SlideShare a Scribd company logo
1 of 132
1
Oleh:
Dr. ANDRIE IRAWAN, SH., MH
Disampaikan dalam PKPA Angkatan I kerjasama
FH UGM dengan PERADI RBA
1
PRAKTIK BERACARA
PERADILAN AGAMA
BIODATA
• Nama: Andrie Irawan
• TTL: Banjarmasin, 20 Maret 1986
• Pendidikan: S1 & S2 FH UII, S3 PDIH FH UNISSULA
• Profesi: Dosen tetap Magister Ilmu Hukum Universitas Surakarta &
Advokat serta Managing Partner SAPA Law House
• Email: andrie.ir@gmail.com atau konsultasi.sapa@gmail.com
• Alamat kantor: Jl. Ringroad Utara No. 279 Gorongan, Kalurahan
Condong Catur, Kapanewon Depok, Kabupaten Sleman, Daerah
Istimewa Yogyakarta
• Moto Hidup: “Lebih Baik Tertindas karena Lantang Mengutarakan
Kebenaran daripada Hidup Diam sebagai Pengecut”
1. PENGERTIAN
HUKUM ACARA
PERADILAN
AGAMA
4
PENGERTIAN HUKUM ACARA
PERADILAN AGAMA
Pengertian Hukum Acara : Hukum acara (hukum
formil) bertujuan untuk menjamin ditaatinya hukum
perdata materil, oleh karena itu hukum acara memuat
tentang cara bagaimana mmelaksanakan dan
mempertahankan atau menegakkan kaidah-kaidah
yang termuat dalam hukum perdata materil.
Hukum Acara
5
PENGERTIAN HUKUM ACARA
PERADILAN AGAMA
Kewenangan Hukum Acara Perdata Umum
Hukum acara perdata adalah hukum yang mengatur bagaimana
cara mengajukan gugatan, memeriksa, mengadili dan memutus,
melakukan eksekusi melalui hakim dalam lingkungan peradilan
perdata. ( hukum formil ).
Hukum acara perdata bersifat mengikat atau bersifat memaksa,
yaitu bahwa bila terjadi suatu proses acara perdata di pengadilan
maka ketentuannya tidak dapat dilanggar melainkan harus ditaati
oleh para pihak.
6
PENGERTIAN HUKUM ACARA
PERADILAN AGAMA
Hubungan Hukum Acara Peradilan Agama Dengan
Hukum Acara Perdata
Seperti telah diuraikan di atas bahwa berdasarkan ketentuan pasal 54
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, hukum acara yang berlaku di
Peradilan Agama adalah hukum acara perdata yang berlaku di
lingkungan Peradilan Umum kecuali yang telah diatur secara khusus
dalam Undang-Undang tersebut, oleh karena itu ketentuan-
ketentuan umum yang berlaku dalam hukum acara perdata berlaku
juga dalam hukum acara Peradilan Agama. Jadi hubungan hukum
acara Peradilan Agama dengan hukum acara perdata adalah sumber
hukumnya dan ketentuan-ketentuan yang berlaku sebagian besar
adalah sama.
7
PENGERTIAN HUKUM ACARA PERADILAN
AGAMA
Perbedaan Hukum Acara Perdata & Hukum Acara Peradilan Agama
A. Hukum acara peradilan agama hanya berlaku bagi masyrakat yang beragama islam (khusus)
sedangkan hukum acara perdata berlaku bagi masyarakat umum.
B. Sumber hukum acara peradilan agama ialah UU No. 7 tahun 1989 jo UU No. 3 tahun 2006 jo
UU No. 50 tahun 2009 tentang Peradilan Agama . sedangkan sumber hukum acara perdata ialah,
HIR (dalam jawa) dan RBG (luar jawa dan madura)
C. Tata cara berperkara Hukum acara perdata yaitu gugatan, mediasi, jawaban, replik, duplik,
pembuktian dan kesimpulan. Sendangkan dalam acara peradilan agama dalam bidang
perkawinan
• Permohonan dispensasi umur kawin
• Permohonan izin kawin
• Permohonan penetapan wali adhol
• Permohonan penetapan perwalian
• Permohonan penetapan asal-usul anak
D. Hukum acara peradilan agama hanya memperkarakan kasus kasus tertentu atau khusus
yang dalam hal ini berkenaan dengan Ekonomi Syariáh
8
PENGERTIAN HUKUM ACARA
PERADILAN AGAMA
Pasal 54 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana
telah diubah dan ditambah dengan UU Nomor 3 Tahun 2006
dan UU Nomor 50 Tahun 2009 menyatakan :
“Hukum acara yang berlaku pada pengadilan di lingkungan
peradilan agama adalah hukum acara perdata yang berlaku
pada Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, kecuali
yang telah diatur secara khusus dalam Undang-undang ini
Belum Diperiksa
Hukum Acara Yang Berlaku di Peradilan Agama
9
PENGERTIAN HUKUM ACARA
PERADILAN AGAMA
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 disebutkan dalam Bab
IX pasal 24 ayat (2) bahwa peradilan agama merupakan
salah satu pemegang kekuasaan kehakiman. Peradilan
agama adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman
di Indonesia sesuai dengan ketentuan pasal 10 ayat (1)
UU No. 14 Tahun 1970 yang telah diubah dengan UU
No.35 Tahun 1999 dan terakhir diganti dengan UU No.4
Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
Hukum Acara Peradilan Agama
10
PENGERTIAN HUKUM ACARA
PERADILAN AGAMA
Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006
Tentang Perubahan atas UU No.7 Tahun 1989 dalam
pasal 2 disebutkan:
“Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan
kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama
Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana
dimaksud dalam undang-undang ini”
Hukum Acara Peradilan Agama
11
PENGERTIAN HUKUM ACARA
PERADILAN AGAMA
Pengertian Hukum Acara Peradilan Agama.
Menurut Prof. Dr. Wiryono Prodjodikoro, SH., Hukum
acara perdata adalah rangkaian peraturan-peraturan
yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak di
muka pengadilan dan cara bagaimana pengadilan harus
bertindak satu sama lain untuk melaksanakan
berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata.
Hukum Acara Peradilan Agama
12
PENGERTIAN HUKUM ACARA
PERADILAN AGAMA
Pengertian Hukum Acara Peradilan Agama.
R. Suparmono SH. memberikan definisi hukum acara
perdata adalah keseluruhan peraturan hukum yang
mengatur tentang cara-cara bagaimana
mempertahankan, melaksanakan dan menegakkan
hukum perdata materiil melalui proses peradilan
(peradilan negara.
Hukum Acara Peradilan Agama
13
PENGERTIAN HUKUM ACARA
PERADILAN AGAMA
Pengertian Hukum Acara Peradilan Agama.
Prof. Dr. Soedikno Mertokusumo, SH. menyatakan,
hukum acara perdata mengatur tentang bagaimana
caranya mengajukan tuntutan hak, memeriksa serta
memutusnya dan pelaksanaan dari putusannya.
Hukum Acara Peradilan Agama
14
PENGERTIAN HUKUM ACARA
PERADILAN AGAMA
Pengertian Hukum Acara Peradilan Agama.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Hukum Acara
Peradilan Agama adalah rangkaian peraturan-peraturan
yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak di
muka pengadilan yang terdiri dari cara mengajukan
tuntutan dan mempertahankan hak, cara bagaimana
pengadilan harus bertindak untuk memeriksa serta
memutus perkara dan cara bagaimana melaksanakan
putusan tersebut di lingkungan Peradilan Agama.
Hukum Acara Peradilan Agama
2. SUMBER HUKUM
ACARA PERADILAN
AGAMA
16
Hukum acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Agama diatur dalam Bab IV UU Nomor 7 Tahun 1989
mulai pasal 54 sampai dengan pasal 105. Menurut ketentuan
pasal 54 UU Nomor 7 Tahun 1989:
“hukum acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku
pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali
yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang ini”.
SUMBER HUKUM ACARA
PERADILAN AGAMA
17
Belum Diperiksa SUMBER HUKUM ACARA
PERADILAN AGAMA
Ketentuan tersebut menunjukan bahwa terdapat Hukum Acara
Perdata yang secara umum berlaku pada lingkungan Peradilan
Umum dan Perdailan Agama, dan ada pula hukum acara yang
hanya berlaku pada Peradilan Agama.
Hukum acara yang khusus diatur dalam UU Nomor 7 Tahun
1989 yang meliputi cerai talak, cerai gugat dan cerai dengan
alasan zina. Oleh karena itu, akan dijelaskan terlebih dahulu
tentang Hukum Acara Perdata yang berlaku juga untuk Pengadilan
Agama dan Hukum Acara khusus tetang cerai talak, cerai gugat
dan cerai karena alasan zina.
18
SUMBER HUKUM ACARA
PERADILAN AGAMA
SUMBER UTAMA HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA :
1. HIR/RBg (Hukum acara perdata yang berlaku bagi Peradilan Umum).
2. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 yang telah diganti dengan UU No.
4/2004 diubah UU 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
3. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974.
4. Undang-undang No. 14 Tahun 1985 yang telah diubah dengan UU No.5 Tahun
2004 diubah UU No. 3 Tahun 2009 ttg Mahkamah Agung
5. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor Tahun 2006.
6. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947.
7. PP Nomor 9 Tahun 1975.
8. Inpres Nomor 1 Tahun 1991 Tentang KHI.
9. Surat Edaran Mahkamah Agung.
10. Doktrin/Ilmu Pengetahuan Hukum/Kitab-kitab Fiqih, DLL
19
Belum Diperiksa SUMBER HUKUM ACARA
PERADILAN AGAMA
SUMBER UTAMA HUKUM MATERIL PERADILAN AGAMA:
•Hukum Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits.
•Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
•Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989.
•Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.
•Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977.
•Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang KHI.
•Peraturan Menteri Agama Nomor 2 TAhun 1987.
•Yuriprudensi.
•Doktrin/Ilmu Pengetahuan Hukum dalam Kitab-kitab Fiqih.
•Hukum positif yang berkaitan dengan tugas dan kewenangan
Peradilan Agama.
•Asas-asas Hukum Acara Peradilan Agama
3. ASAS-ASAS
HUKUM ACARA
PERADILAN
AGAMA
21
ASAS-ASAS HUKUM ACARA
PERADILAN AGAMA
1) Asas Bebas Merdeka
Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negarayang merdeka
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara
hukumRepublik Indonesia.
Pada dasarnya azas kebebasan hakim dan peradilan yang
digariskan dalam UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan
atas UU Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama adalah
merujuk pada pasal 24 UUD 1945 dan jo. Pasal 1 Undang-undang
Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Belum Diperiksa
. Asas Umum Lembaga Peradilan Agama
22
ASAS-ASAS HUKUM ACARA
PERADILAN AGAMA
2) Asas Sebagai Pelaksana Kekuasaan Kehakiman
Penyelenggara kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah
Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya
dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha
Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Semua peradilan di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia
adalah peradilan Negara dan ditetapkan dengan undang-undang.
Dan peradilan Negara menerapkan hukum dan keadilan
berdasarkan Pancasila.
Belum Diperiksa
. Asas Umum Lembaga Peradilan Agama
23
ASAS-ASAS HUKUM ACARA
PERADILAN AGAMA
3) Asas Ketuhanan
Peradilan agama dalam menerapkan hukumnya selalu
berpedoman pada sumber hukum Agama Islam,
sehingga pembuatan putusan ataupun penetapan
harus dimulai dengan kalimat Basmalah yang diikuti
dengan irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhan
Yang Maha Esa.”
Belum Diperiksa
. Asas Umum Lembaga Peradilan Agama
24
ASAS-ASAS HUKUM ACARA
PERADILAN AGAMA
4) Asas Fleksibelitas
Pemeriksaan perkara di lingkungan peradilan agama harus
dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Adapun
asas ini diatur dalam pasal 57 (3) UU Nomor 7 Tahun 1989 yang
tidak diubah dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang
Peradilan Agama jo pasal 4 (2) dan pasal 5 (2) UU Nomor 4 Tahun
2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Untuk itu, pengadilan agama
wajib membantu kedua pihak berperkara dan berusaha
menjelaskan dan mengatasi segala hambatan yang dihadapi para
pihak tersebut..
Belum Diperiksa
. Asas Umum Lembaga Peradilan Agama
25
ASAS-ASAS HUKUM ACARA
PERADILAN AGAMA
Yang dimaksud sederhana adalah acara yang jelas,
mudah difahami dan tidak berbelit-belit serta tidak
terjebak pada formalitas-formalitas yang tidak penting
dalam persidangan. Sebab apabila terjebak pada
formalitas-formalitas yang berbelit-belit
memungkinkan timbulnya berbagai penafsiran.
Belum Diperiksa
. Asas Umum Lembaga Peradilan Agama
26
ASAS-ASAS HUKUM ACARA
PERADILAN AGAMA
Yang dengan cepat dimaksud adalah dalam melakukan
pemeriksaan hakim harus cerdas dalam menginventaris
persoalan yang diajukan dan mengidentifikasikan persolan
tersebut untuk kemudian mengambil intisari pokok
persoalan yang selanjutnya digali lebih dalam melalui alat-
alat bukti yang ada. Apabila segala sesuatunya sudah
diketahui majelis hakim, maka tidak ada cara lain kecuali
majelis hakim harus secepatnya mangambil putusan untuk
dibacakan dimuka persidangan yang terbuka untuk umum.
Belum Diperiksa
. Asas Umum Lembaga Peradilan Agama
27
ASAS-ASAS HUKUM ACARA
PERADILAN AGAMA
Yang dimaksud ringan adalah harus
diperhitungkan secara logis, rinci dan
transparan, serta menghilangkan biaya-biaya
lain di luar kepentingan para pihak dalam
berperkara. Sebab tingginya biaya perkara
menyebabkan para pencari keadilan bersikap
apriori terhadap keberadaan pengadilan.
Belum Diperiksa
. Asas Umum Lembaga Peradilan Agama
28
ASAS-ASAS HUKUM ACARA
PERADILAN AGAMA
5) Asas Non Ekstra Yudisial
Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh
pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang kecuali
dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam UUD NRI
Tahun 1945. Sehingga setiap orang dengan sengaja
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud akan
dipidana.
Belum Diperiksa
. Asas Umum Lembaga Peradilan Agama
29
ASAS-ASAS HUKUM ACARA
PERADILAN AGAMA
6) Asas Legalitas
Peradilan agama mengadili menurut hokum dengan tidak
membeda-bedakan orang. Asas ini diatur dalam pasal 3 (2),
pasal 5 (2), pasl 6 (1) UU No.4 Tahun 2004 Tentang
Kekuasaan Kehakiman jo. Pasal 2 UU No.3 Tahun 2006
Tentang Peradilan Agama.
Pada asasnya Pengadilan Agama mengadili menurut hukum
agama Islam dengan tidak membeda-bedakan orang,
sehingga hak asasi yang berkenaan dengan persamaan hak
dan derajat setiap orang di muka persidangan Pengadilan
Agama tidak terabaikan.
Belum Diperiksa
. Asas Umum Lembaga Peradilan Agama
30
ASAS-ASAS HUKUM ACARA
PERADILAN AGAMA
Asas legalitas dapat dimaknai sebagai hak perlindungan
hukum dan sekaligus sebagai hak persamaan hukum.
Untuk itu semua tindakan yang dilakukan dalam rangka
menjalankan fungsi dan kewenangan peradilan harus
berdasar atas hokum, mulai dari tindakan pemanggilan,
penyitan, pemeriksaan di persidangan, putusan yang
dijatuhkan dan eksekusi putusan, semuanya harus berdasar
atas hukum. Tidak boleh menurut atau atas dasar selera
hakim, tapi harus menurut kehendak dan kemauan hukum.
Belum Diperiksa
. Asas Umum Lembaga Peradilan Agama
31
ASAS-ASAS HUKUM ACARA
PERADILAN AGAMA
1) Asas Personalitas Ke-islaman
Yang tunduk dan yang dapat ditundukkan kepada
kekuasaan peradilan agama, hanya mereka yang mengaku
dirinya beragama Islam.
Asas personalitas ke-islaman diatur dalam UU nomor 3
Tahun 2006 Tentang perubahan atas UU Nomor 7 tahun
1989 Tentang peradilan agama Pasal 2 Penjelasan Umum
alenia ketiga dan Pasal 49 terbatas pada perkara-perkara
yang menjadi kewenangan peradilan agama.
Belum Diperiksa
Asas Khusus Kewenangan Peradilan Agama
32
ASAS-ASAS HUKUM ACARA
PERADILAN AGAMA
Ketentuan yang melekat pada UU No. 3 Tahun 2006
Tentang asas personalitas ke-islaman adalah :
a) Para pihak yang bersengketa harus sama-sama
beragama Islam.
b) Perkara perdata yang disengketakan mengenai
perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq,
shodaqoh, dan ekonomi syari’ah.
c) Hubungan hukum yang melandasi berdsarkan hukum
islam, oleh karena itu acara penyelesaiannya berdasarkan
hukum Islam.
Belum Diperiksa
Asas Khusus Kewenangan Peradilan Agama
33
ASAS-ASAS HUKUM ACARA PERADILAN
AGAMA
Khusus mengenai perkara perceraian, yang digunakan sebagai ukuran
menentukan berwenang tidaknya Pengadila Agama adalah hukum yang
berlaku pada waktu pernikahan dilangsungkan.
Sehingga apabila seseorang melangsungkan perkawinan secara Islam,
apabila terjadi sengketa perkawinan, perkaranya tetap menjadi
kewenangan absolute peradilan agama, walaupun salah satu pihak tidak
beragam Islam lagi (murtad), baik dari pihak suami atau isteri, tidak
dapat menggugurkan asas personalitas ke-Islaman yang melekat pada
saat perkawinan tersebut dilangsungkan,
Asas Khusus Kewenangan Peradilan Agama
34
ASAS-ASAS HUKUM ACARA
PERADILAN AGAMA
Artinya, setiap penyelesaian sengketa perceraian ditentukan
berdasar hubungan hukum pada saat perkawinan
berlangsung, bukan berdasar agama yang dianut pada saat
terjadinya sengketa.
Belum Diperiksa
Asas Khusus Kewenangan Peradilan Agama
Letak asas personalitas ke-Islaman berpatokan pada saat
terjadinya hubungan hukum, artinya patokan menentukan ke-
Islaman seseorang didasarkan pada factor formil tanpa
mempersoalkan kualitas ke-Islaman yang bersangkutan. Jika
seseorang mengaku beragama Islam, pada dirinya sudah melekat
asas personalitas ke-Islaman. Faktanya dapat ditemukan dari KTP,
sensus kependudukan dan surat keterangan lain.
35
ASAS-ASAS HUKUM ACARA
PERADILAN AGAMA
Sedangkan mengenai patokan asas personalitas ke-
Islaman berdasar saat terjadinya hubungan hukum,
ditentukan oleh dua syarat :
Pertama, pada saat terjadinya hubungan hukum, kedua
pihak sama-sama beragama Islam.
Kedua, hubungan hukum yang melandasi keperdataan
tertentu tersebut berdasarkan hukum Islam, oleh
karena itu cara penyelesaiannya berdasarkan hukum
Islam.
Belum Diperiksa
Asas Khusus Kewenangan Peradilan Agama
36
ASAS-ASAS HUKUM ACARA
PERADILAN AGAMA
2.) Asas Ishlah (Upaya perdamaian)
Upaya perdamaian diatur dalam Pasal 39 UU No. 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan jo. Pasal 31 PP No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UU
No. 1 Tentang perkawinan jo. Pasal 65 dan Pasal 82 (1 dan 2) UU No. 7
Tahun 1989 yang tidak diubah dalam UU No. 3 Tahun 2006 Tentang
Peradilan Agama jo. Pasal 115 KHI, jo. Pasal 16 (2) UU Nomor 4 Tahun
2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
Islam menyuruh untuk menyelesaikan setiap perselisihan dengan
melalui pendekatan “Ishlah”. Karena itu, tepat bagi para hakim
peradilan agama untuk menjalankn fungsi “mendamaikan”, sebab
bagaimanapun adilnya suatu putusan, pasti lebih cantik dan lebih adil
hasil putusan itu berupa perdamaian.
Belum Diperiksa
Asas Khusus Kewenangan Peradilan Agama
37
ASAS-ASAS HUKUM ACARA
PERADILAN AGAMA
3) Asas Terbuka Untuk Umum
Asas terbuka untuk umum diatur dalam pasal 59 (1) UU No.7 Tahun 1989 yang tidak
diubah dalam UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradila Agama jo. Pasal 19 (3 dan 4) UU
No. 4 Tahun 2004.
Sidang pemeriksaan perkara di Pengadilan Agama adalah terbuka untuk umum,
kecuali Undang-Undang menentukan lain atau jika hakim dengan alasan penting
yang dicatat dalam berita acara sidang memerintahkan bahwa pemeriksaan secara
keseluruhan atau sebagianakan dilakukan dengan sidang tertutup.
Adapun pemeriksaan perkara di Pengadilan Agama yang harus dilakukan dengan siding
tertutup adalah berkenaan dengan pemeriksaan permohonan cerai talak dan atau
cerai gugat (pasal 68 (2) UU No. 7 Tahun 1989 yang tidak diubah dalam UU No. 3 tahun
2006 Tentang Peradilan Agama).
Belum Diperiksa
Asas Khusus Kewenangan Peradilan Agama
38
ASAS-ASAS HUKUM ACARA
PERADILAN AGAMA
4) Asas Equality
Setiap orang yang berperkara dimuka sidang pengadilan adalah sama
hak dan kedudukannya, sehingga tidak ada perbedaan yang bersifat
“diskriminatif” baik dalam diskriminasi normative maupun diskriminasi
kategoris. Adapun patokan yang fundamental dalam upaya menerapkan
asas “equality” pada setiap penyelesaian perkara dipersidangan adalah :
a. Persamaan hak dan derajat dalam proses pemeriksaan persidangan
pengadilan atau “equal before the law”.
b. Hak perlindungan yang sama oleh hukum atau “equal protection on
the law”
c. Mendapat hak perlakuan yang sama di bawah hukum atau “equal
justice under the law”.
Belum Diperiksa
Asas Khusus Kewenangan Peradilan Agama
39
ASAS-ASAS HUKUM ACARA
PERADILAN AGAMA
5) Asas “Aktif” memberi bantuan
Terlepas dari perkembangan praktik yang
cenderung mengarah pada proses pemeriksaan
dengan surat atau tertulis, hukum acara perdata
yang diatur dalam HIR dan RBg sebagai hukum
acara yang berlaku untuk lingkungan Peradilan
Umum dan Peradilan Agama sebagaimana yang
tertuang pada Pasal 54 UU No. 3 Tahun 2006
Tentang Peradilan Agama.
Belum Diperiksa
Asas Khusus Kewenangan Peradilan Agama
40
ASAS-ASAS HUKUM ACARA
PERADILAN AGAMA
6) Asas Upaya Hukum Banding
Terhadap putusan pengadilan tingkat
pertama dapat dimintakan banding kepada
Pengadilan Tinggi oleh pihak-pihak yang
bersangkutan, kecuali Undang-undang
menentukan lain.
Belum Diperiksa
Asas Khusus Kewenangan Peradilan Agama
41
ASAS-ASAS HUKUM ACARA
PERADILAN AGAMA
7) Asas Upaya Hukum Kasasi
Terhadap putusan pengadilan dalam
tingkat banding dapat dimintakan kasasi
kepada Mahkamah Agung oleh para pihak
yang bersangkutan, kecuali undang-undang
menentukan lain.
Belum Diperiksa
Asas Khusus Kewenangan Peradilan Agama
42
ASAS-ASAS HUKUM ACARA
PERADILAN AGAMA
8) Asas Upaya Hukum Peninjauan Kembali
Terhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat
mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah
Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang
ditentukan dalam undang-undang. Dan terhadap putusan
peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan
kembali.
Belum Diperiksa
Asas Khusus Kewenangan Peradilan Agama
43
ASAS-ASAS HUKUM ACARA
PERADILAN AGAMA
9) Asas Pertimbangan Hukum (Racio
Decidendi)
Segala putusan pengadilan selain harus
memuat alasan dan dasar putusan tersebut,
memuat pula paal tertentu dan peraturan
perundang-undangan yang bersangkutan atau
sumber hukum tak tertulis yang dijadikan
dasar untuk mengadili.
Belum Diperiksa
Asas Khusus Kewenangan Peradilan Agama
4. PERADILAN
AGAMA
45
PERADILAN AGAMA
KEWENANGAN MENGADILI BADAN PERADILAN AGAMA
DAPAT DIBAGI MENJADI 2 (DUA) KEWENANGAN YAITU:
Kewenangan Mutlak (Absolute Competensi) yaitu
kewenangan yang menyangkut kekuasaan mutlak untuk
mengadili suatu perkara, artinya perkara tersebut hanya bisa
diperiksa dan diadili oleh Pengadilan Agama. Dalam istilah
lain disebut “Atribut Van Rechsmacht”. Contoh perkara
perceraian bagi orang-orang yang beragama Islam dan
perkawinannya dilakukan secara Islam menjadi kewenangan
absolute Pengadilan Agama
Kewenangan Mengadili Peradilan Agama
46
PERADILAN AGAMA
Kewenangan Relatif (Relative Competensi) yaitu kewenangan
mengadili suatu perkara yang menyangkut wilayah/daerah hukum
(yurisdiksi), hal ini dikaitkan dengan tempat tinggal pihak-pihak
berperkara. Ketentuan umum menentukan gugatan diajukan
kepada pengadilan yang mewilayahi tempat tinggal tergugat (Pasal
120 ayat (1) HIR/Pasal 142 ayat (1) RBg. Dalam Perkara perceraian
gugatan diajukan ke pengadilan yang daerah hukumnya meliputi
tempat tinggal isteri (Pasal 66 ayat (2) dan Pasal 73 ayat (1)
Undang-undang Nomor 7 tahun 1989). Dalam istilah lain
kewenangan relatif ini disebut “Distribute van Rechtsmacht”.
Pengadilan yang berhak mengadili suatu perkara dalam bahasa
latin disebut dengan istilah “Actor Sequitur Forum Rei”.
Kewenangan Mengadili Peradilan Agama
47
PERADILAN AGAMA
Tugas Pokok Badan Peradilan Agama
Menerima, memeriksa, mengadili dan memutus serta menyelesaikan
perkara antara orang-orang yang beragama Islam dalam bidang:
•Perkawinan.
•Waris.
•Wasiat.
•Hibah.
•Wakaf.
•Zakat.
•Infaq.
•Shadaqoh.
•Ekonomi Syari’ah.
(Pasal 49 Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 Tentang Perubahan atas
Undang-Undang-ndang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama).
48
PERADILAN AGAMA
Tugas Pokok Badan Peradilan Agama
“Pengadilan Agama berkuasa atas perkara
perkawinan bagi mereka yang beragama Islam
sedangkan bagi yang selain Islam menjadi
kekuasaan Peradilan Umum”.
49
PERADILAN AGAMA
Tugas Lain Dari Badan Peradilan Agama
Selain dari tugas pokok sebagaimana diuraikan di atas, Peradilan Agama mempunyai
tugas tambahan baik yang diatur dalam Undang-undang maupun dalam peraturan-
peraturan lainnya yaitu :
1. Memberikan pertimbangan dan nasehat tentang hukum Islam kepada instansi
pemerintah apabila diminta. (Pasal 52 ayat (1) Undang-undang No. 7/1989.
2. Menyelesaikan permohonan pertolongan pembagian harta peninggalan di luar
sengketa antara orang-orang Islam. (Pasal 107 ayat (2) Undang-undang No. 7/1989).
Hal ini sudah jarang dilakukan karena Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 telah
