Cryptocurrency dalam Perspektif Ekonomi Syariah.pptx
Transfer pricing suatu pemahaman awal (short version)
1. www.futurumcorfinan.com
Page 1
Transfer Pricing – Suatu Pemahaman Awal
(Short Version)
Berangkat dari pasal 9 OECD Model Tax Convention on Income and on Capital tahun 20101
(selanjutnya disebut sebagai OECD Tax Convention)-lah yang mengangkat permasalahan
penetapan atau penentuan harga transfer (selanjutnya disebut sebagai transfer pricing2
)
dimana:
isu transfer pricing dikaitkan langsung dengan transaksi-transaksi yang terjadi antara
pihak-pihak terasosiasi (TPG menggunakan istilah associated enterprises dan bukan
related parties), atau dirujuk sebagai pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa
dalam peraturan perpajakan di Indonesia3
,4
,5
), serta
1
OECD. Model Tax Convention on Income and on Capital (Condensed Version). 22 Juli 2010.
Halaman 27 dan 28.
Dapat diunduh dari
http://www.oecd.org/document/37/0,3746,en_2649_33747_1913957_1_1_1_1,00.html.
2
Pasal 1 (8) PER-32/PJ/2011 tentang Perubahan atas Peraturan Direktorat Jenderal Pajak Nomor
PER-43/PJ/2010 tentang Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dalam Transaksi
antara Wajib Pajak dengan Pihak yang Mempunyai Hubungan, mendefinisikan penentuan harga
transfer (transfer pricing) sebagai penentuan harga dalam transaksi antara pihak-pihak yang
mempunyai hubungan istimewa.
3
Dalam undang-undang perpajakan Indonesia, terdapat dua pasal mengenai apa yang dimaksudkan
dengan adanya hubungan istimewa antara wajib pajak dengan pihak lain, yaitu pasal 18 ayat (4)
Sukarnen
DILARANG MENG-COPY, MENYALIN,
ATAU MENDISTRIBUSIKAN
SEBAGIAN ATAU SELURUH TULISAN
INI TANPA PERSETUJUAN TERTULIS
DARI PENULIS
Untuk pertanyaan atau komentar bisa
diposting melalui website
www.futurumcorfinan.com
2. www.futurumcorfinan.com
Page 2
Undang-undang PPh dan pasal 2 ayat (2) Undang-undang PPN. Selengkapnya dikutip dari kedua
pasal tersebut.
Pasal 18 ayat (4) UU PPh.
Hubungan istimewa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sampai dengan ayat (3d), Pasal 9 ayat (1)
huruf f, dan Pasal 10 ayat (1) dianggap ada apabila:
a. Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling rendah 25%
(dua puluh lima persen) pada Wajib Pajak lain; hubungan antara Wajib Pajak dengan
penyertaan paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada dua Wajib Pajak atau lebih; atau
hubungan di antara dua Wajib Pajak atau lebih yang disebut terakhir;
b. Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih Wajib Pajak berada di bawah
penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung; atau
c. Terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus
dan/atau ke samping satu derajat.
Pasal 2 ayat (2) UU PPN.
Hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dianggap ada apabila:
a. dua atau lebih Pengusaha, langsung atau tidak langsung berada di bawah pemilikan atau
penguasaan Pengusaha yang sama, atau
b. Pengusaha yang satu menyertakan modal sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau lebih
dari jumlah modal pada Pengusaha yang lain, atau hubungan antara Pengusaha yang
menyertakan modalnya sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau lebih pada dua pihak atau
lebih, demikian pula hubungan antara dua pihak atau lebih yang disebut terakhir.
4
Bandingkan dengan definisi pihak-pihak berelasi atau pihak mempunyai hubungan istimewa (dalam
Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 7 (1994)) yang cukup detil dalam PSAK No. 7
(revisi 2010) tentang “Pengungkapan Pihak-pihak Berelasi (catatan: yang merupakan adopsi dari
International Accounting Standard 24 (2009): Related Party Disclosures) paragraf 09 mendefinisikan
pihak-pihak berelasi sebagai orang atau entitas yang terkait dengan entitas tertentu dalam
menyiapkan laporan keuangannya (dalam Pernyataan ini dirujuk sebagai “entitas pelapor”).
(a) Orang atau anggota keluarga terdekat terkait entitas pelapor jika orang tersebut:
(i) Memiliki pengendalian atau pengendalian bersama atas entitas pelapor;
(ii) Memiliki pengaruh signifikan terhadap entitas pelapor; atau
(iii) Personal manajemen kunci entitas pelapor atau entitas induk entitas pelapor.
(b) Suatu entitas terkait dengan entitas pelapor jika memenuhi salah satu hal berikut;
(i) Entitas dan entitas pelapor adalah anggota dari kelompok usaha yang sama (artinya
entitas induk, entitas anak dan entitas anak berikutnya terkait dengan entitas lain).
(ii) Satu entitas adalah entitas asosiasi atau ventura bersama bagi entitas lain (atau entitas
asosiasi atau ventura bersama yang merupakan anggota suatu kelompok usaha, dimana
entitas lain tersebut adalah anggotanya).
(iii) Kedua entitas tersebut adalah ventura bersama dari pihak ketiga yang sama.
(iv) Satu entitas adalah ventura bersama dari entitas ketiga dan entitas yang lain adalah
entitas asosiasi dari entitas ketiga.
(v) Entitas tersebut adalah suatu program imbalan kerja untuk imbalan kerja dari salah satu
entitas pelapor atau entitas yang terkait dengan entitas pelapor. Jika entitas pelaporan
adalah entitas yang menyelenggarakan program tersebut, entitas sponsor juga terkait
dengan entitas pelapor.
