Dokumen tersebut membahas mengenai penggunaan laporan penilaian dari konsultan eksternal dalam menentukan nilai wajar suatu transaksi antar perusahaan yang memiliki hubungan istimewa. Ditegaskan bahwa nilai yang ditentukan konsultan belum tentu menjadi harga transaksi yang sebenarnya, dan perlu dipahami secara mendalam oleh pihak Wajib Pajak maupun otoritas perpajakan.
Keseimbangan perekonomian tigas termasuk peran pemerintah
Pengertian nilai dalam laporan akuntan dan penilai dalam sengketa perpajakan (itr article)
1. Indonesian Tax Review Volume VIII/Edisi 18/201534 35
THE UNTAXABLE
Oleh:
Sukarnen
( Pengamat Perpajakan )
Arti “Nilai” Dalam Laporan Konsultan Eksternal
D
efinisi hubungan istimewa telah dijelaskan dalam Pasal 18 ayat
(4) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan
Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang
Pajak Penghasilan, apabila terdapat salah satu unsur di bawah
ini:
(a) Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung
paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada Wajib Pajak lain; hubungan
antara Wajib Pajak dengan penyertaan paling rendah 25% (dua puluh lima
persen) pada dua Wajib Pajak atau lebih; atau hubungan di antara dua Wajib
Pajak atau lebih yang disebut terakhir;
(b) Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih Wajib
Pajak berada di bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak
langsung; atau
(c) Terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis
keturunan lurus dan/atau ke samping satu derajat.
Transaksi antar pihak yang berafiliasi atau memiliki
hubungan istimewa dicurigai dapat menciderai prinsip
kewajaran dan kelaziman usaha. Untuk itu, otoritas pajak
perlu mendapat keyakinan bahwa transaksi tersebut telah
mencerminkan nilai wajar. Tidak jarang, penentuan nilai
wajar ini lah yang menjadi ranah sengketa antara Wajib
Pajak (WP) dan Fiskus.
Terkait Transaksi
AntaraPihak-PihakYangBerafiliasi
2. Indonesian Tax Review Volume VIII/Edisi 18/201536 37
THE UNTAXABLE THE UNTAXABLE
Adanya hubungan istimewa tentunya tidak
bermakna apa-apa hingga terjadinya transaksi.
Mengacu ke Lampiran Peraturan Direktur Jenderal
Pajak Nomor PER-22/PJ/2013 tentang Pedoman
Pemeriksaan terhadap Wajib Pajak yang Mempunyai
Hubungan Istimewa, jenis transaksi (disebut sebagai
transaksi “afiliasi”) yang dimaksud antara lain:
1) transaksi penjualan, pembelian, pengalihan, serta
pemanfaatan harta berwujud;
2) transaksi pemberian jasa intra-grup (intra-grup
service);
3) transaksi pengalihan (ini bisa mencakup juga
dalam konteks hibah, bantuan dan sumbangan)
dan pemanfaatan harta tak berwujud;
4) transaksi pembayaran bunga; dan
5) transaksi penjualan atau pembelian saham.
Setiap transaksi pada umumnya akan melibatkan
penentuan harga transaksi, yang umum dikenal
sebagai transfer pricing. Adanya transaksi afiliasi
pada umumnya akan menarik perhatian pihak
otoritas perpajakan Indonesia (salah satunya dengan
diterbitkannya Surat Edaran Direktorat Jenderal Pajak
Nomor SE-50/PJ/2013 yang memberikan Petunjuk
Teknis Pemeriksaan terhadap Wajib Pajak yang
Mempunyai Hubungan Istimewa), dimana diperlukan
pengujian atas penerapan prinsip kewajaran dan
kelaziman usaha (Arm’s Length Principle/ALP) pada
transaksi afiliasi tersebut.
Di sini penulis tidak akan membahas isu pengujian
penerapan ALP karena sudah banyak literatur yang
membahas ini, namun di sini, penulis ini mengangkat
beberapa poin yang diharapkan bisa memberikan
pemikiran atau pertimbangan lebih jauh bagi pihak
WP dan otoritas perpajakan terkait penggunaan
laporan penilaian.
Bagi pihak WP sendiri, suatu transaksi yang nilai
wajarnya dihitung oleh pihak konsultan eksternal,
katakan menggunakan tenaga penilai, belum tentu
menyelesaikan permasalahan sengketa perpajakan
yang terjadi antara pihak WP dan otoritas perpajakan.
Koreksi tetap berjalan, dan dari satu transaksi ke
transaksi afiliasi lainnya, pihak WP selalu dihadapkan
pada permasalahan yang sama, pada saat berhadapan
dengan pihak otoritas perpajakan. Bahkan dalam
beberapa kasus sengketa perpajakan, isi laporan
pendukung tersebut kemudian dipertanyakan,
termasuk metodologi, sumber data untuk analisa
kesebandingan dan lain-lain.
Lalu, bagaimana mencapai titik temu?
Menurut hemat penulis, salah satu kontribusi
terhadap munculnya sengketa pajak, adalah masalah
mengartikan isi laporan dari konsultan. Disinyalir bisa
jadi pihak WP dan otoritas perpajakan belum tentu
benar-benar paham isi laporan konsultan.
Sebelum kita bicarakan nilai yang dicantumkan
dalam laporan konsultan, ada beberapa poin yang
ingin penulis angkat terlebih dahulu sebagai latar
belakangnya.
