SlideShare a Scribd company logo
1 of 26
Download to read offline
www.futurumcorfinan.com
Page 1
Penentuan Tarif yang Wajar
dalam Transfer Pricing
Pendahuluan
Pada tanggal 6 September 2010, Direktorat Jenderal Pajak menerbitkan Peraturan
Direktur Jenderal Pajak No. PER-43/PJ/2010 tentang Penerapan Prinsip Kewajaran dan
Kelaziman Usaha dalam Transaksi antara Wajib Pajak dengan Pihak yang Mempunyai
Hubungan Istimewa (selanjutnya disebut sebagai PER-43).
Dalam bab ini akan dibahas khusus mengenai Penerapan Prinsip Kewajaran dan
Kelaziman Usaha dalam Transfer Pricing yang terkait tarif atas penggunaan hak kekayaan
intelektual dan/atau aktiva tak berwujud lainnya.
Tarif atas penggunaan Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) atau pemanfaatan barang
tidak berwujud lainnya
Tarif di sini dapat dibagi menjadi dua kelompok:
 Royalti, umumnya terkait dengan imbalan atas penggunaan hak kekayaan
Sukarnen
DILARANG MENG-COPY, MENYALIN,
ATAU MENDISTRIBUSIKAN
SEBAGIAN ATAU SELURUH TULISAN
INI TANPA PERSETUJUAN TERTULIS
DARI PENULIS
Untuk pertanyaan atau komentar bisa
diposting melalui website
www.futurumcorfinan.com
www.futurumcorfinan.com
Page 2
intelektual.
 Non-royalti, misalnya licensing fee dan franchise fee atau bentuk rental rights
tertentu atau bentuk fee lainnya yang pada intinya merupakan pembayaran atas
suatu penggunaan hak di luar kategori hak kekayaan intelektual
Definisi Royalti menurut OECD Model, UN Model dan US Model adalah sebagai berikut:
2005 OECD Model, Art. 12(2)
The term “royalties” as used in this Article means payments of any kind received as a
consideration for the use of, or the right to use, any copyright of literary, artistic or scientific
work including cinematograph films, any patent, trade mark, design or model, plan, secret
formula or process, or for information concerning industrial, commercial or scientific
experience.
Definisi royalti dalam OECD Model Art. 12(2) dapat dibagi menjadi dua kelompok:
1. Consideration received for the use of, or the right to use:
– any copyright of literary, artistic or scientific work including cinematograph
films;
– any patent, trade mark, design or model, plan, secret formula or process; or
2. Consideration received for information concerning industrial, commercial
or scientific experience.
1981 UN Model/2001 UN Model, Art. 12(3)
The term “royalties” as used in this Article means payments of any kind received as a
consideration for the use of, or the right to use, any copyright of literary, artistic or scientific
work including cinematograph films, or films or tapes used for radio or television
broadcasting, any patent, trademark, design or model, plan, secret formula or process, or
for the use of, or the right to use, industrial, commercial or scientific equipment or for
information concerning industrial, commercial or scientific experience.
2006 US Model, Art. 12(2)
The term “royalties” as used in this Article means:
www.futurumcorfinan.com
Page 3
a) payments of any kind received as a consideration for the use of, or the right to use,
any copyright of literary, artistic, scientific or other work (including cinematographic
films), any patent, trademark, design or model, plan, secret formula or process, or
for information concerning industrial, commercial or scientific experience; and
b) gain derived from the alienation of any property described in subparagraph a), to the
extent that such gain is contingent on the productivity, use, or disposition of the
property.
Kalau dapat dirangkumkan, royalti diartikan sebagai:
Segala jenis pembayaran yang diterima atas penggunaan, hak penggunaan, setiap karya
tulisan, kesusasteraan atau karya ilmiah termasuk film-film bioskop dan film-film atau
rekaman untuk siaran radio atau televisi, setiap hak paten, merek dagang, disain atau
model, rencana, rumus atau cara pengolahan, atau penggunaan, atau cara
menggunakan, peralatan industri, alat-alat perdagangan atau pengetahuan, atau untuk
informasi mengenai pengalaman di bidang industri, perdagangan atau ilmu pengetahuan.
Walaupun maksud dari pembayaran royalti atau pembayaran fee lainnya di atas tidak
disebutkan secara eksplisit, akan tetapi, mengingat konteks pembayaran adalah pada
umumnya didapatkan dalam dunia bisnis, maka dapat disimpulkan bahwa ada motif profit-
www.futurumcorfinan.com
Page 4
seeking dalam pembayaran tersebut.
Bisnis dalam International Financial Reporting Standards 3, didefinisikan sebagai:
An integrated set of activities and assets conducted and managed for the purpose of
providing:
a) A return to investors; or
b) Lower costs or other economic benefits directly and proportionately to
policyholders or participants.
A business generally consists of inputs, processes applied to those inputs, and resulting
outputs that are, or will be, used to generate revenues.1
Tentunya beralasan apabila mengkaitkan antara pembayaran royalti atau bentuk fee
lainnya, dengan pemberian imbalan (atau imbal jasa – rate of returns) kepada pihak lain
sehubungan dengan penggunaan hak kekayaan intelektual properti atau hak penggunaan
benda tak berwujud.
HAKI atau benda tak berwujud sendiri digunakan sebagai input dalam proses bisnis untuk
menghasilkan pendapatan (revenue). Pihak yang membayarkan royalti atau fee tersebut,
tentunya bukan hanya semata-mata sekumpulan aset dan kewajiban (collections of assets
and liabilities). Secara normal, tentunya, pihak tersebut menjalankan suatu kegiatan bisnis
yang berkelanjutan, dengan pendapatan yang dapat diidentifikasi (identifiable revenue),
yang berarti, aset dan kewajiban entitas tersebut berinteraksi satu sama lain, termasuk
penggunaan HAKI atau harta berwujud lainnya sebagai input yang relatif penting, dan
orang-orang yang mengoperasikan input tersebut.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pembayaran royalti atau fee tersebut dalam
konteks bisnis, dimaksudkan untuk memperoleh pendapatan yang dapat diidentifikasi,
yang berarti :
 Ada manfaat ekonomis yang terkait dengan transaksi tersebut akan mengalir
kepada entitas tersebut
 Jumlah pendapatan yang teridentifikasi tersebut dapat diukur secara andal
1
International Financial Reporting Standards, International Accounting Standards Committee
Foundation, 2010, London, UK.
www.futurumcorfinan.com
Page 5
Tentunya tidak mengherankan apabila dalam praktik bisnis, pembayaran royalti atau fee
tertentu lainnya, mengambil bentuk-bentuk sebagai berikut:
1. Tarif royalti sebagai persentase dari pendapatan bersih (net sales)
2. Tarif royalti sebagai persentase dari laba kotor (gross margin)
3. Tarif royalti sebagai persentase dari laba operasional (income from operations)
atau bentuk lainnya, seperti EBITDA
4. Jumlah royalti per jumlah unit yang terjual
5. Jumlah royalti per jumlah unit yang diproduksi
6. Suatu jumlah tertentu yang tetap (lump-sum), yang dapat pula dikombinasi dengan
jumlah yang dikaitkan dengan ukuran lain.
7. Tarif royalti yang berbeda-beda untuk tingkat penjualan yang berbeda
8. Tarif royalti yang berbeda untuk wilayah penjualan yang berbeda atau tahun
produksi yang berbeda atau jenis produk yang berbeda
9. Tarif royalti yang ditentukan minimum dan maksimumnya
Bahkan ahli penilaian untuk HAKI dan aktiva tidak berwujud, mengkaitkan secara
langsung bahwa nilai dari (penggunaan) HAKI dan aktiva tidak berwujud lainnya dengan
imbal hasil atas investasi (return on investment).
But, in the main and in the long-run, businesspeople base those decisions on a careful
(and correct) evaluation of the potential for earning a return on investment. Dollars are
not committed for idle amusement. They are planted in order to grow – businesspeople
are simply farmers with their own unique seeds and implements, trying to employ the
classic agents of production in their own way.2
(kalimat ditebalkan untuk keperluan
penekanan)
(terjemahan bebas : Akan tetapi, terutama dan dalam jangka panjang, pelaku bisnis
mendasarkan keputusan-keputusan mereka pada evaluasi yang hati-hati (dan benar) atas
kemungkinan untuk memperoleh imbal hasil atas investasi. Dolar tidak diinvestasikan
untuk kesenangan semata-mata. Investasi ditanamkan supaya bertumbuh – pelaku bisnis
2
Gordon V. Smith, Russell L. Parr, Valuation of Intellectual Property and Intangible Assets, third
edition, 2000, John Wiley & Sons, USA, halaman X.
www.futurumcorfinan.com
Page 6
adalah semata-mata petani dengan benih mereka yang unik dan berusaha menjalankan
agen produksi yang klasik dengan cara mereka sendiri.)
Tarif yang Wajar dalam Transfer Pricing
Sesudah diketahui bahwa tarif royalti dan non-royalti terkait dengan imbal hasil atas
investasi, tentunya, sekarang dihadapkan kepada pertanyaan : bagaimana menentukan
tarif yang wajar dalam konteks Transfer Pricing?
Konteks Transfer Pricing ini di sini tentunya dapat diartikan apakah transaksi pembayaran
royalti atau fee non-royalti tersebut dilakukan antara pihak-pihak:
1) yang kedua-duanya berada dalam jurisdiksi perpajakan yang sama. Sebagai
contoh, pembayaran royalti atas penggunaan HAKI dari PT A kepada PT B, di
mana baik PT A dan PT B merupakan perusahaan yang didirikan dan
berkedudukan di Indonesia. Atau,
2) yang tidak didirikan atau berkedudukan di Negara yang sama, atau dengan kata
lain, berada dalam jurisdiksi perpajakan yang berbeda. Sebagai contoh,
pembayaran royalti yang dilakukan oleh PT A (yang didirikan dan berkedudukan di
Indonesia) kepada principal-nya di Negara Jepang.
Namun menilik kepada bagian “Menimbang” dalam PER-43, dapat diketahui bahwa
ketentuan PER-43, lebih mengarah kepada point ke-2 di atas, dimana transaksi
pembayaran royalti atau fee non-royalti adalah antara pihak-pihak yang tidak berada pada
jurisdiksi perpajakan yang sama (transaksi lintas negara - cross-border transaction).3
Esensi dari permasalahan pembayaran royalti untuk transaksi lintas negara, adalah
adanya fakta bahwa pembayaran lintas jurisdiksi perpajakan tersebut, untuk penggunaan
HAKI atau pemanfaatan Barang Tidak Berwujud Lainnya (atau Barang Tidak Berwujud),
adalah pembayaran royalti atau fee non-royalti tersebut adalah merupakan :
 pengurang penghasilan kena pajak bagi pihak pembayar.
 penambah penghasilan kena pajak bagi pihak yang menerima pembayaran
3
Hal ini diperkuat dalam Pasal 22 dan 23 dari PER-43, dimana diatur mengenai permohonan
Prosedur Persetujuan Bersama (Mutual Agreement Procedure) dan Kesepakatan Harga Transfer
(Advance Pricing Agreement), hal mana lebih umum didapatkan dalam literatur-literatur yang
membicarakan transaksi-transaksi lintas negara.
www.futurumcorfinan.com
Page 7
Pada saat baik pihak pembayar maupun pihak yang menerima pembayaran royalti atau
fee non-royalti adalah merupakan pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa,
otoritas perpajakan masing-masing negara (terutama otoritas perpajakan dari negara
pihak pembayar) dapat dimengerti akan memberikan perhatian lebih untuk memastikan
apakah:
Jumlah pembayaran royalti atau fee non-royalti merupakan fungsi dari hanya
pengelakan perpajakan (tax avoidance) atau dengan kata lain, tidak didasarkan
kepada realitas bisnis (business reality) atau transaksi yang memiliki substansi
komersial (transaction without commercial substance).
Suatu transaksi disebutkan memiliki substansi komersial adalah apabila arus kas di masa
mendatang diharapkan akan berubah secara signifikan sebagai akibat adanya transaksi
tersebut4
.
Tampaknya, pihak otoritas perpajakan berusaha menyederhanakan hal di atas menjadi
penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha dalam transaksi antara wajib pajak
dengan pihak yang mempunyai hubungan istimewa.
Tentunya, yang menjadi pertanyaan utama Wajib Pajak pada umumnya (asumsi : Wajib
Pajak sebagai pembayar royalti ke luar negeri yang merupakan pihak yang mempunyai
hubungan istimewa), adalah :
apakah yang dimaksud dengan tarif royalti atau fee non-royalti yang dianggap
memenuhi prinsip kewajaran dan kelaziman usaha?
Dari PER-43, diperoleh petunjuk sebagai berikut:
Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha (arm's length principle/ALP) merupakan prinsip
yang mengatur bahwa apabila kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak
yang mempunyai Hubungan Istimewa sama atau sebanding dengan kondisi dalam
transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa
yang menjadi pembanding, maka harga atau laba dalam transaksi yang dilakukan antara
pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa harus sama dengan atau berada dalam
rentang harga atau laba dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak
mempunyai Hubungan Istimewa yang menjadi pembanding. (Pasal 1 point 6).
4
International Accounting Standards No. 16, Property, Plant and Equipment, International
Accounting Standards Committee Foundation, 2010, London, UK, halaman A443.
www.futurumcorfinan.com
Page 8
Harga Wajar atau Laba Wajar adalah harga atau laba yang terjadi dalam transaksi yang
dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa dalam kondisi
yang sebanding, atau harga atau laba yang ditentukan sebagai harga atau laba yang
memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha. (Pasal 1 point 7)
Analisis Kesebandingan adalah analisis yang dilakukan oleh Wajib Pajak atau Direktorat
Jenderal Pajak atas kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara Wajib Pajak dengan
pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa untuk diperbandingkan dengan kondisi dalam
transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa,
dan melakukan identifikasi atas perbedaan kondisi dalam kedua jenis transaksi dimaksud.
(Pasal 1 point 8)
Pasal 2 (2b) PER-43 merupakan ruang lingkup dari yang dibicarakan dalam bab ini, yaitu
menyangkut sewa, royalti, atau imbalan lain yang timbul akibat penyediaan atau
pemanfaatan harta berwujud maupun harta tidak berwujud (catatan : bagian yang
ditebalkan dilakukan untuk tujuan penekanan);
Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dilakukan dengan langkah- langkah sebagai
berikut:
a. melakukan Analisis Kesebandingan dan menentukan pembanding (catatan
: bagian yang ditebalkan dilakukan untuk tujuan penekanan);
b. menentukan metode Penentuan Harga Transfer yang tepat;
c. menerapkan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha berdasarkan hasil
Analisis Kesebandingan dan metode Penentuan Harga Transfer yang tepat ke
dalam transaksi yang dilakukan antara Wajib Pajak dengan pihak yang
mempunyai Hubungan Istimewa ; dan
d. mendokumentasikan setiap langkah dalam menentukan Harga Wajar atau Laba
Wajar sesuai dengan ketentuan perundang- undangan perpajakan yang
berlaku.
Jadi dapat disimpulkan bahwa Arm’s-length principle dalam PER-43 sangat lekat dengan
Analisis kesebandingan dan menentukan pembanding. Hal ini tidak terlalu mengherankan,
karena standar arm’s-length diterapkan hampir secara universal untuk menguji penerapan
prinsip kewajaran dan kelaziman usaha dalam transaksi antara wajib pajak dengan pihak
yang mempunyai hubungan istimewa.5
5
OECD Transfer Pricing Guidelines for Multinational Enterprises and Tax Administrations, July
2010.
www.futurumcorfinan.com
Page 9
Dari OECD Transfer Pricing Guidelines for Multinational Enterprises and Tax
Administrations (July 2010), bagian Glossary, disebutkan bahwa:
Arm’s length principle
The international standard that OECD member countries have agreed should be used for
determining transfer prices for tax purposes. It is set forth in Article 9 of the OECD Model
Tax Convention as follows: where “conditions are made or imposed between the two
enterprises in their commercial or financial relations which differ from those which would
be made between independent enterprises, then any profits which would, but for those
conditions, have accrued to one of the enterprises, but, by reason of those conditions,
have not so accrued, may be included in the profits of that enterprise and taxed
accordingly”.
Arm’s length range
A range of figures that are acceptable for establishing whether the conditions of a
controlled transaction are arm’s length and that are derived either from applying the same
transfer pricing method to multiple comparable data or from applying different transfer
pricing methods.
Dari bacaan di atas, dapat diketahui bahwa satu dari criteria utama untuk menguji apakah
suatu transaksi adalah arm’s-length adalah :
Apakah pihak lain, yang tidak memiliki hubungan istimewa akan melakukan transaksi
dengan tarif yang sama, atau, apakah pihak yang sedang diuji akan melakukan transaksi
dengan tarif yang sama terhadap pihak yang tidak memiliki hubungan istimewa?
Pertanyaan di atas, akan mengarahkan, pihak-pihak yang berkepentingan, antara lain,
otoritas perpajakan, fiskus, manajer pajak atau hakim pajak, untuk secara langsung
mereview transaksi-transaksi yang dilakukan dengan pihak yang mempunyai hubungan
istimewa dan dengan pihak ke-tiga yang tidak mempunyai hubungan istimewa.
Pengertian hubungan istimewa :
1. Hubungan istimewa karena kepemilikan saham/penyertaan sebagaimana diatur
oleh Pasal 18 ayat (4) huruf a UU PPh.
 Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung
www.futurumcorfinan.com
Page 10
paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada Wajib Pajak lain;
 hubungan antara Wajib Pajak dengan penyertaan paling rendah 25% (dua
puluh lima persen) pada dua Wajib Pajak atau lebih;
 atau hubungan di antara dua Wajib Pajak atau lebih yang disebut terakhir;
2. Hubungan istimewa karena penguasaan sebagaimana diatur oleh Pasal 18 ayat
(4) huruf b UU PPh.
3. Hubungan istimewa karena hubungan keluarga sebagaimana diatur oleh Pasal 18
ayat (4) huruf c UU PPh.
4. Hubungan istimewa karena pengendalian sebagaimana diatur oleh Pasal 9 ayat
(1) Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (tax treaty) antara Indonesia dengan
negara domisili pihak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak
Transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa harus konsisten
dengan prinsip arm’s-length. Dengan melakukan analisa kesebandingan, secara implisit
atau tidak langsung, pihak fiskus menerima asumsi bahwa transaksi yang dilakukan
dengan pihak yang tidak memiliki hubungan istimewa sudah menerapkan prinsip arm’s-
length atau prinsip kewajaran.
