Korupsi merupakan salah satu dari sekian istilah yang telah akrab di telinga masyarakat Indonesia, hamper setiap hari media massa memberitakan berbagai kasus korupsi yang dilakukan oleh aparatur Negara baik pegawai negeri ataupun pejabat Negara yang biasa disebut kalangan atas (upper class). Didalam kepustakaan kriminologi hal ini merupakan salah satu kejahatan jenis kejahatan kerah putih atau “white collar crime”. Seringnya terdengar istilah korupsi di masyarakat telah menunjukkan bahwa perhatian masyarakat semakin meningkat terhadap tindak pidana korupsi “white collar crime” yang dilakukan oleh orang-orang yang dipersepsikan oleh masyarakat sebagai orang-orang terkenal atau cukup terpandang namun merekalah yang membuat kemeralatan masyarakat. Timbulnya kejahatan jenis seperti ini menunjukan bahwa sudah tidak hanya kemiskinan saja yang menjadi penyebab timbuknya kejahatan, melainkan faktor kemakmuran dan kemewahan merupakan faktor pendorong orang-orang melakukan kejahatan. Penelitian dalam skripsi ini lebih mengkaji pada aspek perundang-undangan pemberantasan tindak pidana korupsi, karena perumusan undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi Nampak belum mampu untuk mencegah terjadinya tindak pidana korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan bahwa dalam kurun waktu tujuh tahun atau terhitung 2004 hingga 2011, Negara harus menanggung kerugian Rp. 39,3 triliun akibat tindak pidana korupsi.
KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSI YANG DILAKUKAN OLEH PEJABAT LEGISLATIF NEGARA
1. 1
KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGGULANGAN
TINDAK PIDANA KORUPSI YANG DILAKUKAN OLEH PEJABAT
LEGISLATIF NEGARA
ABSTRAK
Dengan semakin berkembangnya zaman dan semakin merebaknya
kejahatan korupsi bahkan yang dilakukan oleh kalangan atas (upper class).
Kalangan atas yang dimaksud dalam skripsi ini adalah pejabat legislatif negara
yaitu anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Seorang pejabat negara yang harusnya
menegakkan hukum justru marak melakukan korupsi. Permasalahan yang hendak
dibahas yaitu Bagaimanakah kebijakan hukum pidana dalam penanggulangan
tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pejabat legislatif negara? Dan Apakah
kebijakan ancaman pidana yang diatur dalam UU Tindak Pidana Korupsi sudah
cukup untuk mencegah terjadinya tindakan korupsi?Metode penelitian yang
dipergunakan dalam penelitian ini yaitu metode penelitian hukum normatif.
penelitian hukum normatif mencakup penelitian terhadap sistematika hukum,
penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum, penelitian sejarah hukum dan
penelitian perbandingan hukum.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan secara normatif dapat
diketahui bahwa Kebijakan hukum pidana dalam penanggulangan tindak pidana
korupsi yang dilakukan oleh pejabat legislatif negara diatur dalam KUHP Buku II
Bab XXVIII khususnya yang mengatur delik yang dilakukan oleh pejabat. Dalam
hal penyuapan (Pasal 209, 210, 418, 419 dan 420 KUHP) telah ditarik menjadi
delik korupsi menurut Pasal 5, 6, 7, 8, 9 dan 12 dengan Undang-undang No. 20
Tahun 2001 yang mengubah Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana
korupsi No. 31 Tahun 1999. Kebijakan hukum pidana yang mengatur mengenai
tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pejabat negara terutama lembaga
legislatif Sanksi pidana yang berat tidak hanya berorientasi pada jenis tindak
pidana tertentu melainkan juga berkaitan dengan pemberatan. Pemberatan atau
kualifikasi tertentu dari seorang pejabat atau aparat penegak hukum dapat
dipandang cukup beralasan untuk mengenakan sanksi pidana penjara seumur
hidup bagi pelaku tindak pidana korupsi.