Pertama, apakah cukup logis, katakan ada pihak
calon penjual dan calon pembeli, yang mau begitu
saja menyerahkan penentuan harga transaksi kepada
pihak ketiga, apalagi untuk transaksi dalam jumlah
yang cukup signifikan? Artinya secara implisit, nilai
yang dihitung oleh pihak konsultan, adalah untuk
awal negosiasi. Apakah nilai ini nantinya akan
terealisasi menjadi harga transaksi? Belum tentu
juga, karena ada proses tarik-menarik. Justru unsur
inilah yang pada umumnya hadir dalam transaksi
antara pihak-pihak yang tidak mempunyai hubungan
isitimewa.
Apabila ada nilai yang dihitung oleh pihak
konsultan, lalu ini menjadi harga transaksi, maka ini
justru menimbulkan pertanyaan, karena dalam situasi
non-afiliasi, proses negosiasi mesti terjadi. Bagaimana
bisa harga transaksi “cocok persis” dengan nilai yang
dihitung oleh pihak konsultan?
Namun, di sinilah juga yang menjadi dilema
tersendiri bagi pihak WP. Jika harga transaksi sama
dengan nilai wajar perhitungan konsultan, justru
mestinya ini tidak sesuai dengan proses penerapan
ALP. Dalam situasi arm’s length, proses negosiasi selalu
akan terjadi. Sementara, kalau harga transaksi tidak
sama dengan nilai wajar perhitungan, malah pihak
WP mengkhawatirkan akan dipertanyakan oleh pihak
otoritas perpajakan. Menurut hemat penulis, kalau
sama, justru mestinya dipertanyakan, yaitu dimana
proses negosiasinya? Jika itu situasi non-afiliasi,
pastinya akan terjadi tarik-ulur, hingga diperoleh
harga yang “nyaman” bagi kedua belah pihak yang
akan bertransaksi, yaitu pihak penjual dan pihak
pembeli.
Kedua, dalam proses mencapai harga transaksi, ada
beberapa pertanyaan yang bisa membantu. Mengapa
objek transaksi tidak ditawarkan kepada pihak lain
atau eksternal, misalnya di luar grup usaha? Dalam
situasi non-afiliasi, kemungkinan besar, suatu objek
akan ditawarkan ke beberapa pihak guna memperoleh
gambaran harga yang akan terbentuk. Namun, dalam
banyak kenyantaan, katakan suatu PT A dalam suatu
grup usaha: apakah PT A bersedia tawarkan objek
transaksi ke pihak luar di luar grup usaha? Jawabannya:
belum tentu juga, dan kemungkinan hal ini tidak akan
dilakukan. Faktanya, objek transaksi tetap berbeda
dalam grup usaha kebangkrutan. Banyak motivasi
terkait mengapa tidak ditawarkan kepada pihak
eksternal. Misalkan, yang mudah, masalah rahasia
dagang (trade secret) atau guna mempertahankan
keunggulan kompetitif, atau saham perusahaan
afiliasi tetap berada dalam grup usaha tersebut. Dalam
transaksi afiliasi, terkait penguasaan, manajemen
dan pengendalian, pasti dalam kadar tertentu, unsur-
unsur ini pada umumnya hadir. Terkait hal ini, lalu
apakah pihak afiliasi lainnya yang ditawarkan, bisa
menolak? Belum tentu juga, karena dalam transaksi
demikian, nuasa unsur “pengendalian, manajemen
atau penguasaan, atau bahkan masih dalam konteks
kekeluargaan” akan hadir, walaupun bisa berbeda-
beda kadarnya antara satu transaksi dengan transaksi
lainnya.
Namun demikian, secara prinsip, tidak ada yang
aneh sama sekali untuk melakukan transaksi dengan
pihak yang memiliki hubungan istimewa. Yang
menjadi sengketa, menurut hemat penulis, jangan
memperdebatkan apakah transaksi tersebut masuk
atau tidak masuk dalam ketentuan transaksi afiliasi.
Ini ujung-ujungnya bermuara pada “debat kusir”
tak berujung. Jauh lebih penting, pihak WP dapat
memaparkan substansi komersial transaksi dengan
pihak afiliasi. Hal ini juga dapat membantu para pihak
bersengketa untuk memahami mengapa transaksi
tersebut dilakukan dengan pihak tertentu, dan bukan
dengan pihak lainnya, termasuk pihak eksternal.
Pertanyaan selanjutnya apakah yang dimaksud
dengan transaksi yang memiliki substansi komersial?
Interpretasi ini kembali tidak mudah. Namun
menurut hemat penulis, terlepas apakah mau dikemas
dengan alasan strategis, namun ujung-ujungnya dalam
banyak transaksi riil dan antar pihak non-afiliasi,
ada hak tagih atas potensi arus kas yang di”perjual-
belikan atau dipertukarkan (exchanged)” walaupun
hak tagih atas arus kas ini bisa “tersimpan” dalam
berbagai bentuk, apakah instrumen keuangan atau
non-keuangan.
Paragraf 25 dari PSAK 16 (revisi 2011) : Aset Tetap
(adopsi dari IAS 16: Property, Plant and Equipment),
bisa membantu kita melihat hal ini dari sudut
pandang akuntan, dimana dikatakan:
Entitas menentukan apakah suatu transaksi
pertukaran memiliki substansi komersial atau tidak
dengan mempertimbangkan sejauh mana arus kas
masa depan diharapkan dapat berubah sebagai akibat
dari transaksi tersebut. Suatu transaksi pertukaran
memiliki substansi komersial jika:
(a) Konfigurasi (contohnya risiko, waktu, dan
jumlah) arus kas atas aset yang diterima berbeda
dari konfigurasi dari aset yang diserahkan; atau
(b) Nilai spesifik entitas dari bagian o p e r a s i
entitas yang dipengaruhi oleh perubahan transaksi
sebagai akibat dari pertukaran; dan
(c) Selisih di (a) atau (b) adalah relatif signifikan
terhadap nilai wajar dari aset yang dipertukarkan.
