SlideShare a Scribd company logo
1 of 5
Download to read offline
Indonesian Tax Review Volume VIII/Edisi 18/201534 35
THE UNTAXABLE
Oleh:
Sukarnen
( Pengamat Perpajakan )
Arti “Nilai” Dalam Laporan Konsultan Eksternal
D
efinisi hubungan istimewa telah dijelaskan dalam Pasal 18 ayat
(4) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan
Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang
Pajak Penghasilan, apabila terdapat salah satu unsur di bawah
ini:
(a)	 Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung
paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada Wajib Pajak lain; hubungan
antara Wajib Pajak dengan penyertaan paling rendah 25% (dua puluh lima
persen) pada dua Wajib Pajak atau lebih; atau hubungan di antara dua Wajib
Pajak atau lebih yang disebut terakhir;
(b)	Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih Wajib
Pajak berada di bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak
langsung; atau
(c)	 Terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis
keturunan lurus dan/atau ke samping satu derajat.
Transaksi antar pihak yang berafiliasi atau memiliki
hubungan istimewa dicurigai dapat menciderai prinsip
kewajaran dan kelaziman usaha. Untuk itu, otoritas pajak
perlu mendapat keyakinan bahwa transaksi tersebut telah
mencerminkan nilai wajar. Tidak jarang, penentuan nilai
wajar ini lah yang menjadi ranah sengketa antara Wajib
Pajak (WP) dan Fiskus.
Terkait Transaksi
AntaraPihak-PihakYangBerafiliasi
Indonesian Tax Review Volume VIII/Edisi 18/201536 37
THE UNTAXABLE THE UNTAXABLE
Adanya hubungan istimewa tentunya tidak
bermakna apa-apa hingga terjadinya transaksi.
Mengacu ke Lampiran Peraturan Direktur Jenderal
Pajak Nomor PER-22/PJ/2013 tentang Pedoman
Pemeriksaan terhadap Wajib Pajak yang Mempunyai
Hubungan Istimewa, jenis transaksi (disebut sebagai
transaksi “afiliasi”) yang dimaksud antara lain:
1)	 transaksi penjualan, pembelian, pengalihan, serta
pemanfaatan harta berwujud;
2)	 transaksi pemberian jasa intra-grup (intra-grup
service);
3)	 transaksi pengalihan (ini bisa mencakup juga
dalam konteks hibah, bantuan dan sumbangan)
dan pemanfaatan harta tak berwujud;
4)	 transaksi pembayaran bunga; dan
5)	 transaksi penjualan atau pembelian saham.
Setiap transaksi pada umumnya akan melibatkan
penentuan harga transaksi, yang umum dikenal
sebagai transfer pricing. Adanya transaksi afiliasi
pada umumnya akan menarik perhatian pihak
otoritas perpajakan Indonesia (salah satunya dengan
diterbitkannya Surat Edaran Direktorat Jenderal Pajak
Nomor SE-50/PJ/2013 yang memberikan Petunjuk
Teknis Pemeriksaan terhadap Wajib Pajak yang
Mempunyai Hubungan Istimewa), dimana diperlukan
pengujian atas penerapan prinsip kewajaran dan
kelaziman usaha (Arm’s Length Principle/ALP) pada
transaksi afiliasi tersebut.
Di sini penulis tidak akan membahas isu pengujian
penerapan ALP karena sudah banyak literatur yang
membahas ini, namun di sini, penulis ini mengangkat
beberapa poin yang diharapkan bisa memberikan
pemikiran atau pertimbangan lebih jauh bagi pihak
WP dan otoritas perpajakan terkait penggunaan
laporan penilaian.
Bagi pihak WP sendiri, suatu transaksi yang nilai
wajarnya dihitung oleh pihak konsultan eksternal,
katakan menggunakan tenaga penilai, belum tentu
menyelesaikan permasalahan sengketa perpajakan
yang terjadi antara pihak WP dan otoritas perpajakan.
Koreksi tetap berjalan, dan dari satu transaksi ke
transaksi afiliasi lainnya, pihak WP selalu dihadapkan
pada permasalahan yang sama, pada saat berhadapan
dengan pihak otoritas perpajakan. Bahkan dalam
beberapa kasus sengketa perpajakan, isi laporan
pendukung tersebut kemudian dipertanyakan,
termasuk metodologi, sumber data untuk analisa
kesebandingan dan lain-lain.
Lalu, bagaimana mencapai titik temu?
Menurut hemat penulis, salah satu kontribusi
terhadap munculnya sengketa pajak, adalah masalah
mengartikan isi laporan dari konsultan. Disinyalir bisa
jadi pihak WP dan otoritas perpajakan belum tentu
benar-benar paham isi laporan konsultan.
Sebelum kita bicarakan nilai yang dicantumkan
dalam laporan konsultan, ada beberapa poin yang
ingin penulis angkat terlebih dahulu sebagai latar
belakangnya.
Pertama, apakah cukup logis, katakan ada pihak
calon penjual dan calon pembeli, yang mau begitu
saja menyerahkan penentuan harga transaksi kepada
pihak ketiga, apalagi untuk transaksi dalam jumlah
yang cukup signifikan? Artinya secara implisit, nilai
yang dihitung oleh pihak konsultan, adalah untuk
awal negosiasi. Apakah nilai ini nantinya akan
terealisasi menjadi harga transaksi? Belum tentu
juga, karena ada proses tarik-menarik. Justru unsur
inilah yang pada umumnya hadir dalam transaksi
antara pihak-pihak yang tidak mempunyai hubungan
isitimewa.
Apabila ada nilai yang dihitung oleh pihak
konsultan, lalu ini menjadi harga transaksi, maka ini
justru menimbulkan pertanyaan, karena dalam situasi
non-afiliasi, proses negosiasi mesti terjadi. Bagaimana
bisa harga transaksi “cocok persis” dengan nilai yang
dihitung oleh pihak konsultan?
Namun, di sinilah juga yang menjadi dilema
tersendiri bagi pihak WP. Jika harga transaksi sama
dengan nilai wajar perhitungan konsultan, justru
mestinya ini tidak sesuai dengan proses penerapan
ALP. Dalam situasi arm’s length, proses negosiasi selalu
akan terjadi. Sementara, kalau harga transaksi tidak
sama dengan nilai wajar perhitungan, malah pihak
WP mengkhawatirkan akan dipertanyakan oleh pihak
otoritas perpajakan. Menurut hemat penulis, kalau
sama, justru mestinya dipertanyakan, yaitu dimana
proses negosiasinya? Jika itu situasi non-afiliasi,
pastinya akan terjadi tarik-ulur, hingga diperoleh
harga yang “nyaman” bagi kedua belah pihak yang
akan bertransaksi, yaitu pihak penjual dan pihak
pembeli.
Kedua, dalam proses mencapai harga transaksi, ada
beberapa pertanyaan yang bisa membantu. Mengapa
objek transaksi tidak ditawarkan kepada pihak lain
atau eksternal, misalnya di luar grup usaha? Dalam
situasi non-afiliasi, kemungkinan besar, suatu objek
akan ditawarkan ke beberapa pihak guna memperoleh
gambaran harga yang akan terbentuk. Namun, dalam
banyak kenyantaan, katakan suatu PT A dalam suatu
grup usaha: apakah PT A bersedia tawarkan objek
transaksi ke pihak luar di luar grup usaha? Jawabannya:
belum tentu juga, dan kemungkinan hal ini tidak akan
dilakukan. Faktanya, objek transaksi tetap berbeda
dalam grup usaha kebangkrutan. Banyak motivasi
terkait mengapa tidak ditawarkan kepada pihak
eksternal. Misalkan, yang mudah, masalah rahasia
dagang (trade secret) atau guna mempertahankan
keunggulan kompetitif, atau saham perusahaan
afiliasi tetap berada dalam grup usaha tersebut. Dalam
transaksi afiliasi, terkait penguasaan, manajemen
dan pengendalian, pasti dalam kadar tertentu, unsur-
unsur ini pada umumnya hadir. Terkait hal ini, lalu
apakah pihak afiliasi lainnya yang ditawarkan, bisa
menolak? Belum tentu juga, karena dalam transaksi
demikian, nuasa unsur “pengendalian, manajemen
atau penguasaan, atau bahkan masih dalam konteks
kekeluargaan” akan hadir, walaupun bisa berbeda-
beda kadarnya antara satu transaksi dengan transaksi
lainnya.
Namun demikian, secara prinsip, tidak ada yang
aneh sama sekali untuk melakukan transaksi dengan
pihak yang memiliki hubungan istimewa. Yang
menjadi sengketa, menurut hemat penulis, jangan
memperdebatkan apakah transaksi tersebut masuk
atau tidak masuk dalam ketentuan transaksi afiliasi.
Ini ujung-ujungnya bermuara pada “debat kusir”
tak berujung. Jauh lebih penting, pihak WP dapat
memaparkan substansi komersial transaksi dengan
pihak afiliasi. Hal ini juga dapat membantu para pihak
bersengketa untuk memahami mengapa transaksi
tersebut dilakukan dengan pihak tertentu, dan bukan
dengan pihak lainnya, termasuk pihak eksternal.
Pertanyaan selanjutnya apakah yang dimaksud
dengan transaksi yang memiliki substansi komersial?
Interpretasi ini kembali tidak mudah. Namun
menurut hemat penulis, terlepas apakah mau dikemas
dengan alasan strategis, namun ujung-ujungnya dalam
banyak transaksi riil dan antar pihak non-afiliasi,
ada hak tagih atas potensi arus kas yang di”perjual-
belikan atau dipertukarkan (exchanged)” walaupun
hak tagih atas arus kas ini bisa “tersimpan” dalam
berbagai bentuk, apakah instrumen keuangan atau
non-keuangan.
Paragraf 25 dari PSAK 16 (revisi 2011) : Aset Tetap
(adopsi dari IAS 16: Property, Plant and Equipment),
bisa membantu kita melihat hal ini dari sudut
pandang akuntan, dimana dikatakan:
Entitas menentukan apakah suatu transaksi
pertukaran memiliki substansi komersial atau tidak
dengan mempertimbangkan sejauh mana arus kas
masa depan diharapkan dapat berubah sebagai akibat
dari transaksi tersebut. Suatu transaksi pertukaran
memiliki substansi komersial jika:
(a)	 Konfigurasi (contohnya	 risiko, waktu, dan
jumlah) arus kas atas	aset yang diterima berbeda
dari konfigurasi dari aset yang diserahkan; atau
(b)	Nilai spesifik entitas dari bagian	 o p e r a s i
entitas yang dipengaruhi oleh perubahan transaksi
sebagai akibat dari pertukaran; dan
(c)	 Selisih di (a) atau (b) adalah relatif signifikan
terhadap nilai wajar dari aset yang dipertukarkan.
Untuk tujuan menentukan apakah transaksi
pertukaran memiliki substansi komersial, nilai
spesifik entitas dari bagian operasi entitas yang
dipengaruhi oleh transaksi mencerminkan arus kas
setelah pajak. Hasil analisis ini dapat menjadi jelas
tanpa entitas melakukan perhitungan lebih rinci.
Namun hal di atas juga kembali tidak mudah,
karena “arus kas” yang diperjual-belikan atau
dipertukarkan, yang merepresentasikan “arus kas
yang diharapkan terjadi di masa depan”, tidak bisa
ditentukan juga dengan mudah, kecuali untuk bisnis-
bisnis yang sudah sangat stabil, dimana katakan,
dalam 10 tahun terakhir, pertumbuhan bisnis
tersebut umumnya menunjukkan tingkat yang tidak
terlalu variatif. Analisa proyeksi arus kas juga dapat
diperdebatkan dengan mudah. Pada titik tanggal
transaksi atau sebelum tanggal transaksi, tentunya
arus kas yang akan terjadi di masa depan, tidak dapat
diketahui dengan pasti, yaitu apakah akan terjadi atau
tidak. Ini analisa ex-ante (belum terjadi).
Tentunya hampir sebagian besar transaksi
dilakukan dengan ex-ante. Namun, pada saat
pemeriksaan oleh otoritas perpajakan, yang dapat
terjadi beberapa tahun sesudah titik tanggal transaksi,
sebagian dari estimasi arus kas sudah diketahui dalam
kenyataannya, dan ini disebut sebagai analisa ex-post
(sudah terjadi). Analisa ex-ante jelas berbeda cukup
Indonesian Tax Review Volume VIII/Edisi 18/201538 39
THE UNTAXABLE THE UNTAXABLE
signifikan dibandingkan analisa ex-post1
.
Karena ada harga transaksi, kembali selisih arus
kas antara sebelum dan sesudah mestinya positif, jika
tidak, tidaklah mungkin suatu pihak mau bertransaksi
dengan pihak lain. Apalagi, misalkan dalam transaksi
akuisisi, pihak yang menjual, sudah mengantongi di
depan, nilai tunai dari arus kas yang akan terjadi (yang
bisa juga tidak akan terjadi atau meleset dari proyeksi)
di masa depan.
Namun, secara prinsip, suatu perusahaan bersedia
membayar suatu harga transaksi, karena dari analisa
perusahaan tersebut, nilai kini (present value) dari arus
kas yang akan dihasilkan oleh objek transaksi akan
lebih tinggi dari harga yang dia bayar. Ya, sesederhana
itu.
Namun, harga yang perusahaan tersebut akan
bayar, bisa dalam rentang manapun juga. Pada
titik inilah, pihak WP biasanya melibatkan pihak
konsultan eksternal untuk membantu menghitung
nilai wajar dari objek transaksi tersebut.
Laporan Konsultan
Laporan konsultan eksternal dapat menggunakan
istilah “value” (=nilai), yang belum tentu sama dengan
“price” (=harga). Hasil laporan pihak konsultan
eksternal, umumnya menggunakan kata-kata “fair
value” (=nilai wajar) atau “fair market value” (=nilai
pasar wajar). Namun, apakah “nilai” ini nantinya
menjadi “harga transaksi”? Jawabannya: tidak selalu,
dan kemungkinannya bisa antara 0% - 100%. Artinya,
nilai yang dihitung oleh pihak konsultan eksternal
cuma terbatas pada penentuan “value” (nilai) objek.
Terlepas bagaimana nilai ini kemudian diartikan
sebagai nilai wajar atau tidak (“fair value”) juga
menjadi rumit.
Permasalahan, kemungkinan, dan masih
kemungkinan bahwa nilai transaksi tidak selalu sesuai
dengan nilai yang ditentukan oleh kekuatan pemain
pasar, atau katakan istilah nilai pasar (market value).
Akan tetapi jika itu objek privat, katakan berupa
saham, atau suatu bisnis, tentunya tidak selalu mudah
untuk menentukan nilai pasarnya. Di sini penulis
