Tiga kalimat ringkasan dokumen tersebut adalah:
Dokumen tersebut membahas implikasi hukum pidana Islam terhadap pembaruan hukum pidana nasional Indonesia dengan tujuan meningkatkan kemaslahatan masyarakat sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 serta menyesuaikan dengan perkembangan zaman.
1. Implikasi Hukum Pidana Islam Terhadap Pembaruan Hukum Pidana Nasional
Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqh Jinayah
Dosen Pengampu: Khoirul Anwar, M.Ag.
Disusun Oleh: Rizki Agustin 33020210126
Pendahuluan
Hukum Pidana yang berlaku di Indonesia mayoritas bersumber dari peraturan yang
terdapat dalam KUHP, KUHP merupakan hukum pidana peninggalan dari negeri Belanda yang
mengalami perubahan pada beberapa peraturannya, ada pula beberapa peraturan pidana diluar
KUHP yang berlaku di Indonesia.1
Setelah merdeka, Indonesia belum memiliki sistem hukum
pidana yang bersumber dari tradisinya sendiri. Hingga saat ini Indonesia masih menggunakan
KUHP. KUHP dipandang sudah usang dan tidak sesuai dengan nilai-nilai hidup masyarakat
Indonesia. Diakui KUHP yang berlaku sekarang ini, dianggap kurang mewakili budaya
Indonesia yang ketimuran dan dianggap pula tidak memadai lagi untuk merespon
perkembangan masyarakat dan peradabannya yang sudah jauh berbeda. Oleh karena itu tidak
heran apabila para ahli hukum dan pemerintah terus menggelorakan upaya-upaya pembaruan
terhadap KUHP yang ada, yang dianggap belum mengakomodir hukum yang tumbuh di
masyarakat Indonesia. Tetapi sejak tahun 1977 hingga kini upaya pembaruan terhadap KUHP
belum juga terwujud.2
Dengan demikian maksud utama dari variabel pembaruan Hukum Pidana Nasional
(HPN) adalah upaya untuk memperbaiki dan memperbarui Kitab Undang-Undang Hukum
Pidan (KUHP) yang ada. Tentunya dengan hukum pidana yang sesuai dengan kebudayaan
masyarakat Indonesia. Hukum Pidana Islam disyariatkan untuk memelihara dan mewujudkan
kemaslahatan manusia, karena dalam peraturannya bertujuan untuk menjaga agama, jiwa, akal,
keturunan, kehormatan, kesatuan jama’aah, pemerintahan yang berdaulat, dan harta sebagai
kebutuhan mendasar bagi manusia dalam semua tingkatannya (al-daruriyah, al-hajjiyah) dan
dari segala hal yang bisa merusaknya (al-tahsiniyah).
Pembaruan materi Hukum Pidana Nasional dengan nilai-nilai Hukum Pidana Islam
memiliki peluang yang cukup signifikan. Sebab Hukum Islam merupakan sumber utama
1
Anis Farida, Esensi Hukum Pidana Islam Dalam Sistem Hukum Nasional Indonesia, Al-Jinayah: Jurnal
Hukum Pidana Islam, Vol. 5, No. 2, Desember 2019, hlm 425
2
Junaidi Abdillah, Filsafat Hukum Pidana Islam; Kajian Pidana Hudud dan Aplikasinya di Indonesia
Jilid 1, (Semarang : Mutiara Aksara, 2021), hlm 52-54
2. perundang-undangan di Indonesia, serta Hukum Pidana Islam mempunyai semua persyaratan
yang dibutuhkan dalam pembaruan tersebut, seperti materi hukum pidana yang efektif dengan
asas hukum yang bersifat universal.3
Dalam penerapannya, Hukum Pidana Islam sebenarnya bukanlah hukum yang kejam
dan tidak berperikemanusiaan, sebab aturan tegas di dalamnya dibarengi dengan proses kehati-
hatian. Apalagi sikap tegas tersebut bertujuan supaya setiap orang saling menghargai hak-hak
orang lain, sehingga hak-hak orang lain tidak terganggu oleh perbuatannya, serta hak dirinya
sendiri akan terpelihara dari gangguan orang lain.4
Pembahasan
Istilah pembaruan umumnya dengan istilah-istilah seperti inovasi, modernisasi,
pembagunan, pemodernan, pemugaran, pemulihan, pemutakhiran, penyegaran, perbaikan,
perombakan, reaktualisasi, reformasi, regenerasi, rehabilitasi, renovasi, dan restorasi.
