Sebagai negara hukum, yang telah memiliki instrumen hukum berupa Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM), sudah menjadi tanggungjawab negara untuk melindungi dan menjamin kebebasan warga negaranya untuk memilik pasangannya dalam membentuk sebuah keluarga melalui ikatan perkawinan. Tanggungjawab negara tersebut telah dituangkan ke dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999, yang menyebutkan : “Setiap orang berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui pernikahan yang sah”
Luqman Keturunan Snouck Hurgronje dari istri pertama
MELARANG PERKAWINAN BEDA AGAMA : PELANGGARAN HAK KONSTITUSI DAN HAK ASASI MANUSIA
1. MELARANG PERKAWINAN BEDA AGAMA : PELANGGARAN HAK
KONSTITUSI DAN HAK ASASI MANUSIA
Oleh :
Fidelis Angwarmasse, SH. *
Indonesia negara hukum. Sebagai konsekuensi logis bahwa Negara Indonesia sebagai
Negara yang berdasarkan hukum maka seluruh aspek kehidupan masyarakat diatur oleh
hukum termasuk mengenai perkawinan. Dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 1974,
yang mulai berlaku efektif sejak tanggal 1 Oktober 1975, adalah merupakan salah satu bentuk
Unifikasi dan kodifikasi hukum di Indonesia tentang perkawinan beserta akibat hukumnya.
UU Perkawinan merupakan salah satu wujud aturan tata tertib pernikahan yang
dimiliki oleh negara Indonesia sebagai bangsa yang berdaulat, disamping aturan-aturan tata
tertib pernikahan yang lain yaitu Hukum Adat dan Hukum Agama. Agar terjaminnya
ketertiban pranata pernikahan dalam masyarakat, maka Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, menentukan bahwa setiap perkawinan harus
dicatat oleh petugas yang berwenang. Keharusan pencatatan perkawinan merupakan hal yang
sangat penting terutama sebagai alat bukti yang dimiliki seseorang, apabila terjadi suatu
permasalahan dikemudian hari.
Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan, menyebutkan bahwa : “Perkawinan adalah sah,
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Bunyi
pasal tersebut, dalam perkembangannya dirasakan merupakan bentuk diskriminasi serta
pelanggaran negara terhadap hak konstitusi dan Hak Asasi Manusia warga negaranya.
Sebagai negara hukum, yang telah memiliki instrumen hukum berupa Undang-
Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM), sudah menjadi
tanggungjawab negara untuk melindungi dan menjamin kebebasan warga negaranya untuk
2. memilik pasangannya dalam membentuk sebuah keluarga melalui ikatan perkawinan.
Tanggungjawab negara tersebut telah dituangkan ke dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang
No. 39 Tahun 1999, yang menyebutkan : “Setiap orang berhak membentuk suatu keluarga
dan melanjutkan keturunan melalui pernikahan yang sah”. Walaupun secara tegas telah diatur
dalam pasal tersebut, namun sangat disayangkan negara justru melarang serta membatasi
perkawinan beda agama, sebagaimana bunyi pada Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan.
Konsekuensi larangan serta pembatasan tersebut, negara sendiri telah membuka ruang
seluas-luasnya untuk terjadinya penyelundupan hukum. Pasangan berbeda agama akan
melakukan berbagai cara agar dapat melangsungkan perkawinannya, yaitu dengan
melangsungkan pernikahan di luar negeri atau bahkan salah satu pasangan berpura-pura
pindah agama.
Seperti diketahui, Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan saat ini sedang dalam proses
Judisial Review di Mahkamah Konstitusi, yang diajukan oleh 5 orang mahasiswa dan alumni
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, diantaranya Anbar Jayadi, Luthfi Saputra, Varida
Megawati Simarmata, Agata Yuvens dan Rangga Sujud Widigda selaku Pemohon. Dalil
pemohon bahwa Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan, telah menyebabkan ketidakpastian hukum
bagi yang akan melakukan perkawinan beda agama di Indonesia, yang imbasnya masyarakat
Indonesia yang hendak melangsungkan pernikahan beda agama justru menghindari pasal
tersebut dengan cara ‘penyelundupan hukum’. Yaitu, dengan menggunakan modus
pernikahan di luar negeri atau juga penikahan secara adat. Atas dasar tersebut Pemohon
meminta kepada Mahkamah Konstitusi agar menyatakan Pasal 2 ayat (1) UU No 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan bertentangan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28B ayat (1), Pasal 28D
ayat (1) Pasal 28E ayat (1), Pasal 28E ayat (2), Pasal 28I ayat (1), dan Pasal 29 ayat (2)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 karena tidak punya kekuatan
hukum yang mengikat.
