Berdasarkan dokumen tersebut, ada beberapa poin penting yang dapat dirangkum dalam 3 kalimat:
1) Dokumen membahas upaya penanggulangan korupsi melalui jalur hukum pidana dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dan implikasinya terhadap UU Tipikor. 2) Beberapa pasal korupsi di RKUHP diantaranya mengatur hukuman pidana untuk korupsi yang dapat berupa pidana
2. BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Korupsi merupakan gabungan dari dua unsur kejahatan yaitu “pencurian” dan “penipuan”.
“Mencuri” dalam ranah korupsi berarti mengambil sesuatu yang bukan miliknya, sementara unsur
“menipu” terjadi karena pelaku melakukan berbagai cara agar perbuatannya tersebut tidak diketahui.
Berdasarkan UU Tipikor, korupsi merupakan kejahatan yang merugikan negara. Dampak dari adanya
korupsi menghasilkan kerusakan masif yang dirasakan oleh masyarakat dalam jangka panjang, mulai dari
dampak terhadap ekonomi; sosial dan kemiskinan masyarakat; birokrasi pemerintahan; politik dan
demokrasi; penegakan hukum; pertahanan dan keamanan serta terhadap kerusakan lingkungan (buku
Pendidikan Anti Korupsi untuk Perguruan Tinggi oleh Kemendikbud RI).
Korupsi yang mampu menarik perhatian masyarakat adalah korupsi berjenis white collar crime.
Korupsi tersebut terjadi di kalangan atas lembaga negara, orang-orang terhormat yang seharusnya
memegang teguh amanah serta menjadi panutan dalam masyarakat, namun merekalah yang justru
membuat kemelaratan dalam negeri ini. Hasil survey oleh lembaga Transparency International juga
menyatakan bahwa DPR merupakan lembaga negara terkorup diatas birokrasi, DPRD, Dirjen Pajak, dan
kepolisian. Penilaian ini didukung dengan fakta bahwa sejak tahun 2004 hingga tahun 2013 terdapat 74
anggota DPR yang tersangkut kasus korupsi. Selanjutnya pada periode 2014-2019 hampir semua partai
dalam DPR terlibat dalam kasus korupsi, misalnya I Putu Sudiartana dari Demokrat, Patrice Rio Capella
dari Partai Nasdem, Andriansyah dari PDIP, Dewie Yasin Limpo dari Partai Hanura, Damayanti Wisnu
Putranti dari PDIP, Budi Supriyanto dari Golkar, Andi Taufan Tirto dari PAN, Yudi Widiana Adi dari
PKS, serta Musa Zainuddin dari PKB.
Timbulnya kejahatan berkerah putih seperti itu menunjukan bahwa sudah tidak hanya kemiskinan
saja yang menjadi penyebab timbulnya kejahatan, melainkan faktor kemakmuran dan kemewahan
merupakan faktor pendorong orang-orang melakukan kejahatan. Upaya-upaya pemberantasan korupsi
yang diambil oleh pemerintah sepertinya tidak banyak membuat para pelaku maupun calon pelaku merasa
jera. Kebijakan hukum yang diterapkan sepertinya belum menyentuh hakikat dari pembentukan hukum
itu sendiri untuk memberantas korupsi. Kondisi tersebut dibuktikan dengan kenyataan bahwa indeks
persepsi korupsi Indonesia tahun 2013 tidak jauh berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, hingga
periode tahun 2017 lalu, angka indeks persepsi korupsi Indonesia pun justru sama, yaitu memperoleh skor
34 dari rentang skor 0-100, dimana angka 100 menunjukkan kondisi bersih dari korupsi. Ini artinya dalam
3. bertahun-tahun Indonesia masih dipersepsikan sebagai negara yang tidak serius dalam memberantas
korupsi.
Salah satu penyebab gagalnya upaya pemberantasan korupsi adalah masih ditemukannya unsur
transaksi terhadap pengimplementasian hukum itu sendiri, misalnya pemberian dan penerimaan suap
demi memperoleh keringanan hukum atau meringankan suatu perkara dalam kejaksaan. Contoh
konkretnya yaitu terjadi pada kasus penyuapan oleh advokat Agus Wiratno dan HM Saipudin untuk
menyuap hakim Pengadilan Negeri Tangerang terkait dengan pengurusan perkara perdata wanprestasi
yang disidangkan, kasus penyuapan Dada Rosada kepada hakim untuk mempengaruhi putusan sidang,
serta kasus-kasus penyuapan lain. Kelemahan penegakan hukum juga diakibatkan karena ketidakjelasan
dan ketidaktegasan mengenai pembuktian, serta sanksi hukuman yang tidak setimpal dengan dampak
yang ditimbulkan dari perbuatan koruptor. Contohnya yaitu vonis hakim terhadap Inspektur Jenderal
Djoko Susilo yang hanya dikenai hukuman 10 tahun penjara, dinilai terlalu ringan dibandingkan dengan
tuntutan jaksa selama 18 tahun penjara, padahal perbuatan beliau telah menimbulkan kerugian negara
sebesar RP121 miliar dari proyek senilai Rp196,8 miliar. Selain itu diperoleh fakta yang mencengangkan
yang dari berita dalam laman Kompas.com bahwa berdasarkan diskusi grup yang dilakukan beberapa kali
oleh KPK, Adnan Pandu Praja, mantan wakil ketua KPK, menyimpulkan bahwa ada kecenderungan
semakin besar uang yang dikorupsi, hukuman terhadap koruptornya semakin ringan. Tentu hal ini
berbanding terbalik dengan prinsip tindak pidana korupsi dengan ancaman hukuman minimum sampai
maksimum yang salah satunya tercantum dalam UU Tipikor.