mengatur dibolehkannya penetapan ahli waris dalam perkara volunteer.
3. Memberikan isbat kesaksian rukyat hilal dalam penentuan awal bulan tahun
hijriyah (Pasal 52 A UU No.3 Tahun 2006).
4. Melaksanakan tugas lainnya seperti pelayanan riset/penelitian dan tugas-tugas
lainnya.
50
PERADILAN AGAMA
Jenis Perkara di Lingkungan Peradilan Agama
Selain dari tugas pokok sebagaimana diuraikan di atas, Peradilan Agama mempunyai
tugas tambahan baik yang diatur dalam Undang-undang maupun dalam peraturan-
peraturan lainnya yaitu :
1. Memberikan pertimbangan dan nasehat tentang hukum Islam kepada instansi
pemerintah apabila diminta. (Pasal 52 ayat (1) Undang-undang No. 7/1989.
2. Menyelesaikan permohonan pertolongan pembagian harta peninggalan di luar
sengketa antara orang-orang Islam. (Pasal 107 ayat (2) Undang-undang No. 7/1989).
Hal ini sudah jarang dilakukan karena Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 telah
mengatur dibolehkannya penetapan ahli waris dalam perkara volunteer.
3. Memberikan isbat kesaksian rukyat hilal dalam penentuan awal bulan tahun
hijriyah (Pasal 52 A UU No.3 Tahun 2006).
4. Melaksanakan tugas lainnya seperti pelayanan riset/penelitian dan tugas-tugas
lainnya.
5. URUTAN BERACARA DI
PERADILAN AGAMA
52
URUTAN BERACARA DI
PERADILAN AGAMA
A. URUTAN BERACARA DI PERADILAN UMUM
Urutan beracara pada hukum acara (Peradilan Umum)
a. Gugatan
b. Mediasi
c. Jawaban (eksepsi, pokok perkara, rekopensi)
d. Replik (penggugat, lugas)
e. Duplik (tergugat, penggugat rekopensi)
f. Pembuktian (pembuktian oleh masing-masing pihak apakah
benar/ tidak statemen masing2)
g. Kesimpulan
h. Putusan
53
URUTAN BERACARA DI
PERADILAN AGAMA
B. URUTAN BERACARA DI PERADILAN AGAMA
Hukum Acara Khusus dalam Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1989 jo. Undang-undang Nomor 3
Tahun 2006 dan UU Nomor 50 Tahun 2009
Dalam buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan
Administrasi Pengadilan, Bagian Kedua, Bidang
Teknis Peradilan, Peradilan Agama diatur hal-hal
yang ringkasnya sebagai berikut :
54
URUTAN BERACARA DI
PERADILAN AGAMA
B. URUTAN BERACARA DI PERADILAN AGAMA
1) Bidang Perkawinan
Beberapa perkara berikut dapat diajukan dan diperiksa serta diputus secara
voluntoir, maksudnya : berbentuk permohonan yang hanya terdiri dari
pihak Pemohon saja dan tidak terdapat sengketa. Padahal menurut azasnya
perkara terdiri dari dua pihak yang sedang bersengketa atau disebut perkara
contensios. Perkara voluntoir tersebut adalah :
a)Permohonan dispensasi umur kawin
b)Permohonan izin kawin
c)Permohonan penetapan wali adhol
d)Permohonan penetapan perwalian
e)Permohonan penetapan asal-usul anak
55
URUTAN BERACARA DI
PERADILAN AGAMA
B. URUTAN BERACARA DI PERADILAN AGAMA
2) Bidang Perceraian
a) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 jo. UU Nomor 3 Tahun 2006 dan
UU Nomor 50 Tahun 2009 memberi kemudahan dan perlindungan
kepada isteri dalam hal di Pengadilan Agama mana perceraian diajukan.
(1) Suami mengajukan cerai talak di Pengadilan Agama yang di daerah
hukumnya meliputi tempat kediaman Termohon (isteri) (Pasal 66 (2)).
(2) Isteri mengajukan cerai gugat di Pengadilan Agama yang di daerah
hukumnya meliputi tempat kediaman Penggugat (isteri) (pasal 73 (2)).
56
URUTAN BERACARA DI
PERADILAN AGAMA
B. URUTAN BERACARA DI PERADILAN AGAMA
2) Bidang Perceraian
b) Dalam perkara perceraian tidak ada pihak yang kalah atau
menang, sehingga biaya perkara dibebankan kepada Penggugat
atau Pemohon (Pasal 89 ayat (1))
c) Pemeriksaan perkara perceraian dalam sidang tertutup (pasal 68
(2) dan 80). Hal ini dimaksudkan untuk menjaga rahasia pribadi para
pihak.
d) Permohonan penguasaan anak, nafkah anak, nafkah isteri dan
harta bersama-sama dengan permohonan cerai talak/ gugat cerai
ataupun sesudahnya (Pasal 66 ayat (5) 86 ayat (1)
57
URUTAN BERACARA DI
PERADILAN AGAMA
B. URUTAN BERACARA DI PERADILAN AGAMA
2) Bidang Perceraian
e) Untuk melindungi isteri maupun anak, Hakim Pengadilan
Agama baik diminta atau tidak, dalam perkara perceraian dapat
menghukum pihak suami untuk memberi nafkah isteri maupun
anaknya (Pasal 44 c UU Nomor 1 Tahun 1974 jo. 78 a UU Nomor
7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 3
Tahun 2006 dan 45 ayat (2) dan 49 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun
1974 jo. 78 huruf b UU Nomor 7 Tahun 1989 jo. UU Nomor 3
Tahun 2006.
58
URUTAN BERACARA DI
PERADILAN AGAMA
B. URUTAN BERACARA DI PERADILAN AGAMA
2) Bidang Perceraian
e) Untuk melindungi isteri maupun anak, Hakim Pengadilan Agama baik
diminta atau tidak, dalam perkara perceraian dapat menghukum pihak
suami untuk memberi nafkah isteri maupun anaknya (Pasal 44 c UU
Nomor 1 Tahun 1974 jo. 78 a UU Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah
diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2006 dan 45 ayat (2) dan 49 ayat (2) UU
Nomor 1 Tahun 1974 jo. 78 huruf b UU Nomor 7 Tahun 1989 jo. UU Nomor
3 Tahun 2006.
f) Hak bekas isteri maupun anaknya atas bagian bekas suaminya yang
Pegawai Negeri, dapat dituntut dan diputus dalam perkara perceraiannya
(PP 10 Tahun 1983 jo. PP 45 Tahun 1990).
59
URUTAN BERACARA DI
PERADILAN AGAMA
B. URUTAN BERACARA DI PERADILAN AGAMA
3) Bidang Waris, Wasiat dan Hibah yang Dilakukan Berdasarkan
Hukum Islam
a) Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 jo. UU Nomor 3 Tahun
2006 dan UU Nomor 50 Tahun 2009 menganut azas personalitas
keislaman, oleh karena itu Pengadilan Agama berwenang
memeriksa dan mengadili perkara waris/ wasiat apabila pewaris (si
mayit) beragama Islam.
b) Hibah yang dilakukan oleh orang Islam kepada orang Islam
apabila timbul sengketa adalah menjadi kewenangan Pengadilan
Agama.
60
URUTAN BERACARA DI
PERADILAN AGAMA
B. URUTAN BERACARA DI PERADILAN AGAMA
3) Bidang Waris, Wasiat dan Hibah yang Dilakukan Berdasarkan
Hukum Islam
c) Bagi orang yang menghendaki surat keterangan ahli waris
misalnya untuk mengambil deposito di Bank, dapat dibuat akta di
bawah tangan kemudian dimintakan pengesahan (gewaasmarker)
kepada Ketua Pengadilan Agama
d) Akta comparisi pembagian harta waris di luar sengketa dapat
dilakukan berdasarkan pasal 107 UU Peradilan Agama jo. 236 a
HIR.
61
URUTAN BERACARA DI
PERADILAN AGAMA
B. URUTAN BERACARA DI PERADILAN AGAMA
4) Sengketa Milik
Pasal 50 UU Nomor 7 Tahun 1989 jo. UU Nomor 3 Tahun 2006 dan UU Nomor
50 Tahun 2009 menyatakan :
(1) Dalam hal terjadi sengketa hak milik atau sengketa lain dalam perkara
sebagaimana dimaksud dalam pasal 49, khusus mengenai objek sengketa
tersebut harus diputus lebih dahulu oleh Pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Umum.
(2) Apabila terjadi sengketa hak milik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
yang subyek hukumnya antara orang-orang yang beragama Islam, obyek
sengketa tersebut diputus oleh Pengadilan Agama bersama-sama perkara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49.
6. BERPERKARA DI
PENGADILAN AGAMA
63
BERPERKARA DI PENGADILAN
AGAMA
Seseorang yang akan berperkara di Pengadilan Agama datang secara pribadi
atau melalui kuasannya yang sah (dengan Surat Kuasa) mengajukan surat
gugatan atau permohonan yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Agama
dan mendaftarkannya kepada petugas yang ditunjuk menerima surat
gugatan atau permohonan tersebut.
Kemudian petugas yang menerima surat gugatan atau permohonan tersebut
menaksir uang muka/panjar biaya perkara yang harus dibayar dengan
membuat Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) lalu penggugat atau
pemohon membayar uang muka/panjar biaya perkara ke kasir.
PROSES BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA
64
Proses Berperkara di Pengadilan Agama
Selanjutnya petugas kasir memberi nomor perkara pada surat
gugatan atau permohonan tersebut dan menyerahkan satu
eksemplar salinan surat gugatan atau permohonan dan lembar
pertama (asli) SKUM kepada yang mengajukan perkara.
Setelah itu perkara tersebut didaftarkan ke dalam buku induk
perkara oleh petugas yang ditunjuk sesuai dengan jenis
perkaranya, dengan demikian perkara tersebut telah didaftar
secara resmi dan akan ditentukan Majelis Hakim yang akan
memerikasanya oleh Ketua Pengadilan.
BERPERKARA DI
PENGADILAN AGAMA
65
A. TATA CARA GUGAT MENGGUGAT
Pengertian surat gugatan ialah surat yang diajukan kepada Ketua
Pengadilan yang berkompeten yang memuat tuntutan hak dan adanya
kepentingan hukum serta mengandung sengketa.
Yang mengajukan disebut Penggugat sedang pihak yang digugat
disebut Tergugat. Dalam praktek sering ditemukan Penggugat tidak
hanya satu orang tetapi bisa lebih, demikian juga Tergugat bahkan
kemungkinan terdapat orang lain atau pihak ketiga yang tidak masuk
kepada kelompok Penggugat maupun Tergugat tetapi mempunyai
hubungan atau keterkaitan dengan perkara yang diajukan tetapi pihak
ketiga tersebut tidak mau bergabung dengan penggugat maupun
dengan Tergugat oleh karena itu pihak ketiga tersebut harus dilibatkan
dalam perkara dan dalam surat gugatan disebut sebagai Turut Tergugat.
BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA
66
1. Bentuk dan Kelengkapan Gugatan/Permohonan
Adapun bentuk gugatan atau permohonan dapat dibagi 2 (dua) yaitu :
a. Bentuk Tertulis
Gugatan atau permohonan bentuk tertulis harus memenuhi syarat formil, dibuat
dengan jelas dan terang serta ditanda tangani oleh yang mengajukan
(Penggugat/Pemohon) atau kuasanya yang telah mendapat surat kuasa khusus.
b. Bentuk Lisan
Gugatan atau permohonan bentuk lisan ialah gugatan atau permohonan yang
diajukan secara lisan kepada Ketua Pengadilan oleh mereka yang buta huruf dan
Ketua Pengadilan mencatat atau menyuruh mencatat kepada salah seorang
pejabat pengadilan, kemudian catatan tersebut diformulasikan menjadi surat
gugatan atau permohonan. (Pasal 120 HIR/Pasal 144 ayat (1) RBg.)
BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA
A. TATA CARA GUGAT MENGGUGAT
67
Syarat-syarat Gugatan
Berupa Tuntutan
Yaitu merupakan suatu aksi atau tindakan hukum yang bertujuan untuk memperoleh
perlindungan hukum dari Pengadilan dan untuk mencegah tindakan main hakim
sendiri.
Ada Kepentingan Hukum
Maksudnya yaitu setiap gugatan harus merupakan tuntutan hak dan mempunyai
kepentingan hukum yang cukup.
Sengketa
Yaitu tuntutan hak tersebut harus merupakan sengketa. Tidak ada sengketa maka tidak
ada perkara (geen belang, geen actie)
Dibuat dengan Cermat dan Terang
Yaitu dengan alasan atau dasar hukumnya harus jelas dan dapat dibuktikan apabila
disangkal, pihak-pihaknya juga harus jelas demikian juga obyeknya. Jika tidak jelas
maka surat gugatan tersebut akan dinyatakan gugatan kabur (Obscure Libel).
BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA
A. TATA CARA GUGAT MENGGUGAT
68
Unsur-unsur Surat Gugatan
Unsur-unsur surat gugatan ada 3 (tiga) yaitu :
1. Identitas dan kedudukan para pihak
Menurut ketentuan pasal 67 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989,
Identitas seseorang adalah nama lengkap, umur dan tempat tinggal,
tetapi untuk lebih lengkapnya identitas seseorang sebaiknya ditulis
juga jenis kelamin, agama dan pekerjaan. Kebiasaan di Peradilan
Agama jenis kelamin seseorang dapat diketahui dari nama yang
bersangkutan diiringi dengan kata Bin berarti anak laki-laki dari dan
kata Binti artinya anak perempuan.
BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA
A. TATA CARA GUGAT MENGGUGAT
69
Unsur-unsur Surat Gugatan
2. Posita yaitu penjelasan tentang keadaan atau peristiwa yang
berhubungan dengan hukum yang dijadikan sebagai landasan atau dasar
dari gugatan tersebut serta dibuat dengan jelas dan terang. Dalam bahasa
lain posita disebut Fundamentum Fetendi. Jadi suatu surat gugatan harus
memuat peristiwa hukum dan dasar hukum yang dijadikan alasan untuk
mengajukan tuntutan.
.
3.Petitum yaitu tuntutan yang diminta oleh Penggugat supaya dikabulkan
oleh Hakim.
Suatu petitum harus didukung dengan posita dan suatu petitum yang
tidak didasarkan pada posita maka petitum tidak akan dikabulkan oleh
hakim.
BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA
A. TATA CARA GUGAT MENGGUGAT
70
Penggabungan (Kumulasi) Gugatan/Permohonan
Ada beberapa macam penggabungan (kumulasi) yaitu:
A. Kumulasi Subjektif yaitu jika dalam surat
gugatan/permohonan terdapat beberapa orang penggugat
atau Tergugat.
B. Kumulasi Obyektif yaitu Penggugat mengajukan beberapa
tuntutan atau gugatan terhadap Tergugat.
BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA
A. TATA CARA GUGAT MENGGUGAT
71
Penggabungan (Kumulasi) Gugatan/Permohonan
BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA
C. Intervensi yaitu ikut sertanya pihak ketiga ke dalam suatu proses perkara karena
ada kepentingan hukum atau ditarik sebagai pihak. Kumulasi atau Penggabungan
gugatan/permohonan dalam satu surat gugatan/ permohonan berarti terdapat
beberapa tuntutan/permohonan.
Intervensi diatur dalam pasal 279 -282 R.V. dan ada 3 (tiga) macam bentuk intervensi
yang dikenal dalam hukum acara perdata yaitu :
v Tussenkomst ialah masuknya pihak ketiga ke dalam perkara yang sedang
berlangsung untuk membela kepentingannya sendiri, oleh karena itu ia melawan
kedua belah pihak (Penggugat dan Tergugat) yang sedang berperkara.
v Voeging adalah suatu aksi hukum oleh pihak yang berkepentingan dengan jalan
memasuki perkara yang sedang berlangsung antara penggugat dan tergugat dengan
memihak kepada penggugat atau tergugat.
v Vrijwaring adalah suatu aksi hukum yang dilakukan oleh tergugat untuk menarik
pihak ketiga ke dalam perkara yang sedang berlangsung guna menjamin kepentingan
tergugat dalam menghadapi gugatan Penggugat
A. TATA CARA GUGAT MENGGUGAT
72
Gugatan Rekonvensi
Yang dimaksud dengan gugatan rekonpensi ialah gugatan balik yang
diajukan oleh Tergugat terhadap Penggugat tentang sengketa antara
mereka menyangkut hukum kebendaan. Dasar hukum Pasal 132 a dan 132
b HIR/Pasal 157 dan 158 RBg.
BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA
Syarat-syarat gugatan rekonvensi :
1. Diajukan bersama-sama jawaban, tetapi ada yang berpendapat selama
dalam tahap jawab menjawab dan belum sampai ke pembuktian bisa diajukan
gugatan rekonpensi.
2. Diajukan terhadap Penggugat inpersona tidak kepada kuasa Penggugat.
3. Menyangkut hukum kebendaan, dalam hal ini sepanjang masih dalam
kewenangan Pengadilan Agama.
Bukan mengenai pelaksanaan putusan.
A. TATA CARA GUGAT MENGGUGAT
73
Gugatan secara cuma-cuma (prodeo).
BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA
Gugatan secara cuma-cuma (prodeo)
Pada dasarnya beracara di Pengadilan dalam gugatan perdata,
dikenakan biaya perkara (pasal 121 ayat (4) dan pasal 182 HIR,
pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 4 tahun 2004). Namun
dalam hal Penggugat dan Tergugat tidak mampu, ia dapat
mohon kepada Ketua Pengadilan untuk berperkara secara
cuma-cuma, sebelum perkara pokok diperiksa oleh Pengadilan
(pasal 237 HIR, pasal 273 RBg). Permohonan diajukan dengan
melampirkan Surat Keterangan Tidak Mampu yang dibuat oleh
Kepala Desa dan diketahui Camat.
A. TATA CARA GUGAT MENGGUGAT
74
Surat permohonan ialah surat yang diajukan kepada Ketua Pengadilan yang
berkompeten yang memuat tuntutan hak perdata yang diajukan oleh
seseorang atau lebih yang mempunyai kepentingan hukum terhadap suatu
hal yang tidak mengandung sengketa dan diatur dalam Undang-undang atau
ada aturan hukumnya. Contoh perwalian, pengangkatan anak dan lain-lain.
Ciri-ciri Surat Permohonan yaitu :
Ada kepentingan hukum.
Tidak mengandung sengketa
Diatur dalam Undang-undang atau Peraturan Tata Cara Pemerikasaan
Perkara
BERPERKARA DI
PENGADILAN AGAMA
B. TATA CARA SURAT PERMOHONAN
75
Setelah surat gugatan atau permohonan didaftar atau dicatat dalam register
induk perkara, maka Panitera Pengadlan Agama selambat-lambatnya 7 (tujuh)
hari harus sudah menyampaikan berkas perkara tersebut kepada Ketua
Pengadilan Agama, lalu Ketua Pengadilan memeriksa kelengakapan berkas
perkara tersebut, selanjutnya menunjuk Majelis Hakim yang akan memeriksa
perkara tersebut dengan membuat Penetapan Majelis Hakim (PMH).
Kemudian perkara tersebut diserahkan kepada Majelis Hakim melalui Panitera,
lalu Ketua Majelis Hakim yang ditunjuk tersebut membuat Penetapan Hari
Sidang (PHS) dengan menetapkan Hari Sidang dan memerintahkan Juru
sita/Juru sita Pengganti untuk memanggil pihak-pihak yang berperkara.
BERPERKARA DI
PENGADILAN AGAMA
C. TATA CARA PEMERIKASAAN PERKARA
Persiapan Persidangan
76
Tenggang waktu pemanggilan pihak-pihak berperkara tersebut, tidak boleh
kurang dari 3 (tiga) hari antara hari pemanggilan dan hari sidang yang telah
ditentukan, artinya panggilan sidang harus sudah diterimakan kepada pihak-
pihak berperkara selambat-lambatnya 3 (tiga) hari sebelum hari sidang, apabila
panggilan disampaikan kepada pihak-pihak berperkara kurang dari 3 (tiga) hari,
misalnya 2 (dua) hari sebelum hari sidang, maka panggilan tersebut harus
dinyatakan tidak patut/tidak sah. Perkara yang telah resmi terdaftar harus
sudah disidangkan selambat-lambatnya 1 (satu) bulan dari pendaftaran
perkara, kecuali ada alasan hukum yang membenarkan, misalnya pihak
Tergugat berada di luar Negeri
BERPERKARA DI
PENGADILAN AGAMA
C. TATA CARA PEMERIKASAAN PERKARA
Persiapan Persidangan
77
Tata Cara Pemanggilan Pihak-pihak Berperkara Untuk menghadirkan pihak-pihak
berperkara di muka persidangan, harus dilakukan dengan surat panggilan resmi (relaas
panggilan) dengan cara sebagai berikut :
1.Pemanggilan dilakukan oleh Juru Sita/Juru Sita Pengganti.
2.Disampaikan kepada pribadi yang bersangkutan di tempat tinggalnya.
Jika yang dipanggil tidak ditemui di tempat tinggalnya panggilan disampaikan 3.melalui
Kepala Desa/Lurah setempat.
4.Panggilan sudah disampaikan minimal 3 (tiga) hari sebelum hari sidang.
5.Panggilan pertama kepada Tergugat harus dilampirkan salinan surat gugatan.
Dasar hukumnya Pasal 145 dan pasal 718 RBg, Pasal 121 dan Pasal 390 HIR, pasal 26
dan 27 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.
BERPERKARA DI
PENGADILAN AGAMA
C. TATA CARA PEMERIKASAAN PERKARA
Persiapan Persidangan
78
Sebelum memeriksa perkara, Majelis Hakim harus membaca dan
mepelajari berkas perkara, dan dalam persidangan Ketua Majelis
berada di tengah/diantara dua hakim anggota lalu membuka sidang
dengan mengucapkan Bismillahirrahmanirrahim diiringi dengan
mengetukkan palu sebanyak 3 (tiga) kali, selanjutnya Para pihak
dipanggil masuk ke ruang sidang, kemudian Majelis Hakim
memeriksa identitas para pihak, jika diwakili oleh kuasanya, maka
penerima kuasa tersebut harus diperiksa identitasnya dan juga
surat kuasanya
BERPERKARA DI
PENGADILAN AGAMA
C. TATA CARA PEMERIKASAAN PERKARA
Tahap-Tahap Pemerikasaan
79
Secara teoritis pemeriksaan suatu perkara dilakukan dengan cara
sebagai berikut:
1.Sidang pertama usaha Perdamaian.
2.Sidang kedua Pembacaan surat gugatan.
3.Sidang ketiga Jawaban Tergugat.
4.Sidang keempat Replik Penggugat.
5.Sidang kelima Duplik Tergugat.
6.Sidang keenam Pembuktian dari Penggugat.
7.Sidang ketujuh Pembuktian dari Tergugat.
8.Sidang kedelapan Kesimpulan pihak-pihak berperkara.
9.Sidang kesembilan Pembacaan putusan
BERPERKARA DI
PENGADILAN AGAMA
C. TATA CARA PEMERIKASAAN PERKARA
Tahap-Tahap Pemerikasaan
80
Tahapan-tahapan seperti diuraikan di atas (1 s/d 9 ) tidak bersifat
baku, bisa lebih singkat dan bisa juga lebih lama, cepat dan lamanya
penyelesaian suatu perkara sangat tergantung dari kehadiran dan
kesiapan pihak-pihak berperkara karena pada dasarnya dalam
perkara perdata hakim bersifat pasif, akan tetapi harus diingat bahwa
suatu perkara perdata pada peradilan tingkat pertama dan peradilan
tingkat banding harus sudah selesai selambat-lambatnya 6 (enam)
bulan sejak didaftarkan. (SEMA RI No. 6 Tahun 1992 tanggal 21
Oktober 1992, terakhir SEMA Nomor 3 Tahun 1998).
BERPERKARA DI
PENGADILAN AGAMA
C. TATA CARA PEMERIKASAAN PERKARA
Tahap-Tahap Pemerikasaan
81
Catatan: Pada sidang pertama sebelum memeriksa pokok
perkara, Hakim wajib mendamaikan pihak-pihak berperkara.
Jika perdamaian tersebut berhasil, maka dibuatkan akta
perdamaian (Acta van vergelijk) yang isinya menghukum kedua
belah pihak untuk melaksanakan isi perdamaian. Akan tetapi
dalam perkara perceraian tidak dibuatkan akta perdamaian
melainkan perkara dicabut
BERPERKARA DI
PENGADILAN AGAMA
C. TATA CARA PEMERIKASAAN PERKARA
Tahap-Tahap Pemerikasaan
82
Hakim tanpa diminta oleh pihak berperkarapun sebenarnya
harus mengundurkan diri dari perkara apabila:
Ia secara pribadi mempunyai kepentingan baik langsung atau
tidak langsung dalam perkara itu.
Suami/Isteri, keluarga atau keluarga semendanya dalam garis
keturunan lurus, atau sampai derajat ke empat ke samping
tersangkut dalam perkara itu. Hal ini dimaksudkan untuk
menjamin peradilan yang obyektif dan tidak memihak. (Pasal
374 HIR/702 RBg.
BERPERKARA DI
PENGADILAN AGAMA
C. TATA CARA PEMERIKASAAN PERKARA
Tahap-Tahap Pemerikasaan
83
Eksepsi adalah sanggahan terhadap suatu gugatan atau
perlawanan yang tidak mengenai pokok perkara dengan
maksud untuk menghindari gugatan agar Hakim
menetapkan gugatan tidak dapat diterima atau ditolak
(Pasal 136 HIR/Pasal 162 RBg Pasal 356 R.V.
Pada dasarnya eksepsi terbagi 2 (dua) yaitu:
BERPERKARA DI
PENGADILAN AGAMA
C. TATA CARA PEMERIKASAAN PERKARA
EKSEPSI
84
1) Eksepsi Formil (Prosesual Eksepsi) yaitu eksepsi berdasarkan
hukum formil atau hukum acara. Eksepsi formil ini terbagi 5
macam yaitu :
1. Eksepsi tentang kewenangan absolute
2. Eksepsi tentang kewenangan relatif.
3. Eksepsi tentang nebis is idem (eksepsi van gewisde zaak)
4. Eksepsi diskwalifikator.
5. Eksepsi gugatan kabur (obscure libel).
BERPERKARA DI
PENGADILAN AGAMA
C. TATA CARA PEMERIKASAAN PERKARA
EKSEPSI
85
2) Eksepsi Materil yaitu eksepsi berdasarkan hukum materil yang
meliputi :
- Dilatoir eksepsi. (Belum waktunya diajukan)
- Prematoir eksepsi. (Terlambat mengajukan)
BERPERKARA DI
PENGADILAN AGAMA
C. TATA CARA PEMERIKASAAN PERKARA
EKSEPSI
86
Eksepsi tidak berwenang secara absolut, eksepsi menyangkut
kewenangan mutlak yaitu sanggahan tentang kewenangan
absolute pengadilan yang tidak berwenang mengadili perkara
tersebut melainkan menjadi wewenang Pengadilan lain.
Eksepsi kewenangan relatif, eksepsi mengenai kewenangan
relatif.
Eksepsi Nebis in idem, suatu perkara tidak dapat diputus dua kali
sehingga suatu perkara yang sama antara pihak-pihak yang sama
dan di pengadilan yang sama pula.
BERPERKARA DI
PENGADILAN AGAMA
C. TATA CARA PEMERIKASAAN PERKARA
EKSEPSI
87
v Eksepsi diskwlifikator, yaitu eksepsi yang menyatakan Penggugat tidak
mempunyai kedudukan/hak untuk mengajukan gugatan atau Pengugat salah
menentukan Tergugat baik mengenai orangnya maupun identitasnya
v Eksepsi gugatan obscure libel, yaitu karena surat gugatan kabur, tidak jelas,
tidak dapat dipahami baik mengenai susunan kalimatnya, formatnya atau
hubungan hukumnya satu sama lain yang tidak saling mendukung atau
mungkin bertentangan sama sekali. Eksepsi dilatoir, eksepsi yang menyatakan
bahwa perkara tersebut bersifat prematur, belum waktunya diajukan, misalnya
mengenai perjanjian belum habis waktunya.
v Eksepsi prematoir, adalah eksepsi yang menyatakan
BERPERKARA DI
PENGADILAN AGAMA
C. TATA CARA PEMERIKASAAN PERKARA
EKSEPSI
88
Terhadap hal-hal yang telah diakui atau setidak-tidaknya
tidak disangkal tidak perlu dibuktikan, selain itu masih
ada satu hal lagi yang tidak harus dibuktikan, yaitu
berupa hal-hal atau keadaan-keadaan yang telah
diketahui oleh khalayak ramai (umum) yang dalam istilah
hukum disebut fakta notoir.
BERPERKARA DI
PENGADILAN AGAMA
C. TATA CARA PEMERIKASAAN PERKARA
EKSEPSI
89
Dalam hukum acara perdata ada 5 (lima macam) alat
bukti yaitu :
1. Surat
2. Saksi
3. Persangkaan
4. Pengakuan.
5. Sumpah
Dasar Hukum : Pasal 164 HI/Pasal 284 RBg/ Pasal 1866
BW
BERPERKARA DI
PENGADILAN AGAMA
C. TATA CARA PEMERIKASAAN PERKARA
ALAT BUKTI
90
Putusan adalah produk Hakim dari hasil pemeriksaan dan penyelesaian perkara di
