Makalah ini membahas tentang sketsa peradilan agama yang mencakup pengaturan, susunan, kekuasaan, hukum acara, dan ketentuan-ketentuan peradilan agama berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989."
1. SKETSA PERADILAN AGAMA
Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Hukum Islam
yang diampu oleh Nur Rofiq, S.Pd.I., M.Pd.I.
Oleh Kelompok 10:
1. VEREN YONITA E. 1710601080
2. TOFIK SUPRIYADI 1810601039
3. ARIEF PRIANDI S. A. 1810601096
PROGRAM STUDI HUKUM
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS TIDAR
2018/2019
2. ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami berhasil menyusun makalah yang berjudul
“Sketsa Peradilan Agama”.
Diharapkan makalah ini dapat memberikan informasi dan menambah
wawasan pengetahuan kepada kita semua tentang perdagangan manusia. Kami
sadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, sehubungan dengan hal
ini, kritik dan saran dari para pembaca yang bersifat membangun tentu kami
harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Tidak lupa ucapan terimakasih penulis tujukan kepada Bapak Nur Rofiq,
S.Pd.I., M.Pd.I. selaku dosen pengampu mata kuliah Hukum Islam, kedua orangtua,
teman-teman terkasih dan pihak-pihak yang telah mendukung dan membantu
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Semoga Allah selalu senantiasa
meridhoi segala usaha kita, aamiin.
Magelang, Juni 2019
Penyusun
3. iii
DAFTAR ISI
SKETSA PERADILAN AGAMA ........................................................................i
KATA PENGANTAR .........................................................................................ii
DAFTAR ISI ......................................................................................................iii
BAB I..................................................................................................................1
PENDAHULUAN ...............................................................................................1
1.1 Latar Belakang.......................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..................................................................................2
1.3 Tujuan ...................................................................................................2
1.4 Manfaat .................................................................................................2
BAB II.................................................................................................................3
TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................................3
2.1 Pengertian Peradilan ..............................................................................3
2.2 Pembagian Lembaga Peradilan di Indonesia ..........................................3
2.3 Pengertian Peradilan Agama ..................................................................4
BAB III................................................................................................................5
PEMBAHASAN..................................................................................................5
3.1 Undang-Undang Peradilan Agama.............................................................5
3.2 Susunan.....................................................................................................5
3.3 Kekuasaan Peradilan Agama......................................................................6
3.4 Hukum Acara ............................................................................................7
3.5 Ketentuan-ketentuan Lain..........................................................................8
3.6 Ketentuan Peralihan...................................................................................8
3.7 Ketentuan Penutup.....................................................................................8
BAB IV .............................................................................................................10
PENUTUP.........................................................................................................10
4.1 Kesimpulan .............................................................................................10
4.2 Saran .......................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................12
4. 1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Peradilan Agama di Indonesia merupakan salah satu pelaksanaan dari
kekuasaan kehakiman yang telah lama dijalankan serta memakan waktu yang
cukup lama. Karena sebagian besar masyarakat Indonesia beragama Islam
dan hukum Islam juga dijadikan salah satu sumber hukum di Indonesia maka,
dalam pelaksanaannya diperlukan bantuan para penyelenggara negara.
Sebagaimana yang telah diamanatkan dalam UUD 1945 pasal 1 ayat (3) yang
menegaskan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum, hal ini
menunjukkan pentingnya fungsi lembaga peradilan di Indonesia. Oleh karena
itu untuk mewujudkan amanat tersebut serta menciptakan suatu keadilan bagi
masyarakat perlu adanya lembaga yang bertugas untuk melaksanakan
kekuasaan kehakiman guna menegakkan hukum dan keadilan untuk
terciptanya suasana kehidupan yang aman, tertib dan tenteram.
Salah satu lembaga yang dapat melaksanakan amanat tersebut adalah
Peradilan Agama sebagai lembaga peradilan, peradilan agama telah lama ada
dalam masyarakat Indonesia yakni sejak agama Islam datang ke Indonesia.
Lembaga ini tumbuh dan berkembang bersamaan dengan berkembangnya
masyarakat muslim di Indonesia sebagai sarana pemenuhan kebutuhan dasar
penduduk yang memeluk agama Islam dalam beribadah dan kemudian diakui
serta dimantapkan kedudukannya.