(vi) Entitas yang dikendalikan atau dikendalikan bersama oleh orang yang diidentifikasi
dalam butir (a).
(vii) Orang yang diidentifikasi dalam butir (a) (i) memiliki pengaruh signifikan terhadap entitas
atau anggota manajemen kunci entitas (atau entitas induk dari entitas).
5
Paragraf 11 PSAK 7 (revisi 2010) menyebutkan bahwa pihak-pihak berikut bukan sebagai pihak-
pihak yang mempunyai hubungan istimewa:
(a) Dua entitas hanya karena mereka memiliki direktur atau anggota manajemen kunci yang
sama, atau karena anggota dari manajemen kunci dari satu entitas mempunyai pengaruh
signifikan terhadap entitas lain.
(b) Dua venturer hanya karena mereka mengendalikan bersama atas ventura bersama.
(c) (i) penyandang dana,
(ii) serikat dagang,
(iii) entitas pelayanan publik, dan
3. www.futurumcorfinan.com
Page 3
transaksi-transaksi tersebut menimbulkan hubungan komersial atau keuangan antara
pihak-pihak tersebut.
Karena hal yang mendasarinya adalah bahwa transaksi tersebut terjadi antara pihak-pihak
yang mempunyai hubungan istimewa, baiknya dilihat apa yang dimaksudkan oleh OECD
dengan pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa tersebut terutama dalam konteks
transfer pricing.
Selengkapnya disebutkan dalam pasal 9.1 OECD Tax Convention:
where
a) an enterprise of a Contracting State participates directly or indirectly in the
management, control or capital of an enterprise of the other Contracting State, or
b) the same persons participate directly or indirectly in the management, control or
capital of an enterprise of a Contracting State and an enterprise of the other Contracting
State,
Pasal 3 ayat 1d OECD Tax Convention menjelaskan bahwa:
the terms “enterprise of a Contracting State” and “enterprise of the other Contracting State”
mean respectively an enterprise carried on by a resident of a Contracting State and an
enterprise carried on by a resident of the other Contracting State;
Dari bacaan di atas, dapat disimpulkan bahwa hubungan istimewa tersebut dikaitkan
dengan adanya keterlibatan baik langsung atau tidak langsung, suatu perusahaan atau
individual (atau kelompok individual) dalam manajemen, pengendalian atau permodalan
pada pihak lainnya6
, dan pihak-pihak tersebut merupakan penduduk dari negara yang
(iv) departemen dan instansi pemerintah yang tidak mengendalikan, mengendalikan bersama
atau memiliki pengaruh signifikan terhadap entitas pelapor,
semata-mata dalam pelaksanaan urusan normal dengan entitas pelapor (meskipun pihak-pihak
tersebut dapat membatasi kebebasan suatu entitas atau ikut serta dalam proses pengambilan
keputusan).
(d) Pelanggan, pemasok, pemegang hak waralaba (franchise), distributor, atau
perwakilan/agen umum dengan siapa entitas mengadakan transaksi usaha dengan
volume signifikan, semata-mata karena ketergantungan ekonomis yang diakibatkan oleh
keadaan.
Yang menarik tentunya, apakah pihak-pihak di atas yang dikecualikan dari pihak-pihak yang
mempunyai hubungan istimewa dalam konteks PSAK, dapat pula tidak diakui dalam konteks transfer
pricing.
6
Kekhususan dari adanya hubungan istimewa tersebut juga diakui dalam PSAK 7 (revisi 2010) terkait
tujuan pengungkapan pihak-pihak berelasi, walaupun hubungan dengan pihak-pihak berelasi
merupakan suatu karakteristik (feature) normal dari perdagangan dan bisnis (paragraf 05). Namun
karena kegiatan bisnis mereka dilaksanakan melalui entitas anak, ventura bersama dan entitas
asosiasi, disimpulkan oleh para akuntan bahwa entitas memiliki kemampuan untuk
4. www.futurumcorfinan.com
Page 4
berbeda. Namun tentunya yang jadi pertanyaan selanjutnya adalah seberapa jauh atau
seberapa besar derajat keterlibatan dalam manajemen, pengendalian atau permodalan
pada pihak lainnya.
Ayat 1 Bagian Komentar Artikel 9 OECD Tax Convention (hal. 181) menyebutkan bahwa
yang dimaksud dengan pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa tersebut adalah:
antara perusahaan induk dengan perusahaan anak (parent and subsidiary companies),
dan
antar pihak-pihak yang berada dalam pengendalian bersama (companies under common
control)7
.
Tentunya pasal 9 ayat (1) di atas dari OECD Tax Convention tidak berhenti hanya pada
definisi pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa (associated enterprises), tapi lebih
jauh menyebutkan bahwa:
…and in either case conditions are made or imposed between the two enterprises in their
commercial or financial relations which differ from those which would be made between
independent enterprises, then any profits which would, but for those conditions, have
accrued to one of the enterprises, but, by reason of those conditions, have not so accrued,
may be included in the profits of that enterprise and taxed accordingly.
Jadi dapat ditengarai bahwa karena transaksi-transaksi yang menimbulkan hubungan
komersial atau keuangan terjadi antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa,
maka besar kemungkinan ada kondisi-kondisi yang tidak didapatkan pada transaksi (sejenis
mempengaruhi kebijakan keuangan dan operasi investee melalui pengendalian, pengendalian
bersama atau pengaruh signifikan (paragraf 05), dimana suatu hubungan dengan pihak-pihak
berelasi tersebut dapat berpengaruh terhadap laba atau rugi dan posisi keuangan entitas.
