Kontribusi Islam Dalam Pengembangan Peradaban Dunia - KELOMPOK 1.pptx
HUKUM PIDANA ISLAM
1. Implementasi Hukum Pidana Islam: Relevansinya
Berbasis Ruang dan Waktu
Brelyandiosa
Hukum Ekonomi Syari’ah
Universitas Islam Negeri Salatiga brelyandiosa@gmail.com
Islam merupakan agama yang di dalamnya lengkap berisi seperangkat aturan
mengenai bagaimana umat manusia berkehidupan, yang disebut dengan syari’at.
Menurut KBBI, syari’at adalah hukum agama yang menetapkan peraturan hidup
manusia dengan Allah SWT., hubungan manusia dengan alam sekitar dengan
berlandaskan Al-Qur’an dan Hadits. Ia diturunkan sebagai Rahmat bagi semesta
alam. Manusia diciptakan Allah sebagai khalifah di muka bumi dan menjadi pewaris
dari apa yang telah dibentangkan Allah Rabbul ‘Alamin di dunia ini. Syari’at sendiri
Allah turunkan tak lain dan tak bukan ialah sebagai penyokong peran mulia manusia
tersebut. Ia ada sebab manusia memiliki akal yang menjadikannya bertanggung
jawab terhadap apa yang Allah warisi.
Mustahil bagi akal untuk dapat bekerja dengan sebagaimana fungsinya
apabila tak ada informasi yang dicerna. Ragam informasi begitu banyak tersedia di
dunia ini, namun tak dapat kita simpulkan begitu saja bahwa semua informasi
tersebut ialah kebenaran. Nyatanya ada berbagai pengelompokkan informasi yang
tersedia: kebenaran atau kesalahan, dan di antara dua hal tersebut ada yang disebut
keraguan.
Tak ada yang lebih mengetahui terkait suatu ciptaan kecuali penciptanya
sendiri. Dan itulah Allah, Yang Maha Mengetahui secara keseluruhan mengenai
ciptaannya, dalam hal ini manusia. Allah memberi seperangkat aturan pada
manusia, tak lain dan tak bukan ialah sebab Allah Maha Tahu kebutuhan hambaNya.
Mustahil Allah tak tahu-menahu apa saja yang dibutuhkan oleh ciptaan-Nya.
Syari’at Islam, merupakan salah satu aspek ajaran Islam yang
komperehensif dan universal. artinya ialah syari’at Islam tak semata diaplikasikan
2. oleh umat tertentu saja, melainkan mendunia. Ia tak hanya menyentuh aspek
kehidupan dunia saja, melainkan terkoneksi dengan kehidupan akhirat yang kekal.
Namun marak kita temukan di masa sekarang, pemahaman terkait syari’at
Islam ini dipandang hanya pada satu sisi dan keliru pula oleh sebagian orang.
Padahal ada berbagai perspektif yang saling berhubungan satu sama lain dalam
syari’at islam. Ketika membahas mengenai ‘hukum Islam’, yang tergambar di
kepala mereka ialah hukum Islam yang tak manusiawi dalam konsep pemidanaaan,
seperti hukum potong tangan; rajam; qishash; dsb. Seolah-seolah Ketika terjadi
tindak pidana tertentu, Islam seketika memakai ‘vonis’ tersebut. Maka tak heran,
perspektif ini menyimpulkan bahwa hukum Allah itu kejam dan jauh dari kata
Rahmat. Barangkali mereka belum memahami kapan ‘vonis’ tersebut dijatuhkan,
yang mana artinya Islam tak serta merta langsung menghukumi seseorang dengan
‘vonis’ tersebut tanpa adanya pertimbangan dan tahapan yang dilalui.
Ketika mendiskusikan suatu hal yang bersinggungan dengan kalimat ‘syariat
Islam’, tak jarang pula pikiran orang-orang akan mengarah pada kasus hukum
pidana islam yang tadi telah disinggung. Hukum pidana yang dalam istilah fiqh
disebut dengan fiqh jinayah, sebenarnya merupakan hanya salah satu cabang dari
hukum Islam yang amat sangat luas.
Langsung menafsirkan hukum islam seketika dengan vonis tanpa
memperhatikan aspek lainnya jelas sangat tak objektif dan sebenarnya memiliki
latar belakang politis. Terutama Ketika di masa lalu di mana negara Islam dijajah
oleh bangsa Barat. Demi mengambil simpati rakyat serta memperkuat pengaruhnya
di negeri tersebut, Barat sengaja menyebarkan pandangan bahwasanya hukum islam
itu identik dengan kekerasan, ketidakadilan, dan kekejaman supaya penduduk
negeri tersebut tak melirik dan bahkan menjauhi hukum yang adil ini.