Namun belum semua masyarakat mengetahui hal-hal yang berkaitan
dengan peradilan agama serta bagaimana sketsa dan pembagian di peradilan
agama. Dalam makalah ini akan dibahas beberapa hal mengenai peradilan
agama. Karena cukup banyak masalah atau sengketa yang dapat diselesaikan
di pengadilan agama.
5. 2
1.2 Rumusan Masalah
Ada beberapa masalah yang muncul terkait dengan latar belakang di
atas diantaranya:
1. Bagaimana pengaturan tentang peradilan agama?
2. Bagaimana susunan peradilan agama?
3. Bagaimana kekuasaan peradilan agama?
4. Bagaimana hukum acara dalam peradilan agama?
5. Bagaimana ketentuan-ketentuan dalam peradilan agama?
1.3 Tujuan
Makalah ini memiliki beberapa tujuan yaitu:
1. Menguraikan pengaturan tentang peradilan agama.
2. Menguraikan susunan dalam peradilan agama.
3. Menguraikan kekuasaan peradilan agama.
4. Menguraikan hukum acara dalam peradilan agama.
5. Menguraikan ketentuan-ketentuan dalam peradilan agama.
1.4 Manfaat
Manfaat yang diperoleh setelah membaca makalah ini:
1. Mengetahui pengaturan tentang peradilan agama.
2. Mengetahui susunan dalam peradilan agama.
3. Mengetahui kekuasaan peradilan agama.
4. Mengetahui hukum acara dalam peradilan agama.
5. Mengetahui ketentuan-ketentuan dalam peradilan agama.
6. 3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Peradilan
a) Dalam KBBI peradilan diartikan segala sesuatu mengenai perkara
pengadilan. Pengadilan sendiri diartikan sebagai 1) dewan atau majelis
yang mengadili perkara, 2) proses mengadili, 3) sidang hakim ketika
mengadili perkara, 4) rumah (bangunan) tempat mengadili perkara.
b) Menurut H. Mohammad Daud Ali, peradilan adalah proses pemberian
keadilan di suatu lembaga atau badan ysng bertugas menerima,
memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan setiap perkara yang diajukan
kepadanya.
c) Menurut R. Subekti dan R. Tjitrosoedibjo, peradilan adalah segala sesuatu
yang berhubungan dengan tugas negara untuk menegakkan hukum dan
keadilan. Menurut Sjachran Basah, peradilan adalah segala sesuatu yang
berkaitan dengan tugas dalam memutus perkara dengan menerapkan
hukum, menemukan hukum in concreto dalam mempertahankan dan
menjamin ditaatinya hukum materiil, dengan cara menggunakan
prosedural yang ditetapkan oleh hukum formal.
2.2 Pembagian Lembaga Peradilan di Indonesia
1) Mahkamah Agung adalah suatu lembaga pengadilan negara tertinggi yang
merupakan lembaga kasasi yang berfungsi untuk menangani tingkat kasasi,
peninjauan kembali, pemutusan sengketa dan tugas menguji peraturan di
bawah undang-undang.
2) Peradilan Umum yang meliputi Pengadilan Negeri di tingkat pertama dan
Pengadilan Tinggi di tingkat dua atau tingkat banding.
7. 4
3) Peradilan khusus yang meliputi Pengadilan Agama, pengadilan tata usaha
negara (PTUN), Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM), Pengadilan
Tipikor (Tindak Pidana Korupsi), dan Pengadilan Militer.
2.3 Pengertian Peradilan Agama
Diatur dalam UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Peradilan
Agama mengatur khusus warga negara yang beragam Islam di bidang
perkawinan, hibah, wasiat, kewarisan, wakaf, dan sedekah.
Tugas pengadilan agama aatara lain mengadili perkara yang menjadi
kewenangan atau tugas dari pengadilan di tingkat banding, mengadili di tingkat
pertama dan akhir terkait sengketa kewenangan antar lembaga pengadilan
agama di wilayahnya serta memberikan nasehat dan masukan terkait hukum
Islam di instansi pemerintahan di daerah hukumnya.
