SlideShare a Scribd company logo
1 of 91
Download to read offline
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN
EMFISEMA SUBKUTIS PADA PASIEN PNEUMOTORAKS
YANG MENJALANI PEMASANGAN SELANG DADA
DI RSUP H ADAM MALIK
MEDAN
TESIS
KARMILA
NIM: 157041082
PROGRAM STUDI MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK
DEPARTEMEN PULMONOLOGI DAN KEDOKTERAN RESPIRASI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2019
Universitas Sumatera Utara
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN
EMFISEMA SUBKUTIS PADA PASIEN PNEUMOTORAKS
YANG MENJALANI PEMASANGAN SELANG DADA
DI RSUP H ADAM MALIK
MEDAN
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Magister dalam
Program Studi Magister Kedokteran Klinik
Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
KARMILA
NIM: 157041082
PROGRAM STUDI MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK
DEPARTEMEN PULMONOLOGI DAN KEDOKTERAN RESPIRASI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2019
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
ii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim,
Alhamdulillahirabbil‟alamin. Segala puji dan syukur penulis panjatkan
kehadirat Allah SWT yang atas berkat dan rahmat-Nya, penulis dapat
menyelesaikan penulisan tesis yang berjudul “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Kejadian Emfisema Subkutis di RSUP H Adam Malik Medan”.
Tulisan ini merupakan persyaratan dalam menyelesaikan pendidikan
Magister Kedokteran Klinik untuk bidang keahlian Pulmonologi dan Kedokteran
Respirasi di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Pada kesempatan
ini penulis menyampaikan penghargaan dan rasa terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada:
Dr. dr. Aldy Safruddin Rambe, M.Ked(Neu), Sp.S(K) selaku Dekan
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan
kesempatan kepada penulis untuk menempuh pendidikan di Program Studi
Magister Kedokteran Klinik.
Dr. dr. Rodiah Rahmawaty Lubis, M.Ked(Oph), SpM(K) selaku Ketua
Program Studi MKK Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah
memberikan kesempatan kepada penulis untuk menempuh pendidikan di Program
Studi Magister Kedokteran Klinik.
Dr. dr. Mohd. Rhiza Z Tala, M.Ked(OG), Sp.OG(K) selaku Sekretaris
Program Studi MKK Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah
memberikan kesempatan kepada penulis untuk menempuh pendidikan di Program
Studi Magister Kedokteran Klinik.
dr. Zainuddin Amir, M.Ked(Paru), Sp.P(K), sebagai Ketua Departemen
Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FK USU yang tiada henti-hentinya
memberikan bimbingan dan nasehat dalam cara berpikir, bersikap dan berperilaku
yang baik selama masa pendidikan.
Dr. dr. Amira P. Tarigan, M.Ked(Paru), Sp.P(K) selaku Ketua Program
Studi Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FK USU dan juga sebagai
Pembimbing Akademik serta sebagai pembimbing utama dalam penelitian ini
Universitas Sumatera Utara
iii
yang senantiasa memberikan arahan dan dorongan bagi penulis hingga dapat
menyelesaikan seluruh rangkaian pendidikan di bidang Magister Kedokteran
Klinik.
Dr. dr. Bintang Y.M. Sinaga, M.Ked(Paru), Sp.P(K) selaku Sekretaris
Program Studi Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FK USU dan sekaligus
sebagai koordinator penelitian ilmiah di Departemen Pulmonolgi dan Kedokteran
Respirasi FK USU yang telah banyak memberikan masukan dalam rangka
penyusunan dan penyempurnaan tulisan ini.
dr.Widirahardjo, Sp.P(K) selaku Pembimbing Akademik serta sebagai
pembimbing utama dalam penelitian ini yang senantiasa memberikan arahan dan
dorongan bagi penulis hingga dapat menyelesaikan seluruh rangkaian pendidikan
di bidang Magister Kedokteran Klinik.
Dr. dr. Fajrinur Syarani, M.Ked(Paru), Sp.P(K) pembimbing Kedua dalam
penelitian ini yang senantiasa memberikan arahan dan dorongan bagi penulis
hingga dapat menyelesaikan seluruh rangkaian pendidikan di bidang Magister
Kedokteran Klinik.
Dr. Putri C Eyanoer, MSEpid, PhD selaku pembimbing Statistik dalam
penelitian ini yang senantiasa memberikan arahan dan dorongan bagi penulis
hingga dapat menyelesaikan seluruh rangkaian pendidikan di bidang Magister
Kedokteran Klinik.
Penghormatan dan ucapan terima kasih juga tak lupa penulis sampaikan
kepada seluruh jajaran guru besar dan staf pengajar di Departemen Pulmonologi
Kedokteran Respirasi FK USU, yaitu kepada Prof.dr. Luhur Soeroso, Sp.P(K),
Prof.dr. Tamsil Syafiuddin, Sp.P(K), dr. Hilaluddin Sembiring, DTM&H,
Sp.P(K), dr. Widirahardjo, Sp.P(K), dr. Pandiaman S Pandia, M.Ked(Paru),
Sp.P(K), Dr.dr. Fajrinur Syarani, M.Ked(Paru), Sp.P(K), dr. Parluhutan Siagian,
M.Ked(Paru), Sp.P(K), Dr.dr. Noni N Soeroso, M.Ked(Paru), Sp.P(K), dr. Setia
Putra Tarigan, Sp.P(K), dr. Syamsul Bihar, M.Ked(Paru), Sp.P, dr. Netty Y
Damanik, Sp.P, dr. Ucok Martin, Sp.P, dr. Ade Rahmaini, M.Ked(Paru), Sp.P, dr.
Muntasir AB. Sp.P, dr. Desfrina Kasuma Sp.P, dr. Delores Sormin Sp.P dan dr.
Nuryunita Nainggolan, Sp.P(K) yang telah banyak memberikan kontribusi
Universitas Sumatera Utara
iv
keilmuan selama menjalani pendidikan di bidang Pulmonologi dan Kedokteran
Respirasi.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh teman sejawat peserta
Program Pendidikan Dokter Spesialis Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi
yang telah memberikan semangat dan motivasi sehingga penulis dapat
menyelesaikan penelitian ini, juga kepada seluruh dokter muda, pegawai tata
usaha, perawat dan petugas teknis di RSUP H Adam Malik Medan dan di RS
Universitas Sumatera Utara.
Penghormatan yang setinggi-tingginya dan terima kasih yang tiada
terbalas penulis sampaikan kepada seluruh keluarga yaitu kepada kedua orang tua,
Ayahanda Drs. H. T. Syamsul Bahri, Ibunda Hj. Limpah Ani, Suami Tercinta
Tugi Rahayu,SST,OT,M.Psi anak Tercinta penulis Hawwa Shabira Rahayu,
Kakanda Mutia Sari, SE.Msi, Rahmi Maya Sari,SST, M.Kes, dr. Kartika,M.Kes,
dr. Karlina, yang telah bersabar dan memberi semangat untuk menyelesaikan
penelitian ini. Semoga tulisan ini dapat memberikan kontribusi keilmuan dan
dapat bermanfaat bagi orang-orang yang membutuhkan. Aamiin.
Medan, Juli 2019
Penulis,
(dr. Karmila)
Universitas Sumatera Utara
v
ABSTRAK
Latar Belakang: Pemasangan selang dada merupakan salah satu prosedur
tindakan yang paling sering dikerjakan di bidang pulmonologi, kususnya pada
pasien dengan pneumotoraks. Meskipun relatif aman, pemasangan selang dada
tidak terlepas dari komplikasi, salah satunya adalah emfisema subkutis yang
didefinsikan sebagai terperangkapnya udara di lapisan subkutisdengan gejala
mulai dari krepitasi pada dinding toraks, pembengkakan dan bahkan mengancam
jiwa. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor faktor yang mempengaruhi
terjadinya emfisema subkutis pada pasien pneumotoraks yang menjalani
pemasangan selang dada
Metode Penelitian: Penelitian ini merupakan studi analitik dengan desain case
control yang dilakukan dengan cara telaah rekam medis pasien pneumotoraks
yang dirawat di RSUP H Adam Malik Medan pada tahun 2016 – 2018. Teknik
pengambilan sampel dilakukan secara consecutive sampling. Analisis statistik
dilakukan dengan analisis bivariate dan multivariate menggunakan Statistic
Package for Social Sciences (SPSS) dimana nilai p<0.05 dinyatakan bermakna
Hasil: Sebanyak 35 pasien pneumotoraks dilibatkan sebagai subjek dalam
penelitian ini. Kejadian emfisema subkutis dijumpai pada 15 pasien (26,8%).
Terdapat hubungan yang signifikan antara ukuran selang dada yang digunakan
(p=0,04), lama pemasangan (p=0,04) dan sumbatan pada selang dada (blockage)
dengan emfisema subkutis (p=0,01). Analisis multivarate menunjukkan bahwa
faktor yang paling mempengaruhi emfisema subkutis adalah sumbatan (blockage)
pada selang dada, dimana blockage meningkatkan risiko emfisema subkutis
sebanyak 12 kali lipat.
Kesimpulan: Sumbatan pada selang dada (blockage), penggunaan selang dada
yang berukuran kecil dan lama pemasangan selang dada berhubungan signifikan
dengan kejadian emfisema subkutis pada pasien pneumotoraks yang menjalani
pemasangan selang dada
Kata kunci: emfisema subkutis, pneumotoraks, selang dada, blockage
Universitas Sumatera Utara
vi
ABSTRACT
Background: Background: Chest tube insertion is one of the most fequent
procedures in pulmonology, specifically in patients with pneumothorax. Although
relatively safe, the chest tube insertion can not be separated from complications,
like subcutaneous emphysema, defined as the trapping of air in the subcutaneous
layer with symptoms ranging from chest wall crepitus, swelling and even life
threatening. This study aims to determine the factors that influence the occurrence
of subcutaneous emphysema in pneumothorax patients undergoing chest tube
insertion.
Methods: This research is an analytic study with a case control design carried
out by examining the medical records of pneumothorax patients treated at H
Adam Malik General Hospital Medan in 2016 - 2018. The sampling technique
was done by consecutive sampling. Statistical analysis was performed by
bivariate analysis and multivariate using the Statistical Package for Social
Sciences (SPSS) where the value of p <0.05 was considered significant.
Results: 35 pneumothorax patients were included as subjects in this study. The
incidence of subcutaneous emphysema was found in 15 patients (26.8%). There
was a significant relationship between the size of chest tube (p = 0.04), duration
(p = 0.04) and blockage of the chest hose with subcutaneous emphysema (p =
0.01). Multivarate analysis shows that the most influencing factor for is blockage
of the chest tube, increasing the risk of subcutaneous emphysema by 12 times.
Conclusion: Blockage, small-sized chest tube and duration of chest tube insertion
are significantly associated with subcutaneous emphysema in pneumothoracic
patients undergoing chest tube insertion
Keywords: subcutaneous emphysema, pneumothorax, chest tube, blockage
Universitas Sumatera Utara
vii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN .......................................................................... i
KATA PENGANTAR.................................................................................... ii
ABSTRAK ...................................................................................................... v
ABSTRACT ..................................................................................................... vi
DAFTAR ISI................................................................................................... vii
DAFTAR TABEL........................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR...................................................................................... xi
DAFTAR SINGKATAN................................................................................ xii
DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................. xiii
BAB 1. PENDAHULUAN........................................................................ 1
1.1. Latar Belakang Masalah ...................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah................................................................ 5
1.3. Tujuan Penelitian................................................................. 5
1.3.1. Tujuan Umum.......................................................... 5
1.3.2. Tujuan Khusus ......................................................... 6
1.4. Manfaat Penelitian............................................................... 6
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA .............................................................. 7
2.1. Kateter Toraks (Selang Dada).............................................. 7
2.2. Emfisema Subkutis .............................................................. 8
2.2.1. Definisi .................................................................... 10
2.2.2. Tanda dan Gejala ..................................................... 11
2.2.3. Etiologi Emfisema Subkutis .................................... 11
2.2.4. Patofisiologi Emfisema Subkutis............................. 14
2.2.5. Diagnosis.................................................................. 15
2.2.6. Penatalaksanaan....................................................... 16
2.3. Pneumotoraks....................................................................... 18
2.3.1. Definisi..................................................................... 18
2.3.2. Faktor Etiologi ......................................................... 18
2.3.3. Patogenesis Pneumotoraks....................................... 19
2.3.4. Klasifikasi Pneumotoraks ........................................ 20
2.3.5. Manifestasi Klinis.................................................... 23
2.3.6. Gejala Klinis ............................................................ 23
2.3.7. Diagnosis.................................................................. 24
2.3.8. Pemeriksaan Penunjang ........................................... 25
2.3.9. Pemeriksaan Penunjang ........................................... 25
2.3.10. Penatalaksanaan....................................................... 27
2.3.11. Pencabutan Selang Dada.......................................... 29
2.3.12. Prognosis.................................................................. 29
2.4. Kerangka Teori .................................................................... 30
2.5. Hipotesis Penelitian ............................................................. 31
2.6. Kerangka Konsep................................................................. 31
Universitas Sumatera Utara
viii
BAB 3. METODE PENELITIAN ........................................................... 32
3.1. Jenis Penelitian .................................................................... 32
3.2. Waktu dan Tempat Penelitian.............................................. 32
3.3. Alat dan Bahan..................................................................... 32
3.4. Populasi dan Sampel Penelitian........................................... 32
3.4.1. Populasi.................................................................... 32
3.4.2. Sampel ..................................................................... 32
3.4.3. Teknik Pengambilan Sampel dan Besar Sampel ..... 33
3.5. Variabel Penelitian............................................................... 34
3.6. Definisi Operasional ............................................................ 34
3.7. Kerangka Operasional ......................................................... 36
3.8. Prosedur Penelitian .............................................................. 36
3.9. Analisis Data........................................................................ 37
3.9.1. Analisa Univariat ..................................................... 37
3.9.2. Analisa Bivariat ....................................................... 37
3.10. Etika Penelitian.................................................................... 37
BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................... 38
4.1. Karakteristik Pasien Pneumotoraks yang Dipasang Selang
Dada di RSUP H. Adam Malik Medan................................ 38
4.2. Ukuran Selang Dada, Lama Penggunaan dan Blockage
Pasien yang Dipasang Selang Dada di RSUP H. Adam
Malik Medan........................................................................ 39
4.3. Kejadian Emfisema Subkutis dan Derajat Emfisema
Subkutis Pasien Pneumotoraks yang Dipasang Selang
Dada di RSUP H. Adam Malik Medan................................ 40
4.4. Hubungan Ukuran Selang Dada dengan Kejadian
Emfisema Subkutis pada Pasien Pneumotoraks yang
Dipasang Selang dada di RSUP H. Adam Malik Medan .... 40
4.5. Hubungan Posisi Selang Dada dengan Kejadian Emfisema
Subkutis pada Pasien Pneumotoraks yang Dipasang
Selang dada di RSUP H. Adam Malik Medan .................... 42
4.6. Hubungan Lamanya Penggunaan dengan Kejadian
Emfisema Subkutis pada Pasien Pneumotoraks yang
Dipasang Selang Dada di RSUP H. Adam Malik Medan.... 43
4.7. Hubungan Blockage dengan Kejadian Emfisema Subkutis
pada Pasien Pneumotoraks yang Dipasang Selang Dada di
RSUP H. Adam Malik Medan............................................. 44
4.8. Analisis Multivariat ............................................................. 46
4.9. Pembahasan ......................................................................... 47
4.9.1. Karakteristik Pasien Pneumotoraks yang Dipasang
Selang Dada di RSUP H. Adam Malik Medan........ 47
4.9.2. Hubungan Ukuran Selang Dada dengan Kejadian
Emfisema Subkutis pada Pasien Pneumotoraks
yang Dipasang Selang dada di RSUP H. Adam
Malik Medan............................................................ 49
Universitas Sumatera Utara
ix
4.9.3. Hubungan Posisi Selang Dada dengan Kejadian
Emfisema Subkutis pada Pasien Pneumotoraks
yang Dipasang Selang dada di RSUP H. Adam
Malik Medan............................................................ 50
4.9.4. Hubungan Lama Pemasangan dengan Kejadian
Emfisema Subkutis pada Pasien Pneumotoraks
yang Dipasang Selang dada di RSUP H. Adam
Malik Medan............................................................ 51
4.9.5. Hubungan Blockage dengan Kejadian Emfisema
Subkutis pada Pasien Pneumotoraks yang
Dipasang Selang dada di RSUP H. Adam Malik
Medan ...................................................................... 53
BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................... 55
5.1. Kesimpulan.......................................................................... 55
5.2. Saran .................................................................................. 55
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 56
LAMPIRAN.................................................................................................... 58
Universitas Sumatera Utara
x
DAFTAR TABEL
No. Judul Halaman
Tabel 2.1. Detil subjek yang terpasang selang dada.................................. 12
Tabel 2.2. Karakteristik demografi setiap grade........................................ 14
Tabel 3.1. Definisi Operasional................................................................. 34
Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Karakteristik Pasien Pneumotoraks yang
Dipasang Selang Dada di RSUP H. Adam Malik Medan ........ 38
Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Ukuran Selang Dada, Lama Penggunaan
dan Blockage Pada Pasien Pneumotoraks yang Dipasang
Selang Dada di RSUP H. Adam Malik Medan ........................ 39
Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Kejadian Emfisema Subkutis dan
Derajat Emfisema Subkutis pada Pasien Pneumotoraks yang
Dipasang Selang Dada di RSUP H. Adam Malik Medan ........ 40
Tabel 4.4. Hubungan Ukuran Selang Dada dengan Kejadian Emfisema
Subkutis pada Pasien Pneumotoraks yang Dipasang Selang
Dada di RSUP H. Adam Malik Medan .................................... 41
Tabel 4.5. Hubungan Posisi Selang Dada dengan Kejadian Emfisema
Subkutis pada Pasien Pneumotoraks yang Dipasang Selang
Dada di RSUP H. Adam Malik Medan .................................... 42
Tabel 4.6. Hubungan Lamanya Penggunaan dengan Kejadian Emfisema
Subkutis pada Pasien Pneumotoraks yang Dipasang Selang
Dada di RSUP H. Adam Malik Medan .................................... 43
Tabel 4.7. Hubungan Blockage dengan Kejadian Emfisema Subkutis
pada Pasien Pneumotoraks yang Dipasang Selang Dada di
RSUP H. Adam Malik Medan.................................................. 45
Tabel 4.8. Hasil Akhir Uji Regresi Logistik Berganda ............................. 46
Universitas Sumatera Utara
xi
DAFTAR GAMBAR
No. Judul Halaman
Gambar 2.1. Grade pada Emfisema Subkutis................................................ 9
Gambar 2.2. Emfisema subkutis melibatkan dinding dada, wajah, leher,
dan kelopak mata...................................................................... 10
Gambar 2.3. Triangle of Safety ..................................................................... 12
Gambar 2.4 Patofisiologi Emfisema Subkutis ............................................. 14
Gambar 2.5 Mekanisme emfisema subkutis sebelum dan sesudah
pemasangan kanul .................................................................... 15
Gambar 2.6. Anatomi pleura ......................................................................... 19
Gambar 2.7. Foto rontgen pneumotoraks ..................................................... 27
Gambar 2.8. Kerangka Teori......................................................................... 30
Gambar 3.1 Kerangka Operasional Penelitian ............................................. 36
Gambar 4.1 Hubungan Ukuran Trokar dengan Emfisema Subkutis............ 41
Gambar 4.2 Hubungan Posisi Selang Dada dengan Emfisema Subkutis..... 42
Gambar 4.3 Hubungan Lama Penggunaan dengan Emfisema Subkutis...... 44
Gambar 4.4 Hubungan Blockage dengan Emfisema Subkutis..................... 45
Universitas Sumatera Utara
xii
DAFTAR SINGKATAN
SE : Emfisema Subkutis
IMT : Indeks Massa Tubuh
REPE : Reexpansion Pulmonary Edema
WSD : Water Seal Drainage
REPE : Reexpansion Pulmonary Edema
COPD : Cronic Obstruksi Pulmonary Desease
HLA : Human Leukocyte Antigen
F : French
Universitas Sumatera Utara
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
No. Judul Halaman
Lampiran 1 Daftar Riwayat Hidup............................................................... 58
Lampiran 2 Persetujuan setelah penjelasan ................................................. 60
Lampiran 3 Output SPSS ............................................................................. 61
Lampiran 4 Foto Klinis................................................................................ 71
Universitas Sumatera Utara
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Kateter Toraks (Selang dada) adalah sebuah prosedur bedah yang paling
sering dilakukan pada bidang bedah toraks. Karena sifat tindakan ini yang
dilakukan untuk menyelamatkan nyawa, maka ahli bedah umum, ahli perawatan
intensif, maupun dokter ahli kegawatdaruratan akan melakukan tindakan ini pada
satu waktu. (Kesiema et al, 2012)
Indikasi terbanyak pemasangan selang dada di RS Persahabatan tahun
2014 adalah pneumotoraks yaitu 21 (48,7%) orang diikuti hidropneumotoraks dan
piopneumotoraks masing-masing 6 (13,9%) orang kemudian empiema torasis dan
efusi pleura masing-masing 5 (11,6%) orang. Teknik pemasangan selang dada
dengan selang dada paling banyak dilakukan. Kateter nelaton merupakan jenis
kateter yang paling banyak dipakai untuk berbagai indikasi sedangkan kateter
berselang dada hanya digunakan satu kali pada kasus pneumotoraks spontan
sekunder. Selang dada yang umumnya dipakai adalah ukuran 18F, 20F, 22F dan
24F. (Rosadi et al, 2014)
Terjadinya emfisema subkutis adalah komplikasi yang sudah diketahui
dari pemasangan tube thoracostomy. Hal ini biasanya nampak sebagai krepitasi
subkutan yang dapat didemonstrasikan secara klinis, maupun hanya occult saja
dan hanya nampak pada pemeriksaan radiografis. Emfisema subkutis yang luas
dapat menimbulkan ketidak nyamanan yang ekstrim, kekhawatiran kosmesis,
kecemasan, dan juga obstruksi jalan napas atas, serta disfungsi pacemaker.
(Kesiema et al, 2012)
Penelitian Riber et al mengungkapkan dimana mereka menemukan
komplikasi yang lebih sedikit saat ujung tube ditempatkan pada regio apikal dari
pleura, sedangkan 29% dari selang dada yang tidak terletak pada apex maka akan
mengalami kegagalan untuk terjadinya reekspansi dari paru. Jika dilihat secara
teori maka diperkirakan bahwa udara bergerak secara bebas dalam cavum pleura,
Universitas Sumatera Utara
2
yang mana merupakan suatu ruang yang berkesinambungan, dan udara akan
bergerak ke titik dengan tekanan yang lebih rendah dimana kemudian akan
didrainase oleh selang dada. (Riber et al, 2017)
Studi Light mengungkapkan terjadinya Emfisema subkutis yang biasanya
muncul berupa terjadinya krepitasi pada jaringan lunak disekitar lokasi drain,
tetapi dapat dengan sangat cepat menyebar ke area mana saja di seluruh tubuh.
Ditemukannya SE pada pasien dengan tube thoracostomy mengindikasikan
terjadinya satu dari tiga kemungkinan: (a) side-hole dari selang dada terletak
diluar dari spasium pleura didalam dinding dada, yang kemudian mengakibatkan
udara untuk dapat memasuki jaringan, (b) selang dada mengalami sumbatan, atau
(c) sistem drainase tidak dapat mengatasi kebocoran udara. Biasanya berhubungan
dengan pemasangan selang dada dengan ukuran yang terlalu kecil, maupun juga
terjadinya kebocoran udara yang masif. Cerfolio et al. Melaporkan bahwa 6.3%
dari 4.023 pasien yang dilakukan reseksi paru karena kanker kemudian akan
mengalami emfisema subkutis. ( Light et al, 2013)
Penelitian Cerfolio et al (2008) menyatakan Emfisema subkutis yang
terjadi setelah dilakukan reseksi paru berpotensi dapat menimbulkan masalah dan
belum pernah diteliti dengan baik. Setelah udara memasuki spasium subkutis dari
dinding dada, udara akan menyebabkan terjadinya diseksi kedalam jaringan lunak
dari wajah, Kelopak mata dapat secara mudah mengalami pembengkakan dan
mengakibatkan pasien tidak dapat melihat, leher, dada bagian atas, dan juga bahu,
Walaupun sequelae dari emfisema subkutis biasanya hanya ringan saja dan dapat
sembuh dengan sendirinya, beberapa laporan kasus sebelumnya telah
mengindikasikan dapat terjadinya komplikasi yang mengancam nyawa seperti
obstruksi jalan napas atas dan gagal napas akut. (Jones et al, 2001)
Jones et al melaporkan dalam penelitiannya dari 167 pasien yang
dilakukan drainase selang dada dalam periode 12 bulan dievaluasi secara
retrospektif. Terdapat 30 kasus emfisema subkutis yang dilaporkan.
Perbandingan dilakukan antara kasus dimana terjadinya emfisema subkutis dan
kasus dimana tidak terjadinya komplikasi ini, totalnya 134 rekam medis pasien
Universitas Sumatera Utara
3
dievaluasi. Emfisema subkutis yang terjadi setelah pemasangan selang dada
seringnya diasosiasikan dengan trauma, fistula bronchopleura, pneumotoraks yang
besar dan bilateral, serta ventilasi mekanik. Telah terdapat asosiasi yang jelas
dengan drainase yang berkepanjangan, posisi pemasangan selang dada yang
buruk, sumbatan pada selang dada, migrasi side-port, dan jumlah selang dada
yang lebih banyak. Emfisema subkutis dapat mengakibatkan lama masa rawat
inap yang lebih panjang, dan peningkatan mortalitas pasien. (Kesiema et al, 2012;
Jones et al, 2001)
Aghajanzadeh et al tidak menemukan artikel tentang klasifikasi dan besar
rangkaian kasus SE dalam literatur. Namun, mereka menemukan banyak laporan
kasus dengan berbagai penyebab yaitu trauma dada sebagai penyebab utama, bisa
menyebabkan udara masuk ke dalam kulit dari dinding dada dari leher atau paru-
paru. Penyebab emfisema subkutis bisa terjadi akibat trauma tumpul dan tembus,
trakea mungkin terluka oleh trakeostomi atau trakea intubasi secara keseluruhan,
dalam kasus luka trakea, jumlah besar udara bisa masuk ke ruang subkutan,
Endotrakeal Tube bisa menusuk trakea atau bronkus dan bisa menyebabkan SE.
Penyebab utama lainnya, bersama dengan pneumotoraks adalah fungsi yang tidak
tepat dari selang dada. Emfisema subkutis sering juga terjadi akibat ada yang
salah dengan selang dada; itu mungkin tersumbat, terjepit, atau tidak pada
tempatnya, atau bila udara masuk dalam jumlah besar maka selang dada mungkin
perlu untuk diganti. Ventilasi mekanis bisa memaksa udara ke dalam jaringan dan
memperburuk pneumotoraks. Terjadinya emfisema subkutis pada pasien dengan
ventilasi mekanis dapat menyebabkan pneumotoraks. Penyebab utama emfisema
subkutis dikelompokkan menjadi grade 1 sampai 5, dan secara keseluruhan,
trauma adalah yang paling umum, tapi itu berbeda di tiap grade. Dalam sebuah
laporan kasus oleh Beck dan rekannya, penyebab emfisema subkutis adalah
pneumonia yang didapat masyarakat dengan latar belakang PPOK. Selain itu,
beberapa laporan kasus lain penyebabnya adalah iatrogenik dan trauma dada.
(Aghajanzadeh et al, 2015)
Universitas Sumatera Utara
4
Grippi et al mengatakan terkadang emfisema subkutis masif dapat terjadi
apabila hilangnya udara dari paru kedalam cavum pleura melebihi kapasitas
drainase dari selang dada, ataupun bila selang dada diposisikan jauh dari lokasi
terjadinya kebocoran udara. Kondisi yang terakhir ini lebih sering terjadi
dibandingkan kondisi yang pertama. Apabila hal ini terjadi, patensi dari selang
dada haruslah diperiksa. Terkadang, selang dada dapat ter-klem maupun terpuntir
oleh tempat tidur pasien maupun tiang infus, pada level kulit maupun di lemak
subkutis. Apabila selang dada tersumbat karena adanya sumbatan yang
menutupinya, maka selang dada harus dibuka dan dilakukan suction, dengan
menggunakan teknik steril dengan catheter suction nasotracheal. Beberapa ahli
bedah melakukan irigas dari tabung yang tersumbat, dengan menggunakan saline
yang steril, tetapi karena adanya kemungkinan terjadinya kontaminasi yang
bersifat infektif hal ini hanya boleh dilakukan sebagai cara terakhir. Apabila
berbagai macam cara telah gagal untuk dapat mengembalikan patensi dari selang
dada, maka selang dada harus dicabut dan diganti dengan yang baru. (Grippi et al,
2013)
Studi Cerfolio et al mengungkapkan Emfisema subkutis memiliki
kecenderungan untuk lebih sering terjadi pada pasien dengan FEV1% yang
kurang dari 50%, dan dilakukan thoracotomy ulangan. Emfisema recalcitrant yang
menetap walaupun telah dilakukan peningkatan tekanan suction pada selang dada
lebih mungkin terjadi pada pasien yang dilakukan lobektomi dan paling baik
ditangani dengan Video Assisted thorascopic surgery (VATS) dengan pneumolysis
diantara paru yang mengalami kebocoran, yang biasanya mengalami perlengketan
parsial dengan spasium intercostalis yang sebelumnya dibuka. Hal ini dapat
mengembalikan udara yang bocor kembali masuk ke spasium pleura dan keluar
dari spasium subkutan. Prosedur ini dapat menurunkan durasi dan juga
menurunkan waktu dirawat di rumah sakit. (Cerfolio et al, 2008)
Rerata lama selang dada terpasang untuk berbagai penyakit pleura adalah
17,3±11,3 hari (median 17 hari). Rerata lama selang dada terpasang untuk
pneumotoraks spontan primer adalah 14±9,8 hari, pneumotoraks spontan sekunder
Universitas Sumatera Utara
5
14,5±8,2 hari (median 13 hari), empiema torasis 17,8±12,6 hari (median 14 hari),
piopneumotoraks 38,2±35,0 hari (median 30 hari), hidropneumotoraks 13±7,1
hari (median 13,5 hari) dan efusi pleura 40±28,6 hari (median 29 hari). Rerata
lama selang dada terpasang pada penyakit pleura yang selang dadanya dipasang
pada segitiga aman adalah 19,8±16,4 hari (median 18 hari), sedangkan di luar
segitiga aman adalah 23±25,5 hari (median 19 hari). (Rosadi et al, 2014)
Indeks Massa Tubuh (IMT) merupakan indikator yang paling sering
dipakai untuk mengetahui status gizi seseorang, apakah berat badan kurang,
berlebih atau gemuk. Pada pria usia muda, tinggi, kurus lebih sering terjadi
pneumotoraks, diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan
fisik. (Widirahardjo, 2008).
Oleh karena itu peneliti tertarik untuk mengetahui faktor-faktor yang
mempengaruhi terjadinya emfisema subkutis pada penderita pneumotoraks yang
menjalani pemasangan selang dada, khususnya di RSUP H Adam Malik Medan
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, maka
rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
Faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi terjadinya emfisema
subkutis pada penderita pneumotoraks yang menjalani pemasangan selang dada di
RSUP H Adam Malik Medan?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya emfisema
subkutis pada penderita pneumotoraks yang menjalani pemasangan selang dada di
RSUP H Adam Malik Medan.
Universitas Sumatera Utara
6
1.3.2 Tujuan Khusus
Adapun yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah:
1. Mengetahui distribusi frekuensi kejadian Emfisema Subkutis pada pasien
pneumotoraks yang dipasang selang dada berdasarkan karakteristik ukuran
selang, posisi pemasangan selang dada, lamanya pemasangan selang dada,
terjadinya sumbatan pada selang dada (blockage) dan derajat emfisema
subkutis.
2. Menganalisis hubungan antara ukuran selang dada dengan emfisema
subkutis.
3. Menganalisis hubungan antara posisi selang dada dengan emfisema subkutis.
4. Menganalisis hubungan antara lamanya pemasangan selang dada dengan
emfisema subkutis.
5. Menganalisis hubungan antara blockage dengan emfisema subkutis.
6. Menganalisis variabel yang paling dominan dengan kejadian emfisema
subkutis.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, diantaranya:
1. Manfaat bagi peneliti adalah mengetahui kejadian emfisema subkutis pada
pasien pneumotoraks yang dilakukan pemasangan selang dada. komplikasi
pemasangan selang dada baik dikarenakan dari ukuran selang, posisi
pemasangan selang dada, lamanya pemasangan selang dada, terjadinya
sumbatan pada selang dada (blockage) dan derajat emfisema subkutis.
2. Manfaat bagi institusi, untuk menambah ilmu pengetahuan serta sebagai bahan
perbandingan untuk penelitian di masa yang akan datang.
3. Manfaat bagi dokter, sebagai proteksi atau preventif terjadinya Emfisema
Subkutis.
4. Manfaat bagi pasien meminimalkan efek dan komplikasi pemasangan selang
dada.
Universitas Sumatera Utara
7
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kateter Toraks (Selang Dada)
Kateter Toraks (selang dada) adalah kateter yang ditempatkan ke dalam
rongga pleura melalui sayatan pada sela iga diikuti dengan penyaliran udara atau
cairan secara cepat dan terus menerus dari rongga pleura. Pemasangan selang
dada untuk penyaliran rongga pleura dari udara atau cairan abnormal merupakan
tindakan yang sering dilakukan di bidang pulmonologi dan dapat dilakukan secara
darurat atau elektif. Tindakan ini dilakukan tidak kurang dari 1.330.000 kali pada
tahun 1995 di seluruh dunia sedangkan di RS Persahabatan 63 dari 131 kasus
penyakit pleura pada tahun 2005 dan 89 dari 173 kasus penyakit pleura pada
tahun 2006 yang dirawat memerlukan pemasangan selang dada dengan segera
(Rosadi, 2014).
Pemasangan selang dada merupakan terapi standar berbagai penyakit
pleura, seperti pneumotoraks, luka tembus dada, hemotoraks, empiema,
chylotoraks dan fistula bronkopleura. Tujuan utamanya adalah penyaliran udara,
darah atau cairan dari rongga pleura untuk mempertahankan fungsi kardiorespirasi
dengan cara mengembangkan kembali paru dan menghilangkan pendorongan
mediastinum yang mengakibatkan ketidakstabilan hemodinamik. Kontraindikasi
absolut pemasangan selang dada hampir tidak ada, perhatian khusus perlu
diberikan bila penderita menderita gangguan perdarahan (koagulopati), sedang
mendapat terapi antikoagulan, perlekatan pleura multipel dan hemotoraks masif.
Pemasangan selang dada merupakan tindakan invasif yang relatif sederhana,
tetapi banyak aspek harus diperhatikan diantaranya diagnosis penyakit pleura
sebelum dilakukan pemasangan, tempat pemasangan, ukuran/jenis kateter dan
teknik pemasangan. Pemasangan selang dada juga potensial menimbulkan
komplikasi signifikan seperti tertekuk atau malposisi, perdarahan, reexpansion
pulmonary edema (REPE), nyeri dan emfisema subkutis. (Rosadi, 2014)
Universitas Sumatera Utara
8
Selang dada dengan ukuran besar (>28 F) seringnya direkomendasikan
pada penatalaksanaaan pneumotoraks traumatik karena adanya potensi
diperlukannya evakuasi udara dan/atau darah. Tetapi, hal ini didasarkan pada
pendapat ahli saja menemukan bahwa pneumotoraks traumatik yang tanpa
komplikasi dan simple, maka bila digunakan selang dada dengan ukuran kecil
(14F) diasosiasikan dengan pengurangan rasa nyeri pada saat pemasangan dan
tidak ada perbedaan klinis yang lain yang signifikan (misalnya durasi drainase
maupun tingkat kesuksesan). (Riber et al, 2017)
2.2 Emfisema Subkutis
Beberapa faktor penting dan faktor-faktor yang memiliki potensi untuk
diubah yang berasosiasi dengan emfisema subkutis dan drainase selang dada.
Pemasangan yang tidak adekuat, migrasi dan blockage dari selang dada akan
mengakibatkan terjadinya beberapa kasus emfisema subkutis. Melesetnya selang
dada, mungkin karena anchorage yang tidak adekuat, yang mengakibatkan
migrasi dari side-port kedalam jaringan subkutis yang terjadi pada 20% kasus,
yang kemudian mengakibatkan terjadinya jalan masuk langsung dari udara untuk
masuk kedalam jaringan ini. Walaupun blockage dari selang dada yang
memerlukan untuk dilakukannya penggantian selang dada telah teridentifikasi
sebagai faktor risiko. (Jones et al, 2001)
Emfisema subkutan adalah suatu kondisi yang sering terjadi
menyebabkan gejala minimal, tapi terkadang bisa parah dan bahkan mengancam
nyawa. Penelitian ini merupakan survei besar pertama tentang emfisema subkutis.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengklasifikasikan dan mengevaluasi
etiologi, tanda, gejala, dan penanganan Emfisema Subkutis. Penelitian ini
dilakukan secara retrospektif dengan meninjau pasien yang telah didiagnosis
memiliki SE di Rasht, Iran. Antara bulan Januari 2001 dan Januari 2011.
Aghajanzadeh et al mengklasifikasikan tingkat keparahan Emfisema
Subkutis, (1) dasar leher, (2) semua daerah leher, (3) daerah utama subpectoralis,
(4) dinding dada dan sebagainya daerah leher, dan (5) dinding dada, leher, orbit,
Universitas Sumatera Utara
9
kulit kepala, perut dinding, tungkai atas, dan skrotum. Kami mengeksklusikan
semua pasien pada grade 1 dan 2, karena gejala dan tanda tidak signifikan.
(Aghajanzadeh et al, 2015)
Dari 35 kasus emfisema subkutis dengan rata-rata usia 53 ± 14.83 (71%
laki-laki). Penyebab SE tersering adalah pneumotoraks yang berlatar belakang
COPD dan operasi pada grade 5, trauma karena fraktur kosta pada grade 4, dan
iatrogenik pada grade 3. Kami melakukan dua insisi infraklavikular 2 cm
bilateral. Pada pasien-pasien dengan insisi infraklavikula ini, ekspansi dari paru-
nya lebih baik, dan penampakan pasiennya pun membaik. Insisi infraklavikular
adalah metode yang simple untuk penanganan emfisema subkutis dan dapat
menurunkan tingkat keparahan SE tanpa mengakibatkan masalah kosmetik.
(Aghajanzadeh et al, 2015)
Pada penelitian Aghajanzadeh et al, mengklasifikasikan emfisema
subkutis sbb:
Gambar 2.1. Grade pada Emfisema Subkutis (Aghajanzadeh et al, 2015)
Universitas Sumatera Utara
10
2.2.1 Definisi
Cerfolio et al (2008) menyatakan emfisema subkutis yang simptomatis
secara klinis didefinisikan sebagai adanya udara dibawah kulit yang dapat diamati
secara langsung oleh klinisi, pasien, ataupun keluarga pasien, maupun terjadinya
perubahan pada suara.
Emfisema subkutis terjadi saat udara masuk kedalam jaringan lunak
maupun jaringan dibawah kulit seperti dinding dada atau leher, tetapi dapat juga
terjadi pada bagian lain dari tubuh. Emfisema subkutis dapat terjadi melalui
berbagai macam proses, termasuk terjadinya trauma tumpul, trauma penetratif,
pneumotoraks barotrauma, infeksi, keganasan atau sebagai suatu komplikasi dari
prosedur bedah hingga bahkan dapat terjadi secara spontan. Emfisema subkutis
yang persisten maupun recalcitrant didefinisikan sebagai emfisema subkutis yang
tidak membaik walaupun sudah dipasang selang dada yang patent pada spasium
pleura. (Cerfolio et al, 2008; Aghajanzadeh et al, 2015)
Gambar 2.2. Emfisema subkutis melibatkan dinding dada, wajah, leher,
dan kelopak mata. ( Kesiema et al, 2012 )
Universitas Sumatera Utara
11
2.2.2 Tanda dan Gejala
Pada semua derajat, tanda dan gejala yang paling sering adalah terjadinya
pembengkakan, sesak napas, krepitus, dan pneumotoraks, dan pada beberapa
kasus dimana terjadi hipoksemia, nyeri dan batuk. yang paling sering terjadi dan
yang paling terlihat dari emfisema subkutis adalah terjadinya pembengkakan
disekitar dari leher yang diikuti dengan nyeri di dada. Tanda dan gejala lain
meliputi terjadinya nyeri tenggorokan dengan nyeri tekan, leher yang gatal,
kesulitan untuk menelan, tidak bisa bernapas, wheezing, dan terjadinya distensi.
Emfisema subkutis seringnya hanya menimbulkan gejala yang minimal
saja, dan tidak berbahaya bila terjadi sendirian, dan tidak memerlukan penanganan
yang spesifik. Apabila melibatkan jaringan yang lebih dalam pada dada, maupun
perut, maka hal ini akan berubah menjadi suatu kondisi yang berat,
mengkhawatirkan, dan mengancam nyawa. Hal ini dapat dipersulit oleh terjadinya
restriksi dari reekspansi paru secara menyeluruh dan dapat mengakibatkan
tekanan jalan napas yang tinggi, asidosis respirasi berat, kegagalan ventilasi,
kegagalan pacemaker, kegagalan jalan napas, dan juga fenomena tension.
(Aghajanzadeh et al, 2015)
2.2.3 Etiologi Emfisema Subkutis
Pada beberapa penelitian, diantaranya penelitian Jones et al, 2001,
Kesiema et al, 2012, Aghajanzadeh et al, 2015 dan Light, 2013 mengatakan
etiologi emfisema subkutis adalah sebagai berikut:
1. Usia > 50 tahun
2. Jenis kelamin (Laki-laki > perempuan)
3. Pneumotoraks spontan sekunder
4. Pneumotoraks yang besar dan bilateral
5. Trauma
6. Iatrogenik
7. Barotrauma
8. Lamanya Pemasangan Selang dada
Universitas Sumatera Utara
12
9. Ukuran Selang dada
10. Letak pemasangan Selang dada
11. Blockage,
12. Malposisi
13. Bronchopleural fistula
14. Ventilasi Mekanik
15. Trakeostomi atau trakea intubasi
Tabel 2.1. Detil subjek yang terpasang selang dada
Karateristik Pasien Tidak Emfisema
subkutis (n=109)
Emfisema
subkutis (n=25 )
Umur 57,0 (16-88) 66,3 (25-84)
Jenis kelamin 2,6 : 1 1,8 : 1
Lama Pemasangan CTD 3,6 (1-15) 10,4 (1-30)
Ukuran Selang dada 1,7(1-6) 2,0 (1-6)
Tempat tidak pada posisi 3 5**
Blockage 5 6**
Bronkhopleura fistel 1 (1) 9 (36)***
Lama rawatan 11,8 (1-44) 17,5 (3-54)
Kematian 5(5) 4 (16)**
*P<0,02, **P<0,01, ***P<0,00 Jones et al, 2001 Respirology (2001) 6, 87–89.
Lokasi yang benar pada pemasangan selang dada adalah di Triangle of safety.
Gambar 2.3. Triangle of Safety
Universitas Sumatera Utara
13
Drainase yang tersumbat (Blockage) dapat dikarenakan oleh tertekuknya
tube, terjadinya angulasi tube, terbentuknya bekuan dalam lumen atau adanya
debris, maupun jaringan paru. Drain dengan ukuran yang lebih kecil memiliki
kecenderungan untuk lebih mudah tertekuk maupun lebih mudah terjadinya
pembekuan dibandingkan dengan drain berukuran besar, terutama saat digunakan
pada keadaan trauma. Tanda kardinal dari tersumbatnya drainase selang dada
adalah kegagalan cairan dari selang untuk mengalami fluktuasi saat pasien batuk
maupun saat pasien bernapas. Drainase yang tidak efektif ini akan mengakibatkan
penumpukan cairan pleura yang tidak dapat terdrainase dan tidak membaik.
Tension pneumotoraks dapat pula mengakibatkan terjadinya kasus dengan
kebocoran udara.
Milking atau stripping dapat dilakukan untuk menyingkirkan sumbatan
yang semi padat, misalnya pada sumbatan oleh bekuan darah maupun bekuan
fibrin yang terbentuk pada lumen tube. Tetapi, hal ini masihlah kontroversial dan
diperdebatkan karena tekanan negatif yang dihasilkan dapat mengakibatkan
kerusakan pada jaringan paru. Drainase pada dada haruslah diluruskan bila
tertekuk, karena dapat mengakibatkan terjadinya sumbatan. Posisi pemasangan
selang dada yang terlalu dalam kedalam toraks dapat mengakibatkan terjadinya
perforasi jantung, cidera pada pembuluh darah besar, perforasi dari oesophagus
dan cidera saraf. (Kesiema et al, 2012)
Aghajanzadeh et al mendeteksi dan mengklasifikasikan empat penyebab
utama SE dari 35 pasien, kejadian trauma pada 11 kasus (31%), Pneumotoraks
dengan latar belakang paru obstruktif kronik penyakit PPOK terdapat 12 kasus
(34%), iatrogenisitas 9 kasus (26%), dan barotrauma 3 kasus (9%). Penyebab
