SlideShare a Scribd company logo
1 of 18
Download to read offline
www.futurumcorfinan.com
Page 1
Transfer Pricing: Suatu Pemahaman Awal
Pendahuluan
Permasalahan transfer pricing dalam konteks prinsip kewajaran dan kelaziman usaha, tidak
dapat selalu dikaitkan dengan kejahatan perpajakan (tax fraud) atau penghindaran pajak
(tax avoidance), walaupun bisa ‘dimanfaatkan’ untuk tujuan demikian. Permasalahan
transfer pricing sejatinya berupaya mencermati transaksi yang terjadi antar pihak-pihak yang
mempunyai hubungan istimewa dan berupaya mencari cara untuk mencegah munculnya
distorsi atas pendapatan pajak dari transaksi yang dilakukan pihak-pihak tersebut.
Permasalahan penetapan atau penentuan harga transfer (transfer pricing) awalnya diangkat
di Pasal 9 OECD Model Tax Convention on Income and on Capital tahun 20101
. Dalam
klausul ini, isu transfer pricing dikaitkan langsung dengan transaksi-transaksi yang terjadi
antara pihak-pihak terasosiasi2
.
1
OECD Model Tax Convention on Income and on Capital (Condensed Version), 22 Juli 2010,
halaman 27 dan 28. Dapat diunduh dari
http://www.oecd.org/document/37/0,3746,en_2649_33747_1913957_1_1_1_1,00.html.
2
Transfer Pricing Guidelines menggunakan istilah associated enterprises dan bukan related parties.
Sukarnen
DILARANG MENG-COPY, MENYALIN,
ATAU MENDISTRIBUSIKAN
SEBAGIAN ATAU SELURUH TULISAN
INI TANPA PERSETUJUAN TERTULIS
DARI PENULIS
Untuk pertanyaan atau komentar bisa
diposting melalui website
www.futurumcorfinan.com
www.futurumcorfinan.com
Page 2
Sementara, peraturan perpajakan di Indonesia mengaitkan transfer pricing dengan
transaksi-transaksi yang terjadi antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa dan
transaksi-transaksi tersebut menimbulkan hubungan komersial atau keuangan antara pihak-
pihak terkait. Pasal 1 ayat (8) Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-43/PJ./2010
yang diubah terakhir dengan PER-32/PJ./2011, mendefinisikan penentuan harga transfer
(transfer pricing) sebagai “penentuan harga dalam transaksi antara pihak-pihak yang
mempunyai hubungan istimewa”.
Penjelasan mengenai hubungan istimewa dalam Undang-Undang perpajakan Indonesia,
diatur di dua pasal pada dua Undang-Undang pajak terkait. Pertama, di Pasal 18 ayat (4)
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (UU PPh). Berikut ini petikannya:
“Hubungan istimewa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sampai dengan ayat (3d), Pasal
9 ayat (1) huruf f, dan Pasal 10 ayat (1) dianggap ada apabila:
a. Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling rendah
25% (dua puluh lima persen) pada Wajib Pajak lain; hubungan antara Wajib Pajak
dengan penyertaan paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada dua Wajib Pajak
atau lebih; atau hubungan di antara dua Wajib Pajak atau lebih yang disebut terakhir;
b. Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih Wajib Pajak berada di
bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung; atau
c. Terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan
lurus dan/atau ke samping satu derajat.”
Kedua, Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan
Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Berikut ini petikannya:
“Hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dianggap ada apabila:
a. Dua atau lebih Pengusaha, langsung atau tidak langsung berada di bawah pemilikan
atau penguasaan Pengusaha yang sama, atau
b. Pengusaha yang satu menyertakan modal sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau
lebih dari jumlah modal pada Pengusaha yang lain, atau hubungan antara Pengusaha
yang menyertakan modalnya sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau lebih pada dua
pihak atau lebih, demikian pula hubungan antara dua pihak atau lebih yang disebut
terakhir.”
Bandingkan definisi pihak-pihak berelasi atau pihak mempunyai hubungan istimewa yang
diatur dalam regulasi perpajakan dengan definisi yang diatur dalam PSAK No. 7 (revisi
www.futurumcorfinan.com
Page 3
2010) tentang Pengungkapan Pihak-Pihak Berelasi3
. Pada paragraf 9 dari PSAK No. 7
(revisi 2010) ini pihak-pihak berelasi didefinisikan sebagai:
“Orang atau entitas yang terkait dengan entitas tertentu dalam menyiapkan laporan
keuangannya (dalam pernyataan ini dirujuk sebagai “entitas pelapor”), yaitu:
(a) Orang atau anggota keluarga terdekat terkait entitas pelapor jika orang tersebut:
(i) Memiliki pengendalian atau pengendalian bersama atas entitas pelapor;
(ii) Memiliki pengaruh signifikan terhadap entitas pelapor; atau
(iii) Personal manajemen kunci entitas pelapor atau entitas induk entitas pelapor.
(b) Suatu entitas terkait dengan entitas pelapor jika memenuhi salah satu hal berikut;
(i) Entitas dan entitas pelapor adalah anggota dari kelompok usaha yang sama
(artinya entitas induk, entitas anak dan entitas anak berikutnya terkait dengan
entitas lain).
(ii) Satu entitas adalah entitas asosiasi atau ventura bersama bagi entitas lain (atau
entitas asosiasi atau ventura bersama yang merupakan anggota suatu kelompok
usaha, di mana entitas lain tersebut adalah anggotanya).
(iii) Kedua entitas tersebut adalah ventura bersama dari pihak ketiga yang sama.
(iv) Satu entitas adalah ventura bersama dari entitas ketiga dan entitas yang lain
adalah entitas asosiasi dari entitas ketiga.
(v) Entitas tersebut adalah suatu program imbalan kerja untuk imbalan kerja dari
salah satu entitas pelapor atau entitas yang terkait dengan entitas pelapor. Jika
entitas pelapor adalah entitas yang menyelenggarakan program tersebut, entitas
sponsor juga terkait dengan entitas pelapor.
(vi) Entitas yang dikendalikan atau dikendalikan bersama oleh orang yang
diidentifikasi dalam butir (a).
(vii) Orang yang diidentifikasi dalam butir (a) (i) memiliki pengaruh signifikan terhadap
entitas atau anggota manajemen kunci entitas (atau entitas induk dari entitas).”
Sementara, paragraf 11 PSAK 7 (revisi 2010) menyebutkan bahwa pihak-pihak berikut
bukan sebagai pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa:
a. Dua entitas hanya karena mereka memiliki direktur atau anggota manajemen
kunci yang sama, atau karena anggota dari manajemen kunci dari satu entitas
mempunyai pengaruh signifikan terhadap entitas lain.
b. Dua venturer hanya karena mereka mengendalikan bersama atas ventura bersama.
c. (i) penyandang dana,
(ii) serikat dagang,
3
Isi PSAK No. 7 (revisi 2010) sudah mengadopsi International Accounting Standard 24 (2009):
Related Party Disclosures.
www.futurumcorfinan.com
Page 4
(iii) entitas pelayanan publik, dan
(iv) departemen dan instansi pemerintah yang tidak mengendalikan, mengendalikan
bersama atau memiliki pengaruh signifikan terhadap entitas pelapor, semata-
mata dalam pelaksanaan urusan normal dengan entitas pelapor (meskipun
pihak-pihak tersebut dapat membatasi kebebasan suatu entitas atau ikut serta
dalam proses pengambilan keputusan).
d. Pelanggan, pemasok, pemegang hak waralaba (franchise), distributor, atau
perwakilan/agen umum dengan siapa entitas mengadakan transaksi usaha
dengan volume signifikan, semata-mata karena ketergantungan ekonomis
yang diakibatkan oleh keadaan.
Yang menarik tentunya, apakah pihak-pihak di atas yang dikecualikan dari pihak-pihak yang
mempunyai hubungan istimewa dalam konteks PSAK, dapat pula tidak diakui dalam konteks
pajak?
Hubungan Istimewa dalam Bingkai OECD Tax Convention
Seperti telah disebutkan di atas, transfer pricing adalah transaksi antara pihak-pihak yang
mempunyai hubungan istimewa. Siapakah yang dimaksud dengan pihak-pihak yang
mempunyai hubungan istimewa dalam konteks transfer pricing menurut OECD?
Dalam Pasal 9.1 OECD Tax Convention selengkapnya disebutkan bahwa suatu pihak
disebut mempunyai hubungan istimewa dengan pihak lainnya dalam konteks transfer pricing
apabila:
“Where
a) an enterprise of a Contracting State participates directly or indirectly in the
management, control or capital of an enterprise of the other Contracting State, or
b) the same persons participate directly or indirectly in the management, control or
capital of an enterprise of a Contracting State and an enterprise of the other Contracting
State,”
Pasal 3 ayat (1d) OECD Tax Convention menjelaskan bahwa:
The terms “enterprise of a Contracting State” and “enterprise of the other Contracting State”
mean respectively an enterprise carried on by a resident of a Contracting State and an
enterprise carried on by a resident of the other Contracting State;
Dari bacaan di atas, dapat disimpulkan bahwa hubungan istimewa tersebut dikaitkan
dengan adanya keterlibatan baik langsung atau tidak langsung, suatu perusahaan atau
www.futurumcorfinan.com
Page 5
individual (atau kelompok individual) dalam manajemen, pengendalian atau permodalan
pada pihak lainnya4
, dan pihak-pihak tersebut merupakan penduduk dari negara yang
berbeda. Namun tentunya, yang jadi pertanyaan selanjutnya adalah seberapa jauh atau
seberapa besar derajat keterlibatan suatu pihak dalam manajemen, pengendalian atau
permodalan pada pihak lainnya?
Ayat (1) Bagian Komentari Artikel 9 OECD Tax Convention (hal. 181) menyebutkan bahwa
yang dimaksud dengan pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa tersebut adalah:
 antara perusahaan induk dengan perusahaan anak (parent and subsidiary companies),
dan
 antar pihak-pihak yang berada dalam pengendalian bersama (companies under common
control)5
.
Tentunya, Pasal 9 ayat (1) di atas dari OECD Tax Convention tidak berhenti hanya pada
definisi pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa (associated enterprises), tapi lebih
jauh menyebutkan bahwa:
… and in either case conditions are made or imposed between the two
enterprises in their commercial or financial relations which differ from those
which would be made between independent enterprises, then any profits
which would, but for those conditions, have accrued to one of the enterprises,
4
Kekhususan dari adanya hubungan istimewa tersebut juga diakui dalam PSAK 7 (revisi 2010) terkait
tujuan pengungkapan pihak-pihak berelasi, walaupun hubungan dengan pihak-pihak berelasi
merupakan suatu karakteristik (feature) normal dari perdagangan dan bisnis (paragraf 05). Namun
karena kegiatan bisnis mereka dilaksanakan melalui entitas anak, ventura bersama dan entitas
asosiasi, disimpulkan oleh para akuntan bahwa entitas memiliki kemampuan untuk
mempengaruhi kebijakan keuangan dan operasi investee melalui pengendalian, pengendalian
bersama atau pengaruh signifikan (paragraf 05), di mana suatu hubungan dengan pihak-pihak
berelasi tersebut dapat berpengaruh terhadap laba atau rugi dan posisi keuangan entitas.
Pihak-pihak berelasi dapat menyepakati transaksi di mana pihak-pihak yang tidak berelasi tidak dapat
melakukannya. Misalnya, entitas yang menjual barang kepada entitas induknya pada harga
perolehan, mungkin tidak menjual dengan persyaratan tersebut kepada pelanggan lain. Selain itu,
transaksi antara pihak-pihak berelasi mungkin tidak dilakukan dalam jumlah yang sama, seperti
dengan pihak-pihak yang tidak berelasi (paragraf 06).
5
OECD Tax Convention tidak memberikan definisi atau menjelaskan apa yang dimaksudkan dengan
pihak-pihak dalam pengendalian bersama. Apabila mengacu ke PSAK No. 38 (revisi 2004) tentang
Akuntansi Restrukturisasi Entitas Sepengendali paragraf 06 disebutkan bahwa entitas sepengendali
(under common control) adalah pihak (perorangan, perusahaan, atau bentuk entitas lainnya) yang
secara langsung atau tidak langsung (melalui satu atau lebih perantara), mengendalikan atau
dikendalikan oleh atau berada di bawah pengendalian yang sama. Namun, belum jelas apakah
definisi PSAK No. 38 (revisi 2004) dapat diterima dalam konteks transfer pricing, walaupun bisa jadi
diterapkan terkait dengan Penjelasan Pasal 28 ayat (7) paragraf terakhir UU KUP dimana disebutkan
bahwa:
Dengan demikian, pembukuan harus diselenggarakan dengan cara atau sistem yang lazim dipakai di
Indonesia, misalnya berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan, kecuali peraturan perundang-
undangan perpajakan menentukan lain.
www.futurumcorfinan.com
Page 6
but, by reason of those conditions, have not so accrued, may be included in
the profits of that enterprise and taxed accordingly.
Jadi, dapat ditengarai bahwa karena transaksi-transaksi yang menimbulkan hubungan
komersial atau keuangan terjadi antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa,
maka besar kemungkinan ada kondisi-kondisi yang tidak didapatkan pada transaksi lainnya
kalau transaksi tersebut terjadi antar pihak-pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa.
Jadi, adanya hubungan istimewa tersebut patut diduga akan memengaruhi kondisi-kondisi
yang terkandung dalam transaksi tersebut. Tidak dijelaskan lebih lanjut, apa yang dimaksud
dengan kondisi-kondisi tersebut, namun kalimat dalam paragraf di atas menyiratkan bahwa
kondisi tersebut bagaimanapun ujung-ujungnya akan mempengaruhi laba (profits) yang
dibukukan oleh kedua belah pihak yang bertransaksi, terlepas apakah laba tersebut
dibukukan pada tahun terjadinya transaksi atau pada tahun-tahun berikutnya sesudah
terjadinya transaksi. Yang ditekankan bahwa kondisi tersebut memengaruhi jumlah laba
pada akhirnya (catatan: menurut penulis, tentunya yang dimaksudkan adalah penghasilan
kena pajak), di mana bisa saja pada awalnya ia memengaruhi laba melalui penentuan harga
jual atau nilai penggantian, tingkat bunga yang dibebankan, tarif royalti, dan sebagainya6
.
Bagian komentar atas Artikel 9 menyebutkan bahwa kehadiran Artikel 9 OECD Tax
Convention (hal. 181) adalah terkait dapat dilakukannya, untuk tujuan perpajakan,
penyesuaian atas laba yang telah diakui oleh pihak-pihak yang mempunyai hubungan
istimewa tersebut di mana laba tersebut timbul dari transaksi-transaksi yang terjadi antara
pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa, suatu tingkat laba yang tidak terjadi atau
yang tidak dilakukan berdasarkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (arm’s length
terms)7
.
Namanya laba tentunya timbul dari suatu transaksi, dan transaksi apa-apa saja yang
dicakup dalam paragraf di atas, tentunya tidak bisa terlepas dari isi Bab III “Taxation of
Income” dan Bab IV “Taxation of Capital” dari OECD Tax Convention, yang mencakup
antara lain laba dari properti tidak bergerak (artikel 6), laba usaha (artikel 7), bunga (artikel
11), royalti (artikel 12), laba dari penjualan aset (artikel 13), dan laba dari hubungan kerja
(artikel 15).
6
Lihat ilustrasi dalam “Tricky Tax: Transfer Pricing”, dapat diunduh dari
http://www.taxjustice.net/cms/upload/pdf/Tricky_Tax.pdf.
7
PER-43/PJ/2010 dan perubahannya PER-32/PJ/2011 menggunakan istilah Prinsip Kewajaran dan
Kelaziman Usaha sebagai terjemahan prinsip Arm’s Length.
www.futurumcorfinan.com
Page 7
Ruang Lingkup Pengaturan Transfer Pricing
Pasal 2 ayat (2) Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-43/PJ/20108
, memerinci
transaksi yang dilakukan Wajib Pajak dengan pihak-pihak yang mempunyai hubungan
istimewa, di mana transaksi-transaksi ini dapat mengakibatkan pelaporan jumlah
penghasilan dan pengurangan untuk menghitung besarnya penghasilan kena pajak bagi
Wajib Pajak tidak sesuai dengan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha. Sejumlah
transaksi tersebut antara lain:
a. Penjualan, pengalihan, pembelian atau perolehan barang berwujud maupun barang
tidak berwujud;
b. Sewa, royalti, atau imbalan lain yang timbul akibat penyediaan atau pemanfaatan harta
berwujud maupun harta tidak berwujud;
c. Penghasilan atau pengeluaran sehubungan dengan penyerahan atau pemanfaatan jasa;
d. Alokasi biaya; dan
e. Penyerahan atau perolehan harta dalam bentuk instrumen keuangan, dan penghasilan
atau pengeluaran yang timbul akibat penyerahan atau perolehan harta dalam bentuk
instrumen keuangan dimaksud.
