Tiga kalimat ringkasan dokumen tersebut adalah: Dokumen tersebut membahas tentang pandangan fiqh jinayah Islam terhadap fenomena cybercrime dengan menjelaskan definisi cybercrime dan contoh kasusnya seperti kasus Bjorka dan sniffing serta sanksi hukum Islam bagi pelaku kejahatan seperti pencurian.
Contoh PPT Seminar Proposal Teknik Informatika.pptx
24. 33020210149_AGNADIA PUTRI.pdf
1. Pandangan Fiqh Jinayah Terhadap Fenomena Cybercrime
Pendahuluan
Peristiwa Cyber Crime (Kejahatan Siber) bukan sebuah hal yang baru dalam dunia digital.
Sejak digitalisasi dan globalisasi berkembang di seluruh dunia, kemudahan akses teknologi dan
informasi semakin dipermudah. Internet membantu kemudahan akses menjadi lebih cepat dan
tidak terbatas akses. Komunikasi dengan orang yang berjarak jauh dapat dilakukan dalam
hitungan detik. Adanya digitalisasi ini membawa banyak kemudahan bagi kehidupan manusia.
Akan tetapi, kemudahan ini juga memiliki efek buruk yang dibawa. Internet yang menjadi
sarana kemudahan ini tidak lepas dari adanya tindak kejahatan. Semakin lama, banyak orang
yang paham mengenai teknologi dan Artificial Intelligent, serta semakin banyak yang
memanfaatkan kemudahan ini untuk melakukan tindak kejahatan. Ditambah dengan edukasi
tentang teknologi, kejahatan di internet menjadi semakin marak.
Peristiwa terbaru terjadi beberapa pekan lalu. Pengiriman aplikasi oleh orang yang
berpura-pura menjadi kurir paket lewat aplikasi Whatsapp. Pelaku yang menciptakan file
aplikasi tersebut berpura-pura ingin mengirim tanda bukti paket dan menipu korbannya agar
mau mengunduh file tersebut. Modus pencurian data ini menggunakan aplikasi yang tidak
dapat terdeteksi oleh telepon genggam. Tujuan utama dari modus penipuan ini adalah untuk
mengambil data, password, username informasi m-banking dan data penting lain yang ada di
ponsel korban. Modus penipuan ini bernama sniffing, file tersebut terhubung pada aplikasi yang
digunakan untuk membobol mobile banking korbannya melalui modus penipuan kurir paket.
Dalam Islam, segala bentuk penipuan tidak dapat dibenarkan. Tindakan ini merugikan
korban dari segi material. Akan tetapi, bagaimana Islam menanggapi penipuan dengan modus
baru ini?. Untuk menanggapi hal ini, perspektif Islam menggunakan dalam klasifikasi hukum
pidana, yaitu hudud, qishash diyat, dan ta’zir. Penjelasan mengenai ketiga hal tersebut akan
dibahas pada bagian selanjutnya.
Fiqh Jinayah
Fiqh Jinayah atau disebut juga dengan hukum pidana Islam. Secara etimologis, fiqh
artinya paham. Secara Istilah, fiqh dapat diartikan sebagai paham yang mendalam melalui
proses pemikiran yang serius (Sahid, 2015:1). Sedangkan Jinayah atau jarimah artinya berbuat
dosa atau salah. Definisi lain dari jinayah adalah perbuatan dosa atau perbuatan salah.
Seseorang yang melakukan kesalahan disebut Jana dari kalimat jana'ala qaumihi jinayatan
2. (Marsaid, 2020:53). Kata jinayah dalam istilah hukum sering disebut dengan tindak pidana.