Untuk tujuan menentukan apakah transaksi
pertukaran memiliki substansi komersial, nilai
spesifik entitas dari bagian operasi entitas yang
dipengaruhi oleh transaksi mencerminkan arus kas
setelah pajak. Hasil analisis ini dapat menjadi jelas
tanpa entitas melakukan perhitungan lebih rinci.
Namun hal di atas juga kembali tidak mudah,
karena “arus kas” yang diperjual-belikan atau
dipertukarkan, yang merepresentasikan “arus kas
yang diharapkan terjadi di masa depan”, tidak bisa
ditentukan juga dengan mudah, kecuali untuk bisnis-
bisnis yang sudah sangat stabil, dimana katakan,
dalam 10 tahun terakhir, pertumbuhan bisnis
tersebut umumnya menunjukkan tingkat yang tidak
terlalu variatif. Analisa proyeksi arus kas juga dapat
diperdebatkan dengan mudah. Pada titik tanggal
transaksi atau sebelum tanggal transaksi, tentunya
arus kas yang akan terjadi di masa depan, tidak dapat
diketahui dengan pasti, yaitu apakah akan terjadi atau
tidak. Ini analisa ex-ante (belum terjadi).
Tentunya hampir sebagian besar transaksi
dilakukan dengan ex-ante. Namun, pada saat
pemeriksaan oleh otoritas perpajakan, yang dapat
terjadi beberapa tahun sesudah titik tanggal transaksi,
sebagian dari estimasi arus kas sudah diketahui dalam
kenyataannya, dan ini disebut sebagai analisa ex-post
(sudah terjadi). Analisa ex-ante jelas berbeda cukup
3. Indonesian Tax Review Volume VIII/Edisi 18/201538 39
THE UNTAXABLE THE UNTAXABLE
signifikan dibandingkan analisa ex-post1
.
Karena ada harga transaksi, kembali selisih arus
kas antara sebelum dan sesudah mestinya positif, jika
tidak, tidaklah mungkin suatu pihak mau bertransaksi
dengan pihak lain. Apalagi, misalkan dalam transaksi
akuisisi, pihak yang menjual, sudah mengantongi di
depan, nilai tunai dari arus kas yang akan terjadi (yang
bisa juga tidak akan terjadi atau meleset dari proyeksi)
di masa depan.
Namun, secara prinsip, suatu perusahaan bersedia
membayar suatu harga transaksi, karena dari analisa
perusahaan tersebut, nilai kini (present value) dari arus
kas yang akan dihasilkan oleh objek transaksi akan
lebih tinggi dari harga yang dia bayar. Ya, sesederhana
itu.
Namun, harga yang perusahaan tersebut akan
bayar, bisa dalam rentang manapun juga. Pada
titik inilah, pihak WP biasanya melibatkan pihak
konsultan eksternal untuk membantu menghitung
nilai wajar dari objek transaksi tersebut.
Laporan Konsultan
Laporan konsultan eksternal dapat menggunakan
istilah “value” (=nilai), yang belum tentu sama dengan
“price” (=harga). Hasil laporan pihak konsultan
eksternal, umumnya menggunakan kata-kata “fair
value” (=nilai wajar) atau “fair market value” (=nilai
pasar wajar). Namun, apakah “nilai” ini nantinya
menjadi “harga transaksi”? Jawabannya: tidak selalu,
dan kemungkinannya bisa antara 0% - 100%. Artinya,
nilai yang dihitung oleh pihak konsultan eksternal
cuma terbatas pada penentuan “value” (nilai) objek.
Terlepas bagaimana nilai ini kemudian diartikan
sebagai nilai wajar atau tidak (“fair value”) juga
menjadi rumit.
Permasalahan, kemungkinan, dan masih
kemungkinan bahwa nilai transaksi tidak selalu sesuai
dengan nilai yang ditentukan oleh kekuatan pemain
pasar, atau katakan istilah nilai pasar (market value).
Akan tetapi jika itu objek privat, katakan berupa
saham, atau suatu bisnis, tentunya tidak selalu mudah
untuk menentukan nilai pasarnya. Di sini penulis
mencoba melihat “nilai wajar” yang dimaksudkan
pihak akuntan dan lalu pihak penilai.
Sudut Pandang Akuntan
Menurut PSAK 68: Pengukuran Nilai Wajar (adopsi
dari IFRS 13: Fair Value Measurement), Lampiran A:
Definisi Istilah, disebutkan:
Nilai wajar adalah harga yang akan diterima untuk
menjual suatu aset atau harga yang akan dibayar untuk
mengalihkan suatu liabilitas dalam transaksi teratur
antara pelaku pasar pada tanggal pengukuran.
Apabila kita baca teks asli IFRS 13: Fair Value
Measurement,
Fair value: the price that would be received to sell
an asset or paid to transfer a liability in an orderly
transaction between market participants at the
measurement date.
Sebagai catatan atas IFRS 13, International
Accounting Standards Board (IASB) tetap menggunakan
istilah “fair value”, namun yang sesungguhnya IFRS 13
maksudkan adalah “current exit price” (lihat bagian
Basis for Conclusions paragraf BC44 dari IFRS 13). “Exit
Price” sendiri didefinisikan sebagai “the price that
would be received to sell an asset or paid to transfer
a liability”.
