Pemberontakan terhadap pemerintahan yang sah dalam perspektif fiqih jinayah dibahas dalam dokumen tersebut. Beberapa mazhab fiqih memiliki definisi berbeda tentang bughat, antara lain Malikiyyah yang mendefinisikannya sebagai penolakan taat kepada pemimpin yang sah, Hanafilah sebagai keluar dari ketaatan pemimpin yang sah, dan Syafi'iyyah sebagai ketidakpatuhan terhadap pemimpin neg
PPT SOSIALISASI PENGELOLAAN KINERJA GURU DAN KS 2024.pptx
21. 33020210143_Laily Nursita Hasna.pdf
1. PEMBERONTAKAN TERHADAP PEMERINTAHAN YANG SAH (AL-
BUGHAH) DALAM PERSPEKTIF FIQIH JINAYAH
Laily Nursita Hasna 33020210143
PENDAHULUAN
Bughat atau bughoh adalah gerombolan (pemberontak) yang menentang kekuasaan
negeri dan pemerintah yang sah dengan kekerasan senjata, baik karena salah pengertian
ataupun dengan factor-faktor lainnya. Kata bughoh jama‟ dari baaghin artinya seorang
penantang kekuasaan negeri dengan kekerasan senjata. Jadi yang dikatakan kaum
bughat, ialah orang-orang yang menolak (memberontak) kepada imam (pemimpin
pemerintah islam). Adapun yang dikatakan imam ialah pemimpin rakyat islam yang
mengurusi soal-soal kenegaraan dan keagamaannya. Adapun cara memberontak ialah
dengan:
a. Memisahkan diri dari wilayah kekuasaan imamnya.
b. Menentang kepada keputusan imam, atau menentang perintahnya dengan jalan
kekekrasan senjata.
Bughat termasuk jarimah politik.1
Yang dapat mengancam otoritas politik dan sistem
social yang sah. Aksi bughat menyusup didalam tubuh pemerintahan, atau tindakan
melawan pemegang kendali pemerintah terutama terhadap imam itu sendiri. Ini
diakibatkan dari lahirnya sikap menentang didalam melaksanakan kewajiban yang
berhubungan dengan hak Allah maupun yang berhubungan dengan hak manusia, atau
juga timbulnya gerakan untuk menggantikan pemerintah yang sah, akibatnya adalah
kebolehan memerangi para pemberontak.
1
A. Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Bulan Bintang, Jakarta, 1967), 19.
2. Terwujudnya suatu negara yang baik, aman, tentram dan mendapat kemampuan dari
Allah SWT, tidak terlepas dari adanya pemerintah yang sah yang diberi wewenang
untuk dapat mengendalikan roda pemerintahan. Hal itu juga tidak terlepas dari adanya
kesetiaan atau kepatuhan seluruh warga negara (rakyat) terhadap pemerintah.
PEMBAHASAN
Secara terminologi, terdapat perbedaan pendapat para ulama fiqh dalam
mendefinisikan bughat, antara lain:
1. Ulama Malikiyyah, mendefinisikan bughat sebagai tindakan mencegah atau
menolak untuk tunduk dan taat kepada imam atau orang yang
kepemimpinannya telah tetap dan tindakannya bukan dalam maksiat, dengan
cara menggulingkannya, dengan menggunakan alasan (ta‟wil). Dengan kata
lain, bughat adalah sekelompok orang muslim yang berseberangan dengan
imam (kepala negara) atauwakilnya, dengan menolak hak dan kewajiban atau
maksud menggulingkannya.
2. Ulama Hanafilah, bughat adalah keluar dari ketaatan kepada imam (kepala
negara) yang sah dengan cara dan alasan yang tidak sah atau tidak benar.
3. Ulama Syafi‟iyyah mendefinisikannya dengan orang-orang Islam yang tidak
patuh dan tunduk kepada pemimpin tertinggi negara dan melakukan suatu
gerakan massa yang didukung oleh suatu kekuatan dengan alasan-alasan
mereka sendiri.
4. Ulama Hanabilah mendefinisikannya dengan menyatakan ketidakpatuhan
terhadap pemimpin negara sekalipun pemimpin itu tidak adil dengan
menggunakan suatu kekuatan dengan alasanalasan sendiri.