Menurut Abd al-Qadir Awdah, jinayah merupakan perbuatan yang dilarang oleh syariat baik
perbuatan itu mengenai jiwa, harta benda atau hal lain. Sedangkan Sayyid Sabiq menyatakan
bahwa tradisi syariat Islam mengartikan jinayah sebagai segala tindakan yang dilarang oleh
hukum untuk dilakukan. Perbuatan yang dilarang berarti harus dihindari karena menimbulkan
bahaya yang nyata terhadap agama, jiwa, akal, harga diri, dan harta benda1
. Kemudian al-
Mawardi mengungkapkan pengertian jarimah adalah larangan hukum yang diancam oleh Allah
dengan hukuman hadd atau ta’zir. Larangan hukum yang dimaksud dapat berupa perbuatan
yang dilarang atau meninggalkan perintah. Sanksi yang akan didapat adalah hukuman hadd,
berupa hukuman umum yang meliputi semua hukuman yang ditentukan oleh shara’. Serta
hukum ta’zir yang belum ditentukan oleh shara’ dan untuk penetapan pelaksanaannya
diserahkan kepada penguasa sesuai bidangnya, dalam hal ini bisa hakim dan pengadilan (Sahid,
2015:3).
Menurut hanfiyah, jinayah diperuntukkan pada semua perbuatan yang dilakukan dengan
objek anggota badan dan jiwa seperti melukai dan membunuh. Perbuatan dosa yang dianggap
salah berkaitan dengan barang dan harta benda disebut ghasab. Sedangkan pembahasan
mengenai kejahatan pencurian tidak masuk dalam pembahasan jinayah. Sebaliknya, Shafi’iyah,
Malikiyah, dan Hanabilah tidak meletakkan pemisahan antara perbuatan jahat terhadap jiwa
dan anggota badan dengan kejahatan terhadap harta benda. Sehingga menurut mereka,
pembahasan tersebut tetap masuk dalam jinayah2
. Secara umum objek dari hukum pidana Islam
(Fiqh Jinayah) adalah hukum shara’ yang berhubungan dengan tindak pidana. Sesuai dengan
ketentuan hukum pidana Islam, larangan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu tidak
cukup dengan “niat baik”, tetapi harus disertai dengan sanksi dan hukuman. Hukuman ini dapat
dijadikan sebagai efek jera kepada pelaku kejahatan dan sebagai contoh kepada masyarakat
agar tidak melakukan perbuatan yang melanggar hukum. Hal ini karena kejahatan itu
merugikan masyarakat dan hukum pidana dibuat untuk mempertahankan dan memelihara
keamanan dan kenyamanan masyarakat.
Hukum pidana Islam telah berlaku sejak zaman Rasulullah ada. Hukum pidana Islam
menjadi bagian dari syariat Islam yaitu hukum publik. Pada masa Rasulullah, hukum pidana
1
Marsaid. (2020). Al-Fiqh Al-Jinayah (Hukum Pidana Islam). Rafah Press.
2
Sahid. (2015). Epistemologi Hukum Pidana Islam. Pustaka Idea.
3. Islam diatur dan ditetapkan oleh negara. Negara sebagai pemerintahan yang sah dan selaku
penguasa dipegang oleh Rasulullah dan dilanjutkan oleh al-Khulafa’ al-Rasyidin. Hukum
pidana sendiri, Allah sebutkan dalam Al-quran dalam Surah al-Maidah ayat 5 yang artinya:
“Dan Kami telah menurunkan al-Qur’an kepadamu dengan membawa kebanaran,
membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan
batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu, maka putuskanlah perkara mereka menurut
apa yang Allah turunkan dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka dengan
meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu” (Kementerian Agama RI, 2014).
Dari ayat di atas telah didapatkan gambaran bahwa kewajiban tentang hukum pidana
Islam berasal dari al-Quran. Sejak dahulu, al-Quran merupakan sumber utama hukum yang
diterapkan oleh Rasulullah sebagai kepala negara. Hukum pidana yang diadaptasi dari al-Quran
sendiri mencakup beberapa tindak pidana seperti pencurian, perzinaan dan tuduhan zina.