emfisema subkutis ditunjukkan pada Tabel berikut:
Universitas Sumatera Utara
14
Tabel 2.2. Karakteristik demografi setiap grade
Etiologi
Pneumotoraks
dengan latar
belakang COPD
Fraktur
tulang rusuk
Iatrogenik Barotrauma
Grade 3 N =5 (42 %) N =4 (33 %) N=2 (17 %) N=1 (8 %)
Grade 4 N =5 (42 %) N =6 (50 %) N=1 (8 %) N =0
Grade 5 N =2 (18 %) N =1 (9 %) N=6 (55 %) N=2 (18%)
(Aghajanzadeh et al, 2015). Indian J Surg
Penyebab SE yang paling umum grade 3 adalah pneumotoraks dengan
latar belakang COPD (42%). Pada grade 4, trauma akibat fraktur tulang rusuk
(50%) adalah terdeteksi sebagai penyebab paling umum. SE di grade 5 adalah
iatrogenicity, prosedur operasi seperti operasi cangkok bypass arteri koroner
(CABG) dan lobektomi (55%) di semua grade.
2.2.4 Patofisiologi Emfisema Subkutis
Gambar berikut ini menjelaskan terjadinya emfisema subkutis.
Gambar 2.4 Patofisiologi Emfisema Subkutis (Maunder, 1984)
Emfisema subkutis dapat terjadi apabila drainase udara dari paru ke dalam
cavum pleura melebihi kapasitas drainase dari selang dada, ataupun bila selang
dada diposisikan jauh dari lokasi terjadinya kebocoran udara. Kondisi lain yang
mungkin mengakibatkan emfisema subkutis adalah sumbatan pada selang dada
atau ujung lubang selang dada terletak tidak di dalam rongga pleura, melainkan di
lapisan subkutis yang mengakibatkan udara memiliki akses masuk ke bawah kulit.
Universitas Sumatera Utara
15
Gambar di bawah ini dapat menjelaskan proses terperangkapnya udara di
lapisan subkutis pada pasien emfisema subkutisma dan perubahan yang terjadi
setelah dilakukan pemasangan kanul di lapisan subkutis sebagai akses drainase.
Gambar 2.5 Mekanisme emfisema subkutis sebelum dan sesudah pemasangan
kanul (Light, 2012)
2.2.5 Diagnosis
Diagnosis emfisema subkutis dikonfirmasi dengan dideteksinya krepitasi
dada, servikal, dan abdominal serta adanya udara didalam jaringan lunak pada
pemeriksaan X ray dada atau CT dada. Kami tidak dapat menemukan adanya
klasifikasi untuk keparahan dari kajian literatur. Sehingga, Aghajanzadeh et al
mengklasifikasikan keparahan dari SE bergantung pada ekstensi anatomisnya
menjadi 5 grade yaitu, (1) dasar dari leher, (2) semua area leher, (3) area
subpectoralis mayor, (4) dinding dada dan semua area leher, dan (5) dinding dada,
leher, orbita, kulit kepala, dinding perut, lengan atas, dan scrotum.
Pada sinar X dada, emfisema subkutis bisa dilihat sebagai radiolusen
Striasi pada pola yang digariskan pectoralis mayor serat otot udara di jaringan
subkutan dapat mengganggu dengan radiografi dada, berpotensi mengaburkan
serius kondisi seperti pneumotoraks. Bisa juga mengurangi efektivitas ultrasound
dada. Di sisi lain, emfisema subkutis mungkin tampak jelas di rontgen dada
sebelum pneumotoraks. Emfisema subkutis juga bisa dilihat di CT Scan, dengan
kantong udara muncul sebagai daerah gelap. Diagnosis pada pasien adalah
Universitas Sumatera Utara
16
dilakukan dengan mendeteksi pembengkakan dari leher, dinding dada, kelopak
mata, kulit kepala, dan perut; dan kehadiran udara di dalam jaringan lunak
dikonfirmasi oleh kombinasi foto toraks dan CT Scan Toraks. pada beberapa
kasus SE tidak perlu perawatan, namun jika jumlah udara yang besar, bisa
mengganggu pernapasan dan menjadi tidak dapat ditolerir untuk pasien, jadi
kadang-kadang berlanjut ke keadaan " emfisema subkutis besar" yang sangat tidak
nyaman dan membutuhkan drainase bedah.
Bila jumlah udara dari saluran udara atau paru-paru menjadi masif,
biasanya karena ventilasi tekanan positif, maka kelopak mata akan bengkak,
membuat pasien sulit melihat. Juga, tekanan udara bisa menghambat aliran darah
ke arah areola dari payudara dan kulit skrotum atau labia. Ini bisa menyebabkan
nekrosis kulit di daerah ini, situasi ini membutuhkan dekompresi yang cepat dan
memadai. Pada kasus yang parah, bisa menyempitkan trakea dan
membutuhkannya intervensi darurat. Berbagai tindakan telah dilakukan dan
dijelaskan, penggunaan sayatan subkutan, jarum, atau pemasangan selang dada.
Jika volume udara subkutan meningkat, selang dada tidak bisa mengeluarkan
udara dari ruang pleura, jadi sepertinya selang dada seharusnya diganti dengan
yang lebih besar, menggunakan suction juga bisa diterapkan. Mediastinotomi
serviks adalah pilihan lain yang digunakan saat intervensi ini tidak berhasil atau
meningkatkan gangguan pernapasan. Pada kasus yang parah, kateter dapat
ditempatkan di jaringan subkutan untuk melepaskan udara.
2.2.6 Penatalaksanaan
Kasus yang signifikan adalah mudah untuk didiagnosis karena tanda dan
gejala yang khas. Kasus spontan emfisema subkutis mungkin membutuhkan tidak
lebih dari istirahat di tempat tidur, kontrol nyeri, dan mungkin oksigen tambahan.
Oksigen dapat membantu tubuh menyerap udara lebih banyak dan cepat didalam
subkutan. Pengamatan juga merupakan bagian dari pengobatan emfisema subkutis
dalam bentuk ringan. Emfisema subkutis yang terjadi karena pemasangan selang
dada biasanya hanya ringan saja dan dapat hilang dengan sendirinya.
Universitas Sumatera Utara
17
Pada kasus yang berat, selang dapat ditempatkan pada jaringan subkutis
untuk mengeluarkan udara. Irisan kecil, atau “blow holes” dapat dibuat pada kulit
untuk mengeluarkan gas. Bila terjadi karena pneumotoraks, maka sering
digunakanlah selang dada, dimana dapat mengontrol dan mengeliminasi sumber
udara yang memasuki spasium subkutis. Apabila volume dari udara pada subkutis
meningkat, selang dada tidak akan dapat mengeluarkan udara dari spasium pleura,
sehingga perlu diganti dengan ukuran yang lebih besar. Suction mungkin juga
dapat disambungkan pada tube untuk dapat membuang udara dengan lebih cepat.
Karena terapi biasanya berupa penanganan dari kondisi yang menyebabkannya,
maka pada kasus spontan mungkin hanya memerlukan bed rest, pengontrolan
nyeri, dan mungkin juga dapat diberikan suplementasi oksigen. Dengan
pemberian oksigen mungkin dapat membantu tubuh untuk dapat menyerap udara
subkutis lebih cepat. Penenangan dan obesrvasi pasien merupakan bagian dari
penanganan yang ringan.
Penanganan pada emfisema subkutis dibuat dua insisi yang dalam pada
fascia thoracis eksternal infraklavikular 2 cm bilateral pada semua pasien, dan
dimasukkanlah selang dada pada pasien yang sebelumnya belum dipasang.
Kemudian dilakukan pemijatan untuk mengevakuasi udara. Selang dada bilateral
kemudian dilakukan pada tujuh kasus pada grade 3 (25%), dan tiga kasus baik
pada grade 4 (30%) dan grade 5 (33%) karena keparahan dari kondisi pasien, dan
pada pasien yang lain, digunakan selang dada unilateral. Semua data pasien
disajikan pada. Periode rata-rata durasi rawat inap adalah 16 hari (12 hingga 24
hari). Pada survei follow-up terlihatlah perbaikan pada pasien. Paru-parunya telah
mengalami reekspansi. Komplikasi yang paling sering terjadi dari dilakukannya
insisi infraklavikular pada pasien adalah terjadinya oklusi pada lokasi insisi oleh
terbentuknya bekuan (empat pasien), perdarahan (tiga pasien), insisi yang dibuat
pada fascia thoracalis tidak cukup dalam (lima pasien), dan terjadinya masalah
kosmetik (empat pasien). (Aghajanzadeh et al, 2015)
Universitas Sumatera Utara
18
Kebanyakan komplikasi dari insisi infraklavikular adalah terjadinya oklusi
dari insisi oleh bekuan, perdarahan, kedalaman insisi yang tidak memadai pada
fascia dada, dan masalah kosmetik. Keuntungan dari insisi infraklavikula adalah
perbaikan yang cepat dari emfisema subkutis, dan juga perbaikan dari
penampakan pasien, dan membebaskan pasien dari stress dan kekhawatiran.
2.3 Pneumotoraks
2.3.1 Definisi
Pneumotoraks adalah terdapatnya udara bebas di dalam rongga pleura,
yaitu rongga di antara pleura parietalis dan viseralis. Dalam keadaan normal,
rongga ini tidak terisi udara dan memiliki tekanan negatif sebesar - 11 sampai - 12
cm air pada waktu inspirasi dan - 4 sampai - 8 cm air pada saat ekspirasi. Pada
penumotoraks, oleh karena terdapat udara bebas, maka tekanan di dalam rongga
pleura meningkat menjadi lebih positif dari tekanan normal dan bahkan dapat
melebihi tekanan atmosfir. Akibat peningkatan tekanan di dalam rongga pleura,
jaringan paru akan mengempis yang derajatnya tergantung pada besar kenaikan
tekanan, pengembangan jaringan paru sisi yang sehat terganggu, dan mediastinum
dengan semua isinya terdorong ke arah sisi sehat dengan segala akibatnya.
(Cerfolio et al, 2008)
2.3.2 Faktor Etiologi
Kebanyakan pneumotoraks spontan disebabkan oleh COPD, walaupun
hampir semua penyakit paru telah dilaporkan dapat menyebabkan pneumotoraks
spontan sekunder, misalnya: tumor, sarkoidosis, tuberkulosis, infeksi paru lainnya
dan sebagai berikut :
1. Akibat ruptur subpleural bleb yang umumnya berada di apex paru.
2. Patogenesis dari subpleural blebs mungkin berhubungan dengan peradangan
jalan napas karena merokok.
3. Pneumotoraks spontan lebih dapat berkembang pada hari berikutnya ketika
terdapat fluktuasi pada tekanan atmosfer, badai petir, musik keras.
Universitas Sumatera Utara
19
4. Biasanya terjadi pada pria tinggi dan kurus.
5. Terdapat kecendrungan familial dalam perkembangan pneumotoraks spontan
primer, bawaan lahir secara autosomal dominan dengan penetrasi inkomplit
atau x-terkait resesif, juga pada pasien dengan human leukocyte antigen
(HLA) haplotipe A2, B40
6. Terdapat prevalensi yang tinggi dari abnormalitas bronkial pada pasien yang
tidak merokok dengan pneumotoraks spontan, seperti:
7. Anatomi bronkial yang tidak sesuai (ukuran yang lebih kecil dari normal dan
deviasi susunan anatomi dalan jalan napas pada berbagai lokasi)
8. Bronkus aksesoris
9. Bronkus hilang. (Widirahardjo, 2008)
Gambar 2.6. Anatomi pleura
2.3.3 Patogenesis Pneumotoraks
Rongga pleura dalam keadaan normal tidak dijumpai udara. Bila ada
hubungan antara atmosfir dengan rongga pleura oleh sebab apapun, maka udara
akan masuk ke rongga pleura yang mengakibatkan terjadinya pneumotoraks.
Hubungan ini bisa akibat bocornya pleura visceralis atau robeknya dinding dada
yang menembus pleura parietal. (Widirahardjo, 2017)
Universitas Sumatera Utara
20
Pneumotoraks dapat terjadi tanpa diketahui dengan jelas faktor
penyebabnya (pneumotoraks spontan idiopatik). Beberapa penyakit yang dapat
menyebabkan pneumotoraks adalah tuberkulosis paru, pneumonia, abses paru,
infark paru, keganasan, asma, dan penyakit paru obstruktif menahun. Bentuk ini
dikenal sebagai pneumotoraks spontan simptomatik. Pneumotoraks adakalanya
dibuat secara sengaja untuk tujuan diagnostik dan terapetik. Adapun
pneumotoraks traumatik terjadi akibat trauma tembus atau tidak tembus, dan
seringkali bersifat iatrogenik akibat tindakan medik tertentu, seperti trakeostomi,
intubasi endotrakea, kateterisasi vena sentralis, atau biopsi paru. (Rosadi et al,
2014)
2.3.4 Klasifikasi Pneumotoraks
Pneumotoraks dapat dikelompokkan berdasarkan atas kejadian, luas kolaps
paru, dan jenis fistel yang terjadi.
Berdasarkan kejadiannya, pneumotoraks digolongkan ke dalam :
a. Pneumotoraks spontan,
Yaitu setiap pneumotoraks yang terjadi secara tiba-tiba. Pneumotoraks tipe ini
dapat diklasifikasikan kedalam dua jenis, yaitu:
1. Pneumotoraks spontan primer, yaitu pneumotoraks yang terjadi secara
tiba-tiba tanpa diketahui sebabnya atau tanpa penyakit dasar yang jelas.
2. Pneumotoraks spontan sekunder, yaitu pneumotoraks yang terjadi dengan
didasari oleh riwayat penyakit paru yang telah dimiliki sebelumnya.
(Widirahardjo, 2017)
b. Pneumotoraks artifisial dan
c. Pneumotoraks traumatik
Yaitu terjadi akibat adanya suatu trauma, baik trauma penetrasi maupun
bukan, yang menyebabkan robeknya pleura, dinding dada maupun paru.
Universitas Sumatera Utara
21
1. Pneumotoraks traumatik iatrogenik
Yaitu pneumotoraks yang terjadi akibat komplikasi dari tindakan medis.
Pneumotoraks tipe ini dapat diklasifikasikan kedalam dua jenis, yaitu:
1.1. Pneumotoraks traumatik iatrogenik aksidental
Yaitu pneumotoraks yang terjadi akibat tindakan medis karena
kesalahan/komplikasi tindakan tersebut, misalnya pada tindakan
parasintesis dada, biopsi pleura, biopsi transbronkhial, biopsi/aspirasi paru
perkutaneus, kanulasi vena sentral, barotrauma (ventilasi mekanik).
(Widirahardjo, 2017)
1.2. Pneumotoraks traumatik iatrogenik artifisial (diberate)
Yaitu pneumotoraks yang sengaja dilakukan dengan cara mengisi udara
kedalam rongga melalui jarum dengan suatu alat Maxwell box. Biasanya
untuk terapi tuberkulosis (sebelum era antibiotik) atau untuk menilai
permukaan paru. (Widirahardjo, 2017)
2. Pneumotoraks traumatik non iatrogenik
Yaitu terjadi karena jejas kecelakaan, misalnya jejas pada dinding dada baik
terbuka maupun tertutup, barotrauma. (Widirahardjo, 2017)
Menurut luasnya paru yang mengalami kolaps, maka pneumotoraks dapat
diklasifikasikan menjadi dua, yaitu:
a. Pneumotoraks parsialis
Yaitu pneumotoraks yang menekan pada sebagian kecil paru (<50% volume
paru).
b. Pneumotoraks totalis
Yaitu pneumotoraks yang mengenai sebagian besar paru (>50% volume
paru).
Universitas Sumatera Utara
22
Menurut jenis fistulanya, Pneumotoraks tipe ini dapat diklasifikasikan
kedalam tiga jenis, yaitu: (Widirahardjo, 2017)
a. Pneumotoraks Tertutup (simple pneumotoraks)
Pada tipe ini, pleura dalam keadaan tertutup (tidak ada jejas terbuka pada
dinding dada), sehingga tidak ada hubungan dengan dunia luar. Tekanan di dalam
rongga pleura awalnya mungkin positif, namun lambat laun berubah menjadi
negatif karena diserap oleh jaringan paru disekitarnya. Pada kondisi tersebut paru
belum mengalami re-ekspansi, sehingga masih ada rongga pleura, meskipun
tekanan di dalamnya sudah kembali negatif. Pada waktu terjadi gerakan
pernapasan, tekanan udara di rongga pleura tetap negatif.
b. Pneumotoraks Terbuka (open pneumotoraks)
Yaitu pneumotoraks dimana terdapat hubungan antara rongga pleura
dengan bronkus yang merupakan bagian dari dunia luar, atau terdapat luka
terbuka pada dada. Dalam keadaan ini tekanan intrapleura sama dengan tekanan
udara luar. Pada pneumotoraks terbuka tekanan intrapleura sekitar nol. Perubahan
tekanan ini sesuai dengan perubahan tekanan yang disebabkan oleh gerakan
pernapasan. Pada saat inspirasi tekanan menjadi negatif dan pada waktu ekspirasi
tekanan menjadi positif. Selain itu, pada saat inspirasi mediastinum dalam
keadaan normal, tetapi pada saat ekspirasi mediastinum bergeser ke arah sisi
dinding dada yang terluka (sucking wound).
c. Pneumotoraks ventil (tension pneumotoraks)
Yaitu pneumotoraks dengan tekana intrapleura yang positif dan makin
lama makin bertambah besar karena ada fistel di pleura viseralis yang bersifat
ventil. Pada waktu inspirasi udara masuk melalui trakea, bronkus serta
percabangannya dan selanjutnya terus menuju pleura melalui fistel yang terbuka.
Waktu ekspirasi udara di dalam rongga pleura tidak dapat keluar. Akibatnya
tekanan di dalam rongga pleura makin lama makin tinggi dan melebihi tekanan
atmosfer. Udara yang terkumpul dalam rongga pleura ini dapat menekan paru
sehingga sering menimbulkan gagal napas.
Universitas Sumatera Utara
23
2.3.5 Manifestasi Klinis
Gejala klinis dan pemeriksaan fisik dari pasien pada beberapa penyakit
paru hampir sama, Kemungkinan pneumotoraks harus dipikirkan pada semua
pasien COPD yang mengalami sesak napas, apalagi didapati nyeri dada. Adapun
manifestasi pada pneumotoraks adalah :
1. Usia puncak terjadinya pneumotoraks spontan primer adalah pada awal usia
20 tahun.
2. Gejala utama adalah onset akut dan nyeri dada terlokalisir dan dispnea.
3. Sindrom horner dilaporkan sebagai komplikasi jarang dan diyakini sebagai
akibat dari traksi pada ganglion simpatis yang diproduksi sebab pergeseran
mediastinum.
4. Biasanya berkembang ketika pasien istirahat.
5. Perubahan pada pemeriksaan fisik
6. Tanda vital biasanya normal, dengan pengecualian takikardia sedang.
7. Tension Pneumotoraks dicurigai bila terdapat pulsasi melebihi 140 atau
hipotensi, sianosis, atau disosiasi elektromekanikal
8. Pada sisi dada dengan pneumotoraks berukuran lebih besar dibanding dengan
sisi kontralateral dan kurang bergerak selama siklus bernapas.
9. Fremitus taktil tidak dijumpai
10. Perkusi hipersonor, suara napas tidak terdengar atau melemah pada sisi yang
terkena.
11. Trakea bergeser ke sisi kontralateral.
12. Sisi bawah dari hati bergeser ke inferior.
2.3.6 Gejala Klinis
Keluhan utama yang diungkapkan penderita adalah nyeri dada disertai
sesak napas yang timbul secara mendadak. Batuk juga sering ditemukan. Rasa
nyeri bersifat menusuk di daerah hemitoraks yang terserang dan bertambah berat
pada saat bernapas, batuk dan bergerak. Nyeri dapat menjalar ke arah bahu,
hipokondrium atau tengkuk. Rasa nyeri ini disebabkan oleh perdarahan yang
Universitas Sumatera Utara
24
terjadi akibat robekan pleura viseralis dan darah menimbulkan iritasi pada pleura
viseralis. (Monaghan and Swan, 2008)
Sesak napas makin lama makin hebat akibat pengempisan paru yang
terkena dan gangguan pengembangan paru yang sehat. Penderita dapat mengalami
kegagalan pernapasan akut, terutama bila penyakit yang mendasari timbulnya
pneumotoraks adalah asma atau penyakit paru obstruktif menahun. Batuk pada
umumnya tidak produktif, terutama pada pneumotoraks spontan idiopatik.
Keluhan lain yang dapat dijumpai tergantung pada kelainan yang mendasari
timbulnya pneumotoraks. (Monaghan and Swan, 2008)
Penderita dapat mengalami kegelisahan, berkeringat dingin, sianosis, dan
syok. Dapat ditemukan hipotensi, nadi lebih dari 140 kali per menit, akral dingin,
serta pelebaran pembuluh darah vena leher dan dada. Tekanan dalam rongga
pleura yang tinggi dan pendorongan mediastinum beserta isinya ke arah sisi yang
sehat akan mengganggu aliran balik darah vena ke dalam jantung, sehingga curah
jantung menurun dan menyebabkan syok kardial. Perlu diingat bahwa syok juga
dapat disebabkan oleh perdarahan masif di dalam rongga pleura. (Monaghan and
Swan, 2008)
2.3.7 Diagnosis
Dari anamnesis sulit bernapas yang timbul mendadak dengan disertai nyeri
dada yang terkadang dirasakan menjalar ke bahu dan dapat disertai batuk. Perlu
ditanyakan adanya penyakit paru atau pleura lain yang mendasari pneumotoraks,
dan menyingkirkan adanya penyakit jantung. Gejalanya bisa berupa nyeri dada
tajam yang timbul secara tiba-tiba dan semakin nyeri jika penderita menarik napas
dalam atau terbatuk. Sesak napas, dada terasa sempit, warna kulit menjadi
kebiruan akibat kekurangan oksigen. (Widirahardjo, 2017)
Pada pemeriksaan fisik toraks ditemukan:
1. Inspeksi tampak hemitoraks yang terkena cembung dengan ruang sela iga
yang melebar dan tertinggal pada pernapasan, iktus kordis bergeser ke sisi
yang sehat dan trakea juga terdorong ke sisi yang sehat.
Universitas Sumatera Utara
25
2. Palpasi, pada sisi yang sakit, didapatkan fremitus suara melemah, iktus kordis
dan trakea bergeser ke sisi yang sehat.
3. Perkusi di daerah paru yang sakit terdengar hipersonor dan diafragma
terdorong ke bawah. Batas-batas jantung bergeser ke sisi yang sehat.
4. Auskultasi, pada bagian yang sakit, suara napas melemah sampai menghilang
pada bagian paru yang terkena. (Widirahardjo, 2017)
2.3.8. Pemeriksaan Penunjang
1. Foto Toraks
Gambaran radiologis mempunyai peranan sebagai kunci diagnosis, penilaian
luasnya pneumotoraks, evaluasi penyakit-penyakit yang menjadi dasar.
Bagian pneumotoraks akan tampak lusen, rata dan paru yang kolaps akan
tampak garis yang merupakan tepi paru. Kadang-kadang paru yang kolaps
tidak membentuk garis, akan tetapi berbentuk lobuler sesuai dengan lobus
paru. Paru yang mengalami kolaps hanya tampak seperti massa radio opaque
yang berada di daerah hilus.
2. Analisa gas darah arteri dapat memberikan gambaran hipoksemia meskipun
pada kebanyakan pasien sering tidak diperlukan.
3. CT-Scan toraks lebih spesifik untuk membedakan antara emfisema bullosa
dengan pneumotoraks. (Widirahardjo, 2017)
2.3.9 Kuantitasi
Seseorang harus mengestimasi jumlah paru yang kolaps ketika mengobati pasien
dengan pneumotoraks.
Indeks light:
%pneumotoraks = 100 { }
Penghitungan luas pneumotoraks ini berguna terutama dalam penentuan jenis
kolaps, apakah bersifat parsialis ataukah totalis. Ada beberapa cara yang bisa
dipakai dalam menentukan luasnya kolaps paru, antara lain :
Universitas Sumatera Utara
26
1. Rasio antara volume paru yang tersisa dengan volume hemitoraks, dimana
masing-masing volume paru dan hemitoraks diukur sebagai volume kubus (2)
.
Misalnya : diameter kubus rata-rata hemitoraks adalah 10cm dan diameter
kubus rata-rata paru-paru yang kolaps adalah 8cm, maka rasio diameter kubus
adalah :
83
512
______
= ________
= ± 50 %
103
1000
2. Menjumlahkan jarak terjauh antara celah pleura pada garis vertikal, ditambah
dengan jarak terjauh antara celah pleura pada garis horizontal, ditambah
dengan jarak terdekat antara celah pleura pada garis horizontal, kemudian
dibagi tiga, dan dikalikan sepuluh (2)
.
3. Rasio antara selisih luas hemitoraks dan luas paru yang kolaps dengan luas
hemitoraks (4)
.
(L) hemitorak – (L) kolaps paru
(AxB) - (axb)
_______________
x 100 %
AxB
% luas pneumotoraks
A + B + C (cm)
= __________________
x 10
3
Universitas Sumatera Utara
27
Panduan the British Thoracic Society’s (BTS) untuk pneumotoraks kecil di
definisikan sebagai keadaan dimana batas antara pleura dengan dinding dada
kurang dari 1 cm, sedang 1-2 cm dan besar bila lebih dari 2 cm. Tingkat rekurensi
adalah 54.2%, tingkat rekurensi lebih rendah pada pria (46%) dibanding wanita
(71%) dan lebih rendah lagi pada orang yang berhenti merokok (40%) dibanding
dengan orang yang terus merokok (70%). Tidak terdapat hubungan yang
signifikan antara ukuran pneumotoraks atau terapi pneumotoraks dan tingkat
rekurensi.
Rekurensi kebanyakan terjadi pada tahun pertama. Apabila mampu
memprediksi pasien yang punya kecenderungan untuk terjadi rekurensi, pasien
tersebut harus di terapi lebih agresif pada saat pneumotoraks yang pertama.
(Widirahardjo, 2008)
Gambar 2.7. Foto rontgen pneumotoraks
2.3.10 Penatalaksanaan
Setelah diagnosis ditegakkan, maka harus segera dilakukan tindakan untuk
menyelamatkan nyawa penderita. Pemasangan selang dada harus segera dilakukan
untuk mengeluarkan udara dalam rongga pleura. Apabila ragu-ragu terhadap
kebenaran diagnosis, maka dilakukan pembuktian dengan jarum suntik berukuran
10 cc. Jika memang benar, maka penghisap dari jarum suntik akan terdorong atau
udara di dalam rongga pleura akan mudah dihisap.
Universitas Sumatera Utara
28
Keberhasilan penanganan pneumotoraks dengan selang dada dipengaruhi
oleh pemeliharaan water seal drainage (WSD) ujung selang tidak jarang
tergantung di atas permukaan air, sehingga udara dan luar justru mengalir masuk
ke dalam rongga pleura. Jika WSD dapat berfungsi dengan baik, maka akan
terlihat keluarnya gelembung-gelembung udara ke permukaan air.
Selang dada dapat dimasukkan ke dalam rongga pleura melalui ruang sela
iga 4 dan 5 linea mid-axillaris. Setelah daerah penusukan yang terpilih (Triangle
of safety) dibersihkan, selanjutnya dilakukan anestesi lokal dengan lidokain 1%.
Untuk mendapatkan efek anestesi lokal yang memadai biasanya diperlukan waktu
sekitar 5-10 menit. Insisi kulit dilakukan secara transversal selebar kurang lebih 1-
2 cm sampai subkutis dan kemudian dibuka secara tumpul dengan klem sampai
mendapatkan pleura parietalis. Pleura ditembus dengan gunting tajam yang
ujungnya melengkung sampai terdengar suara aliran udara (tanda pleura parietalis
telah terbuka), dilakukan penjahitan matras, Selang dada kemudian dimasukkan
kedalam rongga pleura sejajar dinding dada sedalam 4 cm, kemudian diarahkan ke
dorso cranial selang dada dimasukkan sampai sedalam 12 cm, selang dada dicabut
dari selang dada dan lakukan fiksasi. Selang disambungkan ke WSD, perhatikan
tabung WSD jika ada gelembung-gelembung di air maka udara telah keluar.
selang dada tidak perlu diklem dan posisi WSD harus lebih rendah dari posisi
pasien. kemudian bersihkan luka secara streril, dan luka ditutup.
Apabila setelah pemasangan selang dada paru tidak dapat mengembang
dengan baik, maka dapat dilakukan penghisapan secara berkala atau terus
menerus. Tekanan yang biasanya digunakan berkisar antara -15 sampai -20 cm
air.
Universitas Sumatera Utara
29
2.3.11 Pencabutan Selang Dada
Setelah paru mengembang, yang ditandai terdengarnya kembali suara
napas dan dipastikan dengan foto toraks, maka selang dada diklem selama 13 hari.
Pengembangan paru secara sempurna selain dapat dilihat pada foto toraks
biasanya dapat diperkirakan jika sudah tidak terdapat undulasi lagi pada selang
selang dada. Apabila setelah diklem selama 13 hari paru tetap mengembang, maka
selang dada dapat dicabut. Pencabutan selang dada dilakukan dalam keadaan
ekspirasi maksimal. (Rosadi et al, 2014)
2.3.12 Prognosis
Prognosis pneumotoraks dipengaruhi oleh kecepatan penanganan dan
kelainan yang mendasari timbulnya pneumotoraks. Hampir semua penderita dapat
diselamatkan jika penanganan dapat dilakukan secara dini. Sekitar separuh kasus
pneumotoraks spontan akan mengalami kekambuhan. Tidak ditemukan
komplikasi jangka panjang setelah tindakan penanganan yang berhasil. (Dural et
al, 2010).
Universitas Sumatera Utara
30
2.4. Kerangka Teori
Gambar 2.8. Kerangka Teori
Ket : Gambar
Variabel yang diteliti
Variabel independen
Variabel dependen
Pneumotoraks
Spontan Primer
Pemasang
an selang
dada
Usia
Ukuran Selang dada
Iatrogenik Trauma
Spontan Sekunder
(PPOK, Bulla, Infeksi Paru,
Keganasan, dll)
Emfisema Subkutis
Jenis Kelamin
Kebiasaan merokok
Tempat pemasangan
Universitas Sumatera Utara
31
2.5. Hipotesis Penelitian
Adapun hipotesis penelitian ini adalah:
Ada hubungan antara ukuran selang dada, blockage, lama pemasangan
selang dada, dan posisi selang dada dengan kejadian emfisema subkutis pada
pasien pneumotoraks yang dipasang selang dada.
2.6. Kerangka Konsep
Gambar 2.9. Kerangka konsep penelitian
Pneumotoraks
Blockage
Pemasangan selang dada
Ukuran Selang dada
Posisi pemasangan
Lama pemasangan
Emfisema subkutis
Universitas Sumatera Utara
32
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah analitik dengan desain case control
3.2 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan di Departemen Pulmonologi dan Kedokteran
Respirasi FK USU / RSUP H Adam Malik Medan dengan mengambil data dari
rekam medik mulai tahun 2016 sampai tercapai jumlah sampel.
3.3 Alat dan Bahan
3.3.1 Selang dada dengan ukuran 24F dan 28 F
3.4 Populasi dan Sampel Penelitian
3.4.1. Populasi
Populasi terjangkau penelitian adalah penderita pneumotoraks yang
mempunyai indikasi dilakukan pemasangan selang dada secara emergensi atau
elektif.
3.4.2. Sampel
Sampel adalah bagian dari populasi yang memenuhi kriteria inklusi, tetapi
tidak termasuk dalam kriteria eksklusi.
Adapun kriteria inklusi dan eksklusi dalam penelitian ini adalah:
a. Kriteria Inklusi
1. Semua pneumotoraks spontan primer dan spontan skunder
2. Pasien yang mempunyai indikasi dilakukan pemasangan selang dada baik
pada pasien pneumotoraks di IGD atau rawat inap.
3. Luas pneumotoraks > 20% dan atau luas pneumotoraks <15% dengan
penyakit penyerta seperti PPOK, Bulla, infeksi paru dan keganasan.
Universitas Sumatera Utara
33
4. Penderita laki-laki dan perempuan.
5. Bersedia mengikuti penelitian dengan mengisi informed consent.
6. Pemasangan selang dada pada pneumotoraks yang menggunakan selang
dada atau pigtail.
7. Pasien yang mengalami emfisema subkutis yang hanya nampak secara
radiologis.
b. Kriteria Eksklusi
1. Penderita penyakit pleura selain pneumotoraks.
3.4.3. Teknik Pengambilan Sampel dan Besar Sampel
Adalah dengan menggunakan rumus mengukur proporsi pada satu
populasi (Lemeshow) berikut ini :
Dimana
Z1-α : level of significant = 1,96
P : Proporsi emfisema subkutis pada pneumotoraks dengan drainage =
0,18 (Jones et al )
Q : 1-P
d (presisi) : 0,1
Berdasarkan perhitungan di atas maka jumlah sampel yang dibutuhkan
dalam penelitian ini adalah 56 orang pasien pneumotoraks yang dipasang selang
dada. Seluruh subyek penelitian akan diambil dengan cara non probability
sampling yaitu consecutive sampling sampai besar sampel mencukupi.
Universitas Sumatera Utara
34
3.5 Variabel Penelitian
Variabel yang akan dinilai pada penelitian ini adalah:
a. Variabel bebas (independen) : Ukuran throcar, blockage, lama pemasangan
b. Variabel terikat (dependen) : Emfisema Subkutis
3.6 Definisi Operasional
Tabel 3.1. Definisi Operasional
No. Variabel Definisi Cara &
Alat Ukur
Hasil Ukur Skala
1. Usia Adalah usia pasien
pada saat dilakukan
pemasangan
Anamnesa,
rekam
medis
Usia dalam
tahun
Numerik
2. Jenis
kelamin
Adalah jenis kelamin
pasien yang
mendapat perlakuan
pemasangan selang
dada
Anamnesa Laki-laki
Perempuan
Nominal
3. Kebiasaan
merokok
Adalah pasien yang
merokok dan
terpapar asap rokok
Anamnesa Katagori
berdasarkan
indeks
brigman
Ordinal
4. Ukuran
Selang dada
Diameter selang
dada yang digunakan
pada subyek
penelitian
Pemeriksaan
Fisik dan
Radiologis
24F
28F
Ordinal
5. Tempat
Pemasangan
selang dada
Tempat pemasangan
selang dada pada
subyek penelitian
Klinis dan
Pemeriksaan
fisik
Aman ( di
dalam
Triangle of
Safety)
Tidak aman
(diluar
Triangle Of
Safety)
Nominal
Universitas Sumatera Utara
35
No. Variabel Definisi Cara &
Alat Ukur
Hasil Ukur Skala
6. Posisi
selang dada
Posisi ujung selang
dada pada subyek
penelitian
Radiologis Ujung
selang dada
dapat
menjangkau
udara
didalam
rongga
pleura
Nominal
7. Lamanya
penggunaan
selang dada
Lamanya selang
dada terpasang pada
subyek penelitian
Paru
kembang,
fistel
menutup
Lamanya
pemasangan
dalam hari
≥ 15 hari
(mean)
< 15 hari
(mean)
Numerik
8. Blockage Selang dada yang
tertekuk, malposisi
atau tersumbat
Klinis dan
Radiologis
Blockage &
Non
Blockage
Nominal
9. Emfisema
Subkutis
adanya udara
dibawah kulit yang
dapat diamati secara
langsung
Klinis,
radiologis
Ya dan
Tidak
Nominal
10. Derajat
Emfisema
Subkutis
Luas dari adanya
udara didalam
lapisan kulit
Anamnesa
dan klinis
Derajat I, II,
III, IV, V
Ordinal
Universitas Sumatera Utara
36
3.7 Kerangka Operasional
Gambar 3.1 Kerangka Operasional Penelitian
3.8 Prosedur Penelitian
1. Sebelum penelitian dimulai, peneliti meminta keterangan lulus kaji etik
(ethical clearance) dari Komite Etik Penelitian Kesehatan Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
2. Dilakukan pengamatan pada pasien pneumotoraks yang telah memenuhi
kriteria, dilakukan identifikasi penyakit yang mendasari (underlying disease).
Derajat SE :
I, II, III, IV, V
Blockage SE
Penderita yang memenuhi kriteria
Pneumotoraks
Pemasangan selang
dada
Ukuran Selang
dada
Tempat
Pemasangan
Lamanya
penggunaan
selang dada
Universitas Sumatera Utara
37
3. Dilakukan pengamatan usia, jenis kelamin, kebiasaan merokok pada pasien
pneumotoraks yang dipasang selang dada di RSUP H. Adam Malik Medan.
4. Pasien yang termasuk ke dalam kelompok yang memenuhi syarat untuk
pemasangan selang dada.
5. Dilakukan pengamatan ukuran selang dada yang dipasang dan tempat
pemasangan.
6. Dilakukan pengamatan pada pasien yang mengalami komplikasi emfisema
subkutis dan emfisema subkutis
7. Dilakukan pengamatan berapa lama selang dada terpasang.
3.9 Analisis Data
3.9.1. Analisa Univariat
Analisis univariate dilakukan untuk melihat distribusi frekuensi kejadian
emfisema subkutis berdasarkan ukuran selang dada, lokasi pemasangan selang
dada, lamanya pemasangan selang dada, terjadinya sumbatan pada selang dada
(blockage). Data akan menghasilkan distribusi dan persentase dari tiap variable.
3.9.2. Analisa Bivariat
Analisa data bivariat dilakukan pada dua variabel yang diduga
berhubungan. Dalam penelitian ini akan dilakukan analisa uji chi square jika
memenuhi syarat dan fisher exact jika tidak memenuhi syarat untuk menilai
hubungan selang dada dengan kejadian emfisema subkutis.
3.10 Etika Penelitian
Sebelum dilakukan pengumpulan data terhadap sampel penelitian, peneliti
mengajukan ethical clearance terlebih dahulu kepada Komisi Etik Penelitian
Kesehatan (KEPK) Fakultas Kedokteran USU, Medan.
Universitas Sumatera Utara
38
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Karakteristik Pasien Pneumotoraks yang Dipasang Selang Dada di
RSUP H. Adam Malik Medan
Hasil penelitian menunjukkan karakteristik pasien pneumotoraks yang
dipasang selang dada di RSUP H. Adam Malik Medan dilihat meliputi umur, jenis
kelamin dan kebiasaan merokok. Berdasarkan usia, mayoritas pasien berusia 41-
60 tahun sebanyak 25 orang (44,6%), pasien yang berusia > 60 tahun sebanyak 18
orang (32,1%) dan usia 14-40 tahun sebanyak 13 orang (23,2%).
Berdasarkan jenis kelamin mayoritas pasien pneumotoraks yang dipasang
selang dada di RSUP H. Adam Malik Medan adalah laki-laki sebanyak 51 orang
(91,1%) dan perempuan sebanyak 5 orang (8,9%). Mayoritas pasien
pneumotoraks yang dipasang selang dada di RSUP H. Adam Malik Medan adalah
perokok sebanyak 51 orang (91,1%) dan bukan perokok sebanyak 5 orang (8,9%).
Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Karakteristik Pasien Pneumotoraks yang
Dipasang Selang Dada di RSUP H. Adam Malik Medan
Variabel n %
Usia
14-40 tahun 13 23,2
41-60 tahun 25 44,6
> 60 tahun 18 32,1
Jenis Kelamin
laki-laki 51 91,1
Perempuan 5 8,9
Kebiasaan Merokok
Ya 51 91,1
Tidak 5 8,9
Jumlah 56 100,0
Universitas Sumatera Utara
39
4.2 Ukuran Selang Dada, Lama Penggunaan dan Blockage Pasien yang
Dipasang Selang Dada di RSUP H. Adam Malik Medan
Ukuran selang dada pada pasien pneumotoraks yang dipasang selang dada
mayoritas 28F sebanyak 47 orang (83,9%) dan ukuran selang dada 24F sebanyak
9 orang (16,1%). Lokasi pemasangan selang dada seluruhnya aman sebanyak 56
orang (100%). Posisi pemasangan selang dada mayoritas menjangkau udara yaitu
sebanyak 53 orang (94,6%) dan pemasangan selang dada yang tidak menjangkau
udara sebanyak 3 orang (5,4%). Lama penggunaan mayoritas < 15 hari sebanyak
33 orang (58,9%) dan lama penggunaan ≥ 15 hari sebanyak 23 orang (41,1%).
Mayoritas pasien pneumotoraks yang dipasang selang dada non blockage
sebanyak 48 orang (85,7%) dan pasien pneumotoraks yang dipasang selang dada
yang mengalami blockage sebanyak 8 orang 14,3%.
Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Ukuran Selang Dada, Lama Penggunaan dan
Blockage Pada Pasien Pneumotoraks yang Dipasang Selang Dada
di RSUP H. Adam Malik Medan
Variabel n %
Ukuran Selang Dada
24 F 9 16,1
28 F 47 83,9
Lokasi Pemasangan
Tidak Aman 0 0,0
Aman 56 100,0
Posisi Pemasangan
Menjangkau 53 94,6
Tidak Terjangkau 3 5,4
Lama Penggunaan
≥ 15 hari 23 41,1
< 15 hari 33 58,9
Blockage
Blockage 8 14,3
Non-blockage 48 85,7
Jumlah 56 100,0
Universitas Sumatera Utara
40
4.3 Kejadian Emfisema Subkutis dan Derajat Emfisema Subkutis Pasien
Pneumotoraks yang Dipasang Selang Dada di RSUP H. Adam Malik
Medan
Hasil penelitian terhadap 56 pasien pneumotoraks yang dipasang selang dada
yang mengalami kejadian emfisema subkutis sebanyak 15 orang (26,8%) dan
yang tidak mengalami kejadian emfisema subkutis sebanyak 41 orang (73,2%).
Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Kejadian Emfisema Subkutis dan Derajat
Emfisema Subkutis pada Pasien Pneumotoraks yang Dipasang
Selang Dada di RSUP H. Adam Malik Medan
Variabel n %
Kejadian Emfisema Subkutis
Ya 15 26,8
Tidak 41 73,2
Derajat SE
I 3 5,4
II 1 1,8
III 1 1,8
IV 4 7,1
V 6 10,7
4.4 Hubungan Ukuran Selang Dada dengan Kejadian Emfisema Subkutis
pada Pasien Pneumotoraks yang Dipasang Selang dada di RSUP H.
Adam Malik Medan
Penilaian hubungan antara ukuran selang dada dengan kejadian emfisema
subkutis pada pasien pneumotoraks yang dipasang selang dada di RSUP H.Adam
Malik Medan menunjukkan bahwa dari 9 pasien pneumotoraks yang dipasang
selang dada dengan ukuran 24F yang mengalami kejadian emfisema subkutis
sebanyak 5 orang (55,6%) dan yang tidak mengalami kejadian emfisema subkutis
sebanyak 4 orang (44,4%).
Pasien pneumotoraks yang dipasang selang dada dengan ukuran 28F
sebanyak 47 orang, yang mengalami mengalami kejadian emfisema subkutis
sebanyak 10 orang (21,3%) dan yang tidak mengalami kejadian emfisema
subkutis sebanyak 37 orang (78,7%).
Universitas Sumatera Utara
41
Tabel 4.4. Hubungan Ukuran Selang Dada dengan Kejadian Emfisema
Subkutis pada Pasien Pneumotoraks yang Dipasang Selang Dada
di RSUP H. Adam Malik Medan
Ukuran Selang
Dada
Emfisema Subkutis
Jumlah
p.
Ya Tidak
N % N % n %
24 F 5 55,6 4 44,4 9 100,0
0,048
28 F 10 21,3 37 78,7 47 100,0
Gambar 4.1 Hubungan Ukuran Trokar dengan Emfisema Subkutis
Hasil uji bivariat dengan menggunakan uji Fisher’s Exact menunjukkan
bahwa nilai p<0,05 yang artinya ada hubungan yang signifikan antara ukuran
selang dada dengan kejadian emfisema subkutis pada pasien pneumotoraks yang
dipasang selang dada di RSUP H.Adam Malik Medan.
62.5
20.8
37.5
79.2
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
Blokage Non-Blokage
Emfisema Subkutis Tidak Emfisema Subkutis
Universitas Sumatera Utara
42
4.5 Hubungan Posisi Selang Dada dengan Kejadian Emfisema Subkutis
pada Pasien Pneumotoraks yang Dipasang Selang dada di RSUP H.
Adam Malik Medan
Penilaian hubungan antara poisis selang dada dengan kejadian emfisema
subkutis pada pasien pneumotoraks yang dipasang selang dada di RSUP H.Adam
Malik Medan menunjukkan bahwa dari 3 pasien pneumotoraks posisi selang dada
tidak terjangkau udara yang mengalami kejadian emfisema subkutis sebanyak 1
orang (33,3%) dan yang tidak mengalami kejadian emfisema subkutis sebanyak 2
orang (66,7%). Pasien pneumotoraks yang posisi selang dada dapat menjangkau
udara sebanyak 53 orang, yang mengalami mengalami kejadian emfisema
subkutis sebanyak 14 orang (26,4%) dan yang tidak mengalami kejadian
emfisema subkutis sebanyak 39 orang (73,6%).
Tabel 4.5. Hubungan Posisi Selang Dada dengan Kejadian Emfisema
Subkutis pada Pasien Pneumotoraks yang Dipasang Selang Dada
di RSUP H. Adam Malik Medan
Posisi Selang
Dada
Emfisema Subkutis
Jumlah
p.
Ya Tidak
N % N % n %
Tidak Terjangkau
udara
1 33,3 2 66,7 3 100,0
1,000
Menjangkau udara 14 26,4 39 73,6 53 100,0
Gambar 4.2 Hubungan Posisi Selang Dada dengan Emfisema Subkutis
62.5
20.8
37.5
79.2
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
Blokage Non-Blokage
Emfisema Subkutis Tidak Emfisema Subkutis
Universitas Sumatera Utara
43
Hasil uji bivariat dengan menggunakan uji Fisher’s Exact menunjukkan
bahwa nilai p>0,05 yang artinya tidak ada hubungan yang signifikan antara posisi
selang dada dengan kejadian emfisema subkutis pada pasien pneumotoraks yang
dipasang selang dada di RSUP H.Adam Malik Medan.
4.6 Hubungan Lamanya Penggunaan dengan Kejadian Emfisema Subkutis
pada Pasien Pneumotoraks yang Dipasang Selang Dada di RSUP H.
Adam Malik Medan
Penilaian hubungan antara lamanya penggunaan dengan kejadian
emfisema subkutis pada pasien pneumotoraks yang dipasang selang dada di RSUP
H.Adam Malik Medan menunjukkan bahwa dari 23 pasien pneumotoraks yang
dipasang selang dada dengan lama penggunaan ≥ 15 hari yang mengalami
kejadian emfisema subkutis sebanyak 13 orang (56,5%) dan yang tidak
mengalami kejadian emfisema subkutis sebanyak 10 orang (43,5%).
Pasien pneumotoraks yang dipasang selang dada dengan lama penggunaan
< 15 hari sebanyak 33 orang, yang mengalami mengalami kejadian emfisema
subkutis sebanyak 5 orang (15,2%) dan yang tidak mengalami kejadian emfisema
subkutis sebanyak 28 orang (84,8%).
Tabel 4.6. Hubungan Lamanya Penggunaan dengan Kejadian Emfisema
Subkutis pada Pasien Pneumotoraks yang Dipasang Selang Dada
di RSUP H. Adam Malik Medan
Lamanya
penggunaan
Emfisema Subkutis
Jumlah
p.
Ya Tidak
N % N % n %
≥ 15 hari 13 56,5 10 43,5 23 100,0
0,041
< 15 hari 5 15,2 28 84,8 33 100,0
Universitas Sumatera Utara
44
Gambar 4.3 Hubungan Lama Penggunaan dengan Emfisema Subkutis
Hasil uji bivariat dengan menggunakan uji chi square menunjukkan bahwa
nilai p<0,05 yang artinya ada hubungan yang signifikan antara lama penggunaan
dengan kejadian emfisema subkutis pada pasien pneumotoraks yang dipasang
selang dada di RSUP H.Adam Malik Medan.
4.7 Hubungan Blockage dengan Kejadian Emfisema Subkutis pada Pasien
Pneumotoraks yang Dipasang Selang Dada di RSUP H. Adam Malik
Medan
Penilaian hubungan antara blockage dengan kejadian emfisema subkutis
pada pasien pneumotoraks yang dipasang selang dada di RSUP H.Adam Malik
Medan menunjukkan bahwa dari 8 pasien pneumotoraks yang dipasang selang
dada dengan blockage yang mengalami kejadian emfisema subkutis sebanyak 5
orang (62,5%) dan yang tidak mengalami kejadian emfisema subkutis sebanyak 3
orang (37,5%). Pasien pneumotoraks yang dipasang selang dada dengan non-
blockage sebanyak 48 orang, yang mengalami mengalami kejadian emfisema
subkutis sebanyak 10 orang (20,8%) dan yang tidak mengalami kejadian
emfisema subkutis sebanyak 38 orang (79,2%).
62.5
20.8
37.5
79.2
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
Blokage Non-Blokage
Emfisema Subkutis Tidak Emfisema Subkutis
Universitas Sumatera Utara
45
Tabel 4.7. Hubungan Blockage dengan Kejadian Emfisema Subkutis pada
Pasien Pneumotoraks yang Dipasang Selang Dada di RSUP H.
Adam Malik Medan
Blockage
Emfisema Subkutis
Jumlah
p.
Ya Tidak
N % N % n %
Blockage 5 62,5 3 37,5 8 100,0
0,026
Non-Blockage 10 20,8 38 79,2 48 100,0
Gambar 4.4 Hubungan Blockage dengan Emfisema Subkutis
Hasil uji bivariat dengan menggunakan uji Fisher’s Exact menunjukkan
bahwa nilai p<0,05 yang artinya ada hubungan yang signifikan antara blockage
dengan kejadian emfisema subkutis pada pasien pneumotoraks yang dipasang
selang dada di RSUP H.Adam Malik Medan.
62.5
20.8
37.5
79.2
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
Blokage Non-Blokage
Emfisema Subkutis Tidak Emfisema Subkutis
Universitas Sumatera Utara
46
4.8. Analisis Multivariat
Untuk menganalisis tentang faktor-faktor yang paling dominan
berhubungan dengan kejadian emfisema subkutis pada pasien yang dipasang
selang dada di RSUP H.Adam Malik Medan, menggunakan uji regresi logistik
ganda (multiple logistic regression). Variabel yang terpilih dalam model akhir
regresi logistik ganda dapat dilihat pada Tabel 4.8 berikut :
Tabel 4.8. Hasil Akhir Uji Regresi Logistik Berganda
Variabel B Sig.
Prevalence
Ratio (PR)
95 CI
Lower Upper
ukuran selang dada 1,992 0,027 7,328 1,257 42,714
Lama penggunaan 1,927 0,015 6,870 1,450 32,545
Blockage 2,520 0,010 12,424 1,825 84,559
Konstanta -2,855
Berdasarkan hasil yang diperoleh bahwa ukuran selang dada berpengaruh
terhadap kejadian emfisema subkutis pada pasien pneumotoraks yang dipasang
selang dada di RSUP H.Adam Malik Medan dengan nilai p=0,027. Ukuran selang
dada memiliki nilai PR = 7,328 artinya pasien dengan ukuran selang dada 24F
lebih berisiko mengalami emfisema subkutis sebanyak 7,328 dibandingkan pasien
dengan ukuran selang dada 28F.
Ada pengaruh lama penggunaan terhadap kejadian emfisema subkutis
pada pasien pneumotoraks yang dipasang selang dada di RSUP H.Adam Malik
Medan dengan nilai p=0,015. Lama penggunaan memiliki nilai PR= 6,870 artinya
pasien pneumotoraks yang dipasang selang dada dengan lama penggunaan ≥ 15
hari lebih berisiko mengalami emfisema subkutis sebanyak 6,870 dibandingkan
pasien pasien pneumotoraks yang dipasang selang dada dengan lama penggunaan
< 15 hari.
Ada pengaruh blockage terhadap kejadian emfisema subkutis pada pasien
pneumotoraks yang dipasang selang dada di RSUP H.Adam Malik Medan dengan
nilai p=0,010. Blockage memiliki nilai PR= 12,424 artinya pasien pneumotoraks
Universitas Sumatera Utara
47
yang dipasang selang dada dengan blockage lebih berisiko mengalami emfisema
subkutis sebanyak 12,424 dibandingkan pasien non-blockage.
Model persamaan regresi logistik berganda yang dapat memprediksi
kejadian emfisema subkutis pada pasien pneumotoraks yang dipasang selang dada
di RSUP H.Adam Malik Medan adalah sebagai berikut:
))
3
(
520
,
2
)
(
927
,
1
)
(
992
,
1
855
,
2
( 2
1
1
1
)
( x
X
X
e
y
p 