Jika prinsip arm’s-length tidak dipatuhi, berdasarkan pasal 18 (3) Undang-undang No. 7
Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-undang No. 36 Tahun 2008, Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk
menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang
sebagai modal untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak
yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya sesuai dengan
kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa dengan
menggunakan metode perbandingan harga antara pihak yang independen, metode harga
penjualan kembali, metode biaya-plus, atau metode lainnya.
Dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan, sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang
Nomor 16 Tahun 2009, pemerintah Indonesia menentukan dokumentasi transfer pricing
tertentu untuk membuktikan arm’s-length nature dari transaksi-transaksi hubungan
istimewa. Dokumentasi Transfer Pricing seringkali diminta selama pemeriksaan pajak
karena isu Transfer Pricing pada umumnya merupakan subyek yang mendapat penelitian
mendalam oleh kantor pajak.
Pengungkapan Transfer Pricing yang detil diwajibkan dilampirkan dalam SPT Tahunan
www.futurumcorfinan.com
Page 11
Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan, antara lain:
 Daftar pihak yang mempunyai hubungan istimewa
 Rincian transaksi dengan pihak yang mempunyai hubungan istimewa, mencakup
jenis transaksi, nilai transaksi, metode penetapan harga, alasan penggunaan
metode
 Dokumentasi penetapan harga wajar
Perlu ditambahkan di sini, bahwa sengketa TP dapat diselesaikan melalui proses
keberatan dan banding, atau dimana sengketa melibatkan suatu transaksi antara suatu
pihak yang mempunyai hubungan istimewa di Negara yang merupakan Negara tax treaty
Indonesia, maka pihak-pihak tersebut dapat mengajukan double tax relief melalui Mutual
Agreement Procedures.
Ketentuan perpajakan memberikan otorisasi kepada Dirjen Pajak untuk mengadakan
Advance Pricing Agreement (APA) dengan wajib pajak sehubungan dengan transaksi-
transaksi hubungan istimewa. Proses tersebut boleh atau tidak melibatkan kerjasama dari
otoritas perpajakan luar negeri/asing. Begitu disepakati, APA pada umumnya akan berlaku
untuk jangka waktu tertentu. Sesudah periode tersebut berakhir, APA terbuka untuk
dinegosiasikan.6
Dari hal-hal di atas, dapat kita simpulkan bahwa beban pembuktian Transfer Pricing ada
pada pihak Wajib Pajak dalam negeri Indonesia, baik yang melakukan pembayaran ke
luar negeri (prinsipal, atau pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa) atau bahkan
menerima pembayaran (dapat diperkirakan sangat jarang ditemukan).
Kembali kepada konteks Indonesia, di mana sebagian besar, wajib pajak di Indonesia
dapat dikatakan banyak merupakan pembayar royalti kepada pihak di luar negeri (yang
mungkin – merupakan pihak yang memiliki hubungan istimewa), sehubungan dengan
penyediaan atau pemanfaatan barang tidak berwujud atau penggunaan HAKI. Dengan
demikian, dalam laporan laba rugi tahunan, wajib pajak akan menyajikan biaya royalti
sebagai pengurang penghasilan dalam rangka penentuan Penghasilan Kena Pajak.
6
Peraturan Direktur Jenderal Pajak PER-69/PJ/2010 tanggal 31 Desember 2010 tentang
Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement).
www.futurumcorfinan.com
Page 12
Walaupun sudah ada petunjuk dari PER-43, Wajib Pajak tetap menemukan kesulitan
untuk menerapkan dokumentasi yang dapat memenuhi ketentuan PER-43, terutama
dalam melakukan analisis kesebandingan dan menentukan pembanding. Jasa konsultan
pajak banyak dimanfaatkan untuk melakukan dokumentasi Transfer Pricing ini. Namun
demikian, tetap apapun produk dari jasa konsultan pajak, pada umumnya wajib pajak tidak
mengetahui bagaimana menentukan tarif yang wajar yang memenuhi Prinsip Kewajaran
dan Kelaziman Usaha. Hampir dalam kebanyakan transaksi bisnis, proses penentuan tarif
tidak dapat diketahui atau bersifat konfidensial.
Tentunya, kalau kita tanyakan langsung kepada wajib pajak (dalam konteks : tidak
memiliki hubungan istimewa), berapa tarif royalti atau fee non-royalti yang ia bersedia
bayar, tentunya ia akan berusaha untuk mencapai negosiasi tarif yang serendah-
rendahnya. Ini juga menimbulkan rasa ingin tahu pada waktu mengetahui bahwa tarif
royalti wajib pajak ada pada quartil yang 75% dari rentang harga atau laba berdasarkan
metode penentuan harga transfer, dan bukan di bawah 50%.
Apakah pertanyaan langsung kepada wajib pajak mengenai tarif adalah relevan?
Tampaknya hal ini tidak dianggap tidak terlalu relevan, dan agak subyektif, dengan kata
lain, ada kemungkinan tidak mencerminkan business reality. Otoritas perpajakan lebih
mengandalkan bahwa penerapan (dan pembuktian) Prinsip Kewajaran dan Kelaziman
Usaha berdasarkan :
a. hasil Analisis Kesebandingan, dan
b. penerapan metode Penentuan Harga Transfer yang tepat ke dalam transaksi yang
dilakukan antara Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa.
Pasal 11 (2) PER-43 menyebutkan bahwa Metode Penentuan Harga Transfer yang dapat
diterapkan adalah:
a. metode perbandingan harga antara pihak yang independen (comparable
uncontrolled price/CUP) ;
b. metode harga penjualan kembali (resale price method/RPM) atau metode biaya-
plus (cost-plus method/CPM);
c. metode pembagian laba (profit split method/PSM) atau metode laba bersih
transaksional (transactional net margin method/TNMM) .
Harga Wajar atau Laba Wajar berdasarkan metode-metode Penentuan Harga Transfer
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) di atas dapat ditentukan dalam bentuk
harga atau laba tunggal (single price) atau dalam bentuk Rentang Harga Wajar atau Laba
www.futurumcorfinan.com
Page 13
Wajar (arm's length range/ALR). (Pasal 13 (1) PER-43.
Jadi kita dapat menyimpulkan bahwa PER-43 mengharapkan :
penerapan salah satu (atau kombinasi) dari metode di atas dapat menghasilkan
harga wajar atau laba wajar.
Apakah demikian?
Sebelum dibahas lebih lanjut, perlu dipertanyakan dua point yang mendasar:
1. Mengapa suatu pihak bersedia membayar tarif royalti atau fee non-royalti kepada
pihak lain?
2. Mengapa suatu pihak bersedia membayar tarif yang berbeda (tentunya secara
signifikan mempunyai dampak terhadap beban pajak penghasilan pihak yang
membayar) untuk transaksi dengan pihak yang mempunyai hubungan istimewa
dibandingkan dengan pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa?
Tentunya secara logika, menjawab pertanyaan nomor 1 di atas, suatu pihak bersedia
membayar tarif royalti atau fee non-royalti kepada pihak lain adalah :
Penggunaan HAKI atau pemanfaatan barang tidak berwujud tersebut memiliki nilai (value)
dimana:
 Nilai tersebut akan terwujud dalam bentuk manfaat ekonomis di masa mendatang
(future economic benefits) (yang dapat berupa atau terwujud dalam bentuk
pendapatan – harga premium, pangsa pasar yang lebih besar, volume yang tinggi,
biaya yang lebih rendah, dan lain-lain) yang kemungkinan akan mengalir kepada
entitas pembayar royalti (atau secara tidak langsung, kepada pihak penerima
pembayaran royalti).
 Manfaat ekonomis di masa mendatang tersebut dapat di-identifikasi dan
dinyatakan dalam ukuran moneter (uang atau ekivalen uang) secara andal.
 Faktor kemungkinan tersebut memiliki probabilitas di atas 50%.
Jadi, dapat dikatakan bahwa suatu pihak bersedia membayar tarif yang berbeda (untuk
transaksi dengan pihak yang mempunyai hubungan istimewa dan tidak mempunyai
hubungan istimewa) adalah karena jumlah manfaat ekonomis di masa mendatang dan
faktor kemungkinan diterima adalah berbeda, atas penggunaan HAKI atau pemanfaatan
www.futurumcorfinan.com
Page 14
barang tidak berwujud tersebut (menjawab pertanyaan nomor 2 di atas).
Kembali ke nilai (value) suatu HAKI atau barang berwujud, yang merupakan representasi
dari seluruh manfaat ekonomis di masa mendatang, yang di-kompres, menjadi satu tarif
pembayaran (single payment rate, berupa royalti atau fee non-royalti).
Menambah kompleksitas, adalah nilai ini akan secara kontinyu berubah, seiring dengan
manfaat ekonomis yang bertambah atau berkurang sejalan berlalunya waktu. Dengan
demikian, tarif royalti atau fee non-royalti, secara logika, selayaknya perlu direview secara
periodik, untuk ditentukan apakah perlu diubah – diturunkan atau bahkan dinaikkan.
Di sini, kembali dihadapkan pada penentuan manfaat ekonomis di masa mendatang.
Berdasarkan literatur-literatur yang ada, dikenal metode-metode 7
:
1. Metode comparable/kesebandingan
Implisit dalam metode ini adalah asumsi bahwa jika suatu pihak melakukan suatu
transaksi pembayaran royalti yang sama atau tidak berbeda secara signifikan
dengan pihak lain, maka hal itu dianggap sudah menerapkan prinsip kewajaran
dan kelaziman usaha.
Jelas, bahwa OECD maupun PER-43 lebih condong kepada metode
kesebandingan. Pada tingkat yang mendasar, tentunya relatif sulit untuk
memperdebatkan manfaat dari metode ini, kalau memang objek yang dibicarakan
adalah sama atau memiliki karakteristik yang sama. Namun tentunya, juga disadari
bahwa apakah ada HAKI yang sama atau dapat diperbandingkan, misalnya
apakah dapat dilakukan perbandingan antara brand Coca Cola dengan Pepsi? Apa
ada cara-cara yang logis untuk melakukan penyesuaian (yang subyektif) untuk
perbedaan-perbedaan yang ada?
Walaupun OECD Transfer Pricing Guidelines for Multinational Enterprises and Tax
Administrators menyebutkan faktor-faktor yang turut dipertimbangan untuk
kesebandingan, yaitu8
, namun hal-hal itu juga tidak terlalu membantu, bahkan
cenderung membuat analisa menjadi lebih kompleks:
 Karakteristik dari properti atau jasa
7
Gordon V. Smith, Russell L. Parr, Valuation of Intellectual Property and Intangible Assets, third
edition, 2000, John Wiley & Sons, Inc., USA, halaman 101.
8
OECD Transfer Pricing Guidelines for Multinational Enterprises and Tax Administrations, July
2010, halaman 43.
www.futurumcorfinan.com
Page 15
 Analisa fungsional
 Syarat-syarat kontraktual
 Kondisi perekonomian
 Strategi bisnis
Dengan kata lain, ketergantungan pada pendekatan kesebandingan adalah juga
pada akhirnya, ketergantungan pada penyederhanaan yang berlebihan, yang
tentunya suatu yang tidak terhindarkan (unavoidable gross over-simplification).
2. Metode analitis
Berapa tarif royalti yang akan disepakati oleh pihak-pihak jika mereka
menegosiasikan transaksi bisnis berdasarkan fakta dan kondisi mereka sendiri dan
mempertimbangkan faktor-faktor HAKI yang di-alihkan.
Secara konsep, metode analitis tentunya lebih baik, karena metode ini berusaha
untuk mereview proses negosiasi arm’s-length itu sendiri, dengan
mempertimbangkan unsur-unsur yang turut dipertimbangkan oleh dua pihak yang
tidak memiliki hubungan istimewa. Proses negosiasi itu sendiri akan berdasarkan
pada fakta dan kondisi yang memang spesifik untuk negosiasi itu.
Dengan kata lain, untuk menjadi arm’s-length, apapun tarif yang nantinya
diputuskan oleh kedua belah pihak, adalah bukan merupakan hasil dari hubungan
yang non-market atau semata-mata perjanjian antara kedua belah pihak.9
Tentunya, pertanyaan klasik adalah bagaimana membawa ranah konseptual ini ke
dalam ranah yang mudah diimplementasi dalam praktik di lapangan.
Buku-buku teks yang ada10
, menyebutkan adanya tiga metode:
1. Pendekatan Biaya (cost approach)
2. Pendekatan Pasar (market approach). Termasuk di dalamnya, metode
kesebandingan (comparability method)
3. Pendekatan Pendapatan (income approach)
9
Jeffrey A. Cohen, Intangible Assets – Valuation and Economic Benefit, 2005, John Wiley & Sons,
USA, halaman 6.
10
misalnya, Robert F. Reilly, Robert P. Schweihs, Valuing Intangible Assets, 1999, McGraw-Hill,
USA.
www.futurumcorfinan.com
Page 16
Perlu ditekankan di sini, bahwa penggunaan ke-tiga metode tersebut membutuhkan data
yang baik dan proyeksi data, menjadi kritikal untuk menentukan tarif yang wajar.
Analisa Transfer Pricing untuk Konteks Indonesia
Untuk kasus di Indonesia, yang menjadi pertanyaan adalah apakah memiliki database
yang dapat digunakan oleh wajib pajak untuk menentukan tarif yang wajar (pendekatan
pasar).
Tentunya keunggulan dari data databases adalah data tersebut :
 diambil dari tarif royalti aktual yang sudah terjadi untuk produk-produk yang
diharapkan dapat diperbandingkan,
 yang muncul dari negosiasi dan kemungkinan sudah ada beberapa transaksi yang
ada,
 berasal dari transaksi antara pihak-pihak tanpa paksaan, tekanan, tuntutan hukum,
 dapat mencerminkan profitabilitas segmen industri.
Kalau di Amerika Serikat, terdapat data-data yang diterbitkan oleh the Association of
University Technology Managers (AUTM) dan the Licensing Executives Society (LES).
Perlu dicatat bahwa walaupun tersedia database tersebut, bagaimana pihak wajib pajak
dapat melakukan penyesuaian untuk sampai kepada produk tertentu. Namun demikian,
adanya rentang harga wajar atau laba wajar tersebut dapat minimal memberikan
gambaran umum, walaupun tidak sangat membantu dalam penentuan produk khusus.
Namun demikian, kalaupun ada data rentang harga wajar atau laba wajar, misalkan untuk
tarif royalti untuk teknologi tertentu, misalkan 2% - 8%, hal ini tidak banyak memberikan
informasi berapa tarif royalti untuk penentuan pembayaran royalti, apakah harus diambil
rata-rata, misalnya 5%?
Sekalipun demikian, generalities don’t tell you anything about your particular deal.
Di samping itu, penggunaan metode perbandingan harga antara pihak yang independen
(comparable uncontrolled price/CUP) memerlukan data informasi dan analisa dalam
jumlah yang relatif banyak, dan analisa yang berbeda dapat memberikan hasil yang
sangat berbeda.
Sebagai contoh, untuk melakukan analisa kesebandingan atas paten, menurut Cohen
www.futurumcorfinan.com
Page 17
(2005), terdapat lima hal yang perlu dipertimbangkan11
:
 Fit, extension, or context
 History
 Scope
 Useful remaining life
 Likelihood of infringement
Peraturan perpajakan di Amerika Serikat (dikenal sebagai 482 Regulations)
mempertimbangkan analisa arus kas yang didiskonto (discounted cash flow - DCF)
sebagai ukuran atas potensi laba yang paling dapat diandalkan. Sekalipun demikian,
prosedur DCF sendiri menimbulkan kesulitan-kesulitan praktis, misalnya memerlukan
proyeksi yang mendetil atas pendapatan dan biaya yang terkait dengan penggunaan
aktiva/barang tak berwujud dan penentuan tingkat diskonto yang tepat dalam
menyelesaikan analisa. Analisa DCF ini, di samping kompleksitasnya, juga relatif akan
mudah dipertanyakan. Pihak Wajib Pajak, walaupun telah menghabiskan banyak waktu
dan tenaga kerja yang berpengalaman untuk membangun analisa DCF, kemungkinan
mendapati analisa DCF yang ada salah dimengerti oleh pihak fiskus, dan kemudian
ditolak untuk digunakan.
Sebelum lebih jauh mengenai metode praktis yang disarankan untuk konteks Indonesia,
ada baiknya melihat pada kasus Georgia-Pacific v. United States Plywood Corp.
Pada tahun 1970, dalam kasus Georgia-Pacific v. United States Plywood Corp. (318 F.
Supp. 1116), the U.S. District Court for the Southern District of New York menggunakan
15 faktor berikut ini untuk menentukan tarif royalti yang wajar12
:
1. The royalties received by the patentee for the licensing of the patent in suit,
proving or tending to prove an established royalty.
2. The rates paid by the licensee for the use of other patents comparable to the
patent in suit.
3. The nature and scope of the license, as exclusive or nonexclusive, or as
restricted or nonrestricted in terms of territory or with respect to whom the
11
Jeffrey A. Cohen, Intangible Assets – Valuation and Economic Benefit, 2000, John Wiley & Sons,
Inc., USA, halaman 93.
12
Georgia-Pacific Corporation v. United States Plywood Corporation, Civ. A. No. 99-195, 318
F.Supp. 1116; 1970 U.S. Dist. LEXIS 11541; 166 U.S.P.Q. (BNA) 235 (May 28, 1970).
www.futurumcorfinan.com
Page 18
manufactured product may be sold.
4. The licensor’s established policy and marketing program to maintain a patent
monopoly by not licensing others to use the invention or by granting licenses
under special conditions designed to preserve that monopoly.
5. The commercial relationship between the licensor and licensee, such as
whether they are competitors in the same territory in the same line of business,
or whether they are inventor and promoter.
6. The effect of selling the patented specialty in promoting sales of other products
of the licensee, the existing value of the invention to the licensor as a generator
of sales of non-patented items, and the extent of such derivative or convoyed
sales.
7. The duration of the patent and the term of the license.
8. The established profitability of the product made under the patent, its
commercial success, and its current popularity.
9. The utility and advantages of the patent property over the old modes or devices,
if any, that had been used for working out similar results.