Dalam perkembangan selanjutnya, PER-43/PJ/2010 diubah dengan PER-32/PJ/2011. Di
Pasal 2 ayat (2) PER-32/PJ/2011 justru sudah tidak lagi memberikan rincian transaksi-
transaksi apa saja yang dimaksudkan dalam konteks transfer pricing. Bunyi Pasal 2 ayat (2)
di atas diubah menjadi:
“Dalam hal Wajib Pajak melakukan transaksi dengan pihak-pihak yang mempunyai
Hubungan Istimewa yang merupakan Wajib Pajak Dalam Negeri atau Bentuk Usaha Tetap
di Indonesia, Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini hanya berlaku untuk transaksi yang
dilakukan oleh Wajib Pajak dengan pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa untuk
memanfaatkan perbedaan tarif pajak yang disebabkan antara lain:
a. perlakuan pengenaan Pajak Penghasilan final atau tidak final pada sektor usaha
tertentu;
b. perlakuan pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah; atau
c. transaksi yang dilakukan dengan Wajib Pajak Kontraktor Kontrak Kerja Sama Migas.”
Dirjen Pajak tampaknya hanya melihat pada transaksi-transaksi di mana terdapat motivasi
untuk memanfaatkan perbedaan tarif pajak, sesuatu yang justru tidak disebutkan dalam
8
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-43/PJ/2010 tentang Penerapan Prinsip Kewajaran
dan Kelaziman Usaha dalam Transaksi antara Wajib Pajak dengan Pihak yang Mempunyai
Hubungan Istimewa, tertanggal 6 September 2010
www.futurumcorfinan.com
Page 8
Artikel 9 dari 2010 OECD Tax Convention. Artikel 9 dari OECD Tax Convention justru lebih
menekankan adanya kondisi-kondisi dalam hubungan komersial atau keuangan yang timbul
dari transaksi di mana adanya hubungan istimewa mempengaruhi kondisi-kondisi tersebut,
kondisi-kondisi mana tidak akan ada kalau tidak ada hubungan istimewa tersebut, ini pun
dengan catatan bahwa kondisi-kondisi tersebut mempengaruhi laba dari salah satu atau
kedua belah pihak, yang menjadi objek pemajakan oleh otoritas perpajakan masing-masing
negara. Jadi titik beratnya, apakah transaksi tersebut dilakukan berdasarkan prinsip
kewajaran dan kelaziman usaha, terlepas apakah ada perbedaan tarif pajak atau tidak antar
negara.
OECD justru berpendapat bahwa penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha tidak
hanya digunakan pada transaksi antar pihak yang mempunyai hubungan istimewa, terjadi di
negara dengan tarif pajak yang lebih tinggi atau lebih rendah. Adanya perbedaan tarif pajak
dengan tarif pajak pihak yang mempunyai hubungan istimewa dapat dianggap sebagai
bagian dari penilaian resiko yang akan dilakukan oleh pihak otoritas perpajakan pada saat
memutuskan kasus pajak mana yang akan diperiksa, dan bukan sebagai suatu unsur yang
akan mengakibatkan penerapan berbeda dari prinsip kewajaran dan kelaziman usaha9
. Di
samping itu, konsep transfer pricing sendiri bersifat netral, sehingga dalam penerapannya
juga tentunya bersifat netral10
.
Lebih lanjut, Artikel 9 ayat (2) OECD Tax Convention (hal. 28) menyebutkan bahwa:
Where a Contracting State includes in the profits of an enterprise of that
State—and taxes accordingly—profits on which an enterprise of the other
Contracting State has been charged to tax in that other State and the profits
so included are profits which would have accrued to the enterprise of the first-
mentioned State if the conditions made between the two enterprises had
been those which would have been between independent enterprises,
then that other State shall make an appropriate adjustment to the amount of
the tax charged therein on those profits. In determining such adjustment, due
regard shall be had to the other provisions of this Convention and the
9
OECD. Transfer Pricing and Intangibles: Scope of the OECD Project. 25 Januari 2011.Halaman 5
paragraf 22.
10
Lihat INTM460140 - Transfer Pricing: a Practical Guide to Enquiries - Introduction: What is Transfer
Pricing? Dari http://www.hmrc.gov.uk/manuals/intmanual/intm460140.htm.
Konsep yang sama digunakan untuk mengelaborasi lebih lanjut revisi atas Bab VI TGP “Special
Considerations for Intangible Property” sebagaimana tertuang dalam “Discussion Draft: Revision of
the Special Considerations for Intangibles in Chapter VI of the OECD Transfer Pricing Guidelines and
Related Provisions” terbitan OECD pada pertengahan tahun 2012. Dapat diunduh dari
www.oecd.org/dataoecd/39/61/50526258.pdf.
www.futurumcorfinan.com
Page 9
competent authorities of the Contracting States shall if necessary consult
each other.
Dalam konteks Artikel 9 ayat (2) di atas inilah diperlukan metodologi bagaimana melakukan
identifikasi dan menyimpulkan bahwa transaksi-transaksi antara pihak-pihak yang
mempunyai hubungan istimewa (yang umum dikenal sebagai “controlled transactions”) tidak
dilakukan berdasarkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha, dan kalau memang telah
terjadi transaksi demikian, maka bagaimana melakukan penyesuaian atas laba yang timbul
dari transaksi tersebut.
Dari paragraf di atas, dapat diketahui bahwa untuk menentukan suatu transaksi dilakukan
berdasarkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha atau tidak, maka prinsip Arm’s Length
menjadi krusial. Dengan kata lain, prinsip Arm’s Length menjadi jangkar (anchor) dari
keseluruhan isu transfer pricing. Bab 1 TPG khusus didedikasikan untuk pembahasan
prinsip Arm’s Length, suatu standar transfer pricing internasional yang memperoleh
persetujuan dari negara-negara anggota OECD untuk dipergunakan untuk tujuan
perpajakan oleh perusahaan-perusahaan multinasional dan aparatur perpajakan (paragraf
1.1 TPG)11
.
Transfer Pricing = Tax Fraud?
Apabila dibaca kembali Artikel 9 dari OECD Tax Convention, maka dapat dikatakan bahwa
permasalahan transfer pricing dalam konteks prinsip kewajaran dan kelaziman usaha, tidak
dapat selalu dikaitkan dengan kejahatan perpajakan (tax fraud) atau penghindaran pajak
(tax avoidance)12
, walaupun memang bisa saja kebijakan transfer pricing ‘dimanfaatkan’
untuk tujuan demikian. Menurut penulis, juga tidak tepat, apabila kebijakan transfer pricing
hanya dikaitkan dengan pemanfaatan perbedaan tarif, sebagaimana disebutkan dalam
Pasal 2 ayat (2) PER-32/PJ/2011.
Isu transfer pricing hanya terkait kalau kondisi-kondisi tersebut dalam transaksi antara pihak-
pihak yang mempunyai hubungan istimewa tidak mencerminkan kekuatan pasar (dan
dengan demikian tidak sesuai dengan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha). TITIK.
11
Pembaca yang tertarik mengenai prinsip arm’s length dan penerapannya dapat membaca lebih
lanjut “Transfer Pricing and Other Provisions to Check Avoidance of Tax” terbitan The Institute of
Chartered Accountants of India.
Dapat diunduh dari http://220.227.161.86/18892sm_dtl_finalnew_cp16.pdf.
12
Pembaca yang berminat dapat membaca tulisan Eric J. Bartelsman dan Roel M. W.J. Beetsma.Why
Pay More? Corporate Tax Avoidance through Transfer Pricing in OECD Countries. Desember 2001.
Dapat diunduh dari http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=258937.
Di samping itu, di website Bloomberg dan The Guardian dapat ditemukan cerita-cerita bagaimana
perusahaan-perusahaan multinasional berhasil dalam meminimumkan pajak dalam negara-negara di
mana mereka melakukan kegiatan usaha.
www.futurumcorfinan.com
Page 10
Terlepas apapun motivasinya, dan apakah objek yang dibicarakan sesuai atau sejalan
dengan pemahaman akuntan, penilai, dan lain-lain.
TPG mengambil pemahaman bahwa apabila transfer pricing tidak mencerminkan kekuatan
pasar (dan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha), maka utang pajak dari perusahaan-
perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa tersebut dan pendapatan pajak dari
negara-negara tuan rumah perusahaan-perusahaan tersebut akan dapat terdistorsi. Oleh
karena itulah, untuk tujuan perpajakan, laba dari perusahaan-perusahaan yang mempunyai
hubungan istimewa tersebut dapat disesuaikan guna mengoreksi distorsi apapun dan
memastikan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha dapat dipenuhi (paragraf 1.3 TPG). Di
sini, pihak otoritas perpajakan dimungkinkan untuk melakukan koreksi, atau dalam
Komentari Artikel 9 dari OECD Tax Convention (hal. 181 dan 182), menggunakan kata “re-
writing of the accounts of associated enterprises” (terjemahan lepas: menulis kembali akun-
akun dari perusahaan-perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa). Dengan kata lain,
penyesuaian atau “re-writing” tersebut tidak diperbolehkan kalau transaksi-transaksi antara
perusahaan-perusahaan tersebut telah terjadi berdasarkan prinsip kewajaran dan kelaziman
usaha13
.
Distorsi yang dimaksud di atas tentunya datang dari berbagai faktor, mengingat level
operasional suatu perusahaan multinasional adalah sedemikian kompleks, sehingga
pertimbangan pajak hanya akan menjadi salah satu faktor di dalamnya14
.
TPG paragraf 1.4 mengakui adanya faktor-faktor di luar pertimbangan pajak yang mungkin
saja memberikan kontribusi [signifikan] terhadap timbulnya distorsi tersebut, faktor regulasi
pemerintah terkait penentuan nilai ekspor-impor (customs valuations), bea anti-dumping,
dan bahkan kontrol atas mata uang dan harga, maupun yang bersifat non-pemerintah, yaitu
yang datang dari kebutuhan arus kas setiap perusahaan yang tergabung dalam suatu
kelompok usaha multinasional, yang tentunya beroperasi di berbagai negara, termasuk juga
kalau perusahaan tersebut merupakan perusahaan publik yang tentunya dituntut
menunjukkan kinerja laba yang tinggi. Namun tampaknya, TPG tidak membedakan dari
mana datangnya distorsi tersebut dan dampaknya terhadap kondisi dalam hubungan
komersial atau keuangan untuk transaksi yang terjadi antar pihak-pihak yang mempunyai
hubungan istimewa. Yang penting, sudah terjadi distorsi yang mempengaruhi transfer
13
Komentari Artikel 9 paragraf 1 OECD Tax Convention (hal. 181) menggunakan kalimat “normal
open market commercial terms (on an arm’s length basis)” –walaupun dalam catatan penulis, tanpa
penjelasan lebih lanjut dengan apa yang dimaksudkan dengan kalimat tersebut, memberikan
interpretasi yang terlalu luas.
14
Anthony, Robert N. dan Vijay Govindaran. Management Control Systems. New York: McGraw-Hill,
2003. Edisi ke-11. Hal. 757. Faktor lainnya adalah peraturan pemerintah, tarif impor atau ekspor,
kontrol mata uang, akumulasi dana dalam suatu negara tertentu, pembentukan ventura bersama
(joint ventures).
www.futurumcorfinan.com
Page 11
pricing dan ujung-ujungnya memengaruhi (baca: mendistorsi) laba dari perusahaan-
perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa tersebut.
Berarti di sini ada 2 (dua) isu yang dapat dibicarakan:
1. Bagaimana mengetahui atau mengidentifikasi kondisi dari suatu transaksi antara
perusahaan-perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa yang tidak dilakukan
berdasarkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha, yang mengakibatkan atau dapat
disimpulkan telah terjadi distorsi atas laba yang diakui dan dilaporkan oleh masing-
masing perusahaan?
2. Bagaimana penyesuaian [atas laba yang terdistorsi tersebut] selayaknya dilakukan?
Paragraf 1.6 dari TPG berusaha menjawab pertanyaan pertama di atas.
By seeking to adjust profits by reference to the conditions which would have
obtained between independent enterprises in comparable transactions and
comparable circumstances (i.e. in “comparable uncontrolled transactions”),
the arm’s length principle follows the approach of treating the members of an
MNE group as operating as separate entities rather than as inseparable parts
of a single unified business. Because the separate entity approach treats the
members of an MNE group as if they were independent entities, attention is
focused on the nature of the transactions between those members and on
whether the conditions thereof differ from the conditions that would be
obtained in comparable uncontrolled transactions. Such an analysis of the
controlled and uncontrolled transactions, which is referred to as a
“comparability analysis”, is at the heart of the application of the arm’s
length principle.
Jadi, untuk mengetahui atau mengidentifikasi kondisi dari suatu transaksi antara
perusahaan-perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa yang tidak dilakukan
berdasarkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha, yang mengakibatkan atau dapat
disimpulkan telah terjadi distorsi atas laba yang diakui dan dilaporkan oleh masing-masing
perusahaan, OECD menjadikan analisis kesebandingan sebagai jangkar dari penerapan
prinsip kewajaran dan kelaziman usaha tersebut.
Hal di atas sejalan dengan Pasal 1 nomor 7 dari PER-32/PJ/2011 yang mendefinisikan
analisis kesebandingan sebagai:
Analisis yang dilakukan oleh Wajib Pajak atau Direktorat Jenderal Pajak atas kondisi dalam
transaksi yang dilakukan antara Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan
Istimewa untuk diperbandingkan dengan kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara
pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa dan melakukan identifikasi atas
www.futurumcorfinan.com
Page 12
perbedaan kondisi dalam kedua jenis transaksi dimaksud.
Dalam konteks identifikasi atas perbedaan kondisi tersebut kemudian dikembangkan
berbagai pendekatan dan metode yang dikenal saat ini, mencakup antara lain:
 Derajat kesebandingan ditentukan berdasarkan atribut transaksi atau pihak-pihak yang
dapat mempengaruhi harga atau laba dan penyesuaian yang diperlukan untuk perbedaan
yang ada. Atribut ini dikenal sebagai lima faktor kesebandingan (lihat PER-43/PJ/2010
Pasal 5 ayat (1) atau TPG hal. 43-51):
a. Karekteristik barang/harga berwujud dan barang/harta tidak berwujud yang
diperjualbelikan, termasuk jasa;
b. Fungsi masing-masing pihak yang melakukan transaksi;
c. Ketentuan-ketentuan dalam kontrak/perjanjian;
d. Keadaan ekonomi; dan
e. Strategi usaha.
Secara singkat, dapat dikatakan ini merupakan analisa untuk mengidentifikasi perbedaan
atau kesamaan dalam Fungsi, Aset dan Resiko.
 Analisa data pembanding internal dan eksternal.
Sebagai contoh, dalam konteks penerapan metode perbandingan harga antara pihak
yang tidak mempunyai hubungan istimewa (comparable uncontrolled price/CUP),
perbedaan data pembanding internal dan eksternal diilustrasikan di box 115
.
15
Working Draft. Chapter 5: Transfer Pricing Methods. Hal. 8. Suatu tulisan yang dibuat oleh Anggota
the UN Tax Committee’s Subcommittee on Practical Transfer Pricing Issues. Diunduh dari
http://www.un.org/esa/ffd/tax/2011_TP/TP_Chapter5_Methods.pdf.
www.futurumcorfinan.com
Page 13
Ilustrasi di box 1 terkait dengan penjualan kendaraan mobil antara Perusahaan 1,
produsen kendaraan mobil di negara 1, dan Perusahaan 2, importir kendaraan mobil di
negara 2, yang kemudian menjualnya ke para distributor kendaraan di negara 2.
Perusahaan 1 adalah entitas induk dari Perusahaan 2.
Dalam penerapan metode CUP untuk menguji apakah harga yang dikenakan untuk
penjualan kendaraan antara Perusahaan 1 dan Perusahaan 2 (yang disebut sebagai
transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa) sudah berdasarkan
prinsip kewajaran dan kelaziman usaha atau belum, maka harga penjualan tersebut
dapat mengacu pada:
 Harga penjualan dalam transaksi tanpa hubungan istimewa yang dapat
dibandingkan, antara Perusahaan 1 dengan Pihak yang Tidak Mempunyai Hubungan
Istimewa (yaitu Transaksi #1);
 Harga penjualan dalam transaksi tanpa hubungan istimewa yang dapat
dibandingkan, antara Perusahaan 2 dengan Pihak yang Tidak Mempunyai Hubungan
Istimewa (yaitu Transaksi #2);
 Harga penjualan dalam transaksi tanpa hubungan istimewa yang dapat
dibandingkan, antara Pihak yang Tidak Mempunyai Hubungan Istimewa A dan B
(yaitu transaksi #3).
Transaksi #1 dan #2 dikenal sebagai Data Pembanding Internal, dan Transaksi #3
sebagai Data Pembanding Eksternal.
 Metode penentuan harga transfer yang wajar (TPG bab II: Transfer Pricing Methods, atau
Pasal 11 ayat (2) PER-32/PJ/2011)
Metode Transaksi Tradisional (traditional transactional methods) yang terdiri dari:
 Metode Perbandingan Harga antara Pihak yang Tidak Mempunyai Hubungan
Istimewa (Comparable Uncontrolled Price Method/CUP Method);
 Metode Harga Penjualan Kembali (Resale Price Method);
 Metode Biaya-Plus (Cost Plus Method).