Keterangan:
P : Probabilitas kejadian emfisema subkutis
X1 : Ukuran Selang dada koefisien regresi 1,992
X2 : Lama penggunaan, koefisien regresi 1,927
X2 : Blockage, koefisien regresi 2,520
a : Konstanta -2,855
4.9 Pembahasan
4.9.1. Karakteristik Pasien Pneumotoraks yang Dipasang Selang Dada di
RSUP H. Adam Malik Medan
Pneumotoraks adalah adanya udara pada rongga pleura. Pneumotoraks
sangat berkaitan dengan fraktur kosta laserasi dari pleura parietalis dan visceralis.
Robekan dari pleura visceralis dan parenkim paru dapat menyebabkan
Pneumotoraks, sedangkan robekan dari pleura parietalis dapat menyebabkan
emfisema subkutis. Gejala yang paling umum pada Pneumotoraks adalah nyeri
yang diikuti dispneu (Milisavljevic et al, 2012; Lugo et al, 2015).
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa pasien pneumotoraks yang
dipasang selang dada di RSUP H. Adam Malik Medan mayoritas berusia 41-60
tahun, hal ini sesuai dengan pernyatakaan Jhonston dan Dovnarsky bahwa
Universitas Sumatera Utara
48
kejadian pnomotoraks spontan timbul pada umur lebih dari 40 tahun pada orang-
orang dengan bentuk tubuh kurus dan tinggi. Hasil penelitian ini sesuai dengan
penelitin yang dilakukan oleh Masenggi yang menyatakan Kasus pneumotoraks
terbanyak ditemukan pada kelompok usia ≥50 tahun yaitu 15 pasien (36,6%)
(Masenggi, 2015).
Pasien Pneumotoraks yang dipasang selang dada dan mengalami kejadian
emfisema subkutis sebnayak 15 orang mayoritas berusia 41-60 tahun sebesar
46,7%, yang diikuti usia > 60 tahun sebesar 40% hal ini dimungkinkan bahwa
usia 40 tahun ke atas fungsi organ dalam tubuh sudah mengalami banyak
penurunan jika tidak dijaga dengan baik, sehingga rentan mengalami gangguan
kesehatan organ paru seperti TB Paru, PPOK, keganasan atau tumor paru apalagi
disertai riwayat merokok sehingga dapat menyebabkan kejadian emfisema
subkutis pada pasien pnemotoraks yang dipasang selang dada. Seorang dengan
usia tua sebagian besar cadangan sistem fisiologis berkurang dan meningkatnya
kerentanan terhadap berbagai penyakit seiring dengan bertambahnya usia.
Berdasarkan karakteristik kelamin, pasien pneumotoraks yang dipasang
selang dada di RSUP H. Adam Malik mayoritas berjenis kelamin laki-laki sebesar
91,1%. Kejadian emfisema subkutis pada pasien pneumotoraks yang dipasang
selang dada seluruhnya berjenis kelamin laki-laki. Hasil penelitian ini sesuai
dengan teori yang menyatakan bahwa pria mempunyai resiko lebih besar terkena
pneumothoraks spontan dari pada wanita dengan perbandingan kurang lebih 5 : 1.
(Sudoyo, 2009). Hasil penelitian ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan
oleh Masenggi didapatkan bahwa mayoritas jenis kelamin pada pasien
pneumotoraks terbanyak yaitu pada laki-laki sebanyak 37 orang (90,2%)
(Masenggi, 2015). Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan
oleh Surjanto et al. di RSUD Dr. Moewandi Surakarta tahun 2010 yaitu pasien
pneumotoraks lebih banyak dijumpai pada jenis kelamin laki-laki (64,10%)
(Surjanto, 2010).
Berdasarkan status merokok mayoritas pasien pnemoutoraks yang
dipasang selang dada di RSUP H. Adam Malik berstatus perokok yaitu sebesar
91,1% dan dari 15 pasien yang mengalami kejadian emfisema subkutis ada 13
Universitas Sumatera Utara
49
orang yang berstatus merokok. Hal ini dikarenakan oksidan atau racun yang
terdapat di asap rokok membuat dinding alveolus atau bagian terkecil di dalam
paru, rusak. Selain itu, dinding pembuluh darah kapiler yang menempel di
alveolus menebal. Akibatnya, pernapasan terganggu. Oksigen sulit masuk ke
pembuluh kapiler dan diedarkan ke seluruh tubuh. Begitu juga karbondioksida
yang harus dikeluarkan. Akhirnya, ada udara yang terperangkap. Hasil penelitian
ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Zeybek menyatakan bahwa ada
hubungan kebiasaan merokok dengan faktor risiko pneumotoraks (Zeybek, 2013).
4.9.2. Hubungan Ukuran Selang Dada dengan Kejadian Emfisema Subkutis
pada Pasien Pneumotoraks yang Dipasang Selang dada di RSUP H.
Adam Malik Medan
Pemasangan selang dada dapat dilakukan pada pasien dengan
pneumotoraks dengan ukuran moderat sampai large, pasien dengan riwayat
aspirasi cairan pleura berulang, efusi pleura yang berulang, pada pasien yang
dilakukan bedah toraks, pasien dengan pneumotoraks yang berhubungan dengan
trauma, hemotoraks, kilotoraks, empiema, atau pada keadaan lain misalnya untuk
pencegahan setelah tindakan pembedahan untuk evakuasi darah dan mencegah
tamponade jantung. (Klopp, 2013).
Ukuran selang dada dari yang paling kecil hingga yang paling besar adalah
antara 8 – 32 F. Ukuran selang dada yang dibutuhkan tergantung pada indikasi
pemasangan selang dada. Untuk pneumotoraks dianjurkan selang dada ukuran 20
F, dan untuk efusi pleura ukuran 24 – 28 F, serta perlu juga dipertimbangkan jenis
kelamin dan ukuran pasien. (Klopp, 2013).
Pemasangan selang dada ukuran besar tetap merupakan tindakan yang
optimal untuk drainase cairan ataupun udara. Beberapa komplikasi yang sering
terjadi pada pemasangan selang dada adalah re-expaansion pulmonary edema,
rasa nyeri pada tempat pemasangan, infeksi pada tempat pemasangan, perdarahan,
kingking, blockage, pneumotoraks, cedera organ dan tercabutnya selang dada.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ukuran penggunaan selang dada
yang digunakan di RSUP H. Adam Malik hanya menggunakan 2 ukuran yaitu 24
Universitas Sumatera Utara
50
F dan 28 F. Mayoritas pasien pnemotoraks yang dipasang selang dada
menggunakan ukuran selang dada 28 F. Selang dada dengan ukuran besar (>28F)
seringnya direkomendasikan pada penatalaksanaaan pneumotoraks karena adanya
potensi diperlukannya evakuasi udara dan/atau darah. Tetapi, hal ini didasarkan
pada pendapat ahli saja menemukan bahwa pneumotoraks yang tanpa komplikasi
dan simple, maka selang dada dengan ukuran kecil (14F) dihubungkan dengan
pengurangan rasa nyeri pada saat pemasangan dan tidak ada perbedaan klinis yang
lain yang signifikan (Riber et al, 2017).
Kejadian emfisema subkutis pada 15 pasien pneumotoraks yang dipasang
selang dada dengan ukuran selang dada 24F menempati persentase paling tinggi
yaitu sebesar 55,6%. Hal ini dimungkinkan akibat selang dada tidak dapat
mengevakuasi seluruh udara, sehingga menyebabkan udara berada dibawah kulit.
4.9.3. Hubungan Posisi Selang Dada dengan Kejadian Emfisema Subkutis
pada Pasien Pneumotoraks yang Dipasang Selang dada di RSUP H.
Adam Malik Medan
Pemasangan selang dada merupakan tindakan invasif yang dilakukan
untuk mengeluarkan udara, cairan (darah, pus) dari rongga pleura, rongga thoraks
dan mediastinum dengan menggunakan pipa penghubung untuk mempertahankan
tekanan negatif rongga tersebut. Dalam keadaaan normal rongga pleura memiliki
tekanan negatif dan hanya terisi sedikit cairan pleura/lubricant. Tujuan dari
pemasangan selang dada mengeluarkan cairan atau darah, udara dari rongga
pleura, mengembalikan tekanan negatif pada rongga pleura, mengembangkan
kembali paru yang kolaps, mencegah refluks drainage kembali ke rongga dada
dan mengalirkan udara atau cairan dari rongga pleura untuk mempertahankan
tekanan negatif rongga tersebut.
Pada pasien pnemotoraks untuk mencegah terjadinya sesak nafas berat
yang disebabkan oleh karena meningginya tekanan intrathoraks, maka
diperlukan pemasangan selang dada. Ada pula pendapat yang mengatakan bahwa
terdapatnya pneumotorak yang besar merupakan indikasi perlunya pemasangan
Universitas Sumatera Utara
51
selang dada. Hal ini atas pertimbangan bahwa paru akan tetap menguncup dalam
waktu yang cukup lama.
Pemasangan selang dada juga dapat menimbulkan komplikasi yang tidak
diharapkan. Dengan indikasi yang tepat, menggunakan tehnik yang benar
serta memberikan perawatan pasca pemasangan secara baik, kita dapat
menghindarkan penderita dari komplikasi yang tidak diharapkan. Posisi
pemasangan selang dada yang terlalu dalam kedalam toraks dapat mengakibatkan
terjadinya perforasi jantung, cidera pada pembuluh darah besar, perforasi dari
oesophagus dan cidera saraf. (Kesiema et al, 2012).
Salah satu komplikasi
pemasangan selang dada adalah kejadian emfisema subkutis. Komplikasi dapat
terjadi akibat dari Posisi Selang Dada yang tidak bisa menjangkau udara dimana
pemasangan selang dada pada posisi yang tidak benar.
Hasil penelitian pasien pneumotoraks yang dipasang selang dada di RSUP
H. Adam Malik ditemukan 3 orang yang posisi selang dada tidak menjangakau
udara dan dari ketiga orang tersebut hanya 1 orang yang mengalami kejadian
emfisema subkitis dengan nilai p=1,000 dimana tidak ada hubungan antara posisi
selang dada dengan kejadian emfisema subkutis. Hal ini disebabkan oleh beberapa
hal diantaranya lokasi ujung selang dada lebih jauh dari tempat mengakses
pneumotoraks, seringnya terjadi refleks batuk, luasnya pneumotoraks dan juga
jenis pneumotoraks atipikal lebih sulit menjangkau udara dibandingkan
pneumotoraks tipikal.
4.9.4. Hubungan Lama Pemasangan dengan Kejadian Emfisema Subkutis
pada Pasien Pneumotoraks yang Dipasang Selang dada di RSUP H.
Adam Malik Medan
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata pemasangan
selang dada pada pasien pneumotoraks di RSUP Adam Malik yaitu 14 hari. Hasil
penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Adi Rosadi yaitu rerata
lama selang dada terpasang untuk berbagai penyakit pleura adalah 17,3±11,3 hari
(median 17 hari). Rerata lama selang dada terpasang untuk pneumotoraks spontan
primer adalah 14±9,8 hari, pneumotoraks spontan sekunder 14,5±8,2 hari (median
Universitas Sumatera Utara
52
13 hari) (Adi Rosadi et al, 2014). Hasil penelitian ini juga tidak jauh berbeda
dengan penelitian yang dilakukan oleh Rizana et al, menyatakan bahwa durasi
drainase pada setiap pasien dalam bervariasi mulai dari yang paling cepat yaitu 3
hari sampai yang paling lama yaitu 40 hari dan rata-rata lama pemasangan selama
12 hari. (Rizana et al, 2017)
Hasil uji bivariat dengan menggunakan uji chi square menunjukkan bahwa
nilai p<0,05 yang artinya ada hubungan yang signifikan antara lama penggunaan
dengan kejadian emfisema subkutis pada pasien pneumotoraks yang dipasang
selang dada di RSUP H.Adam Malik Medan. Hal ini menunjukkan bahwa
semakin lama pemasangan maka semakin besar resiko mengalami kejadian
emfisema subkutis. Pada hasil penelitian didapatkan bahwa semakin tinggi grade
emfisema subkutis maka sebagia besar lama pemasangan selang dada diatas 15
hari. Hal ini dimungkinkan banyaknya komplikasi penyakit lain yang dialami oleh
pasien pneumotoraks seperti PPOK, Iatrogenik, TB Paru, keganasan dan
Barotrauma.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Peter
yang menyatakan bahwa pada kasus dimana terjadi emfisema subkutis, drainase
tube lebih lama (mean 10.4 vs 3.6 hari), dengan drainase valve Heimlich pada
20% vs 0%, dan membutuhkan lebih banyak jumlah tube rata-rata (2.0 vs 1.7
tube). Penempatan tube dinilai tidak adekuat pada 20% kasus dibandingkan
dengan 3% pada kelompok kontrol, baik dengan kegagalan dalam memasukkan
drain kedalam pneumothoraks maupun drain dengan arah yang salah.
Emfisema subkutis diperberat dengan ancaman obstruksi jalan nafas atas
pada satu kasus dengan pneumothoraks traumatik bilateral, yang kemudian
memerlukan untuk dilakukan intubasi endotrakeal. Emfisema subkutis terganggu
dengan dilakukannya penilaian echocardiografi pada dua pasien dalam perawatan
intensif, dan mengakibatkan ketidakpastian radiografi pada pasien lain dengan
infiltrat paru, yang kemudian diklarifikasi dengan melakukan pemeriksaan
imaging CT-scan. Ketidakpastian diagnostik pada pasien lain dengan
pembengkakan pada lengan dan kemungkinan adanya thrombosis vena aksilaris
Universitas Sumatera Utara
Faktor faktor empisema
Faktor faktor empisema
Faktor faktor empisema
Faktor faktor empisema
Faktor faktor empisema
Faktor faktor empisema
Faktor faktor empisema
Faktor faktor empisema
Faktor faktor empisema
Faktor faktor empisema
Faktor faktor empisema
Faktor faktor empisema
Faktor faktor empisema
Faktor faktor empisema
Faktor faktor empisema
Faktor faktor empisema
Faktor faktor empisema
Faktor faktor empisema
Faktor faktor empisema
Faktor faktor empisema
Faktor faktor empisema
Faktor faktor empisema
Faktor faktor empisema