10. The nature of the patented invention, the character of the commercial
embodiment of it as owned and produced by the licensor, and the benefits to
those who have used the invention.
11. The extent to which the infringer has made use of the invention and any
evidence probative of the value of that use.
12. The portion of the profit or of the selling price that may be customary in the
particular business or in comparable businesses to allow for the use of the
invention or analogous inventions.
13. The portion of the realizable profit that should be credited to the invention as
distinguished from non-patented elements, the manufacturing process, business
risks, or significant features or improvements added by the infringer.
14. The opinion testimony of qualified experts.
15. The amount that a licensor (such as the patentee) and a licensee (such as the
infringer) would have agreed upon (at the time the infringement began) if both
had been reasonably and voluntarily trying to reach an agreement, that is, the
amount obtain a license to manufacture and sell a particular article embodying
the patented invention—would have been willing to pay as a royalty and yet be
able to make a reasonable profit and which amount would have been
acceptable by a prudent patentee who was willing to grant a license.
www.futurumcorfinan.com
Page 19
Dari bacaan atas 15 faktor-faktor di atas, pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi 5
kelompok, sebagai berikut13
:
1. Market Comparable royalties – Nomor 1 dan 2
2. Licensor’s Policies/Potential Terms – Nomor 3, 4, 5 dan 7
3. Technology – Nomor 9 dan 10
4. Profitability and Other Financial Metrics – Nomor 6, 8, 11, 12, 13, 14
5. Hypothetical Negotiation – Nomor 15
Tampaknya, ukuran berupa profitabilitas dan metrik keuangan lainnya mendominasi
faktor-faktor yang menentukan tarif royalti yang dianggap wajar.
Penentuan Tarif Royalti yang Wajar
Terdapat dua point yang penting mendasari penentuan tarif royalti atau fee non-royalti
lainnya yang wajar:
(1)
Sebagaimana diutarakan di awal bab ini, penentuan tarif royalti atau fee non-royalti
lainnya erat terkait dengan imbal hasil atas investasi. Dengan demikian, suatu tarif royalti
atau fee non-royalti sering didasarkan pada logika ekonomi dengan menggunakan model
keuangan yang mengkaitkan dua hal secara langsung:
 investasi yang dibutuhkan untuk mengembangkan HAKI atau barang tidak
berwujud tersebut, dan
 pendapatan yang diharapkan akan dihasilkan oleh penggunaan HAKI atau barang
tidak berwujud tersebut.
(2)
Pada waktu pihak-pihak independen akan mengadakan suatu transaksi, kondisi dari
hubungan komersial dan keuangan masing-masing pihak (misalnya mengenai harga
barang yang akan dijual dan dibeli, jasa yang akan diberikan dan persyaratan dan kondisi
(terms & conditions) isi perjanjian) pada umumnya akan ditentukan oleh kekuatan pasar
eksternal. Namun pada waktu transaksi tersebut dilakukan antara pihak-pihak yang
13
Glen S. Newman, How Reasonable is Your Royalty?, September 2008, Richard J. Gering and
Jeffrey N. Press.
www.futurumcorfinan.com
Page 20
mempunyai hubungan istimewa, hubungan komersial dan keuangan tidak akan secara
langsung dipengaruhi oleh kekuatan pasar eksternal dengan tingkatan yang sama seperti
transaksi dengan pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa. Seberapa besar
perbedaan tersebut, inilah yang menjadi fokus fiskus.
Perlu dicatat bahwa pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa biasanya tetap
berusaha mereplikasi ke-dinamis-an dari kekuatan pasar eksternal pada waktu
menegosiasikan transaksi. Pihak fiskus tidak seharusnya secara otomatis
mengasumsikan bahwa pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa berusaha untuk
selalu memanipulasi laba mereka dari transaksi tersebut. Ada kemungkinan bahwa
memang ditemukan kesulitan untuk secara akurat menentukan harga pasar yang wajar,
pada saat kekuatan pasar eksternal sulit untuk dikuantifikasi atau bahkan tidak ada
(mengingat keunikan dari HAKI atau barang tidak berwujud) atau pada saat penggunaan
HAKI atau barang tidak berwujud tersebut membutuhkan penerapan strategi pemasaran
yang khusus.
Sebagai konsekuensi, pada saat menghitung tarif yang digunakan dalam transaksi antara
pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa, pihak fiskus akan menerapkan
pengujian prinsip kewajaran dan kelaziman usaha, dalam rangka mengubah nilai transaksi
menjadi apa yang disebut nilai wajar yang mengacu ke pasar.
OECD (2010) mengingatkan bahwa pada waktu penyesuaian tersebut dilakukan14
:
It is important to bear in mind that the need to make adjustments to approximate arm's
length transactions arises irrespective of any contractual obligation undertaken by the
parties to pay a particular price or of any intention of the parties to minimize tax. Thus, a
tax adjustment under the arm's length principle would not affect the underlying contractual
obligations for non-tax purposes between the associated enterprises, and may be
appropriate even where there is no intent to minimize or avoid tax. The consideration of
transfer pricing should not be confused with the consideration of problems of tax fraud or
tax avoidance, even though transfer pricing policies may be used for such purposes.
(Catatan : kalimat yang digaris-bawahi dilakukan untuk keperluan penekanan).
14
OECD Transfer Pricing Guidelines for Multinational Enterprises and Tax Administrations, July
2010, halaman 31.
www.futurumcorfinan.com
Page 21
Jadi dari dua hal di atas, ini berarti sangat relevan bahwa dalam dokumentasi Transfer
Pricing untuk melihat apakah tarif royalti atau fee non-royalti lainnya sudah menerapkan
prinsip kewajaran dan kelaziman usaha adalah perusahaan memiliki rencana bisnis
(business plan) yang baik. Sungguh beralasan untuk mengasumsikan bahwa
perusahaan tentunya akan memiliki rencana bisnis yang baik sebagai basis untuk
memulai suatu negosiasi penentuan tarif dengan pihak yang tidak mempunyai hubungan
istimewa. Rencana bisnis di sini bukan berarti suatu laporan yang harus berpuluh-puluh
lembar halaman dipenuhi dengan berbagai gambar dan chart yang warna-warni, dan tidak
selalu harus disiapkan oleh pihak konsultan. Rencana bisnis yang baik tentunya rencana
bisnis yang cukup memadai untuk memungkinkan pengambil keputusan atau manajemen
perusahaan untuk melihat seluruh aspek baik faktor eksternal maupun internal, termasuk
resiko, dan dampaknya ke depan bagi masa depan perusahaan.
Dalam konteks perusahaan multi-nasional, seperti misalnya struktur di bawah ini, adanya
suatu rencana bisnis yang komprehensif tentunya dapat membantu pihak fiskus untuk
melihat apakah faktor-faktor kekuatan pasar eksternal telah menentukan penetapan tarif.
Adanya rencana bisnis dalam dokumen alternatif persyaratan dokumentasi Transfer
Pricing juga akan dapat melengkapi :
1. Analisa atas proyeksi laba (atau bahkan target profitabilitas perusahaan yang
dijadikan acuan/benchmark) versus laba aktual dalam suatu tahun.
Analisa tarif yang wajar (termasuk dokumentasi Transfer Pricing) pada umumnya
berfokus pada laba yang sesungguhnya diperoleh oleh wajib pajak dalam suatu
www.futurumcorfinan.com
Page 22
tahun fiscal. Hal ini tentunya juga menimbulkan permasalahan (bahkan sengketa
pajak dengan wajib pajak) mengingat keputusan penentuan tarif royalti atau fee
non-royalti adalah keputusan bisnis (business decision) yang pada umumnya
ditentukan pada waktu wajib pajak mengadakan suatu transaksi dengan baik pihak
yang mempunyai hubungan istimewa atau tidak. Keputusan bisnis sendiri
mengandung resiko, dimana laba yang diharapkan diperoleh pada suatu tahun
fiskal dapat tidak terealisasi, atau bahkan bergeser ke tahun-tahun fiskal
berikutnya. Apakah hal ini sudah dipertimbangkan pada awal tahun? Tampaknya
dokumentasi Transfer Pricing berdasarkan PER-43 tidak melihat hal ini sebagai
faktor yang penting untuk dipertimbangkan.
Di samping itu, rencana bisnis juga dapat mencakup target laba yang diharapkan
oleh perusahaan multi-nasional dari penggunaan HAKI atau pemanfaatan barang
tidak berwujud lainnya, terlepas dari berapa tarif royalti atau fee non-royalti yang
akan disetujui.
Dalam rencana bisnis dan analisanya terhadap laba atau rugi yang terjadi selama
satu tahun fiskal atau dalam beberapa tahun fiskal , akan tercermin interaksi
antara laba yang diproyeksikan dengan laba atau rugi yang sesungguhnya terjadi
(projected vs. actual), informasi mana memberikan pemahaman yang lebih jauh
terhadap transaksi yang dilakukan oleh wajib pajak dengan pihak yang mempunyai
hubungan istimewa.
2. Analisa atas karakteristik HAKI atau barang tidak berwujud tersebut.
Penggunaan atau manfaat dari HAKI atau barang tidak berwujud lainnya pada
umumnya berbeda dengan transfer antar-perusahaan yang membutuhkan
penilaian, di mana syarat dan kondisi penggunaan hak atau lisensi tersebut
ditentukan untuk periode waktu yang relatif lebih panjang, misalnya dibandingkan
dengan penjualan produk yang berwujud, penyediaan jasa dan lain-lain.
Mengingat jangka waktunya yang lebih panjang, maka mengkaitkan tarif royalti
apakah wajar atau tidak pada suatu tahun fiskal menjadi suatu yang dapat
diperdebatkan. Secara konseptual, tarif royalti atau fee non-royalti lainnya
selayaknya lebih dikaitkan dengan laba, penjualan atau metrik keuangan lainnya
yang bersifat proyeksi ke depan – alih-alih menggunakan hasil yang aktual.
Penggunaan pandangan yang sempit (narrow view) dengan hanya melihat hasil
aktual setiap tahun, tanpa mengkaitkan ke rencana bisnis dan hasil aktual
www.futurumcorfinan.com
Page 23
beberapa tahun, akan menciptakan tambahan resiko kepada wajib pajak, yaitu:
 tarif royalti atau fee non-royalti dan jumlahnya dapat dianggap terlalu tinggi
oleh pihak fiskus, dibandingkan dengan tarif pihak yang dijadikan acuan.
 margin wajib pajak sesudah beban royalti atau fee non-royalti lainnya dapat
dianggap terlalu tinggi oleh pihak fiskus, dibandingkan dengan hasil pihak
yang dijadikan acuan.
 Wajib pajak menderita rugi fiskal setelah beban royalti atau fee non-royalti
lainnya, yang dianggap oleh pihak fiskus, selayaknya, wajib pajak tidak
menderita rugi fiskal mengingat wajib pajak masih mampu membayar
royalti atau fee non-royalti kepada pihak yang mempunyai hubungan
istimewa.
3. Analisa atas tarif royalti atau fee non-royalti lainnya yang dapat disesuaikan
(updated) secara periodik
Mengingat ke-dinamis-an lingkungan bisnis serta nilai HAKI atau barang tidak
berwujud dapat mengalami perubahan, analisa kesebandingan sendiri tidak
mengakomodasi kemungkinan perubahan tersebut tarif tersebut. Misalnya, kalau
tarif di negara lain tidak berubah, maka dengan menggunakan tarif yang tetap di
dalam negeri, secara PER-43, tentunya hal tersebut masih dianggap memenuhi
prinsip kewajaran dan kelaziman usaha. Review atas rencana bisnis yang
disesuaikan secara periodik memungkinkan manajemen perusahaan/wajib pajak
untuk melihat keperluan untuk menegosiasikan ulang tarif royalti atau fee non-
royalti lainnya. Hal ini harusnya terjadi mengingat bahwa negosiasi selalu
dititikberatkan pada dampak dari faktor pasar eksternal – kalau tentunya transaksi
dilakukan dengan pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa. Tarif royalti
atau fee non-royalti lainnya yang tidak pernah mengalami perubahan untuk
beberapa tahun fiskal tentunya menimbulkan pertanyaan.
Dengan demikian, penetapan tarif royalti atau fee non-royalti lainnya yang wajar, tidak
harus selalu melibatkan proses analisa kesebandingan dan mencari perusahaan
pembanding. Keputusan tarif adalah keputusan bisnis semata, yang tentunya adalah
merupakan imbal hasil atas investasi. Dari sudut pandang perusahaan multi-nasional,
investasi yang dilakukan di setiap negara adalah merupakan portofolio asset mereka, dan
pengembalian investasi dalam HAKI atau barang tidak berwujud, diusahakan dapat
www.futurumcorfinan.com
Page 24
diperoleh dari pembayaran royalti atau fee non-royalti dari setiap negara. Dengan
demikian, metode penentuan tarif royalti atau fee non-royalti, terlepas apakah
menerapkan prinsip kewajaran atau kelaziman usaha, selayaknya diserahkan seluruhnya
kepada pihak wajib pajak dan pihak lain, baik yang mempunyai hubungan istimewa atau
tidak. Penentuan tarif tersebut dapat berdasarkan ketentuan 25%15
, metode biaya-plus
atau bentuk-bentuk yang lainnya, seperti:
 Royalti yang wajar = investment rate of return – fair or normal rate of return
 Royalti yang wajar = interest cost of capital in the capital budgeting
 Royalti yang wajar = royalti rate yang dihitung dikurangi faktor diskonto (misalnya
ditentukan 25% - 35% untuk faktor-faktor ekstraneous – sebagai contoh, seberapa
cepat, produk dapat dipasarkan dan menghasilkan pendapatan, ke-eksklusif-an
dari HAKI, feature produk yang kompetitif, pangsa pasar yang sudah ada dan
target ke depan, dan lain-lain).
Kesimpulan
Transaksi penentuan tarif royalti atau fee non-royalti lainnya antara wajib pajak dengan
pihak yang mempunyai hubungan istimewa maupun tidak, tentunya melibatkan negosiasi
yang didukung oleh rencana bisnis (business plan) dengan menggunakan bisnis model
perusahaan atau grup perusahaan multi-nasional. Negosiasi tersebut tentunya
dipengaruhi oleh faktor-faktor pasar eksternal. Jadi tidak semata-mata meminta tarif royalti
yang serendah mungkin.
Penentuan tarif yang wajar termasuk proses negosiasi (akan tergambar sebagian dalam
rencana bisnis) tentunya harus memiliki substansi komersial, dimana sejauh mana arus
kas di masa mendatang diharapkan akan mengalami perubahan signifikan sebagai akibat
penggunaan HAKI atau pemanfaatan barang tidak berwujud tersebut. Analisa
kesebandingan untuk satu periode, tanpa melihat Rencana Bisnis, dan untuk beberapa
periode, tentunya tidak memberikan gambaran yang lengkap.
Metode penentuan tarif royalti atau fee non-royalti yang timbul dari penggunaan HAKI atau
pemanfaatan barang tidak berwujud dapat diserahkan seluruhnya kepada wajib pajak,
mengingat transaksi tersebut merupakan transaksi bisnis dan keputusan yang timbul
15
Lihat Russell L. Parr, Royalty Rates for Licensing Intellectual Property, 2007, John Wiley & Sons,
USA, dan, Robert Feinschreiber, Transfer Pricing Methods – an Applications Guide, 2004, John
Wiley & Sons, USA.
www.futurumcorfinan.com
Page 25
dengan pihak lain merupakan keputusan bisnis, yang pada umumnya ditetapkan pada
awal transaksi. Analisa kesebandingan pada hasil yang aktual kembali menjadi tidak
terlalu tepat.
Menutup bab ini, penulis ingin mengutip Stephen Albainy-Jenei (2005)16
I say that the “correct” royalty rate is the maximum royalty rate that the licensee is
willing to pay that meets the minimum royalty rate the licensor is willing to accept. If
you are only willing to pay 3% and the university will only accept 6%, then you’ll have no
deal (and I’d argue you shouldn’t!). Why front your capital on a business venture that you
can’t afford to pursue?
Considering that the total investment required for the development can be hundreds of
millions of dollars, in many cases only a small royalty rate is economically reasonable
depending upon the expected sales volume. If the expected sales volume doubles, the
reasonable royalty rate payable will likewise increase. However, as the amount of
investment capital increases, the maximum royalty rate payable to the university will
decrease. In that case, the range of reasonable royalty rates can easily vary from 1%-
12% (or even well outside this range) depending upon the expected sales.
In light of this, guide books of reasonable royalty rates don’t seem all that helpful.
~~~~~~ ####### ~~~~~~
16
Stephen Albainy-Jenei, What’s a Reasonable Royalty Rate?, 2005,
http://www.patentbaristas.com/archives/2005/11/17/whats-a-reasonable-royalty-rate.
www.futurumcorfinan.com
Page 26
Disclaimer
This material was produced by and the opinions expressed are those of FUTURUM as of the date
of writing and are subject to change. The information and analysis contained in this publication
have been compiled or arrived at from sources believed to be reliable but FUTURUM does not
make any representation as to their accuracy or completeness and does not accept liability for any
loss arising from the use hereof. This material has been prepared for general informational
purposes only and is not intended to be relied upon as accounting, tax, or other professional
advice. Please refer to your advisors for specific advice.