Metode Laba Transaksional (Transactional Profit Methods), yang terdiri dari:
 Metode Laba Bersih Transaksional (Transactional Net Margin Method);
 Metode Pembagian Laba Transaksional (Transactional Profit Split Method).
www.futurumcorfinan.com
Page 14
Perbedaan kondisi tersebut tentunya tidak selalu terkait dengan penentuan harga, tetapi
apabila dikaitkan dengan dapatnya pihak otoritas pajak “re-write” (menulis kembali) akun-
akun dari perusahaan-perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa tersebut, maka
tentunya perbedaan kondisi yang dibicarakan di atas adalah sejauh hal tersebut memiliki
implikasi terhadap penentuan laba dan utang pajak yang terkait.
Hal ini terkait secara langsung dengan isu nomor 2, di mana pada akhirnya, dari analisis
kesebandingan tersebut tentunya diharapkan atau memungkinkan pihak otoritas perpajakan
(dan Wajib Pajak) menentukan jumlah laba yang sudah sewajarnya terjadi berdasarkan
prinsip kewajaran dan kelaziman usaha, karena penyesuaian tersebut akan selalu mengenai
“kuantifikasi” dari “re-writing” akun-akun tersebut. Dalam bahasa TPG, besarnya
penyesuaian atas laba dan utang pajak adalah (paragraf 1.3) sangat tergantung pada dapat
dikenali perbedaan yang ada dan sebesar apa perbedaan kondisi tersebut dalam kejadian
yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa.
OECD member countries consider that an appropriate adjustment is achieved by
establishing the conditions of the commercial and financial relations that they would
expect to find between independent enterprises in comparable transactions under
comparable circumstances.
Penggunaan kata “re-writing” akun-akun perusahaan-perusahaan yang mempunyai
hubungan istimewa dalam TPG mengindikasikan bahwa penyesuaian tidak selalu langsung
terkait dengan laba-rugi, tapi bisa secara tidak langsung. Misalnya, terkait pinjaman dari
entitas induk yang diperlakukan sebagai semacam uang muka setoran modal untuk tujuan
perpajakan, sehingga dengan demikian, pembayaran bunga yang dilakukan oleh entitas
anak ke entitas induk diperlakukan sebagai dividen dan bukan sebagai beban bunga
sebagai pengurang penghasilan bruto dalam penentuan penghasilan kena pajak entitas
anak.
Namun, dapat dipertanyakan apakah hal ini termasuk dalam isu transfer pricing? Hal ini
secara khusus disinggung oleh Komentari Artikel 9 OECD Tax Convention paragraf 3 (hal.
181), di mana sebagaimana didiskusikan oleh Committee on Fiscal Affairs’s Report on Thin
Capitalization16
, terdapat kaitan antara Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B)
16
“Thin Capitalization” diadopsi oleh the Council of the OECD pada tanggal 26 November 1986 dan
direproduksi dalam Volume II dari versi penuh OECD Tax Convention pada halaman R(4)-1.
“Thin Capitalization ”secara umum dapat dipahami merujuk ke struktur permodalan suatu perusahaan
yang dicirikan oleh perbandingan antara komponen utang dengan ekuitas yang tinggi. OECD juga
menggunakan istilah “hidden equity capitalization” atau “shareholder debt financing” terkait dengan
“thin capitalization” ini (OECD (1987) “Thin Capitalization” (hal. 7) sebagaimana dimuat dalam OECD
(ed.) Issues in International Taxation No. 2. OECD Publications: Paris. Hal. 7-36. Diunduh dari
http://www.oecd.org/dataoecd/42/20/42649592.pdf.
www.futurumcorfinan.com
Page 15
dengan aturan perpajakan nasional/domestik17
atas “thin capitalization” yang tentunya terkait
juga dengan Artikel 9 OECD Tax Convention dan transfer pricing. Lebih lanjut disebutkan
dalam OECD Tax Convention (hal. 181):
a) Artikel 9 tidak dimaksudkan untuk menghalangi penerapan aturan perpajakan nasional
atas “thin capitalization” sepanjang dampaknya adalah mengakibatkan laba dari pihak
debitur adalah sejumlah laba yang diakui sesuai dengan laba yang akan terjadi dalam
situasi berdasarkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha.
b) Artikel 9 relevan tidak hanya dalam hal menentukan apakah tingkat suku bunga dalam
suatu perjanjian pinjaman adalah berdasarkan tingkat bunga pasar, namun juga apakah
pokok pinjaman tersebut dapat dianggap sebagai suatu pinjaman (loan) atau
seharusnya diperlakukan sebagai semacam pembayaran/kontribusi modal saham
(contribution to equity capital).
D.H. Pai Panandiker (President of RPG Foundation) menyebutkan bahwa terdapatnya ketentuan
pajak domestik terkait “thin capitalization” adalah untuk mencegah perusahaan-perusahaan dari
penggunaan pinjaman secara berlebih-lebihan guna memperoleh pengurangan atas hutang pajak
mereka [melalui pembebanan bunga]. Dikutip dari http://in.reuters.com/article/2010/06/07/idINIndia-
49097020100607 berjudul Thin Capitalization for Tax Avoidance.
Menarik juga untuk dibaca report Ernst & Young LLP berjudul “Thin Capitalization Regimes in
Selected Countries “yang merupakan suatu report yang dipersiapkan untuk the Advisory Panel on
Canada’s System of International Taxation. Mei 2008. Diunduh dari
http://www.apcsit-gcrcfi.ca/06/rr-re/RR6%20-%20Ernst%20&%20Young%20-%20en%20-
%20final%20-%20090617.pdf.
17
Pasal 18 ayat (1) UU PPh menyebutkan bahwa Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan
keputusan mengenai besarnya perbandingan antara utang dan modal perusahaan untuk keperluan
penghitungan pajak berdasarkan Undang-Undang ini. Dalam penjelasan disebutkan bahwa,
“…Dalam dunia usaha terdapat tingkat perbandingan tertentu yang wajar mengenai besarnya
perbandingan antara utang dan modal (debt to equity ratio). Apabila perbandingan antara utang dan
modal sangat besar melebihi batas-batas kewajaran, pada umumnya perusahaan tersebut dalam
keadaan tidak sehat. Dalam hal demikian, untuk penghitungan Penghasilan Kena Pajak, Undang-
Undang ini menentukan adanya modal terselubung. Istilah modal di sini menunjuk kepada istilah
atau pengertian ekuitas menurut standar akuntansi, sedangkan yang dimaksud dengan “kewajaran
atau kelaziman usaha” adalah adat kebiasaan atau praktik menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan usaha yang sehat dalam dunia usaha.”
Di sini, pihak otoritas perpajakan Indonesia meyakini adanya batas-batas kewajaran dalam rasio
utang terhadap modal, dan apabila suatu rasio di atas batas-batas kewajaran, maka kelebihan
tersebut dianggap sebagai modal terselubung.
Dalam PER-43/PJ/2010 dan PER-32/PJ/2011 tidak ditemukan bagaimana analisis kesebandingan
dilakukan dalam kaitannya untuk menentukan batas-batas kewajaran antara rasio utang terhadap
modal.
Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 1002/KMK.04/1984 tanggal 8 Oktober 1984,
angka banding antara utang dan modal adalah sebesar perbandingan 3:1, namun pada tanggal 8
Maret 1985, aturan tersebut dibekukan dengan diterbitkannya Keputusan Menteri Keuangan Nomor:
254/KMK.04/1985, dan sampai sekarang belum ada aturan yang diterbitkan lagi terkait perbandingan
utang dan modal tersebut.
www.futurumcorfinan.com
Page 16
c) Penerapan aturan perpajakan atas “thin capitalization” tidak semata-mata bermaksud
untuk menaikkan penghasilan kena pajak Wajib Pajak dalam negeri melebihi laba yang
tercipta berdasarkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha, dan prinsip inilah yang
seharusnya digunakan untuk menerapkan ketentuan P3B.
Diskusi atas koreksi/penyesuaian atas laba Wajib Pajak dan mempertimbangkan bahwa
transaksi yang ada menyangkut transaksi lintas negara, maka ada kemungkinan terjadi
pemajakan ganda (Artikel 9 paragraf 2 OECD Tax Convention (hal. 28)). Sebagai contoh,
PT ABC di Indonesia (dengan posisi penghasilan kena pajak positif) berdasarkan perjanjian
royalti diwajibkan membayar royalti sebesar 5% (dihitung dari jumlah penjualan) ke CDE
Pte. Ltd di Singapura. Dalam pemeriksaan pajak, tarif royalti yang diakui oleh pihak fiskus,
adalah sebesar 1%, sehingga utang PPh badan PT ABC meningkat.
Dari contoh ini, pihak CDE Pte. Ltd. di Singapura telah melaporkan pendapatannya
menggunakan tarif royalti yang diterimanya sebesar 5%, padahal tarif royalti yang diakui
oleh pihak fiskus di Indonesia hanya 1%. Di sini, tampak terjadi pemajakan ganda, karena
secara logika, pihak CDE Pte. Ltd. dimungkinkan untuk melaporkan revisi atas pendapatan
royaltinya dengan menggunakan tarif 1% dan bukan 5%.
Namun yang menarik dalam paragraf 6 dari Komentari Artikel 9 OECD Tax Convention (hal.
182), disebutkan bahwa:It should be noted, however, that an adjustment is not automatically
to be made in State B simply because the profits in State A have been increased; the
adjustment is due only if State B considers that the figure of adjusted profits correctly
reflects what the profits would have been if the transactionshad been at arm’s
length………State B is therefore committed to make an adjustment of the profits of the
affiliated company only if it considers that the adjustment made in State A is justified both in
principle and as regards the amount.
Jadi, CDE Pte. Ltd. di Singapura tidak serta merta melakukan koreksi atas pelaporan
pendapatan royaltinya, namun masih perlu melakukan telaah untuk memastikan apakah tarif
royalti 1% yang diakui oleh fiskus PT ABC di Indonesia sudah mencerminkan prinsip
kewajaran dan kelaziman usaha. Kalau hasil telaah menunjukkan bahwa tarif royalti 1%
tidak berdasarkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha, belum tentu CDE Pte. Ltd. perlu
melakukan koreksi atas pelaporan pendapatan royaltinya.
Paragraf 7 Komentari Artikel 9 OECD Tax Convention (hal. 182) mengakui bahwa tidak
terdapat metode yang disebutkan mengenai bagaimana penyesuaian laba perlu dilakukan
oleh CDE Pte. Ltd di Singapura dalam hal tarif royalti 1% (yang diakui oleh pihak fiskus di
Indonesia) akhirnya memang disimpulkan sebagai tarif royalti berdasarkan prinsip kewajaran
dan kelaziman usaha. Para negara anggota OECD menggunakan metode-metode yang
www.futurumcorfinan.com
Page 17
berbeda-beda dan negara-negara yang memiliki P3B diberikan keleluasaan untuk
menyetujuinya secara bilateral terkait aturan khusus yang dapat ditambahkan ke dalam P3B
mereka.
~~~~~~ ####### ~~~~~~
www.futurumcorfinan.com
Page 18
Disclaimer
This material was produced by and the opinions expressed are those of FUTURUM as of the date of
writing and are subject to change. The information and analysis contained in this publication have
been compiled or arrived at from sources believed to be reliable but FUTURUM does not make any
representation as to their accuracy or completeness and does not accept liability for any loss arising
from the use hereof. This material has been prepared for general informational purposes only and is
not intended to be relied upon as accounting, tax, or other professional advice. Please refer to your
advisors for specific advice.
This document may not be reproduced either in whole, or in part, without the written permission of the
authors and FUTURUM. For any questions or comments, please post it at www.futurumcorfinan.com
© FUTURUM. All Rights Reserved

More Related Content

What's hot

Kunci jawaban bab 8 teori akuntansi suwardjono
Kunci jawaban bab 8 teori akuntansi suwardjonoKunci jawaban bab 8 teori akuntansi suwardjono
Kunci jawaban bab 8 teori akuntansi suwardjonoHerna Ferari
 
PPN dan PPnBM
PPN dan PPnBMPPN dan PPnBM
PPN dan PPnBMIcha Icha
 
Konsep materialitas dan penerapan materialitas terhadap proses audit
Konsep materialitas dan penerapan materialitas terhadap proses auditKonsep materialitas dan penerapan materialitas terhadap proses audit
Konsep materialitas dan penerapan materialitas terhadap proses auditDian Rahmah
 
Akuntansi positif dan akuntansi normatif
Akuntansi positif dan akuntansi normatifAkuntansi positif dan akuntansi normatif
Akuntansi positif dan akuntansi normatifneeaem
 
Aplikasi teori pada regulasi akuntansi
Aplikasi teori pada regulasi akuntansiAplikasi teori pada regulasi akuntansi
Aplikasi teori pada regulasi akuntansiNadia Amelia
 
Kuliah 2 3 siklus pendapatan 1
Kuliah 2 3 siklus pendapatan 1Kuliah 2 3 siklus pendapatan 1
Kuliah 2 3 siklus pendapatan 1Rose Meea
 
Akuntansi sewa full
Akuntansi sewa fullAkuntansi sewa full
Akuntansi sewa fullshandyaa
 
Makalah akuntansi keuangan lanjutan i (konsinyasi) kel. 4
Makalah akuntansi keuangan lanjutan i (konsinyasi) kel. 4Makalah akuntansi keuangan lanjutan i (konsinyasi) kel. 4
Makalah akuntansi keuangan lanjutan i (konsinyasi) kel. 4Jiantari Marthen
 
Kunci jawaban bab 10 teori akuntansi suwardjono
Kunci jawaban bab 10 teori akuntansi suwardjonoKunci jawaban bab 10 teori akuntansi suwardjono
Kunci jawaban bab 10 teori akuntansi suwardjonoHerna Ferari
 
Tugas perbankan bab 15
Tugas perbankan bab 15Tugas perbankan bab 15
Tugas perbankan bab 15Mega Sucia
 
Undang-undang Pajak Penghasilan
Undang-undang Pajak PenghasilanUndang-undang Pajak Penghasilan
Undang-undang Pajak PenghasilanDudi Wahyudi
 
Konsep hutang dan ekuitas
Konsep hutang dan ekuitasKonsep hutang dan ekuitas
Konsep hutang dan ekuitasRose Meea
 
Psak 22 (revisi 2010) - bab 3 goodwill
Psak 22 (revisi 2010) - bab 3 goodwillPsak 22 (revisi 2010) - bab 3 goodwill
Psak 22 (revisi 2010) - bab 3 goodwillFuturum2
 
Akuntansi persekutuan
Akuntansi persekutuanAkuntansi persekutuan
Akuntansi persekutuandewantar
 
Quiz 6 pengendalian internal dan evaluasinya
Quiz 6   pengendalian internal dan evaluasinyaQuiz 6   pengendalian internal dan evaluasinya
Quiz 6 pengendalian internal dan evaluasinyaHutria Angelina Mamentu
 
Rangkuman Materi Akuntansi Keuangan Menengah Kas dan Piutang (Cash and Receiv...
Rangkuman Materi Akuntansi Keuangan Menengah Kas dan Piutang (Cash and Receiv...Rangkuman Materi Akuntansi Keuangan Menengah Kas dan Piutang (Cash and Receiv...
Rangkuman Materi Akuntansi Keuangan Menengah Kas dan Piutang (Cash and Receiv...Muhammad Rafi Kambara
 
Pembentukan keseimbangan ekonomi makro juga melibatkan konsep permintaan agre...
Pembentukan keseimbangan ekonomi makro juga melibatkan konsep permintaan agre...Pembentukan keseimbangan ekonomi makro juga melibatkan konsep permintaan agre...