More Related Content

What's hot

Pemeriksaan fisik thorax, pulmonalis, jantung
Pemeriksaan fisik thorax, pulmonalis, jantungPemeriksaan fisik thorax, pulmonalis, jantung
Pemeriksaan fisik thorax, pulmonalis, jantung
Verar Oka
 
222312121 cara-menjahit-luka-jenis-benang-dan-jarum-jahit
222312121 cara-menjahit-luka-jenis-benang-dan-jarum-jahit222312121 cara-menjahit-luka-jenis-benang-dan-jarum-jahit
222312121 cara-menjahit-luka-jenis-benang-dan-jarum-jahit
Dafid Rozi
 

What's hot (20)

Perforasi gaster
Perforasi gasterPerforasi gaster
Perforasi gaster
 
Pemeriksaan fisik thorax, pulmonalis, jantung
Pemeriksaan fisik thorax, pulmonalis, jantungPemeriksaan fisik thorax, pulmonalis, jantung
Pemeriksaan fisik thorax, pulmonalis, jantung
 
Bronko pneumonia
Bronko pneumoniaBronko pneumonia
Bronko pneumonia
 
Trakeostomi dan krikotirotomi
Trakeostomi dan krikotirotomiTrakeostomi dan krikotirotomi
Trakeostomi dan krikotirotomi
 
Anatomy sistem pada antebrachii-palmar
Anatomy sistem pada antebrachii-palmarAnatomy sistem pada antebrachii-palmar
Anatomy sistem pada antebrachii-palmar
 
Refrat THT EPISTAKSIS
Refrat THT EPISTAKSISRefrat THT EPISTAKSIS
Refrat THT EPISTAKSIS
 
ppt_Penatalaksanaan Syok (Adam_FIK UI)
ppt_Penatalaksanaan Syok (Adam_FIK UI)ppt_Penatalaksanaan Syok (Adam_FIK UI)
ppt_Penatalaksanaan Syok (Adam_FIK UI)
 
Mandala of health paul
Mandala of health   paulMandala of health   paul
Mandala of health paul
 
APE.pptx
APE.pptxAPE.pptx
APE.pptx
 
Abses paru by dr.Yanuarman
Abses paru by dr.Yanuarman Abses paru by dr.Yanuarman
Abses paru by dr.Yanuarman
 
Kontusio paru
Kontusio paruKontusio paru
Kontusio paru
 
Pemeriksaan fisik thorax
Pemeriksaan fisik thoraxPemeriksaan fisik thorax
Pemeriksaan fisik thorax
 
Tamponade Jantung
Tamponade JantungTamponade Jantung
Tamponade Jantung
 
Cairan Kristaloid dan Koloid
Cairan Kristaloid dan KoloidCairan Kristaloid dan Koloid
Cairan Kristaloid dan Koloid
 
Otitis media akuta
Otitis media akutaOtitis media akuta
Otitis media akuta
 
Acute limb ischemia
Acute limb ischemiaAcute limb ischemia
Acute limb ischemia
 
222312121 cara-menjahit-luka-jenis-benang-dan-jarum-jahit
222312121 cara-menjahit-luka-jenis-benang-dan-jarum-jahit222312121 cara-menjahit-luka-jenis-benang-dan-jarum-jahit
222312121 cara-menjahit-luka-jenis-benang-dan-jarum-jahit
 
Bronkopneumonia
BronkopneumoniaBronkopneumonia
Bronkopneumonia
 
Anatomi hidung
Anatomi hidungAnatomi hidung
Anatomi hidung
 
Ppt kti
Ppt ktiPpt kti
Ppt kti
 

Similar to Faktor faktor empisema

5 skripsi tuberkulosis
5 skripsi tuberkulosis 5 skripsi tuberkulosis
5 skripsi tuberkulosis
Icha Stevany
 
01 FK UNDANGAN PELANTIKAN (DILANTIK ).pdf
01 FK UNDANGAN PELANTIKAN (DILANTIK ).pdf01 FK UNDANGAN PELANTIKAN (DILANTIK ).pdf
01 FK UNDANGAN PELANTIKAN (DILANTIK ).pdf
tikaaprilia3
 
proposal indra wijaya AKADEMI ANALIS KESEHATAN HARAPAN BANGSA BENGKULU
proposal indra wijaya AKADEMI ANALIS KESEHATAN HARAPAN BANGSA BENGKULUproposal indra wijaya AKADEMI ANALIS KESEHATAN HARAPAN BANGSA BENGKULU
proposal indra wijaya AKADEMI ANALIS KESEHATAN HARAPAN BANGSA BENGKULU
Indra Wijaya
 
Kejadian infeksi nosokomial
Kejadian infeksi nosokomialKejadian infeksi nosokomial
Kejadian infeksi nosokomial
Muhammad Badar
 
NDY4NDY1ZjZmYmJlMGU2ZWM2MDFhYTJkNWZjZDUyMTBiYTFjNzg5MA==.pdf
NDY4NDY1ZjZmYmJlMGU2ZWM2MDFhYTJkNWZjZDUyMTBiYTFjNzg5MA==.pdfNDY4NDY1ZjZmYmJlMGU2ZWM2MDFhYTJkNWZjZDUyMTBiYTFjNzg5MA==.pdf
NDY4NDY1ZjZmYmJlMGU2ZWM2MDFhYTJkNWZjZDUyMTBiYTFjNzg5MA==.pdf
nathan pratama
 
panduan pasien safety daalam rumah sakit ,
panduan pasien safety daalam rumah sakit ,panduan pasien safety daalam rumah sakit ,
panduan pasien safety daalam rumah sakit ,
bagas834771
 

Similar to Faktor faktor empisema (20)

Kanker 2010
Kanker 2010Kanker 2010
Kanker 2010
 
5 skripsi tuberkulosis
5 skripsi tuberkulosis 5 skripsi tuberkulosis
5 skripsi tuberkulosis
 
01 FK UNDANGAN PELANTIKAN (DILANTIK ).pdf
01 FK UNDANGAN PELANTIKAN (DILANTIK ).pdf01 FK UNDANGAN PELANTIKAN (DILANTIK ).pdf
01 FK UNDANGAN PELANTIKAN (DILANTIK ).pdf
 
Reaksi kimia
Reaksi kimiaReaksi kimia
Reaksi kimia
 
Css
CssCss
Css
 
KTI_FAUZAN.pdf
KTI_FAUZAN.pdfKTI_FAUZAN.pdf
KTI_FAUZAN.pdf
 
proposal indra wijaya AKADEMI ANALIS KESEHATAN HARAPAN BANGSA BENGKULU
proposal indra wijaya AKADEMI ANALIS KESEHATAN HARAPAN BANGSA BENGKULUproposal indra wijaya AKADEMI ANALIS KESEHATAN HARAPAN BANGSA BENGKULU
proposal indra wijaya AKADEMI ANALIS KESEHATAN HARAPAN BANGSA BENGKULU
 
EFEKTIFITAS INHALASI DENGAN PEMBERIAN POSISI SEMIFOWLER DAN BATUK EFEKTIF TER...
EFEKTIFITAS INHALASI DENGAN PEMBERIAN POSISI SEMIFOWLER DAN BATUK EFEKTIF TER...EFEKTIFITAS INHALASI DENGAN PEMBERIAN POSISI SEMIFOWLER DAN BATUK EFEKTIF TER...
EFEKTIFITAS INHALASI DENGAN PEMBERIAN POSISI SEMIFOWLER DAN BATUK EFEKTIF TER...
 