Sedangkan Hukum Nasional adalah hukum yang dibangun oleh suatu negara untuk
diberlakukan secara menyeluruh bagi warga negara dalam suatu negara. dalam konteks
Indonesia, maka yang dimaksud dengan hukum nasional yaitu hukum yang berlaku secara
menyeluruh pada setiap warga negara, dimana hukum ini mengacu pada Pancasila dan UUD
1945.5
Dengan demikian, hukum nasional adalah hukum yang dibentuk, dimiliki bangsa
Indonesia dan berlaku menyeluruh bagi warga negara.
Pembaruan terhadap Hukum Nasional Indonesia berdasarkan landasan konstitusional
dan filosofis-sosiologis. Landasan konstitusional merupakan landasan untuk mewujudkan
hukum yang adil dan berkepastian hukum sesuai dengan cita-cita hukum masyarakat Islam
Indonesia. Selain itu, pembaruan hukum di Indonesia juga harus dipahami sebagai bagian dari
pembangunan hukum nasional. Sebagaimana termaktub dalam Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Nasional tahun 2005-2025 dinyatakan bahwa pembangunan hukum diarahkan untuk
meningkatkan kepastian hukum yang berlaku dan perlindungan hukum, penegakkan hukum
dan HAM, kesadaran hukum, serta pelayanan hukum yang beresensi keadilan dan kebenaran,
ketertiban dan kesejahteraan dalam rangka penyelenggaraan negara yang semakin tertib,
teratur, lancar, serta berdaya saing global.
3
Muh. Tahmid Nur, Maslahat dalam Hukum Pidana Islam, Jurnal Diskursus Islam, Vol. 1, No. 2,
Agustus 2013, hlm 290
4
Muhammad Tahmid Nur, Menggapai Hukum Pidana Ideal Kemaslahatan Pidana Islam dan
Pembaruan Hukum Pidana Nasional, (Yogyakarta : Deepublish, 2018), hlm 333
5
Said Agil Husin al-Munawar, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial , (Jakarta : Pernama-dani, 2004), hlm
8
3. Secara sosiologis pembaruan hukum di Indonesia juga didasarkan pada fungsi hukum
yang harus memainkan fungsi kontrol sosial, rekayasa sosial dan kesejahteraan sosial. Maka
hukum harus selalu berubah dan berkembang sejalan dengan perubahan dan perkembangan
masyarakat. Kesadaran hukum masyarakat yakni nilai-nilai yang tumbuh dan hidup dalam
masyarakat tentang hukum yang mencakup pengetahuan, pemahaman, penghayatan,
kepatuhan atau ketaatan terhadap hukum. Singkatnya, nilai-nilai tersebut merupakan konsepsi
mengenai sesuatu yang dipandang baik dan yang dianggap buruk. Dengan demikian, hukum
merupakan konsepsi abstrak dalam diri manusia mengenai keserasian antara keterikatan
dengan ketentraman yang diharapkan dengan melihat indikator-indikator yang ada. Dan
indikator-indikator tersebut dapat dijadikan panduan dan pedoman dalam membangun dan
membentuk hukum baru.
Maka dapat disimpulkan bahwa efektifitas berlakunya sebuah hukum sangat ditentukan
oleh tiga aspek yaitu: aspek yuridis (pembentukannya sesuai prosedur), aspek sosiologis
(sesuai dengan kondisi sosial masyarakat), aspek filosofis (sesuai dengan cit-cita hukum).
Begitu pula, apabila hukum mampu berjalan secara efektif harus didukung oleh tiga elemen
penting yitu: struktur hukum (institusi penegak hukum), substansi hukum (norma hukum), dan
budaya hukum (sikap masyarakat terhadap hukum).6
Pembaruan atau pembangunan Sistem Hukum Pidana Nasional harus dibangun dalam
konteks ke-Indonesiaan untuk memenuhi kebutuhan di masa mendatang. Melalui hukum
pidana hendak dibangun kebudayaan hukum yang sehat dan maju dengan mengindahkan
kodrat manusia sebagai makhluk yang berketuhanan berkemanusiaan, menjujung tinggi
persatuan, mengedepankan musyawarah untuk mewujudkan keadilan sosial.