Kata Kunci: Penanggulangan, Tindak Pidana, Korupsi, Pejabat Legislatif
ABSTRACT
Progressively expanding it change of epoch, and growing of badness of
corruption, even conducted by upper class. Such upper class in this script are all
legislative functionary of state, that is Parliament Member. A functioner which
ought to uphold law exactly conducting many corruption. The problems which
will be studied that is, how to policy of criminal law in preventive of corruption
doing an injustice conducted by legislative functionary of state ? And do policy of
crime threat which is arranged in Law Act Crime of Corruption have last for
2. 2
preventing the happening of corruption action ? Research method which is
utilized in this research that is, method research of normatif law. research of
normatif law include research to law systematic way, research to law
synchronization level, research of history punish and research of comparison of
law
Pursuant to result of conducted research by normatif, can know that
Policy of criminal law in preventive of act crime of corruption conducted by
legislative functionary of state, arranged in KUHP of Book II Chapter XXVIII,
specially arranging to glare at conducted by functionary. In the case of bribery
(Section 209, 210, 418, 419 and 420 of KUHP), have been pulled to become to
glare at corruption according to Section 5, 6, 7, 8, 9 and 12 with Law of No. 20
Year of 2001 altering Law Eradication of Act Crime Corruption of No. 31 Year of
1999. Policy of criminal law arranging to regarding act crime of corruption
conducted by functioner especially legislative institute. heavy crime sanction do
not only orienting at certain act crime type but also relate to weight. Heavy or
certain qualification from a government officer or functionary enforcer of law can
be looked into well founded to sanction crime serve a sentence for a lifetime to
perpetrator of act crime of corruption
Keyword : Preventive, Act Crime, Corruption, Legislative Functionary
I. PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Korupsi merupakan salah satu dari sekian istilah yang telah akrab di
telinga masyarakat Indonesia, hamper setiap hari media massa memberitakan
berbagai kasus korupsi yang dilakukan oleh aparatur Negara baik pegawai negeri
ataupun pejabat Negara yang biasa disebut kalangan atas (upper class). Didalam
kepustakaan kriminologi hal ini merupakan salah satu kejahatan jenis kejahatan
kerah putih atau “white collar crime”. Seringnya terdengar istilah korupsi di
masyarakat telah menunjukkan bahwa perhatian masyarakat semakin meningkat
terhadap tindak pidana korupsi “white collar crime” yang dilakukan oleh orang-
orang yang dipersepsikan oleh masyarakat sebagai orang-orang terkenal atau
cukup terpandang namun merekalah yang membuat kemeralatan masyarakat.1
Timbulnya kejahatan jenis seperti ini menunjukan bahwa sudah tidak hanya
kemiskinan saja yang menjadi penyebab timbuknya kejahatan, melainkan faktor
kemakmuran dan kemewahan merupakan faktor pendorong orang-orang
1
Teguh Sulista dan Aria Zumetti, 2011, Hukum Pidana : Horizon Baru Pasca Reformasi,
RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 63
3. 3
melakukan kejahatan.2
Penelitian dalam skripsi ini lebih mengkaji pada aspek
perundang-undangan pemberantasan tindak pidana korupsi, karena perumusan
undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi Nampak belum mampu
untuk mencegah terjadinya tindak pidana korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) menyatakan bahwa dalam kurun waktu tujuh tahun atau terhitung 2004
hingga 2011, Negara harus menanggung kerugian Rp. 39,3 triliun akibat tindak
pidana korupsi.3
I.2 Tujuan
Tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan jurnal ini yaitu untuk
mengetahui kebijakan hukum pidana dalam penanggulangan tindak pidana
korupsi yang dilakukan oleh pejabat legislatif, dan untuk mengetahui hambatan-
hambatan yang dihadapi advokat dalam memberikan jasa hukum kepada kliennya
dalam perkara tindak pidana korupsi.
