2. Nama asli Imam al-Ghazali ialah Muhammad bin Ahmad, Al-
Imamul Jalil, Abu Hamid Ath Thusi Al-Ghazali. Lahir di Thusi
daerah Khurasan wilayah Persia tahun 450 H (1058 M).
Ayahnya adalah seorang pemintal benang, tapi ia merupakan
ahli tasawuf yang hebat.
• Al Ghazali belajar pada beberapa orang guru:
Pada masa kecilnya ia mempelajari ilmu fiqh di negerinya
sendiri pada Syekh Ahmad bin Muhammad Ar-Rozakani
(teman ayahnya yang merupakan orang tua asuh al-Ghazali)
dan Imam Abi Nasar Al-Ismaili di negeri Jurjan.
• Di Naisabur ia belajar pada Imam Al-Haromain.
• al-Ghazali dilantik oleh perdana menteri Nizam al Muluk pada
tahun 484 H/1091 M. Sebagai guru besar (profesor) pada
perguruan Tinggi Nizamiyah yang berada di kota Baghdad. Ia
mengajar di perguruan tinggi tersebut selama 4 (empat)
tahun.
• ia juga diangkat sebagai konsultan (mufti) oleh para ahli
hukum Islam dan oleh pemerintah dalam menyelesaikan
berbagai persoalan yang muncul dalam masyarakat.
3. Dalam kehidupannya, ia sering menerima jabatan di
pemerintahan, mengenai daerah yang pernah ia
singgahi dan terobosan yang ia lakukan antara lain:
a. Di Baghdad ia menjadi guru besar di perguruan
Nidzamiyah selama 4 (empat) tahun.
b. Ia meninggalkan kota Baghdad untuk berangkat ke
Syam, di Syam ia menetap hampir 2 (dua) tahun untuk
berkhalwat melatih dan berjuang keras membersihkan diri,
akhlak, dan menyucikan hati hati dengan mengingat Tuhan
dan beri’tikaf di mesjid Damaskus.
c. kemudian ia menuju ke Palestina untuk mengunjungi
kota Hebron dan Jerussalem, tempat di mana para Nabi
sejak dari Nabi Ibrahim sampai Nabi Isa mendapat wahyu
pertama dari Allah.
4. d. lalu ia berangkat ke Mesir, yang merupakan pusat kedua
bagi kemajuan dan kebesaran Islam sesudah Baghdad.
e. Dari Palestina (Kairo), iapun melanjutkan perjalanannya
ke Iskandariyah. Dari sana ia hendak berangkat ke Maroko
untuk memenuhi undangan muridnya yang beranama
Muhammad bin Taumart (1087-1130 M), yang telah merebut
kekuasaanya dari tangan kaum Murabithun, dan mendirikan
pemerintahan baru yang bernama Daulah Muwahhidun. Ia
mengurungkan niatnya untuk pergi memenuhi undangan ke
Maroko, ia tetap tinggal di Mekkah, ia berasalan untuk
melaksanakan kewajiban yang ke lima dalam rukun Islam,
yakni melaksanakan ibadah haji, kemudian ia menziarahi
kuburan Nabi Ibrahim.
f. Selanjutnya ia kembali ke Naisabur, di sana ia mendirikan
Madrasah Fiqh, madrasah ini khusus untuk mempelajari ilmu
hukum, dan membangun asrama (khanqah) untuk melatih
Mahasiswa-mahasiswa dalam paham sufi di tempat
kelahirannya.
5. Ihya Ulum Ad-Din (membahas ilmu-ilmu agama), Tahafut al-
Falasifah (menerangkan pendapat para filsuf ditinjau dari segi
agama). Al-Munqidz min adh-Dhalal (menerangkan tujuan dan
rahasia-rahasia ilmu). Al-Iqtashad fi Al-‘Itiqad (inti ilmu ahli
kalam), Jawahir Al-Qur’an (rahasia-rahasia yang terkandung
dalam al-Qur’an), Mizan Al-‘Amal (tentang falsafah keagamaan)
Al-Maqasshid Al-Asna fi Ma’ani Asma’illah Al-Husna (tentang
arti nama-nama Tuhan), Faishal At-Tafriq Baina Al-Islam Wa
Al-Zindiqah (perbedaan antara Islam dan Zindiq), Al-Qisthas Al-
Mustaqim (jalan untuk mengatasi perselisihan pendapat). Al-
Mustadhhir, Hujjat Al-Haq (dalil yang benar), Mufahil Al-Khilaf
fi Ushul Ad-Din (menjauhkan perselisihan dalam masalah ushul
ad-din), Kimiya As-sa’adah (menerangkan syubhat ahli ibadah),
Al-Basith (fiqh), Al-Wasith (fiqh), Al-Wajiz (fiqh), Al-
Khulasahah Al-Mukhtasharah (fiqh), Yaqut At-Ta’wil fi Tafsir
At-Tanzil (tafsir 40 jilid), Al-Mustasfa (ushul fiqh), Al-Mankhul
(ushul fiqh), Al-Muntaha fi ‘ilmi Al-Jadal (cara-cara berdebat
yang baik), Mi’yar Al-‘ilmi, Al-Maqashid (yang dituju), Al-
Madnun bihi ’ala Ghairi Ahli, Misykat Al-anwar (pelajaran
keagamaan), Mahku An-Nadhar,
6. Kitab Ihya Ulumuddin berisi
paduan indah antara fiqh,
tasawuf dan falsafat
U
L
A
S
A
N
Dalam kitab Tahafut al Falasifa
dan al Munqidz min ad-dlalal, Al
Ghazali menentang filosof-filosof
Islam bahkan mengkafirkan
mereka.