mencoba melihat “nilai wajar” yang dimaksudkan
pihak akuntan dan lalu pihak penilai.
Sudut Pandang Akuntan
Menurut PSAK 68: Pengukuran Nilai Wajar (adopsi
dari IFRS 13: Fair Value Measurement), Lampiran A:
Definisi Istilah, disebutkan:
Nilai wajar adalah harga yang akan diterima untuk
menjual suatu aset atau harga yang akan dibayar untuk
mengalihkan suatu liabilitas dalam transaksi teratur
antara pelaku pasar pada tanggal pengukuran.
Apabila kita baca teks asli IFRS 13: Fair Value
Measurement,
Fair value: the price that would be received to sell
an asset or paid to transfer a liability in an orderly
transaction between market participants at the
measurement date.
Sebagai catatan atas IFRS 13, International
Accounting Standards Board (IASB) tetap menggunakan
istilah “fair value”, namun yang sesungguhnya IFRS 13
maksudkan adalah “current exit price” (lihat bagian
Basis for Conclusions paragraf BC44 dari IFRS 13). “Exit
Price” sendiri didefinisikan sebagai “the price that
would be received to sell an asset or paid to transfer
a liability”.
Bagian Basis for Conclusions (Dasar Kesimpulan)
dari IFRS 13 paragraf BC36 :
The definition of fair value in IFRS 13 is a current
exit price…..Many respondent thought the proposal
to define fair value as a current, market-based exit
price was appropriate because that definition retains
the notion of an exchange between unrelated,
knowledgeable and willing parties in the previous
definition of fair value in IFRSs, but provides a clearer
measurement objective.
Definisi PSAK 68/IFRS 13 menjadi menarik
karena dalam menentukan nilai wajar objek, yang
perlu dipertimbangkan HANYA KEPENTINGAN
PIHAK PENJUAL, dan tidak perlu memasukkan
KEPENTINGAN PIHAK PEMBELI. Dalam suatu
transaksi, selalu melibatkan dua belah pihak, yaitu
ada pihak penjual dan pihak pembeli, namun definisi
“nilai wajar” PSAK 68/IFRS 13 hanya perlu fokus pada
sisi penjual dari transaksi tersebut. Pertimbangan sisi
pembeli dari suatu transaksi sama sekali dihiraukan
atau dihilangkan, dan ini akan mencakup unsur-
unsur kemungkinan kenaikan atau penurunan nilai
objek sesudah tanggal pengukuran, dan juga diskon
yang akan diminta oleh pihak pembeli atau bahkan
rencana pihak pembeli di kemudian hari yang
dapat mempengaruhi nilai objek, sama sekali tidak
diperhitungkan.
Bacaan atas bagian Basis for Conclusions (Dasar
Kesimpulan) dari IFRS 13 akan membantu kita
memahami alur berpikir akuntan terkait penggunaan
nilai wajar.
[Paragraf BC27]: IFRS 13 also provides a framework
that is based on an objective to estimate the price
at which an orderly transaction to sell the asset or
to transfer the liability would take place between
market participants at the measurement date under
current market conditions (ie an exit price from the
perspective of a market participant that holds the
asset or owes the liability at the measurement date).
[Paragraf BC28]: That definition of fair value
retains the exchange notion contained in the previous
definition of fair value in IFRSs: The amount for which
an asset could be exchanged, or a liability settled,
between knowledgeable, willing parties in an arm’s
length transaction.
Dari bacaan di atas, tampak bahwa nilai wajar
yang diartikan sebagai “harga keluaran”, dan bukan
sebagai“harga masukan (entry price) yang bisa
merupakan jumlah pertukaran (exchange amount)”
berdasarkan kondisi pasar pada saat pengukuran
dilakukan, namun tetap dalam konteks objek tersebut
nantinya akan dilepas atau dipertukarkan dalam suatu
transaksi bebas ikatan, atau antara pihak-pihak yang
tidak mempunyai hubungan istimewa.
[Paragraf BC31] …..It also conveys more clearly
that fair value is a market-based measurement, and
not an entity-specific measurement, and that fair
value reflects current market conditions (which
reflect market participants’, not the entity’s, current
expectations about future market conditions).
Di sini tampak bahwa nilai wajar jelas berbasis
dari perspektif pihak pelaku pasar yang memegang
aset atau memiliki hutang, dan tidak berbasis pada
perspektif entitas atau perusahaan yang memegang
aset atau memiliki liabilitas yang akan menjadi objek
penilaian.
PSAK 68 : Pengukuran Nilai Wajar menggarisbawahi
hal ini:
	 Nilai wajar adalah pengukuran berbasis pasar,
bukan pengukuran spesifik atas suatu entitas.
Untuk beberapa aset dan liabilitas, transaksi pasar
atau informasi pasar yang dapat diobservasi dapat
tersedia. Untuk aset dan liabilitas lain, hal tersebut
mungkin tidak tersedia. Akan tetapi, tujuan
pengukuran nilai wajar dalam kedua kasus tersebut
adalah sama – untuk mengestimasi harga dimana
suatu transaksi teratur (orderly transaction) untuk
menjual aset atau mengalihkan liabilitas akan
terjadi antara pelaku pasar (market participants)
pada tanggal pengukuran dalam kondisi pasar saat
ini (yaitu harga keluaran (exit price) pada tanggal
pengukuran dari perspektif pelaku pasar yang
memiliki aset atau liabilitas). [paragraf 2]
	 Ketika harga untuk aset atau liabilitas yang identik
tidak dapat diobservasi, entitas mengukur nilai
wajar menggunakan teknik penilaian lain yang
memaksimalkan penggunaan input yang dapat
diobservasi (observable inputs) yang relevan dan
meminimalkan penggunaan inputyang tidak dapat
diobservasi (unobservable inputs). Karena nilai
wajar merupakan pengukuran berbasis pasar, maka
nilai wajar diukur menggunakan asumsi yang akan
digunakan pelaku pasar ketika menentukan harga
aset atau liabilitas, termasuk asumsi mengenai
risiko. Sebagai hasilnya, intensi entitas untuk
memiliki suatu aset atau untuk menyelesaikan
atau memenuhi suatu liabilitas menjadi tidak
relevan ketika mengukur nilai wajar. [paragraf 3]
	 Pengukuran nilai wajar adalah untuk aset
atau liabilitas tertentu. Oleh karena itu, ketika
mengukur nilai wajar, entitas memperhitungkan
karakteristik aset atau liabilitas jika pelaku pasar
akan memperhitungkan karakteristik tersebut
ketika menentukan harga aset atau liabilitas
pada tanggal pengukuran. Karakteristik tersebut
termasuk, sebagai contoh, hal sebagai berikut:
(a) kondisi dan lokasi aset; dan
(b) pembatasan, jika ada, atas penjualan atau
penggunaan aset. [paragraf 11]
	 Pengukuran nilai wajar mengasumsikan bahwa aset
atau liabilitas dipertukarkan dalam suatu transaksi
teratur antara pelaku pasar untuk menjual aset atau
mengalihkan liabilitas pada tanggal pengukuran
berdasarkan kondisi pasar saat ini. [paragraf 15]
	 Bahkan ketika tidak terdapat pasar yang dapat
diobservasi untuk menyediakan informasi
1. 	 Pihak otoritas perpajakan juga perlu menyadari kemungkinan adanya analisa ex-post, dimana pemeriksaan pajak dilakukan beberapa
tahun “sesudah” tanggal transaksi, artinya, di saat arus kas riil bisa diketahui sebagian. Namun tidak demikian, bagi pihak WP. Pada
saat transaksi dilakukan, pihak WP bisa jadi tidak memiliki “keistimewaan”mengetahui arus kas rill yang akan terjadi di kemudian hari.
Indonesian Tax Review Volume VIII/Edisi 18/201540 41
THE UNTAXABLE THE UNTAXABLE
penentuan harga mengenai penjualan aset atau
pengalihan liabilitas pada tanggal pengukuran,
pengukuran nilai wajar mengasumsikan
bahwa transaksi terjadi pada tanggal tersebut,
dipertimbangkan dari perspektif pelaku pasar
yang memiliki aset atau liabilitas. Transaksi
yang diasumsikan tersebut menjadi dasar untuk
mengestimasi harga untuk menjual aset atau
mengalihkan liabilitas. [paragraf 21]
	 Nilai wajar adalah harga yang akan diterima
untuk menjual suatu aset atau harga yang akan
dibayar untuk mengalihkan suatu liabilitas dalam
transaksi teratur di pasar utama (atau pasar yang
paling menguntungkan) pada tanggal pengukuran
berdasarkan kondisi pasar saat ini (yaitu harga
keluaran) terlepas apakah harga tersebut dapat
diobservasi secara langsung atau diestimasi
menggunakan teknik penilaian lain. [paragraf 24]
Lebih lanjut :
[Paragraf BC39] : The IASB concluded that an exit
price of an asset or a liability embodies expectations
about the future cash inflows and outflows associated
with the asset or liability from the perspective of a
market participant that holds the asset or owes the
liability at the measurement date. An entity generates
cash inflows from an asset by using the asset or by
selling it. Even if an entity intends to generate cash
inflows from an asset by using it rather than by selling
it, an exit price embodies expectations of cash flows
arising from the use of the asset by selling it to a
market participant that would use it in the same way.
That is because a market participant buyer will pay
only for the benefits it expects to generate from the
use (or sale) of the asset. Thus, the IASB concluded that
an exit price is always a relevant definition of fair value
for assets, regardless of whether an entity intends to
use an asset or sell it.
[Paragraf BC42]: That definition of current enty
price, like fair value, assumes a hypothetical orderly
transaction between market participants at the
measurement date. It is not necessarily the same as
the price an entity paid to acquire an asset or received
to incur a liability, eg if that transaction was not at
arm’s length….
Paragraf BC42 di atas menegaskan bahwa exit price
tidak selalu sama dengan entry price (yaitu harga
pembelian suatu aset atau harga yang diterima untuk
menanggung suatu liabilitas). Namun demikian,
dalam situasi tertentu, exit price bisa sama dengan
entry price, yaitu apabila kedua harga tersebut terkait
dengan aset atau liabilitas yang sama, pengukuran
pada tanggal yang sama dan dalam bentuk yang
sama dan terjadi pada pasar yang sama, sebagaimana
disebutkan dalam paragraf BC44 di bawah ini.
[Paragraph BC44] : ….the IASB concluded that a
current entry price and a current exit price will be
equal when they relate to the same asset or liability
on the same date in the same form in the same
market. Therefore, the IASB considered it unnecessary
to make a distinction between current entry price
and a current exit price in IFRS with a market-based
measurement objective (ie fair value), and the IASB
decided to retain the term fair value and define it as
a current exit price.
Karena PSAK 68/IFRS 13 menggunakan pengertian
“current exit price” maka dengan sendirinya, yang
menjadi pertanyaan berikutnya, dimana transaksi
itu dilakukan.
Paragraf 15 dan 16 PSAK 68/IFRS 13 memberikan
penjelasan terkait transaksi tersebut, yaitu:
Pengukuran nilai wajar mengasumsikan bahwa aset
atau liabilitas dipertukarkan dalam suatu transaksi
teratur antara pelaku pasar untuk menjual aset atau
mengalihkan liabilitas pada tanggal pengukuran
berdasarkan kondisi pasar saat ini.
Pengukuran nilai wajar mengasumsikan bahwa
transaksi untuk menjual aset atau mengalihkan
liabilitas terjadi:
(a) di pasar utama (principal market) untuk aset
atau liabilitas tersebut; atau
(b) jika tidak terdapat pasar utama, di pasar yang
paling menguntungkan (most advantegous market)
untuk aset atau liabilitas tersebut.
Paragraf BC53 IFRS 13 memaparkan lebih lanjut
bahwa pasar yang dimaksud adalah pasar dimana
biasanya perusahaan atau entitas tersebut mengadakan
transaksi, atau pasar dimana terdapat volume atau
tingkat aktivitas yang paling tinggi untuk aset atau
liabilitas tersebut.
[Paragraf BC53] : In addition, the boards concluded
that an entity normally enters into transactions in
the principal market for the asset or liability (ie the
most liquid market, assuming that the entity can
access that market). As a result, the boards decided to
specify that an entity can use the price in the market
in which it normally enters into transactions, unless
there is evidence that the principal market and that
market are not the same. Consequently, an entity does
not need to perform an exhaustive search for markets
that might have more activity for the asset or liability
than the market in which that entity normally enters
into transactions. Thus, IFRS 13 addresses practical
concerns about the costs of searching for the market
with the greatest volume or level of activity for the
asset or liability.
Jadi di sini, IFRS 13 atau PSAK 68 memperkenalkan
dua pasar dimana transaksi tersebut dapat dilakukan
	 Pasar utama (principal market) adalah pasar dengan
volume dan tingkat aktivitas terbesar untuk aset
atau liabilitas.
	 Pasar yang paling menguntungkan (most
advantegous market) adalah pasar yang
memaksimalkan jumlah yang akan diterima
untuk menjual aset atau meminimalkan jumlah
yang akan dibayar untuk mengalihkan liabilitas,
setelah memperhitungkan biaya transaksi dan
biaya transpor.