II. ISI
II.1 Metode Penelitian
Adapun metode penelitian yang dipergunakan dalam penulisan ini yaitu
metode penelitian hukum normativemencakup penelitian terhadap sistematika
hukum, penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum, penelitian sejarah hukum
dan penelitian perbandingan hukum.4
II.2 Hasil Penelitian dan Pembahasan
II.2.1 Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Tindak Pidana
Korupsi Yang Dilakukan Oleh Pejabat Legislatif
Untuk melihat dampak merugikan akibat dari korupsi dapat dilihat dalam
Penjelasan Umum Undang-undang No.31 Tahun 1999 tentang pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi dikemukakan, ditengah upaya pembangunan nasional di
2
J.E Sahetapy, 1979, Kapita Selekta Kriminologi, Alumni, Bandung, h. 68-69
3
www.merdeka.com, Negara Rugi Rp. 39 Triliun Akibat Korupsi, diunduh pada 15
September 2013
4
Soerjono Soekanto, 2000, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta,h. 51
4. 4
berbagai bidang, aspirasi masyarakat untuk memberantas korupsi dan bentuk
penyimpangan lainnya semakin meningkat, karena dalam kenyataan adanya
perubahan korupsi telah menimbulkan kerugian Negara yang sangat besar yang
pada gilirannya dapat berdampak pada timbulnya krisis di berbagai bidang. Untuk
itu, upaya pencegahan dan pemberantasan perlu semakin ditingkatkan dan
diintensifkan dengan tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kepentingan
masyarakat. Menurut Center For International Crime Prevention (CICP), korupsi
mempunyai dimensi yang perbuatan yang luas meliputi tindak pidana suap
(bribery), penggelapan (embezzlement), penipuan (fraud), pemerasan yang
berkaitan dengan jabatan (exortion), penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power),
pemanfaatan kedudukan seseorang dalam aktivitas bisnis untuk kepentingan
perorangan yang bersifat ilegal (explotingna conflict interest, insider
trading), nepotisme, komisi illegal yang diterima oleh pejabat publik (illegal
commission) dan kontribusi uang secara ilegal untuk partai.5
Anggota DPR
tentunya memiliki Kode Etik, Pada Bab 18 yang mengatur mengenai Larangan
dan Sanksi, pada ketentuan Pasal 281 ayat (3) menyatakan bahwa : “Anggota
dilarang melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme serta dilarang menerima
gratifikasi.” Mengenai sanksi yang dijatuhkan bagi anggota DPR yang
melakukan pelanggaran atas ketentuan Kode Etik Pasal 281 ayat (3) diatur lebih
lanjut dalam ketentuan Pasal 282 Ayat (3) yang menyatakan bahwa : “Anggota
yang terbukti melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 281 ayat
(3) berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap dikenai sanksi pemberhentian sebagai anggota.” Sebagai Lembaga Tinggi
Negara, Dewan Perwakilan Rakyat dalam melaksanakan tugasnya mempunyai
alat kelengkapan sekaligus menjadi unsur penting dalam menjalankan fungsinya.6
II.2.2 Upaya Pencegahan Terjadinya Tindak Pidana Korupsi Di Kalangan
Pejabat Legislatif
5
Pujiyono, 2007, Kumpulan Tulisan Hukum Pidana, Mandar Maju, Bandung, h. 18
6
B.N Marbun, 1992, DPR-RI Pertumbuhan dan Cara Kerjanya, Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta, h. 226
5. 5
Korupsi masih terjadi secara masif dan sistematis. Praktiknya bisa
berlangsung di lembaga negara, lembaga privat, hingga di kehidupan sehari-hari.
Untuk itu, pencegahan menjadi layak didudukkan sebagai strategi perdananya
dalam Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan korupsi (Stranas PPK).
Stranas PPK dengan Peraturan Presiden No. 55 Tahun 2012 Strategi Nasional
Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Jangka Panjang Tahun 2012-2025 Dan
Jangka Menengah Tahun 2012-2014.7
Penindakan korupsi harus dimulai dari atas
ke bawah, bukan dari bawah ke atas. Artinya harus dimulai dari korupsi yang
triliunan dan ratusan milyar. Pemberantasan tindak pidana korupsi harus
dilakukan secara sistemik dan konsisten melalui pendekatan integral antara
upaya represif dan upaya preventif. Upaya represif atau sering disebut
upaya penal, dilakukan dengan menerapkan hukum pidana (criminal law
application) guna menimbulkan efek jera (deterrent effect) bagi pelaku dan
menimbulkan daya cegah (prevency effect) bagi masyarakat agar menghindari
segala bentuk korupsi. Upaya preventif, dilakukan melalui srana di luar hukum
pidana (non-penal). Sarana penanggulangan korupsi di luar hukum pidana dapat
dilakukan melalui: pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment) dan
mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat
media masa (influencing views of society on crime and punishment/mass media).8
III.PENUTUP
Kesimpulan
a. Kebijakan hukum pidana dalam penanggulangan tindak pidana korupsi yang
dilakukan oleh pejabat legislatif negara diatur dalam KUHP Buku II Bab
XXVIII khususnya yang mengatur delik yang dilakukan oleh pejabat. Dalam
hal penyuapan (Pasal 209, 210, 418, 419 dan 420 KUHP) telah ditarik menjadi
7
Harris Y.P. Sibuea,Pencegahan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia, Info Singkat
Hukum, Vol. VI, No. 18/II/P3DI/September/2014, h. 2
8
Kejaksaan Republik Indonesia, Seminar Strategi Dan Upaya Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi Melalui Tindakan Preventif dan
Represif,http://www.kejaksaan.go.id/unit_kejaksaan.php?
idu=28&idsu=39&idke=0&hal=1&id=1405, diunduh pada 01 Agustus 2014
6. 6
delik korupsi menurut Pasal 5, 6, 7, 8, 9 dan 12 dengan Undang-undang No.