Pihak-pihak berelasi dapat menyepakati transaksi di mana pihak-pihak yang tidak berelasi tidak dapat
melakukannya. Misalnya, entitas yang menjual barang kepada entitas induknya pada harga
perolehan, mungkin tidak menjual dengan persyaratan tersebut kepada pelanggan lain. Selain itu,
transaksi antara pihak-pihak berelasi mungkin tidak dilakukan dalam jumlah yang sama, seperti
dengan pihak-pihak yang tidak berelasi (paragraf 06).
7
OECD Tax Convention tidak memberikan definisi atau menjelaskan apa yang dimaksudkan dengan
pihak-pihak dalam pengendalian bersama. Apabila mengacu ke PSAK No. 38 (revisi 2004) tentang
Akuntansi Restrukturisasi Entitas Sepengendali paragraf 06 disebutkan bahwa entitas sepengendali
(under common control) adalah pihak (perorangan, perusahaan, atau bentuk entitas lainnya) yang
secara langsung atau tidak langsung (melalui satu atau lebih perantara), mengendalikan atau
dikendalikan oleh atau berada di bawah pengendalian yang sama. Namun belum jelas apakah
definisi PSAK No. 38 (revisi 2004) dapat diterima dalam konteks transfer pricing, walaupun bisa jadi
diterapkan terkait dengan Penjelasan Pasal 28 ayat (7) paragraf terakhir UU KUP dimana disebutkan
bahwa:
Dengan demikian, pembukuan harus diselenggarakan dengan cara atau sistem yang lazim dipakai di
Indonesia, misalnya berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan, kecuali peraturan perundang-
undangan perpajakan menentukan lain.
5. www.futurumcorfinan.com
Page 5
(similar)?) lainnya kalau transaksi tersebut terjadi antar pihak-pihak yang tidak mempunyai
hubungan istimewa.
Jadi adanya hubungan istimewa tersebut patut diduga akan mempengaruhi kondisi-kondisi
yang terkandung dalam transaksi tersebut. Tidak dijelaskan lebih lanjut, apa yang dimaksud
dengan kondisi-kondisi tersebut, namun kalimat dalam paragraf di atas menyiratkan bahwa
kondisi tersebut bagaimanapun ujung-ujungnya akan mempengaruhi laba (profits) yang
dibukukan oleh kedua belah pihak tersebut, terlepas apakah laba tersebut dibukukan
pada tahun terjadinya transaksi atau pada tahun-tahun berikutnya sesudah terjadinya
transaksi. Yang ditekankan bahwa kondisi tersebut mempengaruhi jumlah laba pada
akhirnya (catatan: menurut penulis, tentunya yang dimaksudkan adalah penghasilan kena
pajak), dimana bisa saja pada awalnya ia mempengaruhi laba melalui penentuan harga jual
atau nilai penggantian, tingkat bunga yang dibebankan, tarif royalti, dan sebagainya8
.
Bagian Komentar atas Artikel 9 menyebutkan bahwa kehadiran Artikel 9 OECD Tax
Convention (hal. 181) adalah terkait dapat dilakukannya, untuk tujuan perpajakan,
penyesuaian atas laba yang telah diakui oleh pihak-pihak yang mempunyai hubungan
istimewa tersebut dimana laba tersebut timbul dari transaksi-transaksi yang terjadi antara
pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa, suatu tingkat laba yang tidak terjadi atau
yang tidak dilakukan berdasarkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (arm’s length
terms)9
.
Namanya laba tentunya timbul dari suatu transaksi, dan transaksi apa-apa saja yang
dicakup dalam paragraf di atas, tentunya tidak bisa terlepas dari isi Bab III “Taxation of
Income” dan Bab IV “Taxation of Capital” dari OECD Tax Convention, yang mencakup
antara lain laba dari properti tidak bergerak (artikel 6), laba usaha (artikel 7), bunga (artikel
11), royalti (artikel 12), laba dari penjualan aset (artikel 13), dan laba dari hubungan kerja
(artikel 15).
Peraturan Direktorat Jenderal Pajak Nomor PER-43/PJ/2010 tentang Penerapan Prinsip
Kewajaran dan Kelaziman Usaha dalam Transaksi antara Wajib Pajak dengan Pihak yang
Mempunyai Hubungan Istimewa tertanggal 6 September 2010, pasal 2 ayat (2) memerinci
transaksi yang dilakukan wajib pajak dengan pihak-pihak yang mempunyai hubungan
istimewa, dimana dapat mengakibatkan pelaporan jumlah penghasilan dan pengurangan
8
Lihat ilustrasi dalam “Tricky Tax: Transfer Pricing”, dapat diunduh dari
http://www.taxjustice.net/cms/upload/pdf/Tricky_Tax.pdf.
9
PER-43/PJ/2010 dan perubahannya PER-32/PJ/2011 menggunakan istilah Prinsip Kewajaran dan
Kelaziman Usaha sebagai terjemahan prinsip Arm’s Length.
6. www.futurumcorfinan.com
Page 6
untuk menghitung besarnya penghasilan kena pajak bagi wajib pajak tidak sesuai dengan
prinsip kewajaran dan kelaziman usaha meliputi antara lain:
a. penjualan, pengalihan, pembelian atau perolehan barang berwujud maupun barang
tidak berwujud;
b. sewa, royalti, atau imbalan lain yang timbul akibat penyediaan atau pemanfaatan harta
berwujud maupun harta tidak berwujud;
c. penghasilan atau pengeluaran sehubungan dengan penyerahan atau pemanfaatan
jasa;
d. alokasi biaya; dan
e. penyerahan atau perolehan harta dalam bentuk instrumen keuangan, dan penghasilan
atau pengeluaran yang timbul akibat penyerahan atau perolehan harta dalam bentuk
instrumen keuangan dimaksud.