Bagian Basis for Conclusions (Dasar Kesimpulan)
dari IFRS 13 paragraf BC36 :
The definition of fair value in IFRS 13 is a current
exit price…..Many respondent thought the proposal
to define fair value as a current, market-based exit
price was appropriate because that definition retains
the notion of an exchange between unrelated,
knowledgeable and willing parties in the previous
definition of fair value in IFRSs, but provides a clearer
measurement objective.
Definisi PSAK 68/IFRS 13 menjadi menarik
karena dalam menentukan nilai wajar objek, yang
perlu dipertimbangkan HANYA KEPENTINGAN
PIHAK PENJUAL, dan tidak perlu memasukkan
KEPENTINGAN PIHAK PEMBELI. Dalam suatu
transaksi, selalu melibatkan dua belah pihak, yaitu
ada pihak penjual dan pihak pembeli, namun definisi
“nilai wajar” PSAK 68/IFRS 13 hanya perlu fokus pada
sisi penjual dari transaksi tersebut. Pertimbangan sisi
pembeli dari suatu transaksi sama sekali dihiraukan
atau dihilangkan, dan ini akan mencakup unsur-
unsur kemungkinan kenaikan atau penurunan nilai
objek sesudah tanggal pengukuran, dan juga diskon
yang akan diminta oleh pihak pembeli atau bahkan
rencana pihak pembeli di kemudian hari yang
dapat mempengaruhi nilai objek, sama sekali tidak
diperhitungkan.
Bacaan atas bagian Basis for Conclusions (Dasar
Kesimpulan) dari IFRS 13 akan membantu kita
memahami alur berpikir akuntan terkait penggunaan
nilai wajar.
[Paragraf BC27]: IFRS 13 also provides a framework
that is based on an objective to estimate the price
at which an orderly transaction to sell the asset or
to transfer the liability would take place between
market participants at the measurement date under
current market conditions (ie an exit price from the
perspective of a market participant that holds the
asset or owes the liability at the measurement date).
[Paragraf BC28]: That definition of fair value
retains the exchange notion contained in the previous
definition of fair value in IFRSs: The amount for which
an asset could be exchanged, or a liability settled,
between knowledgeable, willing parties in an arm’s
length transaction.
Dari bacaan di atas, tampak bahwa nilai wajar
yang diartikan sebagai “harga keluaran”, dan bukan
sebagai“harga masukan (entry price) yang bisa
merupakan jumlah pertukaran (exchange amount)”
berdasarkan kondisi pasar pada saat pengukuran
dilakukan, namun tetap dalam konteks objek tersebut
nantinya akan dilepas atau dipertukarkan dalam suatu
transaksi bebas ikatan, atau antara pihak-pihak yang
tidak mempunyai hubungan istimewa.
[Paragraf BC31] …..It also conveys more clearly
that fair value is a market-based measurement, and
not an entity-specific measurement, and that fair
value reflects current market conditions (which
reflect market participants’, not the entity’s, current
expectations about future market conditions).
Di sini tampak bahwa nilai wajar jelas berbasis
dari perspektif pihak pelaku pasar yang memegang
aset atau memiliki hutang, dan tidak berbasis pada
perspektif entitas atau perusahaan yang memegang
aset atau memiliki liabilitas yang akan menjadi objek
penilaian.
PSAK 68 : Pengukuran Nilai Wajar menggarisbawahi
hal ini:
Nilai wajar adalah pengukuran berbasis pasar,
bukan pengukuran spesifik atas suatu entitas.
Untuk beberapa aset dan liabilitas, transaksi pasar
atau informasi pasar yang dapat diobservasi dapat
tersedia. Untuk aset dan liabilitas lain, hal tersebut
mungkin tidak tersedia. Akan tetapi, tujuan
pengukuran nilai wajar dalam kedua kasus tersebut
adalah sama – untuk mengestimasi harga dimana
suatu transaksi teratur (orderly transaction) untuk
menjual aset atau mengalihkan liabilitas akan
terjadi antara pelaku pasar (market participants)
pada tanggal pengukuran dalam kondisi pasar saat
ini (yaitu harga keluaran (exit price) pada tanggal
pengukuran dari perspektif pelaku pasar yang
memiliki aset atau liabilitas). [paragraf 2]
Ketika harga untuk aset atau liabilitas yang identik
tidak dapat diobservasi, entitas mengukur nilai
wajar menggunakan teknik penilaian lain yang
memaksimalkan penggunaan input yang dapat
diobservasi (observable inputs) yang relevan dan
meminimalkan penggunaan inputyang tidak dapat
diobservasi (unobservable inputs). Karena nilai
wajar merupakan pengukuran berbasis pasar, maka
nilai wajar diukur menggunakan asumsi yang akan
digunakan pelaku pasar ketika menentukan harga
aset atau liabilitas, termasuk asumsi mengenai
risiko. Sebagai hasilnya, intensi entitas untuk
memiliki suatu aset atau untuk menyelesaikan
atau memenuhi suatu liabilitas menjadi tidak
relevan ketika mengukur nilai wajar. [paragraf 3]
Pengukuran nilai wajar adalah untuk aset
atau liabilitas tertentu. Oleh karena itu, ketika
mengukur nilai wajar, entitas memperhitungkan
karakteristik aset atau liabilitas jika pelaku pasar
akan memperhitungkan karakteristik tersebut
ketika menentukan harga aset atau liabilitas
pada tanggal pengukuran. Karakteristik tersebut
termasuk, sebagai contoh, hal sebagai berikut:
(a) kondisi dan lokasi aset; dan
(b) pembatasan, jika ada, atas penjualan atau
penggunaan aset. [paragraf 11]
Pengukuran nilai wajar mengasumsikan bahwa aset
atau liabilitas dipertukarkan dalam suatu transaksi
teratur antara pelaku pasar untuk menjual aset atau
mengalihkan liabilitas pada tanggal pengukuran
berdasarkan kondisi pasar saat ini. [paragraf 15]
Bahkan ketika tidak terdapat pasar yang dapat
diobservasi untuk menyediakan informasi
1. Pihak otoritas perpajakan juga perlu menyadari kemungkinan adanya analisa ex-post, dimana pemeriksaan pajak dilakukan beberapa
tahun “sesudah” tanggal transaksi, artinya, di saat arus kas riil bisa diketahui sebagian. Namun tidak demikian, bagi pihak WP. Pada
saat transaksi dilakukan, pihak WP bisa jadi tidak memiliki “keistimewaan”mengetahui arus kas rill yang akan terjadi di kemudian hari.
