1. KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI DARI MANTAN PEGAWAI
PAJAK RAFAEL ALUN TRISAMBODO DITINJAU DARI FIQH
JINAYAH
Guna memenuhi tugas mata kuliah Fiqh Jinayah dosen pengampu Khoirul
Anwar M.Ag.
Isvianta Lasyiva 33020210176
Hukum Ekonomi Syariah
Fakultas Syariah
Universitas Islam Negeri Salatiga
Latar Belakang
Seiring dengan perkembangan zaman, berkembangnya teknologi, semakin marak pula
tindak kejahatan modern yang terjadi di era saat ini. Teknologi yang semakin berkembang
semakin membantu menyelesaikan kebutuhan manusia. Tak heran pula apabila teknologi
juga dimanfaatkan para oknum untuk melakukan kejahatan. Contoh nyata kejahatan yang
memanfaatkan teknologi ialah korupsi. Meskipun, sejak zaman dahulu sudah ada tindak
pidana korupsi. Sekarang lebih dipermudah jalannya karena adanya teknologi. Korupsi
sendiri merupakan suatu perbuatan dimana bertujuan memperkaya diri sendiri dengan
mengambil yang bukan haknya dimana hal tersebut merugikan kekayaan negara. Korupsi
terjadi kepada orang-orang yang memiliki jabatan dan juga kesempatan.
Pelaku-pelaku korupsi pun, juga dapat dengan mudah tertangkap karena adanya
teknologi. Melalui saldo rekening yang tidak wajar dan akan dengan mudah dicurigai. Seperti
kasus yang baru-baru saja terjadi di Tahun 2023 ini, kasus mantan pegawai pajak Rafael Alun
Trisambodo yang sudah dinyatakan sebagai tersangka. Kronologi dapat tertangkap juga
melalui teknologi yakni nomor rekening yang diduga terdapat uang yang patut dicurigai.
Rafael sudah ditetapkan menjadi tersangka dan dari hukum positif sudah menanti hukuman
apa yang akan dijatuhkan terdapat Rafael tentunya dalam UU Tipikor. Lantas bagaimana
menurut perspektif fiqh jinayah terkait kasus tindak pidana korupsi yang dilakukan Rafael ?
Apabila aturan hukum tipikor tersebut ternyata tidak menjadikan jera bagi para
pelakunya, terbukti masih banyak generasi bui (penjara) yang terciduk dalam kasus yang
sama. Ketika berbicara tentang efek jera, dalam hukum pidana Islam (jinayah) sebagai sebuah
2. disiplin ilmu Islam yang membahas persoalan kriminalitas yang salah satunya tentang tindak
pidana korupsi sangat memberikan jera kepada para pelanggar, dalam hukum pidana Islam
dikenal ada istilah Hudud dan ta’zir.1
Pembahasan
Korupsi adalah tindakan ilegal dan tidak bermoral yang dapat merugikan banyak
orang, termasuk negara dan masyarakat secara keseluruhan. Pajak adalah sumber pendapatan
penting bagi pemerintah untuk membiayai berbagai program dan proyek yang bermanfaat
bagi masyarakat.2
Korupsi dalam bidang pajak dapat mengakibatkan hilangnya pendapatan
yang seharusnya diterima oleh negara, sehingga menyebabkan kerugian finansial yang
signifikan bagi masyarakat. Oleh karena itu, pihak berwenang harus bertindak tegas dalam
memerangi korupsi di semua sektor, termasuk di bidang pajak.3
Upaya pencegahan dan
penindakan harus dilakukan secara adil dan transparan untuk memastikan integritas sistem
pajak dan keadilan bagi semua pihak yang terlibat.