Secara politik kita telah terbebas sari belenggu penjajah, namun secara ideologis nilai-
nilai kolonial masih tetap tertanam melalui cara berpikir yang bernuansa liberalisme dan
individualisme. Budaya hukum Indonesia menjadi asing dalam Sistem Hukum Pidana yang
dipraktikkan selama ini. Meskipun diyakini bahwa tindakan-tindakan progresif telah dilakukan
oleh sebagian aparatur negara, tapi belum merupakan gerakan sistematik untuk melahirkan
sistem hukum yang progresif yang berpihak kepada kebenaran dan keadilan.
Penegakkan hukum progresif, dimulai dengan kebijakan legislatif yang progresif,
dengan menyampingkan kepentingan sektoral untuk membangun Sistem Hukum Nasional
6
Junaidi Abdillah, Filsafat Hukum Pidana Islam; Kajian Pidana Hudud dan Aplikasinya di Indonesia
Jilid 1, (Semarang : Mutiara Aksara, 2021), hlm 48-52
4. yang menjadi tuntutan sejarah sebagai amanat kemerdekaan. Kebijakan legislatif tidak cukup
hanya mempertimbangkan kemajuan di sektor tertentu dengan mengabaikan sektor lain.
Kemajuan di bidang iptek tidak boleh mengabaikan pembangunan nilai-nilai spiritualitas atau
moralitas yang baik dalam berhukum. Karena kemajuan di bidang iptek apabila tidak diimbangi
dengan pembangunan di bidang spiritualitas atau moralitas akan menimbulkan degradasi dan
dekandensi yang memprihatinkan.
Hukum Pidana harusnya berada di barisan terdepan mewujudkan masyarakat yang
dicita-citakan. Hukum pidana secara konseptual harus dipandang sebagai sarana perubahan
masyarakat (social engineering) maupun sebagai sarana integrasi (law asa an integrative
mechanism). Menyelesaikan konflik secara damai merupakan tujuan pemidanaan yang
dilandasi oleh ide pengayoman yang menjadi karakteristik bangsa Indonesia dalam berhukum.
Ide itu perlu dikembangkan dalam tiap langkah pembentukan dan penegakkan hukum.7
Syariat Islam diturunkan bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan manusia, baik
dalam kehidupan dunia maupun kehidupan akhirat. Mewujudkan kemaslahatan tersebut telah
menjadi tugas risalah yang diemban oleh Nabi Saw dan para ulama sebagai pewaris amanat
tersebut. Rasulullah Saw dan sahabatnya telah memberikan contoh dalam merealisasikan
tujuan syariat atau maslahat melalui metode istinbat hukum. Perkembangan zaman dan
perbedaan tempat dan waktu telah menuntut lahir dan berkembangnya berbagai cara dalam
mengistinbatkan hukum atau metode berijtihad. Hal tersebut dilakukan oleh para ulama sebagai
manusia yang memilki otoritas dan kemampuan khusus dalam mewujudkan tujuan syariat.
Pengertian al-maslahah secara umum seperti yang dikemukakan oleh Izzuddin Abd al-
Salam, al-maslahah yaitu al-masalih (bentuk jamak al-maslahah) adalah segala bentuk
kebaikan, manfaat dan kebajikan. Sedangkan lawan katanya al-mufasid (bentuk jamak al-
mafsadat) adalah segala bentuk keburukan, kemudaratan dan dosa.
Pengertian al-maslahah juga dikemukakan oleh Al-Ghazali dalam kitabnya al-
Mustasfa fi Ilmu al-Usul, al-maslahah yakni sebagai usaha untuk mendapatkan manfaat dan
menolak mudarat. Namun dalam konteks ini arti al-maslahah adalah memelihara tujuan syariat
untuk mewujudkan lima hal, yaitu: memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Terpeliharanya kelima hal tersebut dan mencegah rusaknya adalah maslahat.