Dalam kasus pencurian, Allah Swt. berfirman dalam surah al-Maidah ayat 38 yang artinya:
“Adapun orang laki-laki maupun perempuan yang mencuri, maka potonglah tangan
keduanya sebagai balasan atas perbuatan yang mereka lakukan dan sebagai siksaan dari
Allah. Dan Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana” ” (Kementerian Agama RI, 2014).
Ayat tersebut menjelaskan hukuman yang akan didapatkan oleh seorang pencuri
menurut pandangan Islam adalah pemotongan tangan. Pelaku yang dipotong tangannya
diharapkan mendapat balasan setimpal karena telah mengambil hak orang lain. Perintah
hukuman ini valid dan berasal dari al-Quran.
Cybercrime
Sebelum menguraikan definisi cybercrime secara rinci, induk dari cybercrime adalah
Cyber Space, di mana cyberspace dipandang sebagai dunia komunikasi berbasis komputer.
Dalam hal ini, cyberspace dianggap sebagai sebuah kenyataan baru dalam kehidupan manusia
yang dalam bahasa kesehariannya dikenal dengan sebutan internet." (Maskun, 2013, dalam
Wijaya & Umara, 2022) menjelaskan kemajuan teknologi informasi (internet) dan segala
bentuk manfaat yang ada di dalamnya memiliki dampak negatif sendiri di mana para pelaku
kejahatan lebih mudah melakukan aksinya yang semakin hari semakin merisaukan masyarakat.
Penyelewengan yang terjadi di dunia maya dikenal dengan istilah cyber crime. Globalisasi
4. menyebar dan merebak dengan cepat di dunia, hal ini yang menjadi pemicu utama
perkembangan teknologi dan informasi semakin cepat. Serta, mendorong modus kejahatan
baru di internet.
Dilansir dari Encyclopaedia Britannica, cyber crime adalah penggunaan komputer
sebagai alat untuk meraih tujuan ilegal, seperti penipuan, perdagangan konten pornografi anak,
pencurian identitas, serta pelanggaran privasi (Britanica.com). Cyber crime adalah suatu
kegiatan kejahatan dengan menggunakan fasilitas komputer atau jaringan komputer tanpa ijin
dan melanggar hukum, baik dengan cara mengganti atau tanpa perubahan (perusakan) terhadap
fasilitas komputer yang dimasuki atau digunakan atau kejahatan yang menggunakan fasilitas
media elektronik di internet karena itu dikategorikan sebagai kejahatan dunia maya, atau
kejahatan di bidang komputer dengan cara-cara yang dilarang. Dapat juga digolongkan sebagai
kejahatan komputer yang ditujukan kepada sistem atau jaringan komputer, yang mencakup
semua bentuk kejahatan baru yang menggunakan bantuan fasilitas media elektronik internet
(Suharyadi, 2020).
Kejahatan cybercrime meliputi penyelewengan melalui komputer dan jaringannya.
Akan tetapi, hal ini tidak lepas dari bentuk kejahatan di internet, seperti penyebaran virus,
pemalsuan identitas, penyebarluasan pornografi, penggelapan data orang lain, pencurian data,
hacking (pengaksesan komputer atau perangkat elektronik secara ilegal), cracking (perusakan
situs), carding (pembobolan kartu kredit), phising, pembobolan rekening bank, transaksi ilegal,
hingga penguasaan terhadap software pengguna komputer. Sebagian besar kejahatan siber
tersebut berasal dari seseorang yang disebut cracker. Kegiatan mengakses komputer dan/atau
sistem elektronik dengan cara apa pun dengan melanggar, menerobos, melampaui, atau
menjebol sistem keamanan (kejahatan peretasan komputer).
Kasus Cybercrime yang pernah terjadi
Kasus yang paling sering dijumpai dalam kejahatan siber adalah pembajakan (hacking). Bukan
suatu hal baru lagi jika sistem keamanan data dapat dibajak oleh seorang hacker. Seperti pada
kasus yang baru terjadi pada akhir tahun 2022, tepatnya pada bulan September. Nama hacker
Bjorka ramai diperbincangkan oleh masyarakat Indonesia. Hal ini terjadi setelah kasus
kebocoran data pribadi warga negara Indonesia terjadi. Sebanyak 26 juta data pelanggan
IndiHome diperjualbelikan oleh Bjorka di situs BreachForums. Data ini menyangkut data
pribadi seperti histori pencarian, keyword, user info, email, jenis kelamin hingga NIK.