4. Indonesian Tax Review Volume VIII/Edisi 18/201540 41
THE UNTAXABLE THE UNTAXABLE
penentuan harga mengenai penjualan aset atau
pengalihan liabilitas pada tanggal pengukuran,
pengukuran nilai wajar mengasumsikan
bahwa transaksi terjadi pada tanggal tersebut,
dipertimbangkan dari perspektif pelaku pasar
yang memiliki aset atau liabilitas. Transaksi
yang diasumsikan tersebut menjadi dasar untuk
mengestimasi harga untuk menjual aset atau
mengalihkan liabilitas. [paragraf 21]
Nilai wajar adalah harga yang akan diterima
untuk menjual suatu aset atau harga yang akan
dibayar untuk mengalihkan suatu liabilitas dalam
transaksi teratur di pasar utama (atau pasar yang
paling menguntungkan) pada tanggal pengukuran
berdasarkan kondisi pasar saat ini (yaitu harga
keluaran) terlepas apakah harga tersebut dapat
diobservasi secara langsung atau diestimasi
menggunakan teknik penilaian lain. [paragraf 24]
Lebih lanjut :
[Paragraf BC39] : The IASB concluded that an exit
price of an asset or a liability embodies expectations
about the future cash inflows and outflows associated
with the asset or liability from the perspective of a
market participant that holds the asset or owes the
liability at the measurement date. An entity generates
cash inflows from an asset by using the asset or by
selling it. Even if an entity intends to generate cash
inflows from an asset by using it rather than by selling
it, an exit price embodies expectations of cash flows
arising from the use of the asset by selling it to a
market participant that would use it in the same way.
That is because a market participant buyer will pay
only for the benefits it expects to generate from the
use (or sale) of the asset. Thus, the IASB concluded that
an exit price is always a relevant definition of fair value
for assets, regardless of whether an entity intends to
use an asset or sell it.
[Paragraf BC42]: That definition of current enty
price, like fair value, assumes a hypothetical orderly
transaction between market participants at the
measurement date. It is not necessarily the same as
the price an entity paid to acquire an asset or received
to incur a liability, eg if that transaction was not at
arm’s length….
Paragraf BC42 di atas menegaskan bahwa exit price
tidak selalu sama dengan entry price (yaitu harga
pembelian suatu aset atau harga yang diterima untuk
menanggung suatu liabilitas). Namun demikian,
dalam situasi tertentu, exit price bisa sama dengan
entry price, yaitu apabila kedua harga tersebut terkait
dengan aset atau liabilitas yang sama, pengukuran
pada tanggal yang sama dan dalam bentuk yang
sama dan terjadi pada pasar yang sama, sebagaimana
disebutkan dalam paragraf BC44 di bawah ini.
[Paragraph BC44] : ….the IASB concluded that a
current entry price and a current exit price will be
equal when they relate to the same asset or liability
on the same date in the same form in the same
market. Therefore, the IASB considered it unnecessary
to make a distinction between current entry price
and a current exit price in IFRS with a market-based
measurement objective (ie fair value), and the IASB
decided to retain the term fair value and define it as
a current exit price.
Karena PSAK 68/IFRS 13 menggunakan pengertian
“current exit price” maka dengan sendirinya, yang
menjadi pertanyaan berikutnya, dimana transaksi
itu dilakukan.
Paragraf 15 dan 16 PSAK 68/IFRS 13 memberikan
penjelasan terkait transaksi tersebut, yaitu:
Pengukuran nilai wajar mengasumsikan bahwa aset
atau liabilitas dipertukarkan dalam suatu transaksi
teratur antara pelaku pasar untuk menjual aset atau
mengalihkan liabilitas pada tanggal pengukuran
berdasarkan kondisi pasar saat ini.
Pengukuran nilai wajar mengasumsikan bahwa
transaksi untuk menjual aset atau mengalihkan
liabilitas terjadi:
(a) di pasar utama (principal market) untuk aset
atau liabilitas tersebut; atau
(b) jika tidak terdapat pasar utama, di pasar yang
paling menguntungkan (most advantegous market)
untuk aset atau liabilitas tersebut.
Paragraf BC53 IFRS 13 memaparkan lebih lanjut
bahwa pasar yang dimaksud adalah pasar dimana
biasanya perusahaan atau entitas tersebut mengadakan
transaksi, atau pasar dimana terdapat volume atau
tingkat aktivitas yang paling tinggi untuk aset atau
liabilitas tersebut.