This document may not be reproduced either in whole, or in part, without the written permission of
the authors and FUTURUM. For any questions or comments, please post it at
www.futurumcorfinan.com
© FUTURUM. All Rights Reserved

More Related Content

What's hot

Akuntansi mudharabah
Akuntansi mudharabahAkuntansi mudharabah
Akuntansi mudharabahmadureh
 
Bea Perolehan Hak atas Tanah (BPHTB)
Bea Perolehan Hak atas Tanah (BPHTB)Bea Perolehan Hak atas Tanah (BPHTB)
Bea Perolehan Hak atas Tanah (BPHTB)Bbe Mee
 
Hubungan Istimewa (associated enterprises) dalam Pajak Internasional
Hubungan Istimewa (associated enterprises) dalam Pajak InternasionalHubungan Istimewa (associated enterprises) dalam Pajak Internasional
Hubungan Istimewa (associated enterprises) dalam Pajak InternasionalIlham Sousuke
 
Konsep hutang dan ekuitas
Konsep hutang dan ekuitasKonsep hutang dan ekuitas
Konsep hutang dan ekuitasRose Meea
 
(Pert 14) chapter 20
(Pert 14) chapter 20(Pert 14) chapter 20
(Pert 14) chapter 20Ilham Sousuke
 
LAPORAN ARUS KAS Metode Langsung dan Metode Tidak Langsung
LAPORAN ARUS KAS Metode Langsung dan Metode Tidak LangsungLAPORAN ARUS KAS Metode Langsung dan Metode Tidak Langsung
LAPORAN ARUS KAS Metode Langsung dan Metode Tidak LangsungRiki Ardoni
 
Teori akuntansi positif
Teori akuntansi positifTeori akuntansi positif
Teori akuntansi positifAditya Rizky
 
Lembaga-lembaga yang terlibat dalam pasar modal
Lembaga-lembaga yang terlibat dalam pasar modalLembaga-lembaga yang terlibat dalam pasar modal
Lembaga-lembaga yang terlibat dalam pasar modalsischayank
 
1 Liabilitas Jangka Pendek, Provisi dan Kontinjensi.pptx
1 Liabilitas Jangka Pendek, Provisi dan Kontinjensi.pptx1 Liabilitas Jangka Pendek, Provisi dan Kontinjensi.pptx
1 Liabilitas Jangka Pendek, Provisi dan Kontinjensi.pptxSyahrulFujiana
 
Kode etik profesi akuntan menuju era global
Kode etik profesi akuntan menuju era globalKode etik profesi akuntan menuju era global
Kode etik profesi akuntan menuju era global20ianpratama
 
Pencegahan penghindaran pajak
Pencegahan penghindaran pajakPencegahan penghindaran pajak
Pencegahan penghindaran pajakkaromah95
 
Ch 18 Modul untuk mata kuliah akuntansi keuangan menengah 2
Ch 18 Modul untuk mata kuliah akuntansi keuangan menengah 2Ch 18 Modul untuk mata kuliah akuntansi keuangan menengah 2
Ch 18 Modul untuk mata kuliah akuntansi keuangan menengah 2AryaMahardhika3
 
E learning tax plan pph psl 21
E learning tax plan pph psl 21E learning tax plan pph psl 21
E learning tax plan pph psl 21Marthen Jufuway
 

What's hot (20)

Pph 22
Pph 22Pph 22
Pph 22
 
Akuntansi mudharabah
Akuntansi mudharabahAkuntansi mudharabah
Akuntansi mudharabah
 
Bea Perolehan Hak atas Tanah (BPHTB)
Bea Perolehan Hak atas Tanah (BPHTB)Bea Perolehan Hak atas Tanah (BPHTB)
Bea Perolehan Hak atas Tanah (BPHTB)
 
Hubungan Istimewa (associated enterprises) dalam Pajak Internasional
Hubungan Istimewa (associated enterprises) dalam Pajak InternasionalHubungan Istimewa (associated enterprises) dalam Pajak Internasional
Hubungan Istimewa (associated enterprises) dalam Pajak Internasional
 
Regulation of financial accounting
Regulation of financial accountingRegulation of financial accounting
Regulation of financial accounting
 
Konsep hutang dan ekuitas
Konsep hutang dan ekuitasKonsep hutang dan ekuitas
Konsep hutang dan ekuitas
 
(Pert 14) chapter 20
(Pert 14) chapter 20(Pert 14) chapter 20
(Pert 14) chapter 20
 
LAPORAN ARUS KAS Metode Langsung dan Metode Tidak Langsung
LAPORAN ARUS KAS Metode Langsung dan Metode Tidak LangsungLAPORAN ARUS KAS Metode Langsung dan Metode Tidak Langsung
LAPORAN ARUS KAS Metode Langsung dan Metode Tidak Langsung
 
PPh Pasal 25
PPh Pasal 25PPh Pasal 25
PPh Pasal 25
 
Teori akuntansi positif
Teori akuntansi positifTeori akuntansi positif
Teori akuntansi positif
 
Lembaga-lembaga yang terlibat dalam pasar modal
Lembaga-lembaga yang terlibat dalam pasar modalLembaga-lembaga yang terlibat dalam pasar modal
Lembaga-lembaga yang terlibat dalam pasar modal
 
1 Liabilitas Jangka Pendek, Provisi dan Kontinjensi.pptx
1 Liabilitas Jangka Pendek, Provisi dan Kontinjensi.pptx1 Liabilitas Jangka Pendek, Provisi dan Kontinjensi.pptx
1 Liabilitas Jangka Pendek, Provisi dan Kontinjensi.pptx
 
Direksi
DireksiDireksi
Direksi
 
persekutuan
persekutuanpersekutuan
persekutuan
 
Kode etik profesi akuntan menuju era global
Kode etik profesi akuntan menuju era globalKode etik profesi akuntan menuju era global
Kode etik profesi akuntan menuju era global
 
Pencegahan penghindaran pajak
Pencegahan penghindaran pajakPencegahan penghindaran pajak
Pencegahan penghindaran pajak
 
Ch 18 Modul untuk mata kuliah akuntansi keuangan menengah 2
Ch 18 Modul untuk mata kuliah akuntansi keuangan menengah 2Ch 18 Modul untuk mata kuliah akuntansi keuangan menengah 2
Ch 18 Modul untuk mata kuliah akuntansi keuangan menengah 2
 
Teori Akuntansi: Pendapatan
Teori Akuntansi: PendapatanTeori Akuntansi: Pendapatan
Teori Akuntansi: Pendapatan
 
Hukum Surat Berharga
Hukum Surat BerhargaHukum Surat Berharga
Hukum Surat Berharga
 
E learning tax plan pph psl 21
E learning tax plan pph psl 21E learning tax plan pph psl 21
E learning tax plan pph psl 21
 

Viewers also liked

Dimensi internasional
Dimensi internasionalDimensi internasional
Dimensi internasionalSylviadesthia
 
25 % rule - masih relevankankah dalam penentuan royalti
25 % rule - masih relevankankah dalam penentuan royalti25 % rule - masih relevankankah dalam penentuan royalti
25 % rule - masih relevankankah dalam penentuan royaltiFuturum2
 
Psak 7-pengungkapan-pihak-pihak-berelasi
Psak 7-pengungkapan-pihak-pihak-berelasiPsak 7-pengungkapan-pihak-pihak-berelasi
Psak 7-pengungkapan-pihak-pihak-berelasiSri Apriyanti Husain
 
Transfer pricing - harta aset tak berwujud
Transfer pricing - harta aset tak berwujudTransfer pricing - harta aset tak berwujud
Transfer pricing - harta aset tak berwujudFuturum2
 
Transfer pricing suatu pemahaman awal
Transfer pricing suatu pemahaman awalTransfer pricing suatu pemahaman awal
Transfer pricing suatu pemahaman awalFuturum2
 
PPN Objek & hubungan istimewa
PPN Objek & hubungan istimewaPPN Objek & hubungan istimewa
PPN Objek & hubungan istimewakaromah95
 

Viewers also liked (6)

Dimensi internasional
Dimensi internasionalDimensi internasional
Dimensi internasional
 
25 % rule - masih relevankankah dalam penentuan royalti
25 % rule - masih relevankankah dalam penentuan royalti25 % rule - masih relevankankah dalam penentuan royalti
25 % rule - masih relevankankah dalam penentuan royalti
 
Psak 7-pengungkapan-pihak-pihak-berelasi
Psak 7-pengungkapan-pihak-pihak-berelasiPsak 7-pengungkapan-pihak-pihak-berelasi
Psak 7-pengungkapan-pihak-pihak-berelasi
 
Transfer pricing - harta aset tak berwujud
Transfer pricing - harta aset tak berwujudTransfer pricing - harta aset tak berwujud
Transfer pricing - harta aset tak berwujud
 
Transfer pricing suatu pemahaman awal
Transfer pricing suatu pemahaman awalTransfer pricing suatu pemahaman awal
Transfer pricing suatu pemahaman awal
 
PPN Objek & hubungan istimewa
PPN Objek & hubungan istimewaPPN Objek & hubungan istimewa
PPN Objek & hubungan istimewa
 

Similar to Tarif Transfer Pricing

Isu penentuan tarif royalti dalam transfer pricing (mentahan untuk dimuat di ...
Isu penentuan tarif royalti dalam transfer pricing (mentahan untuk dimuat di ...Isu penentuan tarif royalti dalam transfer pricing (mentahan untuk dimuat di ...
Isu penentuan tarif royalti dalam transfer pricing (mentahan untuk dimuat di ...Futurum2
 
Akuntansi Aset Tidak Berwujud.pptx
Akuntansi Aset Tidak Berwujud.pptxAkuntansi Aset Tidak Berwujud.pptx
Akuntansi Aset Tidak Berwujud.pptxTasmanSeven1
 
Tiga ilustrasi struktur perencanaan pajak pada perusahaan multinasional
Tiga ilustrasi struktur perencanaan pajak pada perusahaan multinasionalTiga ilustrasi struktur perencanaan pajak pada perusahaan multinasional
Tiga ilustrasi struktur perencanaan pajak pada perusahaan multinasionalFuturum2
 
Akuntansi Keuangan menengah - Aktiva tak berwujud
Akuntansi Keuangan menengah - Aktiva tak berwujudAkuntansi Keuangan menengah - Aktiva tak berwujud
Akuntansi Keuangan menengah - Aktiva tak berwujudJohn Narith
 
Aktiva tak berwujud
Aktiva tak berwujud Aktiva tak berwujud
Aktiva tak berwujud ishakaxly
 
Metode dcf dalam penilaian aktiva tak berwujud untuk tujuan transfer pricing ...
Metode dcf dalam penilaian aktiva tak berwujud untuk tujuan transfer pricing ...Metode dcf dalam penilaian aktiva tak berwujud untuk tujuan transfer pricing ...
Metode dcf dalam penilaian aktiva tak berwujud untuk tujuan transfer pricing ...Futurum2
 
Skema kerjasama jo-jv - gambaran umum dalam real estate
Skema kerjasama jo-jv - gambaran umum dalam real estateSkema kerjasama jo-jv - gambaran umum dalam real estate
Skema kerjasama jo-jv - gambaran umum dalam real estateFuturum2
 
Pajak Internasional atas Laba Usaha (Bussiness Profit)
Pajak Internasional atas Laba Usaha (Bussiness Profit)Pajak Internasional atas Laba Usaha (Bussiness Profit)
Pajak Internasional atas Laba Usaha (Bussiness Profit)Ilham Sousuke
 
Perolehan aset tetap berdasar psak
Perolehan aset tetap berdasar psakPerolehan aset tetap berdasar psak
Perolehan aset tetap berdasar psakrantong
 
Indri,yanti_Akuntansi Pajak,Suryani,STIAMI
Indri,yanti_Akuntansi Pajak,Suryani,STIAMIIndri,yanti_Akuntansi Pajak,Suryani,STIAMI
Indri,yanti_Akuntansi Pajak,Suryani,STIAMIIndri Yanti
 
indri,Akuntansi Pajak,suryanih,STIAMI 2017
indri,Akuntansi Pajak,suryanih,STIAMI 2017indri,Akuntansi Pajak,suryanih,STIAMI 2017
indri,Akuntansi Pajak,suryanih,STIAMI 2017Indri Yanti
 
P2 dasar manajemen keuangan 2018
P2 dasar manajemen keuangan 2018P2 dasar manajemen keuangan 2018
P2 dasar manajemen keuangan 2018Lailani Fitria
 
Tax Treaty Indonesia - Korea Selatan
Tax Treaty Indonesia  - Korea SelatanTax Treaty Indonesia  - Korea Selatan
Tax Treaty Indonesia - Korea SelatanRina Noviyanti
 
Tax treaty indonesia korea selatan
Tax treaty indonesia   korea selatanTax treaty indonesia   korea selatan
Tax treaty indonesia korea selatanRina Noviyanti
 

Similar to Tarif Transfer Pricing (20)

Isu penentuan tarif royalti dalam transfer pricing (mentahan untuk dimuat di ...
Isu penentuan tarif royalti dalam transfer pricing (mentahan untuk dimuat di ...Isu penentuan tarif royalti dalam transfer pricing (mentahan untuk dimuat di ...
Isu penentuan tarif royalti dalam transfer pricing (mentahan untuk dimuat di ...
 
Akuntansi Aset Tidak Berwujud.pptx
Akuntansi Aset Tidak Berwujud.pptxAkuntansi Aset Tidak Berwujud.pptx
Akuntansi Aset Tidak Berwujud.pptx
 
Tiga ilustrasi struktur perencanaan pajak pada perusahaan multinasional
Tiga ilustrasi struktur perencanaan pajak pada perusahaan multinasionalTiga ilustrasi struktur perencanaan pajak pada perusahaan multinasional
Tiga ilustrasi struktur perencanaan pajak pada perusahaan multinasional
 
Akuntansi Keuangan menengah - Aktiva tak berwujud
Akuntansi Keuangan menengah - Aktiva tak berwujudAkuntansi Keuangan menengah - Aktiva tak berwujud
Akuntansi Keuangan menengah - Aktiva tak berwujud
 
Aktiva tak berwujud
Aktiva tak berwujud Aktiva tak berwujud
Aktiva tak berwujud
 
Metode dcf dalam penilaian aktiva tak berwujud untuk tujuan transfer pricing ...
Metode dcf dalam penilaian aktiva tak berwujud untuk tujuan transfer pricing ...Metode dcf dalam penilaian aktiva tak berwujud untuk tujuan transfer pricing ...
Metode dcf dalam penilaian aktiva tak berwujud untuk tujuan transfer pricing ...
 
Stuktur P3B
Stuktur P3BStuktur P3B
Stuktur P3B
 
Skema kerjasama jo-jv - gambaran umum dalam real estate
Skema kerjasama jo-jv - gambaran umum dalam real estateSkema kerjasama jo-jv - gambaran umum dalam real estate
Skema kerjasama jo-jv - gambaran umum dalam real estate
 
Makalah Pajak Berganda
Makalah Pajak BergandaMakalah Pajak Berganda
Makalah Pajak Berganda
 
Ai 12
Ai 12Ai 12
Ai 12
 
Pajak Internasional atas Laba Usaha (Bussiness Profit)
Pajak Internasional atas Laba Usaha (Bussiness Profit)Pajak Internasional atas Laba Usaha (Bussiness Profit)
Pajak Internasional atas Laba Usaha (Bussiness Profit)
 
Perolehan aset tetap berdasar psak
Perolehan aset tetap berdasar psakPerolehan aset tetap berdasar psak
Perolehan aset tetap berdasar psak
 
Indri,yanti_Akuntansi Pajak,Suryani,STIAMI
Indri,yanti_Akuntansi Pajak,Suryani,STIAMIIndri,yanti_Akuntansi Pajak,Suryani,STIAMI
Indri,yanti_Akuntansi Pajak,Suryani,STIAMI
 
indri,Akuntansi Pajak,suryanih,STIAMI 2017
indri,Akuntansi Pajak,suryanih,STIAMI 2017indri,Akuntansi Pajak,suryanih,STIAMI 2017
indri,Akuntansi Pajak,suryanih,STIAMI 2017
 
BISNIS INTERNASIONAL
BISNIS INTERNASIONALBISNIS INTERNASIONAL
BISNIS INTERNASIONAL
 
P2 dasar manajemen keuangan 2018
P2 dasar manajemen keuangan 2018P2 dasar manajemen keuangan 2018
P2 dasar manajemen keuangan 2018
 
Transparansi Beneficial Ownership, Penerimaan Negara, dan EITI
Transparansi Beneficial Ownership, Penerimaan Negara, dan EITITransparansi Beneficial Ownership, Penerimaan Negara, dan EITI
Transparansi Beneficial Ownership, Penerimaan Negara, dan EITI
 
Psak13
Psak13Psak13
Psak13
 
Tax Treaty Indonesia - Korea Selatan
Tax Treaty Indonesia  - Korea SelatanTax Treaty Indonesia  - Korea Selatan
Tax Treaty Indonesia - Korea Selatan
 
Tax treaty indonesia korea selatan
Tax treaty indonesia   korea selatanTax treaty indonesia   korea selatan
Tax treaty indonesia korea selatan
 

More from Futurum2

Usse average internal rate of return (airr), don't use internal rate of retur...
Usse average internal rate of return (airr), don't use internal rate of retur...Usse average internal rate of return (airr), don't use internal rate of retur...
Usse average internal rate of return (airr), don't use internal rate of retur...Futurum2
 
Are P/E Ratios a Poor Measure of Value? Valuation LinkedIn Discussion
Are P/E Ratios a Poor Measure of Value? Valuation LinkedIn DiscussionAre P/E Ratios a Poor Measure of Value? Valuation LinkedIn Discussion
Are P/E Ratios a Poor Measure of Value? Valuation LinkedIn DiscussionFuturum2
 
NPV or IRR? (3) CFO Network LinkedIn Discussion
NPV or IRR? (3) CFO Network LinkedIn DiscussionNPV or IRR? (3) CFO Network LinkedIn Discussion
NPV or IRR? (3) CFO Network LinkedIn DiscussionFuturum2
 
Catatan kecil atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 191/PMK.010/2015 tentang ...
Catatan kecil atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 191/PMK.010/2015 tentang ...Catatan kecil atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 191/PMK.010/2015 tentang ...
Catatan kecil atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 191/PMK.010/2015 tentang ...Futurum2
 
Use average internal rate of return (airr), don't use internal rate of return...
Use average internal rate of return (airr), don't use internal rate of return...Use average internal rate of return (airr), don't use internal rate of return...
Use average internal rate of return (airr), don't use internal rate of return...Futurum2
 
A quick comment on pablo fernandez' article capm an absurd model draft
A quick comment on pablo fernandez' article capm an absurd model draftA quick comment on pablo fernandez' article capm an absurd model draft
A quick comment on pablo fernandez' article capm an absurd model draftFuturum2
 
Menggunakan informasi arus kas dan nilai kini dalam pengukuran akuntansi
Menggunakan informasi arus kas dan nilai kini dalam pengukuran akuntansiMenggunakan informasi arus kas dan nilai kini dalam pengukuran akuntansi
Menggunakan informasi arus kas dan nilai kini dalam pengukuran akuntansiFuturum2
 
Summing up about growing and non growing perpetuities wacc levered and tax sa...
Summing up about growing and non growing perpetuities wacc levered and tax sa...Summing up about growing and non growing perpetuities wacc levered and tax sa...
