Ringkasan dokumen tersebut adalah:
1. Dokumen tersebut membahas tentang korupsi yang terjadi di sektor perpajakan khususnya kasus Gayus Tambunan dan upaya pemerintah dalam mencegah dan memberantas korupsi di sektor tersebut.
2. Ada beberapa kendala yang dihadapi pemerintah dalam memberantas korupsi perpajakan seperti regulasi yang rumit dan lemahnya sistem pelaporan pelanggaran.
3
1. Quiz BE & GG Minggu 13:
Hubungan hukum dalam melakukan pekerjaan memunculkan kewenangan bagi pekerja
untuk melakukan kewajibannya. Dalam rangka menjalankan kewenangannya itu selalu
terbuka peluang terjadinya pelanggaran terhadap aturan-aturan yang telah ditetapkan,
baik aturan internal maupun eksternal (ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku). Hubungan kerja yang dilakukan dapat berdampak kepada kelalaian yang
disebabkan oleh faktor manusia (pekerja) dalam mengimplementasikan hubungan
kerja. Wujud penyimpangan kewenangan itu salah satunya dapat mengarah kepada
tindak pidana penggelapan, suatu tindakan yang berangkat dari kepentingan-
kepentingan yang keluar dari tujuan yang telah digariskan, baik dalam perjanjian
kerja maupun pencapaian tujuan perusahaan.
Permasalahan korupsi yang melanda negeri ini bagaikan sebuah penyakit yang tidak
akan pernah sembuh. Berbagai fakta dan kenyataan yang diungkapkan oleh media
seolah-olah merepresentasikan jati diri bangsa yang dapat dilihat dari budaya korupsi
yang telah menjadi hal yang biasa bagi semua kalangan, mulai dari bawah hingga
kaum elite.
Salah satunya adalah kasus korupsi yang dilakukan oleh seorang pegawai pajak
golongan IIIA, yang sempat menggegerkan Mabes Polri, Gayus Tambunan.
Keterkejutan semua orang terhadap apa yang telah dilakukan oleh Gayus Tambunan
adalah suatu hal yang wajar. Karena apabila kita melihat dari statusnya yang hanyalah
seorang pegawai negeri biasa, tetapi memiliki tabungan yang begitu banyak, senilai Rp.
25 Miliar, tentu saja hal ini mengundang tanya: Apalagi kalau bukan korupsi? Padahal,
pekerjaan Gayus sehari-hari cuma menjadi penelaah keberatan pajak (banding)
perorangan dan badan hukum di Kantor Pusat Direktorat Pajak. Mengingat gaji pegawai
pajak setingkat golongan IIIA hanyalah berkisar antara Rp 1.655.800 sampai Rp
1.869.300 per bulan, hal ini menegaskan bahwa seorang Gayus Tambunan pasti telah
melakukan kecurangan yang dapat merugikan Negara dan masyarakat banyak.
Secara etimologi, kata korupsi berasal dari bahasa Latin, yaitu corruptus yang
merupakan kata sifat dari kata kerja corrumpere yang bermakna menghancurkan (com
memiliki arti intensif atau keseungguh-sungguhan, sedangkan rumpere memiliki arti
merusak atau menghancurkan. Dengan gabungan kata tersebut, dapat ditarik sebuah
arti secara harfiah bahwa korupsi adalah suatu tindakan menghancurkan yang
dilakukan secara intensif. Dalam dictionary.reference.com, kata corruption diartikan
sebagai to destroy the integrity of; cause to be dishonest, disloyal, etc., esp. by bribery
(Lihat “Corrupt | Define Corrupt at Dictionary.com”. Dictionary.reference.com. Retrieved
2010-12-06.)
Korupsi tidak akan pernah bisa kita pisahkan dari apa yang dinamakan kekuasaan. Di
mana ada kekuasaan, pasti ada korupsi. Hal ini telah menjadi kodrat dari kekuasaan itu
2. sendiri, yang menjadi “pintu masuk” bagi terjadinya tindakan korupsi. Kekuasaan dan
korupsi yang selalu berdampingan, layaknya dua sisi mata uang, merupakan hakikat
dari pernyataan yang disampaikan oleh Lord Acton, dari Universitas Cambridge, “Power
tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely.
Sesuai dengan definisinya, korupsi sebagai prilaku yang menyimpang merupakan suatu
tindakan yang melanggar aturan etis formal yang dilakukan oleh seseorang dalam
posisi otoritas publik (penguasa). Korupsi cenderung dilakukan oleh orang yang
memiliki kuasa atau wewenang terhadap sesuatu. Apabila seseorang tersebut tidak
memiliki kuasa, kecil kemungkinan bagi dirinya untuk melakukan korupsi. Namun,
merupakan suatu kemustahilan bagi manusia yang tidak memiliki sebuah ‘kekuasaan’.
Selain itu, ciri paling utama dari korupsi adalah tindakan tersebut dilakukan untuk
kepentingan dan keuntungan pribadi semata dan merugikan pihak lain di luar dirinya.