[Paragraf BC53] : In addition, the boards concluded
that an entity normally enters into transactions in
the principal market for the asset or liability (ie the
most liquid market, assuming that the entity can
access that market). As a result, the boards decided to
specify that an entity can use the price in the market
in which it normally enters into transactions, unless
there is evidence that the principal market and that
market are not the same. Consequently, an entity does
not need to perform an exhaustive search for markets
that might have more activity for the asset or liability
than the market in which that entity normally enters
into transactions. Thus, IFRS 13 addresses practical
concerns about the costs of searching for the market
with the greatest volume or level of activity for the
asset or liability.
Jadi di sini, IFRS 13 atau PSAK 68 memperkenalkan
dua pasar dimana transaksi tersebut dapat dilakukan
Pasar utama (principal market) adalah pasar dengan
volume dan tingkat aktivitas terbesar untuk aset
atau liabilitas.
Pasar yang paling menguntungkan (most
advantegous market) adalah pasar yang
memaksimalkan jumlah yang akan diterima
untuk menjual aset atau meminimalkan jumlah
yang akan dibayar untuk mengalihkan liabilitas,
setelah memperhitungkan biaya transaksi dan
biaya transpor.
Karena penekanannya pada bagaimana pihak
pelaku pasar mempersepsikan harga yang akan
diminta, maka transaksi tersebut dalam konteks
penentuan nilai wajar tidak mesti transaksi yang
sesungguhnya, akan tetapi transaksi hipotetis,
sebagaimana disebutkan dalam paragraf BC30 Basis
for Conclusions dari IFRS 13:
[Paragraf BC30] : Like the previous definition of fair
value, the revised definition assumes a hypothetical
and orderly exchange transaction (ie it is not an actual
sale or a forced transaction or distress sale)…..
Jadikalaukitatelaah,“nilaiwajar”yangdimaksudkan
PSAK 68/IFRS 13, HANYA mempertimbangkan sudut
pandang pihak “penjual” (seller), makanya ditekankan
bahwa ini “[current] exit price”, yaitu harga yang
diminta kalau pihak penjual akan bersedia melepas
aset-nya kepada pihak calon pembeli. Nilai wajar ini
tetap berbasis pasar, artinya apa yang akan dilakukan
oleh pihak penjual/pembeli, tidak relevan, sehingga
akan lebih mempertimbangkan apa yang akan
dilakukan oleh pihak “pemain/pelaku pasar”. Namun,
ini juga tidak mudah…siapa yang bisa tahu pikiran
“pihak pemain/pelaku pasar”, terutama untuk aset
yang tidak diperdagangkan di publik, misalnya saham.
Sudut Pandang Penilai
Berbeda dengan pihak akuntan, pihak penilai
menggunakan istilah “nilai pasar” (=market value2
), dan
bukan “nilai wajar”, yang wajib mempertimbangkan
kepentingan kedua belah pihak dalam suatu transaksi,
yaitu pihak penjual dan pihak pembeli, yang tentunya
bukan merupakan suatu hal yang relatif mudah untuk
dilakukan. Kita gunakan Standar Penilaian Indonesia
(SPI) 20133
.
SPI 101 : Nilai Pasar Sebagai Dasar Penilaian
[Paragraf 3.1] : Nilai pasar didefinisikan sebagai
estimasi sejumlah uang yang dapat diperoleh dari
hasil penukaran suatu aset atau liabilitas pada tanggal
penilaian, antara pembeli yang berminat membeli
dengan penjual yang berminat menjual, dalam suatu
transaksi bebas ikatan, yang pemasarannya dilakukan
secara layak, di mana kedua pihak masing-masing
bertindak atas dasar pemahaman yang dimilikinya,
kehati-hatian dan tanpa paksaan.
Setiap unsur dari definisi Nilai Pasar ini memiliki
kerangka pengertian masing-masing:
[Paragraf 3.2.1] : “estimasi sejumlah uang…” merujuk
pada harga yang dinyatakan dalam satuan uang
(biasanya dalam Rupiah), yang dapat dibayarkan
secara tunai pada tanggal penilaian atas suatu aset
dalam transaksi pasar bebas ikatan. Nilai Pasar diukur
sebagai harga yang paling memungkinkan diperoleh
secara wajar di pasar pada tanggal penilaian, dengan
memenuhi definisi Nilai Pasar. Ini merupakan harga
terbaik yang dapat diperoleh oleh penjual secara wajar
dan harga yang paling menguntungkan yang dapat
diperoleh oleh pembeli secara wajar pula.
[Paragraf 3.2.1] : “…dapat diperoleh dari hasil
penukaran suatu aset atau liabilitas…” merujuk pada
2. Istilah “fair market value” digunakan oleh otoritas perpajakan di Amerika Serikat, dimana didefinisikan dalam
Internal Revenue Code and Ruling 59-60 sebagai:
“the amount at which the property would change hands between a willing buyer and a willing seller when the former is notunder
compulsion to buy and the latter is not under any compulsion to sell, both parties having reasonable knowledge of the relevant
facts.”Di sini, pihak otoritas perpajakan di Amerika Serikat menganut prinsip bahwa“nilai”mesti mempertimbangkan sisi penjual dan
sisi pembeli dari suatu transaksi.
3. SPI 2013 ditetapkan 1 Mei 2013 dan berlaku efektif 1 November 2013. SPI 2013 diterbitkan untuk Masyarakat Profesi Penilai Indonesia
(disingkat MAPPI).