Bila kita menilik kilas kasus korupsi baru baru ini yang terjadi pada Rafael Alun
Trisambodo Rafael Alun Trisambodo yang merupakan ayah dari MDS tersangka kasus
penganiayaan yang terjadi pada Senin (20/2/2023) silam. Rafael terseret kasus ini bukan
lantaran terlibat dalam penganiayaan. Namun, mantan pegawai DJP(Direktorat Jenderal
Pajak) Eselon III itu dianggap memiliki kekayaan tidak wajar. Ia diketahui memiliki
kekayaan mencapai Rp 56,1 miliar. Menteri Keuangan Sri Mulyani akhirnya memutuskan
untuk mencopot Rafael dari jabatan dan tugasnya di DJP karena melanggar Pasal 31 ayat 1
PP 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil.4
Kasus tersebut diatas merupakan 1 dari ribuan kasus yang terjadi di Indonesia, pada
kesempatan kali ini penulis menguak salah satu kasus korupsi di Indonesia dari Rafael
mantan pegawai DJP ini. Dapat kita ketahui korupsi ini dapat terlaksana karena beberapa
faktor. Diantaranya, Rafael dapat melakukan korupsi karena memiliki jabatan yakni sebagai
pegawai DJP Eselon III yang dapat ia salahgunakan. Yang kedua, adanya kesempatan ia
1
Nasukha, S.H.I., PEMBAHARUAN SANKSI HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM PERSPEKTIF
HUKUM PIDANA ISLAM (JINAYAH), 2018
2
Diponegoro L A W Journal et al., “Diponegoro Law Journal” 6 (2017) hlm.1–13.
3
Mardjono Reksodiputro, “Jangan Ragu Menghukum Korporasi (Menegakkan Undang-Undang Pajak Dengan
Menghukum Korporasi Atau Dengan Penyanderaan Badan (Gijzeling)?),” Jurnal Hukum dan Bisnis 3, no. 2
(2017) hlm.118– 122.
4
https://bisnis.tempo.co/read/1695160/5-orang-pejabat-dan-pegawai-pajak-yang-terjerat-kasus-korupsi-
mayoritas- pencucian-uang, diakses pada tanggal 12 April 2023
3. dapat melakukan hal tersebut. Menurut penulis, hal tersebut terjadi karena adanya dorongan
dari lingkungan sekitar. Ketika melakukan korupsi, pastinya tidak Rafael sendiri yang
mengetahui namun rekan kerja, atasannya pun pasti mengatahui. Tapi mengapa korupsi
masih bisa terjadi ? Sebab korupsi seperti sudah tersistem di lingkungan kerjanya. Adapun
faktor internal yang ada sehingga korupsi itu bisa terjadi, seperti gaya hidup yang tinggi
sehingga Rafael terdorong melakukan korupsi mencapai Rp 56,1 Milyar.
Sanksi Pidana Korupsi Hukum Positif
Regulasi tentang pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia sebetulnya sudah
cukup kuat, selain tercantum dalam UUD 1945 dan KUHP, sejak tahun 1971, Indonesia telah
memiliki Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Kemudian, setelah Orde Reformasi, Indonesia memulai kembali komitmen
pemberantasan korupsi dengan mengesahkan Ketetapan MPR RI Nomor XI/MPR/1998
tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Atas
dorongan TAP MPR ini, pada 16 Agustus 1999, Pemerintah Indonesia mengesahkan UU
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU Nomor 28
Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi,
dan Nepotisme.
Lalu, pada tahun 2001, dengan pertimbangan bahwa tindak pidana korupsi selama ini
telah terjadi meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah melanggar
hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu
digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa,
maka disahkan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Komisi Pemberantasan Korupsi, dengan mencermati substansi UU Nomor 31 Tahun
1999 dan UU Nomor 20 Tahun 2001, membagi tindak pidana korupsi ke dalam dua
kelompok. Pertama, kejahatan korupsi itu sendiri. Kedua, kejahatan lain yang berkaitan
dengan tindak 44 pidana korupsi. Kejahatan dalam kelompok kedua sebenarnya bukan
korupsi. Akan tetapi, karena berkaitan dengan korupsi, maka juga dianggap sebagai tindak
pidana korupsi.