persidangan. Ada 3 (tiga) macam produk Hakim yaitu :
Putusan ialah pernyatan Hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan
dalam sidang yang terbuka untuk umum sebagai hasil dari pemeriksaan perkara
gugatan (kontensius)
Penetapan ialah pernyataan Hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan
diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum sebagai hasil dari pemeriksaan
perkara permohonan (volunteer)
Akta Perdamaian ialah akta yang dibuat oleh Hakim berisi hasil musyawarah/
kesepakatan antara para pihak dalam sengketa kebendaan untuk mengakhiri sengketa
dan berlaku sebagai putusan.
BERPERKARA DI
PENGADILAN AGAMA
D. PUTUSAN
91
Dari segi fungsinya dalam mengakhiri perkara ada 2 (dua) macam putusan yaitu :
1. Putusan Akhir Putusan akhir ialah putusan yang mengakhiri pemeriksaan di
persidangan baik melalui semua tahapan pemerikasaan maupun yang belum
melalui semua tahapan pemeriksaan.
2. Putusan sela Putusan sela ialah putusan yang dijatuhkan pada saat masih
dalam proses pemerikasaan perkara dengan tujuan memperlancar jalannya
pemeriksaan, putusan sela tidak mengakhiri pemerikasaan tetapi akan
berpengaruh terhadap arah dan jalannya pemeriksaan. Putusan sela ini dibuat
seperti putusan biasa lengkap dengan identitas pihak-pihak, duduk perkara dan
pertimbangan hkum tetapi tidak terpisah dari berita acara persidangan dan
ditandatangani oleh Majelis Hakim serta Panitera sidang.
BERPERKARA DI
PENGADILAN AGAMA
D. PUTUSAN
Macam dan Jenis Putusan
92
Dilihat dari hadir tidaknya para pihak berperkara pada saat putusan dijatuhkan/diucapkan
maka dapat dibagi menjadi 3 (tiga) macam yaitu :
Putusan Gugur adalah putusan yang menyatakan bahwa gugatan/permohonan gugur karena
penggugat/pemohon tidak hadir dalam sidang dan telah dipanggil dengan patut dan tidak
menyuruh orang lain sebagai wakilnya yang sah serta ketidak hadirannya itu bukan karena
halangan yang sah. (Pasal 148 RBg dan Pasal 124 HIR)
Putusan Verstek ialah putusan yang dijatuhan karena tergugat/termohon tidak hadir meskipun
telah dipanggil dengan patut dan tidak menyuruh orang lain sebagai wakilnya yang sah serta
ketidak hadirannya bukan karena halangan yang sah dan juga tidak mengajukan eksepsi
mengenai kewenangan. (Pasal 148 RBg/Pasal 125 HIR)
Putusan Kontradiktoir ialah putusan akhir yang pada saat dijatuhkan/diucapkan dalam sidang
tidak dihadiri oleh salah satu pihak atau para pihak akan tetapi dalam pemeriksaan penggugat
dan tergugat pernah hadir.
BERPERKARA DI
PENGADILAN AGAMA
D. PUTUSAN
Macam dan Jenis Putusan
93
Dilihat dari segi Sifatnya terhadap akibat hukum yang ditimbulkan maka putusan
dapat dibagi menjadi 3 (tiga) macam putusan yaitu :
Putusan Diklatoir ialah putusan yang menyatakan suatu keadaan tertentu sebagai suatu
yang resmi menurut hukum. Misalnya putusan tentang gugatan cerai dengan alasan
ta’lik talak.
Putusan Konstitutif ialah putusan yang menciptakan atau menimbulkan hukum baru,
berbeda dengan keadaan hukum sebelumnya. Misalnya menetapkan sahnya pernikahan
(isbat nikah)
Putusan kondemnatoir ialah putusan yang bersifat menghukum kepada salah satu pihak
untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu atau menyerahkan sesuatu kepada
pihak lawan untuk memenuhi prestasi. Misalnya Menghukum Tergugat untuk
menyerahkan seperdua bagian dari harta bersama kepada Penggugat.
BERPERKARA DI
PENGADILAN AGAMA
D. PUTUSAN
Macam dan Jenis Putusan
94
Dilihat dari Isinya terhadap gugatan putusan terbagi kepada
3 macam yaitu :
1.Putusan negatif yaitu menolak atau tidak menerima
gugatan.
2.Putusan Positif yaitu mengabulkan atau menerima seluruh
isi gugatan.
3.Putusan Positif-negatif yaitu menerima atau mengabulkan
sebagian dan tidak menerima atau menolak sebagian.
BERPERKARA DI
PENGADILAN AGAMA
D. PUTUSAN
Macam dan Jenis Putusan
95
Putusan Hakim harus dibuat dengan tertulis dan harus
ditanda tangani oleh Hakim/Majelis Hakim termasuk
Panitera/Panitera Pengganti sebagi dokumen resmi. Suatu
putusan hakim terdiri dari :
1. Kepala Putusan
2.Identitas Para Pihak
3.Pertimbangan (konsideran) yang memuat tentang
4.Duduk Perkaranya dan Pertimbangan Hukum
5.Amar atau dictum putusan
BERPERKARA DI
PENGADILAN AGAMA
D. PUTUSAN
Susunan dan Isi Putusan
96
Pelaksanaan putusan atau yang lebih dikenal dengan eksekusi
ialah tindakan yang dilakukan secara paksa terhadap pihak
yang kalah dalam perkara apabila pihak yang dikalahkan tidak
menjalankan putusan secara sukarela sedang putusan
tersebut sudah mempunyai kekuatan hukum tetap dan yang
bersangkutan telah ditegur atau dianmaning untuk
melaksanakan secara sukarela.
BERPERKARA DI
PENGADILAN AGAMA
D. PUTUSAN
Pelaksanaan Putusan
97
Putusan yang dapat dieksekusi ialah putusan yang bersifat
komdemnatoir yaitu :
1.Putusan yang menghukum salah satu pihak untuk membayar
sejumlah uang. (Pasal 196HIR/208 RBg)
2.Putusan yang menghukum salah satu pihak untuk melakukan suatu
perbuatan. (Pasal 225 HIR/259 RBg)
3.Putusan yang menghukum salah satu pihak mengosongkan suatu
benda tetap. (Pasal 1033 RV)
4.Eksekusi riil dalam bentuk lelang. (Pasal 200 ayat (1) HIR/218 RBg..
BERPERKARA DI
PENGADILAN AGAMA
D. PUTUSAN
Pelaksanaan Putusan
98
Adapun tatacara eksekusi ialah :
1.Adanya permohonan eksekusi dari pihak yang bersangkutan.
2.Eksekusi atas dasar perintah Ketua Pengadilan Agama, surat perintah ini
dikekluarkan setelah Tergugat tidak mau menghadiri panggilan peringatan
(anmaning) tanpa alasan yang sah dan Tergugat tidak mau melaksanakan
amar putusan selama masa peringatan.
3.Dilaksanakan oleh Panitera atau Juru Sita dengan dibantu 2 (dua) orang
saksi
4.Sita eksekusi dilakukan di tempat obyek sengketa.
5.Membuat berita acara sita eksekusi
BERPERKARA DI
PENGADILAN AGAMA
D. PUTUSAN
Pelaksanaan Putusan
99
Apabila pihak-pihak berperkara (Penggugat dan Tergugat) tidak dapat menerima
putusan pengadilan, maka ia dapat menempuh upaya hukum agar putusan pengadilan
tersebut dibatalkan dengan cara sebagai berikut:
1.Mengajukan verzet yaitu upaya hukum atau perlawanan terhadap putusan verstek.
Dasar Hukum Verstek : Pasal 149 ayat (1) RBg, pasal 125 ayat (1) HIR
Dasar Hukum Verzet : Pasal 153 ayat (1) RBg, Pasal 129 ayat (1) HIR.
2.Mengajukan Banding ke Pengadilan Tinggi melalui Pengadilan yang memutus perkara
tersebut, yaitu upaya hukum atau perlawanan terhadap putusan yang dijatuhkan secara
kontradiktur.
3.Mengajukan Kasasi ke Mahkamah Agung melalui Pengadilan yang memutus perkara
yaitu upaya hukum atau perlawanan terhadap putusan yang dijatuhkan oleh Pengadilan
Tingkat Banding (Pengadilan Tinggi) apabila tidak dapat menerima putusan banding.
4.Mengajukan upaya hukum luar biasa yaitu Permohonan Peninjauan Kembali (PK) ke
Mahkamah Agung RI melalui Pengadilan yang memutus perkara tersebut yaitu upaya
hukum atau perlawanan terhadap putusan yang telah mempunyai hukum tetap.
BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA
E. UPAYA HUKUM Pelaksanaan Putusan
100
Dasar Hukum PK : Pasal 23 UU No.4 Tahun 2004, Pasal 77 UU No.14 Tahun
1985. Permohonan Peninjauan Kembali atas putusan suatu perkara
diperlukan syarat-syarat sebagai berikut :
1.Putusan telah mempunyai kekuatan hukum (inkrach)
2.Harus ada bukti baru (novum)
3.Tidak lebih dari 6 (enam) bulan setelah Novum ditemukan.
4,Pemohon PK harus disumpah atas penemuan novum tersebut.
Catatan : Upaya hukum perkara volunteer adalah kasasi dengan perkataan lain
apabila pemohon tidak dapat menerima penetapan yang dijatuhkan hakim,
maka ia dapat mengajukan kasasi tanpa melalui proses banding terlebih
dahulu.
BERPERKARA DI
PENGADILAN AGAMA
D. PUTUSAN
Pelaksanaan Putusan
101
Putusan Sela tidak dapat diajukan banding kecuali sekaligus diajukan bersama
dengan putusan akhir. Pengajuan Banding Pengertian banding ialah
permohonan pemeriksaan ulang kepada pengadilan yang lebih tinggi (dalam
hal ini Pengadilan Tinggi Agama) terhadap suatu perkara yang telah diputus
oleh tingkat pertama (Pengadilan Agama) karena merasa tidak puas atau tidak
menerima putusan pengadilan tingkat pertama tersebut, dengan ketentuan
sebagai berikut:
1.Permohonan banding diajukan kepada pengadilan tinggi dalam daerah
hukum meliputi pengadilan tingkat pertama yang memutus perkara.
2.Permohonan banding diajukan melalui pengadilan yang memutus perkara
tersebut.
BERPERKARA DI
PENGADILAN AGAMA
D. PUTUSAN
Pelaksanaan Putusan
102
Syarat-syarat banding.
1. Diajukan oleh pihak-pihak dalam perkara.
2. Diajukan masih dalam tenggang waktu banding.
3. Putusan tersebut menurut hukum diperbolehkan banding.
4. Membayar panjar biaya banding.
5. Membuat akta permohonan banding dengan menghadap
pejabat kepaniteraan pengadilan
BERPERKARA DI
PENGADILAN AGAMA
D. PUTUSAN
Pelaksanaan Putusan
103
Masa Pengajuan banding :
1. Bagi pihak berperkara yang berada dalam wilayah hukum pengadilan
yang memutus perkara adalah selama 14 hari terhitung mulai hari
berikutnya sejak putusan dijatuhkan atau diberitahukan kepada yang
bersangkutan.
2. Bagi pihak yang berada di luar wilayah pengadilan agama yang
memutus perkara tersebut, masa bandingnya selama 30 hari
terhitung hari berikutnya isi putusan disampaikan kepada yang
bersangkutan. (Pasal 7 ayat (1), (2) dan (3) UU No.20/1947
BERPERKARA DI
PENGADILAN AGAMA
D. PUTUSAN
Pelaksanaan Putusan
104
Pengajuan Kasasi
Pengertian Kasasi ialah pembatalan putusan oleh Mahkamah
Agung terhadap putusan pengadilan yang lebih rendah (pengadilan
agama dan pengadilan tinggi agama) karena kesalahan dalam
penerapan hukum.Pihak yang tidak menerima atau tidak puas atas
putusan pengadilan tinggi agama atau pengadilan agama (dalam
perkara volunteer) dapat mengajukan permohonan kasasi ke
Mahkamah Agung dengan syarat-syarat tertentu
BERPERKARA DI
PENGADILAN AGAMA
D. PUTUSAN
Pelaksanaan Putusan
105
Syarat-syarat kasasi
1. Diajukan oleh yang berhak.
2. Diajukan masih dalam tenggang waktu kasasi.
3. Putusan yang dijatuhkan oleh pengadilan tingkat banding
menurut hukum dapat dimintakan kasasi.
4. Membuat memori kasasi.
5. Membayar panjar biaya kasasi.
6. Membuat akta permohonan kasasi di kepaniteraan pengadilan
agama yang bersangkutan.
BERPERKARA DI
PENGADILAN AGAMA
D. PUTUSAN
Pelaksanaan Putusan
106
Adapun tenggang waktu pengajuan kasasi sama dengan pengajuan
banding.Apabila syarat-syarat kasasi tersebut tidak terpenuhi, maka
berkas perkaranya tidak dikirim ke Mahkamah Agung, Panitera
Pengadilan Agama yang memutus perkara tersebut membuat
keterangan bahwa permohonan kasasi atas perkara tersbut tidak
memenuhi syarat formal.
Ketua PA melaporkan ke Mahkamah Agung bahwa permohonan kasasi
tidak diteruskan ke MA (Peraturan MARI Nomor 1 Tahun 2001)
BERPERKARA DI
PENGADILAN AGAMA
D. PUTUSAN
Pelaksanaan Putusan
107
Peninjauan Kembali.
Pengertian Peninjauan Kembali ialah meninjau kembali
putusan perkara perdata yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap karena diketemukan hal-hal atau bukti baru
yang pada pemeriksaan terdahulu tidak diketahui oleh
Hakim. Peninjaun Kembali hanya dapat diperiksa oleh
Mahkamah Agung..
BERPERKARA DI
PENGADILAN AGAMA
D. PUTUSAN
Pelaksanaan Putusan
108
Syarat-syarat permohonan PK
1. Diajukan oleh pihak yang berperkara.
2. Putusan telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
3. Membuat permohonan peninjauan kembali yang memuat alasan-
alasannya.
4. Diajukan dalam tenggang waktu menurut undang-undang.
5. Membayar panjar biaya peninjauan kembali.
6. Membuat akta permohonan Peninjauan Kembali di Kepaniteraan
Pengadilan Agama.
7. Ada bukti baru yang belum pernah diajukan pada pemeriksaan terdahulu
BERPERKARA DI
PENGADILAN AGAMA
D. PUTUSAN
Pelaksanaan Putusan
109
Masa pengajuan permohonan Peninjauan Kembali
adalah 180 hari terhitung mulai ditemukannya novum
atau bukti baru
Dan sebelum berkas permohoan Peninjauan Kembali
dikirim ke Mahkamah Agung, Pemohon harus
disumpah oleh Ketua Pengadilan tentang penemuan
novum tersebut.
BERPERKARA DI
PENGADILAN AGAMA
D. PUTUSAN
Pelaksanaan Putusan
110
Di indonesia, pengadilan yang berwenang menyelesaikan sengketa
perbankan syariah adalah pengadilan agama.
Semenjak tahun 2006, dengan diamendemennya UU no. 7 tahun 1989 dengan
UU no. 3 tahun 2006 tentang peradilan agama, kewenangan peradilan
agama diperluas.
Di samping berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa di
tingkat pertama antara orang-orang yang beragama islam di bidang
perkawaninan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infak, dan shadaqah,
pengadilan agama juga berwenang untuk memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan sengketa di bidang ekonomi syariah [pasal 49 ayat [i] uu no.
3 tahun 2006].
PENYELESAIAN SENGKETA
EKONOMI SYARI'AH
PENDAHULUAN
111
Ekonomi syariah : adalah perbuatan atau kegiatan usaha
yang dilaksanakan menurut prinsip syariah,
Meliputi: (a) bank syariah; (b) lembaga keuangan mikro
syari’ah; (c) asuransi syariah; (d) reasuransi syariah; (e)
reksa dana syariah; (f) obligasi syariah dan surat berharga
berjangka menengah syariah; (g) sekuritas syariah; (h)
pembiayaan syariah; (i) pegadaian syariah; (j) dana
pensiunan lembaga keuangan syariah; dan (k) bisnis
syariah.”
PENYELESAIAN SENGKETA
EKONOMI SYARI'AH
PENGERTIAN
112
Sehubungan dengan jenis dan macamnya mengenai ekonomi
syari’ah yang disebut dalam Penjelasan Pasal 49 UU No.3 Th. 2006
huruf (i) di atas, hanya menyebutkan 11 jenis. Sebaiknya, harus
dilihat terlebih dahulu mengenai rumusan awalnya yang
menyebutkan, bahwa ekonomi syari’ah adalah perbuatan atau
kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah, kata
antara lain yang menunjukkan bahwa 11 jenis yang disebutkan
bukan dalam arti limitatif,tetapi hanya sebagai contoh. Di
samping itu, mungkin saja ada bentuk-bentuk lain dari ekonomi
syari’ah yang tidak dapat atau belum dapat disebutkan ketika
merumuskan pengertian ekonomi syari’ah.
PENYELESAIAN SENGKETA
EKONOMI SYARI'AH
PENGERTIAN
113
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa Pengadilan Agama
berwenang menyelesaikan sengketa perbankan syariah.
Kewenangan tersebut tidak hanya dibatasi di bidang perbankan syariah
saja, tapi juga di bidang ekonomi syariah lainnya. Kemudian,
kewenangan Pengadilan Agama diperkuat kembali dalam Pasal 55 [1]
UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang menyatakan
bahwa penyelesaian sengketa perbankan syariah dilakukan oleh
Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama.
PENYELESAIAN SENGKETA
EKONOMI SYARI'AH
PENGERTIAN
114
Namun, Pasal 55 [2] UU ini memberi peluang kepada para
pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan perkara
mereka di luar Pengadilan Agama apabila disepakati
bersama dalam isi akad.
Sengketa tersebut bisa diselesaikan melalui :
musyawarah, mediasi perbankan, Badan Arbitrase
Syariah Nasional (Basyarnas) atau lembaga arbitrase lain
dan/atau melalui pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Umum.
PENYELESAIAN SENGKETA
EKONOMI SYARI'AH
PENGERTIAN
115
Penyelesaian sengketa perbankan syariah
melalui mekanisme penyelesaian sengketa
alternatif di luar pengadilan seperti
musyawarah, mediasi, dan arbitrase syariah
merupakan langkah yang tepat dan layak untuk
diapresasi.
PENYELESAIAN SENGKETA
EKONOMI SYARI'AH
PENGERTIAN
116
Akan tetapi, masalah muncul ketika Pengadilan Negeri juga diberikan
kewenangan yang sama dalam menyelesaikan sengketa perbankan
syariah.
Terjadi dualisme penyelesaian sengketa dan ketidakpastian hukum serta
tumpang tindih kewenangan dalam menyelesaikan suatu perkara yang
sama oleh dua lembaga peradilan yang berbeda.
Padahal, kewenangan ini jelas merupakan kewenangan Pengadilan
Agama sebagaimana diatur dalam Pasal 49 (i) UU No. 3 Tahun 2006
tentang Peradilan Agama.
PENYELESAIAN SENGKETA
EKONOMI SYARI'AH
PENGERTIAN
117
Karena adanya ketidakpastian hukum seperti inilah, maka
Dadang Achmad, Direktur CV Benua Engineering Consultant,
pernah mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi,
Memohon pembatalan Pasal 55 ayat [2]&[3] UU No. 21
Tahun 2008 tentang Perbankan syariah dengan
alasan bertentangan dengan Pasal 28 UUD 1945.
PENYELESAIAN SENGKETA
EKONOMI SYARI'AH
PENGERTIAN
118
Pada tanggal 29 Agustus 2013, Majelis Mahkamah
Konstitusi membuat putusan atas perkara Nomor
93/PUU-X/2012, mengabulkan sebagian permohonan
Dadang Achmad,
Menyatakan bahwa penjelasan Pasal 55 ayat [2] UU 21
Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah bertentangan
dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat.
PENYELESAIAN SENGKETA
EKONOMI SYARI'AH
PENGERTIAN
119
Lebih lanjut dalam salah satu pertimbangannya, Mahkamah Konstitusi
menyatakan bahwa adanya pilihan tempat penyelesaian sengketa
(choice of forum) untuk menyelesaikan sengketa perbankan syariah
sebagaimana tersebut dalam Penjelasan Pasal 55 ayat (2) UU 21 Tahun
2008 pada akhirnya akan menyebabkan adanya tumpang tindih
kewenangan untuk mengadili, karena ada dua peradilan yang diberikan
kewenangan untuk menyelesaikan sengketa perbankan syariah,
Padahal dalam UU 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama secara tegas
dinyatakan bahwa peradilan agama yang berwenang menyelesaikan
tersebut.
PENYELESAIAN SENGKETA
EKONOMI SYARI'AH
PENGERTIAN
120
Dengan adanya putusan Mahkamah Kontitusi tersebut, maka tidak
ada lagi dualisme dalam penyelesaian sengketa Perbankan
Syariah. Pengadilan Agama menjadi satu-satunya pengadilan
yang berwenang dalam menyelesaikan sengketa Perbankan
syariah.
Hal ini semakin mengokohkan eksistensi Pengadilan Agama di
Indonesia, akan tetapi di sisi lain menjadi tantangan tersendiri,
karena bidang perbankan syariah secara khusus dan ekonomi
secara umum merupakan bidang baru yang sangat kompleks
permasalahannya
PENYELESAIAN SENGKETA
EKONOMI SYARI'AH
PENGERTIAN
121
Keraguan banyak pihak akan kemampuan Peradilan Agama dalam
menyelesaikan sengketa perbankan syariah harus dihilangkan dengan
membuktikan kecakapan para hakim di lingkungan peradilan agama
dalam menyelesaikan sengketa-sengketa yang diputuskanya.
Para hakim harus memiliki pengetahuan yang mendalam tentang ilmu
ekonomi syariah, baik dari segi teori maupun praktik. Apabila
diperlukan, di setiap pengadilan dibentuk hakim khusus dalam
menyelesaikan sengketa perbankan dan keuangan syariah.
PENYELESAIAN SENGKETA
EKONOMI SYARI'AH
PENGERTIAN
122
Penandatangan Surat Keputusan Bersama [SKB] yang
dilakukan oleh Mahkamah Agung dengan Otoritas Jasa
Keuangan dan Bank Indonesia tentang Kerjasama
Pelatihan Hakim di Bidang Kebanksentralan dan Sektor
Jasa Keuangan pada bulan Juli 2014 lalu adalah langkah
yang patut diapresiasi dan harus ditindaklanjuti.
PENYELESAIAN SENGKETA
EKONOMI SYARI'AH
PENGERTIAN
123
Subjek hukum pelaku ekonomi syari’ah menurut
penjelasan pasal tersebut antara lain disebutkan bahwa
yang dimaksud dengan orang-orang yang beragama
Islam adalah termasuk orang atau badan hukum yang
dengan sendirinya menundukkan diri dengan suka rela
kepada hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi
kewenangan Pengadilan Agama sesuai ketentuan pasal
ini.
PENYELESAIAN SENGKETA
EKONOMI SYARI'AH
SUBJEK HUKUM PELAKU EKONOMI SYARI’AH
124
Berdasarkan penjelasan Pasal 49 UU. No.3 Th. 2006
tersebut, maka seluruh nasabah lembaga keuangan dan
lembaga pembiayaan syari’ah dan atau bank-bank
konvensional yang membuka sektor usaha syari’ah maka
dengan sendirinya terikat dengan ketentuan ekonomi
syari’ah, baik dalam hal pelaksanaan akadnya maupun
dalam hal penyelesaian perselisihannya.
Ahmad Mujahidin, Prosedur Penyelesaian Sengketa Ekonomi
Syari’ah di Indonesia (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), 18-19.
PENYELESAIAN SENGKETA
EKONOMI SYARI'AH
SUBJEK HUKUM PELAKU EKONOMI SYARI’AH
125
Secara rinci, dapat dikemukakan mengenai bentuk-bentuk
sengketa bank syari’ah yang disebabkan karena adanya
pengingkaran atau pelanggaran terhadap perikatan (akad)
yang telah dibuat, yaitu disebabkan karena :
1. Kelalaian Bank untuk mengembalikan dana titipan
nasabah dalam akad wadi’ah
2. Bank mengurangi nisbah keuntungan nasabah tanpa
persetujuan yang bersangkutan dalam akad mudlorobah
PENYELESAIAN SENGKETA
EKONOMI SYARI'AH
SENGKETA EKONOMI SYARI’AH
126
3. Nasabah melakukan kegiatan usaha minuman keras
dan usaha-usaha lain yang diharamkan menurut
syari’at Islam yang bersumber dari dana pinjaman
bank syari’ah, akad qirah dan lain-lain
4. Pengadilan agama berwenang menghukum kepada
pihak nasabah atau pihak bank yang melakukan
wanprestasi yang menyebabkan kerugian riil (real
lose).
PENYELESAIAN SENGKETA
EKONOMI SYARI'AH
SENGKETA EKONOMI SYARI’AH
127
Secara garis besar, sengketa ekonomi syari’ah dapat diklasifikasikan
menjadi tiga, yakni:
1. Sengketa di bidang ekonomi syari’ah antara lembaga keuangan dan
lembaga pembiayaan syari’ah dengan nasabahnya,
2. Sengketa di bidang ekonomi syari’ah antara lembaga keuangan dan
lembaga pembiayaan syari’ah,
3. Sengketa di bidang ekonomi syari’ah antara orang-orang yang
beragama Islam, yang mana akad perjanjiannya disebutkan dengan
tegas bahwa kegiatan usaha yang dilakukan adalah berdasarkan
prinsip-prinsip syari’ah.
PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI
SYARI'AH
SENGKETA EKONOMI SYARI’AH
128
Sengketa ekonomi syari’ah juga bisa dalam bentuk
perkara Permohonan Pernyataan Pailit (PPP) dan juga
bisa berupa Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
(PKPU) di bidang ekonomi syari’ah, di samping itu juga
perkara derivatif kepailitan (perkara tidak murni
sebagai perkara kepailitan).
PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI
SYARI'AH
SENGKETA EKONOMI SYARI’AH
129
Perdamaian(Sulhu)
Langkah pertama yang perlu diupayakan ketika hendak
menyelesaikan perselisihan, ialah melalui cara damai. Untuk
mencapai hakekat perdamaian, prinsip utama yang perlu
dikedepankan adalah kesadaran para pihak untuk kembali kepada
Allah (Al-Qur’an) dan RosulNya (Al-Sunnah) dalam menyelesaikan
segala persoalan.
Upaya damai tersebut biasanya ditempuh melalui musyawarah
(syuura) untuk mencapai mufakat di antara para pihak yang
berselisih. Dengan musyawarah yang mengedepankan prinsip-
prinsip syari’at, diharapkan apa yang menjadi persoalan para pihak
dapat diselesaikan
PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI
SYARI'AH
PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARI’AH
130
Arbitrase Syari’ah (Tahkim)
Untuk menyelesaikan perkara/ perselisihan secara damai dalam
hal keperdataan, selain dapat dicapai melalui inisiatif sendiri dari
para pihak, juga dapat dicapai melalui keterlibatan pihak ketiga
sebagai wasit (mediator). Upaya ini biasanya akan ditempuh
apabila para pihak yang berperkara itu sendiri ternyata tidak
mampu mencapai kesepakatan damai.
Institusi formal yang khusus dibentuk untuk menangani
perselisihan/ sengketa disebut arbitrase, yaitu cara penyelesaian
sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada
perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak
yang bersengketa.
PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARI'AH
PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARI’AH
131
Lembaga Peradilan Syari’ah (Qadha)
Dengan disahkannya UU No. 3 Th. 2006 tentang perubahan UU No. 7
Th. 1989 tentang Peradilan Agama telah membawa perubahan besar
dalam eksistensi lembaga Peradilan Agama saat ini. Salah satu
perubahan mendasar adalah penambahan wewenang lembaga
Peradilan Agama antara lain di bidang perkawinan, waris, wasiat,
hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syari’ah (pasal49).
Dengan adanya kewenangan ini maka perkara yang timbul terkait
dengan penyelesaian sengketa syari’ah selain dapat diselesaikan
melalui cara damai (sulhu) dan arbitrase syari’ah (tahkim), juga dapat
diselesaikan melalui lembaga peradilan (qadha).
PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARI'AH
PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARI’AH
132
Datang Bersama adalah Sebuah Permulaan
Tetap Bersama adalah Sebuah Kemajuan
Bekerjasama adalah Sebuah Keberhasilan
SEKIAN & TERIMA KASIH

