SUPERVISORY &  LEADERSHIP Sk...PELAKSANAAN  + Link2 Materi TRAINING "Effective  SUPERVISORY &  LEADERSHIP Sk...
PELAKSANAAN + Link2 Materi TRAINING "Effective SUPERVISORY & LEADERSHIP Sk...
 
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptx
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptxDESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptx
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptx
 
Wawasan Nusantara sebagai satu kesatuan, politik, ekonomi, sosial, budaya, d...
Wawasan Nusantara  sebagai satu kesatuan, politik, ekonomi, sosial, budaya, d...Wawasan Nusantara  sebagai satu kesatuan, politik, ekonomi, sosial, budaya, d...
Wawasan Nusantara sebagai satu kesatuan, politik, ekonomi, sosial, budaya, d...
 
Kesebangunan Segitiga matematika kelas 7 kurikulum merdeka.pptx
Kesebangunan Segitiga matematika kelas 7 kurikulum merdeka.pptxKesebangunan Segitiga matematika kelas 7 kurikulum merdeka.pptx
Kesebangunan Segitiga matematika kelas 7 kurikulum merdeka.pptx
 
Modul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase C
Modul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase CModul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase C
Modul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase C
 
Bab 6 Kreatif Mengungap Rasa dan Realitas.pdf
Bab 6 Kreatif Mengungap Rasa dan Realitas.pdfBab 6 Kreatif Mengungap Rasa dan Realitas.pdf
Bab 6 Kreatif Mengungap Rasa dan Realitas.pdf
 
AKSI NYATA MODUL 1.2-1 untuk pendidikan guru penggerak.pptx
AKSI NYATA MODUL 1.2-1 untuk pendidikan guru penggerak.pptxAKSI NYATA MODUL 1.2-1 untuk pendidikan guru penggerak.pptx
AKSI NYATA MODUL 1.2-1 untuk pendidikan guru penggerak.pptx
 
Modul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdf
Modul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdfModul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdf
Modul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdf
 
Tugas 1 pembaruan dlm pembelajaran jawaban tugas tuton 1.docx
Tugas 1 pembaruan dlm pembelajaran jawaban tugas tuton 1.docxTugas 1 pembaruan dlm pembelajaran jawaban tugas tuton 1.docx
Tugas 1 pembaruan dlm pembelajaran jawaban tugas tuton 1.docx
 
Kelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdf
Kelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdfKelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdf
Kelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdf
 
soal AKM Mata Pelajaran PPKN kelas .pptx
soal AKM Mata Pelajaran PPKN kelas .pptxsoal AKM Mata Pelajaran PPKN kelas .pptx
soal AKM Mata Pelajaran PPKN kelas .pptx
 
REFLEKSI MANDIRI_Prakarsa Perubahan BAGJA Modul 1.3.pdf
REFLEKSI MANDIRI_Prakarsa Perubahan BAGJA Modul 1.3.pdfREFLEKSI MANDIRI_Prakarsa Perubahan BAGJA Modul 1.3.pdf
REFLEKSI MANDIRI_Prakarsa Perubahan BAGJA Modul 1.3.pdf
 

4. Fiqh Ramadhan (Hukum dan Keringanan Puasa).pdf

  • 1. ‫الرمضانية‬ ‫فقه‬ FIQH Ramadhan (Hukum dan Keringana Puasa) Solin Al Banjari
  • 2. Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Quran dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).” (QS. Al Baqarah: 269)
  • 3. ORANG YANG WAJIB BERPUASA