Contoh paling mudah adalah seorang mahasiswa yang bolos kuliah dan meminta
temannya untuk mengisi buku hadir. Sejatinya, ia telah melakukan korupsi karena ia
memiliki kuasa terhadap kehadiran dan ketidakhadiran dirinya di dalam kelas. Dia
melakukan tindakan tersebut untuk kepentingannya sendiri.
Melihat konteks kasus-kasus korupsi yang terjadi di Indonesia, korupsi kelas kakap,
merupakan korupsi serius yang merugikan negara dan masyarakat banyak. Korupsi
yang dimaksud ini juga tidak lepas dari masalah kekuasaan. Para pejabat publik telah
dengan sengaja menyalahgunakan wewenangnya untuk melakukan tindakan
melanggar hukum untuk kepentingan pribadi. Seorang pejabat publik yang memegang
kekuasaan (memiliki wewenang) secara otomatis memiliki daya untuk mempengaruhi
kebijakan yang akan dikeluarkan. Sesuai dengan sifat dari kekuasan (kekuasaan politik)
itu, yaitu mengendalikan tingkah laku manusia (masyarakat) secara koersif (memaksa)
agar supaya masyarakat bersedia tunduk kepada negara (pemerintah). Dalam hal ini,
setiap kebijaksanaan yang diberlakukan sejatinya merupakan sebuah ketentuan atau
aturan yang sesuai dengan tujuan-tujuan pemegang kekuasaan sendiri. Dari sini lah
peluang untuk terjadinya tindakan korupsi besar sekali.
Mengacu pada kasus korupsi Gayus Tambunan, dapat dijelaskan bahwa tindakan
korupsi yang dilakukan oleh Gayus itu dapat terlaksana karena dia memiliki suatu
kekuasaan dan wewenang. Seperti yang kita ketahui bahwa Gayus bekerja di kantor
pusat pajak, memegang jabatan sebagai Penelaah Keberatan Direktorat Jenderal
Pajak. Posisi yang demikian sangat memudahkannya untuk memanipulasi data,
mempengaruhi suatu kebijakan sehingga ia dapat meraup keuntungan yang besar
untuk dirinya sendiri. Menurut sumber Media Indonesia, modus Gayus melakukan
pelanggaran dengan memanfaatkan wewenangnya bermacam-macam. Dalam
posisinya sebagai pegawai Sub Direktorat Banding Direktorat Keberatan dan Banding,
pada pertengahan 2007 Gayus berhasil memenangkan lebih dari 40 kasus banding
perusahaan. Berkaitan dengan ini, Gayus memiliki peluang besar untuk memenangkan
3. Ditjen Pajak dalam pengadilan pajak, yaitu dengan memainkan selisih pemenangan
banding. Misalnya seorang wajib pajak seharusnya membayar pajak Rp 3 Miliar. Lalu
dia keberatan, ditolak lalu banding. Di pengadilan pajak itu Gayus memenangkan
banding wajib pajak. Selain itu, menurut Indonesia Corruption Watch (ICW), diduga
modus Gayus memanipulasi pajak dengan bermain kurs rupiah saat menangani pajak
Bumi Resources tahun 2002-2005. Hasil manipulasi tersebut menyebabkan kewajiban
pajak berkurang hingga US$ 164,627 ribu (www.mediaindonesia.com, November
2009). Dari perkara-perkara seperti ini lah Gayus berhasil mendapatkan keuntungan
tersebut. Dia memiliki kepintaran dan kelihaian yang merupakan ‘senjata’ dari sebuah
kekuasaan dan kewenangan.
Ada banyak faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi, antara lain adalah
korporatisme. Korporatisme, dalam khasanah literature ekonomi-politik, sering
disepadankan dengan praktek politik di mana pemerintah atau penguasa berinteraksi
secara tertutup (idak diketahui oleh masyarakat) dengan sektor swasta besar
(pengusaha kelas kakap). Dalam ketertutupan tersebut, transaksi ekonomi mapun
politik terjadi hanya untuk kepentingan segelintir kelompok kepentingan (interest group)
yang terlibat di dalamnya. Biasanya transaksi politik maupun eknomi yang seperti ini
terjadi secara informal dalam tatanan hukum yang kabur atau tatanan hukum yang
memihak kepentingan kelompok kecil tersebut. Adanya persengkongkolan seperti ini
membuka peluang besar bagi hukum untuk dipermainkan (mafia hukum) sehingga
hukum seorah-olah telah dipegang oleh tangan-tangan tertentu (Lihat Didik J. Rahbini,
1996: 92).
Dalam hal penanganan masalah korupsi seorang pegawai pajak golongan IIIA,
Pendekatan Supervisi, yang mana adalah melakukan investigasi bersama dan berbagi
data untuk mempercepat penanganan kasus. Pembagian data yang dimaksud
melibatkan data yang diambil dari Kementerian Keuangan dan Pusat Pelaporan
Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK). dalam menangani kasus Gayus pihaknya
baru bisa membuktikan pasal-pasal gratifikasi dan pencucian uang. Untuk itu, dengan
dilakukannya join investigasi pasal-pasal lainnya seperti korupsi dan penyalahgunaan
kewenangan diharapkan bisa terbukti.