Keistimewaan yang dimiliki oleh hukum Islam pada umumnya, karena tujuan
kemaslahatan yang diembannya berbeda dengan kemaslahatan yang ada dalam hukum
7
M. Ali Zaidan, Menuju Pembaruan Hukum Pidana, (Jakarta : Sinar Grafika, 2015), hlm 379-380
5. selainnya. Sekurang-kurangnya ada tiga hal yang menjadikan istimewa kemaslahatan yang
diemban oleh hukum Islam. Pertama, pengaruh kemaslahatan dalam hukum Islam tidak hanya
dalam dimensi kehidupan dunia, tapi juga berpengaruh terhadap kehidupan akhirat. Kedua,
kemaslahatan dalam hukum Islam tidak hanya mencakup dimensi fisik (materi), tapi juga
berdimensi ruhi (immateri) bagi manusia. Ketiga, kemaslahatan agama dalam hukum Islam
mendapat posisi paling utama dan mendasar, karena mendasari semua kemaslahatan termasuk
kemaslahatan lainnya.8
Secara rinci jenis kemaslahatan dari sudut pandang Hukum Pidana Islam terdapat
delapan jenis kebutuhan mendasar bagi manusia, yakni meliputi kebutuhan pada: agama yang
terlindungi, jiwa yang selamat, akal yang sehat, keturunan yang baik, kehormatan yang
dihargai, harta yang terpelihara, kesatuan atau jamaah yang utuh, dan pemerintahan yang
berdaulat untuk melaksanakan tugas serta menjaga berbagai kebutuhan dasar sebelumnya.
Tujuan Hukum Pidana Islam tidak hanya sebagai retribution (pembalasan) semata,
namun juga memiliki tujuan mulia lainnya yakni sebagai deterrence (pencegahan) dan
reformation (perbaikan), serta mengandung tujuan al-tahzib (pendidikan) bagi masyarakat.9
Tujuan Hukum Pidana Islam merupakan satu kesatuan utuh dalam rangka mewujudkan
kemaslahatan manusia.
Ulama mengkategorikan tindak pidana, yaitu kejahatan terhadap agama, jiwa, akal,
kehormatan, dan harta manusia. Kejahatan atau tindak pidana tersebut merupakan bentuk
perlawanan terhadap maqasid al-syariah. Dalam hal ini, hukum kisas mengandung aturan-
aturan berkenaan dengan kejahatan terhadap jiwa, baik berupa pembunuhan maupun dalam
bentuk penganiayaan beserta penanganannya.
Pada umumnya pakar hukum Islam menyatukan pembahasan kisas dengan diyat,
karena secara lebih luas, tidak semua tindak pidana terhadap jiwa dan badan berakhir dengan
kisas. Bahkan hanya dua dari lima jenis kejahatan tersebut yang dapat divonis kisas, yakni pada
tindak pidana pembunuhan yang disengaja dan penganiayaan yang disengaja. Sedangkan tiga
tindak pidana kisas lainnya menurut ulama hanya dijatuhi hukuman diyat sesuai ketentuannya
dalam Hukum Pidana Islam. Dari ketentuan tersebut kemudian memunculkan pandangan
8
Muh. Tahmid Nur, Maslahat dalam Hukum Pidana Islam, Jurnal Diskursus Islam, Vol. 1, No. 2,
Agustus 2013, hlm 291
9
Satria Efendi M. Zein, Prinsip-Prinsip Dasar Hukum Jinayat dan Permasalahan Penerapannya Masa
Kini, Mimbar Hukum, No. 20, (Jakarta : Al-Hikmah, 1995), hlm 32
6. bahwa hukuman kisas merupakan hukuman maksimal yang tidak harus dijatuhkan pada setiap
peristiwa pembunuhan dan penganiayaan.