Summing up about growing and non growing perpetuities wacc levered and tax sa...Futurum2
 
Ignacio Velez-Pareja : From the Slide Rule to the Black Berry
Ignacio Velez-Pareja : From the Slide Rule to the Black BerryIgnacio Velez-Pareja : From the Slide Rule to the Black Berry
Ignacio Velez-Pareja : From the Slide Rule to the Black BerryFuturum2
 
REIT “rasa indonesia” kontrak investasi kolektif dana investasi real estat
REIT “rasa indonesia”  kontrak investasi kolektif dana investasi real estatREIT “rasa indonesia”  kontrak investasi kolektif dana investasi real estat
REIT “rasa indonesia” kontrak investasi kolektif dana investasi real estatFuturum2
 
Proyek remodel refresh di sektor ritel kapitalisasi vs dibiayakan psak ias 1...
Proyek remodel refresh di sektor ritel  kapitalisasi vs dibiayakan psak ias 1...Proyek remodel refresh di sektor ritel  kapitalisasi vs dibiayakan psak ias 1...
Proyek remodel refresh di sektor ritel kapitalisasi vs dibiayakan psak ias 1...Futurum2
 
Surplus revaluasi atau penilaian kembali aset tetap
Surplus revaluasi atau penilaian kembali aset tetapSurplus revaluasi atau penilaian kembali aset tetap
Surplus revaluasi atau penilaian kembali aset tetapFuturum2
 
Perpetuity and growing pepetuity formula derivation
Perpetuity and growing pepetuity formula derivationPerpetuity and growing pepetuity formula derivation
Perpetuity and growing pepetuity formula derivationFuturum2
 
Pentingnya melakukan normalisasi dalam pengerjaan proyeksi dan valuasi - bagi...
Pentingnya melakukan normalisasi dalam pengerjaan proyeksi dan valuasi - bagi...Pentingnya melakukan normalisasi dalam pengerjaan proyeksi dan valuasi - bagi...
Pentingnya melakukan normalisasi dalam pengerjaan proyeksi dan valuasi - bagi...Futurum2
 
15 minute lesson formula derivation - reconciling price-to- earnings (pe rati...
15 minute lesson formula derivation - reconciling price-to- earnings (pe rati...15 minute lesson formula derivation - reconciling price-to- earnings (pe rati...
15 minute lesson formula derivation - reconciling price-to- earnings (pe rati...Futurum2
 
15-minute lesson- watch out the formula that you use for roa (return on assets)
15-minute lesson- watch out the formula that you use for roa (return on assets)15-minute lesson- watch out the formula that you use for roa (return on assets)
15-minute lesson- watch out the formula that you use for roa (return on assets)Futurum2
 
Akuisisi aset atau akuisisi bisnis asc topic 805
Akuisisi aset atau akuisisi bisnis asc topic 805Akuisisi aset atau akuisisi bisnis asc topic 805
Akuisisi aset atau akuisisi bisnis asc topic 805Futurum2
 
Pentingnya melakukan normalisasi dalam pengerjaan proyeksi dan valuasi - bagi...
Pentingnya melakukan normalisasi dalam pengerjaan proyeksi dan valuasi - bagi...Pentingnya melakukan normalisasi dalam pengerjaan proyeksi dan valuasi - bagi...
Pentingnya melakukan normalisasi dalam pengerjaan proyeksi dan valuasi - bagi...Futurum2
 
Hutang dagang dengan fasilitas anjak piutang
Hutang dagang dengan fasilitas anjak piutangHutang dagang dengan fasilitas anjak piutang
Hutang dagang dengan fasilitas anjak piutangFuturum2
 
Apakah perhitungan biaya kapital rata rata tertimbang (wacc) dalam capital bu...
Apakah perhitungan biaya kapital rata rata tertimbang (wacc) dalam capital bu...Apakah perhitungan biaya kapital rata rata tertimbang (wacc) dalam capital bu...
Apakah perhitungan biaya kapital rata rata tertimbang (wacc) dalam capital bu...Futurum2
 

More from Futurum2 (20)

Usse average internal rate of return (airr), don't use internal rate of retur...
Usse average internal rate of return (airr), don't use internal rate of retur...Usse average internal rate of return (airr), don't use internal rate of retur...
Usse average internal rate of return (airr), don't use internal rate of retur...
 
Are P/E Ratios a Poor Measure of Value? Valuation LinkedIn Discussion
Are P/E Ratios a Poor Measure of Value? Valuation LinkedIn DiscussionAre P/E Ratios a Poor Measure of Value? Valuation LinkedIn Discussion
Are P/E Ratios a Poor Measure of Value? Valuation LinkedIn Discussion
 
NPV or IRR? (3) CFO Network LinkedIn Discussion
NPV or IRR? (3) CFO Network LinkedIn DiscussionNPV or IRR? (3) CFO Network LinkedIn Discussion
NPV or IRR? (3) CFO Network LinkedIn Discussion
 
Catatan kecil atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 191/PMK.010/2015 tentang ...
Catatan kecil atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 191/PMK.010/2015 tentang ...Catatan kecil atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 191/PMK.010/2015 tentang ...
Catatan kecil atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 191/PMK.010/2015 tentang ...
 
Use average internal rate of return (airr), don't use internal rate of return...
Use average internal rate of return (airr), don't use internal rate of return...Use average internal rate of return (airr), don't use internal rate of return...
Use average internal rate of return (airr), don't use internal rate of return...
 
A quick comment on pablo fernandez' article capm an absurd model draft
A quick comment on pablo fernandez' article capm an absurd model draftA quick comment on pablo fernandez' article capm an absurd model draft
A quick comment on pablo fernandez' article capm an absurd model draft
 
Menggunakan informasi arus kas dan nilai kini dalam pengukuran akuntansi
Menggunakan informasi arus kas dan nilai kini dalam pengukuran akuntansiMenggunakan informasi arus kas dan nilai kini dalam pengukuran akuntansi
Menggunakan informasi arus kas dan nilai kini dalam pengukuran akuntansi
 
Summing up about growing and non growing perpetuities wacc levered and tax sa...
Summing up about growing and non growing perpetuities wacc levered and tax sa...Summing up about growing and non growing perpetuities wacc levered and tax sa...
Summing up about growing and non growing perpetuities wacc levered and tax sa...
 
Ignacio Velez-Pareja : From the Slide Rule to the Black Berry
Ignacio Velez-Pareja : From the Slide Rule to the Black BerryIgnacio Velez-Pareja : From the Slide Rule to the Black Berry
Ignacio Velez-Pareja : From the Slide Rule to the Black Berry
 
REIT “rasa indonesia” kontrak investasi kolektif dana investasi real estat
REIT “rasa indonesia”  kontrak investasi kolektif dana investasi real estatREIT “rasa indonesia”  kontrak investasi kolektif dana investasi real estat
REIT “rasa indonesia” kontrak investasi kolektif dana investasi real estat
 
Proyek remodel refresh di sektor ritel kapitalisasi vs dibiayakan psak ias 1...
Proyek remodel refresh di sektor ritel  kapitalisasi vs dibiayakan psak ias 1...Proyek remodel refresh di sektor ritel  kapitalisasi vs dibiayakan psak ias 1...
Proyek remodel refresh di sektor ritel kapitalisasi vs dibiayakan psak ias 1...
 
Surplus revaluasi atau penilaian kembali aset tetap
Surplus revaluasi atau penilaian kembali aset tetapSurplus revaluasi atau penilaian kembali aset tetap
Surplus revaluasi atau penilaian kembali aset tetap
 
Perpetuity and growing pepetuity formula derivation
Perpetuity and growing pepetuity formula derivationPerpetuity and growing pepetuity formula derivation
Perpetuity and growing pepetuity formula derivation
 
Pentingnya melakukan normalisasi dalam pengerjaan proyeksi dan valuasi - bagi...
Pentingnya melakukan normalisasi dalam pengerjaan proyeksi dan valuasi - bagi...Pentingnya melakukan normalisasi dalam pengerjaan proyeksi dan valuasi - bagi...
Pentingnya melakukan normalisasi dalam pengerjaan proyeksi dan valuasi - bagi...
 
15 minute lesson formula derivation - reconciling price-to- earnings (pe rati...
15 minute lesson formula derivation - reconciling price-to- earnings (pe rati...15 minute lesson formula derivation - reconciling price-to- earnings (pe rati...
15 minute lesson formula derivation - reconciling price-to- earnings (pe rati...
 
15-minute lesson- watch out the formula that you use for roa (return on assets)
15-minute lesson- watch out the formula that you use for roa (return on assets)15-minute lesson- watch out the formula that you use for roa (return on assets)
15-minute lesson- watch out the formula that you use for roa (return on assets)
 
Akuisisi aset atau akuisisi bisnis asc topic 805
Akuisisi aset atau akuisisi bisnis asc topic 805Akuisisi aset atau akuisisi bisnis asc topic 805
Akuisisi aset atau akuisisi bisnis asc topic 805
 
Pentingnya melakukan normalisasi dalam pengerjaan proyeksi dan valuasi - bagi...
Pentingnya melakukan normalisasi dalam pengerjaan proyeksi dan valuasi - bagi...Pentingnya melakukan normalisasi dalam pengerjaan proyeksi dan valuasi - bagi...
Pentingnya melakukan normalisasi dalam pengerjaan proyeksi dan valuasi - bagi...
 
Hutang dagang dengan fasilitas anjak piutang
Hutang dagang dengan fasilitas anjak piutangHutang dagang dengan fasilitas anjak piutang
Hutang dagang dengan fasilitas anjak piutang
 
Apakah perhitungan biaya kapital rata rata tertimbang (wacc) dalam capital bu...
Apakah perhitungan biaya kapital rata rata tertimbang (wacc) dalam capital bu...Apakah perhitungan biaya kapital rata rata tertimbang (wacc) dalam capital bu...
Apakah perhitungan biaya kapital rata rata tertimbang (wacc) dalam capital bu...
 

Recently uploaded

KELOMPOK 17-PEREKONOMIAN INDO moneter dan fiskal
KELOMPOK 17-PEREKONOMIAN INDO moneter dan fiskalKELOMPOK 17-PEREKONOMIAN INDO moneter dan fiskal
KELOMPOK 17-PEREKONOMIAN INDO moneter dan fiskalAthoillahEconomi
 
Materi Mata Kuliah Pengantar Ekonomi Makro I
Materi Mata Kuliah Pengantar Ekonomi Makro IMateri Mata Kuliah Pengantar Ekonomi Makro I
Materi Mata Kuliah Pengantar Ekonomi Makro IIkaAliciaSasanti
 
Ekonomi Makro Pertemuan 4 - Tingkat pengangguran: Jumlah orang yang menganggu...
Ekonomi Makro Pertemuan 4 - Tingkat pengangguran: Jumlah orang yang menganggu...Ekonomi Makro Pertemuan 4 - Tingkat pengangguran: Jumlah orang yang menganggu...
Ekonomi Makro Pertemuan 4 - Tingkat pengangguran: Jumlah orang yang menganggu...ChairaniManasye1
 
PERAN KARYAWAN DALAM PENGEMBANGAN KARIR.pptx
PERAN KARYAWAN DALAM PENGEMBANGAN KARIR.pptxPERAN KARYAWAN DALAM PENGEMBANGAN KARIR.pptx
PERAN KARYAWAN DALAM PENGEMBANGAN KARIR.pptxHakamNiazi
 
Slide Pengisian SPT Tahunan 2015 - OP 1770 Pembukuan.ppt
Slide Pengisian SPT Tahunan 2015 - OP 1770 Pembukuan.pptSlide Pengisian SPT Tahunan 2015 - OP 1770 Pembukuan.ppt
Slide Pengisian SPT Tahunan 2015 - OP 1770 Pembukuan.pptwxmnxfm57w
 
Bab 14 - Perhitungan Bagi Hasilsyariah.ppt
Bab 14 - Perhitungan Bagi Hasilsyariah.pptBab 14 - Perhitungan Bagi Hasilsyariah.ppt
Bab 14 - Perhitungan Bagi Hasilsyariah.pptatiakirana1
 
Presentasi Leasing Pada Lembaga Keuangan Non Bank
Presentasi Leasing Pada Lembaga Keuangan Non BankPresentasi Leasing Pada Lembaga Keuangan Non Bank
Presentasi Leasing Pada Lembaga Keuangan Non Bankzulfikar425966
 
MENYELESAIKAN PENGUJIAN DALAM SIKLUS PEROLEHAN DAN PEMBAYARAN KAS VERIFIKASI ...
MENYELESAIKAN PENGUJIAN DALAM SIKLUS PEROLEHAN DAN PEMBAYARAN KAS VERIFIKASI ...MENYELESAIKAN PENGUJIAN DALAM SIKLUS PEROLEHAN DAN PEMBAYARAN KAS VERIFIKASI ...
MENYELESAIKAN PENGUJIAN DALAM SIKLUS PEROLEHAN DAN PEMBAYARAN KAS VERIFIKASI ...OknaRyana1
 
Presentasi Tentang Asuransi Pada Lembaga Keuangan
Presentasi Tentang Asuransi Pada Lembaga KeuanganPresentasi Tentang Asuransi Pada Lembaga Keuangan
Presentasi Tentang Asuransi Pada Lembaga Keuanganzulfikar425966
 
PPT KELOMPOK 4 ORGANISASI DARI KOPERASI.pptx
PPT KELOMPOK 4 ORGANISASI DARI KOPERASI.pptxPPT KELOMPOK 4 ORGANISASI DARI KOPERASI.pptx
PPT KELOMPOK 4 ORGANISASI DARI KOPERASI.pptxZefanya9
 
Modal Kerja manajemen keuangan modal kerja.ppt
Modal Kerja manajemen keuangan modal kerja.pptModal Kerja manajemen keuangan modal kerja.ppt
Modal Kerja manajemen keuangan modal kerja.pptFrida Adnantara
 
ANALISIS SENSITIVITAS SIMPLEKS BESERTA PERUBAHAN KONTRIBUSI.pptx
ANALISIS SENSITIVITAS SIMPLEKS BESERTA PERUBAHAN KONTRIBUSI.pptxANALISIS SENSITIVITAS SIMPLEKS BESERTA PERUBAHAN KONTRIBUSI.pptx
ANALISIS SENSITIVITAS SIMPLEKS BESERTA PERUBAHAN KONTRIBUSI.pptxUNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BERAU
 
Cryptocurrency dalam Perspektif Ekonomi Syariah.pptx
Cryptocurrency dalam Perspektif Ekonomi Syariah.pptxCryptocurrency dalam Perspektif Ekonomi Syariah.pptx
Cryptocurrency dalam Perspektif Ekonomi Syariah.pptxumusilmi2019
 
Bab 13 Pemodelan Ekonometrika: Spesifikasi Model
Bab 13 Pemodelan Ekonometrika: Spesifikasi ModelBab 13 Pemodelan Ekonometrika: Spesifikasi Model
Bab 13 Pemodelan Ekonometrika: Spesifikasi ModelAdhiliaMegaC1
 
Keseimbangan perekonomian tigas termasuk peran pemerintah
Keseimbangan perekonomian tigas termasuk peran pemerintahKeseimbangan perekonomian tigas termasuk peran pemerintah
Keseimbangan perekonomian tigas termasuk peran pemerintahUNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BERAU
 
Ukuran Letak Data kuartil dan beberapa pembagian lainnya
Ukuran Letak Data  kuartil  dan  beberapa pembagian  lainnyaUkuran Letak Data  kuartil  dan  beberapa pembagian  lainnya
Ukuran Letak Data kuartil dan beberapa pembagian lainnyaIndhasari3
 
KESEIMBANGAN PEREKONOMIAN DUA SEKTOR.pdf
KESEIMBANGAN PEREKONOMIAN DUA SEKTOR.pdfKESEIMBANGAN PEREKONOMIAN DUA SEKTOR.pdf
KESEIMBANGAN PEREKONOMIAN DUA SEKTOR.pdfNizeAckerman
 

Recently uploaded (17)

KELOMPOK 17-PEREKONOMIAN INDO moneter dan fiskal
KELOMPOK 17-PEREKONOMIAN INDO moneter dan fiskalKELOMPOK 17-PEREKONOMIAN INDO moneter dan fiskal
KELOMPOK 17-PEREKONOMIAN INDO moneter dan fiskal
 
Materi Mata Kuliah Pengantar Ekonomi Makro I
Materi Mata Kuliah Pengantar Ekonomi Makro IMateri Mata Kuliah Pengantar Ekonomi Makro I
Materi Mata Kuliah Pengantar Ekonomi Makro I
 
Ekonomi Makro Pertemuan 4 - Tingkat pengangguran: Jumlah orang yang menganggu...
Ekonomi Makro Pertemuan 4 - Tingkat pengangguran: Jumlah orang yang menganggu...Ekonomi Makro Pertemuan 4 - Tingkat pengangguran: Jumlah orang yang menganggu...
Ekonomi Makro Pertemuan 4 - Tingkat pengangguran: Jumlah orang yang menganggu...
 
PERAN KARYAWAN DALAM PENGEMBANGAN KARIR.pptx
PERAN KARYAWAN DALAM PENGEMBANGAN KARIR.pptxPERAN KARYAWAN DALAM PENGEMBANGAN KARIR.pptx
PERAN KARYAWAN DALAM PENGEMBANGAN KARIR.pptx
 
Slide Pengisian SPT Tahunan 2015 - OP 1770 Pembukuan.ppt
Slide Pengisian SPT Tahunan 2015 - OP 1770 Pembukuan.pptSlide Pengisian SPT Tahunan 2015 - OP 1770 Pembukuan.ppt
Slide Pengisian SPT Tahunan 2015 - OP 1770 Pembukuan.ppt
 
Bab 14 - Perhitungan Bagi Hasilsyariah.ppt
Bab 14 - Perhitungan Bagi Hasilsyariah.pptBab 14 - Perhitungan Bagi Hasilsyariah.ppt
Bab 14 - Perhitungan Bagi Hasilsyariah.ppt
 
Presentasi Leasing Pada Lembaga Keuangan Non Bank
Presentasi Leasing Pada Lembaga Keuangan Non BankPresentasi Leasing Pada Lembaga Keuangan Non Bank
Presentasi Leasing Pada Lembaga Keuangan Non Bank
 
MENYELESAIKAN PENGUJIAN DALAM SIKLUS PEROLEHAN DAN PEMBAYARAN KAS VERIFIKASI ...