Pembentukan keseimbangan ekonomi makro juga melibatkan konsep permintaan agre...turah11
 

What's hot (20)

Kunci jawaban bab 8 teori akuntansi suwardjono
Kunci jawaban bab 8 teori akuntansi suwardjonoKunci jawaban bab 8 teori akuntansi suwardjono
Kunci jawaban bab 8 teori akuntansi suwardjono
 
PPN dan PPnBM
PPN dan PPnBMPPN dan PPnBM
PPN dan PPnBM
 
Imbalan kerja
Imbalan kerjaImbalan kerja
Imbalan kerja
 
Konsep materialitas dan penerapan materialitas terhadap proses audit
Konsep materialitas dan penerapan materialitas terhadap proses auditKonsep materialitas dan penerapan materialitas terhadap proses audit
Konsep materialitas dan penerapan materialitas terhadap proses audit
 
Regulation of financial accounting
Regulation of financial accountingRegulation of financial accounting
Regulation of financial accounting
 
Akuntansi positif dan akuntansi normatif
Akuntansi positif dan akuntansi normatifAkuntansi positif dan akuntansi normatif
Akuntansi positif dan akuntansi normatif
 
Aplikasi teori pada regulasi akuntansi
Aplikasi teori pada regulasi akuntansiAplikasi teori pada regulasi akuntansi
Aplikasi teori pada regulasi akuntansi
 
Kuliah 2 3 siklus pendapatan 1
Kuliah 2 3 siklus pendapatan 1Kuliah 2 3 siklus pendapatan 1
Kuliah 2 3 siklus pendapatan 1
 
Akuntansi sewa full
Akuntansi sewa fullAkuntansi sewa full
Akuntansi sewa full
 
Makalah akuntansi keuangan lanjutan i (konsinyasi) kel. 4
Makalah akuntansi keuangan lanjutan i (konsinyasi) kel. 4Makalah akuntansi keuangan lanjutan i (konsinyasi) kel. 4
Makalah akuntansi keuangan lanjutan i (konsinyasi) kel. 4
 
Kunci jawaban bab 10 teori akuntansi suwardjono
Kunci jawaban bab 10 teori akuntansi suwardjonoKunci jawaban bab 10 teori akuntansi suwardjono
Kunci jawaban bab 10 teori akuntansi suwardjono
 
Tugas perbankan bab 15
Tugas perbankan bab 15Tugas perbankan bab 15
Tugas perbankan bab 15
 
Undang-undang Pajak Penghasilan
Undang-undang Pajak PenghasilanUndang-undang Pajak Penghasilan
Undang-undang Pajak Penghasilan
 
Anggaran publik
Anggaran publikAnggaran publik
Anggaran publik
 
Konsep hutang dan ekuitas
Konsep hutang dan ekuitasKonsep hutang dan ekuitas
Konsep hutang dan ekuitas
 
Psak 22 (revisi 2010) - bab 3 goodwill
Psak 22 (revisi 2010) - bab 3 goodwillPsak 22 (revisi 2010) - bab 3 goodwill
Psak 22 (revisi 2010) - bab 3 goodwill
 
Akuntansi persekutuan
Akuntansi persekutuanAkuntansi persekutuan
Akuntansi persekutuan
 
Quiz 6 pengendalian internal dan evaluasinya
Quiz 6   pengendalian internal dan evaluasinyaQuiz 6   pengendalian internal dan evaluasinya
Quiz 6 pengendalian internal dan evaluasinya
 
Rangkuman Materi Akuntansi Keuangan Menengah Kas dan Piutang (Cash and Receiv...
Rangkuman Materi Akuntansi Keuangan Menengah Kas dan Piutang (Cash and Receiv...Rangkuman Materi Akuntansi Keuangan Menengah Kas dan Piutang (Cash and Receiv...
Rangkuman Materi Akuntansi Keuangan Menengah Kas dan Piutang (Cash and Receiv...
 
Pembentukan keseimbangan ekonomi makro juga melibatkan konsep permintaan agre...
Pembentukan keseimbangan ekonomi makro juga melibatkan konsep permintaan agre...Pembentukan keseimbangan ekonomi makro juga melibatkan konsep permintaan agre...
Pembentukan keseimbangan ekonomi makro juga melibatkan konsep permintaan agre...
 

Viewers also liked

Transfer pricing suatu pemahaman awal (short version)
Transfer pricing suatu pemahaman awal (short version)Transfer pricing suatu pemahaman awal (short version)
Transfer pricing suatu pemahaman awal (short version)Futurum2
 
Transfer pricing - harta aset tak berwujud
Transfer pricing - harta aset tak berwujudTransfer pricing - harta aset tak berwujud
Transfer pricing - harta aset tak berwujudFuturum2
 
Penentuan tarif yang wajar dalam transfer pricing
Penentuan tarif yang wajar dalam transfer pricingPenentuan tarif yang wajar dalam transfer pricing
Penentuan tarif yang wajar dalam transfer pricingFuturum2
 
25 % rule - masih relevankankah dalam penentuan royalti
25 % rule - masih relevankankah dalam penentuan royalti25 % rule - masih relevankankah dalam penentuan royalti
25 % rule - masih relevankankah dalam penentuan royaltiFuturum2
 
Riski mahadi//Tugas makala//penentuan harga transfer
Riski mahadi//Tugas makala//penentuan harga transferRiski mahadi//Tugas makala//penentuan harga transfer
Riski mahadi//Tugas makala//penentuan harga transferRiskiMahadi
 
Penentuan harga transfer
Penentuan harga transferPenentuan harga transfer
Penentuan harga transfervitalfrans
 
Makalah SPM (Harga Transfer)
Makalah SPM (Harga Transfer)Makalah SPM (Harga Transfer)
Makalah SPM (Harga Transfer)Abdul Haris
 
Pasar Bisnis dan Perilaku Pembelian Bisnis - Bab 6 Prinsip-prinsip Pemasaran ...
Pasar Bisnis dan Perilaku Pembelian Bisnis - Bab 6 Prinsip-prinsip Pemasaran ...Pasar Bisnis dan Perilaku Pembelian Bisnis - Bab 6 Prinsip-prinsip Pemasaran ...
Pasar Bisnis dan Perilaku Pembelian Bisnis - Bab 6 Prinsip-prinsip Pemasaran ...Mirza Syah
 
PPN Objek & hubungan istimewa
PPN Objek & hubungan istimewaPPN Objek & hubungan istimewa
PPN Objek & hubungan istimewakaromah95
 

Viewers also liked (10)

Transfer pricing suatu pemahaman awal (short version)
Transfer pricing suatu pemahaman awal (short version)Transfer pricing suatu pemahaman awal (short version)
Transfer pricing suatu pemahaman awal (short version)
 
Transfer pricing - harta aset tak berwujud
Transfer pricing - harta aset tak berwujudTransfer pricing - harta aset tak berwujud
Transfer pricing - harta aset tak berwujud
 
Penentuan tarif yang wajar dalam transfer pricing
Penentuan tarif yang wajar dalam transfer pricingPenentuan tarif yang wajar dalam transfer pricing
Penentuan tarif yang wajar dalam transfer pricing
 
25 % rule - masih relevankankah dalam penentuan royalti
25 % rule - masih relevankankah dalam penentuan royalti25 % rule - masih relevankankah dalam penentuan royalti
25 % rule - masih relevankankah dalam penentuan royalti
 
Riski mahadi//Tugas makala//penentuan harga transfer
Riski mahadi//Tugas makala//penentuan harga transferRiski mahadi//Tugas makala//penentuan harga transfer
Riski mahadi//Tugas makala//penentuan harga transfer
 
Harga transfer
Harga transferHarga transfer
Harga transfer
 
Penentuan harga transfer
Penentuan harga transferPenentuan harga transfer
Penentuan harga transfer
 
Makalah SPM (Harga Transfer)
Makalah SPM (Harga Transfer)Makalah SPM (Harga Transfer)
Makalah SPM (Harga Transfer)
 
Pasar Bisnis dan Perilaku Pembelian Bisnis - Bab 6 Prinsip-prinsip Pemasaran ...
Pasar Bisnis dan Perilaku Pembelian Bisnis - Bab 6 Prinsip-prinsip Pemasaran ...Pasar Bisnis dan Perilaku Pembelian Bisnis - Bab 6 Prinsip-prinsip Pemasaran ...
Pasar Bisnis dan Perilaku Pembelian Bisnis - Bab 6 Prinsip-prinsip Pemasaran ...
 
PPN Objek & hubungan istimewa
PPN Objek & hubungan istimewaPPN Objek & hubungan istimewa
PPN Objek & hubungan istimewa
 

Similar to Transfer pricing suatu pemahaman awal

Pengertian nilai dalam laporan akuntan dan penilai dalam sengketa perpajakan
Pengertian nilai dalam laporan akuntan dan penilai dalam sengketa perpajakanPengertian nilai dalam laporan akuntan dan penilai dalam sengketa perpajakan
Pengertian nilai dalam laporan akuntan dan penilai dalam sengketa perpajakanFuturum2
 
Metode dcf dalam penilaian aktiva tak berwujud untuk tujuan transfer pricing ...
Metode dcf dalam penilaian aktiva tak berwujud untuk tujuan transfer pricing ...Metode dcf dalam penilaian aktiva tak berwujud untuk tujuan transfer pricing ...
Metode dcf dalam penilaian aktiva tak berwujud untuk tujuan transfer pricing ...Futurum2
 
3, be gg, alex arifiansyah, hapzi ali, ethics and consumer protection, univer...
3, be gg, alex arifiansyah, hapzi ali, ethics and consumer protection, univer...3, be gg, alex arifiansyah, hapzi ali, ethics and consumer protection, univer...
3, be gg, alex arifiansyah, hapzi ali, ethics and consumer protection, univer...lexipel
 
Pengertian nilai dalam laporan akuntan dan penilai dalam sengketa perpajakan ...
Pengertian nilai dalam laporan akuntan dan penilai dalam sengketa perpajakan ...Pengertian nilai dalam laporan akuntan dan penilai dalam sengketa perpajakan ...
Pengertian nilai dalam laporan akuntan dan penilai dalam sengketa perpajakan ...Futurum2
 
Perkembangan terbaru dalam psak
Perkembangan terbaru dalam psakPerkembangan terbaru dalam psak
Perkembangan terbaru dalam psakAnthea Melinda
 
theory of the firm : MANAGERIAL BEHAVIOR, AGENCY COST & OWNERSHIP STRUCTURE
theory of the firm : MANAGERIAL BEHAVIOR, AGENCY COST & OWNERSHIP STRUCTUREtheory of the firm : MANAGERIAL BEHAVIOR, AGENCY COST & OWNERSHIP STRUCTURE
theory of the firm : MANAGERIAL BEHAVIOR, AGENCY COST & OWNERSHIP STRUCTURE DGT
 
Mengenal pengaturan bersama (joint arrangement)
Mengenal pengaturan bersama (joint arrangement)Mengenal pengaturan bersama (joint arrangement)
Mengenal pengaturan bersama (joint arrangement)Futurum2
 
Capital Structure Policy / Abshor Marantika / Mahendra Dicky Setyawan / 3-4
Capital Structure Policy / Abshor Marantika / Mahendra Dicky Setyawan / 3-4Capital Structure Policy / Abshor Marantika / Mahendra Dicky Setyawan / 3-4
Capital Structure Policy / Abshor Marantika / Mahendra Dicky Setyawan / 3-4MahendraDicky
 
Psak 12 bagian-partisipasi-dalam-ventura-bersama
Psak 12 bagian-partisipasi-dalam-ventura-bersamaPsak 12 bagian-partisipasi-dalam-ventura-bersama
Psak 12 bagian-partisipasi-dalam-ventura-bersamaSri Apriyanti Husain
 
Capital Structure Policy/abshor.marantika/Juniar Tifanni B. Sinurat/3-03
Capital Structure Policy/abshor.marantika/Juniar Tifanni B. Sinurat/3-03Capital Structure Policy/abshor.marantika/Juniar Tifanni B. Sinurat/3-03
Capital Structure Policy/abshor.marantika/Juniar Tifanni B. Sinurat/3-03AuroraSiahaan
 
Makalah pajak internasional
Makalah pajak internasionalMakalah pajak internasional
Makalah pajak internasionalebethha
 
Teori akuntansi positif
Teori akuntansi positifTeori akuntansi positif
Teori akuntansi positifAditya Rizky
 
akuntansi pajak atas piutang
akuntansi pajak atas piutangakuntansi pajak atas piutang
akuntansi pajak atas piutangrisfanpratama
 
Sukma dewi oktavianti Artikel Mata Kuliah Aplikasi Perpajakan tentang PPN
Sukma dewi oktavianti Artikel Mata Kuliah Aplikasi Perpajakan tentang PPNSukma dewi oktavianti Artikel Mata Kuliah Aplikasi Perpajakan tentang PPN
Sukma dewi oktavianti Artikel Mata Kuliah Aplikasi Perpajakan tentang PPNSukmaDewi13
 
Skripsi muhammad ramlan analisis kesulitan keuangan (financial distress) peru...
Skripsi muhammad ramlan analisis kesulitan keuangan (financial distress) peru...Skripsi muhammad ramlan analisis kesulitan keuangan (financial distress) peru...
Skripsi muhammad ramlan analisis kesulitan keuangan (financial distress) peru...Muhammad Ramlan
 
Isu penentuan tarif royalti dalam transfer pricing (mentahan untuk dimuat di ...
Isu penentuan tarif royalti dalam transfer pricing (mentahan untuk dimuat di ...Isu penentuan tarif royalti dalam transfer pricing (mentahan untuk dimuat di ...
Isu penentuan tarif royalti dalam transfer pricing (mentahan untuk dimuat di ...Futurum2
 

Similar to Transfer pricing suatu pemahaman awal (20)

Pengertian nilai dalam laporan akuntan dan penilai dalam sengketa perpajakan
Pengertian nilai dalam laporan akuntan dan penilai dalam sengketa perpajakanPengertian nilai dalam laporan akuntan dan penilai dalam sengketa perpajakan
Pengertian nilai dalam laporan akuntan dan penilai dalam sengketa perpajakan
 
Metode dcf dalam penilaian aktiva tak berwujud untuk tujuan transfer pricing ...
Metode dcf dalam penilaian aktiva tak berwujud untuk tujuan transfer pricing ...Metode dcf dalam penilaian aktiva tak berwujud untuk tujuan transfer pricing ...
Metode dcf dalam penilaian aktiva tak berwujud untuk tujuan transfer pricing ...
 
Makalah Pajak Berganda
Makalah Pajak BergandaMakalah Pajak Berganda
Makalah Pajak Berganda
 
3, be gg, alex arifiansyah, hapzi ali, ethics and consumer protection, univer...
3, be gg, alex arifiansyah, hapzi ali, ethics and consumer protection, univer...3, be gg, alex arifiansyah, hapzi ali, ethics and consumer protection, univer...
3, be gg, alex arifiansyah, hapzi ali, ethics and consumer protection, univer...
 
Pengertian nilai dalam laporan akuntan dan penilai dalam sengketa perpajakan ...
Pengertian nilai dalam laporan akuntan dan penilai dalam sengketa perpajakan ...Pengertian nilai dalam laporan akuntan dan penilai dalam sengketa perpajakan ...
Pengertian nilai dalam laporan akuntan dan penilai dalam sengketa perpajakan ...
 
Perkembangan terbaru dalam psak
Perkembangan terbaru dalam psakPerkembangan terbaru dalam psak
Perkembangan terbaru dalam psak
 
theory of the firm : MANAGERIAL BEHAVIOR, AGENCY COST & OWNERSHIP STRUCTURE
theory of the firm : MANAGERIAL BEHAVIOR, AGENCY COST & OWNERSHIP STRUCTUREtheory of the firm : MANAGERIAL BEHAVIOR, AGENCY COST & OWNERSHIP STRUCTURE
theory of the firm : MANAGERIAL BEHAVIOR, AGENCY COST & OWNERSHIP STRUCTURE
 
Mengenal pengaturan bersama (joint arrangement)
Mengenal pengaturan bersama (joint arrangement)Mengenal pengaturan bersama (joint arrangement)
Mengenal pengaturan bersama (joint arrangement)
 
43142 metopel b
43142 metopel b43142 metopel b
43142 metopel b
 
Capital Structure Policy / Abshor Marantika / Mahendra Dicky Setyawan / 3-4
Capital Structure Policy / Abshor Marantika / Mahendra Dicky Setyawan / 3-4Capital Structure Policy / Abshor Marantika / Mahendra Dicky Setyawan / 3-4
Capital Structure Policy / Abshor Marantika / Mahendra Dicky Setyawan / 3-4
 
Psak 12 bagian-partisipasi-dalam-ventura-bersama
Psak 12 bagian-partisipasi-dalam-ventura-bersamaPsak 12 bagian-partisipasi-dalam-ventura-bersama
Psak 12 bagian-partisipasi-dalam-ventura-bersama
 
Capital Structure Policy/abshor.marantika/Juniar Tifanni B. Sinurat/3-03
Capital Structure Policy/abshor.marantika/Juniar Tifanni B. Sinurat/3-03Capital Structure Policy/abshor.marantika/Juniar Tifanni B. Sinurat/3-03
Capital Structure Policy/abshor.marantika/Juniar Tifanni B. Sinurat/3-03
 
ipn.pptx
ipn.pptxipn.pptx
ipn.pptx
 
Makalah pajak internasional
Makalah pajak internasionalMakalah pajak internasional
Makalah pajak internasional
 
Teori akuntansi positif
Teori akuntansi positifTeori akuntansi positif
Teori akuntansi positif
 
akuntansi pajak atas piutang
akuntansi pajak atas piutangakuntansi pajak atas piutang
akuntansi pajak atas piutang
 
Sukma dewi oktavianti Artikel Mata Kuliah Aplikasi Perpajakan tentang PPN
Sukma dewi oktavianti Artikel Mata Kuliah Aplikasi Perpajakan tentang PPNSukma dewi oktavianti Artikel Mata Kuliah Aplikasi Perpajakan tentang PPN
Sukma dewi oktavianti Artikel Mata Kuliah Aplikasi Perpajakan tentang PPN
 
Skripsi muhammad ramlan analisis kesulitan keuangan (financial distress) peru...