Diperoleh tiga kesimpulan dari penelitian ini. Pertama, mekanisme pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana korupsi di sektor pajak dilakukan pemerintah melalui dua
instrumen hukum, yakni Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2011 dan Instruksi Presiden
Nomor 17 Tahun 2011. Untuk melaksanakan Inpres Nomor 1 Tahun 2011, pemerintah
telah melakukan hal-hal sebagai berikut:
1. penanganan secara hukum kasus-kasus penyimpangan pajak hingga tuntas di
pengadilan,
4. 2. peningkatan peran justice collaborator dan whistle blower untuk mengungkap
perkara,
3. penelusuran aset hasil kejahatan untuk dapat disita oleh negara,
4. pembenahan secara sitemik di berbagai instansi pemerintah agar pada masa
mendatang tidak terjadi lagi penyimpangan pajak.
Kedua, upaya pemerintah untuk mencegah dan memberantas tidak pidana korupsi di
sektor perpajakan telah dilakukan, namun masih menghadapi kendala-kendala sebagai
berikut:
a. Kendala yuridis dalam pemberantasan korupsi di sektor perpajakan, yakni penerapan
asas lex specialis systematic pada peraturan perundang-undangan perpajakan, Hukum
Pajak yang rumit dan cepat berubah, serta penanganan perkara tindak pidana korupsi
di sektor perpajakan yang seringkali berbenturan dengan putusan peradilan pajak.
b. Penerapan whistle blowing system di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak dan
penegakan disiplin pegawai, penegakan disiplin pegawai Direktorat Jenderal Pajak.
c. Kendala dalam penyidikan kasus tindak pidana korupsi di sektor perpajakan:
penyidikan tindak pidana perpajakan dan tindak pidana korupsi di sektor perpajakan.
d. Kendala dalam pengenaan sanksi pidana terhadap para pelaku tindak pidana
perpajakan dan tindak pidana korupsi di sektor perpajakan:
1) Kendala dalam penerapan sanksi administrasi dan sanksi pidana dalam UU tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
2) Kendala dalam penerapan sanksi pidana di sektor perpajakan yang berkaitan
dengan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Ketiga, konsepsi pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi di sektor
perpajakan untuk masa yang akan datang adalah sebagai berikut:
• Mengefektifkan peran penyidik pajak dalam menemukan unsur tindak pidana
korupsi.
• Pengaturan mekanisme whistle blowing system dan justice collaborator dalam
sistem peradilan pidana pajak,
• Maksimalisasi penerapan whistle blowing system di direktorat pajak.
• Penerapan mekanisme perampasan aset koruptor dan pembuktian terbalik.
• Dan pengunaan rezim hukum anti pencucian uang (money laundry).
5. Dalam pencegahan dan pemberatasan tindak pidana di sektor perpajakan hendaknya
pemerintah dan penegak hukum melakukan hal-hal sebagai berikut:
• Penegak hukum perlu memprioritaskan penanganan kasus korupsi di sektor
perpajakan yang tergolong kasus besar (big fish).
• Dirjen Pajak sebagai ujung tombak pencegahan korupsi di sektor perpajakan perlu
meningkatkan disiplin pegawainya melalui sistem reward and punisment.
• Perlu memaksimalkan sistem pencegahan terjadinya tindak pidana korupsi di sektor
perpajakan melalui whistle blowing system yang efektif dan terintegrasi dalam sistem
perpajakan.
Sebagai upaya mengatasi kendala-kendala yang dihadapi dalam pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana perpajakan hendaknnya DPR dan Presiden perlu
mengambil kebijakan-kebijakan sebagai berikut:
❖ Membangun sistem hukum perpajakan yang komprehensif dan terintegrasi yang
memungkinkan penegakan hukum korupsi di sektor perpajakan menjadi jelas
dan terintegrasi dengan undang-undang pemberantasan korupsi yang lain
melalui harmonisasi dan sinkronisasi peraturan perundang-undangan.
❖ Mekanisme whistle blowing system dalam pencegahan korupsi di sektor
perpajakan yang diterapkan oleh Dirjen Pajak saat ini harus disempurnakan
melalui sistem kerja yang sistematis dan terintegrasi serta menjamin adanya
perlindungan terhadap hak-hak whistle blower dalam mengungkap korupsi di
sektor perpajakan.
Untuk mengatasi tindakan pencegahan korupsi salah satunya adalah Pemerintah perlu
membuat penegasan batasan pembayaran tunai dan non tunai (non cash payment).
Sistem non-cash payment dilakukan tanpa melibatkan uang dalam jumlah banyak
secara tunai dan dilakukan melalui lembaga perbankan. Di Amerika Serikat, membayar
tunai dalam jumlah besar merupakan hal yang tabu karena pelaku pembayaran jumbo
ini dapat dianggap sebagai bagian mafia. Di Indonesia, budaya malu apabila
membayar transaksi besar dalam bentuk tunai belum ada, bahkan dianggap hebat jika
membayar tunai utuk transaksi.
Fungsi pengaturan non-cash payment tidak hanya berguna untuk pencegahan korupsi.