Subjek dalam tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh orang, dimana sanksi pidana
yang dapat dijatuhkan berupa: hukuman mati, seumur hidup, penjara dan denda. Sedangkan
4. subjek pelaku korupsi adalah korporasi, pidana pokok yang dapat dijatuhkan hanya pidana
denda. Selain pidana pokok yang dijatuhkan pada korporasi, juga pidana tambahan
sebagaimana halnya pelaku korupsi adalah orang. Pemidanaan dalam tindak pidana korupsi
tidak jauh berbeda dengan pengertian pemidanaan dalam tindak pidana umum karena
pemberian pidana dalam arti pemidanaan sangat penting sebagai bagian politik kriminal
khususnya dalam menanggulangi dan mencegah kejahatan ketentuan-ketentuan pemidanaan
sebagaimana yang terdapat pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-undang
Nomor 20 Tahun 2001 tidaklah terlepas dari teori tentang tujuan pemidanaan serta
kebijaksanaan pidana pada umumnya.5
Lalu apa saja akibat dari perbuatan korupsi Rafael menurut Hukum khusus
Indonesia ?
1. Diancam pidana seumur hidup atau penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama
20 tahun. Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Firli Bahuri
menyangkakan Rafael melanggar pasal 12 B Undang-Undang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
"Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara paling singkat empat tahun dan paling lama 20 tahun, dan pidana denda
paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar," pasal 12 B ayat 2.6
2. Dicopot dari jabatan dan tugas dari DJP sebab melanggar Pasal 31 ayat 1 PP 94
Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil.
Berkaca pada kasus korupsi yang pernah terjadi dan efek jera tidak dijumpai dalam
diri seorang yang korup. Bagaimana bahwasanya hukuman yang diberikan tidak memberikan
efek jera. Masih banyak terjadi kasus kasus korupsi yang terjadi di Indonesia kita tercinta.
Bila kita lihat dari perspektif Hukum Islam bagaimana Fiqh Jinayah dalam mengatasi tindak
pidana korupsi ini.
Sanksi pidana Korupsi pada Hukum Islam (Fiqh Jianayah)
5
Nasukha, S.H.I., PEMBAHARUAN SANKSI HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM PERSPEKTIF
HUKUM PIDANA ISLAM (JINAYAH), 2018, hlm.43
6
Baca artikel CNN Indonesia "Rafael Alun Terancam Pidana Maksimal 20 Tahun Penjara" selengkapnya di sini:
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20230403181801-12-933063/rafael-alun-terancam-pidana-
maksimal-20-tahun-penjara.
5. 1. Sanksi Takzir
Setidaknya produk hukum dari ta‟zir yang sekiranya dapat memberikan efek jera dan
keadilan berdasarkan kemaslahatan antara lain yaitu :
a. Pidana mati, apabila tindak pidana korupsi jumlahnya besar, dan dapat
membahayakan stabilitas ekonomi negara serta jika kepentingan umum
menghendaki demikian, atau kalau keadilan hukum hanya bisa terlaksana dengan
jalan membunuhnya.
b. Pidana potong tangan, apabila tindakan korupsi dengan jumlah sedikit dan baru
dilakukan pertama kali serta tidak membahayakan stabilitas ekonomi negara.
2. Sanksi Sosial, Sanksi Moral.
a. Hukuman pengasingan, hukuman pengasingan bagi pelaku tindak pidana
korupsi bisa dilakukan dengan cara mengasingkan pelaku ke daerah tertentu
yang jauh dari 124 pemukiman masyarakat dalam waktu tertentu sesuai
putusan hakim dalam pengadilan. Kemudian pelaku tidak diperkenankan atau
tidak diikutsertakan dalam setiap kegiatan masyarakat dalam waktu tertentu
sesudah masa pengasingan.
b. Dicabut hak-haknya, pencabutan hak-hak pelaku tindak pidana korupsi
yang berkaitan dengan hak jual-beli, hak mendapat pendidikan, hak politik,
dan hak-hak yang lain dalam kaitannya hubungan masyarakat.
c. Jenazahnya tidak disholatkan, hukuman seperti ini merupakan interpretasi
sikap Rasulullah S.a.w. kepada palaku tindak pidana korupsi.
Sebenarnya ada beberapa kesamaan dari hukum positif dan dari segi fiqh jinayah.
Namun, untuk lebih memberikan efek jera kepada pelaku menurut penulis lebih baik
menggunakan fiqh jinayah untuk memberantas tindak pidana korupsi. Namun kembali lagi
kita hidup di Indonesia yang mana korupsi sudah merajalela dan sudah tersistem korup
didalamnya. Semoga kita semua dijauhkan dari perilaku korupsi.