1. “ Kasus Hukum Perkawinan
Adat Berdasarkan UU
Nomor 1 Tahun 1974 “
KELOMPOK 7
2. DAFTAR ISI :
Latar Belakang
Masalah
Tujuan Pembahasan
Rumusan
Masalah
EXIT
3. Latar Belakang Masalah
Perkawinan dalam hukum tertulis diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan. Sedangkan dalam hukum adat (hukum tidak tertulis)
, aturan mengenai perkawinan tidak berubah dari dulu sampai sekarang.
Dalam aturan yang tercantum dalam hukum tertulis dan tidak tertulis
terdapat perbedaan yang mengatur tentang perkawinan yang berlaku di
Indonesia. Pada umumnya aturan yang berlaku adalah aturan yang terdapat
dalam hukum yang tertulis yang diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 , akan
tetapi pada masyarakat tertentu masih berlaku hukum tidak tertulis yaitu
hukum adat masing-masing, dan ada pula yang mencampurkan hukum adat
dengan perkawinan yang diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974.
4. Perbedaan yang ada dalam hukum tertulis dan hukum tidak
tertulis contohnya seperti syarat-syarat seseorang untuk bisa
melangsungkan pernikahan . Pada UU No.1 Tahun 1974 memiliki
beberapa syarat yang tidak tercantum dalam hukum adat , seperti
batas usia melangsungkan perkawinan. Dalam hukum tertulis yang
bisa melangsungkan perkawinan ialah laki-laki yang telah berumur
19 tahun dan wanita yang telah berumur 16 tahun. Sedangkan
dalam hukum adat tidak dapat ketentuan yang mengikat terhadap
batas usia untuk melangsungkan perkawinan. Berdasarkan
masalah yang dikemukakan diatas, penulis tertarik untuk
membahasnya lebih lanjut.
5. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan
diatas, dapat merumuskan masalah sebagai berikut:
• Bagaimana perbandingan antara aturan perkawinan
dibawah umur menurut UU No. 1 Tahun 1974 dengan
aturan menurut hukum adat?
• Bagaimana analisa teori kasus perkawinan dibawah umur
ditinjau dari perspektif hukum nasional dan hukum adat ?
• Apa tujuan penerapan aturan larangan perkawinan
dibawah umur menurut UU No. 1 Tahun 1974 ?
6. Tujuan Penelitian
1. Untuk memahami bagaimana konsep dasar perkawinan
dibawah umur dalam hukum adat
2. Untuk mendeskripsikan perbedaan aturan perkawinan
dibawah umur menurut UU No. 1 Tahun 1974 dan hukum
adat
3. Untuk memahami penerapan hukum nasional dan hukum
adat mengenai kasus perkawinan dibawah umur
4. Untuk mengetahui tujuan larangan perkawinan dibawah
umur menurut UU No. 1 Tahun 1974
7. Pada kebanyakan daerah adat di Indonesia
memang tidak melarang perkawinan di bawah
umur, seperti pada daerah Kerinci , di Roti dan
pada suku Toraja . Walaupun ada juga yang
melarang seprti Pulau Bali, yang mana jika gadis
yang belum dewasa itu merupakan suatu
perbuatan yang dapat dijatuhi hukuman.
8. Namun , walaupun dalam hukum adat diperbolehkan, pada
kenyataanya bisa saja tidak terjadi , dikarenakan terhambat oleh ijin
orang tua atau wali dari yang bersangkutan. Biasanya mereka tidak
akan memberi ijin sebelum mereka masing masing mencapai umur
yang pantas , contohnya 16 tahun bagi perempuan dan 18/19 tahun
bagi laki-laki . Apabila terjadi seorang anak perempuan yang berumur
dibawah 16 ataupun laki-laki yang berumur dibawah 18/19 tahun
, maka setelah menikah akan hidup dirumah mertua dahulu , baru
setelah mencapai umur dewasa akan memisahkan diri dan hidup
berdua secara mandiri terpisah dari orang tua. Perkawinan semacam ini
disebut “kawin-gantung”, di Jawa disebut “gantung-nikah”.
9. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak mengehendaki
pelaksanaan perkawinan di bawah umur yang telah ditentukan oleh
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Namun, meski demikian, undang-
undang ini tidak mencantumkan kriteria kedewasaan bagi seseorang agar
layak melakukan perkawinan. Pasal ini hanya mengatur tentang: izin orang
tua bagi orang yang akan melangsungkan perkawinan apabila belum
mencapai umur 21 tahun (pasal 6 ayat (2)), umur minimal untuk diizinkan
melangsungkan perkawinan, yaitu pria 19 tahun dan wanita 16 tahun
(pasal 7 ayat (1)), anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum
pernah kawin, berada didalam kekuasaan orang tua (pasal 47 ayat (1)).
Analisa Kasus Perkawinan Dibawah Umur Menurut Hukum
Adat dan Sistem Hukum Nasional
10. Di lain pihak, hukum adat tidak mengatur batasan umur bagi orang untuk
melaksanakan perkawinan. Hukum adat membolehkan perkawinan anak-anak
yang dilaksanakan ketika anak masih berusia kanak-kanak.Hal ini dapat terjadi
karena di dalam hukum adat perkawinan tidak hanya merupakan persatuan
kedua belah mempelai, tetapi juga merupakan persatuan dua buah keluarga
kerabat. ( Prof. Dr Soekanto,SH. Mengatakan bahwa perkawinan bukan hanya
suatu peristiwa yang mengenai mereka yang bersangkutan ( perempuan dan laki-
laki yang menikah ) saja, akan tetapi juga bagi orang tuanya, saudara-saudaranya
dan keluarganya (Darmiwati, 2008) ). Perkawinan merupakan perisriwa yang
sangat penting dalam kehidupan masyarakat kita, sebab perkawinan itu tidak
hanya menyangkut wanita dan pria bakal mempelai saja tetapi juga kedua bekah
pihak dari orang tua, saudara-saudaranya bahkan keluarga-keluarga mereka
masing-masing.