Meskipun hukum telah dinilai gagal dalam memberantas perilaku korupsi, hukum tidak boleh lalu
dihilangkan. Upaya-upaya untuk memberantasnya harus terus-menerus dilakukan, namun berhasil
tidaknya upaya tersebut adalah bergantung pada keseriusan pemerintah beserta jajarannya untuk
bersungguh-sungguh dalam menanggulanginya. Masyarakat juga diharapkan dapat berpartisipasi aktif
untuk turut mendukung program-program pemerintah dalam memberantas korupsi. Perlu dilakukan upaya
penanggulangan yang serius melalui politik kriminal baik melalui upaya penal (hukum pidana), non penal
(non pidana), maupun gabungan diantara keduanya. Upaya penal lebih bersifat represif, yaitu
menanggulangi setelah terjadinya kejahatan, sedangkan upaya non penal bersifat preventif, yaitu
mencegah terjadinya kejahatan. Dalam jalur penal, upaya pemberantasan korupsi ditujukan pada pelaku-
pelaku korupsi, sehingga tujuan dari jalur ini adalah agar hukuman tersebut memberikan efek jera bagi
pelaku. Sedangkan penanggulangan melalui jalur non-penal yaitu melalui pencegahan tanpa pidana
maupun mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat media masa,
sehingga tujuannya adalah untuk memberikan rasa takut bagi seseorang untuk melakukan korupsi.
Dengan demikian kelemahan upaya non-penal adalah terletak pada tujuannya yang dalam jangka panjang,
sehingga dibutuhkan proses lama untuk terus mengedukasi masyarakat Indonesia tak terkecuali pejabat-
4. pejabat negara untuk memiliki kesadaran dalam diri untuk tidak berbuat korupsi, walaupun sebenarnya
jalur ini efektif dalam memberantas perilaku tersebut karena berasal dari kesadaran diri sendiri.
Upaya melalui jalur penal (hukum pidana) untuk penanggulangan korupsi di Indonesia salah satunya
diatur dalam UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah
diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 (UU Tipikor). Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi secara khusus mengatur hukum acara sendiri terhadap penegakan hukum pelaku tindak pidana
korupsi, secara umum dibedakan dengan penanganan pidana khusus lainya. Hal ini mengingat bahwa
korupsi merupakan extra ordinary crime yang harus didahulukan dibanding tindak pidana lainnya1
.
Sebelum adanya undang-undang yang khusus mengatur tindak pidana korupsi, tindak pidana yang
serupa dengan tindak pidana korupsi dikenakan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
terutama Pasal 209, 210, 387, 388, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, dan 435 KUHP. KUHP atau Kitab
Undang-undang Hukum Pidana adalah kitab undang-undang hukum yang berlaku sebagai dasar hukum di
Indonesia. KUHP yang sekarang diberlakukan adalah KUHP yang bersumber dari hukum kolonial
Belanda, yakni Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie. KUHP yang berlaku saat ini dinilai
banyak pihak sudah tidak relevan dengan sistem hukum pidana yang ideal, sehingga perlu adanya
pembaharuan hukum yang salah satu caranya yaitu dengan merevisi KUHP.
RKUHP disusun DPR dan Pemerintah untuk membuat kodifikasi pasal-pasal hukum pidana yang ada
dan tersebar di berbagai aturan hukum positif yang ada ke dalam satu buku hukum, sehingga pemuatan
kembali pasal-pasal yang mengatur tindak pidana khusus tersebut tetap akan dilaksanakan oleh lembaga
yang diatur dalam UU masing-masing. Salah satu yang direncanakan termuat dalam RKUHP adalah
terkait delik korupsi. Atas rencana tersebut, KPK menolak pasal-pasal tindak pidana khusus dimasukkan
dalam RUU KUHP,termasuk kasus korupsi. KPK menyatakan adanya disparitas atau kesenjangan antara
hukuman koruptor yang diatur dalam RUU KUHP dengan UU No 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana
Korupsi (Tipikor). KPK menilai tindak pidana korupsi merupakan kejahatan luar biasa atau extra
ordinary crime. Oleh karenanya, KPK tetap menginginkan bahwa delik korupsi harus di luar Kitab
Undang-undang Hukum Pidana.
