Dokumen tersebut membahas pengertian delik pers dan perbedaan pandangan luas dan sempit tentang definisi delik pers. Secara ringkas, delik pers adalah pelanggaran yang dilakukan melalui media massa, yang harus memenuhi syarat publikasi. Delik pers dapat mendatangkan kerugian baik pada individu maupun negara.
Karakteristik Negara Mesir (Geografi Regional Dunia)
Delik Pers dan Hukum Pers
1. Pengertian Delik Pers
Di atas telah di uraikan tentang pengertian delik yang dikemukan oleh
beberapa sarjana hukum, maka sekarang penulis menguraikan tentang apa yang
dimaksud dengan delik pers.
Gambaran tentang arti teknis yuridis mengenai istilah ”delik pers” yang dalam
kata-kata demikian tidak kita jumpai dalam perundang-undangan kita. Menurut Mr.
Ny. Sutamijah Hadi mengemukakan adanya pandangan
yang sempit dan
pandangan yang luas. Disertai pula di situ kenyataan bahwa pada umumnya para
ahli memberikan kepada delik pers arti yang lebih sempit, sedangkan tampaknya
pandangan yang luas dipandang identik dengan pemakaian istilah tersebut dalam
bahasa sehari-hari. Maka dalam bahasa sehari-hari orang mengartikan delik pers
sebagai semua kejahatan dan pelanggaran yang dilakukan oleh orang pers. Suatu
perumusan yang sangat luas dan yang membawa akibat hukum yang sangat jauh.
Ia dapat memasukkan di dalamnya misalnya pencurian atau pun pelanggaran lalu
lintas, yang di lakukan oleh pers.
Menurut disertasi Prof. Dr. Simons yang terkenal atau karangan Prof. Mr.
W.F.C Van Hattum menjelaskan bahwa yang di maksudkan dengan arti yang luas
dan sempit mengenai kata ”delik pers”, yang khususnya diambil dari kata-kata Pasal
7
Grondwet
Belanda,
Pasal
62,
KUHP
dan
bukan
dari
Pasal
33
”Drukpersreglement”, seperti dikemukakan penulis. Bukankah pasal tersebut
memberikan tafsiran authentik mengenai arti ”barang cetakan” dan hanya terbatas
berlakunya, sekedar kita mempergunakan ”Drukpersreglement” sehingga arti
tersebut tidak melampaui batas-batas dari peraturan tersebut.
2. Perbedaan pokok yang ada antara kedua pendapat tersebut terletak pada
tidak atau tidak adanya syarat publikasi sebagai unsur yang perlu dari delik yang
originair. Syarat publikasi untuk dapat di pidanakan sebagai suatu delik inilah yang
menentukan, apakah suatu delik dapat dikwalisifir sebagai ”delik pers” atau tidak.
Maka, apabila dirumuskan secara tidak sempit, bahwa ”delik pers” itu adalah
”elke op zich zelf openbaring van de gedachten, aanhet publiek gericht en door
middel van de drukpers geschied”.
Menurut Ridwan J. Silamma mengemukakan bahwa yang di maksud dengan
”delik pers” ialah segala suatu perbuatan yang diancam pidana yang (hanya dapat)
dilakukan oleh pers. Dalam arti sempit : menyangkut salah satu media komunikasi
massa yang bersifat umum dan terbit teratur/reguler (majalah, tabloid koran harian
dan sebagainya) yang berfungsi sebagai sarana penyebarluasan informasi. Dalam
arti luasnya beliau mengemukakan bahwa ”delik pers” menyangkut segala barang
cetakan.
Delik pers berasal dari dua kata delik dan pers. Delik berasal dari perkataan
Belanda delict yang artinya tindak pidana atau pelanggaran. Kata pers tentu sudah
di ketahui dari penjelasan sebelumnya yaitu mengacu pada pengertian komunikasi
yang dilakukan dengan perantara barang cetakan. Tetapi sekarang, pengertian pers
itu termasuk juga kegiatan komunikasi yang dilakukan melalui media elektronik
seperti televisi dan radio. Jadi, ”delik pers” artinya semua tindak pidana atau
pelanggaran yang di lakukan melalui media massa.
Padanan untuk delik pers dalam bahasa inggris adalah libel. The New
Webster Internasional Dictionary mengartikannya sebagai ”a malicious writing or
representation which brings its object into contempt or expose him ta public derision”
3. (terjemahan bebasnya : tulisan atau pernyataan jahat yang menyebabkan objeknya
berada dalam keadaan hina atau menyebabkan dia menjadi cemoohan publik).