8. 5
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Undang-Undang Peradilan Agama
Undang-undang Peradilan Agama Nomor7 Tahun 1989 yang telah
disahkan dan diundangkan terdiri dari VII bab, 108 pasal dengan sistematik
dan garis-garis besar isinya sebagai berikut:
Bab I tentang ketentuan umum
Bab II sampai Bab III tentang susunan dan kekuasaan Peradilan Agama
Bab IV tentang hukum acara
Bab V tentang ketentuan-ketentuan lain
Bab VI tentang ketentuan peralihan
Bab VII tentang ketentuan penutup
Beberapa hal pokok yang dimuat di dalamnya:
Pada bab I disebutkan bahwa Peradilan Agama adalah peradilan bagi
orang-orang Islam yang terdiri dari: 1)Pengadilan Agama sebagai pengadilan
tingkat pertama yang berkedudukan di kabupaten atau kota dan 2)Pengadilan
Tinggi Agama sebagai pengadilan tingkat banding yang berkedudukan di
ibukota provinsi. Keduanya merupakan pelaksana kekuasaan kehakiman
yang berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai pengadilan negara tertinggi.
3.2 Susunan
Diatur dalam tiga bagian pada Bab II. Bagian pertama menyebutkan
susunan Pengadilan Agama terdiri dari pimpinan, yakni seorang ketua dan
wakil ketua, hakim anggota, panitera, sekretaris dan jurusita. Bagian kedua
mengatur tentang syarat, tata cara pengangkatan dan pemberhentian ketua,
wakil ketua, hakim, panitera dan jurusita Peradilan Agama. Dalam bagian
kedua ini disebutkan bahwa untuk dapat diangkat ke dalam jabatan yang ada
dalam susunan pengadilan di lingkungan Peradilan Agama, seseorang harus
9. 6
memenuhi syarat tertentu. Selain syarat-syarat umum yang berlaku bagi
pengangkatan pegawai di badan-badan peradilan lain, untuk para pejabat di
lingkungan Peradilan Agama ada syarat khusus yakni harus beragam Islam
serta memiliki ijazah syariah atau sarjana hukum Islam. Bagian ketiga
mengatur tentang Sekretariat Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama.
Panitera Pengadilan Agama merangkap sebagai Sekretariat Pengadilan
Agama yang dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh wakil sekretaris.
3.3 Kekuasaan Peradilan Agama
Bab III mengatur Kekuasaan Pengadilan dalam lingkungan Peradilan
Agama. Dalam pasal 49 ayat (1) disebutkan bahwa Pengadilan Agama
bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-
perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di
bidang: a)perkawinan, b)kewarisan, wasiat, dan hibah yang dilakukan
berdasarkan hukum islam, c)wakaf dan shadaqah. Pasal 49 ayat (2)
menjelaskan lebih rinci kedalam 22 butir, yaitu: 1)izin beristri lebih dari
seorang, 2)izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia
21 tahun, 3)dispensasi perkawinan, 4)pencegahan perkawinan, 5)penolakan
perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah, 6)pembatalan pernikahan,
7)gugatan kelalaian atas kewajiban suami atau istri, 8)perceraian karena talak,
9)gugatan perceraian, 10)penyelesaian harta bersama, 11)penguasaan anak,
12)pemeliharaan dan pendidikan anak bila bapak yang seharusnya
bertanggung jawab tidak mampu memenuhinya, 13)penentuan kewajiban
member biaya penghidupan oleh suami kepada bekas istri, 14)putusan tentang
sah atau tidaknya seorang anak, 15)putusan tentang pencabutan kekuasaan
orang tua, 16)pencabutan kekuasaan wali, 17)penunjukan orang lain sebagai
wali oleh pengadilan dalam hal seorang anak yang belum cukup berumur 18
tahun yang ditnggalkan oleh kedua orang tuanya padahal tidak ada
penunjukkan walioleh orang tuanya, 18)pembebanan kewajiban ganti rugi
terhadap wali yang tealh menyebabkan kerugian atas harta benda anak yang
berada di bawah kekuasaannya, 19)penetapan asal-usul anak, 20)putusan
tentang penolakan pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan
10. 7
campuran, 21)pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum
UU No.1 Tahun 1974.