Lebih dari itu, pencatatan transaksi pada sistem perbankan akan memudahkan Negara
untuk memungut pajak dari pelaku transaksi. Selama ini, Negara sulit untuk melacak
pelaku transaksi bernilai milyaran rupiah terkait pembelian property, perhiasan mewah,
surat berharga dan kendaraan. Dengan pencatatan non cash payment secara tertib,
Negara akan mudah melacak keabsahan transaksi. Penjual harus melaporkan nama
pembeli barang dan jasa mewah. Kalaupun kemudian Pemerintah mendapat laporan
transaksi barang dan jasa mewah, namun transaksi tersebut tidak terindikasi PMH
6. (Perbuatan Melanggar Hukum), maka pemungutan pajak atas transaksi tersebut bisa
dioptimalkan.
Pelaku korupsi melakukan tindak pidana korupsi karena terpacu untuk memiliki aset
properti, perhiasan dan mobil mewah. Agar hal tersebut tidak terjadi, kemudahan
membelanjakan uang hasil korupsi secara tunai untuk membeli aset-aset mewah harus
dicegah. Pengaturan non cash payment secara ketat akan memperkecil lubang-lubang
tindak pidana korupsi. Yang terpenting, kultur masyarakat untuk membayar non tunai
perlu ditumbuhkan demi pencegahan korupsi dan juga kepentingan penerimaan pajak.
Forum BE & GCG Minggu 13:
Pengertian korupsi Secara terminologi, kata korupsi berasal dari kata latin yaitu
Corruptus atau Corruption. Lalu menjadi Corruption karena diserap dalam bahasa
Inggris dan Prancis dan kemudian di Belanda korupsi disebut dengan korruptie,
sedangkan di Indonesia disebut korupsi (Hamzah, 1985). Secara esensi, menurut
Alatas (1987) bahwa pengertian korupsi sebagai pencurian yang melalui penipuan
dalam situasi yang mengkhianati kepercayaan. Korupsi merupakan wujud perbuatan
immoral dari dorongan untuk mendapatkan sesuatu menggunakan metode penipuan
dan pencurian. Poin penting yang harus anda tahu bahwa nepotisme dan korupsi
otogenik itu merupakan bentuk korupsi.
Pengertian Korupsi berdasarkan Bank Dunia bahwa korupsi adalah pemanfaatan
kekuasaan untuk mendapat keuntungan pribadi. Bila anda perhatikan dengan seksama
definisi korupsi ini maka kolusi, dan nepotisme merupakan bagian dari korupsi atau
bentuk korupsi itu sendiri (Kusuma, 2003).
Lalu bapak Asyumardi Mazhar menuliskan pengertian korupsi dalam artikelnya tentang
Pemberantasan korupsi menuju tata pemerintahan yang lebih baik bahwa pengertian
korupsi secara umum sebagai “berbagai tindakan gelap dan tidak sah (illicit or illegal
activities) untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau kelompok. Kemudian Pak
Asyumardi menambahkan bahwa pengertian korupsi berkembang menjadi
penyalahgunaan kekuasaan atau kedudukan publik untuk kepentingan pribadi.
Pengertian korupsi menurut Philip (1997) bahwa korupsi adalah tingkah laku dan
tindakan seseorang pejabat publik yang menyimpang dari tugas tugas publik formal
untuk mendapatkan keuntungan pribadi, atau keuntungan bagi orang orang tertentu
7. yang berkaitan erat dengan pelaku korupsi seperti keluarga koruptor, karib kerabat
koruptor, dan teman koruptor. Pengertian ini juga mencakup kolusi dan nepotisme
pemberian patronase lebih karena alasan hubungan kekeluargaan (ascriptive) daripada
merit. pengertian korupsi oleh Philip dipusatkan pada korupsi yang terjadi di kantor
publik.[1]
Bentuk dan Jenis Korupsi
Bentuk dan jenis korupsi menurut J.Soewartojo (1988) adalah :
1. Pungutan liar jenis tindak pidana, yaitu korupsi uang negara, menghindari pajak
dan bea cukai, pemerasan dan penyuapan
2. Pungutan liar jenis pidana yang sulit dibuktikan , yaitu komisi dalam kredit bank,
komisi tender proyek, imbalan jasa dalam pemberian izin-izin, kenaikan pangkat,
pungutan terhadap uang perjalanan, pungli pada pos-pos pencegahan di jalan,
pelabuhan dan sebagainya.
3. Pungutan liar jenis pungutan tidak sah yang dilakukan oleh Pemda, yaitu
pungutan yang dilakukan tanpa penetapan berdasarkan peraturan daerah, tetapi
hanya dengan surat-surat keputusan saja.
4. Penyuapan, yaitu seorang pengusaha menawarkan uang atau jasa lain kepada
seseorang atau keluarganya untuk suatu jasa bagi pemberi uang.
5. Pemerasan, yaitu orang yang memegang kekuasaan menuntut pembayaran
uang atau jasa lain sebagai ganti atau imbal balik fasilitas yang diberikan.