Kemudian, Bjorka juga membocorkan sebanyak 17 juta data yang diduga pelanggan PLN di
5. forum hacker pada bulan Agustus. Informasi ini juga diperjualbelikan di forum. Sementara itu
pihak PLN masih melakukan pendalaman terhadap kasus ini. Selain itu, hacker Bjorka juga
menyebarkan data SIM card dan dijual pada forum gelap. Data yang bocor termasuk NIK,
nomor telepon, nama penyedia dan tanggal pendaftaran. Lembaga Riset Communication &
Information Security Research Center menyatakan data yang berasal dari Bjorka valid. Kasus
kebocoran data ini jelas merugikan masyarakat, adanya akses menuju pasword, PIN dan
lainnya, bisa disalahgunakan untuk kepentingan orang yang tidak baik3
.
Kasus selanjutnya adalah kasus sniffing. Kasus ini mulai ramai diperbincangkan ketika salah
seorang korban mengunggah modus penipuan ini di twitter. Modus penipuan ini bermula dari
pelaku yang akan mengirim pesan pada nomor whatsapp pribadi mengatas namakan kurir paket
online. Pelaku kemudian mengirim sebuah aplikasi yang katanya digunakan untuk melacak
paket dan melihat bukti pengiriman. Ketika korban sudah menginstall aplikasi tersebut, pelaku
akan dapat mengontrol perangkat digital sang korban. Pelaku dapat melihat informasi data
penting yang terekam di dalam telepon genggam. Aplikasi jenis ini tidak dapat dideteksi oleh
anti virus atau sistem pelacakan lain. Sehingga korban tidak sadar jika perangkat seluler
miliknya menjadi korban pembajakan. Modus penipuan sniffing didefinisikan sebagai tindak
kejahatan penyadapan oleh hacker yang dilakukan menggunakan jaringan internet. Tujuan
utamanya adalah mencuri data dan informasi penting pemilik ponsel. Data-data ini dapat
berupa password, username, informasi kartu kredit hingga m-banking. Ketika ponsel sudah
dibajak, maka akan terdapat beberapa ciri-ciri seperti adanya transaksi mencurigakan yang
terjadi dalam rentang waktu yang sebentar, kemudian ditemukan aplikasi yang tidak terdaftar
di ponsel dan merasa tidak pernah melakukan instalasi. Untuk itu, kewaspadaan itu perlu
ditingkatkan, di tambah kondisi yang serba canggih dan maju. Untuk menghindari modus
penipuan sniffing ini, maka dapat dilakukan tindakan pencegahan seperti mengganti password
secara berkala, tidak mengunduh aplikasi asing dan tidak terdaftar di playstore, hati-hati ketika
menerima pesan dari nomor yang tidak dikenal, dan terakhir jangan menggunakan wi-fi publik
ketika melakukan transaksi4
.
3
Kurniawan, R. F. (2022, September 11). 4 Dugaan Kebocoran Data yang Dibeber “Hacker” Bjorka Halaman
all - Kompas.com. KOMPAS.com. https://www.kompas.com/tren/read/2022/09/11/140000265/4-
dugaan-kebocoran-data-yang-dibeber-hacker-bjorka?page=all
4
Pratama, A. M. (2022, December 19). Ciri-ciri Modus Penipuan “Sniffing” Berkedok Kurir Paket Kirim Foto.