Sementara itu ada kamus Inggris lainnya yang mengartikan libel sebagai
”any written, printed, or pictorial statement that damages a person by defaming his
character or exposing him to ridicule.” (terjemahan bebasnya : pernyataan apa pun
melalui tulisan, barang cetakan, atau gambar yang merugikan seseorang dengan
mencemarkan nama baiknya atau membuatnya menjadi bahan ejekan.”
Mr. D. Hazewinkel suringa dalam Inleiding tot de Studie van het Strafrecht
menyatakan bahwa “Delik pers adalah pernyataan pikiran dan perasaan yang dapat
dijatuhi pidana yang untuk penyelesainnya membutuhkan publikasi pers.”
Baik definisi pertama maupun definisi kedua tentang libel kedua-duanya
menekan pihak yang dirugikan yang bersifat orang-perorangan, sedangkan definisi
delik pers oleh Suringa menekankan pihak yang melakukannya dan pihak yang
dirugikan bisa siapa saja atau apa saja, orang atau lembaga, asalkan perbuatannya
bisa di pidana. Dengan demikian, dalam konteks hukum kita, definisi Suringa
rasanya lebih tepat karena sifatnya lebih luas, yaitu bahwa delik pers itu adalah delik
pers yang bisa mendatangkan kerugian pada seseorang (private libel) atau bisa juga
mendatangkan pada negara, masyarat, atau pemerintah (public libel).
Memang ada perbedaan prinsip antara pengertian libel dan delik pers.
Perbedaan ini terletak pada perbedaan tujuannya. Hukum yang menyangkut libel
yang berasal dari Barat yang sistem politiknya bersifat liberal itu tujuannya terutama
untuk melindungi individu-individu warga negaranya. Sedangkan hukum yang
menyangkut delik pers yang dibentuk semasa pemerintahan Kolonia Belanda
bertujuan selain untuk melindungi warga Negara tetapi juga untuk melindungi
kepentingan penguasa waktu itu. Hal ini mengingat para pejuang kemerdekaan
4. Indonesia sering mengutarakan pendapat atau mengkritisi pemerintah Kolonia
melalui tulisan-tulisan di surat kabar.
Jiwa kolonial yang masih tersisa dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) yang menyangkut delik pers ini dapat dilihat misalnya dari beberapa
pasalnya yang bukan saja mengatur pelanggaran yang merugikan orang perorangan
(private libel), tetapi juga ada pula pasal-pasal yang mengatur pelanggaran atau
kejahatan oleh pers terhadap negara dan pejabat negara serta terhadap
masyarakat.
Yang termasuk public libel antara lain “membocorkan rahasia Negara” (pasal
322 KUHP), “penghinaan terhadap presiden dan wakil presidan” (pasal 134 KUHP),
“penghinaan terhadap kepala negara sahabat” (pasal 144 KUHP) “menodai bendera
lambang Negara” (pasal 154a KUHP),”penodaan terhadap agama” (pasal 160
KUHP), “menghina penguasa dan badan umum (pasal 207 KUHP), dan “melanggar
kesusilaan / pornografi” (pasal 282 KUHP).
Contoh paling aktual mengenai kasus penghinaan terhadap presiden,
menyangkut pengajuan penanggung jawab Harian Rakyat Merdeka ke Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan. Tuduhannya menyerang kehormatan presiden. Dalam
tuntutannya, jaksa penuntut menggunakan Pasal 134 jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Selain dalam pasal-pasal KUHP, masih ada ketentuan lain menyangkut delik
pers, yaitu pasal 1 ayat (3) Penetapan Presiden No. 4 tahun 1963 tentang mencetak
barang cetakan yang terlarang. Kemudian pasal 19 UU No. 21 tahun 1982 serta
pasal XIV dan XV UU No. 1 tahun 1946 yang mencabut pasal 171 KUHP. Undangundang yang disebut terakhir itu, selain mencabut aturan lama juga menetapkan
ketentuan-ketentuan baru tantang penyiaran kabar bohong dan kabar-kabar yang
tidak pasti yang dapat menimbulkan keonaran.
5. Delik pers yang dapat di golongkan sebagai private libel, yaitu delik pers
terhadap orang perorangan, diatur dalam pasal-pasal KUHP mulai pasal 310 sampai
pasal 315.Pasal 310 KUHP, misalnya, berbunyi:
(1) Barang siapa dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang
dengan menuduhkan suatu hal, dengan maksud yang jelas agar hal itu diketahui
umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan
bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(2) Bila hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambar yang disiarkan, dipertunjukkan
atau ditempelkan di muka umum, maka diancam karena pencemaran tertulis dengan
pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling
banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(3) Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, bila perbuatan itu jelas
dilakukan demi kepentingan umum atau terpaksa untuk membela diri.