Dalam kitab Munqiz min al-Dhalal, al-
Ghazali mengelompokkan filsosof menjadi
3 (tiga) golongan:
Filosof Materialis (Dhariyyun)
Filosof Naturalis (Thabi’iyyun)
Filosof Ke-Tuhanan (Ilahiyun)
Dalam kitab ini Ia juga menyatakan bahwa
kepercayaan yang dianutnya adalah
kepercayaan orang-orang tasawuf
Dalam kitab ‘Ala Ghairi
Ahlihi ia justru mengakui
qadimnya alam
Dalam kitab Mi’raj as Salikin, ia
menentang orang-orang tasawuf
yang mengatakan adanya
kebangkitan rohani saja.
Dalam kitan Mizan Al
Amal dikatakan bahwa
ketiga persoalna tentang
kekafiran kaum filsafat
merupakan kepercayaan
dari orang-orang tasawuf
juga
7. Pemikiran Filsafat Al-Ghazali
Ada 4 Unsur pemikiran yang
mempengaruhi filsafat Al Ghazali, yaitu
aliran-aliran yang ia tentang:
1. Unsur pemikiran kaum Muttakallimin
(aliran ilmu kalam)
2. Unsur pemikiran kaum filsafat
3. Unsur kepercayaan kaum batiniah
4. Unsur kepercayaan kaum sufi
8. Menurut Al Ghazali, ada tiga hal yang bisa
menyebabkan seorang filosof itu menjadi
kafir, yaitu karena pemikiran mereka
mengenai:
1. Qadimnya alam semesta
2. Ketidaktahuan tuhan terhadap peristiwa-
peristiwa kecil
3. Pengingkaran terhadap kebangkitan
jasmani
9. Mengenai kejadian alam dan dunia, Al-Ghazali berpendapat bahwa dunia
itu berasal dari iradat (kehendak) tuhan semat-mata, tidak bisa terjadi
dengan sendirinya. Iradat tuhan itulah yang diartikan penciptaan.
PengikutAristoteles, menamakan suatu peristiwa sebagai hukum pasti
sebab dan akibat (hukum kausalitas), sedangkanAl-Ghazali seperti juga
Al-Asy’ari berpendapat bahwa suatu peristiwa itu adalah iradatTuhan,
danTuhan tetap bekuasa mutlak untuk menyimpangkan dari kebiasaan-
kebiasaan sebab dan akibat tersebut. Contoh: kasus tidak terbakarnya
Nabi Ibrahim ketika dibakar dengan api.
Para filosof muslim di kala itu mengatakan bahwa alam ini qadim. Sebab
qadimnyaTuhan atas alam sama halnya dengan qadimnya illat atas
ma’lulnya (ada sebab akibat), seperti yang dikemukakan dalam teori
emanasi. Sedangkan bagi al-Ghazali, alam haruslah tidak qadim dan ini
berarti pada awalnyaTuhan ada, sedangkan alam tidak ada, kemudian
Tuhan menciptakan alam maka alam ada di samping adanyaTuhan.
Bantahan Al Ghazali terhadap Qadimnya alam semesta
10. Bantahan Al Ghazali tentang Ketidaktahuan tuhan
terhadap peristiwa-peristiwa kecil
Menurut al-Ghazali para filosof Muslim itu mempunyai pemahaman bahwa Allah
sebagaiTuhan umat Muslim hanya mengetahui zat-Nya sendiri dan tidak bisa
mengetahui yang selain-Nya. Ibnu Rusyd berpendapatTuhan hanya tahu yang
universal, bukan perkara yang kecil (partikular). Ini bertentangan dengan dalil al-
Qur’an:
ٍلَمَع ْنِم َونُلَمْعَت ال َو ٍآن ْرُق ْنِم ُهْنِم وُلْتَت اَم َو ٍنَْأش يِف ُنوُكَت اَم َوِفُت ْذِإ ًادوُهُش ْمُكْيَلَع اَّنُك الِإِهيِف َونُضياَم َو
ْصَأ ال َو ِاءَمَّسال يِف ال َو ِض ْاألر يِف ٍةَّرَذ ِالَقْثِم ْنِم َِّكِب َر ْنَع ُبُزْعَيِك يِف الِإ َرَبْكَأ ال َو َكِلَذ ْنِم ََرَغِبُم ٍبَاتٍين
Artinya: ”Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu
ayat dari Al Quran dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan
kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya. tidak luput dari
pengetahuanTuhanmu biarpun sebesar zarrah (atom) di bumi ataupun di langit.
tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula) yang lebih besar dari itu, melainkan
(semua tercatat) dalam Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh).”(Q.S.Yunus: 61)
11. Bantahan Al Ghazali terhadap
Pengingkaran kebangkitan jasmani
Banyak dari para filosof berpendapat
bahwa yang akan dibangkitkan nantinya
di alam akhirat adalah rohani semata,
sedangkan jasmani (jasad) akan hancur.
Maka dari itu, ketika di akhirat nanti,
tentang adanya kebahagiaan ataupun
kepedihan di sana yang dapat
merasakan adalah rohani. Sedangkan
jasmani (jasad) merasakan kebahgiaan
dan kepedihan hanya saat di dunia saja.
Menurut al-Ghazali, berdasarkan
gambaran al-Qur’an dan al-Hadits Nabi
Muhammad SAW. Tentang kehidupan di
akhirat bukanlah mengacu pada
kehidupan rohani saja. Tetapi pada
kehidupan rohani dan jasmani. Jasad
dibangkitkan dan disatukan dengan
jiwa-jiwa manusia yang pernah hidup di
dunia untuk merasakan nikmat surgawi
yang bersifat rohani-jasmani.
Dalam bukunya Tahafut al-Falasifah al-
Ghazali juga mengatakan; banyak
hadits yang mengatakan bahwa roh-roh
manusia merasakan adanya kebaikan
atu siksa kubur dan lainnya. Semua ini
sebagai indikasi adanya kekekalan jiwa.
Sedangkan kebangkitan jasmani secara
eksplisit telah ditegaskan dalam syara’,
yakni berarti jiwa dikembalikan pada
tubuh, baik tubuh semula maupun
tubuh yang lain, atau tubuh yang baru
dijadikan.
12.
13. Dalam Al Munqiz min Ad Dhalal Al-Ghazali berpendapat bahwa :
”ilmu hati merupakan konsekuensi logis bagi ilmu-ilmu manusia, karena ada
dua alam, yakni alam lahir dan alam bathin. Jika ilmu-ilmu (pengetahuan)
menguasai ilmu lahir dengan analisa dan keterangan, maka harus ada ilmu
khusus untuk menjelaskan ilmu bathin. Pengetahuan-pengetahuan itu sendiri
ada dua, yaitu inderawi dan sufi (lahir dan bathin). Sarana untuk mengenal
pengetahuan-pengetahuan lahir adalah panca indera, sedang metoda untuk
mencapai pengetahuan-pengetahuan bathin harus kembali kepada mereka
(kaum sufi) yang mengatakan bahwa kesederhanaan, zuhud, dan amal-amal
praktis seluruhnya adalah jalan untuk mempersepsi berbagai realitas yang
tersembunyi dan ilham yang melampaui penglihatan dan pendengaran. Maka
ma’rifat adalah tujuan yang luhur bagi tasawuf.
Dalam The Juwels of the Qur’an (mutiara al-Qur’an) dan Mizan Al-Amal
(timbangan amal), al-Ghazali mengklasifikasikan ilmu menjadi empat bagian :
- Pembagian ilmu-ilmu menjadi bagian teoritis dan praktis.
- Pembagian pengetahuan menjadi pengetahuan yang dihadirkan (hudhuri)
dan pengetahuan yang dicapai (hushuli).
- Pembagian atas ilmu-ilmu religius (sya’iyyah) dan intelektual (aqliyah).
- Pembagian ilmu menjadi ilmu-ilmu fardhu’in (wajib atas setiap individu) dan
fardhu kifayah (wajib atas umat).
14. Berdasarkan apa yang telah dibahas sebelumnya, dapat
diketahui bahwa Al Ghazali telah melakukan pembaharuan
pada berbagai bidang: filsafat, ilmu kalam dan juga tasawuf.
al-Ghazali lebih tepat digolongkan dalam kelompok
pembangunan agama yang jalan pemikirannya didasarkan
pada sumber ajaran Islam yaitu al-Qur’an dan al-Hadits.
Apabila memakai sumber lain dari Islam maka sumber-
sumber ini hanya dijadikan sebagai alat untuk maksud
menghidupkan ajaran-ajaran agama dan untuk membantu
menerangi jalan menuju Allah SWT.