PER-32/PJ/2011 tentang Perubahan atas PER-43/PJ/2010 di atas pada pasal 2 ayat (2)
justru sudah tidak memberikan rincian transaksi-transaksi apa saja yang dimaksudkan
dalam konteks transfer pricing, tetapi mengganti seluruh pasal 2 ayat (2) di atas menjadi:
Dalam hal Wajib Pajak melakukan transaksi dengan pihak-pihak yang mempunyai
Hubungan Istimewa yang merupakan Wajib Pajak Dalam Negeri atau Bentuk Usaha Tetap
di Indonesia, Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini hanya berlaku untuk transaksi yang
dilakukan oleh Wajib Pajak dengan pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa untuk
memanfaatkan perbedaan tarif pajak yang disebabkan antara lain:
a. perlakuan pengenaan Pajak Penghasilan final atau tidak final pada sektor usaha
tertentu;
b. perlakuan pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah; atau
c. transaksi yang dilakukan dengan Wajib Pajak Kontraktor Kontrak Kerja Sama Migas.
Dirjen Pajak tampaknya hanya melihat pada transaksi-transaksi dimana terdapat motivasi
untuk memanfaatkan perbedaan tarif pajak, sesuatu yang justru tidak disebutkan dalam
Artikel 9 dari 2010 OECD Tax Convention. Artikel 9 dari OECD Tax Convention justru lebih
menekankan adanya kondisi-kondisi dalam hubungan komersial atau keuangan yang timbul
dari transaksi dimana adanya hubungan istimewa mempengaruhi kondisi-kondisi tersebut,
kondisi-kondisi mana tidak akan ada kalau tidak ada hubungan istimewa tersebut, inipun
dengan catatan bahwa kondisi-kondisi tersebut mempengaruhi laba dari salah satu atau
kedua belah pihak, yang menjadi objek pemajakan oleh otoritas perpajakan masing-masing
negara. Jadi titik beratnya, apakah transaksi tersebut dilakukan berdasarkan prinsip
kewajaran dan kelaziman usaha, terlepas apakah ada perbedaan tarif pajak atau tidak antar
negara.
7. www.futurumcorfinan.com
Page 7
OECD justru berpendapat bahwa penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha tidak
perlu hanya dilihat apakah transaksi yang dilakukan dengan pihak yang mempunyai
hubungan istimewa, terjadi di negara dengan tarif pajak yang lebih tinggi atau lebih rendah.
Adanya perbedaan tarif pajak dengan tarif pajak pihak yang mempunyai hubungan istimewa
dapat dianggap sebagai bagian dari penilaian resiko yang akan dilakukan oleh pihak otoritas
perpajakan pada saat memutuskan kasus pajak mana yang akan diperiksa, dan bukan
sebagai suatu unsur yang akan mengakibatkan penerapan berbeda dari prinsip kewajaran
dan kelaziman usaha 10
. Disamping itu, konsep transfer pricing sendiri bersifat netral,
sehingga dalam penerapannya juga tentunya bersifat netral11
.
Lebih lanjut, pasal 9 ayat (2) OECD Tax Convention (hal. 28) menyebutkan bahwa:
Where a Contracting State includes in the profits of an enterprise of that State – and taxes
accordingly – profits on which an enterprise of the other Contracting State has been charged
to tax in that other State and the profits so included are profits which would have accrued to
the enterprise of the first-mentioned State if the conditions made between the two
enterprises had been those which would have been between independent enterprises,
then that other State shall make an appropriate adjustment to the amount of the tax charged
therein on those profits. In determining such adjustment, due regard shall be had to the
other provisions of this Convention and the competent authorities of the Contracting States
shall if necessary consult each other.
Dalam konteks Artikel 9 ayat (2) di atas inilah diperlukan metodologi bagaimana melakukan
identifikasi dan menyimpulkan bahwa transaksi-transaksi antara pihak-pihak yang
mempunyai hubungan istimewa (yang umum dikenal sebagai “controlled transactions”) tidak
dilakukan berdasarkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha, dan kalau memang telah
terjadi transaksi demikian, maka bagaimana melakukan penyesuian atas laba yang timbul
dari transaksi tersebut.
Dari paragraf di atas, dapat diketahui bahwa untuk dapat menentukan apakah suatu
transaksi dilakukan berdasarkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha, maka prinsip
Arm’s Length menjadi krusial, atau dengan kata lain menjadi jangkar (anchor) dari
keseluruhan isu transfer pricing. Bab 1 TPG khusus didedikasikan untuk pembahasan
10
OECD. Transfer Pricing and Intangibles: Scope of the OECD Project. 25 Januari 2011. Halaman 5
paragraf 22.
11
Lihat INTM460140 - Transfer Pricing: a Practical Guide to Enquiries - Introduction: What is Transfer
Pricing? Dari http://www.hmrc.gov.uk/manuals/intmanual/intm460140.htm.
Konsep yang sama digunakan untuk mengelaborasi lebih lanjut revisi atas Bab VI TGP “Special
Considerations for Intangible Property” sebagaimana tertuang dalam “Discussion Draft: Revision of
the Special Considerations for Intangibles in Chapter VI of the OECD Transfer Pricing Guidelines and
Related Provisions” terbitan OECD pada pertengahan tahun 2012. Dapat diunduh dari
www.oecd.org/dataoecd/39/61/50526258.pdf.
8. www.futurumcorfinan.com
Page 8
prinsip Arm’s Length , suatu standar transfer pricing internasional yang memperoleh
persetujuan dari negara-negara anggota OECD untuk dipergunakan untuk tujuan
perpajakan oleh perusahaan-perusahaan multinasional dan aparatur perpajakan (paragraf
1.1 TPG)12
.