Rencana delik korupsi dimasukkan dalam RKUHP belum menemui titik terang dan terus menuai
kontroversi, oleh karenanya dalam paper ini akan dibahas lebih lanjut mengenai bagaimana implikasi dari
RKUHP dalam upaya pemberantasan korupsi, apakah cenderung melemahkan atau malah memperbaiki.
5. B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan dari latar belakang diatas, maka rumusan masalah yang ingin diketahui
adalah:
1. Bagaimana penanggulangan tindak pidana korupsi yang diterapkan melalui jalur penal dalam
perancangan hukum pidana (RKUHP) ?
2. Bagaimana kondisi atau upaya yang seharusnya dilakukan agar RKUHP dapat dikatakan efektif?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan adalah berkaitan dengan jawaban rumusan masalah, yaitu:
1. Untuk mengetahui bagaimana upaya penanggulangan tindak pidana korupsi yang diterapkan
melalui jalur penal dalam perancangan hukum pidana (RKUHP) ?
2. Untuk menyikapi bagaimana seharusnya RKUHP dapat dikatakan efektif
6. BAB II
DATA DAN FAKTA
Dalam menganalisis efektifitas hubungan antara RKUHP dengan UU Tipikor, maka di dalam bab ini
akan diuraikan pasal-pasal yang berhubungan antar keduanya. Selanjutnya, hasil analisis akan dituangkan
dalam pembahasan di bab selanjutnya. Adapun sebagian pasal-pasal terkait korupsi yang yang termuat
dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang tercantum dalam Tabel 001.
Tabel 001. Sebagian Pasal tentang Korupsi dalam RKUHP
Pasal Perbuatan Korupsi Hukuman Pidana
687 Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan
perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara
atau perekonornian negara karena melakukan tindak
pidana korupsi
pidana penjara seumur hidup
atau pidana penjara paling
singkat 4 – 20 tahun
denda paling sedikit
Kategori II dan paling
banyak Kategori VI.
Dalam hal tindak pidana
korupsi sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan dalam keadaan
tertentu, pidana mati dapat
dijatuhkan.
688 Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana
yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang
dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
Negara
pidana penjara seumur hidup
atau pidana penjara paling
singkat 1 – 20 tahun
denda paling sedikit
Kategori II dan paling
banyak Kategori IV
689 Pengembalian kerugian keuangan negara atau
perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya
pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal
(689) dan Pasal(688).
690 a) memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai
negeri atau penyelenggara negara dengan maksud
supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara
tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam
jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;
b) memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau
Dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 1 (satu) tahun dan
paling lama 5 (lima) tahun dan
denda paling sedikit Kategori II
dan paling banyak Kategori IV,
7. penyelenggara negara karena atau berhubungan
dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban,
dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
setiap orang yang:
691 a) memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim
dengan maksud untuk mempengaruhi putusan
perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili;
b) memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang
yang menurut ketentuan peraturan perundang-
undangan ditentukan menjadi advokat untuk
menghadiri negara pengadilan dengan maksud untuk
mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan
diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan
kepada pengadilan untuk diadili.
c) Bagi hakim yang menerima pemberian atau janji
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau
advokat yang menerima pemberian atau janji
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b,
dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana
dimaksud dalam ayat diatas.
Dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 3 (tiga) tahun dan
paling lama 15 (lima belas)
tahun dan denda paling sedikit
Kategori II dan paling banyak
Kategori IV,
692 a) pemborong, ahli bangunan yang pada waktu
membuat bangunan, atau penjual bahan bangunan
yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan,
melakukan perbuatan curang yang dapat
membahayakan keamanan orang atau barang, atau
keselamatan negara dalam keadaan perang;
b) setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan
atau penyerahan bahan bangunan, sengaja
membiarkan perbuatan curang sebagaimana
dimaksud dalam huruf a;
c) setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang
keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau
Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan
perbuatan curang yang dapat membahayakan
keselamatan negara dalam keadaan perang; atau
d) setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan
barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan
atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan
sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana
dimaksud dalam huruf c.
e) Bagi orang yang menerima penyerahan bahan
bangunan atau orang yang menerima penyerahan
barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan
Dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 2 (dua) tahun dan
paling lama 7 (tujuh) tahun dan
denda paling sedikit Kategori II
dan paling banyak Kategori IV
8. atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dan
membiarkan perbuatan curang sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf c,
dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1).
693 pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang
ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus
menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja
menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan
karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat
berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang
lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan
tersebut.
Dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 3 (tiga) tahun dan
paling lama 15 (lima belas)
tahun dan denda paling sedikit
Kategori II dan paling banyak
Kategori IV,
694 pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang
diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara
terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan
sengaja memalsu buku-buku atau daftar-daftar yang
khusus untuk pemeriksaan administrasi
Dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 1 (satu) tahun dan
paling lama 5 (lima) tahun dan
denda paling sedikit Kategori II
dan paling banyak Kategori IV
695 pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang
diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara
terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan
sengaja:
a. menggelapkan, menghancurkan, merusakkan,
atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta,
surat, atau daftar yang digunakan untuk
meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat
yang berwenang, yang dikuasai karena
jabatannya; atau
b. membiarkan orang lain menghilangkan,
menghancurkan, merusakkan, atau membuat
tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau
daftar tersebut; atau
c. membantu orang lain menghilangkan,
menghancurkan, merusakkan, atau membuat
tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau
daftar tersebut.
Dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 2 (dua) tahun dan
paling lama 7 (tujuh) tahun dan
denda paling sedikit Kategori II
dan paling banyak Kategori IV
9. 696 pegawai negeri atau penyelenggara negara yang
menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut
diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena
kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan
jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang
memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan
dengan jabatannya.
Dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 1 (satu) tahun dan
paling lama 5 (lima) tahun dan
denda paling sedikit Kategori II
dan paling banyak Kategori IV
697 a. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang
menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau
patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut
diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau
tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang
bertentangan dengan kewajibannya;
b. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang
menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga
bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau
disebabkan karena telah melakukan atau tidak
melakukan sesuatu dalam jabatannya yang
bertentangan dengan kewajibannya;
c. hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal
diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji
tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan
perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili;
d. seseorang yang menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan ditentukan menjadi advokat
untuk menghadiri negara pengadilan, menerima
hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga
bahwa hadiah atau janji tersebut untuk mempengaruhi
nasihat atau pendapat yang akan diberikan,
berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada
pengadilan untuk diadili;
e. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang
dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau
orang lain secara melawan negara, atau dengan
menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang
memberikan sesuatu, membayar, atau menerima
pembayaran dengan potongan, atau untuk
mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri; pegawai
negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu
menjalankan tugas, meminta, menerima, atau
memotong pembayaran kepada pegawai negeri atau
penyelenggara negara yang lain atau kepada kas
Dipidana dengan pidana penjara
seumur hidup atau pidana
penjara paling singkat 4 (empat)
tahun dan paling lama 20 (dua
puluh) tahun dan denda paling
sedikit Kategori II dan paling
banyak Kategori VI
10. umum, seolah-olah pegawai negeri atau
penyelenggara negara yang lain atau kas umum
tersebut mempunyai utang kepadanya, padahal
diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang;
f. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada
waktu menjalankan tugas, meminta atau menerima
pekerjaan, atau penyerahan barang, seolah-olah
merupakan utang kepada dirinya, padahal diketahui
bahwa hal tersebut bukan merupakan utang;
g. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada
waktu menjalankan tugas, telah menggunakan tanah
negara yang di atasnya terdapat hak pakai, seolah-
olah sesuai dengan peraturan perundang-undangan,
telah merugikan orang yang berhak, padahal
diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan; atau
h. pegawai negeri atau penyelenggara 10egara baik
langsung maupun tidak langsung dengan sengaja
turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau
persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan,
untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk
mengurus atau mengawasinya.
698 (1) Ketentuan mengenai pidana penjara dan pidana
denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 690,
Pasal 691, Pasal 692, Pasal 693, Pasal 694, Pasal
695, Pasal 696 dan Pasal 697 tidak berlaku bagi
tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp
5.000.000,00 (lima juta rupiah).
(2) Bagi pelaku tindak pidana korupsi yang nilainya
kurang dari Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah)
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dipidana dengan pidana penjara
paling lama 3 (tiga) tahun dan
pidana denda paling banyak
Kategori II.
Sumber : RKUHP versi 9 Juli 2018 (data diolah)
Pasal-pasal yang tampak dalam tabel 001 tersebut hanyalah sebagian aturan yang terkait dengan
korupsi. Pasal-pasal tersebut dipilih karena itulah yang menjadi perbandingan dengan pasal-pasal yang
terdapat dalam UU Tipikor yang masuk dalam sebagian pembahasan di bab selanjutnya. Adapun pasal-
pasal UU Tipikor yang dipilih adalah sebagaimana termuat dalam tabel 002.
Tabel 002. Sebagian Pasal-pasal dalam UU Tipikor
11. Pasal Perbuatan Korupsi Hukuman Pidana
2 Setiap orang yang secara melawan negara
melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau
orang lain atau suatu korporasi yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara
Penjara seumur hidup atau pidana
penjara 4 – 20 tahun
Denda Rp. 200.000.000 – Rp.
1.000.000.000
Dalam keadaan tertentu, pidana
mati dapat dijatuhkan
3 Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan
diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau
sarana yang ada padanya karena jabatan atau
kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara
Penjara seumur hidup atau pidana
penjara 1 – 20 tahun
Denda Rp. 50.000.000 – Rp.