Evaluasi Penggunaan Antibiotik Profilaksis pada Operasi Sesar di Rumah Sakit ...
Evaluasi Penggunaan Antibiotik Profilaksis pada Operasi Sesar di Rumah Sakit ...Evaluasi Penggunaan Antibiotik Profilaksis pada Operasi Sesar di Rumah Sakit ...
Evaluasi Penggunaan Antibiotik Profilaksis pada Operasi Sesar di Rumah Sakit ...
 
Kejadian infeksi nosokomial
Kejadian infeksi nosokomialKejadian infeksi nosokomial
Kejadian infeksi nosokomial
 
NDY4NDY1ZjZmYmJlMGU2ZWM2MDFhYTJkNWZjZDUyMTBiYTFjNzg5MA==.pdf
NDY4NDY1ZjZmYmJlMGU2ZWM2MDFhYTJkNWZjZDUyMTBiYTFjNzg5MA==.pdfNDY4NDY1ZjZmYmJlMGU2ZWM2MDFhYTJkNWZjZDUyMTBiYTFjNzg5MA==.pdf
NDY4NDY1ZjZmYmJlMGU2ZWM2MDFhYTJkNWZjZDUyMTBiYTFjNzg5MA==.pdf
 
PPKParu
PPKParuPPKParu
PPKParu
 
Journal reading (tht kl) - comparative efficacy and safety of various anti-mic...
Journal reading (tht kl) - comparative efficacy and safety of various anti-mic...Journal reading (tht kl) - comparative efficacy and safety of various anti-mic...
Journal reading (tht kl) - comparative efficacy and safety of various anti-mic...
 
33544 71470-1-pb
33544 71470-1-pb33544 71470-1-pb
33544 71470-1-pb
 
Pedoman Penanganan Cepat Medis dan Kesehatan Masyarakat COVID 19 di Indonesia
Pedoman Penanganan Cepat Medis dan Kesehatan Masyarakat COVID 19 di IndonesiaPedoman Penanganan Cepat Medis dan Kesehatan Masyarakat COVID 19 di Indonesia
Pedoman Penanganan Cepat Medis dan Kesehatan Masyarakat COVID 19 di Indonesia
 
Pedoman Penanganan Cepat Medis Dan Kesehatan Masyarakat Covid-19 Di Indonesia
Pedoman Penanganan Cepat Medis Dan Kesehatan Masyarakat Covid-19 Di IndonesiaPedoman Penanganan Cepat Medis Dan Kesehatan Masyarakat Covid-19 Di Indonesia
Pedoman Penanganan Cepat Medis Dan Kesehatan Masyarakat Covid-19 Di Indonesia
 
Vap
VapVap
Vap
 
Cover
CoverCover
Cover
 
hubungan kadar CD4
hubungan kadar CD4hubungan kadar CD4
hubungan kadar CD4
 
panduan pasien safety daalam rumah sakit ,
panduan pasien safety daalam rumah sakit ,panduan pasien safety daalam rumah sakit ,
panduan pasien safety daalam rumah sakit ,
 

Recently uploaded

Tren dan Issue dalam keperawatan gawat darurat. EBP.pptx
Tren dan Issue dalam keperawatan gawat darurat. EBP.pptxTren dan Issue dalam keperawatan gawat darurat. EBP.pptx
Tren dan Issue dalam keperawatan gawat darurat. EBP.pptx
cheatingw995
 
materi tentang airway management terbaru
materi tentang airway management terbarumateri tentang airway management terbaru
materi tentang airway management terbaru
PrajaPratama4
 
Nama : obat penggugur kandungan wa " 087776558899
Nama : obat penggugur kandungan wa " 087776558899Nama : obat penggugur kandungan wa " 087776558899
Nama : obat penggugur kandungan wa " 087776558899
Cara Menggugurkan Kandungan 087776558899
 
2024 - Pencatatan dan Pelaporan PMT Lokal.pptx
2024 - Pencatatan dan Pelaporan PMT Lokal.pptx2024 - Pencatatan dan Pelaporan PMT Lokal.pptx
2024 - Pencatatan dan Pelaporan PMT Lokal.pptx
DavyPratikto1
 
distribusi obat farmasi manfar rumah sakit
distribusi obat farmasi manfar rumah sakitdistribusi obat farmasi manfar rumah sakit
distribusi obat farmasi manfar rumah sakit
PutriKemala3
 
Presentasi Hasil MCU 2023 - RSMU (1).pptx
Presentasi Hasil MCU 2023 - RSMU (1).pptxPresentasi Hasil MCU 2023 - RSMU (1).pptx
Presentasi Hasil MCU 2023 - RSMU (1).pptx
PeniMSaptoargo2
 
Jual Obat Cytotec Asli 085225524732 Obat Penggugur Kandungan
Jual Obat Cytotec Asli 085225524732 Obat Penggugur KandunganJual Obat Cytotec Asli 085225524732 Obat Penggugur Kandungan
Jual Obat Cytotec Asli 085225524732 Obat Penggugur Kandungan
Jual Cytotec Asli 085225524732 Obat Penggugur Kandungan
 

Recently uploaded (20)

Pengantar kepemimpinan dalam kebidanan.pptx
Pengantar kepemimpinan dalam kebidanan.pptxPengantar kepemimpinan dalam kebidanan.pptx
Pengantar kepemimpinan dalam kebidanan.pptx
 
Penyuluhan kesehatan Diabetes melitus .pptx
Penyuluhan kesehatan Diabetes melitus .pptxPenyuluhan kesehatan Diabetes melitus .pptx
Penyuluhan kesehatan Diabetes melitus .pptx
 
epidemiologi-penyakit-tidak-menular.ppt-1 2.ppt
epidemiologi-penyakit-tidak-menular.ppt-1 2.pptepidemiologi-penyakit-tidak-menular.ppt-1 2.ppt
epidemiologi-penyakit-tidak-menular.ppt-1 2.ppt
 
Tren dan Issue dalam keperawatan gawat darurat. EBP.pptx
Tren dan Issue dalam keperawatan gawat darurat. EBP.pptxTren dan Issue dalam keperawatan gawat darurat. EBP.pptx
Tren dan Issue dalam keperawatan gawat darurat. EBP.pptx
 
materi tentang airway management terbaru
materi tentang airway management terbarumateri tentang airway management terbaru
materi tentang airway management terbaru
 
High Risk Infant modul perkembangan bayi risiko tinggi
High Risk Infant modul perkembangan bayi risiko tinggiHigh Risk Infant modul perkembangan bayi risiko tinggi
High Risk Infant modul perkembangan bayi risiko tinggi
 
Nama : obat penggugur kandungan wa " 087776558899
Nama : obat penggugur kandungan wa " 087776558899Nama : obat penggugur kandungan wa " 087776558899
Nama : obat penggugur kandungan wa " 087776558899
 
CRS OBG - AUB e.c Hiperplasia endometrium.pptx
CRS OBG - AUB e.c Hiperplasia endometrium.pptxCRS OBG - AUB e.c Hiperplasia endometrium.pptx
CRS OBG - AUB e.c Hiperplasia endometrium.pptx
 
HEMOSTASIs darah HEMOSTASIs darah HEMOST
HEMOSTASIs darah HEMOSTASIs darah HEMOSTHEMOSTASIs darah HEMOSTASIs darah HEMOST
HEMOSTASIs darah HEMOSTASIs darah HEMOST
 
2024 - Pencatatan dan Pelaporan PMT Lokal.pptx
2024 - Pencatatan dan Pelaporan PMT Lokal.pptx2024 - Pencatatan dan Pelaporan PMT Lokal.pptx
2024 - Pencatatan dan Pelaporan PMT Lokal.pptx
 
PPS (perencanaan perbaikan strategis) PUSKESMAS.pptx
PPS (perencanaan perbaikan strategis) PUSKESMAS.pptxPPS (perencanaan perbaikan strategis) PUSKESMAS.pptx
PPS (perencanaan perbaikan strategis) PUSKESMAS.pptx
 
distribusi obat farmasi manfar rumah sakit
distribusi obat farmasi manfar rumah sakitdistribusi obat farmasi manfar rumah sakit
distribusi obat farmasi manfar rumah sakit
 
sosialisasi lomba inovasi daerah tahun 2024 kementrian kesehatan republik ind...
sosialisasi lomba inovasi daerah tahun 2024 kementrian kesehatan republik ind...sosialisasi lomba inovasi daerah tahun 2024 kementrian kesehatan republik ind...
sosialisasi lomba inovasi daerah tahun 2024 kementrian kesehatan republik ind...
 
543763829-Gangguan-Campuran-Anxietas-Depresi-PPT-NT.pdf
543763829-Gangguan-Campuran-Anxietas-Depresi-PPT-NT.pdf543763829-Gangguan-Campuran-Anxietas-Depresi-PPT-NT.pdf
543763829-Gangguan-Campuran-Anxietas-Depresi-PPT-NT.pdf
 
Asuhan Keperawatan Gagal ginjal akut & kronik.pptx
Asuhan Keperawatan Gagal ginjal akut & kronik.pptxAsuhan Keperawatan Gagal ginjal akut & kronik.pptx
Asuhan Keperawatan Gagal ginjal akut & kronik.pptx
 
pemeriksaan fisik Telinga hidung tenggorok bedah kepala leher.pptx
pemeriksaan fisik Telinga hidung tenggorok bedah kepala leher.pptxpemeriksaan fisik Telinga hidung tenggorok bedah kepala leher.pptx
pemeriksaan fisik Telinga hidung tenggorok bedah kepala leher.pptx
 
Presentasi Hasil MCU 2023 - RSMU (1).pptx
Presentasi Hasil MCU 2023 - RSMU (1).pptxPresentasi Hasil MCU 2023 - RSMU (1).pptx
Presentasi Hasil MCU 2023 - RSMU (1).pptx
 
Jual Obat Cytotec Asli 085225524732 Obat Penggugur Kandungan
Jual Obat Cytotec Asli 085225524732 Obat Penggugur KandunganJual Obat Cytotec Asli 085225524732 Obat Penggugur Kandungan
Jual Obat Cytotec Asli 085225524732 Obat Penggugur Kandungan
 
Movi Tri Wulandari - Portofolio Perawat
Movi Tri Wulandari -  Portofolio PerawatMovi Tri Wulandari -  Portofolio Perawat
Movi Tri Wulandari - Portofolio Perawat
 
Low Back Pain untuk Awam dan pekerja tahun 2024
Low Back Pain untuk Awam dan pekerja tahun 2024Low Back Pain untuk Awam dan pekerja tahun 2024
Low Back Pain untuk Awam dan pekerja tahun 2024
 