5. Indonesian Tax Review Volume VIII/Edisi 18/201542 43
fakta bahwa nilai suatu aset atau liabilitas lebih
merupakan estimasi jumlah uang dari pada harga yang
ditetapkan sebelumnya atau harga jual sebenarnya…..
[Paragraf 3.2.3] : “…pada tanggal penilaian…”
mensyaratkan bahwa estimasi Nilai Pasar berlaku
hanya pada tanggal dimana opini nilai diberikan saja.
Karena pasar dan kondisi pasar dapat berubah, maka
estimasi nilai dapat saja tidak benar atau tidak tepat
pada waktu yang lain. Nilai Pasar hasil penilaian akan
mencerminkan keadaan dan kondisi pasar actual pada
tanggal efektif penilaian dan bukan pada tanggal
sebelumnya atau tanggal yang akan datang.
[Paragraf 6.2] : Konsep Nilai Pasar tidak harus
tergantung pada transaksi sebenarnya yang terjadi
pada tanggal penilaian. Nilai Pasar lebih merupakan
estimasi harga yang mungkin terjadi dalam penjualan
pada tanggal penilaian sesuai dengan persyaratan
definisi Nilai Pasar.
[Paragraf 6.6] : Konsep Nilai Pasar juga menganggap
bahwa dalam transaksi Nilai Pasar suatu aset atau
properti akan ditawarkan secara bebas dan cukup
lama di pasar dan dengan publikasi yang cukup pula.
Penawaran in dianggap dilaksanakan sebelum tanggal
penilaian. Pasar untuk real properti serta personal
properti berwujud biasanya berbeda dengan pasar
untuk jenis properti lainnya seperti saham, obligasi
atau aset lancar lainnya. Properti tersebut biasanya
lebih jarang terjual dan pasarnya pun cenderung
kurang formal dan kurang efisien dibandingkan,
misalnya, dengan efek yang dicatatkan di bursa. Lebih
lanjut, jenis properti in biasanya kurang likuid. Karena
alasan ini, dan karena real properti dan personal
properti berwujud tidak biasanya diperdagangkan
di bursa, Nilai Pasar-nya harus mempertimbangkan
penawaran yang memadai dan cukup waktu sehingga
pemasaran yang layak dan penyelesaian negosiasi
dapat terlaksana.
Jadi di sini, penentuan nilai pasar suatu objek
penilaian, merupakan gabungan dari “exit price”
(harga keluaran) dan “entry price” (harga masukan),
sisi penjual dan sisi pembeli dari suatu transaksi turut
dipertimbangkan. Dan nilai pasar ini hanya merupakan
“estimasi” harga, sehingga tidak mesti menjadi harga
transaksi sesungguhnya, dan kemungkinan [besar]
bisa berbeda, karena dalam penentuan harga dalam
suatu transaksi yang ditentukan oleh kekuatan pasar
akan terjadi proses negosiasi, permintaan diskon atau
premium yang akan dinegosiasikan besarannya, dan
lain-lain. Dan nilai pasar ini akan terbentuk sesudah
objek penilaian dipublikasikan di antara pelaku/
pemain pasar dalam cakupan waktu yang cukup
guna membantu para pelaku/pemain pasar untuk
mempertimbangkan harga titik temu.
Selanjutnya, dalam SPI 102: Dasar Penilaian Selain
Nilai Pasar, para penilai menggunakan definisi “Nilai
Wajar” sesuai dengan definisi dalam IFRS 13 (paragraf
3.19.1).
Terdapat penegasan terkait Nilai Wajar oleh pihak
penilai:
[Paragraf 6.18] : Nilai Wajar adalah istilah yang
digunakan di dalam akuntansi, yang penting
dibedakan dengan Nilai Pasar. Meskipun Nilai Wajar
dan Nilai Pasar dapat memiliki besaran yang sama
di dalam kondisi tertentu, kedua nilai ini memiliki
definisi yang berbeda. Sebagai contoh, estimasi Nilai
Wajar mungkin tidak memenuhi persyaratan Nilai
Pasar mengenai adanya pasar bagi properti maupun
kondisi transaksi.
[Paragraf 6.19] : Nilai Wajar merupakan konsep yang
lebih luas dari Nilai Pasar. Meskipun dalam banyak
kasus harga yang wajar antara dua pihak akan sama
dengan yang diperoleh di pasar, akan tetapi terdapat
kasus di mana penilaian dengan Nilai Wajar akan
mempertimbangkan berbagai hal yang diabaikan
dalam penilaian dengan Nilai Pasar, sepertinya pada
Nilai Khusus yang timbul karena adanya kombinasi
kepentingan.
[Paragraf 6.20] : Penggunaan Nilai Wajar Khusus
meliputi:
• Penentuan harga yang wajar untuk suatu
kepemilikan saham dalam bisnis tertutup, dapat
merupakan harga yang wajar di antara kedua pihak
tertentu dalam kepemilikan bisnis, akan tetapi dapat
berbeda dengan harga yang dapat diperoleh di pasar.
Rangkuman
Jika kita perhatikan di atas, Nilai Wajar dan
Nilai Pasar dapat berbeda, dan lebih jauh, kedua
nilai tersebut dapat berbeda dengan Nilai Transaksi
Sesungguhnya (atau penulis, gunakan “price” (=Harga))
guna membedakan dengan “value” (=nilai).
Sebagaimana dari bacaan PSAK 68/IFRS 13 dan SPI
2013, baik pihak akuntan dan pihak penilai, keduanya
menyebutkan bahwa Nilai Wajar atau Nilai Pasar
adalah pengukuran berbasis pasar dan bukan spesifik
pada pihak pembeli atau penjual tertentu.