6. Pencurian, yaitu orang yang berkuasa yang menyalahgunakan kekuasaannya
dan mencuri harta rakyat, langsung atau tidak langsung
7. Nepotisme, yaitu orang yang berkuasa memberikan kekuasaan dan fasilitas
pada keluarga atau kerabatnya, yang seharusnya orang lain juga dapat atau
berhak bila dilakukan secara adil.
Faktor penyebab korupsi (Evi Hartanti, 2005 : 11) adalah :
1. Lemahnya pendidikan agama dan etika
2. Kolonialisme. Suatu pemerintahan asing tidak menggugah kesetiaan dan
kepatuhan yang diperlukan untuk membendung korupsi
8. 3. Kurangnya pendidikan. Namun kenyataan ya sekarang kasus-kasus korupsi di
Indonesia dilakukan oleh para koruptor yang memiliki kemampuan intelektual
yang tinggi, terpelajar, dan terpandang sehingga alasan ini dapat dikatakan
kurang tepat.
4. Kemiskinan. Pada kasus korupsi yang merebak di Indonesia, para pelakunya
bukan didasari oleh ke miskinan melainkan keserakahan, sebab mereka
bukanlah dari kalangan yang tidak mampu melainkan para konglomerat.
5. Tidak adanya sangsi yang keras
6. Kelangkaan lingkungan yang subur untuk pelaku antikorupsi
7. Struktur pemerintahan
8. Perubahan radikal. Pada saat sistem nilai mengalami perubahan radikal, korupsi
muncul sebagai suatu penyakit trasisional.
9. Keadaan masyarakat. Korupsi dalam suatu birokrasi bisa mencerminkan
keadaan masyarakat secara keseluruhan.
Akibat Korupsi
Akibat dari korupsi (Evi Hartanti, 2005 : 16) adalah :
1. Berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah
Apabila pejabat pemerintah melakukan korupsi mengakibatkan berkurangnya
kepercayaan terhadap pemerintah tersebut. Di samping itu negara lain juga lebih
mempercayai negara yang pejabatnya bersih dari korupsi, baik dalam kerjasama di
bidang politik, ekonomi, ataupun dalam bidang lainnya. Hal ini akan mengakibatkan
pembangunan di segala bidang akan terhambat khususnya pembangunan ekonomi
serta mengganggu stabilitas perekonomian negara dan stabiloitas politik.
2. Berkurangnya kewibawaan pemerintah dalam masyarakat
Apabila banyak dari pejabat pemerintah yang melakukan penyelewengan keuangan
negara, masyarakat akan bersikap apatis terhadap segala anjuran denqan tindakan
pemerintah. Sifat apatis masyarakat tersebut mengakibatkan ketahanan nasional akan
rapuh dan mengganggu stabilitas keamanan negara. Hal ini pernah terjadi pada tahun
1998 yang lalu, masyarakat sudah tidak mempercayai lagi pemerintah dan menuntut
agar presiden Suharto mundur dari jabatannya karena dinilai tidak lagi mengemban
9. amanat rakyat dan melakukan berbagai tindakan yang melawan hukum menurut
kacamata masyarakat.
3. Menyusutnya pendapatan negara
Penerimaan negara untuk pembangunan didapatkan dari dua sektor, yaitu dari
pungutan bea dan penerimaan pajak. Pendapatan negara dapat berkurang apabila
tidak diselamatkan dari penyelundupamn dan penyelewengan oleh oknum pejabat
pemerintah pada sektor-sektor penerimaan penagara tersebut.
4. Rapuhnya keamanan dan ketahanan negara
Keamanan dan ketahanan negara akan menjadi rapuh apabila para pejabat
pemerintah mudah disuap karena kekuatan asing yang hendak memaksakan ideologi
atau pengaruhnya terhadap bangsa Indonesia akan menggunakan penyuapan sebagai
suatu sarana untuk mewujudkan cita-citanya. Pengaruh korupsi juga dapat
mengakibatkan berkurangnya liyalityas masyarakat terhadap negara.
5. Perusakam mental pribadi
Seseorang yang sering melakukan penyelewengan dan penyalah gunaan wewenang
mentalnya akan menjadi rusak. Hal ini mengakibatkan segala sesuatu dihitung dengan
materi dan akan merlupakan segala yang menjadi tugasnya serta hanya melakukan
tindakan ataupun perbuatan yang bertujuan untuk menguntungkan dirinya atau orang
lain yang dekat dengan dirinya. Yang lebih bahaya lagi, jika tindakan korupsi ini ditiru
aqtau dicontoh oleh generasi muda Indonesia. Apabila hal ini terjadi maka cita-cita
bangsa untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur semakin sulit untuk dicapai.
6. Hukum tidak lagi dihormati
Negara kita merupakan negara hukum dimana segala sesuatu harus didasarkan
pada hukum. Tanggung jawab dalam hal ini bukan hanya terletak pada penegak hukum
saja namun juga pada seluruh warga negara Indonesia. Cita-cita untuk menggapai
tertib hukum tidak aakan terwujud apabila para penegak hukum melakukan tindakan
korupsi sehingga hukum tidak dapat ditegakkan, ditaati serta tidak diindahkan oleh
masyarakat.