Karena penekanannya pada bagaimana pihak
pelaku pasar mempersepsikan harga yang akan
diminta, maka transaksi tersebut dalam konteks
penentuan nilai wajar tidak mesti transaksi yang
sesungguhnya, akan tetapi transaksi hipotetis,
sebagaimana disebutkan dalam paragraf BC30 Basis
for Conclusions dari IFRS 13:
[Paragraf BC30] : Like the previous definition of fair
value, the revised definition assumes a hypothetical
and orderly exchange transaction (ie it is not an actual
sale or a forced transaction or distress sale)…..
Jadikalaukitatelaah,“nilaiwajar”yangdimaksudkan
PSAK 68/IFRS 13, HANYA mempertimbangkan sudut
pandang pihak “penjual” (seller), makanya ditekankan
bahwa ini “[current] exit price”, yaitu harga yang
diminta kalau pihak penjual akan bersedia melepas
aset-nya kepada pihak calon pembeli. Nilai wajar ini
tetap berbasis pasar, artinya apa yang akan dilakukan
oleh pihak penjual/pembeli, tidak relevan, sehingga
akan lebih mempertimbangkan apa yang akan
dilakukan oleh pihak “pemain/pelaku pasar”. Namun,
ini juga tidak mudah…siapa yang bisa tahu pikiran
“pihak pemain/pelaku pasar”, terutama untuk aset
yang tidak diperdagangkan di publik, misalnya saham.
Sudut Pandang Penilai
Berbeda dengan pihak akuntan, pihak penilai
menggunakan istilah “nilai pasar” (=market value2
), dan
bukan “nilai wajar”, yang wajib mempertimbangkan
kepentingan kedua belah pihak dalam suatu transaksi,
yaitu pihak penjual dan pihak pembeli, yang tentunya
bukan merupakan suatu hal yang relatif mudah untuk
dilakukan. Kita gunakan Standar Penilaian Indonesia
(SPI) 20133
.
SPI 101 : Nilai Pasar Sebagai Dasar Penilaian
[Paragraf 3.1] : Nilai pasar didefinisikan sebagai
estimasi sejumlah uang yang dapat diperoleh dari
hasil penukaran suatu aset atau liabilitas pada tanggal
penilaian, antara pembeli yang berminat membeli
dengan penjual yang berminat menjual, dalam suatu
transaksi bebas ikatan, yang pemasarannya dilakukan
secara layak, di mana kedua pihak masing-masing
bertindak atas dasar pemahaman yang dimilikinya,
kehati-hatian dan tanpa paksaan.
Setiap unsur dari definisi Nilai Pasar ini memiliki
kerangka pengertian masing-masing:
[Paragraf 3.2.1] : “estimasi sejumlah uang…” merujuk
pada harga yang dinyatakan dalam satuan uang
(biasanya dalam Rupiah), yang dapat dibayarkan
secara tunai pada tanggal penilaian atas suatu aset
dalam transaksi pasar bebas ikatan. Nilai Pasar diukur
sebagai harga yang paling memungkinkan diperoleh
secara wajar di pasar pada tanggal penilaian, dengan
memenuhi definisi Nilai Pasar. Ini merupakan harga
terbaik yang dapat diperoleh oleh penjual secara wajar
dan harga yang paling menguntungkan yang dapat
diperoleh oleh pembeli secara wajar pula.
[Paragraf 3.2.1] : “…dapat diperoleh dari hasil
penukaran suatu aset atau liabilitas…” merujuk pada
2.	 Istilah “fair market value” digunakan oleh otoritas perpajakan di Amerika Serikat, dimana didefinisikan dalam
	 Internal Revenue Code and Ruling 59-60 sebagai:
	“the amount at which the property would change hands between a willing buyer and a willing seller when the former is notunder
compulsion to buy and the latter is not under any compulsion to sell, both parties having reasonable knowledge of the relevant
facts.”Di sini, pihak otoritas perpajakan di Amerika Serikat menganut prinsip bahwa“nilai”mesti mempertimbangkan sisi penjual dan
sisi pembeli dari suatu transaksi.
3.	 SPI 2013 ditetapkan 1 Mei 2013 dan berlaku efektif 1 November 2013. SPI 2013 diterbitkan untuk Masyarakat Profesi Penilai Indonesia
(disingkat MAPPI).
Indonesian Tax Review Volume VIII/Edisi 18/201542 43
fakta bahwa nilai suatu aset atau liabilitas lebih
merupakan estimasi jumlah uang dari pada harga yang
ditetapkan sebelumnya atau harga jual sebenarnya…..
[Paragraf 3.2.3] : “…pada tanggal penilaian…”
mensyaratkan bahwa estimasi Nilai Pasar berlaku
hanya pada tanggal dimana opini nilai diberikan saja.
Karena pasar dan kondisi pasar dapat berubah, maka
estimasi nilai dapat saja tidak benar atau tidak tepat
pada waktu yang lain. Nilai Pasar hasil penilaian akan
mencerminkan keadaan dan kondisi pasar actual pada
tanggal efektif penilaian dan bukan pada tanggal
sebelumnya atau tanggal yang akan datang.
[Paragraf 6.2] : Konsep Nilai Pasar tidak harus
tergantung pada transaksi sebenarnya yang terjadi
pada tanggal penilaian. Nilai Pasar lebih merupakan
estimasi harga yang mungkin terjadi dalam penjualan
pada tanggal penilaian sesuai dengan persyaratan
definisi Nilai Pasar.
[Paragraf 6.6] : Konsep Nilai Pasar juga menganggap
bahwa dalam transaksi Nilai Pasar suatu aset atau
properti akan ditawarkan secara bebas dan cukup
lama di pasar dan dengan publikasi yang cukup pula.
Penawaran in dianggap dilaksanakan sebelum tanggal
penilaian. Pasar untuk real properti serta personal
properti berwujud biasanya berbeda dengan pasar
untuk jenis properti lainnya seperti saham, obligasi
atau aset lancar lainnya. Properti tersebut biasanya
lebih jarang terjual dan pasarnya pun cenderung
kurang formal dan kurang efisien dibandingkan,
misalnya, dengan efek yang dicatatkan di bursa. Lebih
lanjut, jenis properti in biasanya kurang likuid. Karena
alasan ini, dan karena real properti dan personal
properti berwujud tidak biasanya diperdagangkan
di bursa, Nilai Pasar-nya harus mempertimbangkan
penawaran yang memadai dan cukup waktu sehingga
pemasaran yang layak dan penyelesaian negosiasi
dapat terlaksana.
Jadi di sini, penentuan nilai pasar suatu objek
penilaian, merupakan gabungan dari “exit price”
(harga keluaran) dan “entry price” (harga masukan),
sisi penjual dan sisi pembeli dari suatu transaksi turut
dipertimbangkan. Dan nilai pasar ini hanya merupakan
“estimasi” harga, sehingga tidak mesti menjadi harga
transaksi sesungguhnya, dan kemungkinan [besar]
bisa berbeda, karena dalam penentuan harga dalam
suatu transaksi yang ditentukan oleh kekuatan pasar
akan terjadi proses negosiasi, permintaan diskon atau
premium yang akan dinegosiasikan besarannya, dan
lain-lain. Dan nilai pasar ini akan terbentuk sesudah
objek penilaian dipublikasikan di antara pelaku/
pemain pasar dalam cakupan waktu yang cukup
guna membantu para pelaku/pemain pasar untuk
mempertimbangkan harga titik temu.
Selanjutnya, dalam SPI 102: Dasar Penilaian Selain
Nilai Pasar, para penilai menggunakan definisi “Nilai
Wajar” sesuai dengan definisi dalam IFRS 13 (paragraf
3.19.1).
Terdapat penegasan terkait Nilai Wajar oleh pihak
penilai:
[Paragraf 6.18] : Nilai Wajar adalah istilah yang
digunakan di dalam akuntansi, yang penting
dibedakan dengan Nilai Pasar. Meskipun Nilai Wajar
dan Nilai Pasar dapat memiliki besaran yang sama
di dalam kondisi tertentu, kedua nilai ini memiliki
definisi yang berbeda. Sebagai contoh, estimasi Nilai
Wajar mungkin tidak memenuhi persyaratan Nilai
Pasar mengenai adanya pasar bagi properti maupun
kondisi transaksi.
[Paragraf 6.19] : Nilai Wajar merupakan konsep yang
lebih luas dari Nilai Pasar. Meskipun dalam banyak
kasus harga yang wajar antara dua pihak akan sama
dengan yang diperoleh di pasar, akan tetapi terdapat
kasus di mana penilaian dengan Nilai Wajar akan
mempertimbangkan berbagai hal yang diabaikan
dalam penilaian dengan Nilai Pasar, sepertinya pada
Nilai Khusus yang timbul karena adanya kombinasi
kepentingan.
[Paragraf 6.20] : Penggunaan Nilai Wajar Khusus
meliputi:
•	 Penentuan harga yang wajar untuk suatu
kepemilikan saham dalam bisnis tertutup, dapat
merupakan harga yang wajar di antara kedua pihak
tertentu dalam kepemilikan bisnis, akan tetapi dapat
berbeda dengan harga yang dapat diperoleh di pasar.
Rangkuman
Jika kita perhatikan di atas, Nilai Wajar dan
Nilai Pasar dapat berbeda, dan lebih jauh, kedua
nilai tersebut dapat berbeda dengan Nilai Transaksi
Sesungguhnya (atau penulis, gunakan “price” (=Harga))
guna membedakan dengan “value” (=nilai).
Sebagaimana dari bacaan PSAK 68/IFRS 13 dan SPI
2013, baik pihak akuntan dan pihak penilai, keduanya
menyebutkan bahwa Nilai Wajar atau Nilai Pasar
adalah pengukuran berbasis pasar dan bukan spesifik
pada pihak pembeli atau penjual tertentu.
Ini yang menarik. Karena justru Harga yang
terbentuk di pasar, adalah SPESIFIK TERHADAP PIHAK
PENJUAL DAN PIHAK PEMBELI TERTENTU. Harga
adalah representasi kas tunai atau ekivalen kas yang
diminta dalam suatu transaksi yang SUDAH TERJADI,
dan bukan dalam suatu transaksi hipotetis, asumsi
yang dipakai oleh PSAK 68/IFRS 13 dan SPI 2013 dalam
mendefinisikan Nilai Wajar atau Nilai Pasar.
Antara satu calon pembeli dengan calon pembeli
lainnya, bisa memberikan Nilai Wajar yang sama,
namun dalam transaksi, Harga yang terbentuk,
akan hanya spesifik pada satu pembeli saja. Suatu
perusahaan pembeli katakan berani menawar harga
yang lebih tinggi daripada Nilai Wajar suatu objek,
karena mereka dapat menciptakan sinergi atau skala
ekonomis yang lebih baik daripada calon pembeli
lainnya, atau bahkan hal tersebut belum tentu tersedia
bagi pihak pembeli lainnya.
Ini membawa kepada pemahaman bahwa Harga
yang kemudian sesungguhnya terjadi dalam suatu
transaksi, tidak selalu sama dengan Nilai Wajarnya
(baik menurut pihak akuntan ataupun pihak penilai).
Walaupun informasi mengenai suatu objek penilaian,
katakan, tersedia secara publik kepada semua calon
pembeli, namun bagaimana pihak calon pembeli
memproses informasi tersebut dapat mengakibatkan
Harga Transaksi berbeda dengan Nilai Wajarnya.
Sebagai contoh, persepsi terkait tingkat resiko dan
tingkat imbal hasil investasi, tekanan untuk segera
menuntaskan suatu transaksi, ketertarikan akan
objek penilaian dalam kaitannya dengan strategi
perusahaan, atau tidak tersedianya sumber daya
manusia yang diperlukan akan objek penilaian, dapat
berbeda-beda antara satu calon pembeli dengan calon
pembeli lainnya. Semua faktor tersebut, baik sendiri-
sendiri atau bersama-sama turut mengakibatkan
Harga Transaksi berbeda dengan Nilai Wajar atau
Nilai Pasarnya.
Dalam pembentukan Harga Transaksi, akan turut
dipengaruhi kondisi permintaan dan ketersediaan
objek penilaian di pasar, kondisi mood pemain/pelaku
pasar, gosip di pasar terkait objek penilaian, dan lain-
lain. Hal ini berimplikasi bahwa pihak eksternal tidak
dapat dengan mudah menghitung “Price” (Harga
Transaksi). Satu-satunya objek yang relatif mudah
ditentukan Harga Transaksi, adalah uang tunai. Diluar
uang tunai, nilainya bisa menjadi jumlah apa saja.
Contoh sederhana, misalkan ada piutang usaha
yang dialihkan atau dijual. Secara teoritis, standar
akuntansi, mengatakan menggunakan net realizable
value. Secara umum, dapat dikatakan, piutang usaha
akan dibayar pada nilai tagihan. Kembali, kita lihat
digunakan kata “value”. Apakah ini sama dengan
“price” transaksi? Belum tentu…..
Ini tergantung, kondisi “market” saat transaksi
dilakukan. Misalkan perusahaan debitur, dimana
tagihan tersebut muncul, dalam kondisi rugi besar,
apakah anda berpikir, anda dapat menagih seluruh
nilai tagihan. Kemungkinan, anda ragu. Kalau ragu,
lalu berapa besar diskon yang akan anda berikan? 10%,
20%, 30%, 40%, 50%... Ini juga kembali tergantung
kondisi keuangan pihak penjual, kalau dia “butuh
uang”, mungkin ia bersedia menerima diskon besar.
Nilai wajar, karena hanya mempertimbangkan
pihak penjual, dia tidak perlu menerapkan “diskon”.
Secara logika, siapa yang mau menjual dengan diskon?
Bagaimana dengan Nilai Pasarnya, dimana perlu
mempertimbangkan sisi beli dan sisi jual, disini lah,
muncul diskon/premium, dan lain sebagainya.
Lalu bagaimana merekonsiliasi ini? Menurut
penulis, “nilai” inilah yang perlu dicari titik temu,
dan bukannya dihitung kembali oleh pihak otoritas
perpajakan, seperti dalam beberapa kasus sengketa
pajak yang melibatkan laporan pihak konsultan
eksternal. Kemungkinan “nilai” yang dihitung kembali
oleh pihak otoritas perpajakan, justru merupakan nilai
“hipotetis” semata.
Lalu bagaimana? Kedua belah pihak, yaitu pihak
WP dan otoritas perpajakan, mesti memahami
bahwa ada perbedaan antara “value” dan “price”.
Dan nilai yang dihitung pihak konsultan eksternal,
bisa jadi, hanya “value”. Di sinilah pihak mesti bisa
mendokumentasikan bagaimana “value” menjadi
“price” dan menjelaskan kepada pihak otoritas
perpajakan. Dalam konteks transaksi non-afiliasi, atau
transaksi bebas ikatan, “value” dapat dikatakan tidak
sama dengan “price”. “Value” cenderung tidak dapat
diamati secara langsung, sedangkan “Price” dapat
diamati secara langsung. Ini saja sudah membuat
perbedaan yang signifikan. Sebagaimana ungkapan
Warren Buffett: price is what you paid, and value is
what you get