More Related Content

What's hot

Hukum acara perdata - Jawaban tergugat, eksepsi, dan rekonvensi (Idik Saeful ...
Hukum acara perdata - Jawaban tergugat, eksepsi, dan rekonvensi (Idik Saeful ...Hukum acara perdata - Jawaban tergugat, eksepsi, dan rekonvensi (Idik Saeful ...
Hukum acara perdata - Jawaban tergugat, eksepsi, dan rekonvensi (Idik Saeful ...Idik Saeful Bahri
 
Hukum Perjanjian Tukar Menukar
Hukum Perjanjian Tukar MenukarHukum Perjanjian Tukar Menukar
Hukum Perjanjian Tukar MenukarEvi Rohmatul Aini
 
Hukum Acara Pidana Militer PPT
Hukum Acara Pidana Militer PPT Hukum Acara Pidana Militer PPT
Hukum Acara Pidana Militer PPT Fenti Anita Sari
 
pembuktian dan daluarsa
pembuktian dan daluarsapembuktian dan daluarsa
pembuktian dan daluarsajohantorqi
 
Alasan penghapus penuntutan & kewenangan menjalankan pidana
Alasan penghapus penuntutan & kewenangan menjalankan pidanaAlasan penghapus penuntutan & kewenangan menjalankan pidana
Alasan penghapus penuntutan & kewenangan menjalankan pidanaSigit Riono
 
Pembuktian dalam Hukum Acara Peradilan Agama
Pembuktian dalam Hukum Acara Peradilan AgamaPembuktian dalam Hukum Acara Peradilan Agama
Pembuktian dalam Hukum Acara Peradilan AgamaDaniel_Alfaruqi
 
Hukum Acara Mahkamah Konstitusi
Hukum Acara Mahkamah KonstitusiHukum Acara Mahkamah Konstitusi
Hukum Acara Mahkamah KonstitusiKardoman Tumangger
 
Hukum acara perdata
Hukum acara perdataHukum acara perdata
Hukum acara perdatasesukakita
 
Natal kristiono mata kuliah hukum adat hukum waris adat
Natal kristiono mata kuliah hukum adat  hukum waris  adatNatal kristiono mata kuliah hukum adat  hukum waris  adat
Natal kristiono mata kuliah hukum adat hukum waris adatnatal kristiono
 
Hukum Acara Mahkamah Konstitusi (Idik Saeful Bahri)
Hukum Acara Mahkamah Konstitusi (Idik Saeful Bahri)Hukum Acara Mahkamah Konstitusi (Idik Saeful Bahri)
Hukum Acara Mahkamah Konstitusi (Idik Saeful Bahri)Idik Saeful Bahri
 
Perbandingan Hukum Perkawinan antara KUHPer dengan UU Perkawinan (UU No.1 tah...
Perbandingan Hukum Perkawinan antara KUHPer dengan UU Perkawinan (UU No.1 tah...Perbandingan Hukum Perkawinan antara KUHPer dengan UU Perkawinan (UU No.1 tah...
Perbandingan Hukum Perkawinan antara KUHPer dengan UU Perkawinan (UU No.1 tah...Muhammad Rafi Kambara
 
22313676 pengantar-ilmu-hukum-slide
22313676 pengantar-ilmu-hukum-slide22313676 pengantar-ilmu-hukum-slide
22313676 pengantar-ilmu-hukum-slideMael Aja
 
PPT Kel 2 sejarah perkembangan hukum internasional
PPT Kel 2 sejarah perkembangan hukum internasionalPPT Kel 2 sejarah perkembangan hukum internasional
PPT Kel 2 sejarah perkembangan hukum internasionaldayurikaperdana19
 
Hukum acara perdata - Alur proses beracara secara utuh (Idik Saeful Bahri)
Hukum acara perdata - Alur proses beracara secara utuh (Idik Saeful Bahri)Hukum acara perdata - Alur proses beracara secara utuh (Idik Saeful Bahri)
Hukum acara perdata - Alur proses beracara secara utuh (Idik Saeful Bahri)Idik Saeful Bahri
 
Sumber hukum administrasi negara
Sumber hukum administrasi negaraSumber hukum administrasi negara
Sumber hukum administrasi negaraNakano
 

What's hot (20)

Hukum acara perdata - Jawaban tergugat, eksepsi, dan rekonvensi (Idik Saeful ...
Hukum acara perdata - Jawaban tergugat, eksepsi, dan rekonvensi (Idik Saeful ...Hukum acara perdata - Jawaban tergugat, eksepsi, dan rekonvensi (Idik Saeful ...
Hukum acara perdata - Jawaban tergugat, eksepsi, dan rekonvensi (Idik Saeful ...
 
