Dokumen tersebut membahas masalah etika yang dihadapi oleh fungsi sumber daya manusia perusahaan, termasuk etika dalam perekrutan, penilaian kinerja, diskriminasi, privasi data karyawan, keselamatan kerja, dan masalah-masalah lainnya. Fungsi sumber daya manusia harus memperhatikan etika bisnis untuk menghindari masalah hukum, merusak reputasi perusahaan, dan kehilangan loyalitas karyawan.
1. Business Ethics & Good Governance
Masalah Etis dalam Manajemen Sumber Daya Manusia
Dosen: Prof. Dr. Ir. Hapzi Ali, MM, CMA
Disusun oleh:
Dyah Ruth Wulandari
55117120098
Program Magister Management
2018
2. Manajemen sumber daya manusia berkaitan dengan perencanaan tenaga kerja dan
kegiatan yang terkait dengan pengembangan dalam suatu organisasi. Dapat dikatakan cabang
manajemen di mana etika benar-benar penting, karena menyangkut masalah manusia khususnya
masalah kompensasi, pengembangan, hubungan industrial dan kesehatan dan keselamatan.
Etika dan Sistem Pasar
Jenis sistem pasar mempengaruhi etika bisnis dan SDM. Dalam pekerjaan di mana
kondisi pasar tidak mendukung karyawan, perlu ada intervensi pemerintah dan serikat pekerja
untuk mengendalikan eksploitasi yang mungkin terjadi (Prachi Juneja, 2018).
Peran Manajemen dalam Menanamkan Etika Tempat Kerja
Manajemen memainkan peran penting dalam menanamkan etika tempat kerja di
karyawan. Peran manajemen adalah memotivasi karyawan dan membimbing mereka tentang apa
yang benar dan salah, atasan perlu memberi contoh untuk bawahan mereka.
Komunikasi yang konstan antara manajemen dan karyawan sangat penting dalam menanamkan
etika di tempat kerja. Manajemen harus transparan dengan karyawannya baik aturan dan peraturan
seharusnya tidak bertindak sebagai halangan dalam kinerja mereka (Kusbo Sinha, 2018).
Pentingnya Kode Etik Karyawan
Kode etik memandu individu tentang bagaimana mereka harus berperilaku, memastikan
karyawan diperlakukan dengan hormat dan menjaga disiplin ditempat kerja. Ini juga mengarah
pada rasa kepuasan di antara karyawan dan mereka mengembangkan perasaan keterikatan terhadap
organisasi masing-masing. Cara terbaik untuk mempromosikan etika kerja adalah menjadi sangat
spesifik dan berhati-hati saat merekrut karyawan potensial yang akan mewakili tingkat atas
terutama departemen sumber daya manusia. Komunikasi terbuka adalah cara terbaik untuk
mempromosikan etika kerja. Pendampingan konstan memainkan peran penting dalam memotivasi
karyawan untuk mematuhi kebijakan organisasi.
Diagram Representasi dari Masalah Etika SDM
Sumber: (Prachi Juneja, 2018).
3. Masalah Etis yang Dihadapi oleh Sumber Daya Manusia
• Masalah Ketenagakerjaan,
Profesional SDM cenderung menghadapi dilema etika di bidang perekrutan karyawan. Uang tunai
dan rencana insentif termasuk masalah-masalah seperti gaji dasar, kenaikan atau insentif tahunan,
insentif eksekutif dan rencana insentif jangka panjang.
Contoh:
➢ Perekrutan karyawan - Praktisi sumber daya manusia menghadapi dilema dalam
perekrutan karyawan, berasal dari tekanan mempekerjakan seseorang yang telah
direkomendasikan oleh seorang teman, seseorang dari keluarga atau seorang eksekutif puncak.
Jika budaya perusahaan menekankan kepatuhan minimum pada hukum, manajer SDM mungkin
menghadapi dilema etika ketika merekomendasikan pelamar yang berkualifikasi tinggi yang tidak
sesuai dengan latar belakang yang diperlukan untuk kuota perusahaan.
➢ Penemuan bahwa seorang karyawan yang telah bersama organisasi untuk beberapa
waktu, yang terampil dan berkinerja sangat baik telah berbohong tentang kredensial
pendidikannya. Dana Tunai dan Insentif,
➢ Manajer SDM harus membenarkan tingkat gaji dasar (persentase) yang lebih tinggi
daripada pesaing untuk mempertahankan beberapa karyawan. Dalam beberapa situasi, di mana
peningkatan lebih besar dari biasanya mereka harus menaikkan beberapa posisi ke nilai yang lebih
tinggi.