Mengenai butir (10) perlu dijelaskan bahwa penyelesaian harta
bersama yang menjadi wewenang Peradilan Agama dan diselesaikan di
Pengadilan Agama saja, artinya bagi mantan istri dan mantan suami yang
bersangkutan. Juga bagi asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan.
Sebab dengan penyelesaian persoalan harta bersama di Pengadilan Agama,
persoalan bekas suami dengan bekas dengan istrinya menjadi selesai
sekaligus. Penyelesaian harta bersama dilakukan oleh pengadilan baik karena
perceraian maupun atas permohonan pihak-pihak yang berkepentingan di luar
sengketa. Menurut pasal 49 ayat (3), kewenangan Pengadilan Agama
dibidang “kewarisan” yang disebut dalam Pasal 49 ayat (1) huruf b adalah
a)penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris, b)penentuan harta
peninggalan, c)bagian masing-masing ahli waris, dan d)melaksanakan
pembagian harta peninggalan.
3.4 Hukum Acara
Hukum acara Peradilan Agama diatur dalam Bab IV. Bagian pertama
menyatakan bahwa hukum acara yang berlaku dalam lingkungan Peradilan
Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada lingkungan Peradilan
Umum, tetapi ada hal-hal yang diatur secra khusus pada bagian kedua yaitu
pemeriksaan sengketa perkawinan mengenai a)cerai talak yang datang dari
pihak suami, b)cerai gugat yang datang dari istri atau dari suami, c)cerai
karena alasan zina.
Undang-undang ini berupaya melindunmgi dan meningkatkan
kedudukan wanita dengan jalan memberikan hak sama kepada istri dalam
mengajukan gugatan dan melakukan pembelaan di muka pengadilan. Pada
bagian pertama Bab IV disebutkan bahwa setiap penetapan dan putusan
Peradilan Agama harus dimulai dengan Bismillahirrahmanirrahmin diikuti
dengan kata-kata Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
menunjukkan ciri pelaksanaan kekuasaan kehakiman.
11. 8
3.5 Ketentuan-ketentuan Lain
Bab V menyebutkan mengenai administrasi peradilan, pembagian
tugas para hakim dan panitera dalam melaksanakan pekerjaan masing-
masing. Dalam bab ini disebutkan bahwa tugas jurusita antara lain untuk
a)melaksanakan semua perintah yang diberikan oleh ketua sidang,
b)menyampaikan pengumuman-pengumuman, teguran-teguran dan
pemberitahuan penetapan atau putusan pengadilan menurut cara-cara
ketentuan undang-undang, d)membuat berita acara penyitaan, yang salinan
resminya diserahkan kepada pihak-pihak yang berkepentingan, berwenang
melaksanakan tugasnya di daerah hukum pengadilan yang bersangkutan.
Sebelum berlakunya UU No. 7 Tahun 1989 ini jurusita tidak dijumpai
dalam susunan Peradilan Agama, sehingga dalam melaksanakkan putusanya
yang tidak mau diterima oleh para pihak, teruatam mereka yang kalah,
Pengadilan Agama selalu meminta bantuan dan akibatnya bergntung pada
Pengadilan Negeri. Melalui undang-undang ini semua aturan yang
menentukan ketergantungan Peradilan Agama kepada Peradilan Umum telah
dihapuskan dan menjadikan peradilan mandiri.
3.6 Ketentuan Peralihan
Bab VI mengenai ketentuan peralihan disebutkan antara lain bahwa semua
Badan Peradilan Agama yang telah ada dinyatakan sebagai Badan Peradilan
Agama menurut undang-undang ini. Ketentuan peralihan juga menyatakan
bahwa semua peraturan pelaksanaan yang telah ada mengenai Peradilan
Agama dinyatakan tetap berlaku sepanjang peraturan itu tidak bertentangan
dengan undang-undang ini dan selama ketentuan yang baru belum
dikeluarkan.
3.7 Ketentuan Penutup
Pada Bab VII tentang ketentuan penutup ditegaskan bahwa pada saat
mulai berlakunya Undang-undang Peradilan Agama semua peraturan
dinyatakan tidak berlaku lagi. Hal ini menciptakan kesatuan hukum yang
12. 9
mengatur Peradilan Agama di Indonesia sebagai penerapan Wawasan
Nusantara. Serta pernyataan tentang pembagian harta peninggalan di luar
sengketa antara orang-orang yang beragama Islam yang dilakukan
berdasarkan hukum Islam diselesaikan juga di Pengadilan Agama.