Skripsi muhammad ramlan analisis kesulitan keuangan (financial distress) peru...Skripsi muhammad ramlan analisis kesulitan keuangan (financial distress) peru...
Skripsi muhammad ramlan analisis kesulitan keuangan (financial distress) peru...
 
Isu penentuan tarif royalti dalam transfer pricing (mentahan untuk dimuat di ...
Isu penentuan tarif royalti dalam transfer pricing (mentahan untuk dimuat di ...Isu penentuan tarif royalti dalam transfer pricing (mentahan untuk dimuat di ...
Isu penentuan tarif royalti dalam transfer pricing (mentahan untuk dimuat di ...
 
Piutang pajak
Piutang pajakPiutang pajak
Piutang pajak
 

More from Futurum2

Usse average internal rate of return (airr), don't use internal rate of retur...
Usse average internal rate of return (airr), don't use internal rate of retur...Usse average internal rate of return (airr), don't use internal rate of retur...
Usse average internal rate of return (airr), don't use internal rate of retur...Futurum2
 
Are P/E Ratios a Poor Measure of Value? Valuation LinkedIn Discussion
Are P/E Ratios a Poor Measure of Value? Valuation LinkedIn DiscussionAre P/E Ratios a Poor Measure of Value? Valuation LinkedIn Discussion
Are P/E Ratios a Poor Measure of Value? Valuation LinkedIn DiscussionFuturum2
 
NPV or IRR? (3) CFO Network LinkedIn Discussion
NPV or IRR? (3) CFO Network LinkedIn DiscussionNPV or IRR? (3) CFO Network LinkedIn Discussion
NPV or IRR? (3) CFO Network LinkedIn DiscussionFuturum2
 
Catatan kecil atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 191/PMK.010/2015 tentang ...
Catatan kecil atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 191/PMK.010/2015 tentang ...Catatan kecil atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 191/PMK.010/2015 tentang ...
Catatan kecil atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 191/PMK.010/2015 tentang ...Futurum2
 
Use average internal rate of return (airr), don't use internal rate of return...
Use average internal rate of return (airr), don't use internal rate of return...Use average internal rate of return (airr), don't use internal rate of return...
Use average internal rate of return (airr), don't use internal rate of return...Futurum2
 
A quick comment on pablo fernandez' article capm an absurd model draft
A quick comment on pablo fernandez' article capm an absurd model draftA quick comment on pablo fernandez' article capm an absurd model draft
A quick comment on pablo fernandez' article capm an absurd model draftFuturum2
 
Menggunakan informasi arus kas dan nilai kini dalam pengukuran akuntansi
Menggunakan informasi arus kas dan nilai kini dalam pengukuran akuntansiMenggunakan informasi arus kas dan nilai kini dalam pengukuran akuntansi
Menggunakan informasi arus kas dan nilai kini dalam pengukuran akuntansiFuturum2
 
Summing up about growing and non growing perpetuities wacc levered and tax sa...
Summing up about growing and non growing perpetuities wacc levered and tax sa...Summing up about growing and non growing perpetuities wacc levered and tax sa...
Summing up about growing and non growing perpetuities wacc levered and tax sa...Futurum2
 
Ignacio Velez-Pareja : From the Slide Rule to the Black Berry
Ignacio Velez-Pareja : From the Slide Rule to the Black BerryIgnacio Velez-Pareja : From the Slide Rule to the Black Berry
Ignacio Velez-Pareja : From the Slide Rule to the Black BerryFuturum2
 
REIT “rasa indonesia” kontrak investasi kolektif dana investasi real estat
REIT “rasa indonesia”  kontrak investasi kolektif dana investasi real estatREIT “rasa indonesia”  kontrak investasi kolektif dana investasi real estat
REIT “rasa indonesia” kontrak investasi kolektif dana investasi real estatFuturum2
 
Proyek remodel refresh di sektor ritel kapitalisasi vs dibiayakan psak ias 1...
Proyek remodel refresh di sektor ritel  kapitalisasi vs dibiayakan psak ias 1...Proyek remodel refresh di sektor ritel  kapitalisasi vs dibiayakan psak ias 1...
Proyek remodel refresh di sektor ritel kapitalisasi vs dibiayakan psak ias 1...Futurum2
 
Surplus revaluasi atau penilaian kembali aset tetap
Surplus revaluasi atau penilaian kembali aset tetapSurplus revaluasi atau penilaian kembali aset tetap
Surplus revaluasi atau penilaian kembali aset tetapFuturum2
 
Perpetuity and growing pepetuity formula derivation
Perpetuity and growing pepetuity formula derivationPerpetuity and growing pepetuity formula derivation
Perpetuity and growing pepetuity formula derivationFuturum2
 
Pentingnya melakukan normalisasi dalam pengerjaan proyeksi dan valuasi - bagi...
Pentingnya melakukan normalisasi dalam pengerjaan proyeksi dan valuasi - bagi...Pentingnya melakukan normalisasi dalam pengerjaan proyeksi dan valuasi - bagi...
Pentingnya melakukan normalisasi dalam pengerjaan proyeksi dan valuasi - bagi...Futurum2
 
15 minute lesson formula derivation - reconciling price-to- earnings (pe rati...
15 minute lesson formula derivation - reconciling price-to- earnings (pe rati...15 minute lesson formula derivation - reconciling price-to- earnings (pe rati...
15 minute lesson formula derivation - reconciling price-to- earnings (pe rati...Futurum2
 
15-minute lesson- watch out the formula that you use for roa (return on assets)
15-minute lesson- watch out the formula that you use for roa (return on assets)15-minute lesson- watch out the formula that you use for roa (return on assets)
15-minute lesson- watch out the formula that you use for roa (return on assets)Futurum2
 
Akuisisi aset atau akuisisi bisnis asc topic 805
Akuisisi aset atau akuisisi bisnis asc topic 805Akuisisi aset atau akuisisi bisnis asc topic 805
Akuisisi aset atau akuisisi bisnis asc topic 805Futurum2
 
Pentingnya melakukan normalisasi dalam pengerjaan proyeksi dan valuasi - bagi...
Pentingnya melakukan normalisasi dalam pengerjaan proyeksi dan valuasi - bagi...Pentingnya melakukan normalisasi dalam pengerjaan proyeksi dan valuasi - bagi...
Pentingnya melakukan normalisasi dalam pengerjaan proyeksi dan valuasi - bagi...Futurum2
 
Hutang dagang dengan fasilitas anjak piutang
Hutang dagang dengan fasilitas anjak piutangHutang dagang dengan fasilitas anjak piutang
Hutang dagang dengan fasilitas anjak piutangFuturum2
 
Apakah perhitungan biaya kapital rata rata tertimbang (wacc) dalam capital bu...
Apakah perhitungan biaya kapital rata rata tertimbang (wacc) dalam capital bu...Apakah perhitungan biaya kapital rata rata tertimbang (wacc) dalam capital bu...
Apakah perhitungan biaya kapital rata rata tertimbang (wacc) dalam capital bu...Futurum2
 

More from Futurum2 (20)

Usse average internal rate of return (airr), don't use internal rate of retur...
Usse average internal rate of return (airr), don't use internal rate of retur...Usse average internal rate of return (airr), don't use internal rate of retur...
Usse average internal rate of return (airr), don't use internal rate of retur...
 
Are P/E Ratios a Poor Measure of Value? Valuation LinkedIn Discussion
Are P/E Ratios a Poor Measure of Value? Valuation LinkedIn DiscussionAre P/E Ratios a Poor Measure of Value? Valuation LinkedIn Discussion
Are P/E Ratios a Poor Measure of Value? Valuation LinkedIn Discussion
 
NPV or IRR? (3) CFO Network LinkedIn Discussion
NPV or IRR? (3) CFO Network LinkedIn DiscussionNPV or IRR? (3) CFO Network LinkedIn Discussion
NPV or IRR? (3) CFO Network LinkedIn Discussion
 
Catatan kecil atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 191/PMK.010/2015 tentang ...
Catatan kecil atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 191/PMK.010/2015 tentang ...Catatan kecil atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 191/PMK.010/2015 tentang ...
Catatan kecil atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 191/PMK.010/2015 tentang ...
 
Use average internal rate of return (airr), don't use internal rate of return...
Use average internal rate of return (airr), don't use internal rate of return...Use average internal rate of return (airr), don't use internal rate of return...
Use average internal rate of return (airr), don't use internal rate of return...
 
A quick comment on pablo fernandez' article capm an absurd model draft
A quick comment on pablo fernandez' article capm an absurd model draftA quick comment on pablo fernandez' article capm an absurd model draft
A quick comment on pablo fernandez' article capm an absurd model draft
 
Menggunakan informasi arus kas dan nilai kini dalam pengukuran akuntansi
Menggunakan informasi arus kas dan nilai kini dalam pengukuran akuntansiMenggunakan informasi arus kas dan nilai kini dalam pengukuran akuntansi
Menggunakan informasi arus kas dan nilai kini dalam pengukuran akuntansi
 
Summing up about growing and non growing perpetuities wacc levered and tax sa...
Summing up about growing and non growing perpetuities wacc levered and tax sa...Summing up about growing and non growing perpetuities wacc levered and tax sa...
Summing up about growing and non growing perpetuities wacc levered and tax sa...
 
Ignacio Velez-Pareja : From the Slide Rule to the Black Berry
Ignacio Velez-Pareja : From the Slide Rule to the Black BerryIgnacio Velez-Pareja : From the Slide Rule to the Black Berry
Ignacio Velez-Pareja : From the Slide Rule to the Black Berry
 
REIT “rasa indonesia” kontrak investasi kolektif dana investasi real estat
REIT “rasa indonesia”  kontrak investasi kolektif dana investasi real estatREIT “rasa indonesia”  kontrak investasi kolektif dana investasi real estat
REIT “rasa indonesia” kontrak investasi kolektif dana investasi real estat
 
Proyek remodel refresh di sektor ritel kapitalisasi vs dibiayakan psak ias 1...
Proyek remodel refresh di sektor ritel  kapitalisasi vs dibiayakan psak ias 1...Proyek remodel refresh di sektor ritel  kapitalisasi vs dibiayakan psak ias 1...
Proyek remodel refresh di sektor ritel kapitalisasi vs dibiayakan psak ias 1...
 
Surplus revaluasi atau penilaian kembali aset tetap
Surplus revaluasi atau penilaian kembali aset tetapSurplus revaluasi atau penilaian kembali aset tetap
Surplus revaluasi atau penilaian kembali aset tetap
 
Perpetuity and growing pepetuity formula derivation
Perpetuity and growing pepetuity formula derivationPerpetuity and growing pepetuity formula derivation
Perpetuity and growing pepetuity formula derivation
 
Pentingnya melakukan normalisasi dalam pengerjaan proyeksi dan valuasi - bagi...
Pentingnya melakukan normalisasi dalam pengerjaan proyeksi dan valuasi - bagi...Pentingnya melakukan normalisasi dalam pengerjaan proyeksi dan valuasi - bagi...
Pentingnya melakukan normalisasi dalam pengerjaan proyeksi dan valuasi - bagi...
 
15 minute lesson formula derivation - reconciling price-to- earnings (pe rati...
15 minute lesson formula derivation - reconciling price-to- earnings (pe rati...15 minute lesson formula derivation - reconciling price-to- earnings (pe rati...
15 minute lesson formula derivation - reconciling price-to- earnings (pe rati...
 
15-minute lesson- watch out the formula that you use for roa (return on assets)
15-minute lesson- watch out the formula that you use for roa (return on assets)15-minute lesson- watch out the formula that you use for roa (return on assets)
15-minute lesson- watch out the formula that you use for roa (return on assets)
 
Akuisisi aset atau akuisisi bisnis asc topic 805
Akuisisi aset atau akuisisi bisnis asc topic 805Akuisisi aset atau akuisisi bisnis asc topic 805
Akuisisi aset atau akuisisi bisnis asc topic 805
 
Pentingnya melakukan normalisasi dalam pengerjaan proyeksi dan valuasi - bagi...
Pentingnya melakukan normalisasi dalam pengerjaan proyeksi dan valuasi - bagi...Pentingnya melakukan normalisasi dalam pengerjaan proyeksi dan valuasi - bagi...
Pentingnya melakukan normalisasi dalam pengerjaan proyeksi dan valuasi - bagi...
 
Hutang dagang dengan fasilitas anjak piutang
Hutang dagang dengan fasilitas anjak piutangHutang dagang dengan fasilitas anjak piutang
Hutang dagang dengan fasilitas anjak piutang
 
Apakah perhitungan biaya kapital rata rata tertimbang (wacc) dalam capital bu...
Apakah perhitungan biaya kapital rata rata tertimbang (wacc) dalam capital bu...Apakah perhitungan biaya kapital rata rata tertimbang (wacc) dalam capital bu...
Apakah perhitungan biaya kapital rata rata tertimbang (wacc) dalam capital bu...
 

Recently uploaded

Bab 14 - Perhitungan Bagi Hasilsyariah.ppt
Bab 14 - Perhitungan Bagi Hasilsyariah.pptBab 14 - Perhitungan Bagi Hasilsyariah.ppt
Bab 14 - Perhitungan Bagi Hasilsyariah.pptatiakirana1
 
Slide Pengisian SPT Tahunan 2015 - OP 1770 Pembukuan.ppt
Slide Pengisian SPT Tahunan 2015 - OP 1770 Pembukuan.pptSlide Pengisian SPT Tahunan 2015 - OP 1770 Pembukuan.ppt
Slide Pengisian SPT Tahunan 2015 - OP 1770 Pembukuan.pptwxmnxfm57w
 
ANALISIS SENSITIVITAS SIMPLEKS BESERTA PERUBAHAN KONTRIBUSI.pptx
ANALISIS SENSITIVITAS SIMPLEKS BESERTA PERUBAHAN KONTRIBUSI.pptxANALISIS SENSITIVITAS SIMPLEKS BESERTA PERUBAHAN KONTRIBUSI.pptx
ANALISIS SENSITIVITAS SIMPLEKS BESERTA PERUBAHAN KONTRIBUSI.pptxUNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BERAU
 
KELOMPOK 17-PEREKONOMIAN INDO moneter dan fiskal
KELOMPOK 17-PEREKONOMIAN INDO moneter dan fiskalKELOMPOK 17-PEREKONOMIAN INDO moneter dan fiskal
KELOMPOK 17-PEREKONOMIAN INDO moneter dan fiskalAthoillahEconomi
 
Keseimbangan perekonomian tigas termasuk peran pemerintah
Keseimbangan perekonomian tigas termasuk peran pemerintahKeseimbangan perekonomian tigas termasuk peran pemerintah
Keseimbangan perekonomian tigas termasuk peran pemerintahUNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BERAU
 
Ekonomi Makro Pertemuan 4 - Tingkat pengangguran: Jumlah orang yang menganggu...
Ekonomi Makro Pertemuan 4 - Tingkat pengangguran: Jumlah orang yang menganggu...Ekonomi Makro Pertemuan 4 - Tingkat pengangguran: Jumlah orang yang menganggu...
Ekonomi Makro Pertemuan 4 - Tingkat pengangguran: Jumlah orang yang menganggu...ChairaniManasye1
 
Materi Mata Kuliah Pengantar Ekonomi Makro I
Materi Mata Kuliah Pengantar Ekonomi Makro IMateri Mata Kuliah Pengantar Ekonomi Makro I
Materi Mata Kuliah Pengantar Ekonomi Makro IIkaAliciaSasanti
 
Modal Kerja manajemen keuangan modal kerja.ppt
Modal Kerja manajemen keuangan modal kerja.pptModal Kerja manajemen keuangan modal kerja.ppt
Modal Kerja manajemen keuangan modal kerja.pptFrida Adnantara
 
Presentasi Tentang Asuransi Pada Lembaga Keuangan
Presentasi Tentang Asuransi Pada Lembaga KeuanganPresentasi Tentang Asuransi Pada Lembaga Keuangan
Presentasi Tentang Asuransi Pada Lembaga Keuanganzulfikar425966
 
PPT KELOMPOK 4 ORGANISASI DARI KOPERASI.pptx
PPT KELOMPOK 4 ORGANISASI DARI KOPERASI.pptxPPT KELOMPOK 4 ORGANISASI DARI KOPERASI.pptx
PPT KELOMPOK 4 ORGANISASI DARI KOPERASI.pptxZefanya9
 
Cryptocurrency dalam Perspektif Ekonomi Syariah.pptx
Cryptocurrency dalam Perspektif Ekonomi Syariah.pptxCryptocurrency dalam Perspektif Ekonomi Syariah.pptx
Cryptocurrency dalam Perspektif Ekonomi Syariah.pptxumusilmi2019
 
Presentasi Leasing Pada Lembaga Keuangan Non Bank
Presentasi Leasing Pada Lembaga Keuangan Non BankPresentasi Leasing Pada Lembaga Keuangan Non Bank
Presentasi Leasing Pada Lembaga Keuangan Non Bankzulfikar425966
 
MENYELESAIKAN PENGUJIAN DALAM SIKLUS PEROLEHAN DAN PEMBAYARAN KAS VERIFIKASI ...