  • 4. ‫َا‬ ‫ه‬ُّ ‫ي‬َ ‫أ‬‫َا‬ ‫ي‬ ‫ُوا‬ ‫ن‬َ ‫م‬‫آ‬َ ‫ن‬‫ي‬ِ ‫ذ‬َّ ‫ل‬‫ا‬ َ ‫ن‬‫ي‬ِ ‫ذ‬َّ ‫ل‬‫ا‬‫َى‬ ‫ل‬َ ‫ع‬َ ‫ب‬ِ ‫ت‬ُ ‫ك‬‫َا‬ ‫م‬َ ‫ك‬ُ ‫م‬‫َا‬ ‫ي‬ِّ ِ ‫ص‬‫ل‬‫ا‬ُ ‫م‬ُ ‫ك‬ْ ‫ي‬َ ‫ل‬َ ‫ع‬َ ‫ب‬ِ ‫ت‬ُ ‫ك‬ ْ ‫م‬ُ ‫ك‬َّ ‫َل‬ ‫ع‬َ ‫ل‬ْ ‫م‬ُ ‫ك‬ِ ‫ل‬ْ ‫ب‬َ ‫ق‬ْ ‫ن‬ِ ‫م‬ َ ‫ن‬‫ُو‬ ‫ق‬َّ ‫َت‬ ‫ت‬ “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu supaya kalian bertaqwa.” (Q.S. Al-Baqarah 2 : 183)
  • 5. Muslim/Mukmin Ketentuan ini berdasarkan pada QS. al-Baqarah : 183 yang menegaskan bahwa yang terkena kewajiban menjalankan ibadah puasa Ramadhan hanyalah orang- orang mukmin. Berakal sehat Baligh ”Dari Aisyah bahwa Nabi SAW bersabda: ”Tiga golongan yang terlepas dari hukum (syara’), yaitu orang yang sedang tidur sehingga bangun, orang gila sehingga sadar dan anak-anak sehingga baligh”(HR. Abu Dawud dan Nasa’i)”.
  • 6. Sehat ”maka barangsiapa diantara kalian sakit atau dalam perjalanan maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain”. (QS. Al Baqarah: 184) Dari penegasan ini dapat diambil pemahaman (mafhum mukholafah) bahwa orang yang sakit tidak ada kewajiban untuk berpuasa.
  • 7. Orang yang mukim Pemahaman (mafhum mukholafah) QS. al- Baqarah : 184. Orang yang sedang tidak haid atau nifas ”Dari ‘Aisyah RA berkata: “Adalah kami haid di masa Rasulullah, maka kami diperintahkan agar mengqadha puasa dan kami tidak diperintahkan untuk mengqadha shalat”.(HR. Jama’ah)
  • 8. Hukum yang Meninggalkannya Puasa Ramadhan Tanpa Udzur (alasan) Syar’i
  • 9. Dari Abu Umâmah al-Bâhili, dia berkata: Aku mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ketika aku sedang tidur, tiba-tiba ada dua laki-laki yang mendatangiku, keduanya memegangi kedua lenganku, kemudian membawaku ke sebuah gunung terjal. Keduanya berkata kepadaku, “Naiklah!” Aku menjawab, “Aku tidak mampu”. Keduanya berkata, “Kami akan memudahkannya untukmu”. Maka aku naik. Ketika aku berada di tengah gunung itu, tiba-tiba aku mendengar suara- suara yang keras, maka aku bertanya, “Suara apa itu?” Mereka menjawab, “Itu teriakan penduduk neraka”.
  • 10. Kemudian aku dibawa, tiba-tiba aku melihat sekelompok orang tergantung (terbalik) dengan urat-urat kaki mereka (di sebelah atas), ujung-ujung mulut mereka sobek mengalirkan darah. Aku bertanya, “Mereka itu siapa?” Mereka menjawab, “Mereka adalah orang-orang yang berbuka puasa sebelum waktunya”. [HR. Nasâ’i dalam as-Sunan al-Kubra, no. 3273; Ibnu Hibbân; Ibnu Khuzaimah; al-Baihaqi, 4/216; al-Hâkim, no. 1568; ath- Thabarani dalam Mu’jamul Kabîr. Dishahihkan oleh al-Hâkim, adz-Dzahabi, al-Haitsami. Lihat: al-Jâmi’ li Ahkâmis Shiyâm, 1/60]
  • 11. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa berbuka sehari dari (puasa) bulan Ramadhân bukan dengan (alasan) keringanan yang Allâh berikan kepadanya, maka tidak akan diterima darinya (walaupun dia berpuasa) setahun semuanya. [HR. Ahmad, no. 9002; Abu Dâwud, no. 2396; Ibnu Khuzaimah, no.1987; dll]  Namun hadits didha’ifkan oleh Imam Ibnu Khuzaimah, syaikh Syu’aib al-Arnauth, syaikh al-Albani, dan lainnya, karena ada perawi yang tidak dikenal yang bernama Ibnul Muqawwis.  Walaupun hadits ini lemah secara marfû’ (riwayat dari Nabi) akan tetapi banyak riwayat dari para sahabat yang menguatkannya.