MENYELESAIKAN PENGUJIAN DALAM SIKLUS PEROLEHAN DAN PEMBAYARAN KAS VERIFIKASI ...MENYELESAIKAN PENGUJIAN DALAM SIKLUS PEROLEHAN DAN PEMBAYARAN KAS VERIFIKASI ...
MENYELESAIKAN PENGUJIAN DALAM SIKLUS PEROLEHAN DAN PEMBAYARAN KAS VERIFIKASI ...
 
Presentasi Tentang Asuransi Pada Lembaga Keuangan
Presentasi Tentang Asuransi Pada Lembaga KeuanganPresentasi Tentang Asuransi Pada Lembaga Keuangan
Presentasi Tentang Asuransi Pada Lembaga Keuangan
 
PPT KELOMPOK 4 ORGANISASI DARI KOPERASI.pptx
PPT KELOMPOK 4 ORGANISASI DARI KOPERASI.pptxPPT KELOMPOK 4 ORGANISASI DARI KOPERASI.pptx
PPT KELOMPOK 4 ORGANISASI DARI KOPERASI.pptx
 
Modal Kerja manajemen keuangan modal kerja.ppt
Modal Kerja manajemen keuangan modal kerja.pptModal Kerja manajemen keuangan modal kerja.ppt
Modal Kerja manajemen keuangan modal kerja.ppt
 
ANALISIS SENSITIVITAS SIMPLEKS BESERTA PERUBAHAN KONTRIBUSI.pptx
ANALISIS SENSITIVITAS SIMPLEKS BESERTA PERUBAHAN KONTRIBUSI.pptxANALISIS SENSITIVITAS SIMPLEKS BESERTA PERUBAHAN KONTRIBUSI.pptx
ANALISIS SENSITIVITAS SIMPLEKS BESERTA PERUBAHAN KONTRIBUSI.pptx
 
Cryptocurrency dalam Perspektif Ekonomi Syariah.pptx
Cryptocurrency dalam Perspektif Ekonomi Syariah.pptxCryptocurrency dalam Perspektif Ekonomi Syariah.pptx
Cryptocurrency dalam Perspektif Ekonomi Syariah.pptx
 
Bab 13 Pemodelan Ekonometrika: Spesifikasi Model
Bab 13 Pemodelan Ekonometrika: Spesifikasi ModelBab 13 Pemodelan Ekonometrika: Spesifikasi Model
Bab 13 Pemodelan Ekonometrika: Spesifikasi Model
 
Keseimbangan perekonomian tigas termasuk peran pemerintah
Keseimbangan perekonomian tigas termasuk peran pemerintahKeseimbangan perekonomian tigas termasuk peran pemerintah
Keseimbangan perekonomian tigas termasuk peran pemerintah
 
Ukuran Letak Data kuartil dan beberapa pembagian lainnya
Ukuran Letak Data  kuartil  dan  beberapa pembagian  lainnyaUkuran Letak Data  kuartil  dan  beberapa pembagian  lainnya
Ukuran Letak Data kuartil dan beberapa pembagian lainnya
 
KESEIMBANGAN PEREKONOMIAN DUA SEKTOR.pdf
KESEIMBANGAN PEREKONOMIAN DUA SEKTOR.pdfKESEIMBANGAN PEREKONOMIAN DUA SEKTOR.pdf
KESEIMBANGAN PEREKONOMIAN DUA SEKTOR.pdf
 

Tarif Transfer Pricing

  • 1. www.futurumcorfinan.com Page 1 Penentuan Tarif yang Wajar dalam Transfer Pricing Pendahuluan Pada tanggal 6 September 2010, Direktorat Jenderal Pajak menerbitkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-43/PJ/2010 tentang Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dalam Transaksi antara Wajib Pajak dengan Pihak yang Mempunyai Hubungan Istimewa (selanjutnya disebut sebagai PER-43). Dalam bab ini akan dibahas khusus mengenai Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dalam Transfer Pricing yang terkait tarif atas penggunaan hak kekayaan intelektual dan/atau aktiva tak berwujud lainnya. Tarif atas penggunaan Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) atau pemanfaatan barang tidak berwujud lainnya Tarif di sini dapat dibagi menjadi dua kelompok:  Royalti, umumnya terkait dengan imbalan atas penggunaan hak kekayaan Sukarnen DILARANG MENG-COPY, MENYALIN, ATAU MENDISTRIBUSIKAN SEBAGIAN ATAU SELURUH TULISAN INI TANPA PERSETUJUAN TERTULIS DARI PENULIS Untuk pertanyaan atau komentar bisa diposting melalui website www.futurumcorfinan.com
  • 2. www.futurumcorfinan.com Page 2 intelektual.  Non-royalti, misalnya licensing fee dan franchise fee atau bentuk rental rights tertentu atau bentuk fee lainnya yang pada intinya merupakan pembayaran atas suatu penggunaan hak di luar kategori hak kekayaan intelektual Definisi Royalti menurut OECD Model, UN Model dan US Model adalah sebagai berikut: 2005 OECD Model, Art. 12(2) The term “royalties” as used in this Article means payments of any kind received as a consideration for the use of, or the right to use, any copyright of literary, artistic or scientific work including cinematograph films, any patent, trade mark, design or model, plan, secret formula or process, or for information concerning industrial, commercial or scientific experience. Definisi royalti dalam OECD Model Art. 12(2) dapat dibagi menjadi dua kelompok: 1. Consideration received for the use of, or the right to use: – any copyright of literary, artistic or scientific work including cinematograph films; – any patent, trade mark, design or model, plan, secret formula or process; or 2. Consideration received for information concerning industrial, commercial or scientific experience. 1981 UN Model/2001 UN Model, Art. 12(3) The term “royalties” as used in this Article means payments of any kind received as a consideration for the use of, or the right to use, any copyright of literary, artistic or scientific work including cinematograph films, or films or tapes used for radio or television broadcasting, any patent, trademark, design or model, plan, secret formula or process, or for the use of, or the right to use, industrial, commercial or scientific equipment or for information concerning industrial, commercial or scientific experience. 2006 US Model, Art. 12(2) The term “royalties” as used in this Article means:
  • 3. www.futurumcorfinan.com Page 3 a) payments of any kind received as a consideration for the use of, or the right to use, any copyright of literary, artistic, scientific or other work (including cinematographic films), any patent, trademark, design or model, plan, secret formula or process, or for information concerning industrial, commercial or scientific experience; and b) gain derived from the alienation of any property described in subparagraph a), to the extent that such gain is contingent on the productivity, use, or disposition of the property. Kalau dapat dirangkumkan, royalti diartikan sebagai: Segala jenis pembayaran yang diterima atas penggunaan, hak penggunaan, setiap karya tulisan, kesusasteraan atau karya ilmiah termasuk film-film bioskop dan film-film atau rekaman untuk siaran radio atau televisi, setiap hak paten, merek dagang, disain atau model, rencana, rumus atau cara pengolahan, atau penggunaan, atau cara menggunakan, peralatan industri, alat-alat perdagangan atau pengetahuan, atau untuk informasi mengenai pengalaman di bidang industri, perdagangan atau ilmu pengetahuan. Walaupun maksud dari pembayaran royalti atau pembayaran fee lainnya di atas tidak disebutkan secara eksplisit, akan tetapi, mengingat konteks pembayaran adalah pada umumnya didapatkan dalam dunia bisnis, maka dapat disimpulkan bahwa ada motif profit-
  • 4. www.futurumcorfinan.com Page 4 seeking dalam pembayaran tersebut. Bisnis dalam International Financial Reporting Standards 3, didefinisikan sebagai: An integrated set of activities and assets conducted and managed for the purpose of providing: a) A return to investors; or b) Lower costs or other economic benefits directly and proportionately to policyholders or participants. A business generally consists of inputs, processes applied to those inputs, and resulting outputs that are, or will be, used to generate revenues.1 Tentunya beralasan apabila mengkaitkan antara pembayaran royalti atau bentuk fee lainnya, dengan pemberian imbalan (atau imbal jasa – rate of returns) kepada pihak lain sehubungan dengan penggunaan hak kekayaan intelektual properti atau hak penggunaan benda tak berwujud. HAKI atau benda tak berwujud sendiri digunakan sebagai input dalam proses bisnis untuk menghasilkan pendapatan (revenue). Pihak yang membayarkan royalti atau fee tersebut, tentunya bukan hanya semata-mata sekumpulan aset dan kewajiban (collections of assets and liabilities). Secara normal, tentunya, pihak tersebut menjalankan suatu kegiatan bisnis yang berkelanjutan, dengan pendapatan yang dapat diidentifikasi (identifiable revenue), yang berarti, aset dan kewajiban entitas tersebut berinteraksi satu sama lain, termasuk penggunaan HAKI atau harta berwujud lainnya sebagai input yang relatif penting, dan orang-orang yang mengoperasikan input tersebut. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pembayaran royalti atau fee tersebut dalam konteks bisnis, dimaksudkan untuk memperoleh pendapatan yang dapat diidentifikasi, yang berarti :  Ada manfaat ekonomis yang terkait dengan transaksi tersebut akan mengalir kepada entitas tersebut  Jumlah pendapatan yang teridentifikasi tersebut dapat diukur secara andal 1 International Financial Reporting Standards, International Accounting Standards Committee Foundation, 2010, London, UK.
  • 5. www.futurumcorfinan.com Page 5 Tentunya tidak mengherankan apabila dalam praktik bisnis, pembayaran royalti atau fee tertentu lainnya, mengambil bentuk-bentuk sebagai berikut: 1. Tarif royalti sebagai persentase dari pendapatan bersih (net sales) 2. Tarif royalti sebagai persentase dari laba kotor (gross margin) 3. Tarif royalti sebagai persentase dari laba operasional (income from operations) atau bentuk lainnya, seperti EBITDA 4. Jumlah royalti per jumlah unit yang terjual 5. Jumlah royalti per jumlah unit yang diproduksi 6. Suatu jumlah tertentu yang tetap (lump-sum), yang dapat pula dikombinasi dengan jumlah yang dikaitkan dengan ukuran lain. 7. Tarif royalti yang berbeda-beda untuk tingkat penjualan yang berbeda 8. Tarif royalti yang berbeda untuk wilayah penjualan yang berbeda atau tahun produksi yang berbeda atau jenis produk yang berbeda 9. Tarif royalti yang ditentukan minimum dan maksimumnya Bahkan ahli penilaian untuk HAKI dan aktiva tidak berwujud, mengkaitkan secara langsung bahwa nilai dari (penggunaan) HAKI dan aktiva tidak berwujud lainnya dengan imbal hasil atas investasi (return on investment). But, in the main and in the long-run, businesspeople base those decisions on a careful (and correct) evaluation of the potential for earning a return on investment. Dollars are not committed for idle amusement. They are planted in order to grow – businesspeople are simply farmers with their own unique seeds and implements, trying to employ the classic agents of production in their own way.2 (kalimat ditebalkan untuk keperluan penekanan) (terjemahan bebas : Akan tetapi, terutama dan dalam jangka panjang, pelaku bisnis mendasarkan keputusan-keputusan mereka pada evaluasi yang hati-hati (dan benar) atas kemungkinan untuk memperoleh imbal hasil atas investasi. Dolar tidak diinvestasikan untuk kesenangan semata-mata. Investasi ditanamkan supaya bertumbuh – pelaku bisnis 2 Gordon V. Smith, Russell L. Parr, Valuation of Intellectual Property and Intangible Assets, third edition, 2000, John Wiley & Sons, USA, halaman X.
  • 6. www.futurumcorfinan.com Page 6 adalah semata-mata petani dengan benih mereka yang unik dan berusaha menjalankan agen produksi yang klasik dengan cara mereka sendiri.) Tarif yang Wajar dalam Transfer Pricing Sesudah diketahui bahwa tarif royalti dan non-royalti terkait dengan imbal hasil atas investasi, tentunya, sekarang dihadapkan kepada pertanyaan : bagaimana menentukan tarif yang wajar dalam konteks Transfer Pricing? Konteks Transfer Pricing ini di sini tentunya dapat diartikan apakah transaksi pembayaran royalti atau fee non-royalti tersebut dilakukan antara pihak-pihak: 1) yang kedua-duanya berada dalam jurisdiksi perpajakan yang sama. Sebagai contoh, pembayaran royalti atas penggunaan HAKI dari PT A kepada PT B, di mana baik PT A dan PT B merupakan perusahaan yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia. Atau, 2) yang tidak didirikan atau berkedudukan di Negara yang sama, atau dengan kata lain, berada dalam jurisdiksi perpajakan yang berbeda. Sebagai contoh, pembayaran royalti yang dilakukan oleh PT A (yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia) kepada principal-nya di Negara Jepang. Namun menilik kepada bagian “Menimbang” dalam PER-43, dapat diketahui bahwa ketentuan PER-43, lebih mengarah kepada point ke-2 di atas, dimana transaksi pembayaran royalti atau fee non-royalti adalah antara pihak-pihak yang tidak berada pada jurisdiksi perpajakan yang sama (transaksi lintas negara - cross-border transaction).3 Esensi dari permasalahan pembayaran royalti untuk transaksi lintas negara, adalah adanya fakta bahwa pembayaran lintas jurisdiksi perpajakan tersebut, untuk penggunaan HAKI atau pemanfaatan Barang Tidak Berwujud Lainnya (atau Barang Tidak Berwujud), adalah pembayaran royalti atau fee non-royalti tersebut adalah merupakan :  pengurang penghasilan kena pajak bagi pihak pembayar.  penambah penghasilan kena pajak bagi pihak yang menerima pembayaran 3 Hal ini diperkuat dalam Pasal 22 dan 23 dari PER-43, dimana diatur mengenai permohonan Prosedur Persetujuan Bersama (Mutual Agreement Procedure) dan Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement), hal mana lebih umum didapatkan dalam literatur-literatur yang membicarakan transaksi-transaksi lintas negara.
  • 7. www.futurumcorfinan.com Page 7 Pada saat baik pihak pembayar maupun pihak yang menerima pembayaran royalti atau fee non-royalti adalah merupakan pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa, otoritas perpajakan masing-masing negara (terutama otoritas perpajakan dari negara pihak pembayar) dapat dimengerti akan memberikan perhatian lebih untuk memastikan apakah: Jumlah pembayaran royalti atau fee non-royalti merupakan fungsi dari hanya pengelakan perpajakan (tax avoidance) atau dengan kata lain, tidak didasarkan kepada realitas bisnis (business reality) atau transaksi yang memiliki substansi komersial (transaction without commercial substance). Suatu transaksi disebutkan memiliki substansi komersial adalah apabila arus kas di masa mendatang diharapkan akan berubah secara signifikan sebagai akibat adanya transaksi tersebut4 . Tampaknya, pihak otoritas perpajakan berusaha menyederhanakan hal di atas menjadi penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha dalam transaksi antara wajib pajak dengan pihak yang mempunyai hubungan istimewa. Tentunya, yang menjadi pertanyaan utama Wajib Pajak pada umumnya (asumsi : Wajib Pajak sebagai pembayar royalti ke luar negeri yang merupakan pihak yang mempunyai hubungan istimewa), adalah : apakah yang dimaksud dengan tarif royalti atau fee non-royalti yang dianggap memenuhi prinsip kewajaran dan kelaziman usaha? Dari PER-43, diperoleh petunjuk sebagai berikut: Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha (arm's length principle/ALP) merupakan prinsip yang mengatur bahwa apabila kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa sama atau sebanding dengan kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa yang menjadi pembanding, maka harga atau laba dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa harus sama dengan atau berada dalam rentang harga atau laba dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa yang menjadi pembanding. (Pasal 1 point 6). 4 International Accounting Standards No. 16, Property, Plant and Equipment, International Accounting Standards Committee Foundation, 2010, London, UK, halaman A443.
  • 8. www.futurumcorfinan.com Page 8 Harga Wajar atau Laba Wajar adalah harga atau laba yang terjadi dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa dalam kondisi yang sebanding, atau harga atau laba yang ditentukan sebagai harga atau laba yang memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha. (Pasal 1 point 7) Analisis Kesebandingan adalah analisis yang dilakukan oleh Wajib Pajak atau Direktorat Jenderal Pajak atas kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa untuk diperbandingkan dengan kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa, dan melakukan identifikasi atas perbedaan kondisi dalam kedua jenis transaksi dimaksud. (Pasal 1 point 8) Pasal 2 (2b) PER-43 merupakan ruang lingkup dari yang dibicarakan dalam bab ini, yaitu menyangkut sewa, royalti, atau imbalan lain yang timbul akibat penyediaan atau pemanfaatan harta berwujud maupun harta tidak berwujud (catatan : bagian yang ditebalkan dilakukan untuk tujuan penekanan); Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dilakukan dengan langkah- langkah sebagai berikut: a. melakukan Analisis Kesebandingan dan menentukan pembanding (catatan : bagian yang ditebalkan dilakukan untuk tujuan penekanan); b. menentukan metode Penentuan Harga Transfer yang tepat; c. menerapkan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha berdasarkan hasil Analisis Kesebandingan dan metode Penentuan Harga Transfer yang tepat ke dalam transaksi yang dilakukan antara Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa ; dan d. mendokumentasikan setiap langkah dalam menentukan Harga Wajar atau Laba Wajar sesuai dengan ketentuan perundang- undangan perpajakan yang berlaku. Jadi dapat disimpulkan bahwa Arm’s-length principle dalam PER-43 sangat lekat dengan Analisis kesebandingan dan menentukan pembanding. Hal ini tidak terlalu mengherankan, karena standar arm’s-length diterapkan hampir secara universal untuk menguji penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha dalam transaksi antara wajib pajak dengan pihak yang mempunyai hubungan istimewa.5 5 OECD Transfer Pricing Guidelines for Multinational Enterprises and Tax Administrations, July 2010.