➢ Rencana increment / insentif tahunan - Situasi ini terutama terjadi pada eksekutif
manajemen puncak. Kekawatiran kehilangan eksekutif yang berprestasi, manajer SDM dipaksa
untuk memberikan insentif yang lebih tinggi daripada apa yang sebenarnya layak diterima.
➢ Perquisites Eksekutif - atas nama eksekutif, kadang-kadang kelebihan sering dilakukan,
beban etis yang jatuh pada manajer SDM. Kadang-kadang biaya dari penghasilan tambahan ini
tidak proporsional dengan nilai tambah. Misalnya, CEO perusahaan yang rugi membeli Mercedes
untuk penggunaan pribadi atau menginginkan kolam renang yang dibangun di kediamannya.
➢ Rencana insentif jangka panjang - rencana insentif jangka panjang harus ditarik oleh
manajer SDM melalui konsultasi dengan CEO dan konsultan eksternal. Masalah etika muncul
ketika manajer SDM ditekan untuk mendukung kepentingan eksekutif atas atas kepentingan
karyawan lain dan para investor.
• Diskriminasi Karyawan,
Keragaman di tempat kerja mencakup berbagai kualitas, karakteristik, dan pengalaman yang
membedakan satu pekerja dengan yang lain. Karakteristik ini dapat berupa perbedaan ras, jenis
kelamin, usia, status sosial atau ciri-ciri lain yang menjadikan individu unik. Profesional sumber
daya manusia harus memastikan organisasi tetap mematuhi undang-undang anti diskriminasi dan
pelecehan. Undang-undang yang melarang perilaku diskriminatif membantu perwakilan HR
mengembangkan pelatihan dan program kesadaran untuk mencegah diskriminasi dan pelecehan di
tempat kerja serta menetapkan prosedur yang mungkin digunakan professional SDM untuk
melaporkan dan mendisiplinkan pekerja yang menunjukkan perilaku diskriminatif yang tidak
pantas.
Tuntutan etis yang menuntut muncul ketika ada tekanan pada profesional SDM untuk melindungi
perusahaan atau individu dengan mengorbankan seseorang yang termasuk dalam kelompok yang
4. didiskriminasi. Dalam organisasi yang baik, satu-satunya faktor pembeda adalah kinerja.
Profesional SDM dilatih untuk menyelaraskan perilaku dan menghindari praktik diskriminatif.
• Penilaian Kinerja, Etika harus menjadi dasar evaluasi kinerja.
Contoh: Tuntutan kinerja yang etis bahwa harus ada penilaian yang jujur tentang kinerja dan
langkah-langkah harus diambil untuk meningkatkan efektivitas karyawan. Namun, professional
SDM kadang-kadang menghadapi dilema menetapkan tingkat yang lebih tinggi kepada karyawan
yang tidak layak mendapatkannya; berdasarkan beberapa faktor yang tidak terkait mis. kedekatan
dengan manajemen puncak. Namun, beberapa karyawan diberi tingkat rendah meskipun kinerja
mereka sangat baik atas dasar faktor seperti kasta, agama atau tidak setia kepada penilai.
• Privasi
Kehidupan pribadi seorang karyawan yang tidak mempengaruhi kehidupan profesionalnya harus
bebas dari tindakan yang mengganggu dan tidak beralasan. Karyawan menginginkan organisasi
untuk melindungi kehidupan pribadinya mencakup hal-hal seperti keyakinan agama, politik dan
sosialnya, dll. Meskipun budaya perusahaan mungkin ramah dan terbuka dan mendorong
karyawan untuk secara bebas mendiskusikan detail pribadi dan gaya hidup, professional SDM
memiliki kewajiban etis untuk menjaga hal-hal tersebut tetap rahasia. Menjaga kerahasiaan
informasi ini adalah masalah etika yang dihadapi HR.
Contoh:
➢ Mail scanning adalah salah satu kegiatan yang digunakan untuk melacak aktivitas
seorang karyawan yang diyakini terlibat dalam kegiatan yang tidak menguntungkan organisasi.