More Related Content

Similar to Pengertian nilai dalam laporan akuntan dan penilai dalam sengketa perpajakan (itr article)

Transfer pricing suatu pemahaman awal
Transfer pricing suatu pemahaman awalTransfer pricing suatu pemahaman awal
Transfer pricing suatu pemahaman awalFuturum2
 
Kelompok 8 Transfer Pricing-2.pptx
Kelompok 8 Transfer Pricing-2.pptxKelompok 8 Transfer Pricing-2.pptx
Kelompok 8 Transfer Pricing-2.pptxReynardJeremy1
 
Metode dcf dalam penilaian aktiva tak berwujud untuk tujuan transfer pricing ...
Metode dcf dalam penilaian aktiva tak berwujud untuk tujuan transfer pricing ...Metode dcf dalam penilaian aktiva tak berwujud untuk tujuan transfer pricing ...
Metode dcf dalam penilaian aktiva tak berwujud untuk tujuan transfer pricing ...Futurum2
 
Rmk uniformity and disclosure
Rmk uniformity and disclosureRmk uniformity and disclosure
Rmk uniformity and disclosureEndah Wigati
 
Compare historical cost principle vs fair value accounting
Compare historical cost principle vs fair value accountingCompare historical cost principle vs fair value accounting
Compare historical cost principle vs fair value accountingYudia Permana
 
Menggunakan informasi arus kas dan nilai kini dalam pengukuran akuntansi
Menggunakan informasi arus kas dan nilai kini dalam pengukuran akuntansiMenggunakan informasi arus kas dan nilai kini dalam pengukuran akuntansi
Menggunakan informasi arus kas dan nilai kini dalam pengukuran akuntansiFuturum2
 
Measurement of Asset and Liabilities
Measurement of Asset and LiabilitiesMeasurement of Asset and Liabilities
Measurement of Asset and LiabilitiesDeady Rizky Yunanto
 
Organisasi multinasional
Organisasi multinasionalOrganisasi multinasional
Organisasi multinasionalchikma jaoharah
 
special attachment_statement of transaction in related parties
special attachment_statement of transaction in related partiesspecial attachment_statement of transaction in related parties
special attachment_statement of transaction in related partiesRoko Subagya
 
Transfer pricing suatu pemahaman awal (short version)
Transfer pricing suatu pemahaman awal (short version)Transfer pricing suatu pemahaman awal (short version)
Transfer pricing suatu pemahaman awal (short version)Futurum2
 
special attachment_statement of transaction in related parties
 special attachment_statement of transaction in related parties special attachment_statement of transaction in related parties
special attachment_statement of transaction in related partiesRoko Subagya
 
BAGUS ARIYANTO-Transfer Pricing dan Nilai Pabean.pdf
BAGUS ARIYANTO-Transfer Pricing dan Nilai Pabean.pdfBAGUS ARIYANTO-Transfer Pricing dan Nilai Pabean.pdf
BAGUS ARIYANTO-Transfer Pricing dan Nilai Pabean.pdfAntoniusAgusBudiPurw
 
Kel 3 shariah compliance parameter- saiful azhar.en.id
Kel 3  shariah compliance parameter- saiful azhar.en.idKel 3  shariah compliance parameter- saiful azhar.en.id
Kel 3 shariah compliance parameter- saiful azhar.en.idSMANSA
 
2, BE & GG, Nanang, Hapzi Ali, Ethics of Consumer Protection, Universitas Mer...
2, BE & GG, Nanang, Hapzi Ali, Ethics of Consumer Protection, Universitas Mer...2, BE & GG, Nanang, Hapzi Ali, Ethics of Consumer Protection, Universitas Mer...
2, BE & GG, Nanang, Hapzi Ali, Ethics of Consumer Protection, Universitas Mer...Nanang Doank
 

Similar to Pengertian nilai dalam laporan akuntan dan penilai dalam sengketa perpajakan (itr article) (20)

Transfer pricing suatu pemahaman awal
Transfer pricing suatu pemahaman awalTransfer pricing suatu pemahaman awal
Transfer pricing suatu pemahaman awal
 
Ta konsep aktiva
Ta konsep aktivaTa konsep aktiva
Ta konsep aktiva
 
Kelompok 8 Transfer Pricing-2.pptx
Kelompok 8 Transfer Pricing-2.pptxKelompok 8 Transfer Pricing-2.pptx
Kelompok 8 Transfer Pricing-2.pptx
 
Metode dcf dalam penilaian aktiva tak berwujud untuk tujuan transfer pricing ...
Metode dcf dalam penilaian aktiva tak berwujud untuk tujuan transfer pricing ...Metode dcf dalam penilaian aktiva tak berwujud untuk tujuan transfer pricing ...
Metode dcf dalam penilaian aktiva tak berwujud untuk tujuan transfer pricing ...
 
Rmk uniformity and disclosure
Rmk uniformity and disclosureRmk uniformity and disclosure
Rmk uniformity and disclosure
 
Compare historical cost principle vs fair value accounting
Compare historical cost principle vs fair value accountingCompare historical cost principle vs fair value accounting
Compare historical cost principle vs fair value accounting
 
Menggunakan informasi arus kas dan nilai kini dalam pengukuran akuntansi
Menggunakan informasi arus kas dan nilai kini dalam pengukuran akuntansiMenggunakan informasi arus kas dan nilai kini dalam pengukuran akuntansi
Menggunakan informasi arus kas dan nilai kini dalam pengukuran akuntansi
 
Measurement of Asset and Liabilities
Measurement of Asset and LiabilitiesMeasurement of Asset and Liabilities
Measurement of Asset and Liabilities
 
Organisasi multinasional
Organisasi multinasionalOrganisasi multinasional
Organisasi multinasional
 
special attachment_statement of transaction in related parties
special attachment_statement of transaction in related partiesspecial attachment_statement of transaction in related parties
special attachment_statement of transaction in related parties
 
Transfer pricing suatu pemahaman awal (short version)
Transfer pricing suatu pemahaman awal (short version)Transfer pricing suatu pemahaman awal (short version)
Transfer pricing suatu pemahaman awal (short version)
 
special attachment_statement of transaction in related parties
 special attachment_statement of transaction in related parties special attachment_statement of transaction in related parties
special attachment_statement of transaction in related parties
 
Laba
LabaLaba
Laba
 
Psak07
Psak07Psak07
Psak07
 
BAGUS ARIYANTO-Transfer Pricing dan Nilai Pabean.pdf
BAGUS ARIYANTO-Transfer Pricing dan Nilai Pabean.pdfBAGUS ARIYANTO-Transfer Pricing dan Nilai Pabean.pdf
BAGUS ARIYANTO-Transfer Pricing dan Nilai Pabean.pdf
 
FRCG Tugas ke 6.pptx
FRCG Tugas ke 6.pptxFRCG Tugas ke 6.pptx
FRCG Tugas ke 6.pptx
 
LABA (INCOME)
LABA (INCOME)LABA (INCOME)
LABA (INCOME)
 
Kel 3 shariah compliance parameter- saiful azhar.en.id
Kel 3  shariah compliance parameter- saiful azhar.en.idKel 3  shariah compliance parameter- saiful azhar.en.id
Kel 3 shariah compliance parameter- saiful azhar.en.id
 
2, BE & GG, Nanang, Hapzi Ali, Ethics of Consumer Protection, Universitas Mer...
2, BE & GG, Nanang, Hapzi Ali, Ethics of Consumer Protection, Universitas Mer...2, BE & GG, Nanang, Hapzi Ali, Ethics of Consumer Protection, Universitas Mer...
2, BE & GG, Nanang, Hapzi Ali, Ethics of Consumer Protection, Universitas Mer...
 
Regulation of financial accounting
Regulation of financial accountingRegulation of financial accounting
Regulation of financial accounting
 

More from Futurum2

Usse average internal rate of return (airr), don't use internal rate of retur...
Usse average internal rate of return (airr), don't use internal rate of retur...Usse average internal rate of return (airr), don't use internal rate of retur...
Usse average internal rate of return (airr), don't use internal rate of retur...Futurum2
 
Are P/E Ratios a Poor Measure of Value? Valuation LinkedIn Discussion
Are P/E Ratios a Poor Measure of Value? Valuation LinkedIn DiscussionAre P/E Ratios a Poor Measure of Value? Valuation LinkedIn Discussion
Are P/E Ratios a Poor Measure of Value? Valuation LinkedIn DiscussionFuturum2
 
NPV or IRR? (3) CFO Network LinkedIn Discussion
NPV or IRR? (3) CFO Network LinkedIn DiscussionNPV or IRR? (3) CFO Network LinkedIn Discussion
NPV or IRR? (3) CFO Network LinkedIn DiscussionFuturum2
 
Catatan kecil atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 191/PMK.010/2015 tentang ...
Catatan kecil atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 191/PMK.010/2015 tentang ...Catatan kecil atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 191/PMK.010/2015 tentang ...
Catatan kecil atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 191/PMK.010/2015 tentang ...Futurum2
 
Use average internal rate of return (airr), don't use internal rate of return...
Use average internal rate of return (airr), don't use internal rate of return...Use average internal rate of return (airr), don't use internal rate of return...
Use average internal rate of return (airr), don't use internal rate of return...Futurum2
 
A quick comment on pablo fernandez' article capm an absurd model draft
A quick comment on pablo fernandez' article capm an absurd model draftA quick comment on pablo fernandez' article capm an absurd model draft
A quick comment on pablo fernandez' article capm an absurd model draftFuturum2
 
Summing up about growing and non growing perpetuities wacc levered and tax sa...
Summing up about growing and non growing perpetuities wacc levered and tax sa...Summing up about growing and non growing perpetuities wacc levered and tax sa...
Summing up about growing and non growing perpetuities wacc levered and tax sa...Futurum2
 
Ignacio Velez-Pareja : From the Slide Rule to the Black Berry
Ignacio Velez-Pareja : From the Slide Rule to the Black BerryIgnacio Velez-Pareja : From the Slide Rule to the Black Berry
Ignacio Velez-Pareja : From the Slide Rule to the Black BerryFuturum2
 
REIT “rasa indonesia” kontrak investasi kolektif dana investasi real estat
REIT “rasa indonesia”  kontrak investasi kolektif dana investasi real estatREIT “rasa indonesia”  kontrak investasi kolektif dana investasi real estat
REIT “rasa indonesia” kontrak investasi kolektif dana investasi real estatFuturum2
 
Proyek remodel refresh di sektor ritel kapitalisasi vs dibiayakan psak ias 1...
Proyek remodel refresh di sektor ritel  kapitalisasi vs dibiayakan psak ias 1...Proyek remodel refresh di sektor ritel  kapitalisasi vs dibiayakan psak ias 1...
Proyek remodel refresh di sektor ritel kapitalisasi vs dibiayakan psak ias 1...Futurum2
 
Surplus revaluasi atau penilaian kembali aset tetap
Surplus revaluasi atau penilaian kembali aset tetapSurplus revaluasi atau penilaian kembali aset tetap
Surplus revaluasi atau penilaian kembali aset tetapFuturum2
 
Perpetuity and growing pepetuity formula derivation
Perpetuity and growing pepetuity formula derivationPerpetuity and growing pepetuity formula derivation
Perpetuity and growing pepetuity formula derivationFuturum2
 
Pentingnya melakukan normalisasi dalam pengerjaan proyeksi dan valuasi - bagi...
Pentingnya melakukan normalisasi dalam pengerjaan proyeksi dan valuasi - bagi...Pentingnya melakukan normalisasi dalam pengerjaan proyeksi dan valuasi - bagi...
Pentingnya melakukan normalisasi dalam pengerjaan proyeksi dan valuasi - bagi...Futurum2
 
15 minute lesson formula derivation - reconciling price-to- earnings (pe rati...
15 minute lesson formula derivation - reconciling price-to- earnings (pe rati...15 minute lesson formula derivation - reconciling price-to- earnings (pe rati...
15 minute lesson formula derivation - reconciling price-to- earnings (pe rati...Futurum2
 
15-minute lesson- watch out the formula that you use for roa (return on assets)
15-minute lesson- watch out the formula that you use for roa (return on assets)15-minute lesson- watch out the formula that you use for roa (return on assets)
15-minute lesson- watch out the formula that you use for roa (return on assets)Futurum2
 
Akuisisi aset atau akuisisi bisnis asc topic 805
Akuisisi aset atau akuisisi bisnis asc topic 805Akuisisi aset atau akuisisi bisnis asc topic 805
Akuisisi aset atau akuisisi bisnis asc topic 805Futurum2
 
Pentingnya melakukan normalisasi dalam pengerjaan proyeksi dan valuasi - bagi...
Pentingnya melakukan normalisasi dalam pengerjaan proyeksi dan valuasi - bagi...Pentingnya melakukan normalisasi dalam pengerjaan proyeksi dan valuasi - bagi...
Pentingnya melakukan normalisasi dalam pengerjaan proyeksi dan valuasi - bagi...Futurum2
 
Hutang dagang dengan fasilitas anjak piutang
Hutang dagang dengan fasilitas anjak piutangHutang dagang dengan fasilitas anjak piutang
Hutang dagang dengan fasilitas anjak piutangFuturum2
 
Apakah perhitungan biaya kapital rata rata tertimbang (wacc) dalam capital bu...
Apakah perhitungan biaya kapital rata rata tertimbang (wacc) dalam capital bu...Apakah perhitungan biaya kapital rata rata tertimbang (wacc) dalam capital bu...
Apakah perhitungan biaya kapital rata rata tertimbang (wacc) dalam capital bu...Futurum2
 
15-minute lesson overview to understand npv
15-minute lesson overview to understand npv15-minute lesson overview to understand npv
15-minute lesson overview to understand npvFuturum2
 

More from Futurum2 (20)

Usse average internal rate of return (airr), don't use internal rate of retur...
Usse average internal rate of return (airr), don't use internal rate of retur...Usse average internal rate of return (airr), don't use internal rate of retur...
Usse average internal rate of return (airr), don't use internal rate of retur...
 