  • 9. www.futurumcorfinan.com Page 9 Dari OECD Transfer Pricing Guidelines for Multinational Enterprises and Tax Administrations (July 2010), bagian Glossary, disebutkan bahwa: Arm’s length principle The international standard that OECD member countries have agreed should be used for determining transfer prices for tax purposes. It is set forth in Article 9 of the OECD Model Tax Convention as follows: where “conditions are made or imposed between the two enterprises in their commercial or financial relations which differ from those which would be made between independent enterprises, then any profits which would, but for those conditions, have accrued to one of the enterprises, but, by reason of those conditions, have not so accrued, may be included in the profits of that enterprise and taxed accordingly”. Arm’s length range A range of figures that are acceptable for establishing whether the conditions of a controlled transaction are arm’s length and that are derived either from applying the same transfer pricing method to multiple comparable data or from applying different transfer pricing methods. Dari bacaan di atas, dapat diketahui bahwa satu dari criteria utama untuk menguji apakah suatu transaksi adalah arm’s-length adalah : Apakah pihak lain, yang tidak memiliki hubungan istimewa akan melakukan transaksi dengan tarif yang sama, atau, apakah pihak yang sedang diuji akan melakukan transaksi dengan tarif yang sama terhadap pihak yang tidak memiliki hubungan istimewa? Pertanyaan di atas, akan mengarahkan, pihak-pihak yang berkepentingan, antara lain, otoritas perpajakan, fiskus, manajer pajak atau hakim pajak, untuk secara langsung mereview transaksi-transaksi yang dilakukan dengan pihak yang mempunyai hubungan istimewa dan dengan pihak ke-tiga yang tidak mempunyai hubungan istimewa. Pengertian hubungan istimewa : 1. Hubungan istimewa karena kepemilikan saham/penyertaan sebagaimana diatur oleh Pasal 18 ayat (4) huruf a UU PPh.  Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung
  • 10. www.futurumcorfinan.com Page 10 paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada Wajib Pajak lain;  hubungan antara Wajib Pajak dengan penyertaan paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada dua Wajib Pajak atau lebih;  atau hubungan di antara dua Wajib Pajak atau lebih yang disebut terakhir; 2. Hubungan istimewa karena penguasaan sebagaimana diatur oleh Pasal 18 ayat (4) huruf b UU PPh. 3. Hubungan istimewa karena hubungan keluarga sebagaimana diatur oleh Pasal 18 ayat (4) huruf c UU PPh. 4. Hubungan istimewa karena pengendalian sebagaimana diatur oleh Pasal 9 ayat (1) Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (tax treaty) antara Indonesia dengan negara domisili pihak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak Transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa harus konsisten dengan prinsip arm’s-length. Dengan melakukan analisa kesebandingan, secara implisit atau tidak langsung, pihak fiskus menerima asumsi bahwa transaksi yang dilakukan dengan pihak yang tidak memiliki hubungan istimewa sudah menerapkan prinsip arm’s- length atau prinsip kewajaran. Jika prinsip arm’s-length tidak dipatuhi, berdasarkan pasal 18 (3) Undang-undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang No. 36 Tahun 2008, Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa dengan menggunakan metode perbandingan harga antara pihak yang independen, metode harga penjualan kembali, metode biaya-plus, atau metode lainnya. Dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2009, pemerintah Indonesia menentukan dokumentasi transfer pricing tertentu untuk membuktikan arm’s-length nature dari transaksi-transaksi hubungan istimewa. Dokumentasi Transfer Pricing seringkali diminta selama pemeriksaan pajak karena isu Transfer Pricing pada umumnya merupakan subyek yang mendapat penelitian mendalam oleh kantor pajak. Pengungkapan Transfer Pricing yang detil diwajibkan dilampirkan dalam SPT Tahunan
  • 11. www.futurumcorfinan.com Page 11 Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan, antara lain:  Daftar pihak yang mempunyai hubungan istimewa  Rincian transaksi dengan pihak yang mempunyai hubungan istimewa, mencakup jenis transaksi, nilai transaksi, metode penetapan harga, alasan penggunaan metode  Dokumentasi penetapan harga wajar Perlu ditambahkan di sini, bahwa sengketa TP dapat diselesaikan melalui proses keberatan dan banding, atau dimana sengketa melibatkan suatu transaksi antara suatu pihak yang mempunyai hubungan istimewa di Negara yang merupakan Negara tax treaty Indonesia, maka pihak-pihak tersebut dapat mengajukan double tax relief melalui Mutual Agreement Procedures. Ketentuan perpajakan memberikan otorisasi kepada Dirjen Pajak untuk mengadakan Advance Pricing Agreement (APA) dengan wajib pajak sehubungan dengan transaksi- transaksi hubungan istimewa. Proses tersebut boleh atau tidak melibatkan kerjasama dari otoritas perpajakan luar negeri/asing. Begitu disepakati, APA pada umumnya akan berlaku untuk jangka waktu tertentu. Sesudah periode tersebut berakhir, APA terbuka untuk dinegosiasikan.6 Dari hal-hal di atas, dapat kita simpulkan bahwa beban pembuktian Transfer Pricing ada pada pihak Wajib Pajak dalam negeri Indonesia, baik yang melakukan pembayaran ke luar negeri (prinsipal, atau pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa) atau bahkan menerima pembayaran (dapat diperkirakan sangat jarang ditemukan). Kembali kepada konteks Indonesia, di mana sebagian besar, wajib pajak di Indonesia dapat dikatakan banyak merupakan pembayar royalti kepada pihak di luar negeri (yang mungkin – merupakan pihak yang memiliki hubungan istimewa), sehubungan dengan penyediaan atau pemanfaatan barang tidak berwujud atau penggunaan HAKI. Dengan demikian, dalam laporan laba rugi tahunan, wajib pajak akan menyajikan biaya royalti sebagai pengurang penghasilan dalam rangka penentuan Penghasilan Kena Pajak. 6 Peraturan Direktur Jenderal Pajak PER-69/PJ/2010 tanggal 31 Desember 2010 tentang Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement).
  • 12. www.futurumcorfinan.com Page 12 Walaupun sudah ada petunjuk dari PER-43, Wajib Pajak tetap menemukan kesulitan untuk menerapkan dokumentasi yang dapat memenuhi ketentuan PER-43, terutama dalam melakukan analisis kesebandingan dan menentukan pembanding. Jasa konsultan pajak banyak dimanfaatkan untuk melakukan dokumentasi Transfer Pricing ini. Namun demikian, tetap apapun produk dari jasa konsultan pajak, pada umumnya wajib pajak tidak mengetahui bagaimana menentukan tarif yang wajar yang memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha. Hampir dalam kebanyakan transaksi bisnis, proses penentuan tarif tidak dapat diketahui atau bersifat konfidensial. Tentunya, kalau kita tanyakan langsung kepada wajib pajak (dalam konteks : tidak memiliki hubungan istimewa), berapa tarif royalti atau fee non-royalti yang ia bersedia bayar, tentunya ia akan berusaha untuk mencapai negosiasi tarif yang serendah- rendahnya. Ini juga menimbulkan rasa ingin tahu pada waktu mengetahui bahwa tarif royalti wajib pajak ada pada quartil yang 75% dari rentang harga atau laba berdasarkan metode penentuan harga transfer, dan bukan di bawah 50%. Apakah pertanyaan langsung kepada wajib pajak mengenai tarif adalah relevan? Tampaknya hal ini tidak dianggap tidak terlalu relevan, dan agak subyektif, dengan kata lain, ada kemungkinan tidak mencerminkan business reality. Otoritas perpajakan lebih mengandalkan bahwa penerapan (dan pembuktian) Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha berdasarkan : a. hasil Analisis Kesebandingan, dan b. penerapan metode Penentuan Harga Transfer yang tepat ke dalam transaksi yang dilakukan antara Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa. Pasal 11 (2) PER-43 menyebutkan bahwa Metode Penentuan Harga Transfer yang dapat diterapkan adalah: a. metode perbandingan harga antara pihak yang independen (comparable uncontrolled price/CUP) ; b. metode harga penjualan kembali (resale price method/RPM) atau metode biaya- plus (cost-plus method/CPM); c. metode pembagian laba (profit split method/PSM) atau metode laba bersih transaksional (transactional net margin method/TNMM) . Harga Wajar atau Laba Wajar berdasarkan metode-metode Penentuan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) di atas dapat ditentukan dalam bentuk harga atau laba tunggal (single price) atau dalam bentuk Rentang Harga Wajar atau Laba
  • 13. www.futurumcorfinan.com Page 13 Wajar (arm's length range/ALR). (Pasal 13 (1) PER-43. Jadi kita dapat menyimpulkan bahwa PER-43 mengharapkan : penerapan salah satu (atau kombinasi) dari metode di atas dapat menghasilkan harga wajar atau laba wajar. Apakah demikian? Sebelum dibahas lebih lanjut, perlu dipertanyakan dua point yang mendasar: 1. Mengapa suatu pihak bersedia membayar tarif royalti atau fee non-royalti kepada pihak lain? 2. Mengapa suatu pihak bersedia membayar tarif yang berbeda (tentunya secara signifikan mempunyai dampak terhadap beban pajak penghasilan pihak yang membayar) untuk transaksi dengan pihak yang mempunyai hubungan istimewa dibandingkan dengan pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa? Tentunya secara logika, menjawab pertanyaan nomor 1 di atas, suatu pihak bersedia membayar tarif royalti atau fee non-royalti kepada pihak lain adalah : Penggunaan HAKI atau pemanfaatan barang tidak berwujud tersebut memiliki nilai (value) dimana:  Nilai tersebut akan terwujud dalam bentuk manfaat ekonomis di masa mendatang (future economic benefits) (yang dapat berupa atau terwujud dalam bentuk pendapatan – harga premium, pangsa pasar yang lebih besar, volume yang tinggi, biaya yang lebih rendah, dan lain-lain) yang kemungkinan akan mengalir kepada entitas pembayar royalti (atau secara tidak langsung, kepada pihak penerima pembayaran royalti).  Manfaat ekonomis di masa mendatang tersebut dapat di-identifikasi dan dinyatakan dalam ukuran moneter (uang atau ekivalen uang) secara andal.  Faktor kemungkinan tersebut memiliki probabilitas di atas 50%. Jadi, dapat dikatakan bahwa suatu pihak bersedia membayar tarif yang berbeda (untuk transaksi dengan pihak yang mempunyai hubungan istimewa dan tidak mempunyai hubungan istimewa) adalah karena jumlah manfaat ekonomis di masa mendatang dan faktor kemungkinan diterima adalah berbeda, atas penggunaan HAKI atau pemanfaatan
  • 14. www.futurumcorfinan.com Page 14 barang tidak berwujud tersebut (menjawab pertanyaan nomor 2 di atas). Kembali ke nilai (value) suatu HAKI atau barang berwujud, yang merupakan representasi dari seluruh manfaat ekonomis di masa mendatang, yang di-kompres, menjadi satu tarif pembayaran (single payment rate, berupa royalti atau fee non-royalti). Menambah kompleksitas, adalah nilai ini akan secara kontinyu berubah, seiring dengan manfaat ekonomis yang bertambah atau berkurang sejalan berlalunya waktu. Dengan demikian, tarif royalti atau fee non-royalti, secara logika, selayaknya perlu direview secara periodik, untuk ditentukan apakah perlu diubah – diturunkan atau bahkan dinaikkan. Di sini, kembali dihadapkan pada penentuan manfaat ekonomis di masa mendatang. Berdasarkan literatur-literatur yang ada, dikenal metode-metode 7 : 1. Metode comparable/kesebandingan Implisit dalam metode ini adalah asumsi bahwa jika suatu pihak melakukan suatu transaksi pembayaran royalti yang sama atau tidak berbeda secara signifikan dengan pihak lain, maka hal itu dianggap sudah menerapkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha. Jelas, bahwa OECD maupun PER-43 lebih condong kepada metode kesebandingan. Pada tingkat yang mendasar, tentunya relatif sulit untuk memperdebatkan manfaat dari metode ini, kalau memang objek yang dibicarakan adalah sama atau memiliki karakteristik yang sama. Namun tentunya, juga disadari bahwa apakah ada HAKI yang sama atau dapat diperbandingkan, misalnya apakah dapat dilakukan perbandingan antara brand Coca Cola dengan Pepsi? Apa ada cara-cara yang logis untuk melakukan penyesuaian (yang subyektif) untuk perbedaan-perbedaan yang ada? Walaupun OECD Transfer Pricing Guidelines for Multinational Enterprises and Tax Administrators menyebutkan faktor-faktor yang turut dipertimbangan untuk kesebandingan, yaitu8 , namun hal-hal itu juga tidak terlalu membantu, bahkan cenderung membuat analisa menjadi lebih kompleks:  Karakteristik dari properti atau jasa 7 Gordon V. Smith, Russell L. Parr, Valuation of Intellectual Property and Intangible Assets, third edition, 2000, John Wiley & Sons, Inc., USA, halaman 101. 8 OECD Transfer Pricing Guidelines for Multinational Enterprises and Tax Administrations, July 2010, halaman 43.
  • 15. www.futurumcorfinan.com Page 15  Analisa fungsional  Syarat-syarat kontraktual  Kondisi perekonomian  Strategi bisnis Dengan kata lain, ketergantungan pada pendekatan kesebandingan adalah juga pada akhirnya, ketergantungan pada penyederhanaan yang berlebihan, yang tentunya suatu yang tidak terhindarkan (unavoidable gross over-simplification). 2. Metode analitis Berapa tarif royalti yang akan disepakati oleh pihak-pihak jika mereka menegosiasikan transaksi bisnis berdasarkan fakta dan kondisi mereka sendiri dan mempertimbangkan faktor-faktor HAKI yang di-alihkan. Secara konsep, metode analitis tentunya lebih baik, karena metode ini berusaha untuk mereview proses negosiasi arm’s-length itu sendiri, dengan mempertimbangkan unsur-unsur yang turut dipertimbangkan oleh dua pihak yang tidak memiliki hubungan istimewa. Proses negosiasi itu sendiri akan berdasarkan pada fakta dan kondisi yang memang spesifik untuk negosiasi itu. Dengan kata lain, untuk menjadi arm’s-length, apapun tarif yang nantinya diputuskan oleh kedua belah pihak, adalah bukan merupakan hasil dari hubungan yang non-market atau semata-mata perjanjian antara kedua belah pihak.9 Tentunya, pertanyaan klasik adalah bagaimana membawa ranah konseptual ini ke dalam ranah yang mudah diimplementasi dalam praktik di lapangan. Buku-buku teks yang ada10 , menyebutkan adanya tiga metode: 1. Pendekatan Biaya (cost approach) 2. Pendekatan Pasar (market approach). Termasuk di dalamnya, metode kesebandingan (comparability method) 3. Pendekatan Pendapatan (income approach) 9 Jeffrey A. Cohen, Intangible Assets – Valuation and Economic Benefit, 2005, John Wiley & Sons, USA, halaman 6. 10 misalnya, Robert F. Reilly, Robert P. Schweihs, Valuing Intangible Assets, 1999, McGraw-Hill, USA.
  • 16. www.futurumcorfinan.com Page 16 Perlu ditekankan di sini, bahwa penggunaan ke-tiga metode tersebut membutuhkan data yang baik dan proyeksi data, menjadi kritikal untuk menentukan tarif yang wajar. Analisa Transfer Pricing untuk Konteks Indonesia Untuk kasus di Indonesia, yang menjadi pertanyaan adalah apakah memiliki database yang dapat digunakan oleh wajib pajak untuk menentukan tarif yang wajar (pendekatan pasar). Tentunya keunggulan dari data databases adalah data tersebut :  diambil dari tarif royalti aktual yang sudah terjadi untuk produk-produk yang diharapkan dapat diperbandingkan,  yang muncul dari negosiasi dan kemungkinan sudah ada beberapa transaksi yang ada,  berasal dari transaksi antara pihak-pihak tanpa paksaan, tekanan, tuntutan hukum,  dapat mencerminkan profitabilitas segmen industri. Kalau di Amerika Serikat, terdapat data-data yang diterbitkan oleh the Association of University Technology Managers (AUTM) dan the Licensing Executives Society (LES). Perlu dicatat bahwa walaupun tersedia database tersebut, bagaimana pihak wajib pajak dapat melakukan penyesuaian untuk sampai kepada produk tertentu. Namun demikian, adanya rentang harga wajar atau laba wajar tersebut dapat minimal memberikan gambaran umum, walaupun tidak sangat membantu dalam penentuan produk khusus. Namun demikian, kalaupun ada data rentang harga wajar atau laba wajar, misalkan untuk tarif royalti untuk teknologi tertentu, misalkan 2% - 8%, hal ini tidak banyak memberikan informasi berapa tarif royalti untuk penentuan pembayaran royalti, apakah harus diambil rata-rata, misalnya 5%? Sekalipun demikian, generalities don’t tell you anything about your particular deal. Di samping itu, penggunaan metode perbandingan harga antara pihak yang independen (comparable uncontrolled price/CUP) memerlukan data informasi dan analisa dalam jumlah yang relatif banyak, dan analisa yang berbeda dapat memberikan hasil yang sangat berbeda. Sebagai contoh, untuk melakukan analisa kesebandingan atas paten, menurut Cohen
  • 17. www.futurumcorfinan.com Page 17 (2005), terdapat lima hal yang perlu dipertimbangkan11 :  Fit, extension, or context  History  Scope  Useful remaining life  Likelihood of infringement Peraturan perpajakan di Amerika Serikat (dikenal sebagai 482 Regulations) mempertimbangkan analisa arus kas yang didiskonto (discounted cash flow - DCF) sebagai ukuran atas potensi laba yang paling dapat diandalkan. Sekalipun demikian, prosedur DCF sendiri menimbulkan kesulitan-kesulitan praktis, misalnya memerlukan proyeksi yang mendetil atas pendapatan dan biaya yang terkait dengan penggunaan aktiva/barang tak berwujud dan penentuan tingkat diskonto yang tepat dalam menyelesaikan analisa. Analisa DCF ini, di samping kompleksitasnya, juga relatif akan mudah dipertanyakan. Pihak Wajib Pajak, walaupun telah menghabiskan banyak waktu dan tenaga kerja yang berpengalaman untuk membangun analisa DCF, kemungkinan mendapati analisa DCF yang ada salah dimengerti oleh pihak fiskus, dan kemudian ditolak untuk digunakan. Sebelum lebih jauh mengenai metode praktis yang disarankan untuk konteks Indonesia, ada baiknya melihat pada kasus Georgia-Pacific v. United States Plywood Corp. Pada tahun 1970, dalam kasus Georgia-Pacific v. United States Plywood Corp. (318 F. Supp. 1116), the U.S. District Court for the Southern District of New York menggunakan 15 faktor berikut ini untuk menentukan tarif royalti yang wajar12 : 1. The royalties received by the patentee for the licensing of the patent in suit, proving or tending to prove an established royalty. 2. The rates paid by the licensee for the use of other patents comparable to the patent in suit. 3. The nature and scope of the license, as exclusive or nonexclusive, or as restricted or nonrestricted in terms of territory or with respect to whom the 11 Jeffrey A. Cohen, Intangible Assets – Valuation and Economic Benefit, 2000, John Wiley & Sons, Inc., USA, halaman 93. 12 Georgia-Pacific Corporation v. United States Plywood Corporation, Civ. A. No. 99-195, 318 F.Supp. 1116; 1970 U.S. Dist. LEXIS 11541; 166 U.S.P.Q. (BNA) 235 (May 28, 1970).