1.000.000.000
5 Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada
pegawai negri atau penyelenggara negara dengan
maksud supaya pegawai negeri atau
penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak
berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang
bertentangan dengan kewajibannya
Memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau
penyelenggara negara karena atau berhubungan
dengan sesuatu yang bertentangan dengan
kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam
jabatannya
Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang
menerima pemberian atau janji berhubungan
dengan sesuatu yang bertentangan dengan
kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam
jabatan
Penjara 1 – 5 tahun
Denda Rp 50.000.000 –Rp
250.000.000
6 Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim
dengan maksud untuk mempengaruhi putusan
perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadil
Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada
seseorang yang menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan ditentukan menjadi advokat
untuk menghadiri pengadilan dengan maksud
untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang
akan diberikan berhubung dengan perkara yang
diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.
Bagi hakim yang menerima pemberian pemberian
atau janji
Penjara 3 -15 tahun
Denda Rp 150.000.000 – Rp
750.000.000
7 Pemborong, ahli bangunan yang pada waktu
membuat bangunan, atau penjual bahan bangunan
yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan,
melakuakn perbuatan curang yang dapat
membahayakan keamanan orang atau barang, atau
keselamatan negara dalam keadaan perang
setiap orang yang bertugas mengawasi
Penjara 2 – 7 tahun
Denda Rp100.000.000 –
Rp350.000.000
12. pembangunan atau penyerahan bahan bangunan,
sengaja membiarkan perbuatan curang
setiap orang yang pada waktu menyerahkan
barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan
atau Kepolisisan Negara Republik Indonesia
melakukan perbuatan curang yang dapat
membahayakan keselamatan negaradalam
keadaaan perang
Setiap orang yang bertugas mengawasi
penyerahan barang keperluan Tentara Nasional
Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik
Indonesia dengan sengaja membiarkan perbuatan
curang
Bagi orang yang menerima penyerahan bahan
bangunan atau orang yang menerima penyerahan
barnag keperluan Tentara Nasional Indonesia dan
atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dan
membiarkan perbuatan curang
8 Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri
yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum
secara terus menerus atau untuk sementara waktu,
dengan sengaja menggelapkan uang atau surat
berharga yang disimpan karena jabatannya, atau
membiarkan uang atau surat berharga tersebut
diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau
membantu dalam melakukan perbuatan tersebut.
Penjara 3 – 15 tahun
Denda Rp150.000.000 –
Rp750.000.000
9 Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri
yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum
secara terus menerus atau untuk sementara waktu,
dengan sengaja memalsu buku-buku atau daftar-
daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi.
Penjara 1 – 5 tahun
Denda Rp50.000.000 –
Rp150.000.000
10 Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri
yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum
secara terus menerus atau untuk sementara waktu,
dengan sengaja :
Menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau
membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat,
atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan
atau membuktikan di muka pejabat yang
berwenang, yang dikuasai karena jabatannya; atau
Membiarkan orang lain menghilangkan,
menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak
dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar
tersebut, atau
Membantu orang lain menghilangkan,
menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak
dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar
Penjara 2 – 7 tahun
Denda Rp100.000.000 – Rp
350.000.000
13. tersebut
11 Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang
menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau
patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut
diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang
berhubungan dengan jabatannya atau yang menurut
pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji
tersebut ada hubungan dengan jabatannya.
Penjara 1 – 5 tahun
Denda Rp 50.000.000 –
Rp250.000.000
12 Pegawai negeri atau penyelenggaran negara yang
menerima hadiah atau janji, padahal diketahui
atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut
diberikan untuk menggerakkan agar melakukan
atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya,
yang bertentangan dengan kewajibannya
Pegawai negeri atau penyelenggaran negara yang
menerima hadiah, padahal diketahui atau patut
diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai
akibat atau disebabkan karena telah melakukan
atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya
yang bertentangan dengan kewajibannya
Hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal
diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau
janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi
putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk
diadili.
Seseorang yang menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan ditentukan menjadi advokat
untuk menghadiri negara pengadilan, menerima
hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut
diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan
untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang
akan diberikan, berhubung dengan perkara yang
diserahkan kepada pegadilan untuk diadili
Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang
dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau
orang lain secara melawan negara, atau dengan
menyalahgunakan kekuasaannya memaksa
seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau
menerima pembayaran dengan potongann, atau
untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri
Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang
pada waktu menjalankan tugas, meminta,
menerima, atau memotong pembayaran kepada
pegawai negeri atau penyelenggara negara yang
lain atau kepada kas umum, seolah-olah pegawai
negeri atau penyelenggara negara yang lain atau
kas umum tersebut mempunyai utang kepadanya,
padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan
merupakan utang
Penjara seumur hidup atau 4 – 20
tahun
Denda Rp200.000.000-
Rp1.000.000.000
14. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang
pada waktu menjalankan tugas, meminta atau
menerima pekerjaan, atau menyerahkan barang,
seolah-olah merupakan utang kepada dirinya,
padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan
merupakan utang
Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang
pada waktu menjalankan tugas, telah
menggunakan tanah negara yang diatasnya
terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai dengan
peraturan perundang-undangan, telah merugikan
orang yang berhak, padahal diketahuinya bahwa
perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan
perudang-undangan
Pegawai negeri atau penyelenggara negara baik
langsung maupun tidak langsung dengan sengaja
turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau
pengawasan yang pada saat dilakukan perbuatan,
untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk
mengurus atau mengawasinya.