Sumber Penyebab Korupsi
1. Kurangnya tanggung jawab dan transparansi
10. 2. Sentralisasi pemerintahan yang berlebihan
3. Interensi melalui pengaturan yang berlebihan
4. Penghasilan atau gaji pegawai pemerintah terlalu kecil
5. Kurangnya peran serta/keterlibatan dan tanggung jawab moral
6. Penegakan hukum dan ketentuan yang tidak efektif
Langkah-Langkah Memerangi Korupsi
1. Monopoli perlu dibatasi, transparansi perlu diwujudkan, ruang pengambilan
keputusan juga harus dibatasi, dan kemungkinan untuk meminta pertanggung
jawaban baik secara politik maupun hukum perlu diperkuat.
2. Pembatasan dan desentralisasi kekuasaan pusat. Apabila keputusan mengenai
pembagian barang terpusat disatu instansi saja, maka disaat stok persediaan
barang menipis, kesempatan untuk korupsi semakin besar
3. Mekanisme pengawasan eksternal. Keberhasilan implementasi tanggung jawab
politik dan hukum membutuhkan tanggung jawab politik dan hukum
membutuhkan dukungan dan pengawasan dari orang-orang luar aparat
pemerintah.
4. Pemberantasan korupsi harus dilakukan oleh sebuah tim yang secara moral
memiliki komitmen sungguh-sungguh untuk memerangi korupsi
5. Melihat dan meneliti ulang tentang mekanisme delik dalam KUHP
6. Pemberian ruang seluas-luasnya bagi partisipasi publik sebagai kontrol atau
pengawasan terhadap penyelenggaraaan pemerintahan dalam pengelolaan
dana publik
7. Magnifikasi sumpah. Cara kerjanya yaitu acara sumpah adalah sesuatu yang
sudah terlembaga dalam praktek bernegara di seluruh dunia.[2]
UPAYA YANG DAPAT DITEMPUH DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI
Ada beberapa upaya yang dapat ditempuh dalam memberantas tindak korupsi di
Indone-sia, antara lain sebagai berikut :
A. Upaya Pencegahan (Preventif)
11. 1. Menanamkan semangat nasional yang positif dengan mengutamakan
pengabdian pada bangsa dan negara melalui pendidikan formal, informal dan
agama.
2. Melakukan penerimaan pegawai berdasarkan prinsip keterampilan teknis.
3. Para pejabat dihimbau untuk mematuhi pola hidup sederhana dan memiliki
tanggung jawab yang tinggi.
4. Para pegawai selalu diusahakan kesejahteraan yang memadai dan ada jaminan
masa tua.
5. Menciptakan aparatur pemerintahan yang jujur dan disiplin kerja yang tinggi.
6. Sistem keuangan dikelola oleh para pejabat yang memiliki tanggung jawab etis
tinggi dan dibarengi sistem kontrol yang efisien.
7. Melakukan pencatatan ulang terhadap kekayaan pejabat yang mencolok.
8. Berusaha melakukan reorganisasi dan rasionalisasi organisasi pemerintahan
melalui penyederhanaan jumlah departemen beserta jawatan di bawahnya.
B. Upaya Penindakan (Kuratif)
Upaya penindakan, yaitu dilakukan kepada mereka yang terbukti melanggar dengan
diberikan peringatan, dilakukan pemecatan tidak terhormat dan dihukum pidana.
Beberapa contoh penindakan yang dilakukan oleh KPK :
a. Dugaan korupsi dalam pengadaan Helikopter jenis MI-2 Merk Ple Rostov Rusia
milik Pemda NAD (2004).
b. Menahan Konsul Jenderal RI di Johor Baru, Malaysia, EM. Ia diduga melakukan
pungutan liar dalam pengurusan dokumen keimigrasian.
c. Dugaan korupsi dalam Proyek Program Pengadaan Busway pada Pemda DKI
Jakarta (2004).
d. Dugaan penyalahgunaan jabatan dalam pembelian tanah yang merugikan
keuangan negara Rp 10 milyar lebih (2004).
e. Kasus korupsi dan penyuapan anggota KPU kepada tim audit BPK (2005).
f. Kasus penyuapan panitera Pengadilan Tinggi Jakarta (2005).
g. Kasus penyuapan Hakim Agung MA dalam perkara Probosutedjo.
12. h. Menetapkan seorang Bupati di Kalimantan Timur sebagai tersangka dalam
kasus korupsi Bandara Loa Kolu yang diperkirakan merugikan negara sebesar
Rp 15,9 miliar (2004).
i. Kasus korupsi di KBRI Malaysia (2005).
C. Upaya Edukasi Masyarakat/Mahasiswa
1. Memiliki tanggung jawab guna melakukan partisipasi politik dan kontrol sosial
terkait dengan kepentingan publik.
2. bersikap apatis dan acuh tak acuh.
3. Melakukan kontrol sosial pada setiap kebijakan mulai dari pemerintahan desa
hingga ke tingkat pusat/nasional.
4. Membuka wawasan seluas-luasnya pemahaman tentang penyelenggaraan
pemerintahan negara dan aspek-aspek hukumnya.