Sebab bilamana hukum islam diimplementasikan dengan menyeluruh, maka
dapat dipastikan penjajah tersebut berada di posisi yang dirugikan sebab Islam
melarang adanya penjajahan dengan istilah apapun yang digunakan. Tak hanya
melanggar hak azasi manusia, penjajahan mencoreng keluruhan Aqidah tauhid yang
menjadi nilai paling fundamental di Islam. Pribumi, orang luar negeri, bertubuh
tinggi, bertubuh pendek, berkulit hitam, atau berkulit putih, semuanya sama
3. kedudukannya di hadapan Allah, yang membedakannya ialah ketakwaan yang ada
pada diri setiap insan tersebut.
Sayangnya pada realita kehidupan masa kini, setelah berakhir masa
penjajahan fisik yang kelam itu, berbagai tuduhan keji mengenai syari’at islam tak
hanya keluar dari mulut pihak luar yang membenci Islam, melainkan juga datang
dari kalangan muslim terpelajar, terlebih yang pernah dibina oleh Barat tersebab
lemahnya pemahaman spirit hukum islam yang haq. Derasnya arus ideologi yang
berkembang lewat pola pikir, pendidikan, budaya, hingga kurangnya pendalaman
pengetahuan tentang islam, mengakibatkan mereka mudah sekali dipengaruhi oleh
bermacam isu-isu tak benar terkait hukum Islam.1
Seperti yang kita sadari, akibat pengaruh Barat di masa lalu, implementasi
hukum public syari’at (salah satunya hukum pidana Islam) berada pada tingkat
terendah. Hal ini terjadi kurang lebih sejak abad ke-19. Kedudukan pokok
kekuasaan muslim di masa itu perlahan goyah dengan penyerapan model-model
negara bangsa, tatanan internasional Eropa, dan penanggalan semua dalih
kesesuaian dengan hukum publik syari’at.2
Perubahan yang terjadi di negeri-negeri muslim sejak abad ke-19 tersebut,
dapat dilihat bahwa mayoritas pemerintahan bangsa-bangsa muslim telah
melakukan pembaruan hukum menggunakan 2 cara. (1) mengganti syari’at dengan
hukum sekuler dalam masalah perdagangan, tata negara, perdata, dan pidana. Hanya
segelintir hukum yang masih diwujudkan dalam bentuk syari’at Islam. (2)
pembaruan dilakukan dengan tetap mengakui prinsip dan aturan syari’at, contohnya
penerapan dalam hukum keluarga Islam dan waris bagi msulim. Hingga hari ini,
banyak negara dengan mayoritas muslim tengah berusaha menegaskan identitas
Islam dan menerapkan hukum syari’at lebih banyak.3
1 Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam: Penegakan Syariat dalam Wacana dan
Agenda, (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), hlm. xii.
2 Abdullahi Ahmad An-Naim, Dekonstruksi Syari’ah, (Yogyakarta: Lembaga Kajian Islam dan Sosial,
2001), hlm. 65.
3 Ibid.
4. Selain itu, pengetahuan tetang hukum pidana Islam merupakan sesuatu yang
masih jarang dikaji dan dikembangkan. Kurangnya peminat terkait ilmu ini
menjadi
konsekuensi dari tak diterapkannya lagi hukum pidana Islam, kecuali hanya
segelintir negara saja. Sebab hal itu, kajian secara kritis dan mendalam tentang fiqh
jinayah dinilai tak krusial dan kurang bermanfaat secara praktis.
Terdapat pula pandangan bahwa hukum Islam bertentangan secara ekstrem
dengan hukum yang lain. Para ahli hukum Barat menilai bahwa hukum Islam
memiliki sisi negatif yang bertentangan dengan kemanusiaan, kejam, keras, dsb.
Sementara para ahli fiqh menilai bahwa hukum Barat sama sekali tak memiliki
keterkaitan dengan hukum Islam sehingga tak sepatutnya digunakan. Hal demikian
dapat secara jelas terlihat melalui penggunaan metode penemuan kebenaran yang
berbeda antara keduanya. di satu sisi, prosedur penemuan melalui wahyu yakni
AlQur’an dan Sunnah, dan sisi lainnya menggunakan prosedur penemuan secara
alamiah, seperti kajian rasional.4
Hal ini dipandang bahwa di antara dua hal tersebut
ada sekat pemisah yang tak dapat menggabungkan keduanya.