20 Tahun 2001 yang mengubah Undang-undang Pemberantasan Tindak
Pidana korupsi No. 31 Tahun 1999.
b. Kebijakan hukum pidana yang mengatur mengenai tindak pidana korupsi yang
dilakukan oleh pejabat negara terutama lembaga legislatif Sanksi pidana yang
berat tidak hanya berorientasi pada jenis tindak pidana tertentu melainkan juga
berkaitan dengan pemberatan. Pemberatan atau kualifikasi tertentu dari
seorang pejabat atau aparat penegak hukum dapat dipandang cukup beralasan
untuk mengenakan sanksi pidana penjara seumur hidup bagi pelaku tindak
pidana korupsi.
IV. DAFTAR PUSTAKA
B.N Marbun, 1992, DPR-RI Pertumbuhan dan Cara Kerjanya, Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta
Harris Y.P. Sibuea,Pencegahan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia, Info
Singkat Hukum, Vol. VI, No. 18/II/P3DI/September/2014
J.E Sahetapy, 1979, Kapita Selekta Kriminologi, Alumni, Bandung
Kejaksaan Republik Indonesia, Seminar Strategi Dan Upaya Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi Melalui Tindakan Preventif dan
Represif,http://www.kejaksaan.go.id/unit_kejaksaan.php?
idu=28&idsu=39&idke=0&hal=1&id=1405, diunduh pada 01 Agustus
2014
Pujiyono, 2007, Kumpulan Tulisan Hukum Pidana, Mandar Maju, Bandung
Soerjono Soekanto, 2000, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta
Teguh Sulista dan Aria Zumetti, 2011, Hukum Pidana : Horizon Baru Pasca
Reformasi, RajaGrafindo Persada, Jakarta
www.merdeka.com, Negara Rugi Rp. 39 Triliun Akibat Korupsi, diunduh pada 15
September 2013
7. 6
delik korupsi menurut Pasal 5, 6, 7, 8, 9 dan 12 dengan Undang-undang No.
20 Tahun 2001 yang mengubah Undang-undang Pemberantasan Tindak
Pidana korupsi No. 31 Tahun 1999.
b. Kebijakan hukum pidana yang mengatur mengenai tindak pidana korupsi yang
dilakukan oleh pejabat negara terutama lembaga legislatif Sanksi pidana yang
berat tidak hanya berorientasi pada jenis tindak pidana tertentu melainkan juga
berkaitan dengan pemberatan. Pemberatan atau kualifikasi tertentu dari
seorang pejabat atau aparat penegak hukum dapat dipandang cukup beralasan
untuk mengenakan sanksi pidana penjara seumur hidup bagi pelaku tindak
pidana korupsi.
IV. DAFTAR PUSTAKA
B.N Marbun, 1992, DPR-RI Pertumbuhan dan Cara Kerjanya, Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta
Harris Y.P. Sibuea,Pencegahan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia, Info
Singkat Hukum, Vol. VI, No. 18/II/P3DI/September/2014
J.E Sahetapy, 1979, Kapita Selekta Kriminologi, Alumni, Bandung
Kejaksaan Republik Indonesia, Seminar Strategi Dan Upaya Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi Melalui Tindakan Preventif dan
Represif,http://www.kejaksaan.go.id/unit_kejaksaan.php?
idu=28&idsu=39&idke=0&hal=1&id=1405, diunduh pada 01 Agustus
2014
Pujiyono, 2007, Kumpulan Tulisan Hukum Pidana, Mandar Maju, Bandung
Soerjono Soekanto, 2000, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta
Teguh Sulista dan Aria Zumetti, 2011, Hukum Pidana : Horizon Baru Pasca
Reformasi, RajaGrafindo Persada, Jakarta
www.merdeka.com, Negara Rugi Rp. 39 Triliun Akibat Korupsi, diunduh pada 15
September 2013