12A Ketentuan mengenai pidana penjara dan pidana
denda sebagaimana dimaksud Pasal 5, Pasal 6, Pasl
7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11 dan Pasal 12
tidak berlaku bagi tindak pidana korupsi yang
nilainya kurang dari Rp5.000.000,00
Bagi pelaku tindak pidana korupsi
yang nilainya kurang dari Rp
5.000.000 dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 tahun dan
pidana denda paling banyak
Rp50.000.000
12B Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau
penyelenggaran negara dianggap pemberian suap,
apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang
berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya,
dengan ketentuan sebagai berikut :
yang nilainya Rp10.000.000,00 (sepuluh juta
rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi
tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh
penerima gratifikasi
yang nilainya kurang dari Rp10.000.000,00
(sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa
gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut
umum.
Pidana bagi pegawai negeri atau
penyelenggaran 14egara adalah
pidana penjara seumur hidup atau
4 – 20 tahun
Denda Rp 200.000.000 – Rp
1.000.000.000
12C (1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
12 B ayat (1) tidak berlaku, jika penerima
melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
(2) Penyam,paian laporan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) wajib dilakukan oleh penerima
gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja
15. terhitng sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima
(3) Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja
sejak tanggal menerima laporan wajib menetapkan
gratifikasi dapat menjadi milik penerima atau milik
15egara.
(4) Ketentuan mengenai tata cara penyampaian
laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan
penentuan status gratifikasi sebagaimana dimaksud
dalam ayat (3) diatur dalam Undang-undang tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
13 Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada
pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau
wewenang yang melekat pada jabatan atau
kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji
dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan
tersebut,
Penjara maksimal 3 tahun
Denda maksimal Rp. 150.000.000
15 Setiap orang yang melakukan percobaan,
pembantuan, atau pemufakatan jahat untuk
melakukan tindak pidana korupsi
Dipidana dengan pidana yang sama
sebagaimana dimaksud Pasal 2,
Pasal3, Pasal 5 sampai dengan Pasal
14.
Sumber : UU No. 31 Tahun 1999 Jo. UU No. 20 Tahun 2011
Seperti halnya data yang berasal dari RKUHP,tabel002 juga menunjukkan sebagian pasal-pasal yang
berkaitan dengan RKUHP sebagaipembanding antara keduanya. Hasil analisis terhadap kedua peraturan
tersebut akan dibahas lebih lanjut di bab pembahasan.
16. BAB III
PEMBAHASAN
A. Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi yang Diterapkan Melalui RKUHP
RKUHP yang telah dirumuskan dan direncanakan akan diundangkan sebagai kodifikasi hukum
yang sah telah menjadi perdebatan sejumlah kalangan, mulai dari anggota dewan, praktisi, lembaga tinggi
negara, kaum akademisi, dan pihak – pihak lainnya. Opini dari berbagai kalangan ini muncul sebagai
pengaruh dalam proses Politik hukum. Politik hukum pidana adalah sebuah aktivitas atau tindakan dalam
dalam penentuan tujuan dan cara untuk mencapai tujuan yang dirumuskan dalam hukum pidana itu
sendiri. Sebagian kalangan menilai, tindakan ini merupakan upaya hukum untuk memperkuat dasar
hukum terkait hukum pidana. Mereka menilai bahwa, untuk membuat hukum yang bersifat khusus
menjadi kokoh, hukum yang bersifat umum harus juga memiliki dasar yang kokoh, seperti RKUHP.
RKUHP dinilai sebagai hukum yang mengatur secara umum tindakan pidana, sementara tindakan pidana
berupa kejahatan khusus atau kejahatan luar biasa (extraordinary crime) dijelaskan serta termuat secara
terinci di dalam UU khusus yang mengatur masing-masing tindak kejahatan tersebut. Seperti UU No. 20
tahun 2001 yang merupakan peraturan khusus yang mengatur tentang tindak pidana korupsi, sebagaimana
telah dinyatakan dalam RKUHP bahwa korupsi merupakan tindak pidana khusus, sehingga harus diatur
dalam UU tersendiri. Kondisi tersebut memenuhi asas hukum yang berlaku di negara kita, yaitu lex
specialis derogat lex generalis. Asas terseut menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus (lex
specialis) mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex generalis). Asas ini bekerja berdasarkan
prinsip-prinsip bahwa ketentuan yang didapati dalam aturan hukum umum tetap berlaku, kecuali yang
diatur khusus dalam aturan hukum khusus tersebut. Berikut akan dianalisis RKUHP versi 9 Juli 2018
(versi terakhir) terhadap UU Tipikor.
1. Beberapa tindak pidana korupsi yang diatur dalam UU Tipikor masuk ke dalam tindak pidana umum
di RKUHP.
