1. Pemikiran Abdullah Ahmed An-Naim mengenai Fiqh Jinayah adalah bahwa hukum pidana Islam yang diterapkan harus sesuai dengan standar konstitusional dan hak asasi manusia internasional dengan mempertimbangkan dua aspek yaitu masalah hukuman dan perlakuan terhadap narapidana serta prinsip legalitas tanpa diskriminasi.
2. An-Naim lahir di Sudan dan merupakan aktivis HAM internasional yang menekankan perlunya reformasi Islam yang le
1. 1
Pemikiran Abdullah Ahmed An-Na’im mengenai Fiqh Jinayah
Az Zahra Alfi Fadhila
33020210150
UIN Salatiga
Abstrac : Some Muslims want the application of Islamic Criminal Law (fiqh jinayah) to the
state government system. The application of this law is characterized by the punishment of
cutting hands, whips, qisas and others. the point of writing this article is to find out how
Abdullah Ahmed an-Naim thought in relation to Islamic criminal law. This study is a qualitative
research library research. The results of this study showed that an-Naim said that the law
applied must be in accordance with constitutional and international standards by considering
two aspects, namely the issue of punishment and behavior towards prisoners and the second is
the principle of legality without discrimination.
Abstrak : Sebagian umat Islam menginginkan pengaplikasian Hukum Pidana Islam (fiqh
jinayah) ke system pemerintahan negara. Penerapan hukum ini ditandai dengan adanya
hukuman potong tangan, cambuk, qisas dan lain lain. inti dari penulisan artikel ini untuk
mengetahui bagaimana pemikiran Abdullah Ahmed an-Naim dalam kaitannya hukum pidana
Islam. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif library research. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa an-Naim menyampaikan bahwa hukum yang diterapkan harus sesuai
dnegan standar-standar konstitusional dan internasional dengan memperhatikan dua aspek,
yaitu masalah hukuman dan perilaku terhadap narapidana dan yang kedua adalah prinsip
legalitas tanpa diskriminasi.
Kata Kunci : Fiqh, Syari’ah, An-Naim, Hukum Pidana Islam
Pendahuluan
Hukuman adalah pembalasan yang ditetapkan untuk menjaga kepentingan masyarakat,
karena adanya pelanggaran atas ketentuan-ketentuan syara’. 1
Hukuman terbagi menjadi 2
kelompok yaitu hukuman pidana dan hukuman perdata. Dalam Islam hukuman pidana
1
Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam,Jakarta, Sinar Grafika, 2006. Hlm.34
2. 2
dinamakan dengan Fiqh Jianayah. Menurut para Ulama, Fiqh Jinayah adalah ilmu tentang
hukum syara’ yang berkaitan dengan masalah perbuatan yang dilarang (jarimah) dan
hukumannya, yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci.
Ada beberapa macam hukuman yang terdapat dalam Fiqh Jianayah yaitu, yang pertama
hukuman hudud (yaitu hukuman yang ditetapkan atas jarimah-jarimah hudud, seperti
zina,qadzaf, mencuri, minuman kera dll), Yang Kedua hukuman qishas dan diyat (hukuman
yang ditetapkan atas jarimah-jarimah qishas dan diyat), Yang ketiga Hukuman kifarat
(hukuman yang ditetapkan untuk sebagai jarimah qishas dan diyat dan beberapa jarimah ta’zir)
Yang Keempat Hukuman ta’zir (yaitu hukuman yang ditetapkan untuk jarimah jarimah takzir).
Hukum pidana atau Fiqh Jinayah merupakan bagian dari syari’at Islam yang berlaku
semenjak diutusnya Rasulullah. Oleh karena itu pada zaman Rasulullah dan Khulafaur
Rasyidin, hukum pidana Islam berlaku sebagai hukum public. Yaitu sebuah hukum yang diatur
dan diterapkan oleh pemerintah selaku penguasa yang sah atau ulil amri. Menurut Syari’at
islam, hukum pidana merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan setiap muslim
dimanapun mereka berada. Syari’at Islam adalah hukum yang harus dilakukan oleh setiap umat
Muslim didunia.
Sebagian besar umat Islam beranggapan bahwa syari’at merupakan aturan yang baku
dan tidak dapat dirubah rubah, hal ini dikarenakan aturan-aturan dalam syari’ah sudah
ditentukan dalam nass al-Qur’an. AbdullahAhmed an-Naim atau disebut an-Naim berpendapat
bahwa syari’ah bukanlah segalanya, melainkan hanyalah sebuah pemaknaan terhadap nass
yang dipahami dalam konteks historis tertentu.