Hukum Perjanjian Tukar Menukar
Hukum Perjanjian Tukar MenukarHukum Perjanjian Tukar Menukar
Hukum Perjanjian Tukar Menukar
 
Hukum Acara Perdata.pptx
Hukum Acara Perdata.pptxHukum Acara Perdata.pptx
Hukum Acara Perdata.pptx
 
Hukum Acara Pidana Militer PPT
Hukum Acara Pidana Militer PPT Hukum Acara Pidana Militer PPT
Hukum Acara Pidana Militer PPT
 
pembuktian dan daluarsa
pembuktian dan daluarsapembuktian dan daluarsa
pembuktian dan daluarsa
 
sumber sumber hukum
 sumber sumber hukum sumber sumber hukum
sumber sumber hukum
 
Alasan penghapus penuntutan & kewenangan menjalankan pidana
Alasan penghapus penuntutan & kewenangan menjalankan pidanaAlasan penghapus penuntutan & kewenangan menjalankan pidana
Alasan penghapus penuntutan & kewenangan menjalankan pidana
 
Pembuktian dalam Hukum Acara Peradilan Agama
Pembuktian dalam Hukum Acara Peradilan AgamaPembuktian dalam Hukum Acara Peradilan Agama
Pembuktian dalam Hukum Acara Peradilan Agama
 
Hukum Acara Mahkamah Konstitusi
Hukum Acara Mahkamah KonstitusiHukum Acara Mahkamah Konstitusi
Hukum Acara Mahkamah Konstitusi
 
HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA
HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARAHUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA
HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA
 
hukum Adat
hukum Adathukum Adat
hukum Adat
 
Hukum acara perdata
Hukum acara perdataHukum acara perdata
Hukum acara perdata
 
Natal kristiono mata kuliah hukum adat hukum waris adat
Natal kristiono mata kuliah hukum adat  hukum waris  adatNatal kristiono mata kuliah hukum adat  hukum waris  adat
Natal kristiono mata kuliah hukum adat hukum waris adat
 
Hukum Acara Mahkamah Konstitusi (Idik Saeful Bahri)
Hukum Acara Mahkamah Konstitusi (Idik Saeful Bahri)Hukum Acara Mahkamah Konstitusi (Idik Saeful Bahri)
Hukum Acara Mahkamah Konstitusi (Idik Saeful Bahri)
 
Perbandingan Hukum Perkawinan antara KUHPer dengan UU Perkawinan (UU No.1 tah...
Perbandingan Hukum Perkawinan antara KUHPer dengan UU Perkawinan (UU No.1 tah...Perbandingan Hukum Perkawinan antara KUHPer dengan UU Perkawinan (UU No.1 tah...
Perbandingan Hukum Perkawinan antara KUHPer dengan UU Perkawinan (UU No.1 tah...
 
22313676 pengantar-ilmu-hukum-slide
22313676 pengantar-ilmu-hukum-slide22313676 pengantar-ilmu-hukum-slide
22313676 pengantar-ilmu-hukum-slide
 
PPT Kel 2 sejarah perkembangan hukum internasional
PPT Kel 2 sejarah perkembangan hukum internasionalPPT Kel 2 sejarah perkembangan hukum internasional
PPT Kel 2 sejarah perkembangan hukum internasional
 
Hukum acara perdata - Alur proses beracara secara utuh (Idik Saeful Bahri)
Hukum acara perdata - Alur proses beracara secara utuh (Idik Saeful Bahri)Hukum acara perdata - Alur proses beracara secara utuh (Idik Saeful Bahri)
Hukum acara perdata - Alur proses beracara secara utuh (Idik Saeful Bahri)
 
Perbandingan Hukum Pidana
Perbandingan Hukum PidanaPerbandingan Hukum Pidana
Perbandingan Hukum Pidana
 
Sumber hukum administrasi negara
Sumber hukum administrasi negaraSumber hukum administrasi negara
Sumber hukum administrasi negara
 

Similar to HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA

Kewenangan peradilan agama mengadili perkara kewarisan
Kewenangan peradilan agama mengadili perkara kewarisanKewenangan peradilan agama mengadili perkara kewarisan
Kewenangan peradilan agama mengadili perkara kewarisanYanels Garsione
 
Hukum Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.)
Hukum Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.)Hukum Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.)
Hukum Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.)Natasha Rastie Aulia
 
Pengertian sistem hukum
Pengertian sistem hukumPengertian sistem hukum
Pengertian sistem hukumaziz paloh
 
hukum acara perdata oleh sanyoto
hukum acara perdata oleh sanyotohukum acara perdata oleh sanyoto
hukum acara perdata oleh sanyotoDnr Creatives
 
2. POWER POINT PHI (1).ppt
2. POWER POINT PHI (1).ppt2. POWER POINT PHI (1).ppt
2. POWER POINT PHI (1).pptRizky113654
 
Hukum acara peradilan agama
Hukum acara peradilan agamaHukum acara peradilan agama
Hukum acara peradilan agamaAlalan Tanala
 
Hukum acara peradilan agama
Hukum acara peradilan agamaHukum acara peradilan agama
Hukum acara peradilan agamaAlalan Tanala
 
Hukum acara peradilan agama
Hukum acara peradilan agamaHukum acara peradilan agama
Hukum acara peradilan agamaAlalan Tanala
 
sistem hukum dan peradilan indonesia ROYYAN XI IPA.pptx
sistem hukum dan peradilan indonesia ROYYAN XI IPA.pptxsistem hukum dan peradilan indonesia ROYYAN XI IPA.pptx
sistem hukum dan peradilan indonesia ROYYAN XI IPA.pptxRoyyanFirdausAlpha
 
Sistem hukum dan peradilan indonesia
Sistem hukum dan peradilan indonesiaSistem hukum dan peradilan indonesia
Sistem hukum dan peradilan indonesiaAisyahFatimah1
 
PPT Hukum Acara Perag.pptx
PPT Hukum Acara Perag.pptxPPT Hukum Acara Perag.pptx
PPT Hukum Acara Perag.pptxKurniasaleh
 
PPT Hukum Acara Perag.pptx
PPT Hukum Acara Perag.pptxPPT Hukum Acara Perag.pptx
PPT Hukum Acara Perag.pptxKurniasaleh
 
Hk.acara peradilan agama
Hk.acara peradilan agamaHk.acara peradilan agama
Hk.acara peradilan agamaAlalan Tanala
 
Hk.acara peradilan agama
Hk.acara peradilan agamaHk.acara peradilan agama
Hk.acara peradilan agamaAlalan Tanala
 
SISTEM HUKUM DAN PERADILAN NASIONAL
SISTEM HUKUM DAN PERADILAN NASIONALSISTEM HUKUM DAN PERADILAN NASIONAL
SISTEM HUKUM DAN PERADILAN NASIONALAulia Ulil Fadhilah
 

Similar to HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA (20)

Kewenangan peradilan agama mengadili perkara kewarisan
Kewenangan peradilan agama mengadili perkara kewarisanKewenangan peradilan agama mengadili perkara kewarisan
Kewenangan peradilan agama mengadili perkara kewarisan
 
Hukum Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.)
Hukum Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.)Hukum Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.)
Hukum Acara Peradilan Agama (Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H., M.A.)
 
A
AA
A
 
Pengertian sistem hukum
Pengertian sistem hukumPengertian sistem hukum
Pengertian sistem hukum
 
SKETSA PERADILAN AGAMA
SKETSA PERADILAN AGAMASKETSA PERADILAN AGAMA
SKETSA PERADILAN AGAMA
 
Diskursus Hukum-WPS Office.pptx
Diskursus Hukum-WPS Office.pptxDiskursus Hukum-WPS Office.pptx
Diskursus Hukum-WPS Office.pptx
 
hukum acara perdata oleh sanyoto
hukum acara perdata oleh sanyotohukum acara perdata oleh sanyoto
hukum acara perdata oleh sanyoto
 
2. POWER POINT PHI (1).ppt
2. POWER POINT PHI (1).ppt2. POWER POINT PHI (1).ppt
2. POWER POINT PHI (1).ppt
 
Hukum Peradilan Agama.pptx
Hukum Peradilan Agama.pptxHukum Peradilan Agama.pptx
Hukum Peradilan Agama.pptx
 
Hukum acara peradilan agama
Hukum acara peradilan agamaHukum acara peradilan agama
Hukum acara peradilan agama
 
Hukum acara peradilan agama
Hukum acara peradilan agamaHukum acara peradilan agama
Hukum acara peradilan agama
 
Hukum acara peradilan agama
Hukum acara peradilan agamaHukum acara peradilan agama
Hukum acara peradilan agama
 
sistem hukum dan peradilan indonesia ROYYAN XI IPA.pptx
sistem hukum dan peradilan indonesia ROYYAN XI IPA.pptxsistem hukum dan peradilan indonesia ROYYAN XI IPA.pptx
sistem hukum dan peradilan indonesia ROYYAN XI IPA.pptx
 
Sistem hukum dan peradilan indonesia
Sistem hukum dan peradilan indonesiaSistem hukum dan peradilan indonesia
Sistem hukum dan peradilan indonesia
 
Hukum ac perdata
Hukum ac perdataHukum ac perdata
Hukum ac perdata
 
PPT Hukum Acara Perag.pptx
PPT Hukum Acara Perag.pptxPPT Hukum Acara Perag.pptx
PPT Hukum Acara Perag.pptx
 
PPT Hukum Acara Perag.pptx
PPT Hukum Acara Perag.pptxPPT Hukum Acara Perag.pptx
PPT Hukum Acara Perag.pptx
 
Hk.acara peradilan agama
Hk.acara peradilan agamaHk.acara peradilan agama
Hk.acara peradilan agama
 
Hk.acara peradilan agama
Hk.acara peradilan agamaHk.acara peradilan agama
Hk.acara peradilan agama
 
SISTEM HUKUM DAN PERADILAN NASIONAL
SISTEM HUKUM DAN PERADILAN NASIONALSISTEM HUKUM DAN PERADILAN NASIONAL
SISTEM HUKUM DAN PERADILAN NASIONAL
 

More from Andrie Irawan

Ratio Legis Sinergi Pemkab Sleman dg Ormas dan LSM dalam Percepatan Penanggul...
Ratio Legis Sinergi Pemkab Sleman dg Ormas dan LSM dalam Percepatan Penanggul...Ratio Legis Sinergi Pemkab Sleman dg Ormas dan LSM dalam Percepatan Penanggul...
Ratio Legis Sinergi Pemkab Sleman dg Ormas dan LSM dalam Percepatan Penanggul...Andrie Irawan
 
Hukum Pidana (Pengantar)
Hukum Pidana (Pengantar)Hukum Pidana (Pengantar)
Hukum Pidana (Pengantar)Andrie Irawan
 
Upaya Progresif dalam Penegakan Perda
Upaya Progresif dalam Penegakan PerdaUpaya Progresif dalam Penegakan Perda
Upaya Progresif dalam Penegakan PerdaAndrie Irawan
 
Pengantar Ilmu Hukum
Pengantar Ilmu HukumPengantar Ilmu Hukum
Pengantar Ilmu HukumAndrie Irawan
 
PSBB dalam Perspektif Hukum: Keadilan atau Ketertiban?
PSBB dalam Perspektif Hukum: Keadilan atau Ketertiban?PSBB dalam Perspektif Hukum: Keadilan atau Ketertiban?
PSBB dalam Perspektif Hukum: Keadilan atau Ketertiban?Andrie Irawan
 
Layanan bantuan hukum bagi perempuan dan anak korban saat pandemi covid 19
Layanan bantuan hukum bagi perempuan dan anak korban saat pandemi covid 19Layanan bantuan hukum bagi perempuan dan anak korban saat pandemi covid 19
Layanan bantuan hukum bagi perempuan dan anak korban saat pandemi covid 19Andrie Irawan
 
Hukum Komersial atau Hukum Bisnis
Hukum Komersial atau Hukum BisnisHukum Komersial atau Hukum Bisnis
Hukum Komersial atau Hukum BisnisAndrie Irawan
 

More from Andrie Irawan (7)

Ratio Legis Sinergi Pemkab Sleman dg Ormas dan LSM dalam Percepatan Penanggul...
Ratio Legis Sinergi Pemkab Sleman dg Ormas dan LSM dalam Percepatan Penanggul...Ratio Legis Sinergi Pemkab Sleman dg Ormas dan LSM dalam Percepatan Penanggul...
Ratio Legis Sinergi Pemkab Sleman dg Ormas dan LSM dalam Percepatan Penanggul...
 
Hukum Pidana (Pengantar)
Hukum Pidana (Pengantar)Hukum Pidana (Pengantar)
Hukum Pidana (Pengantar)
 
Upaya Progresif dalam Penegakan Perda
Upaya Progresif dalam Penegakan PerdaUpaya Progresif dalam Penegakan Perda
Upaya Progresif dalam Penegakan Perda
 
Pengantar Ilmu Hukum
Pengantar Ilmu HukumPengantar Ilmu Hukum
Pengantar Ilmu Hukum
 
PSBB dalam Perspektif Hukum: Keadilan atau Ketertiban?
PSBB dalam Perspektif Hukum: Keadilan atau Ketertiban?PSBB dalam Perspektif Hukum: Keadilan atau Ketertiban?
PSBB dalam Perspektif Hukum: Keadilan atau Ketertiban?
 
Layanan bantuan hukum bagi perempuan dan anak korban saat pandemi covid 19
Layanan bantuan hukum bagi perempuan dan anak korban saat pandemi covid 19Layanan bantuan hukum bagi perempuan dan anak korban saat pandemi covid 19
Layanan bantuan hukum bagi perempuan dan anak korban saat pandemi covid 19
 
Hukum Komersial atau Hukum Bisnis
Hukum Komersial atau Hukum BisnisHukum Komersial atau Hukum Bisnis
Hukum Komersial atau Hukum Bisnis
 

HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA

  • 1. 1 Oleh: Dr. ANDRIE IRAWAN, SH., MH Disampaikan dalam PKPA Angkatan I kerjasama FH UGM dengan PERADI RBA 1 PRAKTIK BERACARA PERADILAN AGAMA
  • 2. BIODATA • Nama: Andrie Irawan • TTL: Banjarmasin, 20 Maret 1986 • Pendidikan: S1 & S2 FH UII, S3 PDIH FH UNISSULA • Profesi: Dosen tetap Magister Ilmu Hukum Universitas Surakarta & Advokat serta Managing Partner SAPA Law House • Email: andrie.ir@gmail.com atau konsultasi.sapa@gmail.com • Alamat kantor: Jl. Ringroad Utara No. 279 Gorongan, Kalurahan Condong Catur, Kapanewon Depok, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta • Moto Hidup: “Lebih Baik Tertindas karena Lantang Mengutarakan Kebenaran daripada Hidup Diam sebagai Pengecut”
  • 4. 4 PENGERTIAN HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA Pengertian Hukum Acara : Hukum acara (hukum formil) bertujuan untuk menjamin ditaatinya hukum perdata materil, oleh karena itu hukum acara memuat tentang cara bagaimana mmelaksanakan dan mempertahankan atau menegakkan kaidah-kaidah yang termuat dalam hukum perdata materil. Hukum Acara
  • 5. 5 PENGERTIAN HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA Kewenangan Hukum Acara Perdata Umum Hukum acara perdata adalah hukum yang mengatur bagaimana cara mengajukan gugatan, memeriksa, mengadili dan memutus, melakukan eksekusi melalui hakim dalam lingkungan peradilan perdata. ( hukum formil ). Hukum acara perdata bersifat mengikat atau bersifat memaksa, yaitu bahwa bila terjadi suatu proses acara perdata di pengadilan maka ketentuannya tidak dapat dilanggar melainkan harus ditaati oleh para pihak.
  • 6. 6 PENGERTIAN HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA Hubungan Hukum Acara Peradilan Agama Dengan Hukum Acara Perdata Seperti telah diuraikan di atas bahwa berdasarkan ketentuan pasal 54 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, hukum acara yang berlaku di Peradilan Agama adalah hukum acara perdata yang berlaku di lingkungan Peradilan Umum kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-Undang tersebut, oleh karena itu ketentuan- ketentuan umum yang berlaku dalam hukum acara perdata berlaku juga dalam hukum acara Peradilan Agama. Jadi hubungan hukum acara Peradilan Agama dengan hukum acara perdata adalah sumber hukumnya dan ketentuan-ketentuan yang berlaku sebagian besar adalah sama.
  • 7. 7 PENGERTIAN HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA Perbedaan Hukum Acara Perdata & Hukum Acara Peradilan Agama A. Hukum acara peradilan agama hanya berlaku bagi masyrakat yang beragama islam (khusus) sedangkan hukum acara perdata berlaku bagi masyarakat umum. B. Sumber hukum acara peradilan agama ialah UU No. 7 tahun 1989 jo UU No. 3 tahun 2006 jo UU No. 50 tahun 2009 tentang Peradilan Agama . sedangkan sumber hukum acara perdata ialah, HIR (dalam jawa) dan RBG (luar jawa dan madura) C. Tata cara berperkara Hukum acara perdata yaitu gugatan, mediasi, jawaban, replik, duplik, pembuktian dan kesimpulan. Sendangkan dalam acara peradilan agama dalam bidang perkawinan • Permohonan dispensasi umur kawin • Permohonan izin kawin • Permohonan penetapan wali adhol • Permohonan penetapan perwalian • Permohonan penetapan asal-usul anak D. Hukum acara peradilan agama hanya memperkarakan kasus kasus tertentu atau khusus yang dalam hal ini berkenaan dengan Ekonomi Syariáh
  • 8. 8 PENGERTIAN HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA Pasal 54 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU Nomor 3 Tahun 2006 dan UU Nomor 50 Tahun 2009 menyatakan : “Hukum acara yang berlaku pada pengadilan di lingkungan peradilan agama adalah hukum acara perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-undang ini Belum Diperiksa Hukum Acara Yang Berlaku di Peradilan Agama
  • 9. 9 PENGERTIAN HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA Undang-Undang Dasar Tahun 1945 disebutkan dalam Bab IX pasal 24 ayat (2) bahwa peradilan agama merupakan salah satu pemegang kekuasaan kehakiman. Peradilan agama adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia sesuai dengan ketentuan pasal 10 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 yang telah diubah dengan UU No.35 Tahun 1999 dan terakhir diganti dengan UU No.4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Hukum Acara Peradilan Agama
  • 10. 10 PENGERTIAN HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas UU No.7 Tahun 1989 dalam pasal 2 disebutkan: “Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini” Hukum Acara Peradilan Agama
  • 11. 11 PENGERTIAN HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA Pengertian Hukum Acara Peradilan Agama. Menurut Prof. Dr. Wiryono Prodjodikoro, SH., Hukum acara perdata adalah rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak di muka pengadilan dan cara bagaimana pengadilan harus bertindak satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata. Hukum Acara Peradilan Agama
  • 12. 12 PENGERTIAN HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA Pengertian Hukum Acara Peradilan Agama. R. Suparmono SH. memberikan definisi hukum acara perdata adalah keseluruhan peraturan hukum yang mengatur tentang cara-cara bagaimana mempertahankan, melaksanakan dan menegakkan hukum perdata materiil melalui proses peradilan (peradilan negara. Hukum Acara Peradilan Agama
  • 13. 13 PENGERTIAN HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA Pengertian Hukum Acara Peradilan Agama. Prof. Dr. Soedikno Mertokusumo, SH. menyatakan, hukum acara perdata mengatur tentang bagaimana caranya mengajukan tuntutan hak, memeriksa serta memutusnya dan pelaksanaan dari putusannya. Hukum Acara Peradilan Agama
  • 14. 14 PENGERTIAN HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA Pengertian Hukum Acara Peradilan Agama. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Hukum Acara Peradilan Agama adalah rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak di muka pengadilan yang terdiri dari cara mengajukan tuntutan dan mempertahankan hak, cara bagaimana pengadilan harus bertindak untuk memeriksa serta memutus perkara dan cara bagaimana melaksanakan putusan tersebut di lingkungan Peradilan Agama. Hukum Acara Peradilan Agama
  • 15. 2. SUMBER HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA
  • 16. 16 Hukum acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama diatur dalam Bab IV UU Nomor 7 Tahun 1989 mulai pasal 54 sampai dengan pasal 105. Menurut ketentuan pasal 54 UU Nomor 7 Tahun 1989: “hukum acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang ini”. SUMBER HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA
  • 17. 17 Belum Diperiksa SUMBER HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA Ketentuan tersebut menunjukan bahwa terdapat Hukum Acara Perdata yang secara umum berlaku pada lingkungan Peradilan Umum dan Perdailan Agama, dan ada pula hukum acara yang hanya berlaku pada Peradilan Agama. Hukum acara yang khusus diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 1989 yang meliputi cerai talak, cerai gugat dan cerai dengan alasan zina. Oleh karena itu, akan dijelaskan terlebih dahulu tentang Hukum Acara Perdata yang berlaku juga untuk Pengadilan Agama dan Hukum Acara khusus tetang cerai talak, cerai gugat dan cerai karena alasan zina.
  • 18. 18 SUMBER HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA SUMBER UTAMA HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA : 1. HIR/RBg (Hukum acara perdata yang berlaku bagi Peradilan Umum). 2. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 yang telah diganti dengan UU No. 4/2004 diubah UU 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman 3. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. 4. Undang-undang No. 14 Tahun 1985 yang telah diubah dengan UU No.5 Tahun 2004 diubah UU No. 3 Tahun 2009 ttg Mahkamah Agung 5. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan Undang- Undang Nomor Tahun 2006. 6. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947. 7. PP Nomor 9 Tahun 1975. 8. Inpres Nomor 1 Tahun 1991 Tentang KHI. 9. Surat Edaran Mahkamah Agung. 10. Doktrin/Ilmu Pengetahuan Hukum/Kitab-kitab Fiqih, DLL
  • 19. 19 Belum Diperiksa SUMBER HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA SUMBER UTAMA HUKUM MATERIL PERADILAN AGAMA: •Hukum Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits. •Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. •Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989. •Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. •Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977. •Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang KHI. •Peraturan Menteri Agama Nomor 2 TAhun 1987. •Yuriprudensi. •Doktrin/Ilmu Pengetahuan Hukum dalam Kitab-kitab Fiqih. •Hukum positif yang berkaitan dengan tugas dan kewenangan Peradilan Agama. •Asas-asas Hukum Acara Peradilan Agama
  • 21. 21 ASAS-ASAS HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA 1) Asas Bebas Merdeka Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negarayang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara hukumRepublik Indonesia. Pada dasarnya azas kebebasan hakim dan peradilan yang digariskan dalam UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama adalah merujuk pada pasal 24 UUD 1945 dan jo. Pasal 1 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Belum Diperiksa . Asas Umum Lembaga Peradilan Agama
  • 22. 22 ASAS-ASAS HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA 2) Asas Sebagai Pelaksana Kekuasaan Kehakiman Penyelenggara kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Semua peradilan di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia adalah peradilan Negara dan ditetapkan dengan undang-undang. Dan peradilan Negara menerapkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila. Belum Diperiksa . Asas Umum Lembaga Peradilan Agama
  • 23. 23 ASAS-ASAS HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA 3) Asas Ketuhanan Peradilan agama dalam menerapkan hukumnya selalu berpedoman pada sumber hukum Agama Islam, sehingga pembuatan putusan ataupun penetapan harus dimulai dengan kalimat Basmalah yang diikuti dengan irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhan Yang Maha Esa.” Belum Diperiksa . Asas Umum Lembaga Peradilan Agama
  • 24. 24 ASAS-ASAS HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA 4) Asas Fleksibelitas Pemeriksaan perkara di lingkungan peradilan agama harus dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Adapun asas ini diatur dalam pasal 57 (3) UU Nomor 7 Tahun 1989 yang tidak diubah dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama jo pasal 4 (2) dan pasal 5 (2) UU Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Untuk itu, pengadilan agama wajib membantu kedua pihak berperkara dan berusaha menjelaskan dan mengatasi segala hambatan yang dihadapi para pihak tersebut.. Belum Diperiksa . Asas Umum Lembaga Peradilan Agama
  • 25. 25 ASAS-ASAS HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA Yang dimaksud sederhana adalah acara yang jelas, mudah difahami dan tidak berbelit-belit serta tidak terjebak pada formalitas-formalitas yang tidak penting dalam persidangan. Sebab apabila terjebak pada formalitas-formalitas yang berbelit-belit memungkinkan timbulnya berbagai penafsiran. Belum Diperiksa . Asas Umum Lembaga Peradilan Agama
  • 26. 26 ASAS-ASAS HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA Yang dengan cepat dimaksud adalah dalam melakukan pemeriksaan hakim harus cerdas dalam menginventaris persoalan yang diajukan dan mengidentifikasikan persolan tersebut untuk kemudian mengambil intisari pokok persoalan yang selanjutnya digali lebih dalam melalui alat- alat bukti yang ada. Apabila segala sesuatunya sudah diketahui majelis hakim, maka tidak ada cara lain kecuali majelis hakim harus secepatnya mangambil putusan untuk dibacakan dimuka persidangan yang terbuka untuk umum. Belum Diperiksa . Asas Umum Lembaga Peradilan Agama
  • 27. 27 ASAS-ASAS HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA Yang dimaksud ringan adalah harus diperhitungkan secara logis, rinci dan transparan, serta menghilangkan biaya-biaya lain di luar kepentingan para pihak dalam berperkara. Sebab tingginya biaya perkara menyebabkan para pencari keadilan bersikap apriori terhadap keberadaan pengadilan. Belum Diperiksa . Asas Umum Lembaga Peradilan Agama
  • 28. 28 ASAS-ASAS HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA 5) Asas Non Ekstra Yudisial Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam UUD NRI Tahun 1945. Sehingga setiap orang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud akan dipidana. Belum Diperiksa . Asas Umum Lembaga Peradilan Agama
  • 29. 29 ASAS-ASAS HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA 6) Asas Legalitas Peradilan agama mengadili menurut hokum dengan tidak membeda-bedakan orang. Asas ini diatur dalam pasal 3 (2), pasal 5 (2), pasl 6 (1) UU No.4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman jo. Pasal 2 UU No.3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama. Pada asasnya Pengadilan Agama mengadili menurut hukum agama Islam dengan tidak membeda-bedakan orang, sehingga hak asasi yang berkenaan dengan persamaan hak dan derajat setiap orang di muka persidangan Pengadilan Agama tidak terabaikan. Belum Diperiksa . Asas Umum Lembaga Peradilan Agama
  • 30. 30 ASAS-ASAS HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA Asas legalitas dapat dimaknai sebagai hak perlindungan hukum dan sekaligus sebagai hak persamaan hukum. Untuk itu semua tindakan yang dilakukan dalam rangka menjalankan fungsi dan kewenangan peradilan harus berdasar atas hokum, mulai dari tindakan pemanggilan, penyitan, pemeriksaan di persidangan, putusan yang dijatuhkan dan eksekusi putusan, semuanya harus berdasar atas hukum. Tidak boleh menurut atau atas dasar selera hakim, tapi harus menurut kehendak dan kemauan hukum. Belum Diperiksa . Asas Umum Lembaga Peradilan Agama
  • 31. 31 ASAS-ASAS HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA 1) Asas Personalitas Ke-islaman Yang tunduk dan yang dapat ditundukkan kepada kekuasaan peradilan agama, hanya mereka yang mengaku dirinya beragama Islam. Asas personalitas ke-islaman diatur dalam UU nomor 3 Tahun 2006 Tentang perubahan atas UU Nomor 7 tahun 1989 Tentang peradilan agama Pasal 2 Penjelasan Umum alenia ketiga dan Pasal 49 terbatas pada perkara-perkara yang menjadi kewenangan peradilan agama. Belum Diperiksa Asas Khusus Kewenangan Peradilan Agama
  • 32. 32 ASAS-ASAS HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA Ketentuan yang melekat pada UU No. 3 Tahun 2006 Tentang asas personalitas ke-islaman adalah : a) Para pihak yang bersengketa harus sama-sama beragama Islam. b) Perkara perdata yang disengketakan mengenai perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shodaqoh, dan ekonomi syari’ah. c) Hubungan hukum yang melandasi berdsarkan hukum islam, oleh karena itu acara penyelesaiannya berdasarkan hukum Islam. Belum Diperiksa Asas Khusus Kewenangan Peradilan Agama
  • 33. 33 ASAS-ASAS HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA Khusus mengenai perkara perceraian, yang digunakan sebagai ukuran menentukan berwenang tidaknya Pengadila Agama adalah hukum yang berlaku pada waktu pernikahan dilangsungkan. Sehingga apabila seseorang melangsungkan perkawinan secara Islam, apabila terjadi sengketa perkawinan, perkaranya tetap menjadi kewenangan absolute peradilan agama, walaupun salah satu pihak tidak beragam Islam lagi (murtad), baik dari pihak suami atau isteri, tidak dapat menggugurkan asas personalitas ke-Islaman yang melekat pada saat perkawinan tersebut dilangsungkan, Asas Khusus Kewenangan Peradilan Agama
  • 34. 34 ASAS-ASAS HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA Artinya, setiap penyelesaian sengketa perceraian ditentukan berdasar hubungan hukum pada saat perkawinan berlangsung, bukan berdasar agama yang dianut pada saat terjadinya sengketa. Belum Diperiksa Asas Khusus Kewenangan Peradilan Agama Letak asas personalitas ke-Islaman berpatokan pada saat terjadinya hubungan hukum, artinya patokan menentukan ke- Islaman seseorang didasarkan pada factor formil tanpa mempersoalkan kualitas ke-Islaman yang bersangkutan. Jika seseorang mengaku beragama Islam, pada dirinya sudah melekat asas personalitas ke-Islaman. Faktanya dapat ditemukan dari KTP, sensus kependudukan dan surat keterangan lain.
  • 35. 35 ASAS-ASAS HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA Sedangkan mengenai patokan asas personalitas ke- Islaman berdasar saat terjadinya hubungan hukum, ditentukan oleh dua syarat : Pertama, pada saat terjadinya hubungan hukum, kedua pihak sama-sama beragama Islam. Kedua, hubungan hukum yang melandasi keperdataan tertentu tersebut berdasarkan hukum Islam, oleh karena itu cara penyelesaiannya berdasarkan hukum Islam. Belum Diperiksa Asas Khusus Kewenangan Peradilan Agama
  • 36. 36 ASAS-ASAS HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA 2.) Asas Ishlah (Upaya perdamaian) Upaya perdamaian diatur dalam Pasal 39 UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan jo. Pasal 31 PP No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tentang perkawinan jo. Pasal 65 dan Pasal 82 (1 dan 2) UU No. 7 Tahun 1989 yang tidak diubah dalam UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama jo. Pasal 115 KHI, jo. Pasal 16 (2) UU Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Islam menyuruh untuk menyelesaikan setiap perselisihan dengan melalui pendekatan “Ishlah”. Karena itu, tepat bagi para hakim peradilan agama untuk menjalankn fungsi “mendamaikan”, sebab bagaimanapun adilnya suatu putusan, pasti lebih cantik dan lebih adil hasil putusan itu berupa perdamaian. Belum Diperiksa Asas Khusus Kewenangan Peradilan Agama
  • 37. 37 ASAS-ASAS HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA 3) Asas Terbuka Untuk Umum Asas terbuka untuk umum diatur dalam pasal 59 (1) UU No.7 Tahun 1989 yang tidak diubah dalam UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradila Agama jo. Pasal 19 (3 dan 4) UU No. 4 Tahun 2004. Sidang pemeriksaan perkara di Pengadilan Agama adalah terbuka untuk umum, kecuali Undang-Undang menentukan lain atau jika hakim dengan alasan penting yang dicatat dalam berita acara sidang memerintahkan bahwa pemeriksaan secara keseluruhan atau sebagianakan dilakukan dengan sidang tertutup. Adapun pemeriksaan perkara di Pengadilan Agama yang harus dilakukan dengan siding tertutup adalah berkenaan dengan pemeriksaan permohonan cerai talak dan atau cerai gugat (pasal 68 (2) UU No. 7 Tahun 1989 yang tidak diubah dalam UU No. 3 tahun 2006 Tentang Peradilan Agama). Belum Diperiksa Asas Khusus Kewenangan Peradilan Agama
  • 38. 38 ASAS-ASAS HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA 4) Asas Equality Setiap orang yang berperkara dimuka sidang pengadilan adalah sama hak dan kedudukannya, sehingga tidak ada perbedaan yang bersifat “diskriminatif” baik dalam diskriminasi normative maupun diskriminasi kategoris. Adapun patokan yang fundamental dalam upaya menerapkan asas “equality” pada setiap penyelesaian perkara dipersidangan adalah : a. Persamaan hak dan derajat dalam proses pemeriksaan persidangan pengadilan atau “equal before the law”. b. Hak perlindungan yang sama oleh hukum atau “equal protection on the law” c. Mendapat hak perlakuan yang sama di bawah hukum atau “equal justice under the law”. Belum Diperiksa Asas Khusus Kewenangan Peradilan Agama
  • 39. 39 ASAS-ASAS HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA 5) Asas “Aktif” memberi bantuan Terlepas dari perkembangan praktik yang cenderung mengarah pada proses pemeriksaan dengan surat atau tertulis, hukum acara perdata yang diatur dalam HIR dan RBg sebagai hukum acara yang berlaku untuk lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Agama sebagaimana yang tertuang pada Pasal 54 UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama. Belum Diperiksa Asas Khusus Kewenangan Peradilan Agama
  • 40. 40 ASAS-ASAS HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA 6) Asas Upaya Hukum Banding Terhadap putusan pengadilan tingkat pertama dapat dimintakan banding kepada Pengadilan Tinggi oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali Undang-undang menentukan lain. Belum Diperiksa Asas Khusus Kewenangan Peradilan Agama
  • 41. 41 ASAS-ASAS HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA 7) Asas Upaya Hukum Kasasi Terhadap putusan pengadilan dalam tingkat banding dapat dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung oleh para pihak yang bersangkutan, kecuali undang-undang menentukan lain. Belum Diperiksa Asas Khusus Kewenangan Peradilan Agama
  • 42. 42 ASAS-ASAS HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA 8) Asas Upaya Hukum Peninjauan Kembali Terhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang. Dan terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali. Belum Diperiksa Asas Khusus Kewenangan Peradilan Agama
  • 43. 43 ASAS-ASAS HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA 9) Asas Pertimbangan Hukum (Racio Decidendi) Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan tersebut, memuat pula paal tertentu dan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. Belum Diperiksa Asas Khusus Kewenangan Peradilan Agama
  • 45. 45 PERADILAN AGAMA KEWENANGAN MENGADILI BADAN PERADILAN AGAMA DAPAT DIBAGI MENJADI 2 (DUA) KEWENANGAN YAITU: Kewenangan Mutlak (Absolute Competensi) yaitu kewenangan yang menyangkut kekuasaan mutlak untuk mengadili suatu perkara, artinya perkara tersebut hanya bisa diperiksa dan diadili oleh Pengadilan Agama. Dalam istilah lain disebut “Atribut Van Rechsmacht”. Contoh perkara perceraian bagi orang-orang yang beragama Islam dan perkawinannya dilakukan secara Islam menjadi kewenangan absolute Pengadilan Agama Kewenangan Mengadili Peradilan Agama
  • 46. 46 PERADILAN AGAMA Kewenangan Relatif (Relative Competensi) yaitu kewenangan mengadili suatu perkara yang menyangkut wilayah/daerah hukum (yurisdiksi), hal ini dikaitkan dengan tempat tinggal pihak-pihak berperkara. Ketentuan umum menentukan gugatan diajukan kepada pengadilan yang mewilayahi tempat tinggal tergugat (Pasal 120 ayat (1) HIR/Pasal 142 ayat (1) RBg. Dalam Perkara perceraian gugatan diajukan ke pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal isteri (Pasal 66 ayat (2) dan Pasal 73 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 tahun 1989). Dalam istilah lain kewenangan relatif ini disebut “Distribute van Rechtsmacht”. Pengadilan yang berhak mengadili suatu perkara dalam bahasa latin disebut dengan istilah “Actor Sequitur Forum Rei”. Kewenangan Mengadili Peradilan Agama
  • 47. 47 PERADILAN AGAMA Tugas Pokok Badan Peradilan Agama Menerima, memeriksa, mengadili dan memutus serta menyelesaikan perkara antara orang-orang yang beragama Islam dalam bidang: •Perkawinan. •Waris. •Wasiat. •Hibah. •Wakaf. •Zakat. •Infaq. •Shadaqoh. •Ekonomi Syari’ah. (Pasal 49 Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 Tentang Perubahan atas Undang-Undang-ndang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama).
  • 48. 48 PERADILAN AGAMA Tugas Pokok Badan Peradilan Agama “Pengadilan Agama berkuasa atas perkara perkawinan bagi mereka yang beragama Islam sedangkan bagi yang selain Islam menjadi kekuasaan Peradilan Umum”.
  • 49. 49 PERADILAN AGAMA Tugas Lain Dari Badan Peradilan Agama Selain dari tugas pokok sebagaimana diuraikan di atas, Peradilan Agama mempunyai tugas tambahan baik yang diatur dalam Undang-undang maupun dalam peraturan- peraturan lainnya yaitu : 1. Memberikan pertimbangan dan nasehat tentang hukum Islam kepada instansi pemerintah apabila diminta. (Pasal 52 ayat (1) Undang-undang No. 7/1989. 2. Menyelesaikan permohonan pertolongan pembagian harta peninggalan di luar sengketa antara orang-orang Islam. (Pasal 107 ayat (2) Undang-undang No. 7/1989). Hal ini sudah jarang dilakukan karena Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 telah mengatur dibolehkannya penetapan ahli waris dalam perkara volunteer. 3. Memberikan isbat kesaksian rukyat hilal dalam penentuan awal bulan tahun hijriyah (Pasal 52 A UU No.3 Tahun 2006). 4. Melaksanakan tugas lainnya seperti pelayanan riset/penelitian dan tugas-tugas lainnya.
