Di dalam undang-undang perkawinan Indonesia, pernikahan beda agama masih belum diatur secara tegas; jika ada, aturan tersebut bersifat multitafsir. Ada yang mengatakan bahwa perkawinan beda agama tersebut sama halnya dengan perkawinan campuran dan adapula yang menyatakan tidak ada peraturan yang mengatur tentang perkawinan beda agama, sehingga ada yang berpandangan bahwa pernikahan beda agama diperkenankan selama tidak ada yang mengaturnya.
2. Perkawinan ini memiliki tujuan untuk
membina keluarga sakinah mawaddah dan
warahmah. dalam usaha mewujudkan tujuan
tersebut, melangsungkan sebuah
perkawinan merupakan hak semua manusia,
tanpa membedakan suku, strata sosial
bahkan kewarganegaraan atau yang disebut
perkawinan campuran.
Fakultas Hukum - Universitas Udayana
Di dalam undang-undang perkawinan Indonesia, pernikahan
beda agama masih belum diatur secara tegas; jika ada,
aturan tersebut bersifat multitafsir. Ada yang mengatakan
bahwa perkawinan beda agama tersebut sama halnya dengan
perkawinan campuran dan adapula yang menyatakan tidak ada
peraturan yang mengatur tentang perkawinan beda agama,
sehingga ada yang berpandangan bahwa pernikahan beda agama
diperkenankan selama tidak ada yang mengaturnya.
Latar Belakang
Namun, berbeda jika melangsungkan perkawinan beda agama
antara seorang Muslim dan non-Muslim, sudah jelas diatur
dalam hukum islam. Meskipun, kenyataannya keyakinan tidak
dapat menjadi patokan atau menjamin terwujudnya tujuan
sebuah perkawinan.
3. • Apa saja yang menjadi syarat dan rukun sehingga
dapat disebut sahnya suatu perkawinan?
• Bagaimana hukum perkawinan beda agama dalam
pandangan hukum islam?
• Bagaimana hukum perkawinan beda agama dalam
pandangan hukum Indonesia?
• Apa akibat yang terjadi apabila salah satu dari
pasangan suami istri murtad (keluar dari agama
islam)?
Fakultas Hukum - Universitas Udayana
Berdasarkan latar belakang
sebelumnya, maka dapat ditarik
rumusan masalah sebagai berikut:
4. Rukun dan Syarat
Sahnya Sebuah
Perkawinan dalam
Islam
Rukun dan syarat menentukan suatu
perbuatan hukum, terutama yang
menyangkut dengan sah atau tidaknya
perbuatan tersebut dari segi hukum.
Kedua kata tersebut mengandung arti
yang sama, dalam hal bahwa keduanya
merupakan sesuatu yang harus
diadakan. Sama halnya dengan
perkawinan, sebagai perbuatan hukum,
rukun dan syarat perkawinan tidak
boleh ditinggalkan. Perkawinan
menjadi tidak sah bila keduanya tidak
ada atau tidak lengkap. Syarat
perkawinan (syarat materiil) diatur
dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 12
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan.
Dilihat dari syarat bahwa dalam
syarat calon mempelai diterangkan
keduanya baik mempelai laki-laki
maupun mempelai perempuan harus
memenuhi syarat yaitu beragama islam.
Fakultas Hukum - Universitas Udayana
Namun, selain syarat-syarat diatas ada
juga syarat sahnya perkawinan yang mana
sah artinya sesuatu yang memenuhi
segala rukun dan syaratnya, di samping
tidak adanya halangan. Bila sebaliknya,
maka dihukumi sebagai fasad atau batal.
Syarat sahnya perkawinan menurut
Undang-undang Perkawinan terdapat dalam
Pasal 2 ayat (1) dan (2) yaitu :
• Perkawinan adalah sah, apabila
dilakukan menurut hukum masingmasing
agama dan kepercayaannya itu.
• Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut
peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
5. Perkawinan Beda Agama dalam
Hukum Islam dan Pandangan
Ulama.
Berdasarkan ayat berikut maka dapat
disimpulkan bahwa Muslimah tidak boleh
menikah dengan pria non-Muslim, termasuk
dengan Ahlii Kitab. Pria Muslim pun
tidak boleh menikahi wanita
kafir/musyrik, tapi pria Muslim boleh
menikahi wanita Ahlii Kitab. Ahlii kitab
adalah penganut agama Yahudi dan Nasrani
(Kristen). Menanggapi nas yang membahas
perkawinan antar-agama, Umar Farukh,
seorang pemikir modern, dan beberapa
Ahli tafsir menilai bahwa ayat 221
surat al-Baqarah dan ayat 10 surat al-
Mumtahanah di-nasakh oleh ayat 5 surat
al-Ma’idah. Maka, diperbolehkan bagi
laki-laki Muslim menikahi wanita
kitabiyah atau Ahli Kitab, karena hukum
pengharaman mutlaknya telah di-naskh
Fakultas Hukum - Universitas Udayana
6. • Diperbolehkannya pria
muslim ini menikahi
perempuan Ahli Kitab
dikarenakan biasanya
pria lebih kuat dan
bisa mentolelir wanita
Ahli Kitab dalam
menjalankan agamanya.