Are P/E Ratios a Poor Measure of Value? Valuation LinkedIn Discussion
Are P/E Ratios a Poor Measure of Value? Valuation LinkedIn DiscussionAre P/E Ratios a Poor Measure of Value? Valuation LinkedIn Discussion
Are P/E Ratios a Poor Measure of Value? Valuation LinkedIn Discussion
 
NPV or IRR? (3) CFO Network LinkedIn Discussion
NPV or IRR? (3) CFO Network LinkedIn DiscussionNPV or IRR? (3) CFO Network LinkedIn Discussion
NPV or IRR? (3) CFO Network LinkedIn Discussion
 
Catatan kecil atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 191/PMK.010/2015 tentang ...
Catatan kecil atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 191/PMK.010/2015 tentang ...Catatan kecil atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 191/PMK.010/2015 tentang ...
Catatan kecil atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 191/PMK.010/2015 tentang ...
 
Use average internal rate of return (airr), don't use internal rate of return...
Use average internal rate of return (airr), don't use internal rate of return...Use average internal rate of return (airr), don't use internal rate of return...
Use average internal rate of return (airr), don't use internal rate of return...
 
A quick comment on pablo fernandez' article capm an absurd model draft
A quick comment on pablo fernandez' article capm an absurd model draftA quick comment on pablo fernandez' article capm an absurd model draft
A quick comment on pablo fernandez' article capm an absurd model draft
 
Summing up about growing and non growing perpetuities wacc levered and tax sa...
Summing up about growing and non growing perpetuities wacc levered and tax sa...Summing up about growing and non growing perpetuities wacc levered and tax sa...
Summing up about growing and non growing perpetuities wacc levered and tax sa...
 
Ignacio Velez-Pareja : From the Slide Rule to the Black Berry
Ignacio Velez-Pareja : From the Slide Rule to the Black BerryIgnacio Velez-Pareja : From the Slide Rule to the Black Berry
Ignacio Velez-Pareja : From the Slide Rule to the Black Berry
 
REIT “rasa indonesia” kontrak investasi kolektif dana investasi real estat
REIT “rasa indonesia”  kontrak investasi kolektif dana investasi real estatREIT “rasa indonesia”  kontrak investasi kolektif dana investasi real estat
REIT “rasa indonesia” kontrak investasi kolektif dana investasi real estat
 
Proyek remodel refresh di sektor ritel kapitalisasi vs dibiayakan psak ias 1...
Proyek remodel refresh di sektor ritel  kapitalisasi vs dibiayakan psak ias 1...Proyek remodel refresh di sektor ritel  kapitalisasi vs dibiayakan psak ias 1...
Proyek remodel refresh di sektor ritel kapitalisasi vs dibiayakan psak ias 1...
 
Surplus revaluasi atau penilaian kembali aset tetap
Surplus revaluasi atau penilaian kembali aset tetapSurplus revaluasi atau penilaian kembali aset tetap
Surplus revaluasi atau penilaian kembali aset tetap
 
Perpetuity and growing pepetuity formula derivation
Perpetuity and growing pepetuity formula derivationPerpetuity and growing pepetuity formula derivation
Perpetuity and growing pepetuity formula derivation
 
Pentingnya melakukan normalisasi dalam pengerjaan proyeksi dan valuasi - bagi...
Pentingnya melakukan normalisasi dalam pengerjaan proyeksi dan valuasi - bagi...Pentingnya melakukan normalisasi dalam pengerjaan proyeksi dan valuasi - bagi...
Pentingnya melakukan normalisasi dalam pengerjaan proyeksi dan valuasi - bagi...
 
15 minute lesson formula derivation - reconciling price-to- earnings (pe rati...
15 minute lesson formula derivation - reconciling price-to- earnings (pe rati...15 minute lesson formula derivation - reconciling price-to- earnings (pe rati...
15 minute lesson formula derivation - reconciling price-to- earnings (pe rati...
 
15-minute lesson- watch out the formula that you use for roa (return on assets)
15-minute lesson- watch out the formula that you use for roa (return on assets)15-minute lesson- watch out the formula that you use for roa (return on assets)
15-minute lesson- watch out the formula that you use for roa (return on assets)
 
Akuisisi aset atau akuisisi bisnis asc topic 805
Akuisisi aset atau akuisisi bisnis asc topic 805Akuisisi aset atau akuisisi bisnis asc topic 805
Akuisisi aset atau akuisisi bisnis asc topic 805
 
Pentingnya melakukan normalisasi dalam pengerjaan proyeksi dan valuasi - bagi...
Pentingnya melakukan normalisasi dalam pengerjaan proyeksi dan valuasi - bagi...Pentingnya melakukan normalisasi dalam pengerjaan proyeksi dan valuasi - bagi...
Pentingnya melakukan normalisasi dalam pengerjaan proyeksi dan valuasi - bagi...
 
Hutang dagang dengan fasilitas anjak piutang
Hutang dagang dengan fasilitas anjak piutangHutang dagang dengan fasilitas anjak piutang
Hutang dagang dengan fasilitas anjak piutang
 
Apakah perhitungan biaya kapital rata rata tertimbang (wacc) dalam capital bu...
Apakah perhitungan biaya kapital rata rata tertimbang (wacc) dalam capital bu...Apakah perhitungan biaya kapital rata rata tertimbang (wacc) dalam capital bu...
Apakah perhitungan biaya kapital rata rata tertimbang (wacc) dalam capital bu...
 
15-minute lesson overview to understand npv
15-minute lesson overview to understand npv15-minute lesson overview to understand npv
15-minute lesson overview to understand npv
 

Recently uploaded

konsep akuntansi biaya, perilaku biaya.ppt
konsep akuntansi biaya, perilaku biaya.pptkonsep akuntansi biaya, perilaku biaya.ppt
konsep akuntansi biaya, perilaku biaya.pptAchmadHasanHafidzi
 
5. WAKALH BUL UJRAH DAN KAFALAH BIL UJRAH.pptx
5. WAKALH BUL UJRAH DAN KAFALAH BIL UJRAH.pptx5. WAKALH BUL UJRAH DAN KAFALAH BIL UJRAH.pptx
5. WAKALH BUL UJRAH DAN KAFALAH BIL UJRAH.pptxfitriamutia
 
11.-SUPERVISI-DALAM-MANAJEMEN-KEPERAWATAN.ppt
11.-SUPERVISI-DALAM-MANAJEMEN-KEPERAWATAN.ppt11.-SUPERVISI-DALAM-MANAJEMEN-KEPERAWATAN.ppt
11.-SUPERVISI-DALAM-MANAJEMEN-KEPERAWATAN.pptsantikalakita
 
PPT KEGIATAN MENGOLAKASIAN DANA SUKU BUNGA KLP 4.pptx
PPT KEGIATAN MENGOLAKASIAN DANA SUKU BUNGA KLP 4.pptxPPT KEGIATAN MENGOLAKASIAN DANA SUKU BUNGA KLP 4.pptx
PPT KEGIATAN MENGOLAKASIAN DANA SUKU BUNGA KLP 4.pptximamfadilah24062003
 
Konsep Dasar Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya.ppt
Konsep Dasar Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya.pptKonsep Dasar Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya.ppt
Konsep Dasar Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya.pptAchmadHasanHafidzi
 
Pengantar Akuntansi dan Prinsip-prinsip Akuntansi.ppt
Pengantar Akuntansi dan Prinsip-prinsip Akuntansi.pptPengantar Akuntansi dan Prinsip-prinsip Akuntansi.ppt
Pengantar Akuntansi dan Prinsip-prinsip Akuntansi.pptAchmadHasanHafidzi
 
Bab 13 Pemodelan Ekonometrika: Spesifikasi Model
Bab 13 Pemodelan Ekonometrika: Spesifikasi ModelBab 13 Pemodelan Ekonometrika: Spesifikasi Model
Bab 13 Pemodelan Ekonometrika: Spesifikasi ModelAdhiliaMegaC1
 
PIUTANG, AKUNTANSI, AKUNTANSI KEUANGAN LANJUTAN I
PIUTANG, AKUNTANSI, AKUNTANSI KEUANGAN LANJUTAN IPIUTANG, AKUNTANSI, AKUNTANSI KEUANGAN LANJUTAN I
PIUTANG, AKUNTANSI, AKUNTANSI KEUANGAN LANJUTAN IAccIblock
 
Pengertian, Konsep dan Jenis Modal Kerja
Pengertian, Konsep dan Jenis Modal KerjaPengertian, Konsep dan Jenis Modal Kerja
Pengertian, Konsep dan Jenis Modal Kerjamonikabudiman19
 
KESEIMBANGAN PEREKONOMIAN DUA SEKTOR.pdf
KESEIMBANGAN PEREKONOMIAN DUA SEKTOR.pdfKESEIMBANGAN PEREKONOMIAN DUA SEKTOR.pdf
KESEIMBANGAN PEREKONOMIAN DUA SEKTOR.pdfNizeAckerman
 
BAB 4 C IPS KLS 9 TENTANG MASA DEMOKRASI TERPIMPIN.pptx
BAB 4 C IPS KLS 9 TENTANG MASA DEMOKRASI TERPIMPIN.pptxBAB 4 C IPS KLS 9 TENTANG MASA DEMOKRASI TERPIMPIN.pptx
BAB 4 C IPS KLS 9 TENTANG MASA DEMOKRASI TERPIMPIN.pptxTheresiaSimamora1
 
ANALISIS SENSITIVITAS SIMPLEKS BESERTA PERUBAHAN KONTRIBUSI.pptx
ANALISIS SENSITIVITAS SIMPLEKS BESERTA PERUBAHAN KONTRIBUSI.pptxANALISIS SENSITIVITAS SIMPLEKS BESERTA PERUBAHAN KONTRIBUSI.pptx
ANALISIS SENSITIVITAS SIMPLEKS BESERTA PERUBAHAN KONTRIBUSI.pptxUNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BERAU
 
KONSEP & SISTEM PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA
KONSEP & SISTEM PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIAKONSEP & SISTEM PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA
KONSEP & SISTEM PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIAAchmadHasanHafidzi
 
Konsep Dasar Manajemen, Strategik dan Manajemen Strategik
Konsep Dasar Manajemen, Strategik dan Manajemen StrategikKonsep Dasar Manajemen, Strategik dan Manajemen Strategik
Konsep Dasar Manajemen, Strategik dan Manajemen Strategikmonikabudiman19
 
KREDIT PERBANKAN JENIS DAN RUANG LINGKUPNYA
KREDIT PERBANKAN JENIS DAN RUANG LINGKUPNYAKREDIT PERBANKAN JENIS DAN RUANG LINGKUPNYA
KREDIT PERBANKAN JENIS DAN RUANG LINGKUPNYARirilMardiana
 
Keseimbangan perekonomian tigas termasuk peran pemerintah
Keseimbangan perekonomian tigas termasuk peran pemerintahKeseimbangan perekonomian tigas termasuk peran pemerintah
Keseimbangan perekonomian tigas termasuk peran pemerintahUNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BERAU
 

Recently uploaded (16)

konsep akuntansi biaya, perilaku biaya.ppt
konsep akuntansi biaya, perilaku biaya.pptkonsep akuntansi biaya, perilaku biaya.ppt
konsep akuntansi biaya, perilaku biaya.ppt
 
5. WAKALH BUL UJRAH DAN KAFALAH BIL UJRAH.pptx
5. WAKALH BUL UJRAH DAN KAFALAH BIL UJRAH.pptx5. WAKALH BUL UJRAH DAN KAFALAH BIL UJRAH.pptx
5. WAKALH BUL UJRAH DAN KAFALAH BIL UJRAH.pptx
 
11.-SUPERVISI-DALAM-MANAJEMEN-KEPERAWATAN.ppt
11.-SUPERVISI-DALAM-MANAJEMEN-KEPERAWATAN.ppt11.-SUPERVISI-DALAM-MANAJEMEN-KEPERAWATAN.ppt
11.-SUPERVISI-DALAM-MANAJEMEN-KEPERAWATAN.ppt
 
PPT KEGIATAN MENGOLAKASIAN DANA SUKU BUNGA KLP 4.pptx
PPT KEGIATAN MENGOLAKASIAN DANA SUKU BUNGA KLP 4.pptxPPT KEGIATAN MENGOLAKASIAN DANA SUKU BUNGA KLP 4.pptx
PPT KEGIATAN MENGOLAKASIAN DANA SUKU BUNGA KLP 4.pptx
 
Konsep Dasar Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya.ppt
Konsep Dasar Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya.pptKonsep Dasar Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya.ppt
Konsep Dasar Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya.ppt
 
Pengantar Akuntansi dan Prinsip-prinsip Akuntansi.ppt
Pengantar Akuntansi dan Prinsip-prinsip Akuntansi.pptPengantar Akuntansi dan Prinsip-prinsip Akuntansi.ppt
Pengantar Akuntansi dan Prinsip-prinsip Akuntansi.ppt
 
Bab 13 Pemodelan Ekonometrika: Spesifikasi Model
Bab 13 Pemodelan Ekonometrika: Spesifikasi ModelBab 13 Pemodelan Ekonometrika: Spesifikasi Model
Bab 13 Pemodelan Ekonometrika: Spesifikasi Model
 
PIUTANG, AKUNTANSI, AKUNTANSI KEUANGAN LANJUTAN I
PIUTANG, AKUNTANSI, AKUNTANSI KEUANGAN LANJUTAN IPIUTANG, AKUNTANSI, AKUNTANSI KEUANGAN LANJUTAN I
PIUTANG, AKUNTANSI, AKUNTANSI KEUANGAN LANJUTAN I
 
Pengertian, Konsep dan Jenis Modal Kerja
Pengertian, Konsep dan Jenis Modal KerjaPengertian, Konsep dan Jenis Modal Kerja
Pengertian, Konsep dan Jenis Modal Kerja
 
KESEIMBANGAN PEREKONOMIAN DUA SEKTOR.pdf
KESEIMBANGAN PEREKONOMIAN DUA SEKTOR.pdfKESEIMBANGAN PEREKONOMIAN DUA SEKTOR.pdf
KESEIMBANGAN PEREKONOMIAN DUA SEKTOR.pdf
 