3. Dari beberapa definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa pemberontakan adalah
pembangkangan terhadap kepala negara (imam) dengan menggunakan kekuatan
berdasarkan argumentasi atau alasan (ta‟wil).2
Al-Raghib Al-Asfahani mengemukakan bahwa penggunaan kata al-baghyu pada
umumnya mengandung arti tercela.3
Adapun secara terminologis, al-baghyu
dikemukakan oleh Abdul Qadir Audah dengan mengutip pendapat para ulama
mazhab.4
1. Menurut ulama kalangan Malikiyah.
Pemberontakan ialah sikap menolak untuk taat terhadap seseorang yang
dianggap sah kepemimpinannya bukan lantaran kemaksiatan dengan cara
melakukan perlawanan, walaupun dengan argumentasi kuat (takwil). Ulama
kalangan Hanafiyah memberikan definisi al-bughâh yang artinya segerombolan
muslimin yang menentang kepala negara atau wakilnya. Sikap menentang ini
dilakukan karena menolak kebenaran yang wajib atas sekelompok orang
muslim atau karena bertujuan untuk mengganti kepemimpinannya.5
2. Menurut ulama kalangan Hanafiyah.
Pemberontakan ialah keluar dari kedudukan terhadap penguasa yang benar.
Sementara itu, pemberontak ialah orang yang keluar dari ketaatan terhadap
penguasa yang sah dengan jalan tidak benar.6
3. Menurut ulama kalangan Syafi’iyah, Imam Ramli mengemukakan.
Para pemberontak ialah orang-orang Islam yang membangkang terhadap
penguasa dengan cara keluar dan meninggalkan ketundukan atau menolak
2
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), 111
3
Ibid.
4
Abdul Qadir Audah, Al-Tasyrî‘ Al-Jinâ’î Al-Islâmî, (Beirut: Mu’assasah Al-Risalah, 1992), jilid II,
hlm. 673.
5
Ibid.
6
Ibid. Lihat juga Muhammad Amin Ibnu Abidin, Raddi Al-Muhtâr ‘Alâ Durri Al-Muhtâr
4. kebenaran yang ditunjukkan kepada mereka, dengan syarat adanya kekuatan
serta adanya tokoh yang diikuti di kalangan mereka.7
Dengan pernyataan yang sedikit berbeda, Imam Al-Nawawi berpendapat sebagai
berikut:
Pemberontak, menurut fuqaha, ialah seseorang yang menentang penguasa. Orang
tersebut keluar dari ketundukan dengan cara menolak melakukan kewajiban-kewajiban
yang seharusnya ia lakukan atau dengan cara lainnya.8
Sementara itu, Ibnu Hajar Al-Haitami dalam kitab Tuhfah Al-Muhtâj mendefinisikan
pemberontakan sebagai berikut.
Al-Bughâh adalah bentuk jamak dari bâghin. Asal katanya adalah bagha yang berarti
zalim dan melampaui batas. Akan tetapi, istilah al-baghyu bukan sebagai suatu nama
yang tercela. Menurut pendapat yang paling shahih bagi kami, para pemberontak ketika
membangkang telah mempunyai argumentasi yang diperbolehkan menurut keyakinan
mereka, tetapi bagaimanapun mereka tetap salah.9
4. Menurut ulama kalangan Hanabilah.
Pemberontak ialah kelompok orang yang keluar dari ketundukan terhadap
penguasa, walaupun penguasa itu tidak adil dengan adanya alasan yang kuat.
Kelompok ini memiliki kekuatan, walaupun di dalamnya tidak terdapat tokoh
yang ditaati.10
7
Syamsuddin Muhammad bin Abi Al-Abbas Ahmad bin Hamzah bin Syihabuddin AlManufi Al-Ramli,
Nihâyah Al-Muhtâj ilâ Syarh Al-Minhâj, (Mesir: Mushthafa Al-Bab AlHalabi wa Auladuh, 1938), jilid
VII, hlm. 382–383.
8
Muhyiddin Abu Zakariya Yahya bin Syaraf bin Murri Al-Nawawi, Tahdzîb Al-Asmâ’ wa Al-Lughât,
(Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah), jilid III, hlm. 31.
9
Syamsuddin Muhammad Ibn Abi Al-Abbas Ahmad Ibn Hamzah Ibn Syihabuddin Ahmad (selanjutnya
disebut Ibnu Al-Hajar Al-Haitami), Tuhfah Al-Muhtâj bi Syarh Al-Minhâj, (Dar Al-Sadir), jilid IX, hlm.
65.