  • 12.  Dari Abdulah bin Mas’ûd Radhiyallahu anhu berkata: Barangsiapa berbuka sehari dari (puasa) bulan Ramadhân dengan tanpa keringanan, dia bertemu Allâh dengannya, walaupun dia berpuasa setahun semuanya, (namun) jika Allâh menghendaki, Dia akan mengampuninya, dan jika Allâh menghendaki, Dia akan menyiksanya”. [HR.Thabarani, no. 9459, dihasankan oleh syaikh Al-Albani, tetapi riwayat yang marfû’ didha’ifkan. (Dha’if Abi Dawud –Al-Umm- 2/275)]  Dari Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu, berkata: Barangsiapa berbuka sehari dari (puasa) bulan Ramadhân dengan sengaja, berpuasa setahun penuh tidak bisa menggantinya”. [Ibnu Hazm dalam al-Muhalla, 6/184]
  • 13.  Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwa ada seorang laki-laki berbuka di bulan Ramadhân dia berkata : Berpuasa setahun penuh tidak bisa menggantinya. [Ibnu Hazm, al-Muhalla, 6/184]  Dari Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu, berkata: Barangsiapa berbuka sehari dari (puasa) bulan Ramadhân dengan sengaja, berpuasa setahun penuh tidak bisa menggantinya”. [Ibnu Hazm, al-Muhalla, 6/184]
  • 14.  Bahkan sahabat Ali bin Abi Thâlib memberikan hukuman dera (pukulan) kepada orang yang berbuka di bulan Ramadhân (dengan sengaja tanpa udzur): . Dari Atha’ bin Abi Maryam, dari bapaknya, bahwa An-Najasyi dihadapkan kepada Ali bin Abi Thâlib, dia telah minum khamr di bulan Ramadhân. Ali memukulnya 80 kali, kemudian esoknya dia memukulnya lagi 20 kali. Ali berkata, “Kami memukulmu 20 kali karena kelancanganmu terhadap Allâh dan karena engkau berbuka di bulan Ramadhân”. [Ibnu Hazm, al-Muhalla, 6/184]  an-Najasyi ini adalah seorang penyair, namanya Qais bin ‘Amr al-Hâritsi. Dia mengikuti Ali sampai Ali menderanya, kemudian dia lari menuju Mu’awiyah. (al-Jâmi’ li Ahkâmis Shiyâm, 1/60)
  • 15.  Barangsiapa yang meninggalkan satu jenis ibadah yang sudah ditentukan waktunya, sampai keluar dari waktu yang sudah ditentukan tersebut (sampai batas waktunya berahir), tanpa ada alasan yang bisa dibenarkan oleh syariat (tanpa udzur syar’i), kemudian dia bertaubat, maka dia tidak perlu meng-qadha’ ibadah yang telah dia tinggalkan tersebut.  Hal ini karena ibadah yang ditentukan waktunya tersebut, sudah dibatasi waktu awal dan waktu akhir untuk melaksanakannya.