Tindak pidana umum merupakan tindak pidana yang diatur dalam KUHP, dimana ketentuan
didalamnya berlaku untuk semua orang. Sementara itu, tindak pidana khusus diatur dalam UU
tersendiri, yang peruntukannya hanya untuk sebagian orang-orang tertentu, yaitu dalam UU Tipikor
adalah setiap pegawai negeri atau penyelenggara negara, meskipun didalamnya berisi aturan-aturan
yang menyebutkan bahwa “setiap orang”, dalam artian semua orang, tidak hanya berlaku bagi
pegawai negeri/penyelenggara negara saja.
Beberapa ketentuan hukuman tindak pidana korupsi diatur pula dalam RKUHP, seperti yang
termuat dalam pasal 653, 654, 655, serta 656. Dengan dimuatnya unsur-unsur tersebut dalam
17. RKUHP, maka tentu diragukan sifat luar biasanya terhadap UU Tipikor. Pasal – pasal tersebut dinilai
oleh KPK menghilangkan asas hukum Lex Specialis Derogat Legi Generalis, karena delik yang
dijelaskan pada pasal – pasal tersebut telah diatur dalam Undang – undang tindak Pidana Korupsi,
terutama jika pidana tersebut dimasukan dalam Pidana Umum.
Hal tersebut mengakibatkan adanya informasi yang tidak jelas, yaitu mengenai sifat tindak
pidana korupsi itu sendiri, apakah ia termasuk ke dalam tindak pidana umum ataukah khusus, atau
gabungan diantara keduanya. Tindak pidana korupsi sudah diatur dalam UU tindak pidana khusus,
tapi jika RKUHP disahkan akan menjadi tindak pidana umum, maka berpotensi melemahkan
kedudukan, menghapus kewenangan, bahkan membubarkan KPK sebagai lembaga yang menjadi
ujung tombak pemberantasan tindak Pidana Korupsi, sementara penyidikan dan penyelidikan pindah
ke polisi/jaksa.
2. Pelemahan hukuman denda dan sanksi pidana yang disebutkan dalam RUU KUHP.
Untuk lebih jelasnya analisis mengenai pelemahan hukum, dipaparkan perbandingan pasal-pasal
antara RKUHP dengan UU Tipikor yang termuat dalam Tabel 003.
Tabel 003. Pasal-pasal tentang Korupsi dalam RKUHP dengan UU Tipikor beserta Hukumannya
Sumber: RKUHP dan UU Tipikor (data diolah)
Data tersebut diolah dari bab sebelumnya, yaitu yang berasal data dalam bab II. Dilihat dari
tabel tersebut dapat dilihat bahwa denda/pidana dalam RKUHP tidak sesuai dengan UU Tipikor,
RKUHP justru lebih melemahkan hukuman terhadap tindak pidana korupsi. Hal itu menimbulkan
No. Delik / pasal tentang
Denda/ Pidana UU
Tipikor
Denda / Pidana
RKUHP
1. Ps 2 UU Tipikor / Ps 653 RKUHP Penjara 4th-20 th.
Denda 200jt-1M
Penjara 2th-20 th.
Denda 10jt-2M
2. Ps 3 UU Tipikor / Ps 654 RKUHP Penjara 1th-20 th.
Denda 50 jt-1M
Penjara 2th-20 th.
Denda 10jt-2M
3. Ps 5 UU Tipikor/ Ps 655 RKUHP Penjara 1th-5th. Denda
50jt-250M
Penjara 1th-5 th.
Denda 50jt-500 jt
4. Ps 5 UU Tipikor / Ps 655 RKUHP
(pegawainegeri atau penyelenggara
menerima pemberian/janji)
Penjara 4th-20 th.
Denda 200jt-1M
Penjara 1th-6 th.
Denda 50-150M
5. Ps 11 UU Tipikor / Ps 656 RKUHP Penjara 1th-5 th.
Denda 50jt-250M
Penjara max 4 th
Denda 150jt
6. Ps 13 UU Tipikor / Ps 656 RKUHP Penjara max 3 th
Denda 150jt
Penjara max 3 th
Denda 150jt
18. aturan yang rancu/tidak jelas antara UU tipikor dengan RKUHP, yang dapat melemahkan
pelaksanannya.
3. Percobaan, pemufakatan dalam tindak pidana korupsi dalam RKUHP dijatuhi hukuman sebesar
sebagaimana yang dijelaskan dalam RKUHP dikurangi 1/3 dari ancaman pidananya. Sementara itu,
di dalam UU Tipikor yang memuat penjelasan terhadap pasal 15, juga dikemukakan bahwa
percobaan, pemufakatan dalam tindak pidana korupsi juga dijatuhi hukuman sebesar sebagaimana
yang dijelaskan dalam UU Tipikor dikurangi 1/3 dari ancaman pidananya. Walaupun masing-masing
aturan dikenai persentase pengurangan yang sama, yaitu 1/3, tetapi karena hukuman yang diatur
dalam RKUHP lebih sedikit daripada UU Tipikor, maka RKUHP juga dapat dikatakan melemahkan
hukuman terhadap tindak pidana korupsi jika dibandingkan dengan UU Tipikor.
