Dokumen tersebut membahas tentang perkawinan siri, yaitu pernikahan yang dilakukan tanpa pencatatan resmi. Dokumen menjelaskan bahwa Undang-Undang Perkawinan belum dapat mengatasi perkawinan siri karena masih mengakui keabsahan pernikahan berdasarkan hukum agama. Dokumen juga membahas dampak negatif perkawinan siri bagi istri dan anak, seperti ketidakjelasan status hukum, dan saran
1. Nama : Muhammad Faisal Akbar
Kelas : B
NIM : E1A011217
Korelasi hubungan tata hukum nasional dengan nikah siri (tidak dikhendaki)
tanggapannya seperti apa ?
1. Pengertian Nikah Siri
a) Pengertian Perkawinan Siri Menurut Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan
Dalam pasal 1 UU Pokok perkawinan No. 1 tahun 1974, disebutkan perkawinan
merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia berdasarkan ketuhanan
yang maha esa.
Di Indonesia mengenai perkawinan diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan (“UUP”). Pasal 2 ayat (1) UUP menyebutkan bahwa:
“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu.”
Jadi perkawinan adalah sah bila telah dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaan
pasangan yang kawin. Pasal ini menempatkan hukum agama dan kepercayaan adalah hal
yang paling utama dalam perkawinan, dan secara implisit tidak ada larangan oleh Negara
terhadap nikah siri. Lebih lanjut Pasal 2 ayat (2) UUP menyebutkan adanya kewajiban untuk
tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Perkawinan yang dicatatkan guna mendapatkan akta perkawinan. Akta perkawinan adalah
bukti telah terjadinya/berlangsungnya perkawinan, bukan yang menentukan sah tidaknya
perkawinan. Tidak ada bukti inilah yang menyebabkan anak maupun istri dari perkawinan
siri tidak memiliki status hukum (legalitas) di hadapan Negara.
Undang Undang No.1 tahun 1974 tidak ada aturan yang mengatur masalah perkawinan
siri, tidak adanya aturan yang mengatur tentang perkawinan siri di UU No.1 tahun 1974
bukan berarti tidak ada aturan lain yang mengaturnya. Misalnya dalam aturan-aturan
kebiasaan, hukum islam dan hukum adat yang terjadi dimasyarakat pernah terjadi perkawinan
ini.
Proses perceraian dalam perkawinan siri ini sama dengan proses perkawinannya, yaitu
dengan cara mengucapkan kata talak kepada sang istri atau suami maka jatuhlah talak kepada
suami atau istri. Dalam proses perceraian tidak perlu mengajukan surat perceraian kepada
2. catatan sipil, dengan mengucapkan kata talak itu sudah cukup dan telah mencapai tahap
perceraian.
penyambung keturunan, anak adalah buah dari suatu perkawinan oleh sebab itu status
anak sangat dipertanyakan dalam proses sahnya suatu perkawinan. Dalam hal perkawinan
siri, status anak sangat dibutuhkan karena anak yang sebagai mahluk ciptaan tuhan yang tidak
berdosa dan karena anak mampunyai hak yang sama layaknya anak-anak lain untuk memiliki
status keturunan, memiliki penghidupan yang layak baik di bidang pendidikan, sandang,
pangan dan papan. Dalam perkawinan siri ini status anak masih dianggap sah karena anak
merupakan mahluk ciptaan tuhan yang tidak berdosa, dan mengenai hak asuhnya diserahkan
kepada pihak keluarga yang hendak mengasuh atau diserahkan kepada pemuka agama untuk
menentukan hak asuh dari anak tersebut.
b) Pengertian Perkawinan Siri Menurut Hukum Islam
Nikah (kawin) menurut arti asli ialah hubungan seksual tetapi menurut arti majazi atau
arti hukum ialah aqad atau perjanjian yang menjadikan halal hubungan seksual sebagai suami
istri antara seorang pria dengan seorang wanita. Sedangkan kata “siri” dalam istilah nikah siri
berasal dari Bahasa Arab, yaitu “sirrun” juga berarti rahasia. Nikah siri bisa didefinisikan
sebagai “bentuk pernikahan yang dilakukan hanya berdasarkan aturan (hukum) agama dan
atau adat istiadat, tetapi tidak diumumkan kepada khalayak umum dan juga tidak dicatatkan
secara resmi pada kantor pegawai pencatat nikah.