  • 18. www.futurumcorfinan.com Page 18 manufactured product may be sold. 4. The licensor’s established policy and marketing program to maintain a patent monopoly by not licensing others to use the invention or by granting licenses under special conditions designed to preserve that monopoly. 5. The commercial relationship between the licensor and licensee, such as whether they are competitors in the same territory in the same line of business, or whether they are inventor and promoter. 6. The effect of selling the patented specialty in promoting sales of other products of the licensee, the existing value of the invention to the licensor as a generator of sales of non-patented items, and the extent of such derivative or convoyed sales. 7. The duration of the patent and the term of the license. 8. The established profitability of the product made under the patent, its commercial success, and its current popularity. 9. The utility and advantages of the patent property over the old modes or devices, if any, that had been used for working out similar results. 10. The nature of the patented invention, the character of the commercial embodiment of it as owned and produced by the licensor, and the benefits to those who have used the invention. 11. The extent to which the infringer has made use of the invention and any evidence probative of the value of that use. 12. The portion of the profit or of the selling price that may be customary in the particular business or in comparable businesses to allow for the use of the invention or analogous inventions. 13. The portion of the realizable profit that should be credited to the invention as distinguished from non-patented elements, the manufacturing process, business risks, or significant features or improvements added by the infringer. 14. The opinion testimony of qualified experts. 15. The amount that a licensor (such as the patentee) and a licensee (such as the infringer) would have agreed upon (at the time the infringement began) if both had been reasonably and voluntarily trying to reach an agreement, that is, the amount obtain a license to manufacture and sell a particular article embodying the patented invention—would have been willing to pay as a royalty and yet be able to make a reasonable profit and which amount would have been acceptable by a prudent patentee who was willing to grant a license.
  • 19. www.futurumcorfinan.com Page 19 Dari bacaan atas 15 faktor-faktor di atas, pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi 5 kelompok, sebagai berikut13 : 1. Market Comparable royalties – Nomor 1 dan 2 2. Licensor’s Policies/Potential Terms – Nomor 3, 4, 5 dan 7 3. Technology – Nomor 9 dan 10 4. Profitability and Other Financial Metrics – Nomor 6, 8, 11, 12, 13, 14 5. Hypothetical Negotiation – Nomor 15 Tampaknya, ukuran berupa profitabilitas dan metrik keuangan lainnya mendominasi faktor-faktor yang menentukan tarif royalti yang dianggap wajar. Penentuan Tarif Royalti yang Wajar Terdapat dua point yang penting mendasari penentuan tarif royalti atau fee non-royalti lainnya yang wajar: (1) Sebagaimana diutarakan di awal bab ini, penentuan tarif royalti atau fee non-royalti lainnya erat terkait dengan imbal hasil atas investasi. Dengan demikian, suatu tarif royalti atau fee non-royalti sering didasarkan pada logika ekonomi dengan menggunakan model keuangan yang mengkaitkan dua hal secara langsung:  investasi yang dibutuhkan untuk mengembangkan HAKI atau barang tidak berwujud tersebut, dan  pendapatan yang diharapkan akan dihasilkan oleh penggunaan HAKI atau barang tidak berwujud tersebut. (2) Pada waktu pihak-pihak independen akan mengadakan suatu transaksi, kondisi dari hubungan komersial dan keuangan masing-masing pihak (misalnya mengenai harga barang yang akan dijual dan dibeli, jasa yang akan diberikan dan persyaratan dan kondisi (terms & conditions) isi perjanjian) pada umumnya akan ditentukan oleh kekuatan pasar eksternal. Namun pada waktu transaksi tersebut dilakukan antara pihak-pihak yang 13 Glen S. Newman, How Reasonable is Your Royalty?, September 2008, Richard J. Gering and Jeffrey N. Press.
  • 20. www.futurumcorfinan.com Page 20 mempunyai hubungan istimewa, hubungan komersial dan keuangan tidak akan secara langsung dipengaruhi oleh kekuatan pasar eksternal dengan tingkatan yang sama seperti transaksi dengan pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa. Seberapa besar perbedaan tersebut, inilah yang menjadi fokus fiskus. Perlu dicatat bahwa pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa biasanya tetap berusaha mereplikasi ke-dinamis-an dari kekuatan pasar eksternal pada waktu menegosiasikan transaksi. Pihak fiskus tidak seharusnya secara otomatis mengasumsikan bahwa pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa berusaha untuk selalu memanipulasi laba mereka dari transaksi tersebut. Ada kemungkinan bahwa memang ditemukan kesulitan untuk secara akurat menentukan harga pasar yang wajar, pada saat kekuatan pasar eksternal sulit untuk dikuantifikasi atau bahkan tidak ada (mengingat keunikan dari HAKI atau barang tidak berwujud) atau pada saat penggunaan HAKI atau barang tidak berwujud tersebut membutuhkan penerapan strategi pemasaran yang khusus. Sebagai konsekuensi, pada saat menghitung tarif yang digunakan dalam transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa, pihak fiskus akan menerapkan pengujian prinsip kewajaran dan kelaziman usaha, dalam rangka mengubah nilai transaksi menjadi apa yang disebut nilai wajar yang mengacu ke pasar. OECD (2010) mengingatkan bahwa pada waktu penyesuaian tersebut dilakukan14 : It is important to bear in mind that the need to make adjustments to approximate arm's length transactions arises irrespective of any contractual obligation undertaken by the parties to pay a particular price or of any intention of the parties to minimize tax. Thus, a tax adjustment under the arm's length principle would not affect the underlying contractual obligations for non-tax purposes between the associated enterprises, and may be appropriate even where there is no intent to minimize or avoid tax. The consideration of transfer pricing should not be confused with the consideration of problems of tax fraud or tax avoidance, even though transfer pricing policies may be used for such purposes. (Catatan : kalimat yang digaris-bawahi dilakukan untuk keperluan penekanan). 14 OECD Transfer Pricing Guidelines for Multinational Enterprises and Tax Administrations, July 2010, halaman 31.
  • 21. www.futurumcorfinan.com Page 21 Jadi dari dua hal di atas, ini berarti sangat relevan bahwa dalam dokumentasi Transfer Pricing untuk melihat apakah tarif royalti atau fee non-royalti lainnya sudah menerapkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha adalah perusahaan memiliki rencana bisnis (business plan) yang baik. Sungguh beralasan untuk mengasumsikan bahwa perusahaan tentunya akan memiliki rencana bisnis yang baik sebagai basis untuk memulai suatu negosiasi penentuan tarif dengan pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa. Rencana bisnis di sini bukan berarti suatu laporan yang harus berpuluh-puluh lembar halaman dipenuhi dengan berbagai gambar dan chart yang warna-warni, dan tidak selalu harus disiapkan oleh pihak konsultan. Rencana bisnis yang baik tentunya rencana bisnis yang cukup memadai untuk memungkinkan pengambil keputusan atau manajemen perusahaan untuk melihat seluruh aspek baik faktor eksternal maupun internal, termasuk resiko, dan dampaknya ke depan bagi masa depan perusahaan. Dalam konteks perusahaan multi-nasional, seperti misalnya struktur di bawah ini, adanya suatu rencana bisnis yang komprehensif tentunya dapat membantu pihak fiskus untuk melihat apakah faktor-faktor kekuatan pasar eksternal telah menentukan penetapan tarif. Adanya rencana bisnis dalam dokumen alternatif persyaratan dokumentasi Transfer Pricing juga akan dapat melengkapi : 1. Analisa atas proyeksi laba (atau bahkan target profitabilitas perusahaan yang dijadikan acuan/benchmark) versus laba aktual dalam suatu tahun. Analisa tarif yang wajar (termasuk dokumentasi Transfer Pricing) pada umumnya berfokus pada laba yang sesungguhnya diperoleh oleh wajib pajak dalam suatu
  • 22. www.futurumcorfinan.com Page 22 tahun fiscal. Hal ini tentunya juga menimbulkan permasalahan (bahkan sengketa pajak dengan wajib pajak) mengingat keputusan penentuan tarif royalti atau fee non-royalti adalah keputusan bisnis (business decision) yang pada umumnya ditentukan pada waktu wajib pajak mengadakan suatu transaksi dengan baik pihak yang mempunyai hubungan istimewa atau tidak. Keputusan bisnis sendiri mengandung resiko, dimana laba yang diharapkan diperoleh pada suatu tahun fiskal dapat tidak terealisasi, atau bahkan bergeser ke tahun-tahun fiskal berikutnya. Apakah hal ini sudah dipertimbangkan pada awal tahun? Tampaknya dokumentasi Transfer Pricing berdasarkan PER-43 tidak melihat hal ini sebagai faktor yang penting untuk dipertimbangkan. Di samping itu, rencana bisnis juga dapat mencakup target laba yang diharapkan oleh perusahaan multi-nasional dari penggunaan HAKI atau pemanfaatan barang tidak berwujud lainnya, terlepas dari berapa tarif royalti atau fee non-royalti yang akan disetujui. Dalam rencana bisnis dan analisanya terhadap laba atau rugi yang terjadi selama satu tahun fiskal atau dalam beberapa tahun fiskal , akan tercermin interaksi antara laba yang diproyeksikan dengan laba atau rugi yang sesungguhnya terjadi (projected vs. actual), informasi mana memberikan pemahaman yang lebih jauh terhadap transaksi yang dilakukan oleh wajib pajak dengan pihak yang mempunyai hubungan istimewa. 2. Analisa atas karakteristik HAKI atau barang tidak berwujud tersebut. Penggunaan atau manfaat dari HAKI atau barang tidak berwujud lainnya pada umumnya berbeda dengan transfer antar-perusahaan yang membutuhkan penilaian, di mana syarat dan kondisi penggunaan hak atau lisensi tersebut ditentukan untuk periode waktu yang relatif lebih panjang, misalnya dibandingkan dengan penjualan produk yang berwujud, penyediaan jasa dan lain-lain. Mengingat jangka waktunya yang lebih panjang, maka mengkaitkan tarif royalti apakah wajar atau tidak pada suatu tahun fiskal menjadi suatu yang dapat diperdebatkan. Secara konseptual, tarif royalti atau fee non-royalti lainnya selayaknya lebih dikaitkan dengan laba, penjualan atau metrik keuangan lainnya yang bersifat proyeksi ke depan – alih-alih menggunakan hasil yang aktual. Penggunaan pandangan yang sempit (narrow view) dengan hanya melihat hasil aktual setiap tahun, tanpa mengkaitkan ke rencana bisnis dan hasil aktual
  • 23. www.futurumcorfinan.com Page 23 beberapa tahun, akan menciptakan tambahan resiko kepada wajib pajak, yaitu:  tarif royalti atau fee non-royalti dan jumlahnya dapat dianggap terlalu tinggi oleh pihak fiskus, dibandingkan dengan tarif pihak yang dijadikan acuan.  margin wajib pajak sesudah beban royalti atau fee non-royalti lainnya dapat dianggap terlalu tinggi oleh pihak fiskus, dibandingkan dengan hasil pihak yang dijadikan acuan.  Wajib pajak menderita rugi fiskal setelah beban royalti atau fee non-royalti lainnya, yang dianggap oleh pihak fiskus, selayaknya, wajib pajak tidak menderita rugi fiskal mengingat wajib pajak masih mampu membayar royalti atau fee non-royalti kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa. 3. Analisa atas tarif royalti atau fee non-royalti lainnya yang dapat disesuaikan (updated) secara periodik Mengingat ke-dinamis-an lingkungan bisnis serta nilai HAKI atau barang tidak berwujud dapat mengalami perubahan, analisa kesebandingan sendiri tidak mengakomodasi kemungkinan perubahan tersebut tarif tersebut. Misalnya, kalau tarif di negara lain tidak berubah, maka dengan menggunakan tarif yang tetap di dalam negeri, secara PER-43, tentunya hal tersebut masih dianggap memenuhi prinsip kewajaran dan kelaziman usaha. Review atas rencana bisnis yang disesuaikan secara periodik memungkinkan manajemen perusahaan/wajib pajak untuk melihat keperluan untuk menegosiasikan ulang tarif royalti atau fee non- royalti lainnya. Hal ini harusnya terjadi mengingat bahwa negosiasi selalu dititikberatkan pada dampak dari faktor pasar eksternal – kalau tentunya transaksi dilakukan dengan pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa. Tarif royalti atau fee non-royalti lainnya yang tidak pernah mengalami perubahan untuk beberapa tahun fiskal tentunya menimbulkan pertanyaan. Dengan demikian, penetapan tarif royalti atau fee non-royalti lainnya yang wajar, tidak harus selalu melibatkan proses analisa kesebandingan dan mencari perusahaan pembanding. Keputusan tarif adalah keputusan bisnis semata, yang tentunya adalah merupakan imbal hasil atas investasi. Dari sudut pandang perusahaan multi-nasional, investasi yang dilakukan di setiap negara adalah merupakan portofolio asset mereka, dan pengembalian investasi dalam HAKI atau barang tidak berwujud, diusahakan dapat
  • 24. www.futurumcorfinan.com Page 24 diperoleh dari pembayaran royalti atau fee non-royalti dari setiap negara. Dengan demikian, metode penentuan tarif royalti atau fee non-royalti, terlepas apakah menerapkan prinsip kewajaran atau kelaziman usaha, selayaknya diserahkan seluruhnya kepada pihak wajib pajak dan pihak lain, baik yang mempunyai hubungan istimewa atau tidak. Penentuan tarif tersebut dapat berdasarkan ketentuan 25%15 , metode biaya-plus atau bentuk-bentuk yang lainnya, seperti:  Royalti yang wajar = investment rate of return – fair or normal rate of return  Royalti yang wajar = interest cost of capital in the capital budgeting  Royalti yang wajar = royalti rate yang dihitung dikurangi faktor diskonto (misalnya ditentukan 25% - 35% untuk faktor-faktor ekstraneous – sebagai contoh, seberapa cepat, produk dapat dipasarkan dan menghasilkan pendapatan, ke-eksklusif-an dari HAKI, feature produk yang kompetitif, pangsa pasar yang sudah ada dan target ke depan, dan lain-lain). Kesimpulan Transaksi penentuan tarif royalti atau fee non-royalti lainnya antara wajib pajak dengan pihak yang mempunyai hubungan istimewa maupun tidak, tentunya melibatkan negosiasi yang didukung oleh rencana bisnis (business plan) dengan menggunakan bisnis model perusahaan atau grup perusahaan multi-nasional. Negosiasi tersebut tentunya dipengaruhi oleh faktor-faktor pasar eksternal. Jadi tidak semata-mata meminta tarif royalti yang serendah mungkin. Penentuan tarif yang wajar termasuk proses negosiasi (akan tergambar sebagian dalam rencana bisnis) tentunya harus memiliki substansi komersial, dimana sejauh mana arus kas di masa mendatang diharapkan akan mengalami perubahan signifikan sebagai akibat penggunaan HAKI atau pemanfaatan barang tidak berwujud tersebut. Analisa kesebandingan untuk satu periode, tanpa melihat Rencana Bisnis, dan untuk beberapa periode, tentunya tidak memberikan gambaran yang lengkap. Metode penentuan tarif royalti atau fee non-royalti yang timbul dari penggunaan HAKI atau pemanfaatan barang tidak berwujud dapat diserahkan seluruhnya kepada wajib pajak, mengingat transaksi tersebut merupakan transaksi bisnis dan keputusan yang timbul 15 Lihat Russell L. Parr, Royalty Rates for Licensing Intellectual Property, 2007, John Wiley & Sons, USA, dan, Robert Feinschreiber, Transfer Pricing Methods – an Applications Guide, 2004, John Wiley & Sons, USA.
  • 25. www.futurumcorfinan.com Page 25 dengan pihak lain merupakan keputusan bisnis, yang pada umumnya ditetapkan pada awal transaksi. Analisa kesebandingan pada hasil yang aktual kembali menjadi tidak terlalu tepat. Menutup bab ini, penulis ingin mengutip Stephen Albainy-Jenei (2005)16 I say that the “correct” royalty rate is the maximum royalty rate that the licensee is willing to pay that meets the minimum royalty rate the licensor is willing to accept. If you are only willing to pay 3% and the university will only accept 6%, then you’ll have no deal (and I’d argue you shouldn’t!). Why front your capital on a business venture that you can’t afford to pursue? Considering that the total investment required for the development can be hundreds of millions of dollars, in many cases only a small royalty rate is economically reasonable depending upon the expected sales volume. If the expected sales volume doubles, the reasonable royalty rate payable will likewise increase. However, as the amount of investment capital increases, the maximum royalty rate payable to the university will decrease. In that case, the range of reasonable royalty rates can easily vary from 1%- 12% (or even well outside this range) depending upon the expected sales. In light of this, guide books of reasonable royalty rates don’t seem all that helpful. ~~~~~~ ####### ~~~~~~ 16 Stephen Albainy-Jenei, What’s a Reasonable Royalty Rate?, 2005, http://www.patentbaristas.com/archives/2005/11/17/whats-a-reasonable-royalty-rate.
  • 26. www.futurumcorfinan.com Page 26 Disclaimer This material was produced by and the opinions expressed are those of FUTURUM as of the date of writing and are subject to change. The information and analysis contained in this publication have been compiled or arrived at from sources believed to be reliable but FUTURUM does not make any representation as to their accuracy or completeness and does not accept liability for any loss arising from the use hereof. This material has been prepared for general informational purposes only and is not intended to be relied upon as accounting, tax, or other professional advice. Please refer to your advisors for specific advice. This document may not be reproduced either in whole, or in part, without the written permission of the authors and FUTURUM. For any questions or comments, please post it at www.futurumcorfinan.com © FUTURUM. All Rights Reserved