Apabila dibaca kembali Artikel 9 dari OECD Tax Convention, maka dapat dikatakan bahwa
permasalahan transfer pricing dalam konteks prinsip kewajaran dan kelaziman usaha, tidak
dapat selalu dikaitkan dengan kejahatan perpajakan (tax fraud) atau penghindaran pajak
(tax avoidance)13
, walaupun memang bisa saja kebijakan transfer pricing “dimanfaatkan”
untuk tujuan demikian. Menurut penulis, juga tidak tepat, apabila kebijakan transfer pricing
hanya dikaitkan dengan pemanfaatan perbedaan tarif, sebagaimana disebutkan dalam
pasal 2 ayat (2) PER-32/PJ/2011.
Isu transfer pricing hanya terkait kalau kondisi-kondisi tersebut dalam transaksi antara
pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa tidak mencerminkan kekuatan pasar (dan
dengan demikian tidak sesuai dengan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha). TITIK.
Terlepas apapun motivasinya, dan apakah objek yang dibicarakan sesuai atau sejalan
dengan pemahaman akuntan, penilai, dan lain-lain.
TPG mengambil pemahaman bahwa apabila transfer pricing tidak mencerminkan kekuatan
pasar (dan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha), maka hutang pajak dari perusahaan-
perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa tersebut dan pendapatan pajak dari
negara-negara tuan rumah perusahaan-perusahaan tersebut akan dapat terdistorsi, dan
untuk itulah bahwa untuk tujuan perpajakan, laba dari perusahaan-perusahaan yang
mempunyai hubungan istimewa tersebut dapat disesuaikan guna mengkoreksi distorsi
apapun dan memastikan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha dapat dipenuhi (paragraf
1.3 TPG). Di sini pihak otoritas perpajakan dimungkinkan untuk melakukan koreksi, atau
dalam Komentar Artikel 9 dari OECD Tax Convention (hal. 181 dan 182), menggunakan
kata “re-writing of the accounts of associated enterprises” (terjemahan lepas: menulis
kembali akun-akun dari perusahaan-perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa).
Dengan kata lain, penyesuaian atau “re-writing” tersebut tidak diperbolehkan kalau
12
Pembaca yang tertarik mengenai prinsip arm’s length dan penerapannya dapat membaca lebih
lanjut “Transfer Pricing and Other Provisions to Check Avoidance of Tax” terbitan The Institute of
Chartered Accountants of India.
Dapat diunduh dari http://220.227.161.86/18892sm_dtl_finalnew_cp16.pdf.
13
Pembaca yang berminat dapat membaca tulisan Eric J. Bartelsman dan Roel M. W.J. Beetsma.
Why Pay More? Corporate Tax Avoidance through Transfer Pricing in OECD Countries. Desember
2001. Dapat diunduh dari http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=258937.
Di samping itu, di website Bloomberg dan The Guardian dapat ditemukan cerita-cerita bagaimana
perusahaan-perusahaan multinasional berhasil dalam meminimumkan pajak dalam negara-negara
dimana mereka melakukan kegiatan usaha.
9. www.futurumcorfinan.com
Page 9
transaksi-transaksi antara perusahaan-perusahaan tersebut telah terjadi berdasarkan
prinsip kewajaran dan kelaziman usaha14
.
Distorsi yang dimaksud di atas tentunya datang dari berbagai faktor, mengingat level
operasional suatu perusahaan multinasional adalah sedemikian kompleks, sehingga
pertimbangan pajak hanya akan menjadi salah satu faktor didalamnya15
.
TPG paragraf 1.4 mengakui adanya faktor-faktor diluar pertimbangan pajak yang mungkin
saja memberikan kontribusi [signifikan] timbulnya distorsi tersebut, faktor regulasi
pemerintah terkait penentuan nilai ekspor-impor (customs valuations), bea anti-dumping,
dan bahkan kontrol atas mata uang dan harga, maupun yang bersifat non-pemerintah, yaitu
yang datang dari kebutuhan arus kas setiap perusahaan yang tergabung dalam suatu
kelompok usaha multinasional, yang tentunya beroperasi di berbagai negara, termasuk juga
kalau perusahaan tersebut merupakan perusahaan publik yang tentunya dituntut
menunjukkan kinerja laba yang tinggi. Namun tampaknya TPG tidak membedakan darimana
datangnya distorsi tersebut dan dampaknya terhadap kondisi dalam hubungan komersial
atau keuangan untuk transaksi yang terjadi antar pihak-pihak yang mempunyai hubungan
istimewa. Yang penting adalah bahwa telah terjadi distorsi yang mempengaruhi transfer
pricing dan ujung-ujungnya mempengaruhi (baca: mendistorsi) laba dari perusahaan-
perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa tersebut.
Berarti di sini ada 2 (dua) isu yang dapat dibicarakan:
1. Bagaimana mengetahui atau mengidentifikasi kondisi dari suatu transaksi antara
perusahaan-perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa yang tidak dilakukan
berdasarkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha, yang mengakibatkan atau dapat
disimpulkan telah terjadi distorsi atas laba yang diakui dan dilaporkan oleh masing-
masing perusahaan?
2. Bagaimana penyesuaian [atas laba yang terdistorsi tersebut] selayaknya dilakukan?
Paragraf 1.6 dari TPG berusaha menjawab pertanyaan pertama di atas.
By seeking to adjust profits by reference to the conditions which would have obtained
between independent enterprises in comparable transactions and comparable
circumstances (i.e. in “comparable uncontrolled transactions”), the arm’s length principle
14
Komentar Artikel 9 paragraf 1 OECD Tax Convention (hal. 181) menggunakan kalimat “normal
open market commercial terms (on an arm’s length basis)” – walaupun dalam catatan penulis, tanpa
penjelasan lebih lanjut dengan apa yang dimaksudkan dengan kalimat tersebut, memberikan
interpretasi yang terlalu luas.