  • 50. 50 PERADILAN AGAMA Jenis Perkara di Lingkungan Peradilan Agama Selain dari tugas pokok sebagaimana diuraikan di atas, Peradilan Agama mempunyai tugas tambahan baik yang diatur dalam Undang-undang maupun dalam peraturan- peraturan lainnya yaitu : 1. Memberikan pertimbangan dan nasehat tentang hukum Islam kepada instansi pemerintah apabila diminta. (Pasal 52 ayat (1) Undang-undang No. 7/1989. 2. Menyelesaikan permohonan pertolongan pembagian harta peninggalan di luar sengketa antara orang-orang Islam. (Pasal 107 ayat (2) Undang-undang No. 7/1989). Hal ini sudah jarang dilakukan karena Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 telah mengatur dibolehkannya penetapan ahli waris dalam perkara volunteer. 3. Memberikan isbat kesaksian rukyat hilal dalam penentuan awal bulan tahun hijriyah (Pasal 52 A UU No.3 Tahun 2006). 4. Melaksanakan tugas lainnya seperti pelayanan riset/penelitian dan tugas-tugas lainnya.
  • 51. 5. URUTAN BERACARA DI PERADILAN AGAMA
  • 52. 52 URUTAN BERACARA DI PERADILAN AGAMA A. URUTAN BERACARA DI PERADILAN UMUM Urutan beracara pada hukum acara (Peradilan Umum) a. Gugatan b. Mediasi c. Jawaban (eksepsi, pokok perkara, rekopensi) d. Replik (penggugat, lugas) e. Duplik (tergugat, penggugat rekopensi) f. Pembuktian (pembuktian oleh masing-masing pihak apakah benar/ tidak statemen masing2) g. Kesimpulan h. Putusan
  • 53. 53 URUTAN BERACARA DI PERADILAN AGAMA B. URUTAN BERACARA DI PERADILAN AGAMA Hukum Acara Khusus dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 jo. Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 dan UU Nomor 50 Tahun 2009 Dalam buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan, Bagian Kedua, Bidang Teknis Peradilan, Peradilan Agama diatur hal-hal yang ringkasnya sebagai berikut :
  • 54. 54 URUTAN BERACARA DI PERADILAN AGAMA B. URUTAN BERACARA DI PERADILAN AGAMA 1) Bidang Perkawinan Beberapa perkara berikut dapat diajukan dan diperiksa serta diputus secara voluntoir, maksudnya : berbentuk permohonan yang hanya terdiri dari pihak Pemohon saja dan tidak terdapat sengketa. Padahal menurut azasnya perkara terdiri dari dua pihak yang sedang bersengketa atau disebut perkara contensios. Perkara voluntoir tersebut adalah : a)Permohonan dispensasi umur kawin b)Permohonan izin kawin c)Permohonan penetapan wali adhol d)Permohonan penetapan perwalian e)Permohonan penetapan asal-usul anak
  • 55. 55 URUTAN BERACARA DI PERADILAN AGAMA B. URUTAN BERACARA DI PERADILAN AGAMA 2) Bidang Perceraian a) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 jo. UU Nomor 3 Tahun 2006 dan UU Nomor 50 Tahun 2009 memberi kemudahan dan perlindungan kepada isteri dalam hal di Pengadilan Agama mana perceraian diajukan. (1) Suami mengajukan cerai talak di Pengadilan Agama yang di daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Termohon (isteri) (Pasal 66 (2)). (2) Isteri mengajukan cerai gugat di Pengadilan Agama yang di daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Penggugat (isteri) (pasal 73 (2)).
  • 56. 56 URUTAN BERACARA DI PERADILAN AGAMA B. URUTAN BERACARA DI PERADILAN AGAMA 2) Bidang Perceraian b) Dalam perkara perceraian tidak ada pihak yang kalah atau menang, sehingga biaya perkara dibebankan kepada Penggugat atau Pemohon (Pasal 89 ayat (1)) c) Pemeriksaan perkara perceraian dalam sidang tertutup (pasal 68 (2) dan 80). Hal ini dimaksudkan untuk menjaga rahasia pribadi para pihak. d) Permohonan penguasaan anak, nafkah anak, nafkah isteri dan harta bersama-sama dengan permohonan cerai talak/ gugat cerai ataupun sesudahnya (Pasal 66 ayat (5) 86 ayat (1)
  • 57. 57 URUTAN BERACARA DI PERADILAN AGAMA B. URUTAN BERACARA DI PERADILAN AGAMA 2) Bidang Perceraian e) Untuk melindungi isteri maupun anak, Hakim Pengadilan Agama baik diminta atau tidak, dalam perkara perceraian dapat menghukum pihak suami untuk memberi nafkah isteri maupun anaknya (Pasal 44 c UU Nomor 1 Tahun 1974 jo. 78 a UU Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2006 dan 45 ayat (2) dan 49 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974 jo. 78 huruf b UU Nomor 7 Tahun 1989 jo. UU Nomor 3 Tahun 2006.
  • 58. 58 URUTAN BERACARA DI PERADILAN AGAMA B. URUTAN BERACARA DI PERADILAN AGAMA 2) Bidang Perceraian e) Untuk melindungi isteri maupun anak, Hakim Pengadilan Agama baik diminta atau tidak, dalam perkara perceraian dapat menghukum pihak suami untuk memberi nafkah isteri maupun anaknya (Pasal 44 c UU Nomor 1 Tahun 1974 jo. 78 a UU Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2006 dan 45 ayat (2) dan 49 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974 jo. 78 huruf b UU Nomor 7 Tahun 1989 jo. UU Nomor 3 Tahun 2006. f) Hak bekas isteri maupun anaknya atas bagian bekas suaminya yang Pegawai Negeri, dapat dituntut dan diputus dalam perkara perceraiannya (PP 10 Tahun 1983 jo. PP 45 Tahun 1990).
  • 59. 59 URUTAN BERACARA DI PERADILAN AGAMA B. URUTAN BERACARA DI PERADILAN AGAMA 3) Bidang Waris, Wasiat dan Hibah yang Dilakukan Berdasarkan Hukum Islam a) Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 jo. UU Nomor 3 Tahun 2006 dan UU Nomor 50 Tahun 2009 menganut azas personalitas keislaman, oleh karena itu Pengadilan Agama berwenang memeriksa dan mengadili perkara waris/ wasiat apabila pewaris (si mayit) beragama Islam. b) Hibah yang dilakukan oleh orang Islam kepada orang Islam apabila timbul sengketa adalah menjadi kewenangan Pengadilan Agama.
  • 60. 60 URUTAN BERACARA DI PERADILAN AGAMA B. URUTAN BERACARA DI PERADILAN AGAMA 3) Bidang Waris, Wasiat dan Hibah yang Dilakukan Berdasarkan Hukum Islam c) Bagi orang yang menghendaki surat keterangan ahli waris misalnya untuk mengambil deposito di Bank, dapat dibuat akta di bawah tangan kemudian dimintakan pengesahan (gewaasmarker) kepada Ketua Pengadilan Agama d) Akta comparisi pembagian harta waris di luar sengketa dapat dilakukan berdasarkan pasal 107 UU Peradilan Agama jo. 236 a HIR.
  • 61. 61 URUTAN BERACARA DI PERADILAN AGAMA B. URUTAN BERACARA DI PERADILAN AGAMA 4) Sengketa Milik Pasal 50 UU Nomor 7 Tahun 1989 jo. UU Nomor 3 Tahun 2006 dan UU Nomor 50 Tahun 2009 menyatakan : (1) Dalam hal terjadi sengketa hak milik atau sengketa lain dalam perkara sebagaimana dimaksud dalam pasal 49, khusus mengenai objek sengketa tersebut harus diputus lebih dahulu oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum. (2) Apabila terjadi sengketa hak milik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang subyek hukumnya antara orang-orang yang beragama Islam, obyek sengketa tersebut diputus oleh Pengadilan Agama bersama-sama perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49.
  • 63. 63 BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA Seseorang yang akan berperkara di Pengadilan Agama datang secara pribadi atau melalui kuasannya yang sah (dengan Surat Kuasa) mengajukan surat gugatan atau permohonan yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Agama dan mendaftarkannya kepada petugas yang ditunjuk menerima surat gugatan atau permohonan tersebut. Kemudian petugas yang menerima surat gugatan atau permohonan tersebut menaksir uang muka/panjar biaya perkara yang harus dibayar dengan membuat Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) lalu penggugat atau pemohon membayar uang muka/panjar biaya perkara ke kasir. PROSES BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA
  • 64. 64 Proses Berperkara di Pengadilan Agama Selanjutnya petugas kasir memberi nomor perkara pada surat gugatan atau permohonan tersebut dan menyerahkan satu eksemplar salinan surat gugatan atau permohonan dan lembar pertama (asli) SKUM kepada yang mengajukan perkara. Setelah itu perkara tersebut didaftarkan ke dalam buku induk perkara oleh petugas yang ditunjuk sesuai dengan jenis perkaranya, dengan demikian perkara tersebut telah didaftar secara resmi dan akan ditentukan Majelis Hakim yang akan memerikasanya oleh Ketua Pengadilan. BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA
  • 65. 65 A. TATA CARA GUGAT MENGGUGAT Pengertian surat gugatan ialah surat yang diajukan kepada Ketua Pengadilan yang berkompeten yang memuat tuntutan hak dan adanya kepentingan hukum serta mengandung sengketa. Yang mengajukan disebut Penggugat sedang pihak yang digugat disebut Tergugat. Dalam praktek sering ditemukan Penggugat tidak hanya satu orang tetapi bisa lebih, demikian juga Tergugat bahkan kemungkinan terdapat orang lain atau pihak ketiga yang tidak masuk kepada kelompok Penggugat maupun Tergugat tetapi mempunyai hubungan atau keterkaitan dengan perkara yang diajukan tetapi pihak ketiga tersebut tidak mau bergabung dengan penggugat maupun dengan Tergugat oleh karena itu pihak ketiga tersebut harus dilibatkan dalam perkara dan dalam surat gugatan disebut sebagai Turut Tergugat. BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA
  • 66. 66 1. Bentuk dan Kelengkapan Gugatan/Permohonan Adapun bentuk gugatan atau permohonan dapat dibagi 2 (dua) yaitu : a. Bentuk Tertulis Gugatan atau permohonan bentuk tertulis harus memenuhi syarat formil, dibuat dengan jelas dan terang serta ditanda tangani oleh yang mengajukan (Penggugat/Pemohon) atau kuasanya yang telah mendapat surat kuasa khusus. b. Bentuk Lisan Gugatan atau permohonan bentuk lisan ialah gugatan atau permohonan yang diajukan secara lisan kepada Ketua Pengadilan oleh mereka yang buta huruf dan Ketua Pengadilan mencatat atau menyuruh mencatat kepada salah seorang pejabat pengadilan, kemudian catatan tersebut diformulasikan menjadi surat gugatan atau permohonan. (Pasal 120 HIR/Pasal 144 ayat (1) RBg.) BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA A. TATA CARA GUGAT MENGGUGAT
  • 67. 67 Syarat-syarat Gugatan Berupa Tuntutan Yaitu merupakan suatu aksi atau tindakan hukum yang bertujuan untuk memperoleh perlindungan hukum dari Pengadilan dan untuk mencegah tindakan main hakim sendiri. Ada Kepentingan Hukum Maksudnya yaitu setiap gugatan harus merupakan tuntutan hak dan mempunyai kepentingan hukum yang cukup. Sengketa Yaitu tuntutan hak tersebut harus merupakan sengketa. Tidak ada sengketa maka tidak ada perkara (geen belang, geen actie) Dibuat dengan Cermat dan Terang Yaitu dengan alasan atau dasar hukumnya harus jelas dan dapat dibuktikan apabila disangkal, pihak-pihaknya juga harus jelas demikian juga obyeknya. Jika tidak jelas maka surat gugatan tersebut akan dinyatakan gugatan kabur (Obscure Libel). BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA A. TATA CARA GUGAT MENGGUGAT
  • 68. 68 Unsur-unsur Surat Gugatan Unsur-unsur surat gugatan ada 3 (tiga) yaitu : 1. Identitas dan kedudukan para pihak Menurut ketentuan pasal 67 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, Identitas seseorang adalah nama lengkap, umur dan tempat tinggal, tetapi untuk lebih lengkapnya identitas seseorang sebaiknya ditulis juga jenis kelamin, agama dan pekerjaan. Kebiasaan di Peradilan Agama jenis kelamin seseorang dapat diketahui dari nama yang bersangkutan diiringi dengan kata Bin berarti anak laki-laki dari dan kata Binti artinya anak perempuan. BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA A. TATA CARA GUGAT MENGGUGAT
  • 69. 69 Unsur-unsur Surat Gugatan 2. Posita yaitu penjelasan tentang keadaan atau peristiwa yang berhubungan dengan hukum yang dijadikan sebagai landasan atau dasar dari gugatan tersebut serta dibuat dengan jelas dan terang. Dalam bahasa lain posita disebut Fundamentum Fetendi. Jadi suatu surat gugatan harus memuat peristiwa hukum dan dasar hukum yang dijadikan alasan untuk mengajukan tuntutan. . 3.Petitum yaitu tuntutan yang diminta oleh Penggugat supaya dikabulkan oleh Hakim. Suatu petitum harus didukung dengan posita dan suatu petitum yang tidak didasarkan pada posita maka petitum tidak akan dikabulkan oleh hakim. BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA A. TATA CARA GUGAT MENGGUGAT
  • 70. 70 Penggabungan (Kumulasi) Gugatan/Permohonan Ada beberapa macam penggabungan (kumulasi) yaitu: A. Kumulasi Subjektif yaitu jika dalam surat gugatan/permohonan terdapat beberapa orang penggugat atau Tergugat. B. Kumulasi Obyektif yaitu Penggugat mengajukan beberapa tuntutan atau gugatan terhadap Tergugat. BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA A. TATA CARA GUGAT MENGGUGAT
  • 71. 71 Penggabungan (Kumulasi) Gugatan/Permohonan BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA C. Intervensi yaitu ikut sertanya pihak ketiga ke dalam suatu proses perkara karena ada kepentingan hukum atau ditarik sebagai pihak. Kumulasi atau Penggabungan gugatan/permohonan dalam satu surat gugatan/ permohonan berarti terdapat beberapa tuntutan/permohonan. Intervensi diatur dalam pasal 279 -282 R.V. dan ada 3 (tiga) macam bentuk intervensi yang dikenal dalam hukum acara perdata yaitu : v Tussenkomst ialah masuknya pihak ketiga ke dalam perkara yang sedang berlangsung untuk membela kepentingannya sendiri, oleh karena itu ia melawan kedua belah pihak (Penggugat dan Tergugat) yang sedang berperkara. v Voeging adalah suatu aksi hukum oleh pihak yang berkepentingan dengan jalan memasuki perkara yang sedang berlangsung antara penggugat dan tergugat dengan memihak kepada penggugat atau tergugat. v Vrijwaring adalah suatu aksi hukum yang dilakukan oleh tergugat untuk menarik pihak ketiga ke dalam perkara yang sedang berlangsung guna menjamin kepentingan tergugat dalam menghadapi gugatan Penggugat A. TATA CARA GUGAT MENGGUGAT
  • 72. 72 Gugatan Rekonvensi Yang dimaksud dengan gugatan rekonpensi ialah gugatan balik yang diajukan oleh Tergugat terhadap Penggugat tentang sengketa antara mereka menyangkut hukum kebendaan. Dasar hukum Pasal 132 a dan 132 b HIR/Pasal 157 dan 158 RBg. BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA Syarat-syarat gugatan rekonvensi : 1. Diajukan bersama-sama jawaban, tetapi ada yang berpendapat selama dalam tahap jawab menjawab dan belum sampai ke pembuktian bisa diajukan gugatan rekonpensi. 2. Diajukan terhadap Penggugat inpersona tidak kepada kuasa Penggugat. 3. Menyangkut hukum kebendaan, dalam hal ini sepanjang masih dalam kewenangan Pengadilan Agama. Bukan mengenai pelaksanaan putusan. A. TATA CARA GUGAT MENGGUGAT
  • 73. 73 Gugatan secara cuma-cuma (prodeo). BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA Gugatan secara cuma-cuma (prodeo) Pada dasarnya beracara di Pengadilan dalam gugatan perdata, dikenakan biaya perkara (pasal 121 ayat (4) dan pasal 182 HIR, pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 4 tahun 2004). Namun dalam hal Penggugat dan Tergugat tidak mampu, ia dapat mohon kepada Ketua Pengadilan untuk berperkara secara cuma-cuma, sebelum perkara pokok diperiksa oleh Pengadilan (pasal 237 HIR, pasal 273 RBg). Permohonan diajukan dengan melampirkan Surat Keterangan Tidak Mampu yang dibuat oleh Kepala Desa dan diketahui Camat. A. TATA CARA GUGAT MENGGUGAT
  • 74. 74 Surat permohonan ialah surat yang diajukan kepada Ketua Pengadilan yang berkompeten yang memuat tuntutan hak perdata yang diajukan oleh seseorang atau lebih yang mempunyai kepentingan hukum terhadap suatu hal yang tidak mengandung sengketa dan diatur dalam Undang-undang atau ada aturan hukumnya. Contoh perwalian, pengangkatan anak dan lain-lain. Ciri-ciri Surat Permohonan yaitu : Ada kepentingan hukum. Tidak mengandung sengketa Diatur dalam Undang-undang atau Peraturan Tata Cara Pemerikasaan Perkara BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA B. TATA CARA SURAT PERMOHONAN
  • 75. 75 Setelah surat gugatan atau permohonan didaftar atau dicatat dalam register induk perkara, maka Panitera Pengadlan Agama selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari harus sudah menyampaikan berkas perkara tersebut kepada Ketua Pengadilan Agama, lalu Ketua Pengadilan memeriksa kelengakapan berkas perkara tersebut, selanjutnya menunjuk Majelis Hakim yang akan memeriksa perkara tersebut dengan membuat Penetapan Majelis Hakim (PMH). Kemudian perkara tersebut diserahkan kepada Majelis Hakim melalui Panitera, lalu Ketua Majelis Hakim yang ditunjuk tersebut membuat Penetapan Hari Sidang (PHS) dengan menetapkan Hari Sidang dan memerintahkan Juru sita/Juru sita Pengganti untuk memanggil pihak-pihak yang berperkara. BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA C. TATA CARA PEMERIKASAAN PERKARA Persiapan Persidangan
  • 76. 76 Tenggang waktu pemanggilan pihak-pihak berperkara tersebut, tidak boleh kurang dari 3 (tiga) hari antara hari pemanggilan dan hari sidang yang telah ditentukan, artinya panggilan sidang harus sudah diterimakan kepada pihak- pihak berperkara selambat-lambatnya 3 (tiga) hari sebelum hari sidang, apabila panggilan disampaikan kepada pihak-pihak berperkara kurang dari 3 (tiga) hari, misalnya 2 (dua) hari sebelum hari sidang, maka panggilan tersebut harus dinyatakan tidak patut/tidak sah. Perkara yang telah resmi terdaftar harus sudah disidangkan selambat-lambatnya 1 (satu) bulan dari pendaftaran perkara, kecuali ada alasan hukum yang membenarkan, misalnya pihak Tergugat berada di luar Negeri BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA C. TATA CARA PEMERIKASAAN PERKARA Persiapan Persidangan
  • 77. 77 Tata Cara Pemanggilan Pihak-pihak Berperkara Untuk menghadirkan pihak-pihak berperkara di muka persidangan, harus dilakukan dengan surat panggilan resmi (relaas panggilan) dengan cara sebagai berikut : 1.Pemanggilan dilakukan oleh Juru Sita/Juru Sita Pengganti. 2.Disampaikan kepada pribadi yang bersangkutan di tempat tinggalnya. Jika yang dipanggil tidak ditemui di tempat tinggalnya panggilan disampaikan 3.melalui Kepala Desa/Lurah setempat. 4.Panggilan sudah disampaikan minimal 3 (tiga) hari sebelum hari sidang. 5.Panggilan pertama kepada Tergugat harus dilampirkan salinan surat gugatan. Dasar hukumnya Pasal 145 dan pasal 718 RBg, Pasal 121 dan Pasal 390 HIR, pasal 26 dan 27 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA C. TATA CARA PEMERIKASAAN PERKARA Persiapan Persidangan
  • 78. 78 Sebelum memeriksa perkara, Majelis Hakim harus membaca dan mepelajari berkas perkara, dan dalam persidangan Ketua Majelis berada di tengah/diantara dua hakim anggota lalu membuka sidang dengan mengucapkan Bismillahirrahmanirrahim diiringi dengan mengetukkan palu sebanyak 3 (tiga) kali, selanjutnya Para pihak dipanggil masuk ke ruang sidang, kemudian Majelis Hakim memeriksa identitas para pihak, jika diwakili oleh kuasanya, maka penerima kuasa tersebut harus diperiksa identitasnya dan juga surat kuasanya BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA C. TATA CARA PEMERIKASAAN PERKARA Tahap-Tahap Pemerikasaan
  • 79. 79 Secara teoritis pemeriksaan suatu perkara dilakukan dengan cara sebagai berikut: 1.Sidang pertama usaha Perdamaian. 2.Sidang kedua Pembacaan surat gugatan. 3.Sidang ketiga Jawaban Tergugat. 4.Sidang keempat Replik Penggugat. 5.Sidang kelima Duplik Tergugat. 6.Sidang keenam Pembuktian dari Penggugat. 7.Sidang ketujuh Pembuktian dari Tergugat. 8.Sidang kedelapan Kesimpulan pihak-pihak berperkara. 9.Sidang kesembilan Pembacaan putusan BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA C. TATA CARA PEMERIKASAAN PERKARA Tahap-Tahap Pemerikasaan
  • 80. 80 Tahapan-tahapan seperti diuraikan di atas (1 s/d 9 ) tidak bersifat baku, bisa lebih singkat dan bisa juga lebih lama, cepat dan lamanya penyelesaian suatu perkara sangat tergantung dari kehadiran dan kesiapan pihak-pihak berperkara karena pada dasarnya dalam perkara perdata hakim bersifat pasif, akan tetapi harus diingat bahwa suatu perkara perdata pada peradilan tingkat pertama dan peradilan tingkat banding harus sudah selesai selambat-lambatnya 6 (enam) bulan sejak didaftarkan. (SEMA RI No. 6 Tahun 1992 tanggal 21 Oktober 1992, terakhir SEMA Nomor 3 Tahun 1998). BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA C. TATA CARA PEMERIKASAAN PERKARA Tahap-Tahap Pemerikasaan
  • 81. 81 Catatan: Pada sidang pertama sebelum memeriksa pokok perkara, Hakim wajib mendamaikan pihak-pihak berperkara. Jika perdamaian tersebut berhasil, maka dibuatkan akta perdamaian (Acta van vergelijk) yang isinya menghukum kedua belah pihak untuk melaksanakan isi perdamaian. Akan tetapi dalam perkara perceraian tidak dibuatkan akta perdamaian melainkan perkara dicabut BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA C. TATA CARA PEMERIKASAAN PERKARA Tahap-Tahap Pemerikasaan
  • 82. 82 Hakim tanpa diminta oleh pihak berperkarapun sebenarnya harus mengundurkan diri dari perkara apabila: Ia secara pribadi mempunyai kepentingan baik langsung atau tidak langsung dalam perkara itu. Suami/Isteri, keluarga atau keluarga semendanya dalam garis keturunan lurus, atau sampai derajat ke empat ke samping tersangkut dalam perkara itu. Hal ini dimaksudkan untuk menjamin peradilan yang obyektif dan tidak memihak. (Pasal 374 HIR/702 RBg. BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA C. TATA CARA PEMERIKASAAN PERKARA Tahap-Tahap Pemerikasaan
  • 83. 83 Eksepsi adalah sanggahan terhadap suatu gugatan atau perlawanan yang tidak mengenai pokok perkara dengan maksud untuk menghindari gugatan agar Hakim menetapkan gugatan tidak dapat diterima atau ditolak (Pasal 136 HIR/Pasal 162 RBg Pasal 356 R.V. Pada dasarnya eksepsi terbagi 2 (dua) yaitu: BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA C. TATA CARA PEMERIKASAAN PERKARA EKSEPSI
  • 84. 84 1) Eksepsi Formil (Prosesual Eksepsi) yaitu eksepsi berdasarkan hukum formil atau hukum acara. Eksepsi formil ini terbagi 5 macam yaitu : 1. Eksepsi tentang kewenangan absolute 2. Eksepsi tentang kewenangan relatif. 3. Eksepsi tentang nebis is idem (eksepsi van gewisde zaak) 4. Eksepsi diskwalifikator. 5. Eksepsi gugatan kabur (obscure libel). BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA C. TATA CARA PEMERIKASAAN PERKARA EKSEPSI
  • 85. 85 2) Eksepsi Materil yaitu eksepsi berdasarkan hukum materil yang meliputi : - Dilatoir eksepsi. (Belum waktunya diajukan) - Prematoir eksepsi. (Terlambat mengajukan) BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA C. TATA CARA PEMERIKASAAN PERKARA EKSEPSI
  • 86. 86 Eksepsi tidak berwenang secara absolut, eksepsi menyangkut kewenangan mutlak yaitu sanggahan tentang kewenangan absolute pengadilan yang tidak berwenang mengadili perkara tersebut melainkan menjadi wewenang Pengadilan lain. Eksepsi kewenangan relatif, eksepsi mengenai kewenangan relatif. Eksepsi Nebis in idem, suatu perkara tidak dapat diputus dua kali sehingga suatu perkara yang sama antara pihak-pihak yang sama dan di pengadilan yang sama pula. BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA C. TATA CARA PEMERIKASAAN PERKARA EKSEPSI
  • 87. 87 v Eksepsi diskwlifikator, yaitu eksepsi yang menyatakan Penggugat tidak mempunyai kedudukan/hak untuk mengajukan gugatan atau Pengugat salah menentukan Tergugat baik mengenai orangnya maupun identitasnya v Eksepsi gugatan obscure libel, yaitu karena surat gugatan kabur, tidak jelas, tidak dapat dipahami baik mengenai susunan kalimatnya, formatnya atau hubungan hukumnya satu sama lain yang tidak saling mendukung atau mungkin bertentangan sama sekali. Eksepsi dilatoir, eksepsi yang menyatakan bahwa perkara tersebut bersifat prematur, belum waktunya diajukan, misalnya mengenai perjanjian belum habis waktunya. v Eksepsi prematoir, adalah eksepsi yang menyatakan BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA C. TATA CARA PEMERIKASAAN PERKARA EKSEPSI
  • 88. 88 Terhadap hal-hal yang telah diakui atau setidak-tidaknya tidak disangkal tidak perlu dibuktikan, selain itu masih ada satu hal lagi yang tidak harus dibuktikan, yaitu berupa hal-hal atau keadaan-keadaan yang telah diketahui oleh khalayak ramai (umum) yang dalam istilah hukum disebut fakta notoir. BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA C. TATA CARA PEMERIKASAAN PERKARA EKSEPSI
  • 89. 89 Dalam hukum acara perdata ada 5 (lima macam) alat bukti yaitu : 1. Surat 2. Saksi 3. Persangkaan 4. Pengakuan. 5. Sumpah Dasar Hukum : Pasal 164 HI/Pasal 284 RBg/ Pasal 1866 BW BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA C. TATA CARA PEMERIKASAAN PERKARA ALAT BUKTI