10
Abdul Qadir Audah, Al-Tasyrî‘ Al-Jinâ’î Al-Islâmî, jilid II, hlm. 674
5. Abdul Qadir Audah mengemukakan bahwa adil merupakan salah satu syarat
pemimpin. Akan tetapi, menurut pendapat terkuat (ulama empat mazhab dan golongan
Syiah Zaidiyah), hukum memberontak atas pemimpin yang fasik dan jahat adalah
haram, walaupun pemberontakan ini dilakukan dalam rangka amar ma’ruf nahi
mungkar.11
Alasannya, dengan memberontak pemerintah yang sah dan berdaulat,
justru akan menimbulkan kemungkaran yang lebih parah dari sebelumnya. Bahkan
sangat mungkin akan terjadi berbagai fitnah, kerusakan, kekacauan, pelanggaran
hukum, dan pertumpahan darah.12
Namun demikian, terdapat pendapat yang tidak
terlalu kuat bahwa ketika pemimpin negara tidak adil, tidak amanah, tidak konsisten,
dan korup; maka masyarakat bisa saja walk out (al-khul‘î) dan menyatakan tidak ikut
bertanggung jawab dengan semuanya. Sikap ini dinilai sebagai langkah preventif dan
risikonya lebih kecil.
Sementara itu, ulama kalangan Zhahiriyah berpendapat bahwa memberontak terhadap
pemimpin negara hukumnya haram, kecuali nyata-nyata ia zalim. Dalam kondisi
demikian, harus ada pemimpin tandingan yang dapat melawan pemimpin zalim itu dan
tentu saja dengan catatan pemerintahan yang baru harus lebih adil dari yang
sebelumnya. Kalau keduanya berlaku zalim, maka harus diteliti kembali mana yang
lebih parah kezalimannya, baru setelah itu diperangi.
Dalam menentukan sanksi terhadap para pelaku pemberontak, ulama fiqh membagi
jarimah pemberontak itu menjadi dua bentuk, yaitu sebagai berikut:
1. Para pemberontak yang tidak memiliki kekuatan senjata dan tidak menguasai
daerah tertentu sebagai basis mereka, pemerintah boleh memenjarakan mereka
sampai mereka bertaubat.
2. Para pemberontak yang menguasai suatu daerah dan memiliki kekuatan senjata,
pemerintah harus melakukan tindakan sesuai dengan petunjuk Surah Al-
11
Abdul Qadir Audah, Al-Tasyrî‘ Al-Jinâ’î Al-Islâmî, jilid II, hlm. 678.
12
Ibid.
6. Hujurât (49) ayat 9. Pemerintah harus mengimbau mereka untuk mematuhi
segala peraturan yang berlaku. Apabila usaha ini disambut dengan gerakan
senjata, pemerintah boleh memerangi mereka.
Dalam tindak pidana pemberontakan terdapat tiga rukun penting, yaitu (1)
memberontak terhadap pemimpin negara yang sah serta berdaulat, (2) dilakukan secara
demonstratif, dan (3) termasuk tindakan pidana.13
1. Memberontak terhadap Pemimpin Negara yang Sah dan Berdaulat
Maksudnya adalah upaya untuk memberhentikan pemimpin negara dari
jabatannya. Para pemberontak tidak mau mematuhi undang-undang yang sah
dan tidak mau menunaikan kewajiban mereka sebagai warga negara.Namun
demikian, para ulama fiqh menyatakan bahwa pemberontakan yang muncul
karena pemerintah mengarahkan warganya untuk berbuat maksiat tidak dapat
dinamakan al-baghyu.
2. Dilakukan Secara Demonstratif
Maksudnya adalah didukung oleh kekuatan bersenjata. Oleh sebab itu menurut
ulama fiqh, sikap sekadar menolak kepala negara yang telah diangkat secara
aklamasi, tidak dinamakan al-baghyu. Misalnya, sikap Ali bin Abi Thalib yang
tidak mau membaiat Abu Bakar atau sikap Ibnu Umar dan Abdullah bin Zubair
yang tidak mengakui keabsahan pemerintahan Yazid bin Mu’awiyyah. Sikap
mereka tidak termasuk al-baghyu karena sikap mereka tidak demonstratif.
Menurut Abdul Qadir Audah, keengganan Ali tersebut hanya berlangsung
selama satu bulan. Setelah itu, ia membaiat Abu Bakar.14
Adapun orang yang
hingga wafat tidak mau membaiat adalah Sa’ad bin Ubadah.15
13
Ibid.
14
Abdul Qadir Audah, Al-Tasyrî‘ Al-Jinâ’î Al-Islâmî, jilid II, hlm. 687.
15
Ibid.
7. Contoh lainnya adalah golongan Khawarij16
yang ada pada masa pemerintahan
Khalifah Ali bin Abi Thalib. Mengenai hal ini, Imam Al-Syafi’i mengatakan:
Sesungguhnya sekelompok orang yang menampakkan sikap seperti kaum Khawarij
dengan memisahkan diri dari jamaah, bahkan menganggap jamaah tersebut kafir, tidak
menyebabkan diperbolehkannya memerangi kelompok ini sebab mereka masih berada
di bawah perlindungan iman. Hal tersebut tidak menjadikan mereka berubah status
menjadi (murtad) yang Allah perintahkan untuk diperangi.17
KESIMPULAN
Malikiyyah, mendefinisikan bughat sebagai tindakan mencegah atau menolak untuk
tunduk dan taat kepada imam atau orang yang kepemimpinannya telah tetap dan
tindakannya bukan dalam maksiat, dengan cara menggulingkannya, dengan
menggunakan alasan . Dengan kata lain, bughat adalah sekelompok orang muslim yang
berseberangan dengan imam atauwakilnya, dengan menolak hak dan kewajiban atau
maksud menggulingkannya.