15
Anthony, Robert N. dan Vijay Govindaran. Management Control Systems. New York: McGraw-Hill,
2003. Edisi ke-11. Halaman 757. Faktor lainnya adalah peraturan pemerintah, tarif impor atau ekspor,
kontrol mata uang, akumulasi dana dalam suatu negara tertentu, pembentukan ventura bersama
(joint ventures).
10. www.futurumcorfinan.com
Page 10
follows the approach of treating the members of an MNE group as operating as separate
entities rather than as inseparable parts of a single unified business. Because the separate
entity approach treats the members of an MNE group as if they were independent entities,
attention is focused on the nature of the transactions between those members and on
whether the conditions thereof differ from the conditions that would be obtained in
comparable uncontrolled transactions. Such an analysis of the controlled and
uncontrolled transactions, which is referred to as a “comparability analysis”, is at the
heart of the application of the arm’s length principle.
Jadi untuk mengetahui atau mengidentifikasi kondisi dari suatu transaksi antara
perusahaan-perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa yang tidak dilakukan
berdasarkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha, yang mengakibatkan atau dapat
disimpulkan telah terjadi distorsi atas laba yang diakui dan dilaporkan oleh masing-masing
perusahaan, OECD menjadikan analisis kesebandingan sebagai jangkar dari penerapan
prinsip kewajaran dan kelaziman usaha tersebut.
Hal di atas sejalan dengan pasal 1 no. 7 dari PER-32/PJ/2011 yang mendefinisikan analisis
kesebandingan sebagai:
Analisis yang dilakukan oleh Wajib Pajak atau Direktorat Jenderal Pajak atas kondisi dalam
transaksi yang dilakukan antara Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan
Istimewa untuk diperbandingkan dengan kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara
pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa dan melakukan identifikasi atas
perbedaan kondisi dalam kedua jenis transaksi dimaksud.
Dalam konteksi identifikasi atas perbedaan kondisi tersebut kemudian dikembangkan
berbagai pendekatan dan metode yang dikenal saat ini, mencakup antara lain:
Derajat kesebandingan ditentukan berdasarkan attribut transaksi atau pihak-pihak yang
dapat mempengaruhi harga atau laba dan penyesuaian yang diperlukan untuk perbedaan
yang ada, attribut mana dikenal sebagai lima faktor kesebandingan (lihat PER-
43/PJ/2010 Pasal 5 ayat (1) atau TPG hal. 43-51):
a. Karekteristik barang/harga berwujud dan barang/harta tidak berwujud yang
diperjualberlikan, termasuk jasa;
b. Fungsi masing-masing pihak yang melakukan transaksi;
c. Ketentuan-ketentuan dalam kontrak/perjanjian;
d. Keadaan ekonomi; dan
e. Strategi usaha.
Secara singkat, dapat dikatakan ini merupakan analisa untuk mengidentifikasi perbedaan
atau kesamaan dalam Fungsi, Aset dan Resiko.
11. www.futurumcorfinan.com
Page 11
Analisa data pembanding internal dan eksternal.
Sebagai contoh, dalam konteks penerapan metode perbandingan harga antara pihak
yang tidak mempunyai hubungan istimewa (comparable uncontrolled price/CUP),
perbedaan data pembanding internal dan eksternal diilustrasikan di bawah ini16
.
Ilustrasi di atas terkait dengan penjualan kendaraan mobil antara Perusahaan 1,
produsen kendaraan mobil di negara 1, dan Perusahaan 2, importir kendaraan mobil di
negara 2, yang kemudian menjualnya ke para distributor kendaraan di negara 2.
Perusahaan 1 adalah entitas induk dari Perusahaan 2.
Dalam penerapan metode CUP untuk menentukan harga yang dikenakan untuk
penjualan kendaraan antara Perusahaan 1 dan Perusahaan 2 (yang disebut sebagai
transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa), apakah sudah
16
Working Draft. Chapter 5: Transfer Pricing Methods. Halaman 8. Suatu tulisan yang dibuat oleh
Anggota the UN Tax Committee’s Subcommittee on Practical Transfer Pricing Issues. Diunduh dari
http://www.un.org/esa/ffd/tax/2011_TP/TP_Chapter5_Methods.pdf.
12. www.futurumcorfinan.com
Page 12
berdasarkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha, maka harga penjualan dapat
mengacu ke:
harga penjualan dalam transaksi tanpa hubungan istimewa yang dapat
dibandingkan, antara Perusahaan 1 dengan Pihak yang Tidak Mempunyai Hubungan
Istimewa (yaitu Transaksi #1).
Harga penjualan dalam transaksi tanpa hubungan istimewa yang dapat
dibandingkan, antara Perusahaan 2 dengan Pihak yang Tidak Mempunyai Hubungan
Istimewa (yaitu Transaksi #2).
Harga penjualan dalam transaksi tanpa hubungan istimewa yang dapat
dibandingkan, antara Pihak yang Tidak Mempunyai Hubungan Istimewa A dan B
(yaitu transaksi #3).
Transaksi #1 dan #2 dikenal sebagai Data Pembanding Internal, dan Transaksi #3
sebagai Data Pembanding Eksternal.