Nikah sirri yang diperbolehkan dalam hukum Islam adalah nikah yang syarat dan rukun
nikahnya telah terpenuhi yaitu: wali nikah, dua orang saksi yang adil, ijab dan kabul.
Sementara nikah sirri yang dilakukan dalam pengertian tidak adanya wali nikah adalah tidak
sah.
2. Kelemahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dalam Mengatasi Perkawinan
Siri
Perkawinan Siri di Indonesia selama ini sangat berdampak Negatif , terutama bagi istri
dan status anak. Maka dari itu harus ada peraturan yang melarang mengenai kawin siri
tersebut, namun kenyataanya Undang-Undang Perkawinan belum mampu untuk
mengatasinya, karena terdapat kelemahan dalam undang-undang tersebut yang terletak dalam
Pasal 2 ayat (1) UUP ,yang berbunyi “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”, dengan melihat penjelasan pasal
tersebut pada akhirnya dapat diterobos dengan perkawinan siri yang dilakukan berdasarkan
syariat islam, dimana syariat islam tidak melarang adanya perkawinan siri asalkan
3. dilaksanakan berdasarkan ketentuan agama Islam. Pasal ini menempatkan hukum agama dan
kepercayaan adalah hal yang paling utama dalam perkawinan, dan secara implisit tidak ada
larangan oleh Negara terhadap nikah siri.
Harus diketahui bahwa dampak dari kawin siri sangat merugikan bagi perempuan dan
status anak , dampak tersebut diantaranya :
Tidak kejelasan status hukum istri dan anak didepan hukum.
Poligami akan meningkat.
Istri tidak dapat menuntut suami untuk memberikan nafkah baik lahir maupun batin.
Tanggung jawab seorang ayah kepada anak tidak ada. Contohnya pengurusan akta
lahir.
Dalam hal perkawinan, anak-anak yang lahir dari pernikahan siri akan sulit untuk
menuntut hak dalam pewarisan. Karena tidak kejelasan statusnya.
Sementara dampak positif dari kawin siri hanya sebatas mengurangi maraknya perzinaan
dan sex bebas.Jadi sudah jelas bahwa dampak negatif lebih dominan dari pada
dampakmpositif yang ditimbulkan oleh kawin siri.
Sementara hubunganya dengan hukum adat itu sifatnya sosialis masyarakat, tapi kalau
UUP itu merupakan peraturan yang dibuat oleh DPR untuk mengatur perkawinan, tetapi
masyarakat masih terus melakukan nikah siri, adatnya di dalam masyarakat seolah-olah nikah
siri itu halal karena mereka berlindung di bawah hukum agama islam.
3. Kesimpulan
Pernikah siri adalah nika dibawah tangan atau nikah secara sembunyi-sembunyi. Disebut
secara sembunyi karena tidak dilaporakan kekantor urusan agama bagi muslaim atau catatan
sipil non muslim. Pendapat Imam Abu Hanifah, Yang dimaksud dengan nikah sirih adalah
nikah yang tidak bisa menghadirkan wali dan tidak mencatatkan pernikahannya.
Hukum nikah sirih secara aturan agama adalah sah. Dan dihalalkan atau diperbolehkan
jika sarat dan rukun nikanya terpenuhi. Namun secara hukum yang berlaku di Negara kita
tentang perundang-undangan pernikahan itu tidak sah karena di dalam perundangan ada yang
tidak lengkap secara administrasi.
Dampak yang ditimbulkan dari nikah sirih lebih banyak faktor kerugaiannya
dibandingkan faktor keuntungannya. Kerugaian yang terbesar dari nikah siri berdampak pada
pihak perempuan dan anaknya untuk masa depannya.
4. Faktor yang melatarbelakangi adanya nikah sirih yaitu :
1) faktor ekonomi.
2) proses admisntrasi pernikahan yang dianggap terlalu sukar.
3) bagi pria yang yang ingin menukah lagi atau poligami tetap tidak mendapat
persetujuan atau disetujui dari istri ke pertama.
4) dari awal baik siwanita atau pria yang melakukan nikah siri mempunyai itikad
tidak baik, hanya sekedar menghalalkan hubungan persetubuhan saja.
4. Saran
Kepada pemuda pemudi islam tidak mengikuti tata cara perkawinan sirih karena dapat
merugikan. Dan berusaha menghindari pernikahan sirih. Juga kepada pemerintah melakukan
penyuluhan dan dapat menghimbau masyarakat tentang kerugian nikah siri.