BAB 4 C IPS KLS 9 TENTANG MASA DEMOKRASI TERPIMPIN.pptx
BAB 4 C IPS KLS 9 TENTANG MASA DEMOKRASI TERPIMPIN.pptxBAB 4 C IPS KLS 9 TENTANG MASA DEMOKRASI TERPIMPIN.pptx
BAB 4 C IPS KLS 9 TENTANG MASA DEMOKRASI TERPIMPIN.pptx
 
ANALISIS SENSITIVITAS SIMPLEKS BESERTA PERUBAHAN KONTRIBUSI.pptx
ANALISIS SENSITIVITAS SIMPLEKS BESERTA PERUBAHAN KONTRIBUSI.pptxANALISIS SENSITIVITAS SIMPLEKS BESERTA PERUBAHAN KONTRIBUSI.pptx
ANALISIS SENSITIVITAS SIMPLEKS BESERTA PERUBAHAN KONTRIBUSI.pptx
 
KONSEP & SISTEM PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA
KONSEP & SISTEM PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIAKONSEP & SISTEM PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA
KONSEP & SISTEM PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA
 
Konsep Dasar Manajemen, Strategik dan Manajemen Strategik
Konsep Dasar Manajemen, Strategik dan Manajemen StrategikKonsep Dasar Manajemen, Strategik dan Manajemen Strategik
Konsep Dasar Manajemen, Strategik dan Manajemen Strategik
 
KREDIT PERBANKAN JENIS DAN RUANG LINGKUPNYA
KREDIT PERBANKAN JENIS DAN RUANG LINGKUPNYAKREDIT PERBANKAN JENIS DAN RUANG LINGKUPNYA
KREDIT PERBANKAN JENIS DAN RUANG LINGKUPNYA
 
Keseimbangan perekonomian tigas termasuk peran pemerintah
Keseimbangan perekonomian tigas termasuk peran pemerintahKeseimbangan perekonomian tigas termasuk peran pemerintah
Keseimbangan perekonomian tigas termasuk peran pemerintah
 

Pengertian nilai dalam laporan akuntan dan penilai dalam sengketa perpajakan (itr article)