Ketentuan syariat mengenai hukum kisas mengandung tujuan mulia untuk
kemaslahatan manusia, yakni sebagai hukuman pembalasan yang setimpal (sebagai bagian dari
makna dari makna adil), dengan garansi kehidupan dari Tuhan dalam praktiknya. Hukum kisas
yaitu bagian dari Hukum Pidana Islam yang selalu berpegang teguh kepada asas umum yang
telah menjadi satu kesatuan dengannya, yakni asas keadilan. Asas tersebut mendasari setiap
proses pemeriksaan serta sasaran yang akan dicapai dari proses praktiknya.10
Tujuan pemidanaan dalam Islam bukan dilatarbelakangi oleh dendam kesumat, ataupun
kemarahan dan hawa nafsu para penegak hukum dalam menjatuhkan hukuman, namun
hukuman tersebut memiliki tujuan maulia yakni sebagai pembelajaran atau pendidikan hukum
bagi seluruh masyarakat. Mungkin sepintas ketika seseorang mengetahui adanya hukuman
mati, maka dari sudut pandang dirinya yang sempit akan berpendapat bahwa hukuman tersebut
sangat kejam. Namun bila mereka dapat memahami bahwa yang diberi hukuman mati hanyalah
diperuntukkan kepada orang yang melakukan pembunuhan dan meresahkan masyarakat,
apalagi diantara korban merupakan anggota keluarganya, maka masyarakat akan bersyukur dan
berterima kasih dengan adanya hukuman tersebut.
Jaminan kehidupan dalam kisas merupakan garansi terhadap penegakkan hukum
dengan ketentuan yang ketat, sehingga tidak terdapat syubhat di dalamnya. Pernyataan yang
menuding hukum kisas sebagai hukuman yang melanggar HAM seharusnya dikaji kembali,
karena yang melanggar HAM adalah mereka yang dengan sengaja membunuh orang lain tanpa
adanya alasan yang dapat dibenarkan oleh hukum. Melindungi dan memelihara pelaku
pembunuhan juga merupakan pelanggaran masyarakat luas yang selalu merasa terancam
jiwanya. Karenanya dengan pemberlakuan hukuman kisas, Allah menjamin terwujudnya
kehidupan yang sesungguhnya bagi manusia.11
Dari segi peristilahannya, jarimah hudud telah menggambarkan sebagai jenis jarimah
yang diundangkan oleh syariat secara jelas. Tindak pidana hudud meliputi: tindak pidana al-
zina, al-qazaf, syurb al-khamr, al-sirq, al-hirabah, al-riddah, dan al-baqhy. Perkara yang
dijelaskan serta ketentuan hukumannya di dalam al-Qur’an adalah jarimah al-zina, qazaf,
10
Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, 2007), hlm 3
11
Muh. Tahmid Nur, Maslahat dalam Hukum Pidana Islam, Jurnal Diskursus Islam, Vol. 1, No. 2,
Agustus 2013, hlm 295-296
7. pencurian, dan perampokan. Adapun jarimah lainnya dijelaskan ketentuan hukumannya
melalui hadis Nabi Saw dan ijma sahabat.
Aturan hudud dalam Hukum Pidana Islam memberi jaminan kemaslahatan karena
sekurang-kurangnya mengandung dua kepastian hukum, yakni kepastian legitimasi dan
kepastian eksekusi (vonis). Kepastian legitimasi dipunyai oleh semua jenis hukum pidana
positif yang bertujuan agar masyarakat mengetahui perbuatan apa yang boleh dan tidak boleh
dilakukan, dan hakim berwenang memeriksa dan menjatuhkan hukuman atas pelanggaran yang
dilakukan tersebut. Kepastian eksekusi dimiliki oleh Hukum Pidana Islam khususnya dalam
ketentuan hudud, dan hampir tidak dimiliki oleh ketentuan pidana lain. Kepastian eksekusi
memiliki tujuan memberi dasar dan pengetahuan jelas terhadap seluruh masyarakat dan para
hakim tentng jenis hukuaman yang pasti akan dijatuhkan atas setiap tindak pidana.
Ketentuan hudud hanya terlihat tegas dan mungkin terkesan kejam dalam aturan
tertulisnya, tetapi substansinya adalah kasih sayang dan kebaikan bagi seluruh manusia. Fakta
dan sejarah membuktikan, bahwa di zaman dan negara yang menerapkannya, kekejamannya
hanya tinggal dalam ketentuan undang-undang dan hampir tidak pernah dilaksanakan sebab
kurangnya kasus pidana yang terjadi. Selain itu, ketegasan dalam aturan hudud tetap diperlukan
dikarenakan merupakan kemaslahatan bagi kehidupan manusia.12
Ketentuan takzir merupakan bagian terbesar dari Hukum Pidana Islam yang bersifat
fleksibel untuk melengkapi pilar-pilar hukum yang sudah dibangun kokoh dengan ketentuan
kisas dan hudud. Sifat fleksibel dalam takzir menjadikan Hukum Pidana Islam dapat mengisi
setiap ruang dan zaman secara sempurna, karena permasalahan pidana yang luput dari hudud
dan kisas dapat ditangani secara maksimal dengan takzir.