MENYELESAIKAN PENGUJIAN DALAM SIKLUS PEROLEHAN DAN PEMBAYARAN KAS VERIFIKASI ...MENYELESAIKAN PENGUJIAN DALAM SIKLUS PEROLEHAN DAN PEMBAYARAN KAS VERIFIKASI ...
MENYELESAIKAN PENGUJIAN DALAM SIKLUS PEROLEHAN DAN PEMBAYARAN KAS VERIFIKASI ...OknaRyana1
 
Ukuran Letak Data kuartil dan beberapa pembagian lainnya
Ukuran Letak Data  kuartil  dan  beberapa pembagian  lainnyaUkuran Letak Data  kuartil  dan  beberapa pembagian  lainnya
Ukuran Letak Data kuartil dan beberapa pembagian lainnyaIndhasari3
 
PERAN KARYAWAN DALAM PENGEMBANGAN KARIR.pptx
PERAN KARYAWAN DALAM PENGEMBANGAN KARIR.pptxPERAN KARYAWAN DALAM PENGEMBANGAN KARIR.pptx
PERAN KARYAWAN DALAM PENGEMBANGAN KARIR.pptxHakamNiazi
 
Bab 13 Pemodelan Ekonometrika: Spesifikasi Model
Bab 13 Pemodelan Ekonometrika: Spesifikasi ModelBab 13 Pemodelan Ekonometrika: Spesifikasi Model
Bab 13 Pemodelan Ekonometrika: Spesifikasi ModelAdhiliaMegaC1
 
KESEIMBANGAN PEREKONOMIAN DUA SEKTOR.pdf
KESEIMBANGAN PEREKONOMIAN DUA SEKTOR.pdfKESEIMBANGAN PEREKONOMIAN DUA SEKTOR.pdf
KESEIMBANGAN PEREKONOMIAN DUA SEKTOR.pdfNizeAckerman
 

Recently uploaded (17)

Bab 14 - Perhitungan Bagi Hasilsyariah.ppt
Bab 14 - Perhitungan Bagi Hasilsyariah.pptBab 14 - Perhitungan Bagi Hasilsyariah.ppt
Bab 14 - Perhitungan Bagi Hasilsyariah.ppt
 
Slide Pengisian SPT Tahunan 2015 - OP 1770 Pembukuan.ppt
Slide Pengisian SPT Tahunan 2015 - OP 1770 Pembukuan.pptSlide Pengisian SPT Tahunan 2015 - OP 1770 Pembukuan.ppt
Slide Pengisian SPT Tahunan 2015 - OP 1770 Pembukuan.ppt
 
ANALISIS SENSITIVITAS SIMPLEKS BESERTA PERUBAHAN KONTRIBUSI.pptx
ANALISIS SENSITIVITAS SIMPLEKS BESERTA PERUBAHAN KONTRIBUSI.pptxANALISIS SENSITIVITAS SIMPLEKS BESERTA PERUBAHAN KONTRIBUSI.pptx
ANALISIS SENSITIVITAS SIMPLEKS BESERTA PERUBAHAN KONTRIBUSI.pptx
 
KELOMPOK 17-PEREKONOMIAN INDO moneter dan fiskal
KELOMPOK 17-PEREKONOMIAN INDO moneter dan fiskalKELOMPOK 17-PEREKONOMIAN INDO moneter dan fiskal
KELOMPOK 17-PEREKONOMIAN INDO moneter dan fiskal
 
Keseimbangan perekonomian tigas termasuk peran pemerintah
Keseimbangan perekonomian tigas termasuk peran pemerintahKeseimbangan perekonomian tigas termasuk peran pemerintah
Keseimbangan perekonomian tigas termasuk peran pemerintah
 
Ekonomi Makro Pertemuan 4 - Tingkat pengangguran: Jumlah orang yang menganggu...
Ekonomi Makro Pertemuan 4 - Tingkat pengangguran: Jumlah orang yang menganggu...Ekonomi Makro Pertemuan 4 - Tingkat pengangguran: Jumlah orang yang menganggu...
Ekonomi Makro Pertemuan 4 - Tingkat pengangguran: Jumlah orang yang menganggu...
 
Materi Mata Kuliah Pengantar Ekonomi Makro I
Materi Mata Kuliah Pengantar Ekonomi Makro IMateri Mata Kuliah Pengantar Ekonomi Makro I
Materi Mata Kuliah Pengantar Ekonomi Makro I
 
Modal Kerja manajemen keuangan modal kerja.ppt
Modal Kerja manajemen keuangan modal kerja.pptModal Kerja manajemen keuangan modal kerja.ppt
Modal Kerja manajemen keuangan modal kerja.ppt
 
Presentasi Tentang Asuransi Pada Lembaga Keuangan
Presentasi Tentang Asuransi Pada Lembaga KeuanganPresentasi Tentang Asuransi Pada Lembaga Keuangan
Presentasi Tentang Asuransi Pada Lembaga Keuangan
 
PPT KELOMPOK 4 ORGANISASI DARI KOPERASI.pptx
PPT KELOMPOK 4 ORGANISASI DARI KOPERASI.pptxPPT KELOMPOK 4 ORGANISASI DARI KOPERASI.pptx
PPT KELOMPOK 4 ORGANISASI DARI KOPERASI.pptx
 
Cryptocurrency dalam Perspektif Ekonomi Syariah.pptx
Cryptocurrency dalam Perspektif Ekonomi Syariah.pptxCryptocurrency dalam Perspektif Ekonomi Syariah.pptx
Cryptocurrency dalam Perspektif Ekonomi Syariah.pptx
 
Presentasi Leasing Pada Lembaga Keuangan Non Bank
Presentasi Leasing Pada Lembaga Keuangan Non BankPresentasi Leasing Pada Lembaga Keuangan Non Bank
Presentasi Leasing Pada Lembaga Keuangan Non Bank
 
MENYELESAIKAN PENGUJIAN DALAM SIKLUS PEROLEHAN DAN PEMBAYARAN KAS VERIFIKASI ...
MENYELESAIKAN PENGUJIAN DALAM SIKLUS PEROLEHAN DAN PEMBAYARAN KAS VERIFIKASI ...MENYELESAIKAN PENGUJIAN DALAM SIKLUS PEROLEHAN DAN PEMBAYARAN KAS VERIFIKASI ...
MENYELESAIKAN PENGUJIAN DALAM SIKLUS PEROLEHAN DAN PEMBAYARAN KAS VERIFIKASI ...
 
Ukuran Letak Data kuartil dan beberapa pembagian lainnya
Ukuran Letak Data  kuartil  dan  beberapa pembagian  lainnyaUkuran Letak Data  kuartil  dan  beberapa pembagian  lainnya
Ukuran Letak Data kuartil dan beberapa pembagian lainnya
 
PERAN KARYAWAN DALAM PENGEMBANGAN KARIR.pptx
PERAN KARYAWAN DALAM PENGEMBANGAN KARIR.pptxPERAN KARYAWAN DALAM PENGEMBANGAN KARIR.pptx
PERAN KARYAWAN DALAM PENGEMBANGAN KARIR.pptx
 
Bab 13 Pemodelan Ekonometrika: Spesifikasi Model
Bab 13 Pemodelan Ekonometrika: Spesifikasi ModelBab 13 Pemodelan Ekonometrika: Spesifikasi Model
Bab 13 Pemodelan Ekonometrika: Spesifikasi Model
 
KESEIMBANGAN PEREKONOMIAN DUA SEKTOR.pdf
KESEIMBANGAN PEREKONOMIAN DUA SEKTOR.pdfKESEIMBANGAN PEREKONOMIAN DUA SEKTOR.pdf
KESEIMBANGAN PEREKONOMIAN DUA SEKTOR.pdf
 

Transfer pricing suatu pemahaman awal

  • 1. www.futurumcorfinan.com Page 1 Transfer Pricing: Suatu Pemahaman Awal Pendahuluan Permasalahan transfer pricing dalam konteks prinsip kewajaran dan kelaziman usaha, tidak dapat selalu dikaitkan dengan kejahatan perpajakan (tax fraud) atau penghindaran pajak (tax avoidance), walaupun bisa ‘dimanfaatkan’ untuk tujuan demikian. Permasalahan transfer pricing sejatinya berupaya mencermati transaksi yang terjadi antar pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa dan berupaya mencari cara untuk mencegah munculnya distorsi atas pendapatan pajak dari transaksi yang dilakukan pihak-pihak tersebut. Permasalahan penetapan atau penentuan harga transfer (transfer pricing) awalnya diangkat di Pasal 9 OECD Model Tax Convention on Income and on Capital tahun 20101 . Dalam klausul ini, isu transfer pricing dikaitkan langsung dengan transaksi-transaksi yang terjadi antara pihak-pihak terasosiasi2 . 1 OECD Model Tax Convention on Income and on Capital (Condensed Version), 22 Juli 2010, halaman 27 dan 28. Dapat diunduh dari http://www.oecd.org/document/37/0,3746,en_2649_33747_1913957_1_1_1_1,00.html. 2 Transfer Pricing Guidelines menggunakan istilah associated enterprises dan bukan related parties. Sukarnen DILARANG MENG-COPY, MENYALIN, ATAU MENDISTRIBUSIKAN SEBAGIAN ATAU SELURUH TULISAN INI TANPA PERSETUJUAN TERTULIS DARI PENULIS Untuk pertanyaan atau komentar bisa diposting melalui website www.futurumcorfinan.com
  • 2. www.futurumcorfinan.com Page 2 Sementara, peraturan perpajakan di Indonesia mengaitkan transfer pricing dengan transaksi-transaksi yang terjadi antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa dan transaksi-transaksi tersebut menimbulkan hubungan komersial atau keuangan antara pihak- pihak terkait. Pasal 1 ayat (8) Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-43/PJ./2010 yang diubah terakhir dengan PER-32/PJ./2011, mendefinisikan penentuan harga transfer (transfer pricing) sebagai “penentuan harga dalam transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa”. Penjelasan mengenai hubungan istimewa dalam Undang-Undang perpajakan Indonesia, diatur di dua pasal pada dua Undang-Undang pajak terkait. Pertama, di Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (UU PPh). Berikut ini petikannya: “Hubungan istimewa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sampai dengan ayat (3d), Pasal 9 ayat (1) huruf f, dan Pasal 10 ayat (1) dianggap ada apabila: a. Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada Wajib Pajak lain; hubungan antara Wajib Pajak dengan penyertaan paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada dua Wajib Pajak atau lebih; atau hubungan di antara dua Wajib Pajak atau lebih yang disebut terakhir; b. Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih Wajib Pajak berada di bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung; atau c. Terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus dan/atau ke samping satu derajat.” Kedua, Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Berikut ini petikannya: “Hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dianggap ada apabila: a. Dua atau lebih Pengusaha, langsung atau tidak langsung berada di bawah pemilikan atau penguasaan Pengusaha yang sama, atau b. Pengusaha yang satu menyertakan modal sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau lebih dari jumlah modal pada Pengusaha yang lain, atau hubungan antara Pengusaha yang menyertakan modalnya sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau lebih pada dua pihak atau lebih, demikian pula hubungan antara dua pihak atau lebih yang disebut terakhir.” Bandingkan definisi pihak-pihak berelasi atau pihak mempunyai hubungan istimewa yang diatur dalam regulasi perpajakan dengan definisi yang diatur dalam PSAK No. 7 (revisi
  • 3. www.futurumcorfinan.com Page 3 2010) tentang Pengungkapan Pihak-Pihak Berelasi3 . Pada paragraf 9 dari PSAK No. 7 (revisi 2010) ini pihak-pihak berelasi didefinisikan sebagai: “Orang atau entitas yang terkait dengan entitas tertentu dalam menyiapkan laporan keuangannya (dalam pernyataan ini dirujuk sebagai “entitas pelapor”), yaitu: (a) Orang atau anggota keluarga terdekat terkait entitas pelapor jika orang tersebut: (i) Memiliki pengendalian atau pengendalian bersama atas entitas pelapor; (ii) Memiliki pengaruh signifikan terhadap entitas pelapor; atau (iii) Personal manajemen kunci entitas pelapor atau entitas induk entitas pelapor. (b) Suatu entitas terkait dengan entitas pelapor jika memenuhi salah satu hal berikut; (i) Entitas dan entitas pelapor adalah anggota dari kelompok usaha yang sama (artinya entitas induk, entitas anak dan entitas anak berikutnya terkait dengan entitas lain). (ii) Satu entitas adalah entitas asosiasi atau ventura bersama bagi entitas lain (atau entitas asosiasi atau ventura bersama yang merupakan anggota suatu kelompok usaha, di mana entitas lain tersebut adalah anggotanya). (iii) Kedua entitas tersebut adalah ventura bersama dari pihak ketiga yang sama. (iv) Satu entitas adalah ventura bersama dari entitas ketiga dan entitas yang lain adalah entitas asosiasi dari entitas ketiga. (v) Entitas tersebut adalah suatu program imbalan kerja untuk imbalan kerja dari salah satu entitas pelapor atau entitas yang terkait dengan entitas pelapor. Jika entitas pelapor adalah entitas yang menyelenggarakan program tersebut, entitas sponsor juga terkait dengan entitas pelapor. (vi) Entitas yang dikendalikan atau dikendalikan bersama oleh orang yang diidentifikasi dalam butir (a). (vii) Orang yang diidentifikasi dalam butir (a) (i) memiliki pengaruh signifikan terhadap entitas atau anggota manajemen kunci entitas (atau entitas induk dari entitas).” Sementara, paragraf 11 PSAK 7 (revisi 2010) menyebutkan bahwa pihak-pihak berikut bukan sebagai pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa: a. Dua entitas hanya karena mereka memiliki direktur atau anggota manajemen kunci yang sama, atau karena anggota dari manajemen kunci dari satu entitas mempunyai pengaruh signifikan terhadap entitas lain. b. Dua venturer hanya karena mereka mengendalikan bersama atas ventura bersama. c. (i) penyandang dana, (ii) serikat dagang, 3 Isi PSAK No. 7 (revisi 2010) sudah mengadopsi International Accounting Standard 24 (2009): Related Party Disclosures.
  • 4. www.futurumcorfinan.com Page 4 (iii) entitas pelayanan publik, dan (iv) departemen dan instansi pemerintah yang tidak mengendalikan, mengendalikan bersama atau memiliki pengaruh signifikan terhadap entitas pelapor, semata- mata dalam pelaksanaan urusan normal dengan entitas pelapor (meskipun pihak-pihak tersebut dapat membatasi kebebasan suatu entitas atau ikut serta dalam proses pengambilan keputusan). d. Pelanggan, pemasok, pemegang hak waralaba (franchise), distributor, atau perwakilan/agen umum dengan siapa entitas mengadakan transaksi usaha dengan volume signifikan, semata-mata karena ketergantungan ekonomis yang diakibatkan oleh keadaan. Yang menarik tentunya, apakah pihak-pihak di atas yang dikecualikan dari pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa dalam konteks PSAK, dapat pula tidak diakui dalam konteks pajak? Hubungan Istimewa dalam Bingkai OECD Tax Convention Seperti telah disebutkan di atas, transfer pricing adalah transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa. Siapakah yang dimaksud dengan pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa dalam konteks transfer pricing menurut OECD? Dalam Pasal 9.1 OECD Tax Convention selengkapnya disebutkan bahwa suatu pihak disebut mempunyai hubungan istimewa dengan pihak lainnya dalam konteks transfer pricing apabila: “Where a) an enterprise of a Contracting State participates directly or indirectly in the management, control or capital of an enterprise of the other Contracting State, or b) the same persons participate directly or indirectly in the management, control or capital of an enterprise of a Contracting State and an enterprise of the other Contracting State,” Pasal 3 ayat (1d) OECD Tax Convention menjelaskan bahwa: The terms “enterprise of a Contracting State” and “enterprise of the other Contracting State” mean respectively an enterprise carried on by a resident of a Contracting State and an enterprise carried on by a resident of the other Contracting State; Dari bacaan di atas, dapat disimpulkan bahwa hubungan istimewa tersebut dikaitkan dengan adanya keterlibatan baik langsung atau tidak langsung, suatu perusahaan atau
  • 5. www.futurumcorfinan.com Page 5 individual (atau kelompok individual) dalam manajemen, pengendalian atau permodalan pada pihak lainnya4 , dan pihak-pihak tersebut merupakan penduduk dari negara yang berbeda. Namun tentunya, yang jadi pertanyaan selanjutnya adalah seberapa jauh atau seberapa besar derajat keterlibatan suatu pihak dalam manajemen, pengendalian atau permodalan pada pihak lainnya? Ayat (1) Bagian Komentari Artikel 9 OECD Tax Convention (hal. 181) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa tersebut adalah:  antara perusahaan induk dengan perusahaan anak (parent and subsidiary companies), dan  antar pihak-pihak yang berada dalam pengendalian bersama (companies under common control)5 . Tentunya, Pasal 9 ayat (1) di atas dari OECD Tax Convention tidak berhenti hanya pada definisi pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa (associated enterprises), tapi lebih jauh menyebutkan bahwa: … and in either case conditions are made or imposed between the two enterprises in their commercial or financial relations which differ from those which would be made between independent enterprises, then any profits which would, but for those conditions, have accrued to one of the enterprises, 4 Kekhususan dari adanya hubungan istimewa tersebut juga diakui dalam PSAK 7 (revisi 2010) terkait tujuan pengungkapan pihak-pihak berelasi, walaupun hubungan dengan pihak-pihak berelasi merupakan suatu karakteristik (feature) normal dari perdagangan dan bisnis (paragraf 05). Namun karena kegiatan bisnis mereka dilaksanakan melalui entitas anak, ventura bersama dan entitas asosiasi, disimpulkan oleh para akuntan bahwa entitas memiliki kemampuan untuk mempengaruhi kebijakan keuangan dan operasi investee melalui pengendalian, pengendalian bersama atau pengaruh signifikan (paragraf 05), di mana suatu hubungan dengan pihak-pihak berelasi tersebut dapat berpengaruh terhadap laba atau rugi dan posisi keuangan entitas. Pihak-pihak berelasi dapat menyepakati transaksi di mana pihak-pihak yang tidak berelasi tidak dapat melakukannya. Misalnya, entitas yang menjual barang kepada entitas induknya pada harga perolehan, mungkin tidak menjual dengan persyaratan tersebut kepada pelanggan lain. Selain itu, transaksi antara pihak-pihak berelasi mungkin tidak dilakukan dalam jumlah yang sama, seperti dengan pihak-pihak yang tidak berelasi (paragraf 06). 5 OECD Tax Convention tidak memberikan definisi atau menjelaskan apa yang dimaksudkan dengan pihak-pihak dalam pengendalian bersama. Apabila mengacu ke PSAK No. 38 (revisi 2004) tentang Akuntansi Restrukturisasi Entitas Sepengendali paragraf 06 disebutkan bahwa entitas sepengendali (under common control) adalah pihak (perorangan, perusahaan, atau bentuk entitas lainnya) yang secara langsung atau tidak langsung (melalui satu atau lebih perantara), mengendalikan atau dikendalikan oleh atau berada di bawah pengendalian yang sama. Namun, belum jelas apakah definisi PSAK No. 38 (revisi 2004) dapat diterima dalam konteks transfer pricing, walaupun bisa jadi diterapkan terkait dengan Penjelasan Pasal 28 ayat (7) paragraf terakhir UU KUP dimana disebutkan bahwa: Dengan demikian, pembukuan harus diselenggarakan dengan cara atau sistem yang lazim dipakai di Indonesia, misalnya berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan, kecuali peraturan perundang- undangan perpajakan menentukan lain.