Metode penentuan harga transfer yang wajar (TPG bab II: Transfer Pricing Methods, atau
Pasal 11 ayat (2) PER-32/PJ/2011)
Metode Transaksi Tradisional (traditional transactional methods) yang terdiri dari:
Metode Perbandingan Harga antara Pihak yang Tidak Mempunyai Hubungan
Istimewa (Comparable Uncontrolled Price Method/CUP Method)
Metode Harga Penjualan Kembali (Resale Price Method)
Metode Biaya-Plus (Cost Plus Method)
Metode Laba Transaksional (Transactional Profit Methods), yang terdiri dari:
Metode Laba Bersih Transaksional (Transactional Net Margin Method)
Metode Pembagian Laba Transaksional (Transactional Profit Split Method)
Perbedaan kondisi tersebut tentunya tidak selalu terkait dengan penentuan harga, tetapi
apabila dikaitkan dengan dapatnya pihak otoritas pajak “re-write” (menulis kembali) akun-
akun dari perusahaan-perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa tersebut, maka
tentunya perbedaan kondisi yang dibicarakan di atas adalah sejauh hal tersebut memiliki
implikasi terhadap penentuan laba dan hutang pajak yang terkait.
Hal ini terkait secara langsung dengan isu nomor 2, dimana pada akhirnya, dari analisis
kesebandingan tersebut tentunya diharapkan atau memungkinkan pihak otoritas perpajakan
(dan wajib pajak) menentukan jumlah laba yang sudah sewajarnya terjadi berdasarkan
prinsip kewajaran dan kelaziman usaha, karena penyesuaian tersebut akan selalu mengenai
13. www.futurumcorfinan.com
Page 13
“kuantifikasi” dari “re-writing” akun-akun tersebut. Dalam bahasa TPG, besarnya
penyesuaian atas laba dan hutang pajak adalah (paragraf 1.3) sangat tergantung pada
dapat dikenali perbedaan yang ada dan sebesar apa perbedaan kondisi tersebut dalam
kejadian yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa.
OECD member countries consider that an appropriate adjustment is achieved by
establishing the conditions of the commercial and financial relations that they would
expect to find between independent enterprises in comparable transactions under
comparable circumstances.
Penggunaan kata “re-writing” akun-akun perusahaan-perusahaan yang mempunyai
hubungan istimewa dalam TPG mengindikasikan bahwa penyesuaian tidak selalu langsung
terkait dengan laba-rugi, tapi bisa secara tidak langsung. Misalnya, terkait pinjaman dari
entitas induk yang diperlakukan sebagai semacam uang muka setoran modal untuk tujuan
perpajakan, sehingga dengan demikian, pembayaran bunga yang dilakukan oleh entitas
anak ke entitas induk diperlakukan sebagai dividen dan bukan sebagai beban bunga
sebagai pengurang penghasilan bruto dalam penentuan penghasilan kena pajak entitas
anak. Namun, dapat dipertanyakan apakah hal ini termasuk dalam isu transfer pricing. Hal
ini secara khusus disinggung oleh Komentari Artikel 9 OECD Tax Convention paragraf 3
(hal. 181), dimana sebagaimana didiskusikan oleh Committee on Fiscal Affairs’s Report on
Thin Capitalization17
, terdapat kaitan antara Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B)
dengan aturan perpajakan nasional/domestik 18
atas “thin capitalization” yang tentunya
17
“Thin Capitalization” diadopsi oleh the Council of the OECD pada tanggal 26 November 1986 dan
direproduksi dalam Volume II dari versi penuh OECD Tax Convention pada halaman R(4)-1.
“Thin Capitalization” secara umum dapat dipahami merujuk ke struktur permodalan suatu perusahaan
yang dicirikan oleh perbandingan antara komponen hutang dengan ekuitas yang tinggi. OECD juga
menggunakan istilah “hidden equity capitalization” atau “shareholder debt financing” terkait dengan
“thin capitalization” ini (OECD (1987) “Thin Capitalization” (halaman 7) sebagaimana dimuat dalam
OECD (ed.) Issues in International Taxation No. 2. OECD Publications: Paris. Hal. 7-36). Diunduh
dari http://www.oecd.org/dataoecd/42/20/42649592.pdf.
D.H. Pai Panandiker (President of RPG Foundation) menyebutkan bahwa terdapatnya ketentuan
pajak domestik terkait “thin capitalization” adalah untuk mencegah perusahaan-perusahaan dari
penggunaan pinjaman secara berlebih-lebihan guna memperoleh pengurangan atas hutang pajak
mereka [melalui pembebanan bunga]. Dikutip dari http://in.reuters.com/article/2010/06/07/idINIndia-
49097020100607 berjudul Thin Capitalization for Tax Avoidance.
Menarik juga untuk dibaca report Ernst & Young LLP berjudul “Thin Capitalization Regimes in
Selected Countries” yang merupakan suatu report yang dipersiapkan untuk the Advisory Panel on
Canada’s System of International Taxation. Mei 2008. Diunduh dari
http://www.apcsit-gcrcfi.ca/06/rr-re/RR6%20-%20Ernst%20&%20Young%20-%20en%20-
%20final%20-%20090617.pdf
18
Pasal 18 ayat (1) UU PPh menyebutkan bahwa Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan
keputusan mengenai besarnya perbandingan antara utang dan modal perusahaan untuk keperluan
penghitungan pajak berdasarkan Undang-undang ini. Dan dalam penjelasan menyebutkan bahwa:
14. www.futurumcorfinan.com
Page 14
terkait juga dengan Artikel 9 OECD Tax Convention dan transfer pricing. Lebih lanjut
disebutkan dalam OECD Tax Convention (hal. 181):
a) Artikel 9 tidak dimaksudkan untuk menghalangi penerapan aturan perpajakan nasional
atas “thin capitalization” sepanjang dampaknya adalah mengakibatkan laba dari pihak
debitur adalah sejumlah laba yang diakui sesuai dengan laba yang akan terjadi dalam
situasi berdasarkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha.
b) Artikel 9 relevan tidak hanya dalam hal menentukan apakah tingkat suku bunga dalam
suatu perjanjian pinjaman adalah berdasarkan tingkat bunga pasar, namun juga apakah
pokok pinjaman tersebut dapat dianggap sebagai suatu pinjaman (loan) atau
seharusnya diperlakukan sebagai semacam pembayaran/kontribusi modal saham
(contribution to equity capital).
c) Penerapan aturan perpajakan atas “thin capitalization” tidak semata-mata bermaksud
untuk menaikkan penghasilan kena pajak wajib pajak dalam negeri melebihi laba yang
tercipta berdasarkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha, dan prinsip inilah yang
seharusnya digunakan untuk menerapkan ketentuan P3B.