Terdapat pro kontra sehubungan dengan Judisial Review Pasal 2 ayat (1) UU No 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan. Menurut Nikson Lalu, Anggota Komisi Hukum
Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI) dalam keterangannya di persidangan sebagai
pihak terkait dalam sidang gugatan UU Perkawinan memberikan keterangan bahwa ketentuan
yang melarang adanya perkawinan beda agama melanggar Hak Asasi Manusia (HAM).
Larangan itu berpotensi menimbulkan perilaku yang menyimpang dari nilai moral seperti
hidup bersama tanpa perkawinan atau kumpul kebo. Banyak pasangan yang beda agama
terjebak dalam situasi yang tidak mereka kehendaki yaitu tidak memiliki rasa moral seperti
hidup bersama tanpa menikah. Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan mengandung potensi
3. hilangnya pengakuan atas pernikahan beda agama. Catatan sipil menolak untuk mencatatkan
pernikahan pasangan beda agama. Pasal tersebut, justru membuat potensi penyimpangan
moral dan spiritual karena banyaknya catatan sipil menolak menikahkan pasangan-pasangan
tersebut. Nikson mengakui gereja bukan merupakan entitas yang berdiri sendiri. Harus juga
patuh pada peraturan negara. Meski demikian, hal itu bukan berarti gereja tidak
diperbolehkan kritis terhadap kebijakan negara yang bersifat diskriminatif. Bahwa penerapan
Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan telah menyimpang dari rasa keadilan, karena secara teologis
orang yang berbeda agama pun tidak boleh dilarang untuk menikah.
Pendapat berbeda muncul dari Saiful Bahri, Kepala Divisi Hukum Muhammadiyah,
sebagai Pihak Terkait dalam sidang pengujian UU Perkawinan, Saiful Bahri menyampaikan
bahwa hukum positif Indonesia tidak mewadahi dan tak mengakui perkawinan beda agama.
Perkawinan tersebut (beda agama) tidak bisa dilakukan dan didaftarkan secara Islam, yaitu
KUA. Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan tidak mencerminkan adanya pelanggaran hak azasi
manusia dan hak konstitusional warga negara yang didalilkan oleh lima Mahasiswa dan
alumnus Fakultas Hukum Universitas Indonesia sebagai pemohon. Apabila perkawinan tidak
berdasarkan agama dan kepercayaannya itu, maka hal tersebut bertentangan dengan alinea
keempat UUD 1945 yang menyatakan : “Suatu susunan Negara Republik Indonesia yang
berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa …...
Permasalahan perkawinan beda agama, bukanlah permasalahan agama itu sendiri
melainkan permasalahan bagaimana tanggungjawab negara melalui produk hukumnya, dapat
melindungi serta menjamin terlaksananya hak-hak warga negaranya. Dalam konteks negara
hukum, permasalahan perkawinan beda agama adalah permasalahan hukum, bukan
permasalahan agama. Sedangkan tafsiran agama tentang perkawinan beda agama adalah
permasalahan teologis dan tafsiran-tafsiran agama. Oleh karena Indonesia adalah negara
hukum maka sudah sepatutnya yang menjadi dasar adalah hukum nasional. Meskipun hukum
nasional (UU Perkawinan) mengacu pada hukum agama, namun cendrung lebih terikat pada
dasar filosofi bangsa yang Bhineka Tunggal Ika. Artinya, prinsip mengakui keragaman
bangsa dan kemajemukan masyarakat haruslah menjadi dasar dari pembentukan dan
pembuatan suatu hukum maupun undang-undang yang bersifat nasional.
Hukum (UU) tidak boleh sarat diskriminasi. Harus berlaku umum, tidak boleh ada
satu produk hukum pun yang hanya menguntungkan kelompok tertentu dan mengabaikan
kelompok lainnya. Setiap warga negara dijamin hak-haknya yang sama dan sederajat, apa
pun latar belakangnya, entah latar belakang agama, keyakinan, dan kepercayaannya. Setiap
pertimbangan dan alasan untuk membuat perundang-undangan haruslah memperhitungkan
4. kesamaan dan kesederajatan warga negara dalam pemenuhan hak-hak mereka, tanpa
membedakan antara satu kelompok warga negara dengan yang lainnya atas dasar perbedaan
agama dan kepercayaan.
Melarang Perkawinan Beda Agama merupakan bentuk pelanggaran hak konstitusi
sebagaimana tersebut dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945
serta pelanggaran Hak Asasi Manusia sebagaimana tersebut dalam Undang-Undang No. 39
Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
* Advokat / Pengacara – Konsultan Hukum
Founder dan Managing Partner
Law Office “Fidel Angwarmasse & Partners”
Jl. Sungai Sambas III No. 5, 3rd Floor, Kebayoran Baru – Jakarta Selatan
Telp. 021 93389928
Hp. : 082199744546 // 085821313103
Pin : 73D42C7D