  • 1. Indonesian Tax Review Volume VIII/Edisi 18/201534 35 THE UNTAXABLE Oleh: Sukarnen ( Pengamat Perpajakan ) Arti “Nilai” Dalam Laporan Konsultan Eksternal D efinisi hubungan istimewa telah dijelaskan dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, apabila terdapat salah satu unsur di bawah ini: (a) Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada Wajib Pajak lain; hubungan antara Wajib Pajak dengan penyertaan paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada dua Wajib Pajak atau lebih; atau hubungan di antara dua Wajib Pajak atau lebih yang disebut terakhir; (b) Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih Wajib Pajak berada di bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung; atau (c) Terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus dan/atau ke samping satu derajat. Transaksi antar pihak yang berafiliasi atau memiliki hubungan istimewa dicurigai dapat menciderai prinsip kewajaran dan kelaziman usaha. Untuk itu, otoritas pajak perlu mendapat keyakinan bahwa transaksi tersebut telah mencerminkan nilai wajar. Tidak jarang, penentuan nilai wajar ini lah yang menjadi ranah sengketa antara Wajib Pajak (WP) dan Fiskus. Terkait Transaksi AntaraPihak-PihakYangBerafiliasi
  • 2. Indonesian Tax Review Volume VIII/Edisi 18/201536 37 THE UNTAXABLE THE UNTAXABLE Adanya hubungan istimewa tentunya tidak bermakna apa-apa hingga terjadinya transaksi. Mengacu ke Lampiran Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-22/PJ/2013 tentang Pedoman Pemeriksaan terhadap Wajib Pajak yang Mempunyai Hubungan Istimewa, jenis transaksi (disebut sebagai transaksi “afiliasi”) yang dimaksud antara lain: 1) transaksi penjualan, pembelian, pengalihan, serta pemanfaatan harta berwujud; 2) transaksi pemberian jasa intra-grup (intra-grup service); 3) transaksi pengalihan (ini bisa mencakup juga dalam konteks hibah, bantuan dan sumbangan) dan pemanfaatan harta tak berwujud; 4) transaksi pembayaran bunga; dan 5) transaksi penjualan atau pembelian saham. Setiap transaksi pada umumnya akan melibatkan penentuan harga transaksi, yang umum dikenal sebagai transfer pricing. Adanya transaksi afiliasi pada umumnya akan menarik perhatian pihak otoritas perpajakan Indonesia (salah satunya dengan diterbitkannya Surat Edaran Direktorat Jenderal Pajak Nomor SE-50/PJ/2013 yang memberikan Petunjuk Teknis Pemeriksaan terhadap Wajib Pajak yang Mempunyai Hubungan Istimewa), dimana diperlukan pengujian atas penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (Arm’s Length Principle/ALP) pada transaksi afiliasi tersebut. Di sini penulis tidak akan membahas isu pengujian penerapan ALP karena sudah banyak literatur yang membahas ini, namun di sini, penulis ini mengangkat beberapa poin yang diharapkan bisa memberikan pemikiran atau pertimbangan lebih jauh bagi pihak WP dan otoritas perpajakan terkait penggunaan laporan penilaian. Bagi pihak WP sendiri, suatu transaksi yang nilai wajarnya dihitung oleh pihak konsultan eksternal, katakan menggunakan tenaga penilai, belum tentu menyelesaikan permasalahan sengketa perpajakan yang terjadi antara pihak WP dan otoritas perpajakan. Koreksi tetap berjalan, dan dari satu transaksi ke transaksi afiliasi lainnya, pihak WP selalu dihadapkan pada permasalahan yang sama, pada saat berhadapan dengan pihak otoritas perpajakan. Bahkan dalam beberapa kasus sengketa perpajakan, isi laporan pendukung tersebut kemudian dipertanyakan, termasuk metodologi, sumber data untuk analisa kesebandingan dan lain-lain. Lalu, bagaimana mencapai titik temu? Menurut hemat penulis, salah satu kontribusi terhadap munculnya sengketa pajak, adalah masalah mengartikan isi laporan dari konsultan. Disinyalir bisa jadi pihak WP dan otoritas perpajakan belum tentu benar-benar paham isi laporan konsultan. Sebelum kita bicarakan nilai yang dicantumkan dalam laporan konsultan, ada beberapa poin yang ingin penulis angkat terlebih dahulu sebagai latar belakangnya. Pertama, apakah cukup logis, katakan ada pihak calon penjual dan calon pembeli, yang mau begitu saja menyerahkan penentuan harga transaksi kepada pihak ketiga, apalagi untuk transaksi dalam jumlah yang cukup signifikan? Artinya secara implisit, nilai yang dihitung oleh pihak konsultan, adalah untuk awal negosiasi. Apakah nilai ini nantinya akan terealisasi menjadi harga transaksi? Belum tentu juga, karena ada proses tarik-menarik. Justru unsur inilah yang pada umumnya hadir dalam transaksi antara pihak-pihak yang tidak mempunyai hubungan isitimewa. Apabila ada nilai yang dihitung oleh pihak konsultan, lalu ini menjadi harga transaksi, maka ini justru menimbulkan pertanyaan, karena dalam situasi non-afiliasi, proses negosiasi mesti terjadi. Bagaimana bisa harga transaksi “cocok persis” dengan nilai yang dihitung oleh pihak konsultan? Namun, di sinilah juga yang menjadi dilema tersendiri bagi pihak WP. Jika harga transaksi sama dengan nilai wajar perhitungan konsultan, justru mestinya ini tidak sesuai dengan proses penerapan ALP. Dalam situasi arm’s length, proses negosiasi selalu akan terjadi. Sementara, kalau harga transaksi tidak sama dengan nilai wajar perhitungan, malah pihak WP mengkhawatirkan akan dipertanyakan oleh pihak otoritas perpajakan. Menurut hemat penulis, kalau sama, justru mestinya dipertanyakan, yaitu dimana proses negosiasinya? Jika itu situasi non-afiliasi, pastinya akan terjadi tarik-ulur, hingga diperoleh harga yang “nyaman” bagi kedua belah pihak yang akan bertransaksi, yaitu pihak penjual dan pihak pembeli. Kedua, dalam proses mencapai harga transaksi, ada beberapa pertanyaan yang bisa membantu. Mengapa objek transaksi tidak ditawarkan kepada pihak lain atau eksternal, misalnya di luar grup usaha? Dalam situasi non-afiliasi, kemungkinan besar, suatu objek akan ditawarkan ke beberapa pihak guna memperoleh gambaran harga yang akan terbentuk. Namun, dalam banyak kenyantaan, katakan suatu PT A dalam suatu grup usaha: apakah PT A bersedia tawarkan objek transaksi ke pihak luar di luar grup usaha? Jawabannya: belum tentu juga, dan kemungkinan hal ini tidak akan dilakukan. Faktanya, objek transaksi tetap berbeda dalam grup usaha kebangkrutan. Banyak motivasi terkait mengapa tidak ditawarkan kepada pihak eksternal. Misalkan, yang mudah, masalah rahasia dagang (trade secret) atau guna mempertahankan keunggulan kompetitif, atau saham perusahaan afiliasi tetap berada dalam grup usaha tersebut. Dalam transaksi afiliasi, terkait penguasaan, manajemen dan pengendalian, pasti dalam kadar tertentu, unsur- unsur ini pada umumnya hadir. Terkait hal ini, lalu apakah pihak afiliasi lainnya yang ditawarkan, bisa menolak? Belum tentu juga, karena dalam transaksi demikian, nuasa unsur “pengendalian, manajemen atau penguasaan, atau bahkan masih dalam konteks kekeluargaan” akan hadir, walaupun bisa berbeda- beda kadarnya antara satu transaksi dengan transaksi lainnya. Namun demikian, secara prinsip, tidak ada yang aneh sama sekali untuk melakukan transaksi dengan pihak yang memiliki hubungan istimewa. Yang menjadi sengketa, menurut hemat penulis, jangan memperdebatkan apakah transaksi tersebut masuk atau tidak masuk dalam ketentuan transaksi afiliasi. Ini ujung-ujungnya bermuara pada “debat kusir” tak berujung. Jauh lebih penting, pihak WP dapat memaparkan substansi komersial transaksi dengan pihak afiliasi. Hal ini juga dapat membantu para pihak bersengketa untuk memahami mengapa transaksi tersebut dilakukan dengan pihak tertentu, dan bukan dengan pihak lainnya, termasuk pihak eksternal. Pertanyaan selanjutnya apakah yang dimaksud dengan transaksi yang memiliki substansi komersial? Interpretasi ini kembali tidak mudah. Namun menurut hemat penulis, terlepas apakah mau dikemas dengan alasan strategis, namun ujung-ujungnya dalam banyak transaksi riil dan antar pihak non-afiliasi, ada hak tagih atas potensi arus kas yang di”perjual- belikan atau dipertukarkan (exchanged)” walaupun hak tagih atas arus kas ini bisa “tersimpan” dalam berbagai bentuk, apakah instrumen keuangan atau non-keuangan. Paragraf 25 dari PSAK 16 (revisi 2011) : Aset Tetap (adopsi dari IAS 16: Property, Plant and Equipment), bisa membantu kita melihat hal ini dari sudut pandang akuntan, dimana dikatakan: Entitas menentukan apakah suatu transaksi pertukaran memiliki substansi komersial atau tidak dengan mempertimbangkan sejauh mana arus kas masa depan diharapkan dapat berubah sebagai akibat dari transaksi tersebut. Suatu transaksi pertukaran memiliki substansi komersial jika: (a) Konfigurasi (contohnya risiko, waktu, dan jumlah) arus kas atas aset yang diterima berbeda dari konfigurasi dari aset yang diserahkan; atau (b) Nilai spesifik entitas dari bagian o p e r a s i entitas yang dipengaruhi oleh perubahan transaksi sebagai akibat dari pertukaran; dan (c) Selisih di (a) atau (b) adalah relatif signifikan terhadap nilai wajar dari aset yang dipertukarkan. Untuk tujuan menentukan apakah transaksi pertukaran memiliki substansi komersial, nilai spesifik entitas dari bagian operasi entitas yang dipengaruhi oleh transaksi mencerminkan arus kas setelah pajak. Hasil analisis ini dapat menjadi jelas tanpa entitas melakukan perhitungan lebih rinci. Namun hal di atas juga kembali tidak mudah, karena “arus kas” yang diperjual-belikan atau dipertukarkan, yang merepresentasikan “arus kas yang diharapkan terjadi di masa depan”, tidak bisa ditentukan juga dengan mudah, kecuali untuk bisnis- bisnis yang sudah sangat stabil, dimana katakan, dalam 10 tahun terakhir, pertumbuhan bisnis tersebut umumnya menunjukkan tingkat yang tidak terlalu variatif. Analisa proyeksi arus kas juga dapat diperdebatkan dengan mudah. Pada titik tanggal transaksi atau sebelum tanggal transaksi, tentunya arus kas yang akan terjadi di masa depan, tidak dapat diketahui dengan pasti, yaitu apakah akan terjadi atau tidak. Ini analisa ex-ante (belum terjadi). Tentunya hampir sebagian besar transaksi dilakukan dengan ex-ante. Namun, pada saat pemeriksaan oleh otoritas perpajakan, yang dapat terjadi beberapa tahun sesudah titik tanggal transaksi, sebagian dari estimasi arus kas sudah diketahui dalam kenyataannya, dan ini disebut sebagai analisa ex-post (sudah terjadi). Analisa ex-ante jelas berbeda cukup
  • 3. Indonesian Tax Review Volume VIII/Edisi 18/201538 39 THE UNTAXABLE THE UNTAXABLE signifikan dibandingkan analisa ex-post1 . Karena ada harga transaksi, kembali selisih arus kas antara sebelum dan sesudah mestinya positif, jika tidak, tidaklah mungkin suatu pihak mau bertransaksi dengan pihak lain. Apalagi, misalkan dalam transaksi akuisisi, pihak yang menjual, sudah mengantongi di depan, nilai tunai dari arus kas yang akan terjadi (yang bisa juga tidak akan terjadi atau meleset dari proyeksi) di masa depan. Namun, secara prinsip, suatu perusahaan bersedia membayar suatu harga transaksi, karena dari analisa perusahaan tersebut, nilai kini (present value) dari arus kas yang akan dihasilkan oleh objek transaksi akan lebih tinggi dari harga yang dia bayar. Ya, sesederhana itu. Namun, harga yang perusahaan tersebut akan bayar, bisa dalam rentang manapun juga. Pada titik inilah, pihak WP biasanya melibatkan pihak konsultan eksternal untuk membantu menghitung nilai wajar dari objek transaksi tersebut. Laporan Konsultan Laporan konsultan eksternal dapat menggunakan istilah “value” (=nilai), yang belum tentu sama dengan “price” (=harga). Hasil laporan pihak konsultan eksternal, umumnya menggunakan kata-kata “fair value” (=nilai wajar) atau “fair market value” (=nilai pasar wajar). Namun, apakah “nilai” ini nantinya menjadi “harga transaksi”? Jawabannya: tidak selalu, dan kemungkinannya bisa antara 0% - 100%. Artinya, nilai yang dihitung oleh pihak konsultan eksternal cuma terbatas pada penentuan “value” (nilai) objek. Terlepas bagaimana nilai ini kemudian diartikan sebagai nilai wajar atau tidak (“fair value”) juga menjadi rumit. Permasalahan, kemungkinan, dan masih kemungkinan bahwa nilai transaksi tidak selalu sesuai dengan nilai yang ditentukan oleh kekuatan pemain pasar, atau katakan istilah nilai pasar (market value). Akan tetapi jika itu objek privat, katakan berupa saham, atau suatu bisnis, tentunya tidak selalu mudah untuk menentukan nilai pasarnya. Di sini penulis mencoba melihat “nilai wajar” yang dimaksudkan pihak akuntan dan lalu pihak penilai. Sudut Pandang Akuntan Menurut PSAK 68: Pengukuran Nilai Wajar (adopsi dari IFRS 13: Fair Value Measurement), Lampiran A: Definisi Istilah, disebutkan: Nilai wajar adalah harga yang akan diterima untuk menjual suatu aset atau harga yang akan dibayar untuk mengalihkan suatu liabilitas dalam transaksi teratur antara pelaku pasar pada tanggal pengukuran. Apabila kita baca teks asli IFRS 13: Fair Value Measurement, Fair value: the price that would be received to sell an asset or paid to transfer a liability in an orderly transaction between market participants at the measurement date. Sebagai catatan atas IFRS 13, International Accounting Standards Board (IASB) tetap menggunakan istilah “fair value”, namun yang sesungguhnya IFRS 13 maksudkan adalah “current exit price” (lihat bagian Basis for Conclusions paragraf BC44 dari IFRS 13). “Exit Price” sendiri didefinisikan sebagai “the price that would be received to sell an asset or paid to transfer a liability”. Bagian Basis for Conclusions (Dasar Kesimpulan) dari IFRS 13 paragraf BC36 : The definition of fair value in IFRS 13 is a current exit price…..Many respondent thought the proposal to define fair value as a current, market-based exit price was appropriate because that definition retains the notion of an exchange between unrelated, knowledgeable and willing parties in the previous definition of fair value in IFRSs, but provides a clearer measurement objective. Definisi PSAK 68/IFRS 13 menjadi menarik karena dalam menentukan nilai wajar objek, yang perlu dipertimbangkan HANYA KEPENTINGAN PIHAK PENJUAL, dan tidak perlu memasukkan KEPENTINGAN PIHAK PEMBELI. Dalam suatu transaksi, selalu melibatkan dua belah pihak, yaitu ada pihak penjual dan pihak pembeli, namun definisi “nilai wajar” PSAK 68/IFRS 13 hanya perlu fokus pada sisi penjual dari transaksi tersebut. Pertimbangan sisi pembeli dari suatu transaksi sama sekali dihiraukan atau dihilangkan, dan ini akan mencakup unsur- unsur kemungkinan kenaikan atau penurunan nilai objek sesudah tanggal pengukuran, dan juga diskon yang akan diminta oleh pihak pembeli atau bahkan rencana pihak pembeli di kemudian hari yang dapat mempengaruhi nilai objek, sama sekali tidak diperhitungkan. Bacaan atas bagian Basis for Conclusions (Dasar Kesimpulan) dari IFRS 13 akan membantu kita memahami alur berpikir akuntan terkait penggunaan nilai wajar. [Paragraf BC27]: IFRS 13 also provides a framework that is based on an objective to estimate the price at which an orderly transaction to sell the asset or to transfer the liability would take place between market participants at the measurement date under current market conditions (ie an exit price from the perspective of a market participant that holds the asset or owes the liability at the measurement date). [Paragraf BC28]: That definition of fair value retains the exchange notion contained in the previous definition of fair value in IFRSs: The amount for which an asset could be exchanged, or a liability settled, between knowledgeable, willing parties in an arm’s length transaction. Dari bacaan di atas, tampak bahwa nilai wajar yang diartikan sebagai “harga keluaran”, dan bukan sebagai“harga masukan (entry price) yang bisa merupakan jumlah pertukaran (exchange amount)” berdasarkan kondisi pasar pada saat pengukuran dilakukan, namun tetap dalam konteks objek tersebut nantinya akan dilepas atau dipertukarkan dalam suatu transaksi bebas ikatan, atau antara pihak-pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa. [Paragraf BC31] …..It also conveys more clearly that fair value is a market-based measurement, and not an entity-specific measurement, and that fair value reflects current market conditions (which reflect market participants’, not the entity’s, current expectations about future market conditions). Di sini tampak bahwa nilai wajar jelas berbasis dari perspektif pihak pelaku pasar yang memegang aset atau memiliki hutang, dan tidak berbasis pada perspektif entitas atau perusahaan yang memegang aset atau memiliki liabilitas yang akan menjadi objek penilaian. PSAK 68 : Pengukuran Nilai Wajar menggarisbawahi hal ini:  Nilai wajar adalah pengukuran berbasis pasar, bukan pengukuran spesifik atas suatu entitas. Untuk beberapa aset dan liabilitas, transaksi pasar atau informasi pasar yang dapat diobservasi dapat tersedia. Untuk aset dan liabilitas lain, hal tersebut mungkin tidak tersedia. Akan tetapi, tujuan pengukuran nilai wajar dalam kedua kasus tersebut adalah sama – untuk mengestimasi harga dimana suatu transaksi teratur (orderly transaction) untuk menjual aset atau mengalihkan liabilitas akan terjadi antara pelaku pasar (market participants) pada tanggal pengukuran dalam kondisi pasar saat ini (yaitu harga keluaran (exit price) pada tanggal pengukuran dari perspektif pelaku pasar yang memiliki aset atau liabilitas). [paragraf 2]  Ketika harga untuk aset atau liabilitas yang identik tidak dapat diobservasi, entitas mengukur nilai wajar menggunakan teknik penilaian lain yang memaksimalkan penggunaan input yang dapat diobservasi (observable inputs) yang relevan dan meminimalkan penggunaan inputyang tidak dapat diobservasi (unobservable inputs). Karena nilai wajar merupakan pengukuran berbasis pasar, maka nilai wajar diukur menggunakan asumsi yang akan digunakan pelaku pasar ketika menentukan harga aset atau liabilitas, termasuk asumsi mengenai risiko. Sebagai hasilnya, intensi entitas untuk memiliki suatu aset atau untuk menyelesaikan atau memenuhi suatu liabilitas menjadi tidak relevan ketika mengukur nilai wajar. [paragraf 3]  Pengukuran nilai wajar adalah untuk aset atau liabilitas tertentu. Oleh karena itu, ketika mengukur nilai wajar, entitas memperhitungkan karakteristik aset atau liabilitas jika pelaku pasar akan memperhitungkan karakteristik tersebut ketika menentukan harga aset atau liabilitas pada tanggal pengukuran. Karakteristik tersebut termasuk, sebagai contoh, hal sebagai berikut: (a) kondisi dan lokasi aset; dan (b) pembatasan, jika ada, atas penjualan atau penggunaan aset. [paragraf 11]  Pengukuran nilai wajar mengasumsikan bahwa aset atau liabilitas dipertukarkan dalam suatu transaksi teratur antara pelaku pasar untuk menjual aset atau mengalihkan liabilitas pada tanggal pengukuran berdasarkan kondisi pasar saat ini. [paragraf 15]  Bahkan ketika tidak terdapat pasar yang dapat diobservasi untuk menyediakan informasi 1. Pihak otoritas perpajakan juga perlu menyadari kemungkinan adanya analisa ex-post, dimana pemeriksaan pajak dilakukan beberapa tahun “sesudah” tanggal transaksi, artinya, di saat arus kas riil bisa diketahui sebagian. Namun tidak demikian, bagi pihak WP. Pada saat transaksi dilakukan, pihak WP bisa jadi tidak memiliki “keistimewaan”mengetahui arus kas rill yang akan terjadi di kemudian hari.