Takzir memiliki nilai-nilai pembalasan yang setimpal bagi pelaku tindak pidana, karena
dengannya setiap tindak pidana akan mendapat balasan, termasuk ketika takzir menjadi
hukuman yang berdiri sendiri. Termasuk juga perbuatan yang dianggap sepele, apabila hakim
meyakini suatu perbuatan mengandung unsur-unsur tindak pidana atau maksiat maka hakim
dapat menjatuhkan takzir untuk mendidik pelaku agar tidak mengulanginya.
Apabila ditinjau dari definisinya, takzir lebih dekat pada definisinya sebagai hukuman
yang bersifat mencegah dan memperbaiki dari pada sebagai hukuman pembalasan.13
Sebagai
12
Ibid, hlm 296
13
Al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyah, Prinsip-Prinsip Penyelenggaraan Negara Islam, (Jakarta :
Darul Falah, 2000), hlm 394
8. hukuman yang mendidik takzir merupakan usaha melahirkan masyarakat sadar hukum sejak
dini melalui upaya pencegahan dan perbaikan.
Hukum pidana Islam mempunyai peluang cukup besar dalam menyokong upaya
pembaruan Hukum Pidana Nasional. Terdapat beberapa faktor pendukung terakomodirnya
Hukum Pidana Islam dalam Hukum Pidana Nasional, yaitu: Pertama, Hukum Islam diakui dan
memiliki kedudukan penting dalam perundang-undangan Indonesia, baik sebagai sumber
utama, penyaring, maupun sebagai hukum yang berdiri sendiri. Kedua, jika dibandingkan
dengan hukum barat, hukum Islam lebih mengakar di Indonesia dan kebudayaan Indonesia
lebih akrab kepada Hukum Islam daripada hukum barat yang dipaksakan hadir di Indonesia
melalui penjajahan. Ketiga, rakyat Indonesia mayoritas beragama Islam, menjadi potensi besar
dalam menyuarakan keinginan untuk memiliki hukum pidana yang sesuai dengan nilai Islam.
Keempat, keadaan Indonesia yang tegah mengalami krisis multidimensi, termasuk
meningkatnya kejahatan dan maksiat dalam setiap tingkatan kehidupan. Hukum pidana barat
terbukti tidak efektif menanganinya setelah sekian lama berlaku di Indonesia. 14
Selain faktor pendukung terwujudnya Hukum Pidana Islam di Indonesia, juga terdapat
faktor penghambatnya baik yang bersifat intern maupun ekstern. Faktor penghambat yang
bersifat intern meliputi: Pertama, umat muslim masih ada yang fobia terhadap Hukum Pidana
Islam dan beranggapan Hukum Pidana Islam tidak cocok dengan zaman sekarang, serta ragu
terhadap keefektifan Hukum Pidana Islam jika diterapkan di Indonesia yang masyarakatnya
majemuk. Kedua, umat muslim yang setuju dengan penerapan Hukum Pidana Islam belum
menyatu pada satu metode penerapan tertentu, bahkan satu pihak mengklaim metodenya
sebagai satu-satunya metode yang paling efektif. Misalnya satu pihak mengklaim bahwa untuk
menegakkan Hukum Pidana Islam, terlebih dahulu melalui pembentukan negara Islam, ada
pula yang mengklaim harus dengan kekhalifahan Islam, dan pihak lainnya memilih langsung
melakukan tindakan memberantas maksiat dengan merusak tempat yang dianggap digunakan
untuk maksiat.15
Faktor penghambat yang bersifat ekstern meliputi: Pertama, masih besar upaya untuk
mempertahankan status qou perundang-undangan menurut ketentuan-ketentuan hukum barat.