Faktor faktor empisema

  • 1. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN EMFISEMA SUBKUTIS PADA PASIEN PNEUMOTORAKS YANG MENJALANI PEMASANGAN SELANG DADA DI RSUP H ADAM MALIK MEDAN TESIS KARMILA NIM: 157041082 PROGRAM STUDI MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK DEPARTEMEN PULMONOLOGI DAN KEDOKTERAN RESPIRASI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2019 Universitas Sumatera Utara
  • 2. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN EMFISEMA SUBKUTIS PADA PASIEN PNEUMOTORAKS YANG MENJALANI PEMASANGAN SELANG DADA DI RSUP H ADAM MALIK MEDAN TESIS Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Magister dalam Program Studi Magister Kedokteran Klinik Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara KARMILA NIM: 157041082 PROGRAM STUDI MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK DEPARTEMEN PULMONOLOGI DAN KEDOKTERAN RESPIRASI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2019 Universitas Sumatera Utara
  • 5. ii KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrahim, Alhamdulillahirabbil‟alamin. Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang atas berkat dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis yang berjudul “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Emfisema Subkutis di RSUP H Adam Malik Medan”. Tulisan ini merupakan persyaratan dalam menyelesaikan pendidikan Magister Kedokteran Klinik untuk bidang keahlian Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan rasa terima kasih yang sebesar- besarnya kepada: Dr. dr. Aldy Safruddin Rambe, M.Ked(Neu), Sp.S(K) selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menempuh pendidikan di Program Studi Magister Kedokteran Klinik. Dr. dr. Rodiah Rahmawaty Lubis, M.Ked(Oph), SpM(K) selaku Ketua Program Studi MKK Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menempuh pendidikan di Program Studi Magister Kedokteran Klinik. Dr. dr. Mohd. Rhiza Z Tala, M.Ked(OG), Sp.OG(K) selaku Sekretaris Program Studi MKK Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menempuh pendidikan di Program Studi Magister Kedokteran Klinik. dr. Zainuddin Amir, M.Ked(Paru), Sp.P(K), sebagai Ketua Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FK USU yang tiada henti-hentinya memberikan bimbingan dan nasehat dalam cara berpikir, bersikap dan berperilaku yang baik selama masa pendidikan. Dr. dr. Amira P. Tarigan, M.Ked(Paru), Sp.P(K) selaku Ketua Program Studi Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FK USU dan juga sebagai Pembimbing Akademik serta sebagai pembimbing utama dalam penelitian ini Universitas Sumatera Utara
  • 6. iii yang senantiasa memberikan arahan dan dorongan bagi penulis hingga dapat menyelesaikan seluruh rangkaian pendidikan di bidang Magister Kedokteran Klinik. Dr. dr. Bintang Y.M. Sinaga, M.Ked(Paru), Sp.P(K) selaku Sekretaris Program Studi Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FK USU dan sekaligus sebagai koordinator penelitian ilmiah di Departemen Pulmonolgi dan Kedokteran Respirasi FK USU yang telah banyak memberikan masukan dalam rangka penyusunan dan penyempurnaan tulisan ini. dr.Widirahardjo, Sp.P(K) selaku Pembimbing Akademik serta sebagai pembimbing utama dalam penelitian ini yang senantiasa memberikan arahan dan dorongan bagi penulis hingga dapat menyelesaikan seluruh rangkaian pendidikan di bidang Magister Kedokteran Klinik. Dr. dr. Fajrinur Syarani, M.Ked(Paru), Sp.P(K) pembimbing Kedua dalam penelitian ini yang senantiasa memberikan arahan dan dorongan bagi penulis hingga dapat menyelesaikan seluruh rangkaian pendidikan di bidang Magister Kedokteran Klinik. Dr. Putri C Eyanoer, MSEpid, PhD selaku pembimbing Statistik dalam penelitian ini yang senantiasa memberikan arahan dan dorongan bagi penulis hingga dapat menyelesaikan seluruh rangkaian pendidikan di bidang Magister Kedokteran Klinik. Penghormatan dan ucapan terima kasih juga tak lupa penulis sampaikan kepada seluruh jajaran guru besar dan staf pengajar di Departemen Pulmonologi Kedokteran Respirasi FK USU, yaitu kepada Prof.dr. Luhur Soeroso, Sp.P(K), Prof.dr. Tamsil Syafiuddin, Sp.P(K), dr. Hilaluddin Sembiring, DTM&H, Sp.P(K), dr. Widirahardjo, Sp.P(K), dr. Pandiaman S Pandia, M.Ked(Paru), Sp.P(K), Dr.dr. Fajrinur Syarani, M.Ked(Paru), Sp.P(K), dr. Parluhutan Siagian, M.Ked(Paru), Sp.P(K), Dr.dr. Noni N Soeroso, M.Ked(Paru), Sp.P(K), dr. Setia Putra Tarigan, Sp.P(K), dr. Syamsul Bihar, M.Ked(Paru), Sp.P, dr. Netty Y Damanik, Sp.P, dr. Ucok Martin, Sp.P, dr. Ade Rahmaini, M.Ked(Paru), Sp.P, dr. Muntasir AB. Sp.P, dr. Desfrina Kasuma Sp.P, dr. Delores Sormin Sp.P dan dr. Nuryunita Nainggolan, Sp.P(K) yang telah banyak memberikan kontribusi Universitas Sumatera Utara
  • 7. iv keilmuan selama menjalani pendidikan di bidang Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi. Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh teman sejawat peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi yang telah memberikan semangat dan motivasi sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini, juga kepada seluruh dokter muda, pegawai tata usaha, perawat dan petugas teknis di RSUP H Adam Malik Medan dan di RS Universitas Sumatera Utara. Penghormatan yang setinggi-tingginya dan terima kasih yang tiada terbalas penulis sampaikan kepada seluruh keluarga yaitu kepada kedua orang tua, Ayahanda Drs. H. T. Syamsul Bahri, Ibunda Hj. Limpah Ani, Suami Tercinta Tugi Rahayu,SST,OT,M.Psi anak Tercinta penulis Hawwa Shabira Rahayu, Kakanda Mutia Sari, SE.Msi, Rahmi Maya Sari,SST, M.Kes, dr. Kartika,M.Kes, dr. Karlina, yang telah bersabar dan memberi semangat untuk menyelesaikan penelitian ini. Semoga tulisan ini dapat memberikan kontribusi keilmuan dan dapat bermanfaat bagi orang-orang yang membutuhkan. Aamiin. Medan, Juli 2019 Penulis, (dr. Karmila) Universitas Sumatera Utara
  • 8. v ABSTRAK Latar Belakang: Pemasangan selang dada merupakan salah satu prosedur tindakan yang paling sering dikerjakan di bidang pulmonologi, kususnya pada pasien dengan pneumotoraks. Meskipun relatif aman, pemasangan selang dada tidak terlepas dari komplikasi, salah satunya adalah emfisema subkutis yang didefinsikan sebagai terperangkapnya udara di lapisan subkutisdengan gejala mulai dari krepitasi pada dinding toraks, pembengkakan dan bahkan mengancam jiwa. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor faktor yang mempengaruhi terjadinya emfisema subkutis pada pasien pneumotoraks yang menjalani pemasangan selang dada Metode Penelitian: Penelitian ini merupakan studi analitik dengan desain case control yang dilakukan dengan cara telaah rekam medis pasien pneumotoraks yang dirawat di RSUP H Adam Malik Medan pada tahun 2016 – 2018. Teknik pengambilan sampel dilakukan secara consecutive sampling. Analisis statistik dilakukan dengan analisis bivariate dan multivariate menggunakan Statistic Package for Social Sciences (SPSS) dimana nilai p<0.05 dinyatakan bermakna Hasil: Sebanyak 35 pasien pneumotoraks dilibatkan sebagai subjek dalam penelitian ini. Kejadian emfisema subkutis dijumpai pada 15 pasien (26,8%). Terdapat hubungan yang signifikan antara ukuran selang dada yang digunakan (p=0,04), lama pemasangan (p=0,04) dan sumbatan pada selang dada (blockage) dengan emfisema subkutis (p=0,01). Analisis multivarate menunjukkan bahwa faktor yang paling mempengaruhi emfisema subkutis adalah sumbatan (blockage) pada selang dada, dimana blockage meningkatkan risiko emfisema subkutis sebanyak 12 kali lipat. Kesimpulan: Sumbatan pada selang dada (blockage), penggunaan selang dada yang berukuran kecil dan lama pemasangan selang dada berhubungan signifikan dengan kejadian emfisema subkutis pada pasien pneumotoraks yang menjalani pemasangan selang dada Kata kunci: emfisema subkutis, pneumotoraks, selang dada, blockage Universitas Sumatera Utara
  • 9. vi ABSTRACT Background: Background: Chest tube insertion is one of the most fequent procedures in pulmonology, specifically in patients with pneumothorax. Although relatively safe, the chest tube insertion can not be separated from complications, like subcutaneous emphysema, defined as the trapping of air in the subcutaneous layer with symptoms ranging from chest wall crepitus, swelling and even life threatening. This study aims to determine the factors that influence the occurrence of subcutaneous emphysema in pneumothorax patients undergoing chest tube insertion. Methods: This research is an analytic study with a case control design carried out by examining the medical records of pneumothorax patients treated at H Adam Malik General Hospital Medan in 2016 - 2018. The sampling technique was done by consecutive sampling. Statistical analysis was performed by bivariate analysis and multivariate using the Statistical Package for Social Sciences (SPSS) where the value of p <0.05 was considered significant. Results: 35 pneumothorax patients were included as subjects in this study. The incidence of subcutaneous emphysema was found in 15 patients (26.8%). There was a significant relationship between the size of chest tube (p = 0.04), duration (p = 0.04) and blockage of the chest hose with subcutaneous emphysema (p = 0.01). Multivarate analysis shows that the most influencing factor for is blockage of the chest tube, increasing the risk of subcutaneous emphysema by 12 times. Conclusion: Blockage, small-sized chest tube and duration of chest tube insertion are significantly associated with subcutaneous emphysema in pneumothoracic patients undergoing chest tube insertion Keywords: subcutaneous emphysema, pneumothorax, chest tube, blockage Universitas Sumatera Utara
  • 10. vii DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN .......................................................................... i KATA PENGANTAR.................................................................................... ii ABSTRAK ...................................................................................................... v ABSTRACT ..................................................................................................... vi DAFTAR ISI................................................................................................... vii DAFTAR TABEL........................................................................................... x DAFTAR GAMBAR...................................................................................... xi DAFTAR SINGKATAN................................................................................ xii DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................. xiii BAB 1. PENDAHULUAN........................................................................ 1 1.1. Latar Belakang Masalah ...................................................... 1 1.2. Rumusan Masalah................................................................ 5 1.3. Tujuan Penelitian................................................................. 5 1.3.1. Tujuan Umum.......................................................... 5 1.3.2. Tujuan Khusus ......................................................... 6 1.4. Manfaat Penelitian............................................................... 6 BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA .............................................................. 7 2.1. Kateter Toraks (Selang Dada).............................................. 7 2.2. Emfisema Subkutis .............................................................. 8 2.2.1. Definisi .................................................................... 10 2.2.2. Tanda dan Gejala ..................................................... 11 2.2.3. Etiologi Emfisema Subkutis .................................... 11 2.2.4. Patofisiologi Emfisema Subkutis............................. 14 2.2.5. Diagnosis.................................................................. 15 2.2.6. Penatalaksanaan....................................................... 16 2.3. Pneumotoraks....................................................................... 18 2.3.1. Definisi..................................................................... 18 2.3.2. Faktor Etiologi ......................................................... 18 2.3.3. Patogenesis Pneumotoraks....................................... 19 2.3.4. Klasifikasi Pneumotoraks ........................................ 20 2.3.5. Manifestasi Klinis.................................................... 23 2.3.6. Gejala Klinis ............................................................ 23 2.3.7. Diagnosis.................................................................. 24 2.3.8. Pemeriksaan Penunjang ........................................... 25 2.3.9. Pemeriksaan Penunjang ........................................... 25 2.3.10. Penatalaksanaan....................................................... 27 2.3.11. Pencabutan Selang Dada.......................................... 29 2.3.12. Prognosis.................................................................. 29 2.4. Kerangka Teori .................................................................... 30 2.5. Hipotesis Penelitian ............................................................. 31 2.6. Kerangka Konsep................................................................. 31 Universitas Sumatera Utara
  • 11. viii BAB 3. METODE PENELITIAN ........................................................... 32 3.1. Jenis Penelitian .................................................................... 32 3.2. Waktu dan Tempat Penelitian.............................................. 32 3.3. Alat dan Bahan..................................................................... 32 3.4. Populasi dan Sampel Penelitian........................................... 32 3.4.1. Populasi.................................................................... 32 3.4.2. Sampel ..................................................................... 32 3.4.3. Teknik Pengambilan Sampel dan Besar Sampel ..... 33 3.5. Variabel Penelitian............................................................... 34 3.6. Definisi Operasional ............................................................ 34 3.7. Kerangka Operasional ......................................................... 36 3.8. Prosedur Penelitian .............................................................. 36 3.9. Analisis Data........................................................................ 37 3.9.1. Analisa Univariat ..................................................... 37 3.9.2. Analisa Bivariat ....................................................... 37 3.10. Etika Penelitian.................................................................... 37 BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................... 38 4.1. Karakteristik Pasien Pneumotoraks yang Dipasang Selang Dada di RSUP H. Adam Malik Medan................................ 38 4.2. Ukuran Selang Dada, Lama Penggunaan dan Blockage Pasien yang Dipasang Selang Dada di RSUP H. Adam Malik Medan........................................................................ 39 4.3. Kejadian Emfisema Subkutis dan Derajat Emfisema Subkutis Pasien Pneumotoraks yang Dipasang Selang Dada di RSUP H. Adam Malik Medan................................ 40 4.4. Hubungan Ukuran Selang Dada dengan Kejadian Emfisema Subkutis pada Pasien Pneumotoraks yang Dipasang Selang dada di RSUP H. Adam Malik Medan .... 40 4.5. Hubungan Posisi Selang Dada dengan Kejadian Emfisema Subkutis pada Pasien Pneumotoraks yang Dipasang Selang dada di RSUP H. Adam Malik Medan .................... 42 4.6. Hubungan Lamanya Penggunaan dengan Kejadian Emfisema Subkutis pada Pasien Pneumotoraks yang Dipasang Selang Dada di RSUP H. Adam Malik Medan.... 43 4.7. Hubungan Blockage dengan Kejadian Emfisema Subkutis pada Pasien Pneumotoraks yang Dipasang Selang Dada di RSUP H. Adam Malik Medan............................................. 44 4.8. Analisis Multivariat ............................................................. 46 4.9. Pembahasan ......................................................................... 47 4.9.1. Karakteristik Pasien Pneumotoraks yang Dipasang Selang Dada di RSUP H. Adam Malik Medan........ 47 4.9.2. Hubungan Ukuran Selang Dada dengan Kejadian Emfisema Subkutis pada Pasien Pneumotoraks yang Dipasang Selang dada di RSUP H. Adam Malik Medan............................................................ 49 Universitas Sumatera Utara
  • 12. ix 4.9.3. Hubungan Posisi Selang Dada dengan Kejadian Emfisema Subkutis pada Pasien Pneumotoraks yang Dipasang Selang dada di RSUP H. Adam Malik Medan............................................................ 50 4.9.4. Hubungan Lama Pemasangan dengan Kejadian Emfisema Subkutis pada Pasien Pneumotoraks yang Dipasang Selang dada di RSUP H. Adam Malik Medan............................................................ 51 4.9.5. Hubungan Blockage dengan Kejadian Emfisema Subkutis pada Pasien Pneumotoraks yang Dipasang Selang dada di RSUP H. Adam Malik Medan ...................................................................... 53 BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................... 55 5.1. Kesimpulan.......................................................................... 55 5.2. Saran .................................................................................. 55 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 56 LAMPIRAN.................................................................................................... 58 Universitas Sumatera Utara
  • 13. x DAFTAR TABEL No. Judul Halaman Tabel 2.1. Detil subjek yang terpasang selang dada.................................. 12 Tabel 2.2. Karakteristik demografi setiap grade........................................ 14 Tabel 3.1. Definisi Operasional................................................................. 34 Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Karakteristik Pasien Pneumotoraks yang Dipasang Selang Dada di RSUP H. Adam Malik Medan ........ 38 Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Ukuran Selang Dada, Lama Penggunaan dan Blockage Pada Pasien Pneumotoraks yang Dipasang Selang Dada di RSUP H. Adam Malik Medan ........................ 39 Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Kejadian Emfisema Subkutis dan Derajat Emfisema Subkutis pada Pasien Pneumotoraks yang Dipasang Selang Dada di RSUP H. Adam Malik Medan ........ 40 Tabel 4.4. Hubungan Ukuran Selang Dada dengan Kejadian Emfisema Subkutis pada Pasien Pneumotoraks yang Dipasang Selang Dada di RSUP H. Adam Malik Medan .................................... 41 Tabel 4.5. Hubungan Posisi Selang Dada dengan Kejadian Emfisema Subkutis pada Pasien Pneumotoraks yang Dipasang Selang Dada di RSUP H. Adam Malik Medan .................................... 42 Tabel 4.6. Hubungan Lamanya Penggunaan dengan Kejadian Emfisema Subkutis pada Pasien Pneumotoraks yang Dipasang Selang Dada di RSUP H. Adam Malik Medan .................................... 43 Tabel 4.7. Hubungan Blockage dengan Kejadian Emfisema Subkutis pada Pasien Pneumotoraks yang Dipasang Selang Dada di RSUP H. Adam Malik Medan.................................................. 45 Tabel 4.8. Hasil Akhir Uji Regresi Logistik Berganda ............................. 46 Universitas Sumatera Utara
  • 14. xi DAFTAR GAMBAR No. Judul Halaman Gambar 2.1. Grade pada Emfisema Subkutis................................................ 9 Gambar 2.2. Emfisema subkutis melibatkan dinding dada, wajah, leher, dan kelopak mata...................................................................... 10 Gambar 2.3. Triangle of Safety ..................................................................... 12 Gambar 2.4 Patofisiologi Emfisema Subkutis ............................................. 14 Gambar 2.5 Mekanisme emfisema subkutis sebelum dan sesudah pemasangan kanul .................................................................... 15 Gambar 2.6. Anatomi pleura ......................................................................... 19 Gambar 2.7. Foto rontgen pneumotoraks ..................................................... 27 Gambar 2.8. Kerangka Teori......................................................................... 30 Gambar 3.1 Kerangka Operasional Penelitian ............................................. 36 Gambar 4.1 Hubungan Ukuran Trokar dengan Emfisema Subkutis............ 41 Gambar 4.2 Hubungan Posisi Selang Dada dengan Emfisema Subkutis..... 42 Gambar 4.3 Hubungan Lama Penggunaan dengan Emfisema Subkutis...... 44 Gambar 4.4 Hubungan Blockage dengan Emfisema Subkutis..................... 45 Universitas Sumatera Utara
  • 15. xii DAFTAR SINGKATAN SE : Emfisema Subkutis IMT : Indeks Massa Tubuh REPE : Reexpansion Pulmonary Edema WSD : Water Seal Drainage REPE : Reexpansion Pulmonary Edema COPD : Cronic Obstruksi Pulmonary Desease HLA : Human Leukocyte Antigen F : French Universitas Sumatera Utara
  • 16. xiii DAFTAR LAMPIRAN No. Judul Halaman Lampiran 1 Daftar Riwayat Hidup............................................................... 58 Lampiran 2 Persetujuan setelah penjelasan ................................................. 60 Lampiran 3 Output SPSS ............................................................................. 61 Lampiran 4 Foto Klinis................................................................................ 71 Universitas Sumatera Utara
  • 17. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kateter Toraks (Selang dada) adalah sebuah prosedur bedah yang paling sering dilakukan pada bidang bedah toraks. Karena sifat tindakan ini yang dilakukan untuk menyelamatkan nyawa, maka ahli bedah umum, ahli perawatan intensif, maupun dokter ahli kegawatdaruratan akan melakukan tindakan ini pada satu waktu. (Kesiema et al, 2012) Indikasi terbanyak pemasangan selang dada di RS Persahabatan tahun 2014 adalah pneumotoraks yaitu 21 (48,7%) orang diikuti hidropneumotoraks dan piopneumotoraks masing-masing 6 (13,9%) orang kemudian empiema torasis dan efusi pleura masing-masing 5 (11,6%) orang. Teknik pemasangan selang dada dengan selang dada paling banyak dilakukan. Kateter nelaton merupakan jenis kateter yang paling banyak dipakai untuk berbagai indikasi sedangkan kateter berselang dada hanya digunakan satu kali pada kasus pneumotoraks spontan sekunder. Selang dada yang umumnya dipakai adalah ukuran 18F, 20F, 22F dan 24F. (Rosadi et al, 2014) Terjadinya emfisema subkutis adalah komplikasi yang sudah diketahui dari pemasangan tube thoracostomy. Hal ini biasanya nampak sebagai krepitasi subkutan yang dapat didemonstrasikan secara klinis, maupun hanya occult saja dan hanya nampak pada pemeriksaan radiografis. Emfisema subkutis yang luas dapat menimbulkan ketidak nyamanan yang ekstrim, kekhawatiran kosmesis, kecemasan, dan juga obstruksi jalan napas atas, serta disfungsi pacemaker. (Kesiema et al, 2012) Penelitian Riber et al mengungkapkan dimana mereka menemukan komplikasi yang lebih sedikit saat ujung tube ditempatkan pada regio apikal dari pleura, sedangkan 29% dari selang dada yang tidak terletak pada apex maka akan mengalami kegagalan untuk terjadinya reekspansi dari paru. Jika dilihat secara teori maka diperkirakan bahwa udara bergerak secara bebas dalam cavum pleura, Universitas Sumatera Utara
  • 18. 2 yang mana merupakan suatu ruang yang berkesinambungan, dan udara akan bergerak ke titik dengan tekanan yang lebih rendah dimana kemudian akan didrainase oleh selang dada. (Riber et al, 2017) Studi Light mengungkapkan terjadinya Emfisema subkutis yang biasanya muncul berupa terjadinya krepitasi pada jaringan lunak disekitar lokasi drain, tetapi dapat dengan sangat cepat menyebar ke area mana saja di seluruh tubuh. Ditemukannya SE pada pasien dengan tube thoracostomy mengindikasikan terjadinya satu dari tiga kemungkinan: (a) side-hole dari selang dada terletak diluar dari spasium pleura didalam dinding dada, yang kemudian mengakibatkan udara untuk dapat memasuki jaringan, (b) selang dada mengalami sumbatan, atau (c) sistem drainase tidak dapat mengatasi kebocoran udara. Biasanya berhubungan dengan pemasangan selang dada dengan ukuran yang terlalu kecil, maupun juga terjadinya kebocoran udara yang masif. Cerfolio et al. Melaporkan bahwa 6.3% dari 4.023 pasien yang dilakukan reseksi paru karena kanker kemudian akan mengalami emfisema subkutis. ( Light et al, 2013) Penelitian Cerfolio et al (2008) menyatakan Emfisema subkutis yang terjadi setelah dilakukan reseksi paru berpotensi dapat menimbulkan masalah dan belum pernah diteliti dengan baik. Setelah udara memasuki spasium subkutis dari dinding dada, udara akan menyebabkan terjadinya diseksi kedalam jaringan lunak dari wajah, Kelopak mata dapat secara mudah mengalami pembengkakan dan mengakibatkan pasien tidak dapat melihat, leher, dada bagian atas, dan juga bahu, Walaupun sequelae dari emfisema subkutis biasanya hanya ringan saja dan dapat sembuh dengan sendirinya, beberapa laporan kasus sebelumnya telah mengindikasikan dapat terjadinya komplikasi yang mengancam nyawa seperti obstruksi jalan napas atas dan gagal napas akut. (Jones et al, 2001) Jones et al melaporkan dalam penelitiannya dari 167 pasien yang dilakukan drainase selang dada dalam periode 12 bulan dievaluasi secara retrospektif. Terdapat 30 kasus emfisema subkutis yang dilaporkan. Perbandingan dilakukan antara kasus dimana terjadinya emfisema subkutis dan kasus dimana tidak terjadinya komplikasi ini, totalnya 134 rekam medis pasien Universitas Sumatera Utara
  • 19. 3 dievaluasi. Emfisema subkutis yang terjadi setelah pemasangan selang dada seringnya diasosiasikan dengan trauma, fistula bronchopleura, pneumotoraks yang besar dan bilateral, serta ventilasi mekanik. Telah terdapat asosiasi yang jelas dengan drainase yang berkepanjangan, posisi pemasangan selang dada yang buruk, sumbatan pada selang dada, migrasi side-port, dan jumlah selang dada yang lebih banyak. Emfisema subkutis dapat mengakibatkan lama masa rawat inap yang lebih panjang, dan peningkatan mortalitas pasien. (Kesiema et al, 2012; Jones et al, 2001) Aghajanzadeh et al tidak menemukan artikel tentang klasifikasi dan besar rangkaian kasus SE dalam literatur. Namun, mereka menemukan banyak laporan kasus dengan berbagai penyebab yaitu trauma dada sebagai penyebab utama, bisa menyebabkan udara masuk ke dalam kulit dari dinding dada dari leher atau paru- paru. Penyebab emfisema subkutis bisa terjadi akibat trauma tumpul dan tembus, trakea mungkin terluka oleh trakeostomi atau trakea intubasi secara keseluruhan, dalam kasus luka trakea, jumlah besar udara bisa masuk ke ruang subkutan, Endotrakeal Tube bisa menusuk trakea atau bronkus dan bisa menyebabkan SE. Penyebab utama lainnya, bersama dengan pneumotoraks adalah fungsi yang tidak tepat dari selang dada. Emfisema subkutis sering juga terjadi akibat ada yang salah dengan selang dada; itu mungkin tersumbat, terjepit, atau tidak pada tempatnya, atau bila udara masuk dalam jumlah besar maka selang dada mungkin perlu untuk diganti. Ventilasi mekanis bisa memaksa udara ke dalam jaringan dan memperburuk pneumotoraks. Terjadinya emfisema subkutis pada pasien dengan ventilasi mekanis dapat menyebabkan pneumotoraks. Penyebab utama emfisema subkutis dikelompokkan menjadi grade 1 sampai 5, dan secara keseluruhan, trauma adalah yang paling umum, tapi itu berbeda di tiap grade. Dalam sebuah laporan kasus oleh Beck dan rekannya, penyebab emfisema subkutis adalah pneumonia yang didapat masyarakat dengan latar belakang PPOK. Selain itu, beberapa laporan kasus lain penyebabnya adalah iatrogenik dan trauma dada. (Aghajanzadeh et al, 2015) Universitas Sumatera Utara
  • 20. 4 Grippi et al mengatakan terkadang emfisema subkutis masif dapat terjadi apabila hilangnya udara dari paru kedalam cavum pleura melebihi kapasitas drainase dari selang dada, ataupun bila selang dada diposisikan jauh dari lokasi terjadinya kebocoran udara. Kondisi yang terakhir ini lebih sering terjadi dibandingkan kondisi yang pertama. Apabila hal ini terjadi, patensi dari selang dada haruslah diperiksa. Terkadang, selang dada dapat ter-klem maupun terpuntir oleh tempat tidur pasien maupun tiang infus, pada level kulit maupun di lemak subkutis. Apabila selang dada tersumbat karena adanya sumbatan yang menutupinya, maka selang dada harus dibuka dan dilakukan suction, dengan menggunakan teknik steril dengan catheter suction nasotracheal. Beberapa ahli bedah melakukan irigas dari tabung yang tersumbat, dengan menggunakan saline yang steril, tetapi karena adanya kemungkinan terjadinya kontaminasi yang bersifat infektif hal ini hanya boleh dilakukan sebagai cara terakhir. Apabila berbagai macam cara telah gagal untuk dapat mengembalikan patensi dari selang dada, maka selang dada harus dicabut dan diganti dengan yang baru. (Grippi et al, 2013) Studi Cerfolio et al mengungkapkan Emfisema subkutis memiliki kecenderungan untuk lebih sering terjadi pada pasien dengan FEV1% yang kurang dari 50%, dan dilakukan thoracotomy ulangan. Emfisema recalcitrant yang menetap walaupun telah dilakukan peningkatan tekanan suction pada selang dada lebih mungkin terjadi pada pasien yang dilakukan lobektomi dan paling baik ditangani dengan Video Assisted thorascopic surgery (VATS) dengan pneumolysis diantara paru yang mengalami kebocoran, yang biasanya mengalami perlengketan parsial dengan spasium intercostalis yang sebelumnya dibuka. Hal ini dapat mengembalikan udara yang bocor kembali masuk ke spasium pleura dan keluar dari spasium subkutan. Prosedur ini dapat menurunkan durasi dan juga menurunkan waktu dirawat di rumah sakit. (Cerfolio et al, 2008) Rerata lama selang dada terpasang untuk berbagai penyakit pleura adalah 17,3±11,3 hari (median 17 hari). Rerata lama selang dada terpasang untuk pneumotoraks spontan primer adalah 14±9,8 hari, pneumotoraks spontan sekunder Universitas Sumatera Utara
  • 21. 5 14,5±8,2 hari (median 13 hari), empiema torasis 17,8±12,6 hari (median 14 hari), piopneumotoraks 38,2±35,0 hari (median 30 hari), hidropneumotoraks 13±7,1 hari (median 13,5 hari) dan efusi pleura 40±28,6 hari (median 29 hari). Rerata lama selang dada terpasang pada penyakit pleura yang selang dadanya dipasang pada segitiga aman adalah 19,8±16,4 hari (median 18 hari), sedangkan di luar segitiga aman adalah 23±25,5 hari (median 19 hari). (Rosadi et al, 2014) Indeks Massa Tubuh (IMT) merupakan indikator yang paling sering dipakai untuk mengetahui status gizi seseorang, apakah berat badan kurang, berlebih atau gemuk. Pada pria usia muda, tinggi, kurus lebih sering terjadi pneumotoraks, diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan fisik. (Widirahardjo, 2008). Oleh karena itu peneliti tertarik untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya emfisema subkutis pada penderita pneumotoraks yang menjalani pemasangan selang dada, khususnya di RSUP H Adam Malik Medan 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: Faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi terjadinya emfisema subkutis pada penderita pneumotoraks yang menjalani pemasangan selang dada di RSUP H Adam Malik Medan? 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya emfisema subkutis pada penderita pneumotoraks yang menjalani pemasangan selang dada di RSUP H Adam Malik Medan. Universitas Sumatera Utara
  • 22. 6 1.3.2 Tujuan Khusus Adapun yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah: 1. Mengetahui distribusi frekuensi kejadian Emfisema Subkutis pada pasien pneumotoraks yang dipasang selang dada berdasarkan karakteristik ukuran selang, posisi pemasangan selang dada, lamanya pemasangan selang dada, terjadinya sumbatan pada selang dada (blockage) dan derajat emfisema subkutis. 2. Menganalisis hubungan antara ukuran selang dada dengan emfisema subkutis. 3. Menganalisis hubungan antara posisi selang dada dengan emfisema subkutis. 4. Menganalisis hubungan antara lamanya pemasangan selang dada dengan emfisema subkutis. 5. Menganalisis hubungan antara blockage dengan emfisema subkutis. 6. Menganalisis variabel yang paling dominan dengan kejadian emfisema subkutis. 1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, diantaranya: 1. Manfaat bagi peneliti adalah mengetahui kejadian emfisema subkutis pada pasien pneumotoraks yang dilakukan pemasangan selang dada. komplikasi pemasangan selang dada baik dikarenakan dari ukuran selang, posisi pemasangan selang dada, lamanya pemasangan selang dada, terjadinya sumbatan pada selang dada (blockage) dan derajat emfisema subkutis. 2. Manfaat bagi institusi, untuk menambah ilmu pengetahuan serta sebagai bahan perbandingan untuk penelitian di masa yang akan datang. 3. Manfaat bagi dokter, sebagai proteksi atau preventif terjadinya Emfisema Subkutis. 4. Manfaat bagi pasien meminimalkan efek dan komplikasi pemasangan selang dada. Universitas Sumatera Utara