5. Mampu memposisikan diri sebagai subjek pembangunan dan berperan aktif
dalam setiap pengambilan keputusan untuk kepentingan masyarakat luas.
D. Upaya Edukasi LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat)
1. Indonesia Corruption Watch (ICW) adalah organisasi non-pemerintah yang
mengawasi dan melaporkan kepada publik mengenai korupsi di Indonesia dan
terdiri dari sekumpulan orang yang memiliki komitmen untuk memberantas
korupsi melalui usaha pemberdayaan rakyat untuk terlibat melawan praktik
korupsi. ICW lahir di Jakarta pada tgl 21 Juni 1998 di tengah-tengah gerakan
reformasi yang menghendaki pemerintahan pasca-Soeharto yg bebas korupsi.
2. Transparency International (TI) adalah organisasi internasional yang bertujuan
memerangi korupsi politik dan didirikan di Jerman sebagai organisasi nirlaba
sekarang menjadi organisasi non-pemerintah yang bergerak menuju organisasi
yang demokratik. Publikasi tahunan oleh TI yang terkenal adalah Laporan
Korupsi Global. Survei TI Indonesia yang membentuk Indeks Persepsi Korupsi
(IPK) Indonesia 2004 menyatakan bahwa Jakarta sebagai kota terkorup di
Indonesia, disusul Surabaya, Medan, Semarang dan Batam. Sedangkan survei
TI pada 2005, Indonesia berada di posisi keenam negara terkorup di dunia. IPK
13. Indonesia adalah 2,2 sejajar dengan Azerbaijan, Kamerun, Etiopia, Irak, Libya
dan Usbekistan, serta hanya lebih baik dari Kongo, Kenya, Pakistan, Paraguay,
Somalia, Sudan, Angola, Nigeria, Haiti & Myanmar. Sedangkan Islandia adalah
negara terbebas dari korupsi. [3]
Fraud (kecurangan) merupakan suatu perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh
orang-orang dari dalam dan atau luar organisasi, dengan maksud untuk mendapatkan
keuntungan pribadi dan atau kelompoknya yang secara langsung merugikan pihak lain.
Orang awam seringkali mengasumsikan secara sempit bahwa fraud sebagai tindak
pidana atau perbuatan korupsi.
Motivasi Melakukan Fraud
Pada umumnya fraud terjadi karena tiga hal yang mendasarinya terjadi secara
bersama, yaitu:
1. Insentif atau tekanan untuk melakukan fraud
2. Peluang untuk melakuakn fraud
3. Sikap atau rasionalisasi untuk membenarkan tindakan fraud.
Ketiga faktor tersebut digambarkan dalam segitiga fraud (Fraud Triangle) berikut:
Opportunity biasanya muncul sebagai akibat lemahnya pengendalian internal di
organisasi tersebut. Terbukanya kesempatan ini juga dapat menggoda individu atau
kelompok yang sebelumnya tidak memiliki motif untk melakukan fraud.
14. Pressure atau motivasi pada sesorang atau individu akan memebuat mereka mencari
kesempatan melakukan fraud, beberapa contoh pressure dapat timbul karena masalah
keuangan pribadi, Sifat-sifat buruk seperti berjudi, narkoba, berhutang berlebihan dan
tenggat waktu dan target kerja yang tidak realistis.
Rationalization terjadi karena seseorang mencari pembenaran atas aktifitasnya yang
mengandung fraud. Pada umumnya para pelaku fraud meyakini atau merasa bahwa
tindakannya bukan merupakan suatu kecurangan tetapi adalah suatu yang memang
merupakan haknya, bahkan kadang pelaku merasa telah berjasa karena telah berbuat
banyak untuk organisasi. Dalam beberapa kasus lainnya terdapat pula kondisi dimana
pelaku tergoda untuk melakukan fraud karena merasa rekan kerjanya juga melakukan
hal yang sama dan tidak menerima sanksi atas tindakan fraud tersebut.
Faktor Pemicu Fraud
Terdapat empat faktor pendorong seseorang untuk melakukan kecurangan, yang
disebut juga dengan teori GONE, yaitu Greed (keserakahan), Opportunity
(kesempatan), Need (kebutuhan), Exposure (pengungkapan).
Faktor Greed dan Need merupakan faktor yang berhubungan dengan individu pelaku
kecurangan (disebut juga faktor individual). Sedangkan faktor Opportunity dan
Exposure merupakan faktor yang berhubungan dengan organisasi sebagai korban
perbuatan kecurangan (disebut juga faktor generik/umum).
1. Faktor generic
– Kesempatan (opportunity) untuk melakukan kecurangan tergantung pada
kedudukan pelaku terhadap objek kecurangan. Kesempatan untuk melakukan
kecurangan selalu ada pada setiap kedudukan. Namun, ada yang mempunyai
kesempatan besar dan ada yang kecil. Secara umum manajemen suatu
organisasi/perusahaan mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk melakukan
kecurangan daripada karyawan;
– Pengungkapan (exposure) suatu kecurangan belum menjamin tidak terulangnya
kecurangan tersebut baik oleh pelaku yang sama maupun oleh pelaku yang lain. Oleh
karena itu, setiap pelaku kecurangan seharusnya dikenakan sanksi apabila
perbuatannya terungkap.