Padahal kenyataannya, dua prosedur tersebut dapat dileburkan dalam
konteks hukum pidana Islam. Salah satu contohnya yakni Kitab Hukum Pidana
Indonesia (KUHP) warisan Kolonial Belanda yang memiliki sejarah Panjang. Wet
Book Strafrecht yang banyak dialihkan dari Code Penal Perancis, berasal dari
pascarevolusi Perancis tahum 1789. Setelah ditelisik secara substansi, ditemukan
bahwa ada banyak kemiripan isi Code Penal dengan yang ada di dalam Kitab
AlMuwatha’ karangan Imam Malik. Ternyata ada beberapa konsep di kitab tersebut
yang kemudian diadopsi oleh Barat, contohnya saja adanya asas legalitas. Asas
tersebut telah ada dalam dunia Islam sejak abad ke-7. Maka dapat dilihat, adanya
keserasian antara prosedur wahyu dengan prosedur alamiah yang digunakan dalam
4 Ibid, hlm. viii.
5. perumusan hukum.5
Namun hal tersebut tak dapat secara keseluruhan kita gunakan
sebab tak semua prosedur amaliah sejalan dengan prosedur wahyu.
Dengan memperhatikan nilai-nilai penting yang telah diuraikan, maka akan
terpampang jelas bahwa tantangan besar dalam mengimplementasikan salah satu
syari’at Islam dari segi hukum pidana, ialah melahirkan banyak cendekiawan
Muslim yang intelek dalam mengkaji hukum tersebut yang bertujuan untuk
memperjelas hal-hal yang ada di dalamnya. Pemahaman yang dilahirkan tak bisa
hanya merujuk pada teks-teks, melainkan juga dapat bersal dari gejala-gejala
alamiah yang jadi salah satu prosedur dalam mencari kebenaran (ayat-ayat kauniah).
Kembali lagi pada relevansi diimplementasikannya syari’at Islam.
Sebenarnya syari’at Islam yang merupakan Rahmat ini memiliki sifat ‘alamiah atau
mendunia. Ia tak dibatasi oleh sekat teritorial ruang dan waktu tertentu, melainkan
siap untuk diimplementasikan pada setiap kurun waktu dan tempat. Alasannya ialah
watak sumber syari’at Islam itu hukumnya bersifat murunah atau elastis, sehingga
membuat kita dapat mencari penyelesaian setiap masalah, kapanpun dan
dimanapun.6
Hal utama yang harus kita semua pahami ialah bahwa menerapkan hukum
Islam bukan berarti anti modernisasi. Melainkan pelaksaannya merupakan
konsekuen terhadap hukum yang berasal dari legislator tertinggi, yakni Allah SWT.
Pengimplementasian nilai mulia tersebut menuntut adanya pengkajian dan tajdid
(pembaharuan), sebab Islam sendiri tak pernah membelenggu manusia dari
modernisasi. Apabila ditemukan sesuatu yang “baru” itu lebih relevan dengan
hukum syara’, maka tak ada alas an untuk menolaknya, selagi tak bertentangan
dengan nash-nash yang ada.
Menerapkan hukum Islam juga bermakna melaksanakan reformasi
pemikiran dan inovasi pembahasan secara berkelanjutan untuk menemukan sesuatu
yang segar dan relevan dengan hukum syara’. Kembali lagi, taka da yang lebih tahu
5 Ibid, hlm. viii.
6 6 Ibid, hlm. xiii.
6. terkait ciptaan kecuali penciptanya sendiri. Hukum Islam adalah ialah Allah SWT
yang menjadi legislatornya. Hukum tersebut bersifat universal, kekal, dan terlepas
dari segala bentuk pengaruh kepentingan sepihak dan nafsu belaka.
Hukum Islam tak sesempit yang orang-orang asumsikan. Mereka yang
berteria21k tentang HAM tatkala hukum pidana Islam ditegakkan, sejatinya belum
mengerti bagaimana pengampilan keputusan hingga hukuman dijatuhkan.
Ketentuan-ketentuan hudud memang bersifat absolut. Namun hudud sendiri
memiliki berbagai aspek mulai dari unsur hingga syarat yang memenuhi. Mustahil
hukuman dijatuhkan apabila belum terpenuhinya unsur dan syaratnya, padahal
Islam sendiri merupakan agama yang menjunjung tinngi keadilan.