  • 23. 7 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kateter Toraks (Selang Dada) Kateter Toraks (selang dada) adalah kateter yang ditempatkan ke dalam rongga pleura melalui sayatan pada sela iga diikuti dengan penyaliran udara atau cairan secara cepat dan terus menerus dari rongga pleura. Pemasangan selang dada untuk penyaliran rongga pleura dari udara atau cairan abnormal merupakan tindakan yang sering dilakukan di bidang pulmonologi dan dapat dilakukan secara darurat atau elektif. Tindakan ini dilakukan tidak kurang dari 1.330.000 kali pada tahun 1995 di seluruh dunia sedangkan di RS Persahabatan 63 dari 131 kasus penyakit pleura pada tahun 2005 dan 89 dari 173 kasus penyakit pleura pada tahun 2006 yang dirawat memerlukan pemasangan selang dada dengan segera (Rosadi, 2014). Pemasangan selang dada merupakan terapi standar berbagai penyakit pleura, seperti pneumotoraks, luka tembus dada, hemotoraks, empiema, chylotoraks dan fistula bronkopleura. Tujuan utamanya adalah penyaliran udara, darah atau cairan dari rongga pleura untuk mempertahankan fungsi kardiorespirasi dengan cara mengembangkan kembali paru dan menghilangkan pendorongan mediastinum yang mengakibatkan ketidakstabilan hemodinamik. Kontraindikasi absolut pemasangan selang dada hampir tidak ada, perhatian khusus perlu diberikan bila penderita menderita gangguan perdarahan (koagulopati), sedang mendapat terapi antikoagulan, perlekatan pleura multipel dan hemotoraks masif. Pemasangan selang dada merupakan tindakan invasif yang relatif sederhana, tetapi banyak aspek harus diperhatikan diantaranya diagnosis penyakit pleura sebelum dilakukan pemasangan, tempat pemasangan, ukuran/jenis kateter dan teknik pemasangan. Pemasangan selang dada juga potensial menimbulkan komplikasi signifikan seperti tertekuk atau malposisi, perdarahan, reexpansion pulmonary edema (REPE), nyeri dan emfisema subkutis. (Rosadi, 2014) Universitas Sumatera Utara
  • 24. 8 Selang dada dengan ukuran besar (>28 F) seringnya direkomendasikan pada penatalaksanaaan pneumotoraks traumatik karena adanya potensi diperlukannya evakuasi udara dan/atau darah. Tetapi, hal ini didasarkan pada pendapat ahli saja menemukan bahwa pneumotoraks traumatik yang tanpa komplikasi dan simple, maka bila digunakan selang dada dengan ukuran kecil (14F) diasosiasikan dengan pengurangan rasa nyeri pada saat pemasangan dan tidak ada perbedaan klinis yang lain yang signifikan (misalnya durasi drainase maupun tingkat kesuksesan). (Riber et al, 2017) 2.2 Emfisema Subkutis Beberapa faktor penting dan faktor-faktor yang memiliki potensi untuk diubah yang berasosiasi dengan emfisema subkutis dan drainase selang dada. Pemasangan yang tidak adekuat, migrasi dan blockage dari selang dada akan mengakibatkan terjadinya beberapa kasus emfisema subkutis. Melesetnya selang dada, mungkin karena anchorage yang tidak adekuat, yang mengakibatkan migrasi dari side-port kedalam jaringan subkutis yang terjadi pada 20% kasus, yang kemudian mengakibatkan terjadinya jalan masuk langsung dari udara untuk masuk kedalam jaringan ini. Walaupun blockage dari selang dada yang memerlukan untuk dilakukannya penggantian selang dada telah teridentifikasi sebagai faktor risiko. (Jones et al, 2001) Emfisema subkutan adalah suatu kondisi yang sering terjadi menyebabkan gejala minimal, tapi terkadang bisa parah dan bahkan mengancam nyawa. Penelitian ini merupakan survei besar pertama tentang emfisema subkutis. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengklasifikasikan dan mengevaluasi etiologi, tanda, gejala, dan penanganan Emfisema Subkutis. Penelitian ini dilakukan secara retrospektif dengan meninjau pasien yang telah didiagnosis memiliki SE di Rasht, Iran. Antara bulan Januari 2001 dan Januari 2011. Aghajanzadeh et al mengklasifikasikan tingkat keparahan Emfisema Subkutis, (1) dasar leher, (2) semua daerah leher, (3) daerah utama subpectoralis, (4) dinding dada dan sebagainya daerah leher, dan (5) dinding dada, leher, orbit, Universitas Sumatera Utara
  • 25. 9 kulit kepala, perut dinding, tungkai atas, dan skrotum. Kami mengeksklusikan semua pasien pada grade 1 dan 2, karena gejala dan tanda tidak signifikan. (Aghajanzadeh et al, 2015) Dari 35 kasus emfisema subkutis dengan rata-rata usia 53 ± 14.83 (71% laki-laki). Penyebab SE tersering adalah pneumotoraks yang berlatar belakang COPD dan operasi pada grade 5, trauma karena fraktur kosta pada grade 4, dan iatrogenik pada grade 3. Kami melakukan dua insisi infraklavikular 2 cm bilateral. Pada pasien-pasien dengan insisi infraklavikula ini, ekspansi dari paru- nya lebih baik, dan penampakan pasiennya pun membaik. Insisi infraklavikular adalah metode yang simple untuk penanganan emfisema subkutis dan dapat menurunkan tingkat keparahan SE tanpa mengakibatkan masalah kosmetik. (Aghajanzadeh et al, 2015) Pada penelitian Aghajanzadeh et al, mengklasifikasikan emfisema subkutis sbb: Gambar 2.1. Grade pada Emfisema Subkutis (Aghajanzadeh et al, 2015) Universitas Sumatera Utara
  • 26. 10 2.2.1 Definisi Cerfolio et al (2008) menyatakan emfisema subkutis yang simptomatis secara klinis didefinisikan sebagai adanya udara dibawah kulit yang dapat diamati secara langsung oleh klinisi, pasien, ataupun keluarga pasien, maupun terjadinya perubahan pada suara. Emfisema subkutis terjadi saat udara masuk kedalam jaringan lunak maupun jaringan dibawah kulit seperti dinding dada atau leher, tetapi dapat juga terjadi pada bagian lain dari tubuh. Emfisema subkutis dapat terjadi melalui berbagai macam proses, termasuk terjadinya trauma tumpul, trauma penetratif, pneumotoraks barotrauma, infeksi, keganasan atau sebagai suatu komplikasi dari prosedur bedah hingga bahkan dapat terjadi secara spontan. Emfisema subkutis yang persisten maupun recalcitrant didefinisikan sebagai emfisema subkutis yang tidak membaik walaupun sudah dipasang selang dada yang patent pada spasium pleura. (Cerfolio et al, 2008; Aghajanzadeh et al, 2015) Gambar 2.2. Emfisema subkutis melibatkan dinding dada, wajah, leher, dan kelopak mata. ( Kesiema et al, 2012 ) Universitas Sumatera Utara
  • 27. 11 2.2.2 Tanda dan Gejala Pada semua derajat, tanda dan gejala yang paling sering adalah terjadinya pembengkakan, sesak napas, krepitus, dan pneumotoraks, dan pada beberapa kasus dimana terjadi hipoksemia, nyeri dan batuk. yang paling sering terjadi dan yang paling terlihat dari emfisema subkutis adalah terjadinya pembengkakan disekitar dari leher yang diikuti dengan nyeri di dada. Tanda dan gejala lain meliputi terjadinya nyeri tenggorokan dengan nyeri tekan, leher yang gatal, kesulitan untuk menelan, tidak bisa bernapas, wheezing, dan terjadinya distensi. Emfisema subkutis seringnya hanya menimbulkan gejala yang minimal saja, dan tidak berbahaya bila terjadi sendirian, dan tidak memerlukan penanganan yang spesifik. Apabila melibatkan jaringan yang lebih dalam pada dada, maupun perut, maka hal ini akan berubah menjadi suatu kondisi yang berat, mengkhawatirkan, dan mengancam nyawa. Hal ini dapat dipersulit oleh terjadinya restriksi dari reekspansi paru secara menyeluruh dan dapat mengakibatkan tekanan jalan napas yang tinggi, asidosis respirasi berat, kegagalan ventilasi, kegagalan pacemaker, kegagalan jalan napas, dan juga fenomena tension. (Aghajanzadeh et al, 2015) 2.2.3 Etiologi Emfisema Subkutis Pada beberapa penelitian, diantaranya penelitian Jones et al, 2001, Kesiema et al, 2012, Aghajanzadeh et al, 2015 dan Light, 2013 mengatakan etiologi emfisema subkutis adalah sebagai berikut: 1. Usia > 50 tahun 2. Jenis kelamin (Laki-laki > perempuan) 3. Pneumotoraks spontan sekunder 4. Pneumotoraks yang besar dan bilateral 5. Trauma 6. Iatrogenik 7. Barotrauma 8. Lamanya Pemasangan Selang dada Universitas Sumatera Utara
  • 28. 12 9. Ukuran Selang dada 10. Letak pemasangan Selang dada 11. Blockage, 12. Malposisi 13. Bronchopleural fistula 14. Ventilasi Mekanik 15. Trakeostomi atau trakea intubasi Tabel 2.1. Detil subjek yang terpasang selang dada Karateristik Pasien Tidak Emfisema subkutis (n=109) Emfisema subkutis (n=25 ) Umur 57,0 (16-88) 66,3 (25-84) Jenis kelamin 2,6 : 1 1,8 : 1 Lama Pemasangan CTD 3,6 (1-15) 10,4 (1-30) Ukuran Selang dada 1,7(1-6) 2,0 (1-6) Tempat tidak pada posisi 3 5** Blockage 5 6** Bronkhopleura fistel 1 (1) 9 (36)*** Lama rawatan 11,8 (1-44) 17,5 (3-54) Kematian 5(5) 4 (16)** *P<0,02, **P<0,01, ***P<0,00 Jones et al, 2001 Respirology (2001) 6, 87–89. Lokasi yang benar pada pemasangan selang dada adalah di Triangle of safety. Gambar 2.3. Triangle of Safety Universitas Sumatera Utara
  • 29. 13 Drainase yang tersumbat (Blockage) dapat dikarenakan oleh tertekuknya tube, terjadinya angulasi tube, terbentuknya bekuan dalam lumen atau adanya debris, maupun jaringan paru. Drain dengan ukuran yang lebih kecil memiliki kecenderungan untuk lebih mudah tertekuk maupun lebih mudah terjadinya pembekuan dibandingkan dengan drain berukuran besar, terutama saat digunakan pada keadaan trauma. Tanda kardinal dari tersumbatnya drainase selang dada adalah kegagalan cairan dari selang untuk mengalami fluktuasi saat pasien batuk maupun saat pasien bernapas. Drainase yang tidak efektif ini akan mengakibatkan penumpukan cairan pleura yang tidak dapat terdrainase dan tidak membaik. Tension pneumotoraks dapat pula mengakibatkan terjadinya kasus dengan kebocoran udara. Milking atau stripping dapat dilakukan untuk menyingkirkan sumbatan yang semi padat, misalnya pada sumbatan oleh bekuan darah maupun bekuan fibrin yang terbentuk pada lumen tube. Tetapi, hal ini masihlah kontroversial dan diperdebatkan karena tekanan negatif yang dihasilkan dapat mengakibatkan kerusakan pada jaringan paru. Drainase pada dada haruslah diluruskan bila tertekuk, karena dapat mengakibatkan terjadinya sumbatan. Posisi pemasangan selang dada yang terlalu dalam kedalam toraks dapat mengakibatkan terjadinya perforasi jantung, cidera pada pembuluh darah besar, perforasi dari oesophagus dan cidera saraf. (Kesiema et al, 2012) Aghajanzadeh et al mendeteksi dan mengklasifikasikan empat penyebab utama SE dari 35 pasien, kejadian trauma pada 11 kasus (31%), Pneumotoraks dengan latar belakang paru obstruktif kronik penyakit PPOK terdapat 12 kasus (34%), iatrogenisitas 9 kasus (26%), dan barotrauma 3 kasus (9%). Penyebab emfisema subkutis ditunjukkan pada Tabel berikut: Universitas Sumatera Utara
  • 30. 14 Tabel 2.2. Karakteristik demografi setiap grade Etiologi Pneumotoraks dengan latar belakang COPD Fraktur tulang rusuk Iatrogenik Barotrauma Grade 3 N =5 (42 %) N =4 (33 %) N=2 (17 %) N=1 (8 %) Grade 4 N =5 (42 %) N =6 (50 %) N=1 (8 %) N =0 Grade 5 N =2 (18 %) N =1 (9 %) N=6 (55 %) N=2 (18%) (Aghajanzadeh et al, 2015). Indian J Surg Penyebab SE yang paling umum grade 3 adalah pneumotoraks dengan latar belakang COPD (42%). Pada grade 4, trauma akibat fraktur tulang rusuk (50%) adalah terdeteksi sebagai penyebab paling umum. SE di grade 5 adalah iatrogenicity, prosedur operasi seperti operasi cangkok bypass arteri koroner (CABG) dan lobektomi (55%) di semua grade. 2.2.4 Patofisiologi Emfisema Subkutis Gambar berikut ini menjelaskan terjadinya emfisema subkutis. Gambar 2.4 Patofisiologi Emfisema Subkutis (Maunder, 1984) Emfisema subkutis dapat terjadi apabila drainase udara dari paru ke dalam cavum pleura melebihi kapasitas drainase dari selang dada, ataupun bila selang dada diposisikan jauh dari lokasi terjadinya kebocoran udara. Kondisi lain yang mungkin mengakibatkan emfisema subkutis adalah sumbatan pada selang dada atau ujung lubang selang dada terletak tidak di dalam rongga pleura, melainkan di lapisan subkutis yang mengakibatkan udara memiliki akses masuk ke bawah kulit. Universitas Sumatera Utara
  • 31. 15 Gambar di bawah ini dapat menjelaskan proses terperangkapnya udara di lapisan subkutis pada pasien emfisema subkutisma dan perubahan yang terjadi setelah dilakukan pemasangan kanul di lapisan subkutis sebagai akses drainase. Gambar 2.5 Mekanisme emfisema subkutis sebelum dan sesudah pemasangan kanul (Light, 2012) 2.2.5 Diagnosis Diagnosis emfisema subkutis dikonfirmasi dengan dideteksinya krepitasi dada, servikal, dan abdominal serta adanya udara didalam jaringan lunak pada pemeriksaan X ray dada atau CT dada. Kami tidak dapat menemukan adanya klasifikasi untuk keparahan dari kajian literatur. Sehingga, Aghajanzadeh et al mengklasifikasikan keparahan dari SE bergantung pada ekstensi anatomisnya menjadi 5 grade yaitu, (1) dasar dari leher, (2) semua area leher, (3) area subpectoralis mayor, (4) dinding dada dan semua area leher, dan (5) dinding dada, leher, orbita, kulit kepala, dinding perut, lengan atas, dan scrotum. Pada sinar X dada, emfisema subkutis bisa dilihat sebagai radiolusen Striasi pada pola yang digariskan pectoralis mayor serat otot udara di jaringan subkutan dapat mengganggu dengan radiografi dada, berpotensi mengaburkan serius kondisi seperti pneumotoraks. Bisa juga mengurangi efektivitas ultrasound dada. Di sisi lain, emfisema subkutis mungkin tampak jelas di rontgen dada sebelum pneumotoraks. Emfisema subkutis juga bisa dilihat di CT Scan, dengan kantong udara muncul sebagai daerah gelap. Diagnosis pada pasien adalah Universitas Sumatera Utara
  • 32. 16 dilakukan dengan mendeteksi pembengkakan dari leher, dinding dada, kelopak mata, kulit kepala, dan perut; dan kehadiran udara di dalam jaringan lunak dikonfirmasi oleh kombinasi foto toraks dan CT Scan Toraks. pada beberapa kasus SE tidak perlu perawatan, namun jika jumlah udara yang besar, bisa mengganggu pernapasan dan menjadi tidak dapat ditolerir untuk pasien, jadi kadang-kadang berlanjut ke keadaan " emfisema subkutis besar" yang sangat tidak nyaman dan membutuhkan drainase bedah. Bila jumlah udara dari saluran udara atau paru-paru menjadi masif, biasanya karena ventilasi tekanan positif, maka kelopak mata akan bengkak, membuat pasien sulit melihat. Juga, tekanan udara bisa menghambat aliran darah ke arah areola dari payudara dan kulit skrotum atau labia. Ini bisa menyebabkan nekrosis kulit di daerah ini, situasi ini membutuhkan dekompresi yang cepat dan memadai. Pada kasus yang parah, bisa menyempitkan trakea dan membutuhkannya intervensi darurat. Berbagai tindakan telah dilakukan dan dijelaskan, penggunaan sayatan subkutan, jarum, atau pemasangan selang dada. Jika volume udara subkutan meningkat, selang dada tidak bisa mengeluarkan udara dari ruang pleura, jadi sepertinya selang dada seharusnya diganti dengan yang lebih besar, menggunakan suction juga bisa diterapkan. Mediastinotomi serviks adalah pilihan lain yang digunakan saat intervensi ini tidak berhasil atau meningkatkan gangguan pernapasan. Pada kasus yang parah, kateter dapat ditempatkan di jaringan subkutan untuk melepaskan udara. 2.2.6 Penatalaksanaan Kasus yang signifikan adalah mudah untuk didiagnosis karena tanda dan gejala yang khas. Kasus spontan emfisema subkutis mungkin membutuhkan tidak lebih dari istirahat di tempat tidur, kontrol nyeri, dan mungkin oksigen tambahan. Oksigen dapat membantu tubuh menyerap udara lebih banyak dan cepat didalam subkutan. Pengamatan juga merupakan bagian dari pengobatan emfisema subkutis dalam bentuk ringan. Emfisema subkutis yang terjadi karena pemasangan selang dada biasanya hanya ringan saja dan dapat hilang dengan sendirinya. Universitas Sumatera Utara
  • 33. 17 Pada kasus yang berat, selang dapat ditempatkan pada jaringan subkutis untuk mengeluarkan udara. Irisan kecil, atau “blow holes” dapat dibuat pada kulit untuk mengeluarkan gas. Bila terjadi karena pneumotoraks, maka sering digunakanlah selang dada, dimana dapat mengontrol dan mengeliminasi sumber udara yang memasuki spasium subkutis. Apabila volume dari udara pada subkutis meningkat, selang dada tidak akan dapat mengeluarkan udara dari spasium pleura, sehingga perlu diganti dengan ukuran yang lebih besar. Suction mungkin juga dapat disambungkan pada tube untuk dapat membuang udara dengan lebih cepat. Karena terapi biasanya berupa penanganan dari kondisi yang menyebabkannya, maka pada kasus spontan mungkin hanya memerlukan bed rest, pengontrolan nyeri, dan mungkin juga dapat diberikan suplementasi oksigen. Dengan pemberian oksigen mungkin dapat membantu tubuh untuk dapat menyerap udara subkutis lebih cepat. Penenangan dan obesrvasi pasien merupakan bagian dari penanganan yang ringan. Penanganan pada emfisema subkutis dibuat dua insisi yang dalam pada fascia thoracis eksternal infraklavikular 2 cm bilateral pada semua pasien, dan dimasukkanlah selang dada pada pasien yang sebelumnya belum dipasang. Kemudian dilakukan pemijatan untuk mengevakuasi udara. Selang dada bilateral kemudian dilakukan pada tujuh kasus pada grade 3 (25%), dan tiga kasus baik pada grade 4 (30%) dan grade 5 (33%) karena keparahan dari kondisi pasien, dan pada pasien yang lain, digunakan selang dada unilateral. Semua data pasien disajikan pada. Periode rata-rata durasi rawat inap adalah 16 hari (12 hingga 24 hari). Pada survei follow-up terlihatlah perbaikan pada pasien. Paru-parunya telah mengalami reekspansi. Komplikasi yang paling sering terjadi dari dilakukannya insisi infraklavikular pada pasien adalah terjadinya oklusi pada lokasi insisi oleh terbentuknya bekuan (empat pasien), perdarahan (tiga pasien), insisi yang dibuat pada fascia thoracalis tidak cukup dalam (lima pasien), dan terjadinya masalah kosmetik (empat pasien). (Aghajanzadeh et al, 2015) Universitas Sumatera Utara
  • 34. 18 Kebanyakan komplikasi dari insisi infraklavikular adalah terjadinya oklusi dari insisi oleh bekuan, perdarahan, kedalaman insisi yang tidak memadai pada fascia dada, dan masalah kosmetik. Keuntungan dari insisi infraklavikula adalah perbaikan yang cepat dari emfisema subkutis, dan juga perbaikan dari penampakan pasien, dan membebaskan pasien dari stress dan kekhawatiran. 2.3 Pneumotoraks 2.3.1 Definisi Pneumotoraks adalah terdapatnya udara bebas di dalam rongga pleura, yaitu rongga di antara pleura parietalis dan viseralis. Dalam keadaan normal, rongga ini tidak terisi udara dan memiliki tekanan negatif sebesar - 11 sampai - 12 cm air pada waktu inspirasi dan - 4 sampai - 8 cm air pada saat ekspirasi. Pada penumotoraks, oleh karena terdapat udara bebas, maka tekanan di dalam rongga pleura meningkat menjadi lebih positif dari tekanan normal dan bahkan dapat melebihi tekanan atmosfir. Akibat peningkatan tekanan di dalam rongga pleura, jaringan paru akan mengempis yang derajatnya tergantung pada besar kenaikan tekanan, pengembangan jaringan paru sisi yang sehat terganggu, dan mediastinum dengan semua isinya terdorong ke arah sisi sehat dengan segala akibatnya. (Cerfolio et al, 2008) 2.3.2 Faktor Etiologi Kebanyakan pneumotoraks spontan disebabkan oleh COPD, walaupun hampir semua penyakit paru telah dilaporkan dapat menyebabkan pneumotoraks spontan sekunder, misalnya: tumor, sarkoidosis, tuberkulosis, infeksi paru lainnya dan sebagai berikut : 1. Akibat ruptur subpleural bleb yang umumnya berada di apex paru. 2. Patogenesis dari subpleural blebs mungkin berhubungan dengan peradangan jalan napas karena merokok. 3. Pneumotoraks spontan lebih dapat berkembang pada hari berikutnya ketika terdapat fluktuasi pada tekanan atmosfer, badai petir, musik keras. Universitas Sumatera Utara
  • 35. 19 4. Biasanya terjadi pada pria tinggi dan kurus. 5. Terdapat kecendrungan familial dalam perkembangan pneumotoraks spontan primer, bawaan lahir secara autosomal dominan dengan penetrasi inkomplit atau x-terkait resesif, juga pada pasien dengan human leukocyte antigen (HLA) haplotipe A2, B40 6. Terdapat prevalensi yang tinggi dari abnormalitas bronkial pada pasien yang tidak merokok dengan pneumotoraks spontan, seperti: 7. Anatomi bronkial yang tidak sesuai (ukuran yang lebih kecil dari normal dan deviasi susunan anatomi dalan jalan napas pada berbagai lokasi) 8. Bronkus aksesoris 9. Bronkus hilang. (Widirahardjo, 2008) Gambar 2.6. Anatomi pleura 2.3.3 Patogenesis Pneumotoraks Rongga pleura dalam keadaan normal tidak dijumpai udara. Bila ada hubungan antara atmosfir dengan rongga pleura oleh sebab apapun, maka udara akan masuk ke rongga pleura yang mengakibatkan terjadinya pneumotoraks. Hubungan ini bisa akibat bocornya pleura visceralis atau robeknya dinding dada yang menembus pleura parietal. (Widirahardjo, 2017) Universitas Sumatera Utara
  • 36. 20 Pneumotoraks dapat terjadi tanpa diketahui dengan jelas faktor penyebabnya (pneumotoraks spontan idiopatik). Beberapa penyakit yang dapat menyebabkan pneumotoraks adalah tuberkulosis paru, pneumonia, abses paru, infark paru, keganasan, asma, dan penyakit paru obstruktif menahun. Bentuk ini dikenal sebagai pneumotoraks spontan simptomatik. Pneumotoraks adakalanya dibuat secara sengaja untuk tujuan diagnostik dan terapetik. Adapun pneumotoraks traumatik terjadi akibat trauma tembus atau tidak tembus, dan seringkali bersifat iatrogenik akibat tindakan medik tertentu, seperti trakeostomi, intubasi endotrakea, kateterisasi vena sentralis, atau biopsi paru. (Rosadi et al, 2014) 2.3.4 Klasifikasi Pneumotoraks Pneumotoraks dapat dikelompokkan berdasarkan atas kejadian, luas kolaps paru, dan jenis fistel yang terjadi. Berdasarkan kejadiannya, pneumotoraks digolongkan ke dalam : a. Pneumotoraks spontan, Yaitu setiap pneumotoraks yang terjadi secara tiba-tiba. Pneumotoraks tipe ini dapat diklasifikasikan kedalam dua jenis, yaitu: 1. Pneumotoraks spontan primer, yaitu pneumotoraks yang terjadi secara tiba-tiba tanpa diketahui sebabnya atau tanpa penyakit dasar yang jelas. 2. Pneumotoraks spontan sekunder, yaitu pneumotoraks yang terjadi dengan didasari oleh riwayat penyakit paru yang telah dimiliki sebelumnya. (Widirahardjo, 2017) b. Pneumotoraks artifisial dan c. Pneumotoraks traumatik Yaitu terjadi akibat adanya suatu trauma, baik trauma penetrasi maupun bukan, yang menyebabkan robeknya pleura, dinding dada maupun paru. Universitas Sumatera Utara
  • 37. 21 1. Pneumotoraks traumatik iatrogenik Yaitu pneumotoraks yang terjadi akibat komplikasi dari tindakan medis. Pneumotoraks tipe ini dapat diklasifikasikan kedalam dua jenis, yaitu: 1.1. Pneumotoraks traumatik iatrogenik aksidental Yaitu pneumotoraks yang terjadi akibat tindakan medis karena kesalahan/komplikasi tindakan tersebut, misalnya pada tindakan parasintesis dada, biopsi pleura, biopsi transbronkhial, biopsi/aspirasi paru perkutaneus, kanulasi vena sentral, barotrauma (ventilasi mekanik). (Widirahardjo, 2017) 1.2. Pneumotoraks traumatik iatrogenik artifisial (diberate) Yaitu pneumotoraks yang sengaja dilakukan dengan cara mengisi udara kedalam rongga melalui jarum dengan suatu alat Maxwell box. Biasanya untuk terapi tuberkulosis (sebelum era antibiotik) atau untuk menilai permukaan paru. (Widirahardjo, 2017) 2. Pneumotoraks traumatik non iatrogenik Yaitu terjadi karena jejas kecelakaan, misalnya jejas pada dinding dada baik terbuka maupun tertutup, barotrauma. (Widirahardjo, 2017) Menurut luasnya paru yang mengalami kolaps, maka pneumotoraks dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu: a. Pneumotoraks parsialis Yaitu pneumotoraks yang menekan pada sebagian kecil paru (<50% volume paru). b. Pneumotoraks totalis Yaitu pneumotoraks yang mengenai sebagian besar paru (>50% volume paru). Universitas Sumatera Utara
  • 38. 22 Menurut jenis fistulanya, Pneumotoraks tipe ini dapat diklasifikasikan kedalam tiga jenis, yaitu: (Widirahardjo, 2017) a. Pneumotoraks Tertutup (simple pneumotoraks) Pada tipe ini, pleura dalam keadaan tertutup (tidak ada jejas terbuka pada dinding dada), sehingga tidak ada hubungan dengan dunia luar. Tekanan di dalam rongga pleura awalnya mungkin positif, namun lambat laun berubah menjadi negatif karena diserap oleh jaringan paru disekitarnya. Pada kondisi tersebut paru belum mengalami re-ekspansi, sehingga masih ada rongga pleura, meskipun tekanan di dalamnya sudah kembali negatif. Pada waktu terjadi gerakan pernapasan, tekanan udara di rongga pleura tetap negatif. b. Pneumotoraks Terbuka (open pneumotoraks) Yaitu pneumotoraks dimana terdapat hubungan antara rongga pleura dengan bronkus yang merupakan bagian dari dunia luar, atau terdapat luka terbuka pada dada. Dalam keadaan ini tekanan intrapleura sama dengan tekanan udara luar. Pada pneumotoraks terbuka tekanan intrapleura sekitar nol. Perubahan tekanan ini sesuai dengan perubahan tekanan yang disebabkan oleh gerakan pernapasan. Pada saat inspirasi tekanan menjadi negatif dan pada waktu ekspirasi tekanan menjadi positif. Selain itu, pada saat inspirasi mediastinum dalam keadaan normal, tetapi pada saat ekspirasi mediastinum bergeser ke arah sisi dinding dada yang terluka (sucking wound). c. Pneumotoraks ventil (tension pneumotoraks) Yaitu pneumotoraks dengan tekana intrapleura yang positif dan makin lama makin bertambah besar karena ada fistel di pleura viseralis yang bersifat ventil. Pada waktu inspirasi udara masuk melalui trakea, bronkus serta percabangannya dan selanjutnya terus menuju pleura melalui fistel yang terbuka. Waktu ekspirasi udara di dalam rongga pleura tidak dapat keluar. Akibatnya tekanan di dalam rongga pleura makin lama makin tinggi dan melebihi tekanan atmosfer. Udara yang terkumpul dalam rongga pleura ini dapat menekan paru sehingga sering menimbulkan gagal napas. Universitas Sumatera Utara
  • 39. 23 2.3.5 Manifestasi Klinis Gejala klinis dan pemeriksaan fisik dari pasien pada beberapa penyakit paru hampir sama, Kemungkinan pneumotoraks harus dipikirkan pada semua pasien COPD yang mengalami sesak napas, apalagi didapati nyeri dada. Adapun manifestasi pada pneumotoraks adalah : 1. Usia puncak terjadinya pneumotoraks spontan primer adalah pada awal usia 20 tahun. 2. Gejala utama adalah onset akut dan nyeri dada terlokalisir dan dispnea. 3. Sindrom horner dilaporkan sebagai komplikasi jarang dan diyakini sebagai akibat dari traksi pada ganglion simpatis yang diproduksi sebab pergeseran mediastinum. 4. Biasanya berkembang ketika pasien istirahat. 5. Perubahan pada pemeriksaan fisik 6. Tanda vital biasanya normal, dengan pengecualian takikardia sedang. 7. Tension Pneumotoraks dicurigai bila terdapat pulsasi melebihi 140 atau hipotensi, sianosis, atau disosiasi elektromekanikal 8. Pada sisi dada dengan pneumotoraks berukuran lebih besar dibanding dengan sisi kontralateral dan kurang bergerak selama siklus bernapas. 9. Fremitus taktil tidak dijumpai 10. Perkusi hipersonor, suara napas tidak terdengar atau melemah pada sisi yang terkena. 11. Trakea bergeser ke sisi kontralateral. 12. Sisi bawah dari hati bergeser ke inferior. 2.3.6 Gejala Klinis Keluhan utama yang diungkapkan penderita adalah nyeri dada disertai sesak napas yang timbul secara mendadak. Batuk juga sering ditemukan. Rasa nyeri bersifat menusuk di daerah hemitoraks yang terserang dan bertambah berat pada saat bernapas, batuk dan bergerak. Nyeri dapat menjalar ke arah bahu, hipokondrium atau tengkuk. Rasa nyeri ini disebabkan oleh perdarahan yang Universitas Sumatera Utara
  • 40. 24 terjadi akibat robekan pleura viseralis dan darah menimbulkan iritasi pada pleura viseralis. (Monaghan and Swan, 2008) Sesak napas makin lama makin hebat akibat pengempisan paru yang terkena dan gangguan pengembangan paru yang sehat. Penderita dapat mengalami kegagalan pernapasan akut, terutama bila penyakit yang mendasari timbulnya pneumotoraks adalah asma atau penyakit paru obstruktif menahun. Batuk pada umumnya tidak produktif, terutama pada pneumotoraks spontan idiopatik. Keluhan lain yang dapat dijumpai tergantung pada kelainan yang mendasari timbulnya pneumotoraks. (Monaghan and Swan, 2008) Penderita dapat mengalami kegelisahan, berkeringat dingin, sianosis, dan syok. Dapat ditemukan hipotensi, nadi lebih dari 140 kali per menit, akral dingin, serta pelebaran pembuluh darah vena leher dan dada. Tekanan dalam rongga pleura yang tinggi dan pendorongan mediastinum beserta isinya ke arah sisi yang sehat akan mengganggu aliran balik darah vena ke dalam jantung, sehingga curah jantung menurun dan menyebabkan syok kardial. Perlu diingat bahwa syok juga dapat disebabkan oleh perdarahan masif di dalam rongga pleura. (Monaghan and Swan, 2008) 2.3.7 Diagnosis Dari anamnesis sulit bernapas yang timbul mendadak dengan disertai nyeri dada yang terkadang dirasakan menjalar ke bahu dan dapat disertai batuk. Perlu ditanyakan adanya penyakit paru atau pleura lain yang mendasari pneumotoraks, dan menyingkirkan adanya penyakit jantung. Gejalanya bisa berupa nyeri dada tajam yang timbul secara tiba-tiba dan semakin nyeri jika penderita menarik napas dalam atau terbatuk. Sesak napas, dada terasa sempit, warna kulit menjadi kebiruan akibat kekurangan oksigen. (Widirahardjo, 2017) Pada pemeriksaan fisik toraks ditemukan: 1. Inspeksi tampak hemitoraks yang terkena cembung dengan ruang sela iga yang melebar dan tertinggal pada pernapasan, iktus kordis bergeser ke sisi yang sehat dan trakea juga terdorong ke sisi yang sehat. Universitas Sumatera Utara
  • 41. 25 2. Palpasi, pada sisi yang sakit, didapatkan fremitus suara melemah, iktus kordis dan trakea bergeser ke sisi yang sehat. 3. Perkusi di daerah paru yang sakit terdengar hipersonor dan diafragma terdorong ke bawah. Batas-batas jantung bergeser ke sisi yang sehat. 4. Auskultasi, pada bagian yang sakit, suara napas melemah sampai menghilang pada bagian paru yang terkena. (Widirahardjo, 2017) 2.3.8. Pemeriksaan Penunjang 1. Foto Toraks Gambaran radiologis mempunyai peranan sebagai kunci diagnosis, penilaian luasnya pneumotoraks, evaluasi penyakit-penyakit yang menjadi dasar. Bagian pneumotoraks akan tampak lusen, rata dan paru yang kolaps akan tampak garis yang merupakan tepi paru. Kadang-kadang paru yang kolaps tidak membentuk garis, akan tetapi berbentuk lobuler sesuai dengan lobus paru. Paru yang mengalami kolaps hanya tampak seperti massa radio opaque yang berada di daerah hilus. 2. Analisa gas darah arteri dapat memberikan gambaran hipoksemia meskipun pada kebanyakan pasien sering tidak diperlukan. 3. CT-Scan toraks lebih spesifik untuk membedakan antara emfisema bullosa dengan pneumotoraks. (Widirahardjo, 2017) 2.3.9 Kuantitasi Seseorang harus mengestimasi jumlah paru yang kolaps ketika mengobati pasien dengan pneumotoraks. Indeks light: %pneumotoraks = 100 { } Penghitungan luas pneumotoraks ini berguna terutama dalam penentuan jenis kolaps, apakah bersifat parsialis ataukah totalis. Ada beberapa cara yang bisa dipakai dalam menentukan luasnya kolaps paru, antara lain : Universitas Sumatera Utara
  • 42. 26 1. Rasio antara volume paru yang tersisa dengan volume hemitoraks, dimana masing-masing volume paru dan hemitoraks diukur sebagai volume kubus (2) . Misalnya : diameter kubus rata-rata hemitoraks adalah 10cm dan diameter kubus rata-rata paru-paru yang kolaps adalah 8cm, maka rasio diameter kubus adalah : 83 512 ______ = ________ = ± 50 % 103 1000 2. Menjumlahkan jarak terjauh antara celah pleura pada garis vertikal, ditambah dengan jarak terjauh antara celah pleura pada garis horizontal, ditambah dengan jarak terdekat antara celah pleura pada garis horizontal, kemudian dibagi tiga, dan dikalikan sepuluh (2) . 3. Rasio antara selisih luas hemitoraks dan luas paru yang kolaps dengan luas hemitoraks (4) . (L) hemitorak – (L) kolaps paru (AxB) - (axb) _______________ x 100 % AxB % luas pneumotoraks A + B + C (cm) = __________________ x 10 3 Universitas Sumatera Utara
  • 43. 27 Panduan the British Thoracic Society’s (BTS) untuk pneumotoraks kecil di definisikan sebagai keadaan dimana batas antara pleura dengan dinding dada kurang dari 1 cm, sedang 1-2 cm dan besar bila lebih dari 2 cm. Tingkat rekurensi adalah 54.2%, tingkat rekurensi lebih rendah pada pria (46%) dibanding wanita (71%) dan lebih rendah lagi pada orang yang berhenti merokok (40%) dibanding dengan orang yang terus merokok (70%). Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara ukuran pneumotoraks atau terapi pneumotoraks dan tingkat rekurensi. Rekurensi kebanyakan terjadi pada tahun pertama. Apabila mampu memprediksi pasien yang punya kecenderungan untuk terjadi rekurensi, pasien tersebut harus di terapi lebih agresif pada saat pneumotoraks yang pertama. (Widirahardjo, 2008) Gambar 2.7. Foto rontgen pneumotoraks 2.3.10 Penatalaksanaan Setelah diagnosis ditegakkan, maka harus segera dilakukan tindakan untuk menyelamatkan nyawa penderita. Pemasangan selang dada harus segera dilakukan untuk mengeluarkan udara dalam rongga pleura. Apabila ragu-ragu terhadap kebenaran diagnosis, maka dilakukan pembuktian dengan jarum suntik berukuran 10 cc. Jika memang benar, maka penghisap dari jarum suntik akan terdorong atau udara di dalam rongga pleura akan mudah dihisap. Universitas Sumatera Utara