15. 2. Faktor individu
– Moral, faktor ini berhubungan dengan keserakahan (greed).
– Motivasi, faktor ini berhubungan dengan kebutuhan (need), yang lebih
cenderung berhubungan dengan pandangan/pikiran dan keperluan pegawai/pejabat
yang terkait dengan aset yang dimiliki perusahaan/instansi/organisasi tempat ia bekerja.
Selain itu tekanan (pressure) yang dihadapi dalam bekerja dapat menyebabkan orang
yang jujur mempunyai motif untuk melakukan kecurangan.
Gejala Adanya Fraud
Fraud (Kecurangan) yang dilakukan oleh manajemen umumnya lebih sulit ditemukan
dibandingkan dengan yang dilakukan oleh karyawan. Oleh karena itu, perlu diketahui
gejala yang menunjukkan adanya kecurangan tersebut, adapun gejala tersebut adalah:
1. Gejala kecurangan pada manajemen
• Ketidakcocokan diantara manajemen puncak;
• Moral dan motivasi karyawan rendah;
• Departemen akuntansi kekurangan staf;
• Tingkat komplain yang tinggi terhadap organisasi/perusahaan dari pihak
konsumen, pemasok, atau badan otoritas;
• Kekurangan kas secara tidak teratur dan tidak terantisipasi;
• Penjualan/laba menurun sementara itu utang dan piutang dagang meningkat;
• Perusahaan mengambil kredit sampai batas maksimal untuk jangka waktu yang
lama;
• Terdapat kelebihan persediaan yang signifikan;
• Terdapat peningkatan jumlah ayat jurnal penyesuaian pada akhir tahun buku.
2. Gejala kecurangan pada karyawan/pegawai
• Pembuatan ayat jurnal penyesuaian tanpa otorisasi manajemen dan tanpa
perincian/penjelasan pendukung;
• Pengeluaran tanpa dokumen pendukung;
• Pencatatan yang salah/tidak akurat pada buku jurnal/besar;
• Penghancuran, penghilangan, pengrusakan dokumen pendukung pembayaran;
• Kekurangan barang yang diterima;
16. • Kemahalan harga barang yang dibeli;
• Faktur ganda;
• Penggantian mutu barang.
Perilaku Pelaku Fraud
Berikut merupakan beberapa perilaku seseorang yang harus menjadi perhatian karena
dapat merupakan indikasi adanya kecurangan yang dilakukan orang tersebut, yaitu:
• Perubahan perilaku secara signifikan, seperti: easy going, tidak seperti biasanya,
gaya hidup mewah, mobil atau pakaian mahal;
• Gaya hidup di atas rata-rata;
• Sedang mengalami trauma emosional di rumah atau tempat kerja;
• Penjudi berat;
• Peminum berat;
• Sedang dililit utang;
• Temuan audit atas kekeliruan (error) atau ketidakberesan (irregularities)
dianggap tidak material ketika ditemukan;
• Bekerja tenang, bekerja keras, bekerja melampaui jam kerja, sering bekerja
sendiri.
Pencegahan dan Pendeteksian Fraud
Dalam mencegah dan mendeteksi serta menangani fraud sebenarnya ada beberapa
pihak yang terkait: yaitu akuntan (baik sebagai auditor internal, auditor eksternal, atau
auditor forensik) dan manajemen perusahaan. Peran dan tanggung jawab msaing-
masing pihak ini dapat digambarkan sebagai suatu siklus yang dinamakan Fraud
Deterrence Cycle atau siklus pencegahan fraud seperti gambar dibawah ini.
17. Corporate Governance dilakukan oleh manajemen yang dirancang dalam rangka
mengeliminasi atau setidaknya menekan kemungkinan terjadinya fraud. Corporate
governance meliputi budaya perusahaan, kebijakan-kebijakan, dan pendelegasian
wewenang.
Transaction Level Control Process yang dilakukan oleh auditor internal, pada
dasarnya adalah proses yang lebih bersifat preventif dan pengendalian yang bertujuan
untuk memastikan bahwa hanya transaksi yang sah, mendapat otorisasi yang memadai
yang dicatat dan melindungi perusahaan dari kerugian.
Retrospective Examination yang dilakukan oleh Auditor Eksternal diarahkan untuk
mendeteksi fraud sebelum menjadi besar dan membahayakan perusahaan.
Investigation and Remediation yang dilakukan forensik auditor. Peran auditor forensik
adalah menentukan tindakan yang harus diambil terkait dengan ukuran dan tingkat
kefatalan fraud, tanpa memandang apakah fraud itu hanya berupa pelanggaran kecil
terhdaap kebijakan perusahaan ataukah pelanggaran besar yang berbentuk
kecurangan dalam laporan keuangan atau penyalahgunaan aset.[4]
Sumber
1. http://hariannetral.com/2015/02/pengertian-korupsi-dampak-korupsi-dan-cara-
mengatasi-korupsi.html