Diskusi atas koreksi/penyesuaian atas laba wajib pajak dan mempertimbangkan bahwa
transaksi yang ada menyangkut transaksi lintas negara, maka ada kemungkinan terjadi
pemajakan ganda (Artikel 9 paragraf 2 OECD Tax Convention (hal. 28)). Sebagai contoh,
PT ABC di Indonesia (dengan posisi penghasilan kena pajak positif) berdasarkan perjanjian
royalti diwajibkan membayar royalti sebesar 5% (dihitung dari jumlah penjualan) ke CDE
Pte. Ltd di Singapura. Dalam pemeriksaan pajak, tarif royalti yang diakui oleh pihak fiskus,
adalah sebesar 1%, sehingga hutang pajak penghasilan badan PT ABC meningkat. Dari
contoh ini, pihak CDE Ptd. Ltd. di Singapura telah melaporkan pendapatannya
……Dalam dunia usaha terdapat tingkat perbandingan tertentu yang wajar mengenai besarnya
perbandingan antara utang dan modal (debt to equity ratio). Apabila perbandingan antara utang dan
modal sangat besar melebihi batas-batas kewajaran, pada umumnya perusahaan tersebut dalam
keadaan tidak sehat. Dalam hal demikian, untuk penghitungan Penghasilan Kena Pajak, Undang-
Undang ini menentukan adanya modal terselubung. Istilah modal di sini menunjuk kepada istilah
atau pengertian ekuitas menurut standar akuntansi, sedangkan yang dimaksud dengan “kewajaran
atau kelaziman usaha” adalah adat kebiasaan atau praktik menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan usaha yang sehat dalam dunia usaha.
Di sini, pihak otoritas perpajakan Indonesia menyakini adanya batas-batas kewajaran dalam rasio
utang terhadap modal, dan apabila suatu rasio di atas batas-batas kewajaran, maka kelebihan
tersebut dianggap sebagai modal terselubung.
Dalam PER-43/PJ/2010 dan PER-32/PJ/2011 tidak ditemukan bagaimana analisis kesebandingan
dilakukan dalam kaitannya untuk menentukan batas-batas kewajaran antara rasio utang terhadap
modal.
Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1002/KMK.04/1984 tanggal 8 Oktober 1984,
angka banding antara utang dan modal adalah sebesar perbandingan 3:1, namun pada tanggal 8
Maret 1985, aturan tersebut dibekukan dengan diterbitkannya Keputusan Menteri Keuangan Nomor
254/KMK.04/1985, dan sampai sekarang belum ada aturan yang diterbitkan lagi terkait perbandingan
utang dan modal tersebut.
15. www.futurumcorfinan.com
Page 15
menggunakan tarif royalti yang diterimanya sebesar 5%, padahal tarif royalti yang diakui
oleh pihak fiskus di Indonesia hanya 1%. Di sini, tampak terjadi pemajakan ganda, karena
secara logika, pihak CDE Ptd. Ltd. dimungkinkan untuk melaporkan revisi atas pendapatan
royaltinya menggunakan tarif 1% dan bukan 5%.
Namun yang menarik dalam paragraf 6 dari Komentari Artikel 9 OECD Tax Convention (hal.
182), disebutkan bahwa:
It should be noted, however, that an adjustment is not automatically to be made in State B
simply because the profits in State A have been increased; the adjustment is due only if
State B considers that the figure of adjusted profits correctly reflects what the profits
would have been if the transactions had been at arm’s length………State B is therefore
committed to make an adjustment of the profits of the affiliated company only if it considers
that the adjustment made in State A is justified both in principle and as regards the amount.
Jadi CDE Pte. Ltd. di Singapura tidak serta merta melakukan koreksi atas pelaporan
pendapatan royaltinya, namun masih perlu melakukan telaah untuk memastikan apakah tarif
royalti 1% yang diakui oleh fiskus PT ABC di Indonesia sudah mencerminkan prinsip
kewajaran dan kelaziman usaha. Kalau hasil telaah menunjukkan bahwa tarif royalti 1%
tidak berdasarkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha, belum tentu CDE Pte. Ltd. perlu
melakukan koreksi atas pelaporan pendapatan royaltinya.
Paragraf 7 Komentari Artikel 9 OECD Tax Convention (hal. 182) mengakui bahwa tidak
terdapat metode yang disebutkan mengenai bagaimana penyesuaian laba perlu dilakukan
oleh CDE Pte. Ltd di Singapura dalam hal tarif royalti 1% (yang diakui oleh pihak fiskus di
Indonesia) akhirnya memang disimpulkan sebagai tarif royalti berdasarkan prinsip
kewajaran dan kelaziman usaha. Para negara anggota OECD menggunakan metode-
metode yang berbeda-beda dan negara-negara yang memiliki P3B diberikan keleluasaan
untuk menyetujuinya secara bilateral terkait aturan khusus yang dapat ditambahkan ke
dalam P3B mereka.
~~~~~~ ####### ~~~~~~