  • 44. 28 Keberhasilan penanganan pneumotoraks dengan selang dada dipengaruhi oleh pemeliharaan water seal drainage (WSD) ujung selang tidak jarang tergantung di atas permukaan air, sehingga udara dan luar justru mengalir masuk ke dalam rongga pleura. Jika WSD dapat berfungsi dengan baik, maka akan terlihat keluarnya gelembung-gelembung udara ke permukaan air. Selang dada dapat dimasukkan ke dalam rongga pleura melalui ruang sela iga 4 dan 5 linea mid-axillaris. Setelah daerah penusukan yang terpilih (Triangle of safety) dibersihkan, selanjutnya dilakukan anestesi lokal dengan lidokain 1%. Untuk mendapatkan efek anestesi lokal yang memadai biasanya diperlukan waktu sekitar 5-10 menit. Insisi kulit dilakukan secara transversal selebar kurang lebih 1- 2 cm sampai subkutis dan kemudian dibuka secara tumpul dengan klem sampai mendapatkan pleura parietalis. Pleura ditembus dengan gunting tajam yang ujungnya melengkung sampai terdengar suara aliran udara (tanda pleura parietalis telah terbuka), dilakukan penjahitan matras, Selang dada kemudian dimasukkan kedalam rongga pleura sejajar dinding dada sedalam 4 cm, kemudian diarahkan ke dorso cranial selang dada dimasukkan sampai sedalam 12 cm, selang dada dicabut dari selang dada dan lakukan fiksasi. Selang disambungkan ke WSD, perhatikan tabung WSD jika ada gelembung-gelembung di air maka udara telah keluar. selang dada tidak perlu diklem dan posisi WSD harus lebih rendah dari posisi pasien. kemudian bersihkan luka secara streril, dan luka ditutup. Apabila setelah pemasangan selang dada paru tidak dapat mengembang dengan baik, maka dapat dilakukan penghisapan secara berkala atau terus menerus. Tekanan yang biasanya digunakan berkisar antara -15 sampai -20 cm air. Universitas Sumatera Utara
  • 45. 29 2.3.11 Pencabutan Selang Dada Setelah paru mengembang, yang ditandai terdengarnya kembali suara napas dan dipastikan dengan foto toraks, maka selang dada diklem selama 13 hari. Pengembangan paru secara sempurna selain dapat dilihat pada foto toraks biasanya dapat diperkirakan jika sudah tidak terdapat undulasi lagi pada selang selang dada. Apabila setelah diklem selama 13 hari paru tetap mengembang, maka selang dada dapat dicabut. Pencabutan selang dada dilakukan dalam keadaan ekspirasi maksimal. (Rosadi et al, 2014) 2.3.12 Prognosis Prognosis pneumotoraks dipengaruhi oleh kecepatan penanganan dan kelainan yang mendasari timbulnya pneumotoraks. Hampir semua penderita dapat diselamatkan jika penanganan dapat dilakukan secara dini. Sekitar separuh kasus pneumotoraks spontan akan mengalami kekambuhan. Tidak ditemukan komplikasi jangka panjang setelah tindakan penanganan yang berhasil. (Dural et al, 2010). Universitas Sumatera Utara
  • 46. 30 2.4. Kerangka Teori Gambar 2.8. Kerangka Teori Ket : Gambar Variabel yang diteliti Variabel independen Variabel dependen Pneumotoraks Spontan Primer Pemasang an selang dada Usia Ukuran Selang dada Iatrogenik Trauma Spontan Sekunder (PPOK, Bulla, Infeksi Paru, Keganasan, dll) Emfisema Subkutis Jenis Kelamin Kebiasaan merokok Tempat pemasangan Universitas Sumatera Utara
  • 47. 31 2.5. Hipotesis Penelitian Adapun hipotesis penelitian ini adalah: Ada hubungan antara ukuran selang dada, blockage, lama pemasangan selang dada, dan posisi selang dada dengan kejadian emfisema subkutis pada pasien pneumotoraks yang dipasang selang dada. 2.6. Kerangka Konsep Gambar 2.9. Kerangka konsep penelitian Pneumotoraks Blockage Pemasangan selang dada Ukuran Selang dada Posisi pemasangan Lama pemasangan Emfisema subkutis Universitas Sumatera Utara
  • 48. 32 BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah analitik dengan desain case control 3.2 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan di Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FK USU / RSUP H Adam Malik Medan dengan mengambil data dari rekam medik mulai tahun 2016 sampai tercapai jumlah sampel. 3.3 Alat dan Bahan 3.3.1 Selang dada dengan ukuran 24F dan 28 F 3.4 Populasi dan Sampel Penelitian 3.4.1. Populasi Populasi terjangkau penelitian adalah penderita pneumotoraks yang mempunyai indikasi dilakukan pemasangan selang dada secara emergensi atau elektif. 3.4.2. Sampel Sampel adalah bagian dari populasi yang memenuhi kriteria inklusi, tetapi tidak termasuk dalam kriteria eksklusi. Adapun kriteria inklusi dan eksklusi dalam penelitian ini adalah: a. Kriteria Inklusi 1. Semua pneumotoraks spontan primer dan spontan skunder 2. Pasien yang mempunyai indikasi dilakukan pemasangan selang dada baik pada pasien pneumotoraks di IGD atau rawat inap. 3. Luas pneumotoraks > 20% dan atau luas pneumotoraks <15% dengan penyakit penyerta seperti PPOK, Bulla, infeksi paru dan keganasan. Universitas Sumatera Utara
  • 49. 33 4. Penderita laki-laki dan perempuan. 5. Bersedia mengikuti penelitian dengan mengisi informed consent. 6. Pemasangan selang dada pada pneumotoraks yang menggunakan selang dada atau pigtail. 7. Pasien yang mengalami emfisema subkutis yang hanya nampak secara radiologis. b. Kriteria Eksklusi 1. Penderita penyakit pleura selain pneumotoraks. 3.4.3. Teknik Pengambilan Sampel dan Besar Sampel Adalah dengan menggunakan rumus mengukur proporsi pada satu populasi (Lemeshow) berikut ini : Dimana Z1-α : level of significant = 1,96 P : Proporsi emfisema subkutis pada pneumotoraks dengan drainage = 0,18 (Jones et al ) Q : 1-P d (presisi) : 0,1 Berdasarkan perhitungan di atas maka jumlah sampel yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah 56 orang pasien pneumotoraks yang dipasang selang dada. Seluruh subyek penelitian akan diambil dengan cara non probability sampling yaitu consecutive sampling sampai besar sampel mencukupi. Universitas Sumatera Utara
  • 50. 34 3.5 Variabel Penelitian Variabel yang akan dinilai pada penelitian ini adalah: a. Variabel bebas (independen) : Ukuran throcar, blockage, lama pemasangan b. Variabel terikat (dependen) : Emfisema Subkutis 3.6 Definisi Operasional Tabel 3.1. Definisi Operasional No. Variabel Definisi Cara & Alat Ukur Hasil Ukur Skala 1. Usia Adalah usia pasien pada saat dilakukan pemasangan Anamnesa, rekam medis Usia dalam tahun Numerik 2. Jenis kelamin Adalah jenis kelamin pasien yang mendapat perlakuan pemasangan selang dada Anamnesa Laki-laki Perempuan Nominal 3. Kebiasaan merokok Adalah pasien yang merokok dan terpapar asap rokok Anamnesa Katagori berdasarkan indeks brigman Ordinal 4. Ukuran Selang dada Diameter selang dada yang digunakan pada subyek penelitian Pemeriksaan Fisik dan Radiologis 24F 28F Ordinal 5. Tempat Pemasangan selang dada Tempat pemasangan selang dada pada subyek penelitian Klinis dan Pemeriksaan fisik Aman ( di dalam Triangle of Safety) Tidak aman (diluar Triangle Of Safety) Nominal Universitas Sumatera Utara
  • 51. 35 No. Variabel Definisi Cara & Alat Ukur Hasil Ukur Skala 6. Posisi selang dada Posisi ujung selang dada pada subyek penelitian Radiologis Ujung selang dada dapat menjangkau udara didalam rongga pleura Nominal 7. Lamanya penggunaan selang dada Lamanya selang dada terpasang pada subyek penelitian Paru kembang, fistel menutup Lamanya pemasangan dalam hari ≥ 15 hari (mean) < 15 hari (mean) Numerik 8. Blockage Selang dada yang tertekuk, malposisi atau tersumbat Klinis dan Radiologis Blockage & Non Blockage Nominal 9. Emfisema Subkutis adanya udara dibawah kulit yang dapat diamati secara langsung Klinis, radiologis Ya dan Tidak Nominal 10. Derajat Emfisema Subkutis Luas dari adanya udara didalam lapisan kulit Anamnesa dan klinis Derajat I, II, III, IV, V Ordinal Universitas Sumatera Utara
  • 52. 36 3.7 Kerangka Operasional Gambar 3.1 Kerangka Operasional Penelitian 3.8 Prosedur Penelitian 1. Sebelum penelitian dimulai, peneliti meminta keterangan lulus kaji etik (ethical clearance) dari Komite Etik Penelitian Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. 2. Dilakukan pengamatan pada pasien pneumotoraks yang telah memenuhi kriteria, dilakukan identifikasi penyakit yang mendasari (underlying disease). Derajat SE : I, II, III, IV, V Blockage SE Penderita yang memenuhi kriteria Pneumotoraks Pemasangan selang dada Ukuran Selang dada Tempat Pemasangan Lamanya penggunaan selang dada Universitas Sumatera Utara
  • 53. 37 3. Dilakukan pengamatan usia, jenis kelamin, kebiasaan merokok pada pasien pneumotoraks yang dipasang selang dada di RSUP H. Adam Malik Medan. 4. Pasien yang termasuk ke dalam kelompok yang memenuhi syarat untuk pemasangan selang dada. 5. Dilakukan pengamatan ukuran selang dada yang dipasang dan tempat pemasangan. 6. Dilakukan pengamatan pada pasien yang mengalami komplikasi emfisema subkutis dan emfisema subkutis 7. Dilakukan pengamatan berapa lama selang dada terpasang. 3.9 Analisis Data 3.9.1. Analisa Univariat Analisis univariate dilakukan untuk melihat distribusi frekuensi kejadian emfisema subkutis berdasarkan ukuran selang dada, lokasi pemasangan selang dada, lamanya pemasangan selang dada, terjadinya sumbatan pada selang dada (blockage). Data akan menghasilkan distribusi dan persentase dari tiap variable. 3.9.2. Analisa Bivariat Analisa data bivariat dilakukan pada dua variabel yang diduga berhubungan. Dalam penelitian ini akan dilakukan analisa uji chi square jika memenuhi syarat dan fisher exact jika tidak memenuhi syarat untuk menilai hubungan selang dada dengan kejadian emfisema subkutis. 3.10 Etika Penelitian Sebelum dilakukan pengumpulan data terhadap sampel penelitian, peneliti mengajukan ethical clearance terlebih dahulu kepada Komisi Etik Penelitian Kesehatan (KEPK) Fakultas Kedokteran USU, Medan. Universitas Sumatera Utara
  • 54. 38 BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Pasien Pneumotoraks yang Dipasang Selang Dada di RSUP H. Adam Malik Medan Hasil penelitian menunjukkan karakteristik pasien pneumotoraks yang dipasang selang dada di RSUP H. Adam Malik Medan dilihat meliputi umur, jenis kelamin dan kebiasaan merokok. Berdasarkan usia, mayoritas pasien berusia 41- 60 tahun sebanyak 25 orang (44,6%), pasien yang berusia > 60 tahun sebanyak 18 orang (32,1%) dan usia 14-40 tahun sebanyak 13 orang (23,2%). Berdasarkan jenis kelamin mayoritas pasien pneumotoraks yang dipasang selang dada di RSUP H. Adam Malik Medan adalah laki-laki sebanyak 51 orang (91,1%) dan perempuan sebanyak 5 orang (8,9%). Mayoritas pasien pneumotoraks yang dipasang selang dada di RSUP H. Adam Malik Medan adalah perokok sebanyak 51 orang (91,1%) dan bukan perokok sebanyak 5 orang (8,9%). Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Karakteristik Pasien Pneumotoraks yang Dipasang Selang Dada di RSUP H. Adam Malik Medan Variabel n % Usia 14-40 tahun 13 23,2 41-60 tahun 25 44,6 > 60 tahun 18 32,1 Jenis Kelamin laki-laki 51 91,1 Perempuan 5 8,9 Kebiasaan Merokok Ya 51 91,1 Tidak 5 8,9 Jumlah 56 100,0 Universitas Sumatera Utara
  • 55. 39 4.2 Ukuran Selang Dada, Lama Penggunaan dan Blockage Pasien yang Dipasang Selang Dada di RSUP H. Adam Malik Medan Ukuran selang dada pada pasien pneumotoraks yang dipasang selang dada mayoritas 28F sebanyak 47 orang (83,9%) dan ukuran selang dada 24F sebanyak 9 orang (16,1%). Lokasi pemasangan selang dada seluruhnya aman sebanyak 56 orang (100%). Posisi pemasangan selang dada mayoritas menjangkau udara yaitu sebanyak 53 orang (94,6%) dan pemasangan selang dada yang tidak menjangkau udara sebanyak 3 orang (5,4%). Lama penggunaan mayoritas < 15 hari sebanyak 33 orang (58,9%) dan lama penggunaan ≥ 15 hari sebanyak 23 orang (41,1%). Mayoritas pasien pneumotoraks yang dipasang selang dada non blockage sebanyak 48 orang (85,7%) dan pasien pneumotoraks yang dipasang selang dada yang mengalami blockage sebanyak 8 orang 14,3%. Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Ukuran Selang Dada, Lama Penggunaan dan Blockage Pada Pasien Pneumotoraks yang Dipasang Selang Dada di RSUP H. Adam Malik Medan Variabel n % Ukuran Selang Dada 24 F 9 16,1 28 F 47 83,9 Lokasi Pemasangan Tidak Aman 0 0,0 Aman 56 100,0 Posisi Pemasangan Menjangkau 53 94,6 Tidak Terjangkau 3 5,4 Lama Penggunaan ≥ 15 hari 23 41,1 < 15 hari 33 58,9 Blockage Blockage 8 14,3 Non-blockage 48 85,7 Jumlah 56 100,0 Universitas Sumatera Utara
  • 56. 40 4.3 Kejadian Emfisema Subkutis dan Derajat Emfisema Subkutis Pasien Pneumotoraks yang Dipasang Selang Dada di RSUP H. Adam Malik Medan Hasil penelitian terhadap 56 pasien pneumotoraks yang dipasang selang dada yang mengalami kejadian emfisema subkutis sebanyak 15 orang (26,8%) dan yang tidak mengalami kejadian emfisema subkutis sebanyak 41 orang (73,2%). Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Kejadian Emfisema Subkutis dan Derajat Emfisema Subkutis pada Pasien Pneumotoraks yang Dipasang Selang Dada di RSUP H. Adam Malik Medan Variabel n % Kejadian Emfisema Subkutis Ya 15 26,8 Tidak 41 73,2 Derajat SE I 3 5,4 II 1 1,8 III 1 1,8 IV 4 7,1 V 6 10,7 4.4 Hubungan Ukuran Selang Dada dengan Kejadian Emfisema Subkutis pada Pasien Pneumotoraks yang Dipasang Selang dada di RSUP H. Adam Malik Medan Penilaian hubungan antara ukuran selang dada dengan kejadian emfisema subkutis pada pasien pneumotoraks yang dipasang selang dada di RSUP H.Adam Malik Medan menunjukkan bahwa dari 9 pasien pneumotoraks yang dipasang selang dada dengan ukuran 24F yang mengalami kejadian emfisema subkutis sebanyak 5 orang (55,6%) dan yang tidak mengalami kejadian emfisema subkutis sebanyak 4 orang (44,4%). Pasien pneumotoraks yang dipasang selang dada dengan ukuran 28F sebanyak 47 orang, yang mengalami mengalami kejadian emfisema subkutis sebanyak 10 orang (21,3%) dan yang tidak mengalami kejadian emfisema subkutis sebanyak 37 orang (78,7%). Universitas Sumatera Utara
  • 57. 41 Tabel 4.4. Hubungan Ukuran Selang Dada dengan Kejadian Emfisema Subkutis pada Pasien Pneumotoraks yang Dipasang Selang Dada di RSUP H. Adam Malik Medan Ukuran Selang Dada Emfisema Subkutis Jumlah p. Ya Tidak N % N % n % 24 F 5 55,6 4 44,4 9 100,0 0,048 28 F 10 21,3 37 78,7 47 100,0 Gambar 4.1 Hubungan Ukuran Trokar dengan Emfisema Subkutis Hasil uji bivariat dengan menggunakan uji Fisher’s Exact menunjukkan bahwa nilai p<0,05 yang artinya ada hubungan yang signifikan antara ukuran selang dada dengan kejadian emfisema subkutis pada pasien pneumotoraks yang dipasang selang dada di RSUP H.Adam Malik Medan. 62.5 20.8 37.5 79.2 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 Blokage Non-Blokage Emfisema Subkutis Tidak Emfisema Subkutis Universitas Sumatera Utara
  • 58. 42 4.5 Hubungan Posisi Selang Dada dengan Kejadian Emfisema Subkutis pada Pasien Pneumotoraks yang Dipasang Selang dada di RSUP H. Adam Malik Medan Penilaian hubungan antara poisis selang dada dengan kejadian emfisema subkutis pada pasien pneumotoraks yang dipasang selang dada di RSUP H.Adam Malik Medan menunjukkan bahwa dari 3 pasien pneumotoraks posisi selang dada tidak terjangkau udara yang mengalami kejadian emfisema subkutis sebanyak 1 orang (33,3%) dan yang tidak mengalami kejadian emfisema subkutis sebanyak 2 orang (66,7%). Pasien pneumotoraks yang posisi selang dada dapat menjangkau udara sebanyak 53 orang, yang mengalami mengalami kejadian emfisema subkutis sebanyak 14 orang (26,4%) dan yang tidak mengalami kejadian emfisema subkutis sebanyak 39 orang (73,6%). Tabel 4.5. Hubungan Posisi Selang Dada dengan Kejadian Emfisema Subkutis pada Pasien Pneumotoraks yang Dipasang Selang Dada di RSUP H. Adam Malik Medan Posisi Selang Dada Emfisema Subkutis Jumlah p. Ya Tidak N % N % n % Tidak Terjangkau udara 1 33,3 2 66,7 3 100,0 1,000 Menjangkau udara 14 26,4 39 73,6 53 100,0 Gambar 4.2 Hubungan Posisi Selang Dada dengan Emfisema Subkutis 62.5 20.8 37.5 79.2 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 Blokage Non-Blokage Emfisema Subkutis Tidak Emfisema Subkutis Universitas Sumatera Utara
  • 59. 43 Hasil uji bivariat dengan menggunakan uji Fisher’s Exact menunjukkan bahwa nilai p>0,05 yang artinya tidak ada hubungan yang signifikan antara posisi selang dada dengan kejadian emfisema subkutis pada pasien pneumotoraks yang dipasang selang dada di RSUP H.Adam Malik Medan. 4.6 Hubungan Lamanya Penggunaan dengan Kejadian Emfisema Subkutis pada Pasien Pneumotoraks yang Dipasang Selang Dada di RSUP H. Adam Malik Medan Penilaian hubungan antara lamanya penggunaan dengan kejadian emfisema subkutis pada pasien pneumotoraks yang dipasang selang dada di RSUP H.Adam Malik Medan menunjukkan bahwa dari 23 pasien pneumotoraks yang dipasang selang dada dengan lama penggunaan ≥ 15 hari yang mengalami kejadian emfisema subkutis sebanyak 13 orang (56,5%) dan yang tidak mengalami kejadian emfisema subkutis sebanyak 10 orang (43,5%). Pasien pneumotoraks yang dipasang selang dada dengan lama penggunaan < 15 hari sebanyak 33 orang, yang mengalami mengalami kejadian emfisema subkutis sebanyak 5 orang (15,2%) dan yang tidak mengalami kejadian emfisema subkutis sebanyak 28 orang (84,8%). Tabel 4.6. Hubungan Lamanya Penggunaan dengan Kejadian Emfisema Subkutis pada Pasien Pneumotoraks yang Dipasang Selang Dada di RSUP H. Adam Malik Medan Lamanya penggunaan Emfisema Subkutis Jumlah p. Ya Tidak N % N % n % ≥ 15 hari 13 56,5 10 43,5 23 100,0 0,041 < 15 hari 5 15,2 28 84,8 33 100,0 Universitas Sumatera Utara
  • 60. 44 Gambar 4.3 Hubungan Lama Penggunaan dengan Emfisema Subkutis Hasil uji bivariat dengan menggunakan uji chi square menunjukkan bahwa nilai p<0,05 yang artinya ada hubungan yang signifikan antara lama penggunaan dengan kejadian emfisema subkutis pada pasien pneumotoraks yang dipasang selang dada di RSUP H.Adam Malik Medan. 4.7 Hubungan Blockage dengan Kejadian Emfisema Subkutis pada Pasien Pneumotoraks yang Dipasang Selang Dada di RSUP H. Adam Malik Medan Penilaian hubungan antara blockage dengan kejadian emfisema subkutis pada pasien pneumotoraks yang dipasang selang dada di RSUP H.Adam Malik Medan menunjukkan bahwa dari 8 pasien pneumotoraks yang dipasang selang dada dengan blockage yang mengalami kejadian emfisema subkutis sebanyak 5 orang (62,5%) dan yang tidak mengalami kejadian emfisema subkutis sebanyak 3 orang (37,5%). Pasien pneumotoraks yang dipasang selang dada dengan non- blockage sebanyak 48 orang, yang mengalami mengalami kejadian emfisema subkutis sebanyak 10 orang (20,8%) dan yang tidak mengalami kejadian emfisema subkutis sebanyak 38 orang (79,2%). 62.5 20.8 37.5 79.2 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 Blokage Non-Blokage Emfisema Subkutis Tidak Emfisema Subkutis Universitas Sumatera Utara
  • 61. 45 Tabel 4.7. Hubungan Blockage dengan Kejadian Emfisema Subkutis pada Pasien Pneumotoraks yang Dipasang Selang Dada di RSUP H. Adam Malik Medan Blockage Emfisema Subkutis Jumlah p. Ya Tidak N % N % n % Blockage 5 62,5 3 37,5 8 100,0 0,026 Non-Blockage 10 20,8 38 79,2 48 100,0 Gambar 4.4 Hubungan Blockage dengan Emfisema Subkutis Hasil uji bivariat dengan menggunakan uji Fisher’s Exact menunjukkan bahwa nilai p<0,05 yang artinya ada hubungan yang signifikan antara blockage dengan kejadian emfisema subkutis pada pasien pneumotoraks yang dipasang selang dada di RSUP H.Adam Malik Medan. 62.5 20.8 37.5 79.2 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 Blokage Non-Blokage Emfisema Subkutis Tidak Emfisema Subkutis Universitas Sumatera Utara
  • 62. 46 4.8. Analisis Multivariat Untuk menganalisis tentang faktor-faktor yang paling dominan berhubungan dengan kejadian emfisema subkutis pada pasien yang dipasang selang dada di RSUP H.Adam Malik Medan, menggunakan uji regresi logistik ganda (multiple logistic regression). Variabel yang terpilih dalam model akhir regresi logistik ganda dapat dilihat pada Tabel 4.8 berikut : Tabel 4.8. Hasil Akhir Uji Regresi Logistik Berganda Variabel B Sig. Prevalence Ratio (PR) 95 CI Lower Upper ukuran selang dada 1,992 0,027 7,328 1,257 42,714 Lama penggunaan 1,927 0,015 6,870 1,450 32,545 Blockage 2,520 0,010 12,424 1,825 84,559 Konstanta -2,855 Berdasarkan hasil yang diperoleh bahwa ukuran selang dada berpengaruh terhadap kejadian emfisema subkutis pada pasien pneumotoraks yang dipasang selang dada di RSUP H.Adam Malik Medan dengan nilai p=0,027. Ukuran selang dada memiliki nilai PR = 7,328 artinya pasien dengan ukuran selang dada 24F lebih berisiko mengalami emfisema subkutis sebanyak 7,328 dibandingkan pasien dengan ukuran selang dada 28F. Ada pengaruh lama penggunaan terhadap kejadian emfisema subkutis pada pasien pneumotoraks yang dipasang selang dada di RSUP H.Adam Malik Medan dengan nilai p=0,015. Lama penggunaan memiliki nilai PR= 6,870 artinya pasien pneumotoraks yang dipasang selang dada dengan lama penggunaan ≥ 15 hari lebih berisiko mengalami emfisema subkutis sebanyak 6,870 dibandingkan pasien pasien pneumotoraks yang dipasang selang dada dengan lama penggunaan < 15 hari. Ada pengaruh blockage terhadap kejadian emfisema subkutis pada pasien pneumotoraks yang dipasang selang dada di RSUP H.Adam Malik Medan dengan nilai p=0,010. Blockage memiliki nilai PR= 12,424 artinya pasien pneumotoraks Universitas Sumatera Utara
  • 63. 47 yang dipasang selang dada dengan blockage lebih berisiko mengalami emfisema subkutis sebanyak 12,424 dibandingkan pasien non-blockage. Model persamaan regresi logistik berganda yang dapat memprediksi kejadian emfisema subkutis pada pasien pneumotoraks yang dipasang selang dada di RSUP H.Adam Malik Medan adalah sebagai berikut: )) 3 ( 520 , 2 ) ( 927 , 1 ) ( 992 , 1 855 , 2 ( 2 1 1 1 ) ( x X X e y p        Keterangan: P : Probabilitas kejadian emfisema subkutis X1 : Ukuran Selang dada koefisien regresi 1,992 X2 : Lama penggunaan, koefisien regresi 1,927 X2 : Blockage, koefisien regresi 2,520 a : Konstanta -2,855 4.9 Pembahasan 4.9.1. Karakteristik Pasien Pneumotoraks yang Dipasang Selang Dada di RSUP H. Adam Malik Medan Pneumotoraks adalah adanya udara pada rongga pleura. Pneumotoraks sangat berkaitan dengan fraktur kosta laserasi dari pleura parietalis dan visceralis. Robekan dari pleura visceralis dan parenkim paru dapat menyebabkan Pneumotoraks, sedangkan robekan dari pleura parietalis dapat menyebabkan emfisema subkutis. Gejala yang paling umum pada Pneumotoraks adalah nyeri yang diikuti dispneu (Milisavljevic et al, 2012; Lugo et al, 2015). Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa pasien pneumotoraks yang dipasang selang dada di RSUP H. Adam Malik Medan mayoritas berusia 41-60 tahun, hal ini sesuai dengan pernyatakaan Jhonston dan Dovnarsky bahwa Universitas Sumatera Utara
  • 64. 48 kejadian pnomotoraks spontan timbul pada umur lebih dari 40 tahun pada orang- orang dengan bentuk tubuh kurus dan tinggi. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitin yang dilakukan oleh Masenggi yang menyatakan Kasus pneumotoraks terbanyak ditemukan pada kelompok usia ≥50 tahun yaitu 15 pasien (36,6%) (Masenggi, 2015). Pasien Pneumotoraks yang dipasang selang dada dan mengalami kejadian emfisema subkutis sebnayak 15 orang mayoritas berusia 41-60 tahun sebesar 46,7%, yang diikuti usia > 60 tahun sebesar 40% hal ini dimungkinkan bahwa usia 40 tahun ke atas fungsi organ dalam tubuh sudah mengalami banyak penurunan jika tidak dijaga dengan baik, sehingga rentan mengalami gangguan kesehatan organ paru seperti TB Paru, PPOK, keganasan atau tumor paru apalagi disertai riwayat merokok sehingga dapat menyebabkan kejadian emfisema subkutis pada pasien pnemotoraks yang dipasang selang dada. Seorang dengan usia tua sebagian besar cadangan sistem fisiologis berkurang dan meningkatnya kerentanan terhadap berbagai penyakit seiring dengan bertambahnya usia. Berdasarkan karakteristik kelamin, pasien pneumotoraks yang dipasang selang dada di RSUP H. Adam Malik mayoritas berjenis kelamin laki-laki sebesar 91,1%. Kejadian emfisema subkutis pada pasien pneumotoraks yang dipasang selang dada seluruhnya berjenis kelamin laki-laki. Hasil penelitian ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa pria mempunyai resiko lebih besar terkena pneumothoraks spontan dari pada wanita dengan perbandingan kurang lebih 5 : 1. (Sudoyo, 2009). Hasil penelitian ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Masenggi didapatkan bahwa mayoritas jenis kelamin pada pasien pneumotoraks terbanyak yaitu pada laki-laki sebanyak 37 orang (90,2%) (Masenggi, 2015). Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Surjanto et al. di RSUD Dr. Moewandi Surakarta tahun 2010 yaitu pasien pneumotoraks lebih banyak dijumpai pada jenis kelamin laki-laki (64,10%) (Surjanto, 2010). Berdasarkan status merokok mayoritas pasien pnemoutoraks yang dipasang selang dada di RSUP H. Adam Malik berstatus perokok yaitu sebesar 91,1% dan dari 15 pasien yang mengalami kejadian emfisema subkutis ada 13 Universitas Sumatera Utara
  • 65. 49 orang yang berstatus merokok. Hal ini dikarenakan oksidan atau racun yang terdapat di asap rokok membuat dinding alveolus atau bagian terkecil di dalam paru, rusak. Selain itu, dinding pembuluh darah kapiler yang menempel di alveolus menebal. Akibatnya, pernapasan terganggu. Oksigen sulit masuk ke pembuluh kapiler dan diedarkan ke seluruh tubuh. Begitu juga karbondioksida yang harus dikeluarkan. Akhirnya, ada udara yang terperangkap. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Zeybek menyatakan bahwa ada hubungan kebiasaan merokok dengan faktor risiko pneumotoraks (Zeybek, 2013). 4.9.2. Hubungan Ukuran Selang Dada dengan Kejadian Emfisema Subkutis pada Pasien Pneumotoraks yang Dipasang Selang dada di RSUP H. Adam Malik Medan Pemasangan selang dada dapat dilakukan pada pasien dengan pneumotoraks dengan ukuran moderat sampai large, pasien dengan riwayat aspirasi cairan pleura berulang, efusi pleura yang berulang, pada pasien yang dilakukan bedah toraks, pasien dengan pneumotoraks yang berhubungan dengan trauma, hemotoraks, kilotoraks, empiema, atau pada keadaan lain misalnya untuk pencegahan setelah tindakan pembedahan untuk evakuasi darah dan mencegah tamponade jantung. (Klopp, 2013). Ukuran selang dada dari yang paling kecil hingga yang paling besar adalah antara 8 – 32 F. Ukuran selang dada yang dibutuhkan tergantung pada indikasi pemasangan selang dada. Untuk pneumotoraks dianjurkan selang dada ukuran 20 F, dan untuk efusi pleura ukuran 24 – 28 F, serta perlu juga dipertimbangkan jenis kelamin dan ukuran pasien. (Klopp, 2013). Pemasangan selang dada ukuran besar tetap merupakan tindakan yang optimal untuk drainase cairan ataupun udara. Beberapa komplikasi yang sering terjadi pada pemasangan selang dada adalah re-expaansion pulmonary edema, rasa nyeri pada tempat pemasangan, infeksi pada tempat pemasangan, perdarahan, kingking, blockage, pneumotoraks, cedera organ dan tercabutnya selang dada. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ukuran penggunaan selang dada yang digunakan di RSUP H. Adam Malik hanya menggunakan 2 ukuran yaitu 24 Universitas Sumatera Utara
  • 66. 50 F dan 28 F. Mayoritas pasien pnemotoraks yang dipasang selang dada menggunakan ukuran selang dada 28 F. Selang dada dengan ukuran besar (>28F) seringnya direkomendasikan pada penatalaksanaaan pneumotoraks karena adanya potensi diperlukannya evakuasi udara dan/atau darah. Tetapi, hal ini didasarkan pada pendapat ahli saja menemukan bahwa pneumotoraks yang tanpa komplikasi dan simple, maka selang dada dengan ukuran kecil (14F) dihubungkan dengan pengurangan rasa nyeri pada saat pemasangan dan tidak ada perbedaan klinis yang lain yang signifikan (Riber et al, 2017). Kejadian emfisema subkutis pada 15 pasien pneumotoraks yang dipasang selang dada dengan ukuran selang dada 24F menempati persentase paling tinggi yaitu sebesar 55,6%. Hal ini dimungkinkan akibat selang dada tidak dapat mengevakuasi seluruh udara, sehingga menyebabkan udara berada dibawah kulit. 4.9.3. Hubungan Posisi Selang Dada dengan Kejadian Emfisema Subkutis pada Pasien Pneumotoraks yang Dipasang Selang dada di RSUP H. Adam Malik Medan Pemasangan selang dada merupakan tindakan invasif yang dilakukan untuk mengeluarkan udara, cairan (darah, pus) dari rongga pleura, rongga thoraks dan mediastinum dengan menggunakan pipa penghubung untuk mempertahankan tekanan negatif rongga tersebut. Dalam keadaaan normal rongga pleura memiliki tekanan negatif dan hanya terisi sedikit cairan pleura/lubricant. Tujuan dari pemasangan selang dada mengeluarkan cairan atau darah, udara dari rongga pleura, mengembalikan tekanan negatif pada rongga pleura, mengembangkan kembali paru yang kolaps, mencegah refluks drainage kembali ke rongga dada dan mengalirkan udara atau cairan dari rongga pleura untuk mempertahankan tekanan negatif rongga tersebut. Pada pasien pnemotoraks untuk mencegah terjadinya sesak nafas berat yang disebabkan oleh karena meningginya tekanan intrathoraks, maka diperlukan pemasangan selang dada. Ada pula pendapat yang mengatakan bahwa terdapatnya pneumotorak yang besar merupakan indikasi perlunya pemasangan Universitas Sumatera Utara
  • 67. 51 selang dada. Hal ini atas pertimbangan bahwa paru akan tetap menguncup dalam waktu yang cukup lama. Pemasangan selang dada juga dapat menimbulkan komplikasi yang tidak diharapkan. Dengan indikasi yang tepat, menggunakan tehnik yang benar serta memberikan perawatan pasca pemasangan secara baik, kita dapat menghindarkan penderita dari komplikasi yang tidak diharapkan. Posisi pemasangan selang dada yang terlalu dalam kedalam toraks dapat mengakibatkan terjadinya perforasi jantung, cidera pada pembuluh darah besar, perforasi dari oesophagus dan cidera saraf. (Kesiema et al, 2012). Salah satu komplikasi pemasangan selang dada adalah kejadian emfisema subkutis. Komplikasi dapat terjadi akibat dari Posisi Selang Dada yang tidak bisa menjangkau udara dimana pemasangan selang dada pada posisi yang tidak benar. Hasil penelitian pasien pneumotoraks yang dipasang selang dada di RSUP H. Adam Malik ditemukan 3 orang yang posisi selang dada tidak menjangakau udara dan dari ketiga orang tersebut hanya 1 orang yang mengalami kejadian emfisema subkitis dengan nilai p=1,000 dimana tidak ada hubungan antara posisi selang dada dengan kejadian emfisema subkutis. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal diantaranya lokasi ujung selang dada lebih jauh dari tempat mengakses pneumotoraks, seringnya terjadi refleks batuk, luasnya pneumotoraks dan juga jenis pneumotoraks atipikal lebih sulit menjangkau udara dibandingkan pneumotoraks tipikal. 4.9.4. Hubungan Lama Pemasangan dengan Kejadian Emfisema Subkutis pada Pasien Pneumotoraks yang Dipasang Selang dada di RSUP H. Adam Malik Medan Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata pemasangan selang dada pada pasien pneumotoraks di RSUP Adam Malik yaitu 14 hari. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Adi Rosadi yaitu rerata lama selang dada terpasang untuk berbagai penyakit pleura adalah 17,3±11,3 hari (median 17 hari). Rerata lama selang dada terpasang untuk pneumotoraks spontan primer adalah 14±9,8 hari, pneumotoraks spontan sekunder 14,5±8,2 hari (median Universitas Sumatera Utara
  • 68. 52 13 hari) (Adi Rosadi et al, 2014). Hasil penelitian ini juga tidak jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Rizana et al, menyatakan bahwa durasi drainase pada setiap pasien dalam bervariasi mulai dari yang paling cepat yaitu 3 hari sampai yang paling lama yaitu 40 hari dan rata-rata lama pemasangan selama 12 hari. (Rizana et al, 2017) Hasil uji bivariat dengan menggunakan uji chi square menunjukkan bahwa nilai p<0,05 yang artinya ada hubungan yang signifikan antara lama penggunaan dengan kejadian emfisema subkutis pada pasien pneumotoraks yang dipasang selang dada di RSUP H.Adam Malik Medan. Hal ini menunjukkan bahwa semakin lama pemasangan maka semakin besar resiko mengalami kejadian emfisema subkutis. Pada hasil penelitian didapatkan bahwa semakin tinggi grade emfisema subkutis maka sebagia besar lama pemasangan selang dada diatas 15 hari. Hal ini dimungkinkan banyaknya komplikasi penyakit lain yang dialami oleh pasien pneumotoraks seperti PPOK, Iatrogenik, TB Paru, keganasan dan Barotrauma. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Peter yang menyatakan bahwa pada kasus dimana terjadi emfisema subkutis, drainase tube lebih lama (mean 10.4 vs 3.6 hari), dengan drainase valve Heimlich pada 20% vs 0%, dan membutuhkan lebih banyak jumlah tube rata-rata (2.0 vs 1.7 tube). Penempatan tube dinilai tidak adekuat pada 20% kasus dibandingkan dengan 3% pada kelompok kontrol, baik dengan kegagalan dalam memasukkan drain kedalam pneumothoraks maupun drain dengan arah yang salah. Emfisema subkutis diperberat dengan ancaman obstruksi jalan nafas atas pada satu kasus dengan pneumothoraks traumatik bilateral, yang kemudian memerlukan untuk dilakukan intubasi endotrakeal. Emfisema subkutis terganggu dengan dilakukannya penilaian echocardiografi pada dua pasien dalam perawatan intensif, dan mengakibatkan ketidakpastian radiografi pada pasien lain dengan infiltrat paru, yang kemudian diklarifikasi dengan melakukan pemeriksaan imaging CT-scan. Ketidakpastian diagnostik pada pasien lain dengan pembengkakan pada lengan dan kemungkinan adanya thrombosis vena aksilaris Universitas Sumatera Utara