Tujuan Penelitian
Penulisan Artikel ini bertujuan untuk mengetahui pemikiran atau sudut pandang
Abdullah Ahmed an-Naim mengenai Fiqh Jinayah atau Hukum Pidana Islam
Metode Penelitian
Metode penelitian adalah cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan
kegunaan tertentu, penilitian merupakan sarana yang digunakan oleh manusia untuk
memperkuat, membina dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Penenulisan artikel ini
menggunakan penelitian Kepustakaan (Library Research) yang bersifat kualitatif, dimana .
Penulis membaca dan menelaah teori-teori dari buku yang berhubungan tentang masalah yang
dibahas dan menyimpulkannya
3. 3
Pembahasan
Biografi Abdullah Ahmed An-Na’im
Abdullah Ahmad An-Na’im adalah seorang aktivis HAM yang dikenal di dunia
Internasional. Beliau lahir di Sudan pada tanggal 19 November 1946 dan menyelesaikan
Pendidikan S1 di Universitas Khartoun Sudan dan memperoleh gelar LL.B., dengan predikat
cumlaude. Tiga tahun kemudian pada tahun 1973 dia mendapat gelar sekaligus LL.B., , LL.M.,
dan M.A dari University of Cabridge Inggris. Pada tahun 1976 , beliau mendapat gelar Ph.D.
dalam jurusan hukum dari University of Edinburg Skotlandia dengan disertasi tentang
perbandingan prosedur pra percobaan criminal (hukum Inggris, Skotlandia, Amerika dan
Sudan). 2
Abdullah Ahmed an-Naim atau yang dikenal dengan sebutan an-Naim, merupakan
seorang pemikir Islam Kontemporer asal Sudan. Namanya dapat disejajarkan dengan tokoh-
tokoh lain seperti, Muhammad Arkoun, Fazlur Rahman, Hassan Hanafi, dan Muhammad
Syahrur. Di kalangan pemikir Indonesia, nama an-naim dapat disejajarkan dengan Nurcholis
Madjid, Ahmad Syafii Maarif, M.Amien Rais, Abdurahrahman Wahid, dan M.Dien
Syamsuddin. An-Naim membina karir kesarjanaannya dengan melibatkan diri pada berbagai
kegiatan sosial. Pengalamannya sebagai mahasiswa dan pengacara yang terlibat dengan
masalah-masalah sosial di Sudan telah membentuk pemikirannya. Hal yang berpengaruh besar
dari pengalaman-pengalamannya adalah keterlibatannya dalam The Republic Botherhood
(Persaudaaan Republik) di Sudan.
Persaudaraan Republik menarik perhatian dunia ketika pemimpinnya, Mohamoud
Mohammed Taha dihukum mati (1985) oleh rezim Sudan Ja’far Numeyry. Meskipun demikian
para anggota The Rapublik Botherhood tetap eksis dalam kelompok kecil di Sudan selama
beberapa tahun. Organisasi itu didirikan oleh Taha sebagai Partai Republik di tengah tengah
perjuangan nasionalis Sudan pada akhir PD II. Partai Taha kalah dalam pemilu, tetapi Taha
selalu menekankan perlunya reformasi Islam dalam pembebasan dari dominasi kekuasaan yang
negative.
Meskipun Abdullah Ahmed an-Na’im berasal dari negara yang tergolong miskin dan
terbelakang, namun beliau mampu menjadi akademisi bertaraf internasional yang sukses,
2
Muhammad Asyrofi, “Konsep Naskh dalam Ijtihad Menurut Pemikiran Abdullah Ahmad An-Na’im”. Skripsi
(Malang ; UIN Maulana Malik Ibrahim, 2010), hlm.34
4. 4
kariernya sebagai akademisi dimulai sebagai staff pengajar di bidang hukum di Universitas
Khartiun Sudan (1976-1985), menjadi ketua jurusan hukum public di kampus yang sam
a(1979-1985), menjadi professor tamu di fakultas UCLA USA (1985-1987). Pada bulan
Agustus 1988 sampai Januari 1991 beliau menjadi professor tamu Ariel F.Sallows dalam
bidang HAM di fakultashukum University Saskatchewan Kanada.3
Selain sebagai dosen, An-Na’im juga seorang pengacara (1976-1985) dan pemimpin
redaksi Bulletin of Sudanese Studies, Universitas Khartoun. Beliau juga aktif melayani
konsultasi dan advokasi hukum, menulis artikel dibeberapa surat kabar local, dan berbicara
dengan banyak kalangan diberbagai seminar dan forum-forum diskusi. Sebagian dari
artikelnya dapat dilihat dalam majalah berbahsa Inggris yang terbit di Khortoun Sudanov.