Contoh delik pers yang menyerang pribadi orang perorangan ini adalah dalam
kasus pemimpin redaksi Harian Rakyat Merdeka, Karim Paputungan, ia dijatuhi
hukuman lima bulan penjara oleh hakim pengadilan negeri Jakarta Selatan garagara pemuatan gambar parodi Akbar Tanjung di Harian Rakyat Merdeka edisi 8
Januari 2002. Karim oleh pengadilan dianggap bersalah melanggar Pasal 310 ayat
(2) KUHP.
Kriteria delik pers:
1. Harus dilakukan dengan barang cetakan
2. Perbuatan yang dipidana harus terdiri atas pernyataan pikiran dan perasaan
3. Harus dipublikasikan.
Syarat adanya publikasi bersifat mutlak. Artinya tanpa publikasi pikiran dan peranan
tidak ada delik pers.
6. Pasal-pasal KUHP yang paling terkenal di zaman kolonial Belanda di
kalangan para wartawan dan surat kabar-surat kabar pribumi adalah pasal-pasal
tentang haatzaai-artikelen ini. Pasal-pasal yang menyangkut haatzaai-artikelen ini
menjadi terkenal karena sifat karetnya. Delik pers yang dikategorikan haatzaai
menyangkut kepentingan penguasa Kolonial di negeri jajahannya, sehingga ia harus
dapat dilentur-lenturkan agar bisa menjerat para intelektual kita yang mengkritik
penguasa kolonial melalui tulisan. Mantan pemimpin redaksi harian Sipatahunan
yang juga sesepuh pers Jawa Barat, Mohammad Kurdi, pernah memperingatkan
kepada penulis agar tidak menulis yang menyerempet-nyerempet bahaya sehingga
tulisan dikategorikan ke dalam haatzaai-artikelen. Demikianlah gambaran kehatihatian wartawan tempo dulu terhadap kemungkinan dijerat oleh haatzaai-artikelen.
Haatzaai-artikelen berasal dari dua kata bahasa Belanda yang artinya
masing-masing : Haat = (benih) kebencian ; zaaien = menabur,menanam benih
(perselisihan, kebencian); artikel = tulisan atau karangan, bentuk jamaknya adalah
artikelen. Jika diterjemahkan secara bebas, haatzaai-artikelen ini bisa disalin dengan
“karangan-karangan yang menabur benih kebencian” Pasal-pasal KUHP yang
mengatur haatzaain-artikelen ini adalah pasal-pasal 154 hingga 157 dan 207.
Apa yang termasuk dalam haatzaai-artikelen ini dinyatakan secara jelas
dalam pasal 154 KUHP, yang berbunyi: ”Barangsiapa menyatakan permusuhan,
kebencian atau penghinaan terhadap Pemerintah Indonesia di muka umum,
diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun penjara atau pidana denda
paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”
Dari bunyi pasal 154 KUHP ini kita pun bisa menduga bahwa pasal yang
masih terasa jiwa koloninya ini hanya diubah dengan mengganti kata Nederlands
Indie dengan kata Indonesia saja di belakang kata Pemerintah. Di era Orde Baru
7. pasal-pasal ini telah menelan korban antara lain pada tahun 1971 ketika Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 2 September 1971 menghukum Tengku Hafaz,
Pemimpin Redaksi Harian Nusantara, dengan hukuman pidana penjara selama 1
tahun.
Selain Hafaz, juga ada Mochtar Lubis, wartawan terkenal dan satu-satunya
wartawan Indonesia yang mendapat kehormatan menjadi honorary editor Majalah
Times, pernah mendekam selama bertahun-tahun tanpa diadili pada zaman Orde
lama karena dituduh menulis haatzaai-artikelen ini pada surat kabarnya, Indonesia
Raya. Muchtar lubis baru keluar dari penjara ketika rezim Orde Lama tumbang pada
tahun 1965 untuk digantikan rezim Orde Baru.
Kalaupun ada pasal-pasal yang termasuk public libel
yang bertujuan
melindungi warga seperti pasal 156 KUHP, yakni pelarangan menyatakan rasa
permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap ras dan suku, itu hanya untuk
mencegah berkobarnya kerusuhan yang menyulitkan penguasa.
Pasal yang menyangkut delik pers dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana sebaiknya tidak diberlakukan lagi. Karena Undang-Undang Pers No.40
Tahun 1999 yang mengatur kehidupan pers merupakan lex specialis, sehingga
sepatutnya undang-undang inilah yang mengatur kehidupan pers. Sekarang ini hakhak kebebasan berpikir dan mengeluarkan pendapat pun memperoleh jaminan lebih
rinci lagi dalam Amandemen ke-2 UUD 1945.