11. Menurut Hilman Hadikusuma, S.H., asas-asas perkawinan
menurut hukum adat (Darmiwati, 2008) adalah sebagai berikut:
1. Perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga, rumah-tangga dan
hubungan kerabat yang rukun, damai, bahagia dan kekal.
2. Perkawinan tidak saja harus sah dilaksanakan menurut agama atau
kepercayaan, tetapi juga harus mendapat persetujuan dari para anggota
kerabat.
3. Perkawinan dapat dilakukan oleh seorang pria dengan beberapa wanita
sebagai istri yang kedudukannya masing-masing ditentukan menurut hukum
adat setempat.
4. Perkawinan harus didasarkan pada persetujuan orang tua dan anggota
kerabat, masyarakat adat dapat menolak kedudukan istri atau suami yang
tidak diakui oleh masyarakat adat setempat.
12. • Sedangkan menurut UU No. 1 Tahun 1974, asas-asas perkawinan
(Abdulkadir, 2010: 69) antara lain asas sukarela, asas partisipasi keluarga, asas
perceraian dipersulit, asas poligami dibatasi dengan ketat, asas kematangan
calon mempelai, asas perbaikan drajat kaum wanita, dan asas keharusan
pencatatan perkawinan dan perceraian dengan ancaman hukuman bagi
pelanggarnya, baik calon mempelai maupun pejabat pencatat perkawinan dan
perceraian.
• Dikalangan masyarakat adat yang masih kuat memepertahankan prinsip
kekerabatan berdasarkan ikatan keturunan, bahwa fungsi dari suatu
perkawinan merupakan suatu sarana untuk memperbaiki hubungan
kekerabatan yang telah jauh atau retak, perkawinan merupakan sarana
pendekatan dan perdamaian antar kerabat dan begitu pula dengan perkawinan
itu bersangkut paut dengan masalah kedudukan, harta kekayaan dan masalah
pewarisan.
13. Setiap UU yang dibuat pasti ada maksud
didalamnya, yang ditujukan untuk keadilan
masyarakat umum seperti dalam UU perkawinan
yang mencantumkan adanya batas usia minimum
untuk melangsungkan perkawinan dan secara tidak
langsung melarang adanya perkawinan dibawah
umur. Larangan tersebut dibuat karena adanya
beberapa faktor, antara lain:
Tujuan penerapan larangan perkawinan
dibawah umur menurut UUP
14. I. Dilihat dari segi Biologis
Seorang perempuan yang menikah dibawah umur kurang
dari 15 tahun memiliki banyak resiko, sekalipun ia sudah
mengalami menstruasi atau haid. Ada dua dampak medis yang
ditimbulkan oleh perkawinan dibawah umur ini, yakni dampak
pada kandungan dan kebidanannya. Penyakit kandungan yang
banyak diderita wanita yang menikah usia dini antara lain infeksi
pada kandungan dan kanker mulut rahim. Hal ini terjadi karena
terjadinya masa peralihan sel anak-anak ke sel dewasa yang
terlalu cepat. Padahal, pada umumnya pertumbuhan sel yang
tumbuh pada anak-anak baru akan berakhir pada usia 19 tahun.
15. Berdasarkan beberapa penelitian yang pernah dilakukan oleh para
ahli, rata-rata penderita infeksi kandungan dan kanker mulut rahim adalah
wanita yang menikah dibawah umur atau dibawah usia 19 tahun. Untuk
resiko kebidanan, wanita yang hamil di bawah usia 19 tahun dapat beresiko
pada kematian. Resiko lain selanjutnya, hamil di usia muda juga rentan
terjadinya pendarahan, keguguran, hamil anggur dan hamil prematur di
masa kehamilan.
Dengan demikian dilihat dari segi kesehatan atau medis, pernikahan
dini akan membawa banyak kerugian. Oleh karena itu, orang tua wajib
berpikir matang jika ingin menikahkan anaknya yang masih di bawah umur.
Bahkan pernikahan dini bisa dikategorikan sebagai bentuk kekerasan psikis
dan seks bagi anak yang kemudian dapat mengalami trauma.
16. II. Dilihat dari segi Psikologis
Ditinjau dari segi psikologi perkawinan dibawah
umur dapat membuat kehidupan rumah tangga tidak
harmonis. Hal ini dikarenakan pada usia muda emosi
seseorang masih labil atau tidak terkendali, gejolak
darah muda dan cara berpikir yang cenderung belum
memikirkan satu langkah kedepan. Selain itu juga
dalam mengatasi masalah atau problema rumah
tangga tidak bijaksana sehingga lebih mementingkan
ego masing-masing.
17. III. Dilihat dari segi Kependudukan
Dari segi kependudukan perkawinan dibawah umur menimbulkan
dampak dalam pertumbuhan penduduk di Indonesia. Dengan terjadinya
perkawinan dibawah umur maka angka kelahiran akan meningkat dengan
cepat. Sehingga membuat peningkatan penduduk secara nasional akan
lebih cepat. Hal ini membuat pemerintah dalam menyiapkan kebutuhan
untuk penduduk akan terganggu dan akan terjadi ketidakseimbangan
antara faktor-faktor pendukungnya, antara lain yaitu kebutuhan akan
sembako, listrik, sarana umum, transportasi, dan lain-lain. Selain itu beban
bagi pemerintah dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk akan
semakin bertambah, misalnya dengan peningkatan pertumbuhan
penduduk maka anggaran pemerintah dalam menjamin kesehatan (BPJS)
semakin bertambah.