  • 17. Bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan- penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat inggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur” (QS. Al Baqarah: 185)
  • 18. • Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam : Sesungguhnya agama itu mudah. Orang yang berlebihan dalam agama akan kesusahan. Maka istiqamahlah, atau mendekati istiqamah, lalu bersiaplah menerima kabar gembira” (HR. Bukhari no.39) • Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di menjelaskan makna hadits tersebut, “Maksudnya, agama Islam itu ringan dan mudah, baik dalam aqidah, akhlak, amal-amal ibadah, perintah dan larangannya… semuanya ringan dan mudah. Setiap mukallaf akan merasa mampu melaksanakannya, tanpa kesulitan dan tanpa merasa terbebani. Aqidah Islam itu ringan, akan diterima oleh akan sehat dan fitrah yang lurus. Kewajiban-kewajiban dalam Islam juga perkara yang sangat mudah” (Bahjah Qulub Al Abrar, 1/106)
  • 19. Allah tidak membebani manusia kecuali sesuai kemampuannya” (QS. Al Baqarah: 286) • Bahkan, aturan syariat yang mudah inipun ketika dalam suatu keadaan seseorang mengalami kesulitan yang besar dalam melaksanakannya, maka berlaku kaidah: “Adanya kesulitan menyebabkan timbulnya kemudahan” • Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di menjelaskan: “Dengan semua kemudahan dalam hukum-hukum Islam ini, jika seseorang mengalami hal yang tidak biasa, yang menyebabkan dia tidak mampu atau sangat tersulitkan dalam menjalankannya, ia diberikan keringanan yang disesuaikan dengan keadaannya” (Qawa’id Wal Ushul Al-Jami’ah, 1/50)
  • 20.
  • 21. Batas Ukuran Safar Jarak disebut safar jika telah mencapai 48 mil atau 85 km. Ini pendapat dari mayoritas ulama dari kalangan Syafi’i, Hambali dan Maliki. Dalil mereka adalah hadits, َ َ ‫ان‬ َ ‫ك‬َ ‫و‬ َ ‫ن‬ْ‫اب‬ ََ ‫ر‬ َ‫م‬‫ع‬ َ ‫ن‬ْ‫اب‬ َ ‫و‬ َ ‫اس‬َّ‫ب‬ َ ‫ع‬ – َ ‫رض‬ ‫هللا‬ ‫عنهم‬ – َ ‫ان‬َ ‫ُص‬ ْ ‫ق‬َ‫ي‬ َ ‫ان‬َ ‫ر‬‫ط‬ ْ ‫ف‬‫ي‬ َ ‫و‬ َ ‫ف‬ ََ‫ب‬ْ ‫ر‬ َ ‫أ‬ َ ِ َ‫َع‬ َ ‫د‬‫ر‬‫ب‬ ََ ْ ‫ه‬ َ ‫و‬ َ َّ ‫ت‬‫س‬ َ َ ِ ََ َ ‫ش‬ َ‫ع‬ ‫ا‬ ً ‫خ‬ َ ‫س‬ْ ‫ر‬ َ ‫ف‬ “Dahulu Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhum mengqashar shalat dan tidak berpuasa ketika bersafar menempuh jarak 4 burud (yaitu: 16 farsakh).” (HR. Bukhari secara mu’allaq –tanpa sanad-. Diwasholkan oleh Al Baihaqi 3: 137. Al Irwa’ 565) Sanggahan: Hadits di atas bukan menunjukkan batasan jarak disebut bersafar sehingga boleh mengqashar shalat.
  • 22. Disebut safar jika telah melakukan perjalanan dengan berjalan selama tiga hari tiga malam. Ini pendapat ulama Hanafiyah. Dalil mereka adalah hadits dari Ibnu ‘Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah seseorang itu bersafar selama tiga hari kecuali bersama mahramnya.” (HR. Bukhari no. 1086; Muslim no. 1338) Dari ‘Ali berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan tiga hari tiga malam sebagai jangka waktu mengusap khuf bagi musafir, sedangkan sehari semalam untuk mukim.” (HR. Muslim no. 276) Sanggahan: Dua hadits di atas juga tidak menunjukkan batasan jarak safar.
  • 23.  Tidak ada batasan untuk jarak safar, selama sudah disebut safar, maka sudah boleh mengqashar shalat. Inilah pendapat Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim dan madzhab Zhahiri. Ada hadits yang menyebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menempuh jarak kurang dari yang tadi disebutkan. Namun ketika itu beliau sudah mengqashar shalat. “Dari Yahya bin Yazid Al Huna-i, ia berkata, “Aku pernah bertanya pada Anas bin Malik mengenai qashar shalat. Anas menyebutkan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menempuh jarak 3 mil atau 3 farsakh –Syu’bah ragu akan penyebutan hal ini-, lalu beliau melaksanakan shalat dua raka’at (qashar shalat).” (HR. Muslim no. 691).