  • 6. www.futurumcorfinan.com Page 6 but, by reason of those conditions, have not so accrued, may be included in the profits of that enterprise and taxed accordingly. Jadi, dapat ditengarai bahwa karena transaksi-transaksi yang menimbulkan hubungan komersial atau keuangan terjadi antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa, maka besar kemungkinan ada kondisi-kondisi yang tidak didapatkan pada transaksi lainnya kalau transaksi tersebut terjadi antar pihak-pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa. Jadi, adanya hubungan istimewa tersebut patut diduga akan memengaruhi kondisi-kondisi yang terkandung dalam transaksi tersebut. Tidak dijelaskan lebih lanjut, apa yang dimaksud dengan kondisi-kondisi tersebut, namun kalimat dalam paragraf di atas menyiratkan bahwa kondisi tersebut bagaimanapun ujung-ujungnya akan mempengaruhi laba (profits) yang dibukukan oleh kedua belah pihak yang bertransaksi, terlepas apakah laba tersebut dibukukan pada tahun terjadinya transaksi atau pada tahun-tahun berikutnya sesudah terjadinya transaksi. Yang ditekankan bahwa kondisi tersebut memengaruhi jumlah laba pada akhirnya (catatan: menurut penulis, tentunya yang dimaksudkan adalah penghasilan kena pajak), di mana bisa saja pada awalnya ia memengaruhi laba melalui penentuan harga jual atau nilai penggantian, tingkat bunga yang dibebankan, tarif royalti, dan sebagainya6 . Bagian komentar atas Artikel 9 menyebutkan bahwa kehadiran Artikel 9 OECD Tax Convention (hal. 181) adalah terkait dapat dilakukannya, untuk tujuan perpajakan, penyesuaian atas laba yang telah diakui oleh pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa tersebut di mana laba tersebut timbul dari transaksi-transaksi yang terjadi antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa, suatu tingkat laba yang tidak terjadi atau yang tidak dilakukan berdasarkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (arm’s length terms)7 . Namanya laba tentunya timbul dari suatu transaksi, dan transaksi apa-apa saja yang dicakup dalam paragraf di atas, tentunya tidak bisa terlepas dari isi Bab III “Taxation of Income” dan Bab IV “Taxation of Capital” dari OECD Tax Convention, yang mencakup antara lain laba dari properti tidak bergerak (artikel 6), laba usaha (artikel 7), bunga (artikel 11), royalti (artikel 12), laba dari penjualan aset (artikel 13), dan laba dari hubungan kerja (artikel 15). 6 Lihat ilustrasi dalam “Tricky Tax: Transfer Pricing”, dapat diunduh dari http://www.taxjustice.net/cms/upload/pdf/Tricky_Tax.pdf. 7 PER-43/PJ/2010 dan perubahannya PER-32/PJ/2011 menggunakan istilah Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sebagai terjemahan prinsip Arm’s Length.
  • 7. www.futurumcorfinan.com Page 7 Ruang Lingkup Pengaturan Transfer Pricing Pasal 2 ayat (2) Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-43/PJ/20108 , memerinci transaksi yang dilakukan Wajib Pajak dengan pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa, di mana transaksi-transaksi ini dapat mengakibatkan pelaporan jumlah penghasilan dan pengurangan untuk menghitung besarnya penghasilan kena pajak bagi Wajib Pajak tidak sesuai dengan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha. Sejumlah transaksi tersebut antara lain: a. Penjualan, pengalihan, pembelian atau perolehan barang berwujud maupun barang tidak berwujud; b. Sewa, royalti, atau imbalan lain yang timbul akibat penyediaan atau pemanfaatan harta berwujud maupun harta tidak berwujud; c. Penghasilan atau pengeluaran sehubungan dengan penyerahan atau pemanfaatan jasa; d. Alokasi biaya; dan e. Penyerahan atau perolehan harta dalam bentuk instrumen keuangan, dan penghasilan atau pengeluaran yang timbul akibat penyerahan atau perolehan harta dalam bentuk instrumen keuangan dimaksud. Dalam perkembangan selanjutnya, PER-43/PJ/2010 diubah dengan PER-32/PJ/2011. Di Pasal 2 ayat (2) PER-32/PJ/2011 justru sudah tidak lagi memberikan rincian transaksi- transaksi apa saja yang dimaksudkan dalam konteks transfer pricing. Bunyi Pasal 2 ayat (2) di atas diubah menjadi: “Dalam hal Wajib Pajak melakukan transaksi dengan pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa yang merupakan Wajib Pajak Dalam Negeri atau Bentuk Usaha Tetap di Indonesia, Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini hanya berlaku untuk transaksi yang dilakukan oleh Wajib Pajak dengan pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa untuk memanfaatkan perbedaan tarif pajak yang disebabkan antara lain: a. perlakuan pengenaan Pajak Penghasilan final atau tidak final pada sektor usaha tertentu; b. perlakuan pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah; atau c. transaksi yang dilakukan dengan Wajib Pajak Kontraktor Kontrak Kerja Sama Migas.” Dirjen Pajak tampaknya hanya melihat pada transaksi-transaksi di mana terdapat motivasi untuk memanfaatkan perbedaan tarif pajak, sesuatu yang justru tidak disebutkan dalam 8 Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-43/PJ/2010 tentang Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dalam Transaksi antara Wajib Pajak dengan Pihak yang Mempunyai Hubungan Istimewa, tertanggal 6 September 2010
  • 8. www.futurumcorfinan.com Page 8 Artikel 9 dari 2010 OECD Tax Convention. Artikel 9 dari OECD Tax Convention justru lebih menekankan adanya kondisi-kondisi dalam hubungan komersial atau keuangan yang timbul dari transaksi di mana adanya hubungan istimewa mempengaruhi kondisi-kondisi tersebut, kondisi-kondisi mana tidak akan ada kalau tidak ada hubungan istimewa tersebut, ini pun dengan catatan bahwa kondisi-kondisi tersebut mempengaruhi laba dari salah satu atau kedua belah pihak, yang menjadi objek pemajakan oleh otoritas perpajakan masing-masing negara. Jadi titik beratnya, apakah transaksi tersebut dilakukan berdasarkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha, terlepas apakah ada perbedaan tarif pajak atau tidak antar negara. OECD justru berpendapat bahwa penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha tidak hanya digunakan pada transaksi antar pihak yang mempunyai hubungan istimewa, terjadi di negara dengan tarif pajak yang lebih tinggi atau lebih rendah. Adanya perbedaan tarif pajak dengan tarif pajak pihak yang mempunyai hubungan istimewa dapat dianggap sebagai bagian dari penilaian resiko yang akan dilakukan oleh pihak otoritas perpajakan pada saat memutuskan kasus pajak mana yang akan diperiksa, dan bukan sebagai suatu unsur yang akan mengakibatkan penerapan berbeda dari prinsip kewajaran dan kelaziman usaha9 . Di samping itu, konsep transfer pricing sendiri bersifat netral, sehingga dalam penerapannya juga tentunya bersifat netral10 . Lebih lanjut, Artikel 9 ayat (2) OECD Tax Convention (hal. 28) menyebutkan bahwa: Where a Contracting State includes in the profits of an enterprise of that State—and taxes accordingly—profits on which an enterprise of the other Contracting State has been charged to tax in that other State and the profits so included are profits which would have accrued to the enterprise of the first- mentioned State if the conditions made between the two enterprises had been those which would have been between independent enterprises, then that other State shall make an appropriate adjustment to the amount of the tax charged therein on those profits. In determining such adjustment, due regard shall be had to the other provisions of this Convention and the 9 OECD. Transfer Pricing and Intangibles: Scope of the OECD Project. 25 Januari 2011.Halaman 5 paragraf 22. 10 Lihat INTM460140 - Transfer Pricing: a Practical Guide to Enquiries - Introduction: What is Transfer Pricing? Dari http://www.hmrc.gov.uk/manuals/intmanual/intm460140.htm. Konsep yang sama digunakan untuk mengelaborasi lebih lanjut revisi atas Bab VI TGP “Special Considerations for Intangible Property” sebagaimana tertuang dalam “Discussion Draft: Revision of the Special Considerations for Intangibles in Chapter VI of the OECD Transfer Pricing Guidelines and Related Provisions” terbitan OECD pada pertengahan tahun 2012. Dapat diunduh dari www.oecd.org/dataoecd/39/61/50526258.pdf.
  • 9. www.futurumcorfinan.com Page 9 competent authorities of the Contracting States shall if necessary consult each other. Dalam konteks Artikel 9 ayat (2) di atas inilah diperlukan metodologi bagaimana melakukan identifikasi dan menyimpulkan bahwa transaksi-transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa (yang umum dikenal sebagai “controlled transactions”) tidak dilakukan berdasarkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha, dan kalau memang telah terjadi transaksi demikian, maka bagaimana melakukan penyesuaian atas laba yang timbul dari transaksi tersebut. Dari paragraf di atas, dapat diketahui bahwa untuk menentukan suatu transaksi dilakukan berdasarkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha atau tidak, maka prinsip Arm’s Length menjadi krusial. Dengan kata lain, prinsip Arm’s Length menjadi jangkar (anchor) dari keseluruhan isu transfer pricing. Bab 1 TPG khusus didedikasikan untuk pembahasan prinsip Arm’s Length, suatu standar transfer pricing internasional yang memperoleh persetujuan dari negara-negara anggota OECD untuk dipergunakan untuk tujuan perpajakan oleh perusahaan-perusahaan multinasional dan aparatur perpajakan (paragraf 1.1 TPG)11 . Transfer Pricing = Tax Fraud? Apabila dibaca kembali Artikel 9 dari OECD Tax Convention, maka dapat dikatakan bahwa permasalahan transfer pricing dalam konteks prinsip kewajaran dan kelaziman usaha, tidak dapat selalu dikaitkan dengan kejahatan perpajakan (tax fraud) atau penghindaran pajak (tax avoidance)12 , walaupun memang bisa saja kebijakan transfer pricing ‘dimanfaatkan’ untuk tujuan demikian. Menurut penulis, juga tidak tepat, apabila kebijakan transfer pricing hanya dikaitkan dengan pemanfaatan perbedaan tarif, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 ayat (2) PER-32/PJ/2011. Isu transfer pricing hanya terkait kalau kondisi-kondisi tersebut dalam transaksi antara pihak- pihak yang mempunyai hubungan istimewa tidak mencerminkan kekuatan pasar (dan dengan demikian tidak sesuai dengan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha). TITIK. 11 Pembaca yang tertarik mengenai prinsip arm’s length dan penerapannya dapat membaca lebih lanjut “Transfer Pricing and Other Provisions to Check Avoidance of Tax” terbitan The Institute of Chartered Accountants of India. Dapat diunduh dari http://220.227.161.86/18892sm_dtl_finalnew_cp16.pdf. 12 Pembaca yang berminat dapat membaca tulisan Eric J. Bartelsman dan Roel M. W.J. Beetsma.Why Pay More? Corporate Tax Avoidance through Transfer Pricing in OECD Countries. Desember 2001. Dapat diunduh dari http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=258937. Di samping itu, di website Bloomberg dan The Guardian dapat ditemukan cerita-cerita bagaimana perusahaan-perusahaan multinasional berhasil dalam meminimumkan pajak dalam negara-negara di mana mereka melakukan kegiatan usaha.
  • 10. www.futurumcorfinan.com Page 10 Terlepas apapun motivasinya, dan apakah objek yang dibicarakan sesuai atau sejalan dengan pemahaman akuntan, penilai, dan lain-lain. TPG mengambil pemahaman bahwa apabila transfer pricing tidak mencerminkan kekuatan pasar (dan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha), maka utang pajak dari perusahaan- perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa tersebut dan pendapatan pajak dari negara-negara tuan rumah perusahaan-perusahaan tersebut akan dapat terdistorsi. Oleh karena itulah, untuk tujuan perpajakan, laba dari perusahaan-perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa tersebut dapat disesuaikan guna mengoreksi distorsi apapun dan memastikan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha dapat dipenuhi (paragraf 1.3 TPG). Di sini, pihak otoritas perpajakan dimungkinkan untuk melakukan koreksi, atau dalam Komentari Artikel 9 dari OECD Tax Convention (hal. 181 dan 182), menggunakan kata “re- writing of the accounts of associated enterprises” (terjemahan lepas: menulis kembali akun- akun dari perusahaan-perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa). Dengan kata lain, penyesuaian atau “re-writing” tersebut tidak diperbolehkan kalau transaksi-transaksi antara perusahaan-perusahaan tersebut telah terjadi berdasarkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha13 . Distorsi yang dimaksud di atas tentunya datang dari berbagai faktor, mengingat level operasional suatu perusahaan multinasional adalah sedemikian kompleks, sehingga pertimbangan pajak hanya akan menjadi salah satu faktor di dalamnya14 . TPG paragraf 1.4 mengakui adanya faktor-faktor di luar pertimbangan pajak yang mungkin saja memberikan kontribusi [signifikan] terhadap timbulnya distorsi tersebut, faktor regulasi pemerintah terkait penentuan nilai ekspor-impor (customs valuations), bea anti-dumping, dan bahkan kontrol atas mata uang dan harga, maupun yang bersifat non-pemerintah, yaitu yang datang dari kebutuhan arus kas setiap perusahaan yang tergabung dalam suatu kelompok usaha multinasional, yang tentunya beroperasi di berbagai negara, termasuk juga kalau perusahaan tersebut merupakan perusahaan publik yang tentunya dituntut menunjukkan kinerja laba yang tinggi. Namun tampaknya, TPG tidak membedakan dari mana datangnya distorsi tersebut dan dampaknya terhadap kondisi dalam hubungan komersial atau keuangan untuk transaksi yang terjadi antar pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa. Yang penting, sudah terjadi distorsi yang mempengaruhi transfer 13 Komentari Artikel 9 paragraf 1 OECD Tax Convention (hal. 181) menggunakan kalimat “normal open market commercial terms (on an arm’s length basis)” –walaupun dalam catatan penulis, tanpa penjelasan lebih lanjut dengan apa yang dimaksudkan dengan kalimat tersebut, memberikan interpretasi yang terlalu luas. 14 Anthony, Robert N. dan Vijay Govindaran. Management Control Systems. New York: McGraw-Hill, 2003. Edisi ke-11. Hal. 757. Faktor lainnya adalah peraturan pemerintah, tarif impor atau ekspor, kontrol mata uang, akumulasi dana dalam suatu negara tertentu, pembentukan ventura bersama (joint ventures).