Selain itu juga
terdapat perbedaan
yang mana (Islam
mengakui Isa a.s.
sebagai Nabi Allah,
sedangkan Ahlii Kitab
tidak mengakui
Muhammad saw. sebagai
Fakultas Hukum - Universitas Udayana
• Dengan demikian, akan
timbul hubungan
diplomasi antara pihak
Muslim dengan Ahli
Kitab. Lambat laun
mereka akan sadar
dengan keberadaan dan
keyakinan yang dipegang
selama ini. Walaupun
tanpa adanya paksaan
mereka akan masuk
Islam dengan sendirinya
sehingga terciptalah
suatu tujuan Islam
sebagai agama rahmatan
7. Hukum di Indonesia
Mengenai Perkawinan
Beda Agama
Undang-Undang perkawinan relatif jelas menolak
kebolehan orang berbeda agama untuk
melangsungkan perkawinan, karena dianggap
sah apabila kedua mempelai tunduk pada suatu
hukum yang tidak ada larangan pernikahan dalam
agamanya, hal ini tidak berarti lepas dari
masalah. Sebaliknya, ia mengundang berbagai
penafsiran.
Penafsiran terhadap ketentuan ituakan memunculkan :
• Pertama, tafsiran bahwa perkawinan beda agama
merupakan pelanggaran terhadap UU No. 1/1974 pasal
2 ayat 1 jo pasal 8 f
• Kedua, perkawinan antar-agama itu sah dan
dapat dilangsungkan karena telah tercakup
dalam perkawinan campuran
• Ketiga, perkawinan antar-agama sama sekali tidak
diatur dalam UU No. 1/1974, sehingga berdasarkan
pasal 66 UU No. 1/1974,
Fakultas Hukum - Universitas Udayana
8. Secara normatif, perkawinan beda agama dalam KHI dibagi menjadi tiga.
• Pertama, perbedaan agama sebagai kekurangan syarat perkawinan.
• Kedua, perbedaan agama sebagai alasan pencegahan perkawinan.
• Ketiga, beda agama sebagai alasan pembatalan perkawinan
Fakultas Hukum - Universitas Udayana
9. Murtad yang Mengakhiri
Suatu Perkawinan
Perbedaan keyakinan bisa
terjadi sebelum, selama, dan
sesudah perkawinan. Perbedaan
agama sebelum perkawinan yang
berlanjut saat perkawinan akan
berakibat pada perdebatan sah
tidaknya perkawinan itu.
Sementara perbedaan agama
yang muncul selama membina
dan menjalankan rumah
tangga, bisa menimbulkan
kontroversi pada soal
pembatalan perkawinan yang
bersangkutan.
Fakultas Hukum - Universitas Udayana
Berikut adalah beberapa faktor
yang memungkinkan terjadinya
murtad:
• Motivasi sejak awal menjadi
seorang muslim tidak karena
panggilan jiwa dan keinginan
sendiri;
• Dorongan dari pihak keluarga
yang masih memeluk agama non-
muslim;
• Tidak menemukan apa yang ia
harapkan saat menjadi seorang
muslim, bahkan ada yang sampai
terkucilkan dalam lingkungan
barunya, sehingga ia merasa
kembali ke agama semula
menjadi jawaban yang ia
butuhkan.
10. KESIMPULAN
Rukun dan syarat
menentukan suatu
perbuatan hukum, terutama
yang menyangkut dengan
sah atau tidaknya
perbuatan tersebut dari
segi hukum. Kedua kata
tersebut mengandung arti
yang sama, dalam hal
bahwa keduanya merupakan
sesuatu yang harus
diadakan. Sama halnya
dengan perkawinan,
sebagai perbuatan hukum,
rukun dan syarat
perkawinan tidak boleh
ditinggalkan. Perkawinan
menjadi tidak sah bila
keduanya tidak ada atau
tidak lengkap.
Dalam hukum Islam pun
perkawinan beda agama ini
tidak ada larangan Ulama
sepakat bahwasanya
menikahi orang
musyrik dan kafir
hukumnya haram.
Sedangkan dalam masalah
menikahi Ahli Kitab
yakni Nasrani dan
Yahudi, ulama merujuk
surat al-Ma’idah ayat
5 bahwa pria non-
Muslim dilarang menikahi
wanita muslimah, tetapi
pria Muslim boleh
menikahi wanita Ahli
Kitab yang disebabkan
karena toleransi beragama
yang mana dalam Islam
mengakui Isa a.s.
sebagai Nabi Allah,
Perbedaan keyakinan ini
pun dapat terjadi saat
sebelum, selama, ataupun
sesudah perkawinan.
Namun, jika dalam
perjalanan sebuah
perkawinan terjadi murtad
pada salah satu pasangan
antara suami dan istri
maka perkawinan tersebut
menjadi fasakh atau
batal. Yang mana telah
diatur dalam Pasal 75 KHI
yang mengatur tentang
pembatalan perkawinan
dari salah satu pasangan
yang murtad. Sehingga
perkawinan yang walaupun
sudah dibina sejak lama
ataupun masih sebentar
tetap harus berakhir
karena murtadnya salah
11. SARAN • “Berdasarkan kesimpulan tersebut di atas, maka
penulis mengajukan saran bahwa sebuah
pernikahan/perkawinan adalah hal yang sangat
sakral. Sehingga sebelum memutuskan pindah
keyakinan (agama) dan memutuskan untuk menikah
sebaiknya harus dipikirkan secara matang dan
dikomunikasikan kepada pasangan, keluarga, maupun
ulama. Agar tidak terjadi pembatalan perkawinan di
suatu hari nanti, dan bisa menjadi keluarga yang
sakinah, mawaddah, dan warahmah.”