  • 24. Ibnu Hajar Al Asqolani menyatakan, “Itulah hadits yang paling shahih yang menerangkan masalah jarak safar untuk bisa mengqashar shalat. Itulah hadits yang paling tegas.” (Fathul Bari, 2: 567) Jumhur ulama (mayoritas ulama) yang menyelisihi pendapat di atas, mereka menyanggah bahwa jarak yang dimaksud dalam hadits adalah jarak saat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mulai qashar, bukan jarak tujuan yang ingin dicapai.
  • 25. Dalil lain yang mendukung pendapat ketiga ini adalah hadits dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat di Madinah empat raka’at, dan di Dzul Hulaifah (saat ini disebut dengan: Bir Ali) shalat sebanyak dua raka’at.” (HR. Bukhari no. 1089 dan Muslim no. 690).  Padahal jarak antara Madinah dan Bir Ali hanya sekitar tiga mil.
  • 26. 2. Orang yang memiliki udzur tetap, yaitu : Orang lanjut usia yang tidak lagi mampu berpuasa, Orang sakit menahun, Orang yang penghidupannya adalah dengan bekerja berat seperti pekerja tambang, pelabuhan atau semacam itu yang apabila berpuasa mereka akan mengalami kesulitan besar dan merasa teramat berat dan menderita. Termasuk juga kategori ini adalah wanita hamil dan menyusui.
  • 27. Diberi rukhsah (dispensasi, keringanan) untuk tidak berpuasa, tetapi diwajibkan membayar fidyah, yaitu memberi makan satu orang miskin untuk satu hari tidak puasa dengan kadar sekurang-kurangnya satu mud bahan pangan pokok (6 ons). Dan wajib atas orang-orang yang berat menjalankannya membayar fidyah (jika mereka tidak berpuasa), yaitu: memberi makan seorang miskin [QS. Al Baqarah, 2: 184]
  • 28.  Akan tetapi, sesuai dengan akhir ayat 184 al-Baqarah, jika mereka ini masih mampu dan mengupayakan untuk berpuasa, maka hal itu lebih baik,  Karena bagaimanapun berpuasa akan memperoleh kebaikan dunia dan akhirat sedangkan membayar fidyah hanya bersifat menutup dan menggugurkan kewajiban Dan atas orang-orang yang berat menjalankannya wajib membayar fidyah (jika mereka tidak berpuasa), yaitu: memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itu adalah lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui [Q. 2: 184].
  • 29. Jika seandainya mereka miskin sehingga tidak mampu membayar fidyah, maka tidak ada kewajiban membayar fidyah, sesuai dengan firman Allah, Allah tidak akan membebani seseorang kecuali sebatas kemampuannya [QS. Al Baqarah: 286]
  • 30. Rincian Yang Mendapat Keringanan Tidak Berpuasa A. Orang sakit ketika sulit berpuasa.  Yang dimaksudkan sakit adalah seseorang yang mengidap penyakit yang membuatnya tidak lagi dikatakan sehat.  Para ulama telah sepakat mengenai bolehnya orang sakit untuk tidak berpuasa secara umum. Nanti ketika sembuh, dia diharuskan mengqodho’ puasanya (menggantinya di hari lain).
  • 31. Untuk orang sakit ada tiga kondisi: 1. Apabila sakitnya ringan dan tidak berpengaruh apa-apa jika tetap berpuasa, seperti: pilek, pusing atau sakit kepala yang ringan, dan perut keroncongan.  Untuk kondisi pertama ini tetap diharuskan untuk berpuasa. 2. Apabila sakitnya bisa bertambah parah atau akan menjadi lama sembuhnya dan menjadi berat jika berpuasa, namun hal ini tidak membahayakan.  Untuk kondisi ini dianjurkan untuk tidak berpuasa dan dimakruhkan jika tetap ingin berpuasa.
  • 32. 3.Apabila tetap berpuasa akan menyusahkan dirinya bahkan bisa mengantarkan pada kematian.  Untuk kondisi ini diharamkan untuk berpuasa. Dan janganlah kamu membunuh dirimu.” (QS. An Nisa’: 29) (Shahih Fiqh Sunnah, 2/118-120.)