Dalam kurun wakti itu pula, An-Na’im bersama tokoh dan para aktivis persaudaraan republic
aktif mengembangkan ajaran Mahmoud Taha. Beliau menyuarakan berbagai kritik terhadap
kebijakan kebijakan pemerintah, khususnya mengenai program Islamisasi yang dicanangkan
Presiden Numeiri pada 8 September 1983, yang dianggap menimbulkan berbagai pelanggaran
HAM di Sudan, Khususnya terhadap lawan-lawan politiknya.
Ditengah kesibukan nya, Abdullah Ahmed An-Na’im juga melakukan penelitian dan
menulis berbagai topik yang berkaitan dengan status, aplikasi dan pembaruan internal hukum
Islam. Banyak yang mengenal an-Na”im sebagai ilmuan yang memiliki komitmen kuat
terhadap Islam sekaligus mempunyai dedikasi yang tinggi untuk menegakkan Ham. Selain ahli
hukum an-Na’im juga seorang yang hali dalam bidang hubungan Internasional.
An-Na’im telah menulis sejumlah buku dan artikel yang termuat di berbagai buku dan
jurnal ilmiah. Diantaranya karya tulisnya terkenal adalah buku Toward an Islamic Reformation:
Civil Liberties, Human Right and International Law, yang diterbitkan oleh Syracuse University
Press pada tahun 1990. Buku ini dapat dipandang sebagai mahakarya an-Na’im yang sudah
diterjemahkan ke dalam 3 bahasa (Arab,Indonesia, dan Rusia).
Dalam Buku Toward an Islamic reformatin dibahas secara cermat tentang gagasan
utama An-Na’im dikemukakan. Khususnya berkaitan dengan berbagai argument yang
mendukung asusmi akan perlunya melakukan reformasi syariah menuju syariah yang lebih
humanis, sejalan dengan tuntutan dan prinsip-prinsip Ham dan hukum International modern.
3
Ibid,hlm. 34.
5. 5
Pemikiran dengan teman menyangkut Hukum Islam dan HAM yang diajukan An-
Na’im dibangun diatas basis disiplin ilmu yang dikuasainya, yakni hukum public, dengan
memanfaatkan dan mengembangkan dasar pembaharuan Islam yang digagas oleh Mahmoud
Mohamed taha, gurunya. Dalam pada it, karya-karya an-Na’im dapat dipandang sebagai
cermin dari tanggungjawabnya sebagai seorang cendekiawan muslim dalam memberikan
respon intelekual terhadap fenomena dan wacana social politik islam yang dihadapinya.
An-Na’im juga menjadi editor beberapa buku, yaitu human right an religious values;
an uneasy relationship. Bersama Jerald D.Gort, Henry Janes & M. Vroom (grandrapids;
Eerdmans Publishing 1995) Human Right in cross cultural perspectives; quest for consensus
(Philadelphia, pa; university of pennylvania press, 1992). Human Right in africa; criss cultural
perspective, dengan francis m. deng (Washington dc; brookings institution, 1990). Disamping
itu, an-Na’im juga menulissekitar 50 artikel dan chapters yang seluruhnya berkaitan dengan
HAM, Konstitutionalisme, hukum Islam dan politik. 4
Pemikiran An-Naim mengenai Hukum Pidana Islam
Hukum Pidana Islam (Fiqh al-Jinayah) merupakan salah satu bagian dari hukum Islam
(Fiqh). Fiqh, atau pemahaman yang dihasilkan dari suatu proses kumpulan pokok-pokok
pengetahuan, dan sifatnya adalah bebas, pribadi, dan agak subyektif, dan bukan suatu disiplin
yang obyektif. Fazhur Rahman mengemukakan bahwa istilah Fiqh menjadi terbatas pada
hukum dan yurisprudensu pada saat metodologi Islam telah berkembang sepenuhnya. 5
sementara itu istilah “Hukum Islam” menurut Ahmad Rofiq, ialah terjemahan dari al-fiqh al-
Islami atau dalam konteks tertentu dari as-syari’ah al-Islay. Dalam al-Qur’an dan Sunnah,
IStilah kata al-hukmu al-Islami tidak dijumpai, namun yang banyak digunakan adalah kata
syari’ah yang kemudian lahir fiqh. 6
Fiqh sebagai hasil usaha ulama (faqib) untuk memahami dan menggali sesuatu
walaupun dipengaruhi oleh kondisi ruang dan waktu yang melingkupi faqih (jamak Fuqaha’)
pada saat memformulasikannya. Oleh karena itu menjadi suatu hal yang wajar jika kemudian
terdapat ikhtilaf (perbedaan-perbedaan) dalam rumusan mereka. Kemudian pemikiran
4
Lailatul Mubarok, “Studi Analisis Pendapat Abdullahi Ahmed An-Na’im tentang Hukuman mati bagi pelaku
Murtad”, skripsi (Semarang; UIn Walisongo, 2018) hlm. 55.