Kedua, masyarakat non muslim masih menyimpan image negatif terhadap hukum Islam, dan
image tersebut diperbesar oleh tindakan perusakan dan kekerasan yang dilakukan oleh umat
14
Muhammad Tahmid Nur, Menggapai Hukum Pidana Ideal Kemaslahatan Pidana Islam dan
Pembaruan Hukum Pidana Nasional, (Yogyakarta : Deepublish, 2018), hlm 376-381
15
Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam, (Bandung : al-Syamil Press, 2000), hlm 95
9. Islam. Ketiga, sangat beragamnya budaya serta luasnya wilayah nusantara sehingga sulit untuk
dijangkau yang akan memperlambat proses sosialisasi.16
Meneliti faktor pendukung dan faktor penghambat yang ada, besar peluangnya
terakomodir Hukum Pidana Islam dalam Hukum Pidana Nasional, terlebih lagi apabila faktor
penghambat dapat diperkecil. Faktor penghambat utama terdapat pada intern umat muslim
sebagai masyarakat mayoritas Indonesia, dan solusinya yaitu kesatuan pemahaman dan
kemauan dalam mempraktikkan Hukum Pidana Islam dan menjadikannya sebagai bagian dari
Hukum Pidana Nasional.17
Kesimpulan
Hukum Pidana yang berlaku di Indonesia mayoritas bersumber dari peraturan yang
terdapat dalam KUHP, KUHP merupakan hukum pidana peninggalan dari negeri Belanda.
Diakui KUHP yang berlaku sekarang ini, dianggap kurang mewakili budaya Indonesia yang
ketimuran dan dianggap pula tidak memadai lagi untuk merespon perkembangan masyarakat
dan peradabannya yang sudah jauh berbeda. Oleh karena itu diperlukan pembaruan terhadap
hukum pidana Nasional.
Hukum Pidana Islam disyariatkan untuk memelihara dan mewujudkan kemaslahatan
manusia, karena dalam peraturannya bertujuan untuk menjaga agama, jiwa, akal, keturunan,
kehormatan, kesatuan jama’aah, pemerintahan yang berdaulat, dan harta sebagai kebutuhan
mendasar bagi manusia dalam semua tingkatannya (al-daruriyah, al-hajjiyah) dan dari segala
hal yang bisa merusaknya (al-tahsiniyah).
Pembaruan materi Hukum Pidana Nasional dengan nilai-nilai Hukum Pidana Islam
memiliki peluang yang cukup signifikan. Sebab Hukum Islam merupakan sumber utama
perundang-undangan di Indonesia, serta Hukum Pidana Islam mempunyai semua persyaratan
yang dibutuhkan dalam pembaruan tersebut, seperti materi hukum pidana yang efektif dengan
asas hukum yang bersifat universal.
16
Muh. Tahmid Nur, Maslahat dalam Hukum Pidana Islam, Jurnal Diskursus Islam, Vol. 1, No. 2,
Agustus 2013, hlm 310
17
Ibid, hlm 312
10. Daftar Pustaka
Abdillah, Junaidi, Filsafat Hukum Pidana Islam; Kajian Pidana Hudud dan Aplikasinya di
Indonesia Jilid 1, (Semarang : Mutiara Aksara, 2021)
Ali, Zainuddin, Hukum Pidana Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, 2007)
Al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyah, Prinsip-Prinsip Penyelenggaraan Negara Islam,
(Jakarta : Darul Falah, 2000)
al-Munawar, Said Agil Husin, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial , (Jakarta : Pernama-dani,
2004)
Farida, Anis, Esensi Hukum Pidana Islam Dalam Sistem Hukum Nasional Indonesia, Al-
Jinayah: Jurnal Hukum Pidana Islam, Vol. 5, No. 2, Desember 2019
Nur, Muh. Tahmid, Maslahat dalam Hukum Pidana Islam, Jurnal Diskursus Islam, Vol. 1, No.
2, Agustus 2013
Nur, Muhammad Tahmid, Menggapai Hukum Pidana Ideal Kemaslahatan Pidana Islam dan
Pembaruan Hukum Pidana Nasional, (Yogyakarta : Deepublish, 2018)
Santoso, Topo, Menggagas Hukum Pidana Islam, (Bandung : al-Syamil Press, 2000)
Zaidan, M. Ali, Menuju Pembaruan Hukum Pidana, (Jakarta : Sinar Grafika, 2015)
Zein, Satria Efendi M., Prinsip-Prinsip Dasar Hukum Jinayat dan Permasalahan Penerapannya
Masa Kini, Mimbar Hukum, No. 20, (Jakarta : Al-Hikmah, 1995)