  • 33. B. Orang yang bersafar ketika sulit berpuasa.  Musafir yang melakukan perjalanan jauh sehingga mendapatkan keringanan untuk mengqoshor shalat dibolehkan untuk tidak berpuasa. Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 185)
  • 34. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Hamzah bin ‘Amr al Aslamiy bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam – – Apakah aku boleh puasa ketika safar ? (Hamzah adalah orang yang banyak puasa). Maka Nabi menjawab: “Berpuasalah jika engkau mau, dan jangan puasa jika engkau suka” [HR. Bukhari (1943);Muslim (1121)] Dari Hamzah bin Amr radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau berkata: Wahai Rasulullah aku merasa bahwa aku ini mampu puasa ketika bersafar. Apakah aku berdosa (ketika puasa saat safar) ? Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Itu adalah keringanan (rukhshah) dari Allah. Barangsiapa yang mengambil keringanan tadi, maka itu baik dan barangsiapa yang lebih suka puasa, maka tidak ada dosa baginya” [HR. Muslim Muslim (1122), Abu Dawud (2402), An Nasai (2294)]
  • 35. Musafir ada tiga kondisi: 1. Kondisi pertama adalah jika berat untuk berpuasa atau sulit melakukan hal-hal yang baik ketika itu, maka lebih utama untuk tidak berpuasa. Dalil hadits Jabir bin ‘Abdillah, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika bersafar melihat orang yang berdesak-desakan. Lalu ada seseorang yang diberi naungan. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Siapa ini?” Orang-orang pun mengatakan, “Ini adalah orang yang sedang berpuasa.” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bukanlah suatu yang baik jika seseorang berpuasa ketika dia bersafar”. (HR. Bukhari no. 1946 dan Muslim no. 1115)  Di sini dikatakan tidak baik berpuasa ketika safar karena ketika itu adalah kondisi yang menyulitkan.
  • 36.  Ketika puasa membuat dirinya tidak bisa melakukan kegiatan secara normal. Sehingga dia lebih membutuhkan bantuan orang lain. Dalam kondisi ini lebih dianjurkan tidak berpuasa. Sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu menceritakan, Kami pernah safar bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Orang yang paling bisa berteduh adalah yang punya banyak kain. Mereka berteduh dengan kain. Mereka yang puasa, tidak bisa melakukan apapun. Sementara mereka yang tidak puasa, mereka menggiring onta, melayani yang puasa, mengambilkan air, memasak, dan membuat tenda. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkomentar, Hari ini yang tidak puasa, memborong pahala. (HR. Bukhari 2890; Muslim 2678)
  • 37. 2.Kondisi kedua adalah jika tidak memberatkan untuk berpuasa dan tidak menyulitkan untuk melakukan berbagai hal kebaikan, maka pada saat ini lebih utama untuk berpuasa. Hal ini sebagaimana dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, di mana beliau masih tetap berpuasa ketika safar. Dari Abu Darda’, beliau berkata, – – – – “Kami pernah keluar bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di beberapa safarnya pada hari yang cukup terik. Sehingga ketika itu orang-orang meletakkan tangannya di kepalanya karena cuaca yang begitu panas. Di antara kami tidak ada yang berpuasa. Hanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja dan Ibnu Rowahah yang berpuasa ketika itu.” (HR. Bukhari no. 1945 dan Muslim no. 1122)  Apabila tidak terlalu menyulitkan ketika safar, maka puasa itu lebih baik karena lebih cepat terlepasnya kewajiban.  Begitu pula hal ini lebih mudah dilakukan karena berpuasa dengan orang banyak itu lebih menyenangkan daripada mengqodho’ puasa sendiri sedangkan orang-orang tidak berpuasa.