5
Rahman, Fazlur, Islam, alih bahasa Ahsin Muhammad, Bandung: Pustaka, 1984.hlm. 144
6
Rofiq, Ahmad, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: RajaGrafindo Persada, Cetakan ke2, 2015. Hlm.18
6. 6
pemikiran mereka dicatat oleh sejarah, sebagaimana contoh yaitu fiqh Syi’I dan fiqh Sunny.
Fiqh Sunny dikenal Fiqh Hanafi, Fiqh Maliky, Fiqh Syafi’I, Fiqh Hanbali, dan Fiqh Auza’i.
Rumusan Fiqh para ulama ini, kemudian dikenal dengan Mazhab (jalan pemikiran).7
An-Naim berpandangan bahwa Hukum Pidana Islam diterapkan, hal yang harus dahulu
diterapkan adalah masalah “adminstrasi hukum pidana” . beliau juga mengemukakan tentang
hukum pidana di negara-negara modern bahwa negara berusaha memepertahankan hukum,
ketertiban dan keamanan dengan wewenang dan kekuasaan untuk menjatuhkan hukuman
pidana yang mempengaruhi kehidupan, kebebasan, dan kepemilikan individu. Hukuman
pidana tidak hanya menyebabkan hilangnya jiwa, kebebasan dan kepemilikan individu,
melainkan juga cacat sosial, keperihan, dan penderitaan psikologis.
Sebagian besar negara Islam mendukung Standar-standar konstitusional dan
internasional seperti Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia (1948) dan perikatan
Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (1966). Negara Islam yang tidak mendukung
deklarasi universal hanyalah Arab Saudi sekelompok dengan Blok Soviet (Rusia) dan Afrika
Selatan.
Negara-negara Islam diwajibkan menghormati standar-standar yang ada dalam
dokumen-dokumen Internasional diatas, khususnya yang berhubungan dengan “administrasi
hhukum pidana” adalah karena mereka harus melindungi hak-hak warga negara asing yang
berada dalam batas-batas geografis mereka. Semua negara itu memiliki warga asing dalam
jumlah yang signifikan, beberapa diantaranya adalah non muslim yang tunduk pada jurisdiksi
pidana negara tersebut. Jurisdiksi pidana tidak terbatas kepada warga negara itu saja, tetapi
juga memasukkan siapa saja yang kebetulan berada di wilayah negara tersebut walau sebentar.
Standar- standar konstitusi dan internasional biasanya berhuungan dengan masalah
kebijakan. Namun terdapat dua permasalahan yang kerap terjadi yang pertama, apa yang secara
umum diyakini sebagai prinsip legalitas. Kedua, masalah hukuman serta perlakuan terhadap
narapidana.8
Sebetulnya Prinsip legalitas diranvang unutk memberi arahan kepada public seluas
mungkin tentang apa yang dilarang oleh hukum pidana sehingga mereka dapat menyesuaikan
tingkah lakunya. Pada umumnya dianggap tidakadil bagi negara yang menghukum orang yang
7
Ibid, hal.3
8
Abdullah Ahmed Naim, Toward an Islamic Reformation : Civil Liberties, Human Right and International Law,
New York,Syracuse University Press,1990.hlm.195-196
7. 7
tunduk pada juridiksi pidana karena melanggar hukum, tanpa memberi kesempatan yang cukup
kepada mereka untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan-tuntutannya.