Sejatinya, di dalam Islam, hudud merupakan ancaman yang akan
menimbulkan perasaan takut bagi orang lain. Apabila ia diterapkan sekali saja,
maka akan banyak mencegah orang lain melakukan kejahatan serupa. Penulis
sendiri memperhatikan pada masa sekarang ini, Ketika media entertainment
menyuguhkan ribuan film yang berlatar pembalasan dendam. Karena melihat
kondisi sekarang, di mana hukum tak sepenuhnya diaplikasikan seirama dengan
yang namanya keadilan, membuat banyak pihak terutama korban mengalami
kekecewaan kepada penegak hukum tersebut. Tak jarang kita temukan berita
pembalasan dendam oleh korban kepada tersangka kejahatan terhadap dirinya.
Seandainya saja hukum Islam yang digunakan, insya Allah para calon pelaku akan
mempertimbangkan ribuan kali kejahatan yang hendak ia lakukan.
Tak etis rasanya apabila kita memandang suatu hukum hanya dari satu sisi
saja, yakni sisi kejamnya. Sementara sisi kekejaman pelaku kejahatan malah kita
kesampingkan dan seolah-olah buta terhadap yang demikian, seperti perampasan
kehormatan seseorang (kasus zina), perampokan harta benda orang lain (kasus
pencurian), menghabisi nyawa orang lain (kasus pembunuhan), dan banyak lagi
contohnya yang tak dapat dirincikan semua. Mengabaikan hikmah di balik fiqh
jinayah membuat kita seharusnya tak membuat kita apriori terhadaap syari’at Islam,
melainkan aposteriori dan bersemangat menguliknya lebih dalam.
Seringkali tersebab alasan masyarakat kian hari yang kian berubah, hukum
pun mesti berubah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Hukum baru harus
7. menggantikan hukum yang lama. Seolah-olah dikatakan bahwa hukum modern
lebih unggul disbanding yang lama, termasuk hukum Islam di dalamnya. Hal ini
tentu amat salah. Mereka membandingkan syari’at Islam dengan hukum modern,
lalu berkesimpulan bahwasanya syari’at tersebut tak lagi selaras dengan kehidupan
pada masa kini. Ia dinilai terlalu keras bagi masyarakat yang menjunjung tinggi hak-
hak asasinya sebagai manusia. Padahal apabila kita mau memperhatikan dan
menelitinya dari sudut pandang Islam sendiri, kita akan melihat bahwa syari’at jauh
lebih baik.7
Dalam hukum pidana modern, kita menemukan berbagai macam asas.
Seperti asas legalitas, asas tidak berlaku surut, asas praduga tak bersalah,
ketidakabsahan hukuman karena kesalahan,equality before the law (persamaan di
mata hukum), hingga asas nebis in idem (seseorang tak boleh dihukum dua kali atas
kesalahan yang sama). Para ahli hukum Barat mengklaim bahwa asas-asas tersebut
murni bersumber dari mereka. Hal tersebut tidaklah dapat dibenarkan seutuhnya dan
cenderung tidak adil. Lebih dari 14 abad lalu, hukum pidana Islam menjadi pencetus
asas tersebut dengan landasan yang valid dan tak bisa diragukan, yaitu AlQur’an
dan Sunnah Nabi Muhammad SAW.
Islam merupakan jalan hidup (way of life), yang maan apabila
diimplementasikan secara kaffah, akan menjadi pencegah utama melawan
kejahatan. Begitu luar biasanya Islam sebagai satu system hidup yang menyeluruh.
Menurut Abul A’la al-Maududi, fakta menakjubkan terkait syari’at yakni ia
merupakan satu kesatuan yang menyeluruh. Pemisahan yang dilakukan
sewenangwenang antar satu komponen dengan komponen yang lain akan
menyebabkan bahaya jiwa dan struktur syari’at itu sendiri.8
DAFTAR PUSTAKA
7 Santoso Topo, Membumikan Hukum Pidana Islam: Penegakan Syariat dalam Wacana dan
Agenda, (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), hlm. 10.
8 Abul A’la al-Maududi, The Islamic State and Constitution, (Lahore: Islamic Publication Ltd, 1983),
hlm. 52.
8. Al-Maududi, A. A. (1983). The Islamic State and Constitution. Lahore: Islamic
Publication Ltd.
An-Naim, A. A. (2001). Dekonstruksi Syari;ah. Yogyakarta: Lembaga Kajian Islam
dan Sosial.
Santoso, T. (2003). Membumikan Hukum Pidana Islam; Penegakan Syariat dalam
Wacana dan Agenda. Jakarta: Gema Insani.