  • 38. 3. Kondisi ketiga adalah jika berpuasa akan mendapati kesulitan yang berat bahkan dapat mengantarkan pada kematian, maka pada saat ini wajib tidak berpuasa dan diharamkan untuk berpuasa. Dari Jabir bin ‘Abdillah, berkata, Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar pada tahun Fathul Makkah (8 H) menuju Makkah di bulan Ramadhan. Beliau ketika itu berpuasa. Kemudian ketika sampai di Kuroo’ Al Ghomim (suatu lembah antara Mekkah dan Madinah), orang-orang ketika itu masih berpuasa. Kemudian beliau meminta diambilkan segelas air. Lalu beliau mengangkatnya dan orang-orang pun memperhatikan beliau. Lantas beliau pun meminum air tersebut. Setelah beliau melakukan hal tadi, ada yang mengatakan, “Sesungguhnya sebagian orang ada yang tetap berpuasa.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengatakan, “Mereka itu adalah orang yang durhaka. Mereka itu adalah orang yang durhaka”.”(HR. Muslim no. 1114)  Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencela keras seperti ini karena berpuasa dalam kondisi sangat sulit adalah sesuatu yang tercela.
  • 39. Waktu diperbolehkan tidak berpuasa bagi musafir 1. Jika safar dimulai sebelum terbit fajar atau ketika fajar sedang terbit dan dalam keadaan bersafar, lalu diniatkan untuk tidak berpuasa pada hari itu; untuk kondisi semacam ini diperbolehkan untuk tidak berpuasa berdasarkan kesepakatan para ulama. Alasannya, pada kondisi semacam ini sudah disebut musafir karena sudah adanya sebab yang memperbolehkan untuk tidak berpuasa. 2. Jika safar dilakukan setelah fajar (atau sudah di waktu siang), maka menurut pendapat Imam Ahmad yang lain, juga pendapat Ishaq dan Al Hasan Al Bashri, dan pendapat ini juga dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, boleh berbuka (tidak berpuasa) di hari itu. Inilah pendapat yang lebih kuat. Dalil dari pendapat adalah keumuman firman Allah Ta’ala, Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 185)
  • 40. Dari Muhammad bin Ka’ab. Dia mengatakan, Aku pernah mendatangi Anas bin Malik di bulan Ramadhan. Saat ini itu Anas juga ingin melakukan safar. Dia pun sudah mempersiapkan kendaraan dan sudah mengenakan pakaian untuk bersafar. Kemudian beliau meminta makanan, lantas beliau pun memakannya. Kemudian aku mengatakan pada Annas, “Apakah ini termasuk sunnah (ajaran Nabi)?” Beliau mengatakan, “Ini termasuk sunnah.” Lantas beliau pun berangkat dengan kendaraannya.”(HR. Tirmidzi no. 799) 3. Jika berniat puasa padahal sedang bersafar, kemudian karena suatu sebab di tengah perjalanan berbuka, maka hal ini diperbolehkan. Dari Abu Darda’, beliau berkata, – – – – Kami pernah keluar bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di beberapa safarnya pada hari yang cukup terik. Sehingga ketika itu orang-orang meletakkan tangannya di kepalanya karena cuaca yang begitu panas. Di antara kami tidak ada yang berpuasa. Hanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja dan Ibnu Rowahah yang berpuasa ketika itu.”[HR. Bukhari no. 1945 dan Muslim no. 1122)
  • 41. C. Orang yang sudah tua rentah dan dalam keadaan lemah, juga orang sakit yang tidak kunjung sembuh.  Para ulama sepakat bahwa orang tua yang tidak mampu berpuasa, boleh baginya untuk tidak berpuasa dan tidak ada qodho baginya.  Menurut mayoritas ulama, cukup bagi mereka untuk memberi fidyah yaitu memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan. ‫ى‬َ‫ل‬َ‫ع‬ َ‫و‬ ‫ين‬ِ‫ك‬ْ‫س‬ِ‫م‬ ُ‫م‬‫ا‬َ‫ع‬َ‫ط‬ ٌ‫ة‬َ‫ي‬ْ‫د‬ِ‫ف‬ ُ‫ه‬َ‫ن‬‫و‬ُ‫ق‬‫ي‬ِ‫ط‬ُ‫ي‬ َ‫ِين‬‫ذ‬َّ‫ال‬ “Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.” (QS. Al Baqarah: 184)  Begitu pula orang sakit yang tidak kunjung sembuh, dia disamakan dengan orang tua renta yang tidak mampu melakukan puasa sehingga dia diharuskan mengeluarkan fidyah (memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan).