  • 4. Indonesian Tax Review Volume VIII/Edisi 18/201540 41 THE UNTAXABLE THE UNTAXABLE penentuan harga mengenai penjualan aset atau pengalihan liabilitas pada tanggal pengukuran, pengukuran nilai wajar mengasumsikan bahwa transaksi terjadi pada tanggal tersebut, dipertimbangkan dari perspektif pelaku pasar yang memiliki aset atau liabilitas. Transaksi yang diasumsikan tersebut menjadi dasar untuk mengestimasi harga untuk menjual aset atau mengalihkan liabilitas. [paragraf 21]  Nilai wajar adalah harga yang akan diterima untuk menjual suatu aset atau harga yang akan dibayar untuk mengalihkan suatu liabilitas dalam transaksi teratur di pasar utama (atau pasar yang paling menguntungkan) pada tanggal pengukuran berdasarkan kondisi pasar saat ini (yaitu harga keluaran) terlepas apakah harga tersebut dapat diobservasi secara langsung atau diestimasi menggunakan teknik penilaian lain. [paragraf 24] Lebih lanjut : [Paragraf BC39] : The IASB concluded that an exit price of an asset or a liability embodies expectations about the future cash inflows and outflows associated with the asset or liability from the perspective of a market participant that holds the asset or owes the liability at the measurement date. An entity generates cash inflows from an asset by using the asset or by selling it. Even if an entity intends to generate cash inflows from an asset by using it rather than by selling it, an exit price embodies expectations of cash flows arising from the use of the asset by selling it to a market participant that would use it in the same way. That is because a market participant buyer will pay only for the benefits it expects to generate from the use (or sale) of the asset. Thus, the IASB concluded that an exit price is always a relevant definition of fair value for assets, regardless of whether an entity intends to use an asset or sell it. [Paragraf BC42]: That definition of current enty price, like fair value, assumes a hypothetical orderly transaction between market participants at the measurement date. It is not necessarily the same as the price an entity paid to acquire an asset or received to incur a liability, eg if that transaction was not at arm’s length…. Paragraf BC42 di atas menegaskan bahwa exit price tidak selalu sama dengan entry price (yaitu harga pembelian suatu aset atau harga yang diterima untuk menanggung suatu liabilitas). Namun demikian, dalam situasi tertentu, exit price bisa sama dengan entry price, yaitu apabila kedua harga tersebut terkait dengan aset atau liabilitas yang sama, pengukuran pada tanggal yang sama dan dalam bentuk yang sama dan terjadi pada pasar yang sama, sebagaimana disebutkan dalam paragraf BC44 di bawah ini. [Paragraph BC44] : ….the IASB concluded that a current entry price and a current exit price will be equal when they relate to the same asset or liability on the same date in the same form in the same market. Therefore, the IASB considered it unnecessary to make a distinction between current entry price and a current exit price in IFRS with a market-based measurement objective (ie fair value), and the IASB decided to retain the term fair value and define it as a current exit price. Karena PSAK 68/IFRS 13 menggunakan pengertian “current exit price” maka dengan sendirinya, yang menjadi pertanyaan berikutnya, dimana transaksi itu dilakukan. Paragraf 15 dan 16 PSAK 68/IFRS 13 memberikan penjelasan terkait transaksi tersebut, yaitu: Pengukuran nilai wajar mengasumsikan bahwa aset atau liabilitas dipertukarkan dalam suatu transaksi teratur antara pelaku pasar untuk menjual aset atau mengalihkan liabilitas pada tanggal pengukuran berdasarkan kondisi pasar saat ini. Pengukuran nilai wajar mengasumsikan bahwa transaksi untuk menjual aset atau mengalihkan liabilitas terjadi: (a) di pasar utama (principal market) untuk aset atau liabilitas tersebut; atau (b) jika tidak terdapat pasar utama, di pasar yang paling menguntungkan (most advantegous market) untuk aset atau liabilitas tersebut. Paragraf BC53 IFRS 13 memaparkan lebih lanjut bahwa pasar yang dimaksud adalah pasar dimana biasanya perusahaan atau entitas tersebut mengadakan transaksi, atau pasar dimana terdapat volume atau tingkat aktivitas yang paling tinggi untuk aset atau liabilitas tersebut. [Paragraf BC53] : In addition, the boards concluded that an entity normally enters into transactions in the principal market for the asset or liability (ie the most liquid market, assuming that the entity can access that market). As a result, the boards decided to specify that an entity can use the price in the market in which it normally enters into transactions, unless there is evidence that the principal market and that market are not the same. Consequently, an entity does not need to perform an exhaustive search for markets that might have more activity for the asset or liability than the market in which that entity normally enters into transactions. Thus, IFRS 13 addresses practical concerns about the costs of searching for the market with the greatest volume or level of activity for the asset or liability. Jadi di sini, IFRS 13 atau PSAK 68 memperkenalkan dua pasar dimana transaksi tersebut dapat dilakukan  Pasar utama (principal market) adalah pasar dengan volume dan tingkat aktivitas terbesar untuk aset atau liabilitas.  Pasar yang paling menguntungkan (most advantegous market) adalah pasar yang memaksimalkan jumlah yang akan diterima untuk menjual aset atau meminimalkan jumlah yang akan dibayar untuk mengalihkan liabilitas, setelah memperhitungkan biaya transaksi dan biaya transpor. Karena penekanannya pada bagaimana pihak pelaku pasar mempersepsikan harga yang akan diminta, maka transaksi tersebut dalam konteks penentuan nilai wajar tidak mesti transaksi yang sesungguhnya, akan tetapi transaksi hipotetis, sebagaimana disebutkan dalam paragraf BC30 Basis for Conclusions dari IFRS 13: [Paragraf BC30] : Like the previous definition of fair value, the revised definition assumes a hypothetical and orderly exchange transaction (ie it is not an actual sale or a forced transaction or distress sale)….. Jadikalaukitatelaah,“nilaiwajar”yangdimaksudkan PSAK 68/IFRS 13, HANYA mempertimbangkan sudut pandang pihak “penjual” (seller), makanya ditekankan bahwa ini “[current] exit price”, yaitu harga yang diminta kalau pihak penjual akan bersedia melepas aset-nya kepada pihak calon pembeli. Nilai wajar ini tetap berbasis pasar, artinya apa yang akan dilakukan oleh pihak penjual/pembeli, tidak relevan, sehingga akan lebih mempertimbangkan apa yang akan dilakukan oleh pihak “pemain/pelaku pasar”. Namun, ini juga tidak mudah…siapa yang bisa tahu pikiran “pihak pemain/pelaku pasar”, terutama untuk aset yang tidak diperdagangkan di publik, misalnya saham. Sudut Pandang Penilai Berbeda dengan pihak akuntan, pihak penilai menggunakan istilah “nilai pasar” (=market value2 ), dan bukan “nilai wajar”, yang wajib mempertimbangkan kepentingan kedua belah pihak dalam suatu transaksi, yaitu pihak penjual dan pihak pembeli, yang tentunya bukan merupakan suatu hal yang relatif mudah untuk dilakukan. Kita gunakan Standar Penilaian Indonesia (SPI) 20133 . SPI 101 : Nilai Pasar Sebagai Dasar Penilaian [Paragraf 3.1] : Nilai pasar didefinisikan sebagai estimasi sejumlah uang yang dapat diperoleh dari hasil penukaran suatu aset atau liabilitas pada tanggal penilaian, antara pembeli yang berminat membeli dengan penjual yang berminat menjual, dalam suatu transaksi bebas ikatan, yang pemasarannya dilakukan secara layak, di mana kedua pihak masing-masing bertindak atas dasar pemahaman yang dimilikinya, kehati-hatian dan tanpa paksaan. Setiap unsur dari definisi Nilai Pasar ini memiliki kerangka pengertian masing-masing: [Paragraf 3.2.1] : “estimasi sejumlah uang…” merujuk pada harga yang dinyatakan dalam satuan uang (biasanya dalam Rupiah), yang dapat dibayarkan secara tunai pada tanggal penilaian atas suatu aset dalam transaksi pasar bebas ikatan. Nilai Pasar diukur sebagai harga yang paling memungkinkan diperoleh secara wajar di pasar pada tanggal penilaian, dengan memenuhi definisi Nilai Pasar. Ini merupakan harga terbaik yang dapat diperoleh oleh penjual secara wajar dan harga yang paling menguntungkan yang dapat diperoleh oleh pembeli secara wajar pula. [Paragraf 3.2.1] : “…dapat diperoleh dari hasil penukaran suatu aset atau liabilitas…” merujuk pada 2. Istilah “fair market value” digunakan oleh otoritas perpajakan di Amerika Serikat, dimana didefinisikan dalam Internal Revenue Code and Ruling 59-60 sebagai: “the amount at which the property would change hands between a willing buyer and a willing seller when the former is notunder compulsion to buy and the latter is not under any compulsion to sell, both parties having reasonable knowledge of the relevant facts.”Di sini, pihak otoritas perpajakan di Amerika Serikat menganut prinsip bahwa“nilai”mesti mempertimbangkan sisi penjual dan sisi pembeli dari suatu transaksi. 3. SPI 2013 ditetapkan 1 Mei 2013 dan berlaku efektif 1 November 2013. SPI 2013 diterbitkan untuk Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (disingkat MAPPI).
  • 5. Indonesian Tax Review Volume VIII/Edisi 18/201542 43 fakta bahwa nilai suatu aset atau liabilitas lebih merupakan estimasi jumlah uang dari pada harga yang ditetapkan sebelumnya atau harga jual sebenarnya….. [Paragraf 3.2.3] : “…pada tanggal penilaian…” mensyaratkan bahwa estimasi Nilai Pasar berlaku hanya pada tanggal dimana opini nilai diberikan saja. Karena pasar dan kondisi pasar dapat berubah, maka estimasi nilai dapat saja tidak benar atau tidak tepat pada waktu yang lain. Nilai Pasar hasil penilaian akan mencerminkan keadaan dan kondisi pasar actual pada tanggal efektif penilaian dan bukan pada tanggal sebelumnya atau tanggal yang akan datang. [Paragraf 6.2] : Konsep Nilai Pasar tidak harus tergantung pada transaksi sebenarnya yang terjadi pada tanggal penilaian. Nilai Pasar lebih merupakan estimasi harga yang mungkin terjadi dalam penjualan pada tanggal penilaian sesuai dengan persyaratan definisi Nilai Pasar. [Paragraf 6.6] : Konsep Nilai Pasar juga menganggap bahwa dalam transaksi Nilai Pasar suatu aset atau properti akan ditawarkan secara bebas dan cukup lama di pasar dan dengan publikasi yang cukup pula. Penawaran in dianggap dilaksanakan sebelum tanggal penilaian. Pasar untuk real properti serta personal properti berwujud biasanya berbeda dengan pasar untuk jenis properti lainnya seperti saham, obligasi atau aset lancar lainnya. Properti tersebut biasanya lebih jarang terjual dan pasarnya pun cenderung kurang formal dan kurang efisien dibandingkan, misalnya, dengan efek yang dicatatkan di bursa. Lebih lanjut, jenis properti in biasanya kurang likuid. Karena alasan ini, dan karena real properti dan personal properti berwujud tidak biasanya diperdagangkan di bursa, Nilai Pasar-nya harus mempertimbangkan penawaran yang memadai dan cukup waktu sehingga pemasaran yang layak dan penyelesaian negosiasi dapat terlaksana. Jadi di sini, penentuan nilai pasar suatu objek penilaian, merupakan gabungan dari “exit price” (harga keluaran) dan “entry price” (harga masukan), sisi penjual dan sisi pembeli dari suatu transaksi turut dipertimbangkan. Dan nilai pasar ini hanya merupakan “estimasi” harga, sehingga tidak mesti menjadi harga transaksi sesungguhnya, dan kemungkinan [besar] bisa berbeda, karena dalam penentuan harga dalam suatu transaksi yang ditentukan oleh kekuatan pasar akan terjadi proses negosiasi, permintaan diskon atau premium yang akan dinegosiasikan besarannya, dan lain-lain. Dan nilai pasar ini akan terbentuk sesudah objek penilaian dipublikasikan di antara pelaku/ pemain pasar dalam cakupan waktu yang cukup guna membantu para pelaku/pemain pasar untuk mempertimbangkan harga titik temu. Selanjutnya, dalam SPI 102: Dasar Penilaian Selain Nilai Pasar, para penilai menggunakan definisi “Nilai Wajar” sesuai dengan definisi dalam IFRS 13 (paragraf 3.19.1). Terdapat penegasan terkait Nilai Wajar oleh pihak penilai: [Paragraf 6.18] : Nilai Wajar adalah istilah yang digunakan di dalam akuntansi, yang penting dibedakan dengan Nilai Pasar. Meskipun Nilai Wajar dan Nilai Pasar dapat memiliki besaran yang sama di dalam kondisi tertentu, kedua nilai ini memiliki definisi yang berbeda. Sebagai contoh, estimasi Nilai Wajar mungkin tidak memenuhi persyaratan Nilai Pasar mengenai adanya pasar bagi properti maupun kondisi transaksi. [Paragraf 6.19] : Nilai Wajar merupakan konsep yang lebih luas dari Nilai Pasar. Meskipun dalam banyak kasus harga yang wajar antara dua pihak akan sama dengan yang diperoleh di pasar, akan tetapi terdapat kasus di mana penilaian dengan Nilai Wajar akan mempertimbangkan berbagai hal yang diabaikan dalam penilaian dengan Nilai Pasar, sepertinya pada Nilai Khusus yang timbul karena adanya kombinasi kepentingan. [Paragraf 6.20] : Penggunaan Nilai Wajar Khusus meliputi: • Penentuan harga yang wajar untuk suatu kepemilikan saham dalam bisnis tertutup, dapat merupakan harga yang wajar di antara kedua pihak tertentu dalam kepemilikan bisnis, akan tetapi dapat berbeda dengan harga yang dapat diperoleh di pasar. Rangkuman Jika kita perhatikan di atas, Nilai Wajar dan Nilai Pasar dapat berbeda, dan lebih jauh, kedua nilai tersebut dapat berbeda dengan Nilai Transaksi Sesungguhnya (atau penulis, gunakan “price” (=Harga)) guna membedakan dengan “value” (=nilai). Sebagaimana dari bacaan PSAK 68/IFRS 13 dan SPI 2013, baik pihak akuntan dan pihak penilai, keduanya menyebutkan bahwa Nilai Wajar atau Nilai Pasar adalah pengukuran berbasis pasar dan bukan spesifik pada pihak pembeli atau penjual tertentu. Ini yang menarik. Karena justru Harga yang terbentuk di pasar, adalah SPESIFIK TERHADAP PIHAK PENJUAL DAN PIHAK PEMBELI TERTENTU. Harga adalah representasi kas tunai atau ekivalen kas yang diminta dalam suatu transaksi yang SUDAH TERJADI, dan bukan dalam suatu transaksi hipotetis, asumsi yang dipakai oleh PSAK 68/IFRS 13 dan SPI 2013 dalam mendefinisikan Nilai Wajar atau Nilai Pasar. Antara satu calon pembeli dengan calon pembeli lainnya, bisa memberikan Nilai Wajar yang sama, namun dalam transaksi, Harga yang terbentuk, akan hanya spesifik pada satu pembeli saja. Suatu perusahaan pembeli katakan berani menawar harga yang lebih tinggi daripada Nilai Wajar suatu objek, karena mereka dapat menciptakan sinergi atau skala ekonomis yang lebih baik daripada calon pembeli lainnya, atau bahkan hal tersebut belum tentu tersedia bagi pihak pembeli lainnya. Ini membawa kepada pemahaman bahwa Harga yang kemudian sesungguhnya terjadi dalam suatu transaksi, tidak selalu sama dengan Nilai Wajarnya (baik menurut pihak akuntan ataupun pihak penilai). Walaupun informasi mengenai suatu objek penilaian, katakan, tersedia secara publik kepada semua calon pembeli, namun bagaimana pihak calon pembeli memproses informasi tersebut dapat mengakibatkan Harga Transaksi berbeda dengan Nilai Wajarnya. Sebagai contoh, persepsi terkait tingkat resiko dan tingkat imbal hasil investasi, tekanan untuk segera menuntaskan suatu transaksi, ketertarikan akan objek penilaian dalam kaitannya dengan strategi perusahaan, atau tidak tersedianya sumber daya manusia yang diperlukan akan objek penilaian, dapat berbeda-beda antara satu calon pembeli dengan calon pembeli lainnya. Semua faktor tersebut, baik sendiri- sendiri atau bersama-sama turut mengakibatkan Harga Transaksi berbeda dengan Nilai Wajar atau Nilai Pasarnya. Dalam pembentukan Harga Transaksi, akan turut dipengaruhi kondisi permintaan dan ketersediaan objek penilaian di pasar, kondisi mood pemain/pelaku pasar, gosip di pasar terkait objek penilaian, dan lain- lain. Hal ini berimplikasi bahwa pihak eksternal tidak dapat dengan mudah menghitung “Price” (Harga Transaksi). Satu-satunya objek yang relatif mudah ditentukan Harga Transaksi, adalah uang tunai. Diluar uang tunai, nilainya bisa menjadi jumlah apa saja. Contoh sederhana, misalkan ada piutang usaha yang dialihkan atau dijual. Secara teoritis, standar akuntansi, mengatakan menggunakan net realizable value. Secara umum, dapat dikatakan, piutang usaha akan dibayar pada nilai tagihan. Kembali, kita lihat digunakan kata “value”. Apakah ini sama dengan “price” transaksi? Belum tentu….. Ini tergantung, kondisi “market” saat transaksi dilakukan. Misalkan perusahaan debitur, dimana tagihan tersebut muncul, dalam kondisi rugi besar, apakah anda berpikir, anda dapat menagih seluruh nilai tagihan. Kemungkinan, anda ragu. Kalau ragu, lalu berapa besar diskon yang akan anda berikan? 10%, 20%, 30%, 40%, 50%... Ini juga kembali tergantung kondisi keuangan pihak penjual, kalau dia “butuh uang”, mungkin ia bersedia menerima diskon besar. Nilai wajar, karena hanya mempertimbangkan pihak penjual, dia tidak perlu menerapkan “diskon”. Secara logika, siapa yang mau menjual dengan diskon? Bagaimana dengan Nilai Pasarnya, dimana perlu mempertimbangkan sisi beli dan sisi jual, disini lah, muncul diskon/premium, dan lain sebagainya. Lalu bagaimana merekonsiliasi ini? Menurut penulis, “nilai” inilah yang perlu dicari titik temu, dan bukannya dihitung kembali oleh pihak otoritas perpajakan, seperti dalam beberapa kasus sengketa pajak yang melibatkan laporan pihak konsultan eksternal. Kemungkinan “nilai” yang dihitung kembali oleh pihak otoritas perpajakan, justru merupakan nilai “hipotetis” semata. Lalu bagaimana? Kedua belah pihak, yaitu pihak WP dan otoritas perpajakan, mesti memahami bahwa ada perbedaan antara “value” dan “price”. Dan nilai yang dihitung pihak konsultan eksternal, bisa jadi, hanya “value”. Di sinilah pihak mesti bisa mendokumentasikan bagaimana “value” menjadi “price” dan menjelaskan kepada pihak otoritas perpajakan. Dalam konteks transaksi non-afiliasi, atau transaksi bebas ikatan, “value” dapat dikatakan tidak sama dengan “price”. “Value” cenderung tidak dapat diamati secara langsung, sedangkan “Price” dapat diamati secara langsung. Ini saja sudah membuat perbedaan yang signifikan. Sebagaimana ungkapan Warren Buffett: price is what you paid, and value is what you get