13. 10
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Diatur dalam UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Peradilan
Agama mengatur khusus warga negara yang beragam Islam di bidang
perkawinan, hibah, wasiat, kewarisan, wakaf, dan sedekah. Tugas pengadilan
agama aatara lain mengadili perkara yang menjadi kewenangan atau tugas dari
pengadilan di tingkat banding, mengadili di tingkat pertama dan akhir terkait
sengketa kewenangan antar lembaga pengadilan agama di wilayahnya serta
memberikan nasehat dan masukan terkait hukum Islam di instansi
pemerintahan di daerah hukumnya.
Undang-undang Peradilan Agama Nomor7 Tahun 1989 yang telah
disahkan dan diundangkan terdiri dari VII bab, 108 pasal dengan sistematik
dan garis-garis besar isinya sebagai berikut:
Bab I tentang ketentuan umum
Bab II sampai Bab III tentang susunan dan kekuasaan Peradilan Agama
Bab IV tentang hukum acara
Bab V tentang ketentuan-ketentuan lain
Bab VI tentang ketentuan peralihan
Bab VII tentang ketentuan penutup
Dengan disahkannya Undang-Undang Peradilan Agama, perubahan
penting dan mendasar telah terjadi dalam lingkungan Peradilan Agama. Di
antaranya disebutkan dalam hal-hal sebagai berikut ini:
1. Peradilan Agama telah menjadi peradilan mandiri, kedudukannya benar-
benar telah sejajar dan sederajat dengan Peradilan Umum, Peradilan
Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara.
2. Nama, susunan, wewenang (kekuasaan) dan hukum acaranya telah sama
dan seragam di seluruh Indonesia. Terciptanya unifikasi Hukum Acara
Peradilan Agama akan memudahkan terwujudnya ketertiban dan
14. 11
kepastian hukum yang berintikan keadilan dalam lingkungan Peradilan
Agama.
3. Perlindungan terhadap wanita lebih ditingkatkan, dengan jalan antara
lain, memberikan hak yang sama kepada istri dalam berproses dan
membela kepentingannya di muka Pengadilan Agama.
4. Lebih memantapkan upaya penggalian berbagai asas dan kaidah hukum
Islam sebagai salah satu bahan baku dalam penyusunan dan pembinaan
hukum nasional melalui yurisprudensi. Di samping itu, dapat dicatat pula
dengan Undang-Undang Peradilan Agama.
5. Ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Pokok Kekuasaan
Kehakiman (1970) terutama yang disebut pada Pasal 10 ayat (1)
mengenai kedudukan pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama
dan Pasal 12 tentang susunan, kekuasaan dan (hukum) acaranya telah
terwujud.
4.2 Saran
Agar pelaksanaan Administrasi Peradilan di Peradilan Agama dapat
dipercaya oleh masyarakat sebaiknya menerapkan asas administrative self
regulation sesuai dengan yang dikemukakan oleh M.E Dimock L.W Koenig.
Dan sebaiknya proses perekrutan pegawai yang ada dalam lingkup Peradilan
Agama dilaksanakan dengan sistem karier sehingga Peradilan Agama dapat
menjadi organisasi yang ideal dan menjadikan aparat penegak hukum yang
bersih, transparan dan akuntabel.
15. 12
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Mohammad Daud. 2002. Hukum Islam dan Peradilan Agama. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
Ali, Mohammad Daud. 2017. Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata
Hukum Islam di Indonesia. Depok: Rajawali Pers.
Djalil, A. Basiq. 2006. Peradilan Agama di Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group.
Manan, Abdul. 2006. Penerapan Hukum Acara di Lingkungan Peradilan Agama.
Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
http://wardahcheche.blogspot.com/2014/04/peradilan-agama.html?m=1 diakses
Selasa, 11 Juni 2019.
https://www.siswapedia.com/jenis-jenis-lembaga-peradilan-di-indonesia/ diakses
Kamis, 13 Juni 2019.