  • 90. 90 Putusan adalah produk Hakim dari hasil pemeriksaan dan penyelesaian perkara di persidangan. Ada 3 (tiga) macam produk Hakim yaitu : Putusan ialah pernyatan Hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum sebagai hasil dari pemeriksaan perkara gugatan (kontensius) Penetapan ialah pernyataan Hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum sebagai hasil dari pemeriksaan perkara permohonan (volunteer) Akta Perdamaian ialah akta yang dibuat oleh Hakim berisi hasil musyawarah/ kesepakatan antara para pihak dalam sengketa kebendaan untuk mengakhiri sengketa dan berlaku sebagai putusan. BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA D. PUTUSAN
  • 91. 91 Dari segi fungsinya dalam mengakhiri perkara ada 2 (dua) macam putusan yaitu : 1. Putusan Akhir Putusan akhir ialah putusan yang mengakhiri pemeriksaan di persidangan baik melalui semua tahapan pemerikasaan maupun yang belum melalui semua tahapan pemeriksaan. 2. Putusan sela Putusan sela ialah putusan yang dijatuhkan pada saat masih dalam proses pemerikasaan perkara dengan tujuan memperlancar jalannya pemeriksaan, putusan sela tidak mengakhiri pemerikasaan tetapi akan berpengaruh terhadap arah dan jalannya pemeriksaan. Putusan sela ini dibuat seperti putusan biasa lengkap dengan identitas pihak-pihak, duduk perkara dan pertimbangan hkum tetapi tidak terpisah dari berita acara persidangan dan ditandatangani oleh Majelis Hakim serta Panitera sidang. BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA D. PUTUSAN Macam dan Jenis Putusan
  • 92. 92 Dilihat dari hadir tidaknya para pihak berperkara pada saat putusan dijatuhkan/diucapkan maka dapat dibagi menjadi 3 (tiga) macam yaitu : Putusan Gugur adalah putusan yang menyatakan bahwa gugatan/permohonan gugur karena penggugat/pemohon tidak hadir dalam sidang dan telah dipanggil dengan patut dan tidak menyuruh orang lain sebagai wakilnya yang sah serta ketidak hadirannya itu bukan karena halangan yang sah. (Pasal 148 RBg dan Pasal 124 HIR) Putusan Verstek ialah putusan yang dijatuhan karena tergugat/termohon tidak hadir meskipun telah dipanggil dengan patut dan tidak menyuruh orang lain sebagai wakilnya yang sah serta ketidak hadirannya bukan karena halangan yang sah dan juga tidak mengajukan eksepsi mengenai kewenangan. (Pasal 148 RBg/Pasal 125 HIR) Putusan Kontradiktoir ialah putusan akhir yang pada saat dijatuhkan/diucapkan dalam sidang tidak dihadiri oleh salah satu pihak atau para pihak akan tetapi dalam pemeriksaan penggugat dan tergugat pernah hadir. BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA D. PUTUSAN Macam dan Jenis Putusan
  • 93. 93 Dilihat dari segi Sifatnya terhadap akibat hukum yang ditimbulkan maka putusan dapat dibagi menjadi 3 (tiga) macam putusan yaitu : Putusan Diklatoir ialah putusan yang menyatakan suatu keadaan tertentu sebagai suatu yang resmi menurut hukum. Misalnya putusan tentang gugatan cerai dengan alasan ta’lik talak. Putusan Konstitutif ialah putusan yang menciptakan atau menimbulkan hukum baru, berbeda dengan keadaan hukum sebelumnya. Misalnya menetapkan sahnya pernikahan (isbat nikah) Putusan kondemnatoir ialah putusan yang bersifat menghukum kepada salah satu pihak untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu atau menyerahkan sesuatu kepada pihak lawan untuk memenuhi prestasi. Misalnya Menghukum Tergugat untuk menyerahkan seperdua bagian dari harta bersama kepada Penggugat. BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA D. PUTUSAN Macam dan Jenis Putusan
  • 94. 94 Dilihat dari Isinya terhadap gugatan putusan terbagi kepada 3 macam yaitu : 1.Putusan negatif yaitu menolak atau tidak menerima gugatan. 2.Putusan Positif yaitu mengabulkan atau menerima seluruh isi gugatan. 3.Putusan Positif-negatif yaitu menerima atau mengabulkan sebagian dan tidak menerima atau menolak sebagian. BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA D. PUTUSAN Macam dan Jenis Putusan
  • 95. 95 Putusan Hakim harus dibuat dengan tertulis dan harus ditanda tangani oleh Hakim/Majelis Hakim termasuk Panitera/Panitera Pengganti sebagi dokumen resmi. Suatu putusan hakim terdiri dari : 1. Kepala Putusan 2.Identitas Para Pihak 3.Pertimbangan (konsideran) yang memuat tentang 4.Duduk Perkaranya dan Pertimbangan Hukum 5.Amar atau dictum putusan BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA D. PUTUSAN Susunan dan Isi Putusan
  • 96. 96 Pelaksanaan putusan atau yang lebih dikenal dengan eksekusi ialah tindakan yang dilakukan secara paksa terhadap pihak yang kalah dalam perkara apabila pihak yang dikalahkan tidak menjalankan putusan secara sukarela sedang putusan tersebut sudah mempunyai kekuatan hukum tetap dan yang bersangkutan telah ditegur atau dianmaning untuk melaksanakan secara sukarela. BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA D. PUTUSAN Pelaksanaan Putusan
  • 97. 97 Putusan yang dapat dieksekusi ialah putusan yang bersifat komdemnatoir yaitu : 1.Putusan yang menghukum salah satu pihak untuk membayar sejumlah uang. (Pasal 196HIR/208 RBg) 2.Putusan yang menghukum salah satu pihak untuk melakukan suatu perbuatan. (Pasal 225 HIR/259 RBg) 3.Putusan yang menghukum salah satu pihak mengosongkan suatu benda tetap. (Pasal 1033 RV) 4.Eksekusi riil dalam bentuk lelang. (Pasal 200 ayat (1) HIR/218 RBg.. BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA D. PUTUSAN Pelaksanaan Putusan
  • 98. 98 Adapun tatacara eksekusi ialah : 1.Adanya permohonan eksekusi dari pihak yang bersangkutan. 2.Eksekusi atas dasar perintah Ketua Pengadilan Agama, surat perintah ini dikekluarkan setelah Tergugat tidak mau menghadiri panggilan peringatan (anmaning) tanpa alasan yang sah dan Tergugat tidak mau melaksanakan amar putusan selama masa peringatan. 3.Dilaksanakan oleh Panitera atau Juru Sita dengan dibantu 2 (dua) orang saksi 4.Sita eksekusi dilakukan di tempat obyek sengketa. 5.Membuat berita acara sita eksekusi BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA D. PUTUSAN Pelaksanaan Putusan
  • 99. 99 Apabila pihak-pihak berperkara (Penggugat dan Tergugat) tidak dapat menerima putusan pengadilan, maka ia dapat menempuh upaya hukum agar putusan pengadilan tersebut dibatalkan dengan cara sebagai berikut: 1.Mengajukan verzet yaitu upaya hukum atau perlawanan terhadap putusan verstek. Dasar Hukum Verstek : Pasal 149 ayat (1) RBg, pasal 125 ayat (1) HIR Dasar Hukum Verzet : Pasal 153 ayat (1) RBg, Pasal 129 ayat (1) HIR. 2.Mengajukan Banding ke Pengadilan Tinggi melalui Pengadilan yang memutus perkara tersebut, yaitu upaya hukum atau perlawanan terhadap putusan yang dijatuhkan secara kontradiktur. 3.Mengajukan Kasasi ke Mahkamah Agung melalui Pengadilan yang memutus perkara yaitu upaya hukum atau perlawanan terhadap putusan yang dijatuhkan oleh Pengadilan Tingkat Banding (Pengadilan Tinggi) apabila tidak dapat menerima putusan banding. 4.Mengajukan upaya hukum luar biasa yaitu Permohonan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung RI melalui Pengadilan yang memutus perkara tersebut yaitu upaya hukum atau perlawanan terhadap putusan yang telah mempunyai hukum tetap. BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA E. UPAYA HUKUM Pelaksanaan Putusan
  • 100. 100 Dasar Hukum PK : Pasal 23 UU No.4 Tahun 2004, Pasal 77 UU No.14 Tahun 1985. Permohonan Peninjauan Kembali atas putusan suatu perkara diperlukan syarat-syarat sebagai berikut : 1.Putusan telah mempunyai kekuatan hukum (inkrach) 2.Harus ada bukti baru (novum) 3.Tidak lebih dari 6 (enam) bulan setelah Novum ditemukan. 4,Pemohon PK harus disumpah atas penemuan novum tersebut. Catatan : Upaya hukum perkara volunteer adalah kasasi dengan perkataan lain apabila pemohon tidak dapat menerima penetapan yang dijatuhkan hakim, maka ia dapat mengajukan kasasi tanpa melalui proses banding terlebih dahulu. BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA D. PUTUSAN Pelaksanaan Putusan
  • 101. 101 Putusan Sela tidak dapat diajukan banding kecuali sekaligus diajukan bersama dengan putusan akhir. Pengajuan Banding Pengertian banding ialah permohonan pemeriksaan ulang kepada pengadilan yang lebih tinggi (dalam hal ini Pengadilan Tinggi Agama) terhadap suatu perkara yang telah diputus oleh tingkat pertama (Pengadilan Agama) karena merasa tidak puas atau tidak menerima putusan pengadilan tingkat pertama tersebut, dengan ketentuan sebagai berikut: 1.Permohonan banding diajukan kepada pengadilan tinggi dalam daerah hukum meliputi pengadilan tingkat pertama yang memutus perkara. 2.Permohonan banding diajukan melalui pengadilan yang memutus perkara tersebut. BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA D. PUTUSAN Pelaksanaan Putusan
  • 102. 102 Syarat-syarat banding. 1. Diajukan oleh pihak-pihak dalam perkara. 2. Diajukan masih dalam tenggang waktu banding. 3. Putusan tersebut menurut hukum diperbolehkan banding. 4. Membayar panjar biaya banding. 5. Membuat akta permohonan banding dengan menghadap pejabat kepaniteraan pengadilan BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA D. PUTUSAN Pelaksanaan Putusan
  • 103. 103 Masa Pengajuan banding : 1. Bagi pihak berperkara yang berada dalam wilayah hukum pengadilan yang memutus perkara adalah selama 14 hari terhitung mulai hari berikutnya sejak putusan dijatuhkan atau diberitahukan kepada yang bersangkutan. 2. Bagi pihak yang berada di luar wilayah pengadilan agama yang memutus perkara tersebut, masa bandingnya selama 30 hari terhitung hari berikutnya isi putusan disampaikan kepada yang bersangkutan. (Pasal 7 ayat (1), (2) dan (3) UU No.20/1947 BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA D. PUTUSAN Pelaksanaan Putusan
  • 104. 104 Pengajuan Kasasi Pengertian Kasasi ialah pembatalan putusan oleh Mahkamah Agung terhadap putusan pengadilan yang lebih rendah (pengadilan agama dan pengadilan tinggi agama) karena kesalahan dalam penerapan hukum.Pihak yang tidak menerima atau tidak puas atas putusan pengadilan tinggi agama atau pengadilan agama (dalam perkara volunteer) dapat mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung dengan syarat-syarat tertentu BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA D. PUTUSAN Pelaksanaan Putusan
  • 105. 105 Syarat-syarat kasasi 1. Diajukan oleh yang berhak. 2. Diajukan masih dalam tenggang waktu kasasi. 3. Putusan yang dijatuhkan oleh pengadilan tingkat banding menurut hukum dapat dimintakan kasasi. 4. Membuat memori kasasi. 5. Membayar panjar biaya kasasi. 6. Membuat akta permohonan kasasi di kepaniteraan pengadilan agama yang bersangkutan. BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA D. PUTUSAN Pelaksanaan Putusan
  • 106. 106 Adapun tenggang waktu pengajuan kasasi sama dengan pengajuan banding.Apabila syarat-syarat kasasi tersebut tidak terpenuhi, maka berkas perkaranya tidak dikirim ke Mahkamah Agung, Panitera Pengadilan Agama yang memutus perkara tersebut membuat keterangan bahwa permohonan kasasi atas perkara tersbut tidak memenuhi syarat formal. Ketua PA melaporkan ke Mahkamah Agung bahwa permohonan kasasi tidak diteruskan ke MA (Peraturan MARI Nomor 1 Tahun 2001) BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA D. PUTUSAN Pelaksanaan Putusan
  • 107. 107 Peninjauan Kembali. Pengertian Peninjauan Kembali ialah meninjau kembali putusan perkara perdata yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena diketemukan hal-hal atau bukti baru yang pada pemeriksaan terdahulu tidak diketahui oleh Hakim. Peninjaun Kembali hanya dapat diperiksa oleh Mahkamah Agung.. BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA D. PUTUSAN Pelaksanaan Putusan
  • 108. 108 Syarat-syarat permohonan PK 1. Diajukan oleh pihak yang berperkara. 2. Putusan telah mempunyai kekuatan hukum tetap. 3. Membuat permohonan peninjauan kembali yang memuat alasan- alasannya. 4. Diajukan dalam tenggang waktu menurut undang-undang. 5. Membayar panjar biaya peninjauan kembali. 6. Membuat akta permohonan Peninjauan Kembali di Kepaniteraan Pengadilan Agama. 7. Ada bukti baru yang belum pernah diajukan pada pemeriksaan terdahulu BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA D. PUTUSAN Pelaksanaan Putusan
  • 109. 109 Masa pengajuan permohonan Peninjauan Kembali adalah 180 hari terhitung mulai ditemukannya novum atau bukti baru Dan sebelum berkas permohoan Peninjauan Kembali dikirim ke Mahkamah Agung, Pemohon harus disumpah oleh Ketua Pengadilan tentang penemuan novum tersebut. BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA D. PUTUSAN Pelaksanaan Putusan
  • 110. 110 Di indonesia, pengadilan yang berwenang menyelesaikan sengketa perbankan syariah adalah pengadilan agama. Semenjak tahun 2006, dengan diamendemennya UU no. 7 tahun 1989 dengan UU no. 3 tahun 2006 tentang peradilan agama, kewenangan peradilan agama diperluas. Di samping berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama islam di bidang perkawaninan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infak, dan shadaqah, pengadilan agama juga berwenang untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa di bidang ekonomi syariah [pasal 49 ayat [i] uu no. 3 tahun 2006]. PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARI'AH PENDAHULUAN
  • 111. 111 Ekonomi syariah : adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah, Meliputi: (a) bank syariah; (b) lembaga keuangan mikro syari’ah; (c) asuransi syariah; (d) reasuransi syariah; (e) reksa dana syariah; (f) obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah; (g) sekuritas syariah; (h) pembiayaan syariah; (i) pegadaian syariah; (j) dana pensiunan lembaga keuangan syariah; dan (k) bisnis syariah.” PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARI'AH PENGERTIAN
  • 112. 112 Sehubungan dengan jenis dan macamnya mengenai ekonomi syari’ah yang disebut dalam Penjelasan Pasal 49 UU No.3 Th. 2006 huruf (i) di atas, hanya menyebutkan 11 jenis. Sebaiknya, harus dilihat terlebih dahulu mengenai rumusan awalnya yang menyebutkan, bahwa ekonomi syari’ah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah, kata antara lain yang menunjukkan bahwa 11 jenis yang disebutkan bukan dalam arti limitatif,tetapi hanya sebagai contoh. Di samping itu, mungkin saja ada bentuk-bentuk lain dari ekonomi syari’ah yang tidak dapat atau belum dapat disebutkan ketika merumuskan pengertian ekonomi syari’ah. PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARI'AH PENGERTIAN
  • 113. 113 Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa Pengadilan Agama berwenang menyelesaikan sengketa perbankan syariah. Kewenangan tersebut tidak hanya dibatasi di bidang perbankan syariah saja, tapi juga di bidang ekonomi syariah lainnya. Kemudian, kewenangan Pengadilan Agama diperkuat kembali dalam Pasal 55 [1] UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang menyatakan bahwa penyelesaian sengketa perbankan syariah dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama. PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARI'AH PENGERTIAN
  • 114. 114 Namun, Pasal 55 [2] UU ini memberi peluang kepada para pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan perkara mereka di luar Pengadilan Agama apabila disepakati bersama dalam isi akad. Sengketa tersebut bisa diselesaikan melalui : musyawarah, mediasi perbankan, Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) atau lembaga arbitrase lain dan/atau melalui pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum. PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARI'AH PENGERTIAN
  • 115. 115 Penyelesaian sengketa perbankan syariah melalui mekanisme penyelesaian sengketa alternatif di luar pengadilan seperti musyawarah, mediasi, dan arbitrase syariah merupakan langkah yang tepat dan layak untuk diapresasi. PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARI'AH PENGERTIAN
  • 116. 116 Akan tetapi, masalah muncul ketika Pengadilan Negeri juga diberikan kewenangan yang sama dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah. Terjadi dualisme penyelesaian sengketa dan ketidakpastian hukum serta tumpang tindih kewenangan dalam menyelesaikan suatu perkara yang sama oleh dua lembaga peradilan yang berbeda. Padahal, kewenangan ini jelas merupakan kewenangan Pengadilan Agama sebagaimana diatur dalam Pasal 49 (i) UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama. PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARI'AH PENGERTIAN
  • 117. 117 Karena adanya ketidakpastian hukum seperti inilah, maka Dadang Achmad, Direktur CV Benua Engineering Consultant, pernah mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi, Memohon pembatalan Pasal 55 ayat [2]&[3] UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan syariah dengan alasan bertentangan dengan Pasal 28 UUD 1945. PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARI'AH PENGERTIAN
  • 118. 118 Pada tanggal 29 Agustus 2013, Majelis Mahkamah Konstitusi membuat putusan atas perkara Nomor 93/PUU-X/2012, mengabulkan sebagian permohonan Dadang Achmad, Menyatakan bahwa penjelasan Pasal 55 ayat [2] UU 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARI'AH PENGERTIAN
  • 119. 119 Lebih lanjut dalam salah satu pertimbangannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa adanya pilihan tempat penyelesaian sengketa (choice of forum) untuk menyelesaikan sengketa perbankan syariah sebagaimana tersebut dalam Penjelasan Pasal 55 ayat (2) UU 21 Tahun 2008 pada akhirnya akan menyebabkan adanya tumpang tindih kewenangan untuk mengadili, karena ada dua peradilan yang diberikan kewenangan untuk menyelesaikan sengketa perbankan syariah, Padahal dalam UU 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama secara tegas dinyatakan bahwa peradilan agama yang berwenang menyelesaikan tersebut. PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARI'AH PENGERTIAN
  • 120. 120 Dengan adanya putusan Mahkamah Kontitusi tersebut, maka tidak ada lagi dualisme dalam penyelesaian sengketa Perbankan Syariah. Pengadilan Agama menjadi satu-satunya pengadilan yang berwenang dalam menyelesaikan sengketa Perbankan syariah. Hal ini semakin mengokohkan eksistensi Pengadilan Agama di Indonesia, akan tetapi di sisi lain menjadi tantangan tersendiri, karena bidang perbankan syariah secara khusus dan ekonomi secara umum merupakan bidang baru yang sangat kompleks permasalahannya PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARI'AH PENGERTIAN
  • 121. 121 Keraguan banyak pihak akan kemampuan Peradilan Agama dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah harus dihilangkan dengan membuktikan kecakapan para hakim di lingkungan peradilan agama dalam menyelesaikan sengketa-sengketa yang diputuskanya. Para hakim harus memiliki pengetahuan yang mendalam tentang ilmu ekonomi syariah, baik dari segi teori maupun praktik. Apabila diperlukan, di setiap pengadilan dibentuk hakim khusus dalam menyelesaikan sengketa perbankan dan keuangan syariah. PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARI'AH PENGERTIAN
  • 122. 122 Penandatangan Surat Keputusan Bersama [SKB] yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dengan Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia tentang Kerjasama Pelatihan Hakim di Bidang Kebanksentralan dan Sektor Jasa Keuangan pada bulan Juli 2014 lalu adalah langkah yang patut diapresiasi dan harus ditindaklanjuti. PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARI'AH PENGERTIAN
  • 123. 123 Subjek hukum pelaku ekonomi syari’ah menurut penjelasan pasal tersebut antara lain disebutkan bahwa yang dimaksud dengan orang-orang yang beragama Islam adalah termasuk orang atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan suka rela kepada hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama sesuai ketentuan pasal ini. PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARI'AH SUBJEK HUKUM PELAKU EKONOMI SYARI’AH
  • 124. 124 Berdasarkan penjelasan Pasal 49 UU. No.3 Th. 2006 tersebut, maka seluruh nasabah lembaga keuangan dan lembaga pembiayaan syari’ah dan atau bank-bank konvensional yang membuka sektor usaha syari’ah maka dengan sendirinya terikat dengan ketentuan ekonomi syari’ah, baik dalam hal pelaksanaan akadnya maupun dalam hal penyelesaian perselisihannya. Ahmad Mujahidin, Prosedur Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari’ah di Indonesia (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), 18-19. PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARI'AH SUBJEK HUKUM PELAKU EKONOMI SYARI’AH
  • 125. 125 Secara rinci, dapat dikemukakan mengenai bentuk-bentuk sengketa bank syari’ah yang disebabkan karena adanya pengingkaran atau pelanggaran terhadap perikatan (akad) yang telah dibuat, yaitu disebabkan karena : 1. Kelalaian Bank untuk mengembalikan dana titipan nasabah dalam akad wadi’ah 2. Bank mengurangi nisbah keuntungan nasabah tanpa persetujuan yang bersangkutan dalam akad mudlorobah PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARI'AH SENGKETA EKONOMI SYARI’AH
  • 126. 126 3. Nasabah melakukan kegiatan usaha minuman keras dan usaha-usaha lain yang diharamkan menurut syari’at Islam yang bersumber dari dana pinjaman bank syari’ah, akad qirah dan lain-lain 4. Pengadilan agama berwenang menghukum kepada pihak nasabah atau pihak bank yang melakukan wanprestasi yang menyebabkan kerugian riil (real lose). PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARI'AH SENGKETA EKONOMI SYARI’AH
  • 127. 127 Secara garis besar, sengketa ekonomi syari’ah dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yakni: 1. Sengketa di bidang ekonomi syari’ah antara lembaga keuangan dan lembaga pembiayaan syari’ah dengan nasabahnya, 2. Sengketa di bidang ekonomi syari’ah antara lembaga keuangan dan lembaga pembiayaan syari’ah, 3. Sengketa di bidang ekonomi syari’ah antara orang-orang yang beragama Islam, yang mana akad perjanjiannya disebutkan dengan tegas bahwa kegiatan usaha yang dilakukan adalah berdasarkan prinsip-prinsip syari’ah. PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARI'AH SENGKETA EKONOMI SYARI’AH
  • 128. 128 Sengketa ekonomi syari’ah juga bisa dalam bentuk perkara Permohonan Pernyataan Pailit (PPP) dan juga bisa berupa Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) di bidang ekonomi syari’ah, di samping itu juga perkara derivatif kepailitan (perkara tidak murni sebagai perkara kepailitan). PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARI'AH SENGKETA EKONOMI SYARI’AH
  • 129. 129 Perdamaian(Sulhu) Langkah pertama yang perlu diupayakan ketika hendak menyelesaikan perselisihan, ialah melalui cara damai. Untuk mencapai hakekat perdamaian, prinsip utama yang perlu dikedepankan adalah kesadaran para pihak untuk kembali kepada Allah (Al-Qur’an) dan RosulNya (Al-Sunnah) dalam menyelesaikan segala persoalan. Upaya damai tersebut biasanya ditempuh melalui musyawarah (syuura) untuk mencapai mufakat di antara para pihak yang berselisih. Dengan musyawarah yang mengedepankan prinsip- prinsip syari’at, diharapkan apa yang menjadi persoalan para pihak dapat diselesaikan PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARI'AH PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARI’AH
  • 130. 130 Arbitrase Syari’ah (Tahkim) Untuk menyelesaikan perkara/ perselisihan secara damai dalam hal keperdataan, selain dapat dicapai melalui inisiatif sendiri dari para pihak, juga dapat dicapai melalui keterlibatan pihak ketiga sebagai wasit (mediator). Upaya ini biasanya akan ditempuh apabila para pihak yang berperkara itu sendiri ternyata tidak mampu mencapai kesepakatan damai. Institusi formal yang khusus dibentuk untuk menangani perselisihan/ sengketa disebut arbitrase, yaitu cara penyelesaian sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARI'AH PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARI’AH
  • 131. 131 Lembaga Peradilan Syari’ah (Qadha) Dengan disahkannya UU No. 3 Th. 2006 tentang perubahan UU No. 7 Th. 1989 tentang Peradilan Agama telah membawa perubahan besar dalam eksistensi lembaga Peradilan Agama saat ini. Salah satu perubahan mendasar adalah penambahan wewenang lembaga Peradilan Agama antara lain di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syari’ah (pasal49). Dengan adanya kewenangan ini maka perkara yang timbul terkait dengan penyelesaian sengketa syari’ah selain dapat diselesaikan melalui cara damai (sulhu) dan arbitrase syari’ah (tahkim), juga dapat diselesaikan melalui lembaga peradilan (qadha). PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARI'AH PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARI’AH
  • 132. 132 Datang Bersama adalah Sebuah Permulaan Tetap Bersama adalah Sebuah Kemajuan Bekerjasama adalah Sebuah Keberhasilan SEKIAN & TERIMA KASIH