Jadi, badan legislating harus mennetukan pelanggaran dalam istilah yang tepat dan
jelas, dan negara mempublikasikan legislasi pidana sebelum menjatuhkan hukuman sesuai
dengan istilah-istilah tersebut. Maka dari itu pengadilan harus memberikan kemungkinan
interprestasi legislasi pidana yang paling tegas. Hal ini sesuai dengan asas “kebebasan” setiap
individu untuk bertindak dan asas “praduga tak bersalah”. Seseorang tidak dapat dihukum
kecuali apabila perbuatannya secara masuk akal terbukti dan realistis jelas-jelas melanggar
aturan hukum pidana9
.
Standar-standar konstitusional dan Internasional pada umumnya merinci perbuatan apa
yang boleh dan yang dilarang oleh hukum pidana. Lazimnya, konstitusi nasional dan
instrument internasional malarang hukuman atau perlakuan yang kejam dan tidak manusiawi,
masalah yang muncul berkaitan dengan sifat dan kualitas hukuman atau perlakuan terhadap
orang-orang yang bersalah. Sangat sulit menjabarkan ukuran untuk menentukan batas-batas
kekejaman/ketidakmanusiawian hukum dan perlakuan tersbeut. Kesulitan inilah sesuai dengan
pembenaran terhadap hukuman penologis yang disetujui oleh syariah.10
Menurut An-Na’im, terdapat sebuah prinsip umum yang mendasari kekuasaan negara
untuk menjatuhkan sanksi pidana, meskipun tidak dinyatakan secara jelas dalam konstitusi
nasional. Kekuasaan ini mensyaratkan proses legislasi pidana tertentu dalam kerangka susunan
konstitusi yang sah, asalkan penentuan Tindakan mana yang dilarang oleh hukum pidana dan
bagaimana hukumnya dijalankan, ditentukan oleh masyarakat secara luas melalui wakil-wakil
yang sah dengan badan-badan legislative yang tepat.
Sebelum dipublikasi melalui proses legislative yang teratur dan demokratis, hukum
pidana harus berusaha merangkum consensus rakyat seluas mungkin. Secara khusus, aspirasi
dan hak-hak minoritas etnik,agama dan politik haruslah dihormati. Validitas dan sifat mengikat
standar-standar konstitusional dan internasional harus didasarkan pada suatu pertimbangan
nilai moral.
Dalam rangka menuju system hukum pidana yang Islami, manusiawi dan praktis, an-
Naim mengemukakan bahwa pertanggungjawaban bagi penyalahgunaan penerapan hukum
9
Ibid,hlm. 197.
10
Ibid,hlm.198.
8. 8
pidana Islam. Prinsip-prinsip hukum pidana barat telah mengganti hukum pidana syari’ah di
sebagian besar negara Muslim di dunia. Hukum pidana mereka biasanya menerapkan dua
model. Dimana unsur-unsur penduduk yang sekuler mendesak dilanjutkannya penerapan
prinsip-prinsip barat, menolak upaya “modifikasi” untuk menyesuaikan dengan kondisi local.
Disisi lain, umat Islam “tradisional” dan “fundamentaslis” menuntut diterapkannya hukum
pidana syari’ah dengan segera dan menyeluruh. Menurut An-Naim, kerangka utama dari
legislasi pidana adalah tidak boleh adanya diskriminasi terhadap seseorang, baik secara
agama,kepercayaan maupun jenis kelamin. Kondisi ini menuntut adanya fleksibilitas hukum
Islam. Hal ini dimaksudkan agar hukum Islam bisa bersifat fleksibel terhadap persoalan-
persoalan yang dinegara modern atau masyarakat modern.
9. 9
DAFTAR PUSTAKA
ahmad, r. (2015). hukum perdata islam di Indonesia. jakarta: raja grafindo persada.
asyrofi, m. (2012). konsep naskh dalam ijtihad menurut pemikiran Abdullah Ahmad An-Na'im.
malang: UIN Maulana Malik Ibrahim.
Mubarok, L. (2018). studi analisis pendapat Abdullahi Ahmed an-Naim tentang hukuman mati
bagi pelaku murtad. semarang: UIN Walisongo.
muslich, w. (2006). pengantar dan asas hukum pidana islam. jakarta: sinar grafika.
Naim, A. A. (1990). toward an islamic reformation : civil liberties, human right and
international law. new york: syracuse university press.