Hanafilah, bughat adalah keluar dari ketaatan kepada imam yang sah dengan cara dan
alasan yang tidak sah atau tidak benar.
Syafi‟iyyah mendefinisikannya dengan orang-orang Islam yang tidak patuh dan tunduk
kepada pemimpin tertinggi negara dan melakukan suatu gerakan massa yang didukung
oleh suatu kekuatan dengan alasan-alasan mereka sendiri.
16
Lihat Muhammad bin Ali bin Muhammad Al-Syaukani, Nail Al-Autâr, (Beirut: Dar Al-Fikr), jilid IV,
hlm. 239.
17
Abu Abdillah Muhammad bin Idris Al-Syafi’i (selanjutnya disebut Al-Syafi’i), Al-Umm, (Maktabah
Al-Kulliyah Al-Azhariyyah, 1961), jilid III, hlm. 217.
8. Pemberontak, menurut fuqaha, ialah seseorang yang menentang penguasa. Orang
tersebut keluar dari ketundukan dengan cara menolak melakukan kewajiban-kewajiban
yang seharusnya ia lakukan atau dengan cara lainnya.
Al-Bughâh adalah bentuk jamak dari bâghin. Asal katanya adalah bagha yang berarti
zalim dan melampaui batas. Akan tetapi, istilah al-baghyu bukan sebagai suatu nama
yang tercela. Menurut pendapat yang paling shahih bagi kami, para pemberontak ketika
membangkang telah mempunyai argumentasi yang diperbolehkan menurut keyakinan
mereka, tetapi bagaimanapun mereka tetap salah.
Oleh sebab itu menurut ulama fiqh, sikap sekadar menolak kepala negara yang telah
diangkat secara aklamasi, tidak dinamakan al-baghyu. Misalnya, sikap Ali bin Abi
Thalib yang tidak mau membaiat Abu Bakar atau sikap Ibnu Umar dan Abdullah bin
Zubair yang tidak mengakui keabsahan pemerintahan Yazid bin Mu’awiyy
DAFTAR PUSTAKA
Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Bulan Bintang, Jakarta, 1967), 19.
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), 111
Abdul Qadir Audah, Al-Tasyrî‘ Al-Jinâ’î Al-Islâmî, (Beirut: Mu’assasah Al-Risalah,
1992), jilid II, hlm. 673.
Syamsuddin Muhammad bin Abi Al-Abbas Ahmad bin Hamzah bin Syihabuddin
AlManufi Al-Ramli, Nihâyah Al-Muhtâj ilâ Syarh Al-Minhâj, (Mesir:
Mushthafa Al-Bab AlHalabi wa Auladuh, 1938), jilid VII, hlm. 382–383.
Muhyiddin Abu Zakariya Yahya bin Syaraf bin Murri Al-Nawawi, Tahdzîb Al-Asmâ’
wa Al-Lughât, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah), jilid III, hlm. 31.
Syamsuddin Muhammad Ibn Abi Al-Abbas Ahmad Ibn Hamzah Ibn Syihabuddin
Ahmad (selanjutnya disebut Ibnu Al-Hajar Al-Haitami), Tuhfah Al-Muhtâj bi
Syarh Al-Minhâj, (Dar Al-Sadir), jilid IX, hlm. 65.
Abdul Qadir Audah, Al-Tasyrî‘ Al-Jinâ’î Al-Islâmî, jilid II, hlm. 674
Abdul Qadir Audah, Al-Tasyrî‘ Al-Jinâ’î Al-Islâmî, jilid II, hlm. 678.
9. Abdul Qadir Audah, Al-Tasyrî‘ Al-Jinâ’î Al-Islâmî, jilid II, hlm. 687.
Lihat Muhammad bin Ali bin Muhammad Al-Syaukani, Nail Al-Autâr, (Beirut: Dar
Al-Fikr), jilid IV, hlm. 239.
Abu Abdillah Muhammad bin Idris Al-Syafi’i (selanjutnya disebut Al-Syafi’i), Al-
Umm, (Maktabah Al-Kulliyah Al-Azhariyyah, 1961), jilid III, hlm. 217.