KOMPAS.com. https://money.kompas.com/read/2022/12/16/122500826 diakses tanggal 10 jam 21.00
6. Pandangan Hukum Islam
Untuk memahami cybercrime dalam perspektif hukum pidana Islam, terlebih dahulu kita harus
memahami bahwa ada klasifikasi tindak pidana dalam Islam, jika dilihat dari segi berat
ringannya hukuman ada tiga macam, yaitu hudud, qishash diyat, dan ta'zir (Irfan & Masyrofah,
2013:187). Hudud adalah perbuatan melanggar hukum yang jenis dan hukumannya telah
ditentukan oleh nash, yaitu hukuman had (hak Allah) Hukuman had yang dimaksud tidak ada
batas terendah dan tertinggi serta tidak dapat digugurkan oleh perorangan (korban atau walinya)
atau perwakilan masyarakat dalam hal ini penguasa5
. Jarimah Hudud memiliki ciri-ciri sebagai
berikut: (1) hukumannya tertentu dan terbatas, maksudnya hukuman yang diterima telah
ditentukan oleh syara’, (2) hukuman tersebut merupakan hak Allah, maksudnya yang
bersangkutan dengan kepentingan umum dan kemaslahatan bersama, tidak selalu berkaitan
dengan orang. Dengan kata lain hak Allah dikembalikan manfaatnya kepada masyarakat.
Dalam hubungannya dengan hak, jarimah hudud menyangkut tujuh macam perkara yaitu
a. Jarimah zina
b. Jarimah qazaf (menuduh zina)
c. Jarimah syubrul khamr
d. Jarimah pencurian
e. Jarimah riddah
f. Jarimah al bagyu
Jarimah qishash diyat adalah perbuatan yang terancam hukuman qishash dan diyat. Baik
qishash maupun diyat adalah hukuman yang telah ditentukan batasnya, tidak ada batas yang
paling rendah dan paling tinggi, tetapi merupakan hak perorangan (korban dan walinya). Ada
beberapa kemungkinan dalam penerapan hukum qishash diyat, yaitu hukum qishash dapat
berubah menjadi hukuman diyat, hukuman diyat menjadi diampuni dan apabila diampuni maka
hukumannya menjadi terhapus. Dalam jarimah qisas, hakim boleh memutuskan hukuman yang
akan diberikan berdasar pada pengetahuan yang dia miliki. Sedangkan ini tidak diizinkan
dalam hudud. Pada jarimah qisas pula tidak ada kadaluwarsa dalam kesaksian, sebaliknya
jarimah hudud ada kedaluwarsa. Pada jarimah qisas sebenarnya sama dengan jarimah hudud,
akan tetapi terdapat beberapa perbedaan, seperti dalam jarimah qisas hakim boleh memutuskan
5
Marsaid. (2020). Al-Fiqh Al-Jinayah (Hukum Pidana Islam). Rafah Press. Hal 20
7. hukuman berdasarkan pengetahuannya. Hak menuntut qishash bisa diwariskan. Korban wali
dapat memaafkan sehingga hukuman dapat gugur secara mutlak. Kemudian tidak ada
kadaluwarsa dalam kesaksian, dibolehkan adanya pembelaan dan terakhir harus ada tuntutan
(Marsaid, 2020:59).
Jarimah Ta'zir, secara etimologi berarti menolak atau mencegah. Sedangkan pengertian ta'zir
secara terminologis adalah bentuk hukuman yang tidak disebutkan ketentuan ukuran
hukumnya oleh syara' dan menjadi kewenangan penguasa atau hakim. Menurut al Mawardi
Ta'zir adalah sanksi untuk pelanggaran dan kejahatan yang tidak disebutkan dalam hukum had.
Hukuman ini beragam sesuai dengan kasus dan pelaku yang berbeda. Dalam satu sisi, ta'zir
selaras dengan hukuman had, yaitu tindakan yang diambil untuk membenahi perilaku manusia,
dan mencegah orang lain melakukan tindakan yang sama (Marsaid, 2020:62). Ciri-ciri dari
ta’zir adalah hukumnya tidak tertentu atau terbatas, yaitu belum ditentukan oleh syara’,
kemudian penentuan hukuman tersebut berdasarkan pada hak penguasa. Pada jarimah ta’zir
setiap perbuatan buruk tidak dikenakan hukuman had dan qisas. Jenis perbuatan ini ditemukan
pada tindakan seperti mencium anak-anak, mencium wanita lain yang bukan istri, tidur satu
ranjang tanpa persetubuhan dan memakan hal yang tidak halal.
Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa cybercrime termasuk dalam jarimah ta’zir. Hal ini
karena tidak ada ayat atau hadis yang menyebutkan tentang kejahatan yang tergolong
cybercrime seperti pembajakan data oleh hacker melalui jaringan internet (Irfan & Masyrofah,
2013:189). Secara umum pembajakan ini dilakukan dalam suatu software yang dapat terjadi
dalam jaringan. Selain itu, kejahatan ini mengganggu kenyamanan dan ketertiban masyarakat
sekitar. Sehingga tetap harus diberikan hukuman yang sesuai. Salah satu hukuman ta’zir yang
dapat ditetapkan dalam kasus ini adalah hukuman penjara. Hukuman penjara dalam istilah
syar'i adalah menghalangi atau melarang seseorang untuk menguasai dirinya sendiri. Baik itu
dilakukan di negara, rumah, masjid, penjara, atau tempat lainnya (Marsaid, 2020, 212).
8. Referensi
Irfan, N., & Masyrofah. (2022). Fiqh Jinayah. Amzah.
Kurniawan, R. F. (2022, September 11). 4 Dugaan Kebocoran Data yang Dibeber “Hacker”
Bjorka Halaman all - Kompas.com. KOMPAS.com.
https://www.kompas.com/tren/read/2022/09/11/140000265/4-dugaan-kebocoran-
data-yang-dibeber-hacker-bjorka?page=all
Makbul, M., & Ismail, M. (2023). KEBIJAKAN CYBER DEFEND INDONESIA DALAM
RANGKA MENANGANI INTERNATIONAL CYBER THREATS. Jurnal Yustitia,
23(2). https://doi.org/10.53712/yustitia.v23i2.1703
Marsaid. (2020). Al-Fiqh Al-Jinayah (Hukum Pidana Islam). Rafah Press.
Pratama, A. M. (2022, December 19). Ciri-ciri Modus Penipuan “Sniffing” Berkedok Kurir
Paket Kirim Foto. KOMPAS.com.
https://money.kompas.com/read/2022/12/16/122500826/ciri-ciri-modus-penipuan-
sniffing-berkedok-kurir-paket-kirim-foto
Putri, V. K. M. (2022, April 25). Cyber Crime: Definisi, Jenis, dan Contohnya Halaman all
- Kompas.com. KOMPAS.com.
https://www.kompas.com/skola/read/2022/04/25/100000169/cyber-crime--definisi-
jenis-dan-contohnya?page=all
Sahid. (2015). Epistemologi Hukum Pidana Islam. Pustaka Idea.
Salsabil, L. S. (2021). PERKEMBANGAN ETIKA SIBER DAN PENGATURAN
CYBERLAW DI INDONESIA. Dialektika Komunika: Jurnal Kajian Komunikasi
Dan Pembangunan Daerah, 9(1), 1–5. https://doi.org/10.33592/dk.v9i1.1211
Suharyadi, S., Sampara, S., & Ahmad, K. (2020). Kejahatan Dunia Maya (Cyber Crime)
Dalam Prespektif Hukum Islam. Journal of Lex Generalis (JLG), 1(5), 761–773.
https://doi.org/10.52103/jlg.v1i5.199
Wahyuni, F. (2018). Hukum Pidana Islam. Nusantara Persada Utama.
Wijaya, T. P. (2022). PENERAPAN SANKSI SOSIAL SEBAGAI ALTERNATIF
PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KEJAHATAN
SIBER (CYBER CRIME). Al-Qisth Law Review, 5(2), 371.
https://doi.org/10.24853/al-qisth.5.2.371-404