4. Dalam RKUHP, Pasal 653 dan 654 tidak memuat kata “dapat merugikan keuangan negara”,
sedangkan dalam UU Tipikor ada. Hal tersebut mengindikasikan perbedaan bahwa dalam RKUHP
hanya mengatur akibat dari perbuatan korupsi. Sementara UU Tipikor mengatur tentang perbuatan
yang berpotensi akan merugikan keuangan negara, terbukti dengan terdapatnya unsur “dapat
merugikan keuangan negara”. Dengan adanya perbedaaan itu, maka implementasi beberapa pasal
dari RKUHP (Psl. 653 dan 654) tidak sinkron dengan UU Tipikor (Ps 2 dan 3). Jika dibandingkan
dengan UU Tipikor, maka hukuman yang lebih berat adalah berada di UU tersebut, karena selain
mengatur akibatnya (merugikan keuangan negara), seperti yang termuat dalam pasal 5, 6, 7, 8, 11,
12, dan 13), ia juga mengatur hal-hal yang dinilai akan menyebabkan kerugian negara (pasal 2 &3),
sementara RKUHP hanya mengatur akibatnya saja.
B. Analisis Efektifitas RKUHP
Menanggapi beberapa temuan yang telah dibahas sebelumnya, menurut kami akan lebih baik jika
RKUHP tidak memuat aturan yang lebih khusus mnengenai tindak pidana korupsi, mengingat bahwa
tindakan tersebut telah diatur secara lebih khusus dalam UU No. 20 tahun 2001 tentang tindak pidana
korupsi. Selain untuk memenuhi asas lex specialist derogat lex generalis, maka dengan tidak
dimasukkannya beberapa pasal terakit korupsi dalam RKUHP, maka hal tersebut juga tidak akan
melemahkan kedudukan KPK sebagai lembaga khusus yang menangani korupsi. Selain itu juga tidak
akan ditemukan kesimpangsiuran informasi mengenai dua sumber peraturan yang berbeda, akan tetapi
lebih diperuntukkan sebagai pelengkap alat hukum antar kedua peraturan tersebut.
19. BAB IV
KESIMPULAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan, dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat permasalahan yang muncul
akibat pasal-pasal Tipikor masuk dalam RKUHP, yaitu intinya adalah dicantumkannya kembali pasal-
pasal yang mengatur secara spesifik tentang korupsi, sehingga mengakibatkan muculnya pertanyaan
mengenai kekhususan terhadap UU Tipikor sebagai lex specialisnya aturan KUHP. Kerancuan sifat
tersebut mengakibatkan kedudukan KPK tergoyah, karena dengan dimasukkannya aturan-aturan tentang
korupsi ke dalam RKUHP, maka kewenangan KPK sebagai lembaga khusus pemberantas korupsi akan
digantikan oleh kepolisian/jaksa. Hal tersebut dikarenakan tindak korupsi bukanlah merupakan kejahatan
khusus, sehingga dalam memberantasnyapun juga tidak diperlukan adanya lembaga khusus, seperti KPK.
Selain itu, beberapa pasal yang dikemukakan di dalam RKUHP juga tidak sinkron dengan pasal-pasal
yang telah diatur dalam UU Tipikor, yaitu mengenai hukuma yang diterapkan kepada para pelaku
korupsi, dimana dalam RKUHP justru terkesan melemahkan hukuman jika dibandingkan dengan UU
Tipikor. Impelementasi dua pasal yang termuat dalam RKUHP (pasal 653 dan 654) juga dinilai tidak
sinkron dengan pasal 2 dan 3 UU Tipikor, dimana KUHP menindak akibat dari perbuatan yang
merugikan keuangan negara, sementara UU Tipikor menindak segala perbuatan yang menimbulkan
potensi kerugian bagi negara. Kondisi tersebut juga dinilai melemahkan hukuman terhadap korupsi,
karena UU Tipikor mengatur permulaan tindakan korupsi (pencegahan), sedangkan RKUHP tidak. Oleh
karenanya, kami berpendapat bahwa RKUHP seharusnya tidak mencantumkan aturan-aturan yang
spesifik tentang korupsi termasuk hukumannya, karena semua itu telah diatur di dalam UU khusus, yaitu
UU Tipikor. Cukuplah KUHP bertindak sebagai aturan general yang memuat berbagai macam tindak
pidana, dengan tetap memperhatikan cakupan pembahasan mengenai tindak pidana khusus, dalam hal ini
yaitu tindak pidana korupsi.
20. DAFTAR PUSTAKA
Santoso, Djoko. 2011. Pendidikan Anti Korupsi untuk Perguruan Tinggi oleh Kemendikbud RI.
Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI
Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana versi 9 Juli 2018.docx.
Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi
https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/lexcrimen/article/view/9790. Diakses tanggal 20 Juli 2018.
https://tirto.id/mengapa-pasal-tipikor-di-rkuhp-jadi-polemik-dan-ditolak-kpk-cLSN. Diakses
tanggal 12 Juli 2018.