  • 11. www.futurumcorfinan.com Page 11 pricing dan ujung-ujungnya memengaruhi (baca: mendistorsi) laba dari perusahaan- perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa tersebut. Berarti di sini ada 2 (dua) isu yang dapat dibicarakan: 1. Bagaimana mengetahui atau mengidentifikasi kondisi dari suatu transaksi antara perusahaan-perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa yang tidak dilakukan berdasarkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha, yang mengakibatkan atau dapat disimpulkan telah terjadi distorsi atas laba yang diakui dan dilaporkan oleh masing- masing perusahaan? 2. Bagaimana penyesuaian [atas laba yang terdistorsi tersebut] selayaknya dilakukan? Paragraf 1.6 dari TPG berusaha menjawab pertanyaan pertama di atas. By seeking to adjust profits by reference to the conditions which would have obtained between independent enterprises in comparable transactions and comparable circumstances (i.e. in “comparable uncontrolled transactions”), the arm’s length principle follows the approach of treating the members of an MNE group as operating as separate entities rather than as inseparable parts of a single unified business. Because the separate entity approach treats the members of an MNE group as if they were independent entities, attention is focused on the nature of the transactions between those members and on whether the conditions thereof differ from the conditions that would be obtained in comparable uncontrolled transactions. Such an analysis of the controlled and uncontrolled transactions, which is referred to as a “comparability analysis”, is at the heart of the application of the arm’s length principle. Jadi, untuk mengetahui atau mengidentifikasi kondisi dari suatu transaksi antara perusahaan-perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa yang tidak dilakukan berdasarkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha, yang mengakibatkan atau dapat disimpulkan telah terjadi distorsi atas laba yang diakui dan dilaporkan oleh masing-masing perusahaan, OECD menjadikan analisis kesebandingan sebagai jangkar dari penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha tersebut. Hal di atas sejalan dengan Pasal 1 nomor 7 dari PER-32/PJ/2011 yang mendefinisikan analisis kesebandingan sebagai: Analisis yang dilakukan oleh Wajib Pajak atau Direktorat Jenderal Pajak atas kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa untuk diperbandingkan dengan kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa dan melakukan identifikasi atas
  • 12. www.futurumcorfinan.com Page 12 perbedaan kondisi dalam kedua jenis transaksi dimaksud. Dalam konteks identifikasi atas perbedaan kondisi tersebut kemudian dikembangkan berbagai pendekatan dan metode yang dikenal saat ini, mencakup antara lain:  Derajat kesebandingan ditentukan berdasarkan atribut transaksi atau pihak-pihak yang dapat mempengaruhi harga atau laba dan penyesuaian yang diperlukan untuk perbedaan yang ada. Atribut ini dikenal sebagai lima faktor kesebandingan (lihat PER-43/PJ/2010 Pasal 5 ayat (1) atau TPG hal. 43-51): a. Karekteristik barang/harga berwujud dan barang/harta tidak berwujud yang diperjualbelikan, termasuk jasa; b. Fungsi masing-masing pihak yang melakukan transaksi; c. Ketentuan-ketentuan dalam kontrak/perjanjian; d. Keadaan ekonomi; dan e. Strategi usaha. Secara singkat, dapat dikatakan ini merupakan analisa untuk mengidentifikasi perbedaan atau kesamaan dalam Fungsi, Aset dan Resiko.  Analisa data pembanding internal dan eksternal. Sebagai contoh, dalam konteks penerapan metode perbandingan harga antara pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa (comparable uncontrolled price/CUP), perbedaan data pembanding internal dan eksternal diilustrasikan di box 115 . 15 Working Draft. Chapter 5: Transfer Pricing Methods. Hal. 8. Suatu tulisan yang dibuat oleh Anggota the UN Tax Committee’s Subcommittee on Practical Transfer Pricing Issues. Diunduh dari http://www.un.org/esa/ffd/tax/2011_TP/TP_Chapter5_Methods.pdf.
  • 13. www.futurumcorfinan.com Page 13 Ilustrasi di box 1 terkait dengan penjualan kendaraan mobil antara Perusahaan 1, produsen kendaraan mobil di negara 1, dan Perusahaan 2, importir kendaraan mobil di negara 2, yang kemudian menjualnya ke para distributor kendaraan di negara 2. Perusahaan 1 adalah entitas induk dari Perusahaan 2. Dalam penerapan metode CUP untuk menguji apakah harga yang dikenakan untuk penjualan kendaraan antara Perusahaan 1 dan Perusahaan 2 (yang disebut sebagai transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa) sudah berdasarkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha atau belum, maka harga penjualan tersebut dapat mengacu pada:  Harga penjualan dalam transaksi tanpa hubungan istimewa yang dapat dibandingkan, antara Perusahaan 1 dengan Pihak yang Tidak Mempunyai Hubungan Istimewa (yaitu Transaksi #1);  Harga penjualan dalam transaksi tanpa hubungan istimewa yang dapat dibandingkan, antara Perusahaan 2 dengan Pihak yang Tidak Mempunyai Hubungan Istimewa (yaitu Transaksi #2);  Harga penjualan dalam transaksi tanpa hubungan istimewa yang dapat dibandingkan, antara Pihak yang Tidak Mempunyai Hubungan Istimewa A dan B (yaitu transaksi #3). Transaksi #1 dan #2 dikenal sebagai Data Pembanding Internal, dan Transaksi #3 sebagai Data Pembanding Eksternal.  Metode penentuan harga transfer yang wajar (TPG bab II: Transfer Pricing Methods, atau Pasal 11 ayat (2) PER-32/PJ/2011) Metode Transaksi Tradisional (traditional transactional methods) yang terdiri dari:  Metode Perbandingan Harga antara Pihak yang Tidak Mempunyai Hubungan Istimewa (Comparable Uncontrolled Price Method/CUP Method);  Metode Harga Penjualan Kembali (Resale Price Method);  Metode Biaya-Plus (Cost Plus Method). Metode Laba Transaksional (Transactional Profit Methods), yang terdiri dari:  Metode Laba Bersih Transaksional (Transactional Net Margin Method);  Metode Pembagian Laba Transaksional (Transactional Profit Split Method).
  • 14. www.futurumcorfinan.com Page 14 Perbedaan kondisi tersebut tentunya tidak selalu terkait dengan penentuan harga, tetapi apabila dikaitkan dengan dapatnya pihak otoritas pajak “re-write” (menulis kembali) akun- akun dari perusahaan-perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa tersebut, maka tentunya perbedaan kondisi yang dibicarakan di atas adalah sejauh hal tersebut memiliki implikasi terhadap penentuan laba dan utang pajak yang terkait. Hal ini terkait secara langsung dengan isu nomor 2, di mana pada akhirnya, dari analisis kesebandingan tersebut tentunya diharapkan atau memungkinkan pihak otoritas perpajakan (dan Wajib Pajak) menentukan jumlah laba yang sudah sewajarnya terjadi berdasarkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha, karena penyesuaian tersebut akan selalu mengenai “kuantifikasi” dari “re-writing” akun-akun tersebut. Dalam bahasa TPG, besarnya penyesuaian atas laba dan utang pajak adalah (paragraf 1.3) sangat tergantung pada dapat dikenali perbedaan yang ada dan sebesar apa perbedaan kondisi tersebut dalam kejadian yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa. OECD member countries consider that an appropriate adjustment is achieved by establishing the conditions of the commercial and financial relations that they would expect to find between independent enterprises in comparable transactions under comparable circumstances. Penggunaan kata “re-writing” akun-akun perusahaan-perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa dalam TPG mengindikasikan bahwa penyesuaian tidak selalu langsung terkait dengan laba-rugi, tapi bisa secara tidak langsung. Misalnya, terkait pinjaman dari entitas induk yang diperlakukan sebagai semacam uang muka setoran modal untuk tujuan perpajakan, sehingga dengan demikian, pembayaran bunga yang dilakukan oleh entitas anak ke entitas induk diperlakukan sebagai dividen dan bukan sebagai beban bunga sebagai pengurang penghasilan bruto dalam penentuan penghasilan kena pajak entitas anak. Namun, dapat dipertanyakan apakah hal ini termasuk dalam isu transfer pricing? Hal ini secara khusus disinggung oleh Komentari Artikel 9 OECD Tax Convention paragraf 3 (hal. 181), di mana sebagaimana didiskusikan oleh Committee on Fiscal Affairs’s Report on Thin Capitalization16 , terdapat kaitan antara Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) 16 “Thin Capitalization” diadopsi oleh the Council of the OECD pada tanggal 26 November 1986 dan direproduksi dalam Volume II dari versi penuh OECD Tax Convention pada halaman R(4)-1. “Thin Capitalization ”secara umum dapat dipahami merujuk ke struktur permodalan suatu perusahaan yang dicirikan oleh perbandingan antara komponen utang dengan ekuitas yang tinggi. OECD juga menggunakan istilah “hidden equity capitalization” atau “shareholder debt financing” terkait dengan “thin capitalization” ini (OECD (1987) “Thin Capitalization” (hal. 7) sebagaimana dimuat dalam OECD (ed.) Issues in International Taxation No. 2. OECD Publications: Paris. Hal. 7-36. Diunduh dari http://www.oecd.org/dataoecd/42/20/42649592.pdf.
  • 15. www.futurumcorfinan.com Page 15 dengan aturan perpajakan nasional/domestik17 atas “thin capitalization” yang tentunya terkait juga dengan Artikel 9 OECD Tax Convention dan transfer pricing. Lebih lanjut disebutkan dalam OECD Tax Convention (hal. 181): a) Artikel 9 tidak dimaksudkan untuk menghalangi penerapan aturan perpajakan nasional atas “thin capitalization” sepanjang dampaknya adalah mengakibatkan laba dari pihak debitur adalah sejumlah laba yang diakui sesuai dengan laba yang akan terjadi dalam situasi berdasarkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha. b) Artikel 9 relevan tidak hanya dalam hal menentukan apakah tingkat suku bunga dalam suatu perjanjian pinjaman adalah berdasarkan tingkat bunga pasar, namun juga apakah pokok pinjaman tersebut dapat dianggap sebagai suatu pinjaman (loan) atau seharusnya diperlakukan sebagai semacam pembayaran/kontribusi modal saham (contribution to equity capital). D.H. Pai Panandiker (President of RPG Foundation) menyebutkan bahwa terdapatnya ketentuan pajak domestik terkait “thin capitalization” adalah untuk mencegah perusahaan-perusahaan dari penggunaan pinjaman secara berlebih-lebihan guna memperoleh pengurangan atas hutang pajak mereka [melalui pembebanan bunga]. Dikutip dari http://in.reuters.com/article/2010/06/07/idINIndia- 49097020100607 berjudul Thin Capitalization for Tax Avoidance. Menarik juga untuk dibaca report Ernst & Young LLP berjudul “Thin Capitalization Regimes in Selected Countries “yang merupakan suatu report yang dipersiapkan untuk the Advisory Panel on Canada’s System of International Taxation. Mei 2008. Diunduh dari http://www.apcsit-gcrcfi.ca/06/rr-re/RR6%20-%20Ernst%20&%20Young%20-%20en%20- %20final%20-%20090617.pdf. 17 Pasal 18 ayat (1) UU PPh menyebutkan bahwa Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan keputusan mengenai besarnya perbandingan antara utang dan modal perusahaan untuk keperluan penghitungan pajak berdasarkan Undang-Undang ini. Dalam penjelasan disebutkan bahwa, “…Dalam dunia usaha terdapat tingkat perbandingan tertentu yang wajar mengenai besarnya perbandingan antara utang dan modal (debt to equity ratio). Apabila perbandingan antara utang dan modal sangat besar melebihi batas-batas kewajaran, pada umumnya perusahaan tersebut dalam keadaan tidak sehat. Dalam hal demikian, untuk penghitungan Penghasilan Kena Pajak, Undang- Undang ini menentukan adanya modal terselubung. Istilah modal di sini menunjuk kepada istilah atau pengertian ekuitas menurut standar akuntansi, sedangkan yang dimaksud dengan “kewajaran atau kelaziman usaha” adalah adat kebiasaan atau praktik menjalankan usaha atau melakukan kegiatan usaha yang sehat dalam dunia usaha.” Di sini, pihak otoritas perpajakan Indonesia meyakini adanya batas-batas kewajaran dalam rasio utang terhadap modal, dan apabila suatu rasio di atas batas-batas kewajaran, maka kelebihan tersebut dianggap sebagai modal terselubung. Dalam PER-43/PJ/2010 dan PER-32/PJ/2011 tidak ditemukan bagaimana analisis kesebandingan dilakukan dalam kaitannya untuk menentukan batas-batas kewajaran antara rasio utang terhadap modal. Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 1002/KMK.04/1984 tanggal 8 Oktober 1984, angka banding antara utang dan modal adalah sebesar perbandingan 3:1, namun pada tanggal 8 Maret 1985, aturan tersebut dibekukan dengan diterbitkannya Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 254/KMK.04/1985, dan sampai sekarang belum ada aturan yang diterbitkan lagi terkait perbandingan utang dan modal tersebut.
  • 16. www.futurumcorfinan.com Page 16 c) Penerapan aturan perpajakan atas “thin capitalization” tidak semata-mata bermaksud untuk menaikkan penghasilan kena pajak Wajib Pajak dalam negeri melebihi laba yang tercipta berdasarkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha, dan prinsip inilah yang seharusnya digunakan untuk menerapkan ketentuan P3B. Diskusi atas koreksi/penyesuaian atas laba Wajib Pajak dan mempertimbangkan bahwa transaksi yang ada menyangkut transaksi lintas negara, maka ada kemungkinan terjadi pemajakan ganda (Artikel 9 paragraf 2 OECD Tax Convention (hal. 28)). Sebagai contoh, PT ABC di Indonesia (dengan posisi penghasilan kena pajak positif) berdasarkan perjanjian royalti diwajibkan membayar royalti sebesar 5% (dihitung dari jumlah penjualan) ke CDE Pte. Ltd di Singapura. Dalam pemeriksaan pajak, tarif royalti yang diakui oleh pihak fiskus, adalah sebesar 1%, sehingga utang PPh badan PT ABC meningkat. Dari contoh ini, pihak CDE Pte. Ltd. di Singapura telah melaporkan pendapatannya menggunakan tarif royalti yang diterimanya sebesar 5%, padahal tarif royalti yang diakui oleh pihak fiskus di Indonesia hanya 1%. Di sini, tampak terjadi pemajakan ganda, karena secara logika, pihak CDE Pte. Ltd. dimungkinkan untuk melaporkan revisi atas pendapatan royaltinya dengan menggunakan tarif 1% dan bukan 5%. Namun yang menarik dalam paragraf 6 dari Komentari Artikel 9 OECD Tax Convention (hal. 182), disebutkan bahwa:It should be noted, however, that an adjustment is not automatically to be made in State B simply because the profits in State A have been increased; the adjustment is due only if State B considers that the figure of adjusted profits correctly reflects what the profits would have been if the transactionshad been at arm’s length………State B is therefore committed to make an adjustment of the profits of the affiliated company only if it considers that the adjustment made in State A is justified both in principle and as regards the amount. Jadi, CDE Pte. Ltd. di Singapura tidak serta merta melakukan koreksi atas pelaporan pendapatan royaltinya, namun masih perlu melakukan telaah untuk memastikan apakah tarif royalti 1% yang diakui oleh fiskus PT ABC di Indonesia sudah mencerminkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha. Kalau hasil telaah menunjukkan bahwa tarif royalti 1% tidak berdasarkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha, belum tentu CDE Pte. Ltd. perlu melakukan koreksi atas pelaporan pendapatan royaltinya. Paragraf 7 Komentari Artikel 9 OECD Tax Convention (hal. 182) mengakui bahwa tidak terdapat metode yang disebutkan mengenai bagaimana penyesuaian laba perlu dilakukan oleh CDE Pte. Ltd di Singapura dalam hal tarif royalti 1% (yang diakui oleh pihak fiskus di Indonesia) akhirnya memang disimpulkan sebagai tarif royalti berdasarkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha. Para negara anggota OECD menggunakan metode-metode yang
  • 17. www.futurumcorfinan.com Page 17 berbeda-beda dan negara-negara yang memiliki P3B diberikan keleluasaan untuk menyetujuinya secara bilateral terkait aturan khusus yang dapat ditambahkan ke dalam P3B mereka. ~~~~~~ ####### ~~~~~~
  • 18. www.futurumcorfinan.com Page 18 Disclaimer This material was produced by and the opinions expressed are those of FUTURUM as of the date of writing and are subject to change. The information and analysis contained in this publication have been compiled or arrived at from sources believed to be reliable but FUTURUM does not make any representation as to their accuracy or completeness and does not accept liability for any loss arising from the use hereof. This material has been prepared for general informational purposes only and is not intended to be relied upon as accounting, tax, or other professional advice. Please refer to your advisors for specific advice. This document may not be reproduced either in whole, or in part, without the written permission of the authors and FUTURUM. For any questions or comments, please post it at www.futurumcorfinan.com © FUTURUM. All Rights Reserved