Ini yang menarik. Karena justru Harga yang
terbentuk di pasar, adalah SPESIFIK TERHADAP PIHAK
PENJUAL DAN PIHAK PEMBELI TERTENTU. Harga
adalah representasi kas tunai atau ekivalen kas yang
diminta dalam suatu transaksi yang SUDAH TERJADI,
dan bukan dalam suatu transaksi hipotetis, asumsi
yang dipakai oleh PSAK 68/IFRS 13 dan SPI 2013 dalam
mendefinisikan Nilai Wajar atau Nilai Pasar.
Antara satu calon pembeli dengan calon pembeli
lainnya, bisa memberikan Nilai Wajar yang sama,
namun dalam transaksi, Harga yang terbentuk,
akan hanya spesifik pada satu pembeli saja. Suatu
perusahaan pembeli katakan berani menawar harga
yang lebih tinggi daripada Nilai Wajar suatu objek,
karena mereka dapat menciptakan sinergi atau skala
ekonomis yang lebih baik daripada calon pembeli
lainnya, atau bahkan hal tersebut belum tentu tersedia
bagi pihak pembeli lainnya.
Ini membawa kepada pemahaman bahwa Harga
yang kemudian sesungguhnya terjadi dalam suatu
transaksi, tidak selalu sama dengan Nilai Wajarnya
(baik menurut pihak akuntan ataupun pihak penilai).
Walaupun informasi mengenai suatu objek penilaian,
katakan, tersedia secara publik kepada semua calon
pembeli, namun bagaimana pihak calon pembeli
memproses informasi tersebut dapat mengakibatkan
Harga Transaksi berbeda dengan Nilai Wajarnya.
Sebagai contoh, persepsi terkait tingkat resiko dan
tingkat imbal hasil investasi, tekanan untuk segera
menuntaskan suatu transaksi, ketertarikan akan
objek penilaian dalam kaitannya dengan strategi
perusahaan, atau tidak tersedianya sumber daya
manusia yang diperlukan akan objek penilaian, dapat
berbeda-beda antara satu calon pembeli dengan calon
pembeli lainnya. Semua faktor tersebut, baik sendiri-
sendiri atau bersama-sama turut mengakibatkan
Harga Transaksi berbeda dengan Nilai Wajar atau
Nilai Pasarnya.
Dalam pembentukan Harga Transaksi, akan turut
dipengaruhi kondisi permintaan dan ketersediaan
objek penilaian di pasar, kondisi mood pemain/pelaku
pasar, gosip di pasar terkait objek penilaian, dan lain-
lain. Hal ini berimplikasi bahwa pihak eksternal tidak
dapat dengan mudah menghitung “Price” (Harga
Transaksi). Satu-satunya objek yang relatif mudah
ditentukan Harga Transaksi, adalah uang tunai. Diluar
uang tunai, nilainya bisa menjadi jumlah apa saja.
Contoh sederhana, misalkan ada piutang usaha
yang dialihkan atau dijual. Secara teoritis, standar
akuntansi, mengatakan menggunakan net realizable
value. Secara umum, dapat dikatakan, piutang usaha
akan dibayar pada nilai tagihan. Kembali, kita lihat
digunakan kata “value”. Apakah ini sama dengan
“price” transaksi? Belum tentu…..
Ini tergantung, kondisi “market” saat transaksi
dilakukan. Misalkan perusahaan debitur, dimana
tagihan tersebut muncul, dalam kondisi rugi besar,
apakah anda berpikir, anda dapat menagih seluruh
nilai tagihan. Kemungkinan, anda ragu. Kalau ragu,
lalu berapa besar diskon yang akan anda berikan? 10%,
20%, 30%, 40%, 50%... Ini juga kembali tergantung
kondisi keuangan pihak penjual, kalau dia “butuh
uang”, mungkin ia bersedia menerima diskon besar.
Nilai wajar, karena hanya mempertimbangkan
pihak penjual, dia tidak perlu menerapkan “diskon”.
Secara logika, siapa yang mau menjual dengan diskon?
Bagaimana dengan Nilai Pasarnya, dimana perlu
mempertimbangkan sisi beli dan sisi jual, disini lah,
muncul diskon/premium, dan lain sebagainya.
Lalu bagaimana merekonsiliasi ini? Menurut
penulis, “nilai” inilah yang perlu dicari titik temu,
dan bukannya dihitung kembali oleh pihak otoritas
perpajakan, seperti dalam beberapa kasus sengketa
pajak yang melibatkan laporan pihak konsultan
eksternal. Kemungkinan “nilai” yang dihitung kembali
oleh pihak otoritas perpajakan, justru merupakan nilai
“hipotetis” semata.
Lalu bagaimana? Kedua belah pihak, yaitu pihak
WP dan otoritas perpajakan, mesti memahami
bahwa ada perbedaan antara “value” dan “price”.
Dan nilai yang dihitung pihak konsultan eksternal,
bisa jadi, hanya “value”. Di sinilah pihak mesti bisa
mendokumentasikan bagaimana “value” menjadi
“price” dan menjelaskan kepada pihak otoritas
perpajakan. Dalam konteks transaksi non-afiliasi, atau
transaksi bebas ikatan, “value” dapat dikatakan tidak
sama dengan “price”. “Value” cenderung tidak dapat
diamati secara langsung, sedangkan “Price” dapat
diamati secara langsung. Ini saja sudah membuat
perbedaan yang signifikan. Sebagaimana ungkapan
Warren Buffett: price is what you paid, and value is
what you get