  • 42. D. Wanita hamil dan menyusui.  Jika wanita hamil dan atau menyusui khawatir terhadap kesehatan dirinya dan atau janin yang berada dalam kandungannya karena berpuasa, maka boleh baginya untuk tidak berpuasa, dan hal ini tidak ada perselisihan di antara para ulama. ْ‫َط‬‫ش‬ ِ ‫ر‬ِ‫ف‬‫ا‬َ‫س‬ُ‫م‬ْ‫ال‬ ِ‫ن‬َ‫ع‬ َ‫ع‬َ‫ض‬ َ‫و‬ َّ‫ل‬َ‫ج‬ َ‫و‬ َّ‫ز‬َ‫ع‬ َ َّ ‫َّللا‬ َّ‫ن‬ِ‫إ‬ َ‫ح‬ْ‫ال‬ َ‫و‬ ِ ‫ر‬ِ‫ف‬‫ا‬َ‫س‬ُ‫م‬ْ‫ال‬ ِ‫ن‬َ‫ع‬ َ‫و‬ ِ‫ة‬َ‫ال‬َّ‫ص‬‫ال‬ َ‫ر‬ ِ‫ل‬ِ‫ام‬ َ‫ام‬َ‫ي‬ِّ ِ ‫الص‬ ِ‫و‬َ‫أ‬ َ‫م‬ ْ‫و‬َّ‫ص‬‫ال‬ ِ‫ع‬ ِ ‫ض‬ ْ‫ر‬ُ‫م‬ْ‫ال‬ َ‫و‬ “Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla meringankan setengah shalat untuk musafir dan meringankan puasa bagi musafir, wanita hamil dan menyusui.”(HR. An Nasai no. 2275, Ibnu Majah no. 1667, dan Ahmad 4/347)
  • 43. Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, “Keringanan dalam hal ini adalah bagi orang yang tua renta dan wanita tua renta, lalu mereka mampu berpuasa. Mereka berdua berbuka jika mereka mau dan memberi makan kepada orang miskin setiap hari yang ditinggalkan, pada saat ini tidak ada qodho’ bagi mereka. Kemudian hal ini dihapus dengan ayat (yang artinya): “Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu”. Namun hukum fidyah ini masih tetap ada bagi orang yang tua renta dan wanita tua renta jika mereka tidak mampu berpuasa. Kemudian bagi wanita hamil dan menyusui jika khawatir mendapat bahaya, maka dia boleh berbuka (tidak berpuasa) dan memberi makan orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan.” (Ibnul Jarud, Al Muntaqho dan Al Baihaqi. Irwa’ul Gholil 4/18)
  • 44. Dari Ibnu ‘Abbas, mengenai firman Allah (yang artinya), “Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin,”(QS. Al baqarah 184) beliau mengatakan, “Ayat ini menunjukkan keringanan bagi laki-laki dan perempuan yang sudah tua renta dan mereka merasa berat berpuasa, mereka dibolehkan untuk tidak berpuasa, namun mereka diharuskan untuk memberi makan setiap hari satu orang miskin sebagai ganti tidak berpuasa. Hal ini juga berlaku untuk wanita hamil dan menyusui jika keduanya khawatir –Abu Daud mengatakan: khawatir pada keselamatan anaknya-, mereka dibolehkan tidak berpuasa, namun keduanya tetap memberi makan (kepada orang miskin).” (HR. Abu Daud no. 2318)
  • 45. Dari Ibnu ‘Abbas, beliau dulu pernah menyuruh wanita hamil untuk tidak berpuasa di bulan Ramadhan. Beliau mengatakan, “Engkau seperti orang tua yang tidak mampu berpuasa, maka berbukalah dan berilah makan kepada orang miskin setengah sho’ gandum untuk setiap hari yang ditinggalkan.”(HR. ‘Abdur Razaq) Dari Ibnu ‘Umar. Dari Nafi’ berkata, “Putri Ibnu Umar yang menikah dengan orang Quraisy sedang hamil. Ketika berpuasa di bulan Ramadhan, dia merasa kehausan. Kemudian Ibnu ‘Umar memerintahkan putrinya tersebut untuk berbuka dan memberi makan orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan.” (Irwa’ul Gholil, 4/20)