➢ Dilema etika terkait dengan teknologi informasi - kebutuhan perusahaan akan informasi
terutama tentang karyawan saat bekerja mungkin bertentangan dengan privasi seperti membaca
file komputer karyawan.
➢ Dilema etika terkait dengan tes AIDS dimana saat ini menjadi masalah kesehatan
masyarakat, oleh karenanya profesional SDM dihadapkan dengan dua masalah yaitu apakah semua
karyawan baru harus dikenakan tes AIDS dan jenis perawatan apa kepada karyawan yang terkena
penyakit. Karyawan dengan penyakit ini tidak boleh didiskriminasikan dan mereka harus diizinkan
untuk melakukan pekerjaan yang memenuhi syarat.
➢ Dilema etika terkait dengan whistle blowing - mengacu pada pengungkapan publik oleh
mantan atau karyawan saat ini dari setiap praktik ilegal, tidak bermoral atau tidak sah yang
melibatkan atasan mereka. Umumnya, karyawan tidak diharapkan untuk berbicara menentang
atasan mereka karena kesetiaan pertama mereka terhadap organisasi tempat mereka bekerja.
Namun, jika situasinya sedemikian rupa sehingga beberapa tindakan organisasi dapat
menyebabkan kerugian besar bagi masyarakat, mungkin menjadi kewajiban untuk menjadi whistle
blowing. Profesional SDM berada dalam dilema bagaimana memecahkan masalah ini antara lawan
dan pembela whistle blowing.
• Keselamatan dan Kesehatan
Pekerjaan industri sering berbahaya bagi keselamatan dan kesehatan para karyawan. Legislasi
telah dibuat sehingga wajib pada organisasi dan manajer untuk mengkompensasi korban bahaya
kerja. Sumber daya manusia harus segera bertindak pada kondisi berbahaya yang menghadirkan
masalah keamanan di tempat kerja. Profesional SDM harus bekerja untuk menjaga standar
keselamatan dan kondisi kerja yang bersih bagi karyawan berdasarkan persyaratan Keselamatan
dan Administrasi Kesehatan. Departemen ini juga bertanggung jawab untuk mengidentifikasi
5. karyawan yang berpotensi berbahaya dan memastikan bahwa mereka tidak merugikan dirinya
sendiri atau orang lain dalam organisasi. Dilema etika professional SDM muncul ketika keadilan
ditolak oleh karyawan maupun oleh organisasi.
• Restrukturisasi dan PHK
Restrukturisasi organisasi sering mengakibatkan PHK dan pengurangan biaya. Jika perusahaan
melakukan restrukturisasi membutuhkan penutupan pabrik, proses di mana pabrik dipilih,
bagaimana berita akan dikomunikasikan dan kerangka waktu untuk menyelesaikan PHK secara
etis penting (Kusbo Sinha, 2018).
• Menghormati Ketentuan Manfaat
Beberapa perusahaan telah mengingkari janji yang mereka buat mengenai program pensiun.
Profesional SDM memiliki tanggung jawab etis untuk memastikan bahwa setiap manfaat yang
ditawarkan kepada karyawan benar-benar membayar sebagaimana dimaksud. Ini berarti
memantau manfaat yang dikelola perusahaan serta perusahaan asuransi untuk memastikan tidak
ada masalah keuangan yang akan mengurangi karyawan.
• Merugikan Beberapa Sementara Menguntungkan Orang Lain
Profesional SDM melakukan banyak penyaringan selama proses perekrutan. Sesuai sifatnya,
penyaringan menyisakan sebagian orang dan memungkinkan orang lain bergerak maju.
Singkatnya, yang ditinggalkan akan dirugikan karena tidak mendapatkan pekerjaan tidak peduli
berapa banyak mereka membutuhkannya. Profesional SDM dapat menghindari emosionalisme
situasi semacam itu dengan berpegang teguh pada keahlian dan persyaratan lain dari posisi
tersebut, tetapi akan selalu ada area abu-abu di mana profesional SDM dapat menimbang berapa
banyak setiap pemohon menginginkan dan membutuhkan pekerjaan. Jika keterampilan nilai
budaya perusahaan lebih dari keinginan, manajer SDM mungkin harus melawan dorongannya
sendiri untuk menghargai pelamar yang memiliki lebih banyak dorongan daripada keterampilan
teknis.
• Peluang untuk Keterampilan Baru
Jika departemen SDM memilih siapa yang mendapat pelatihan, departemen itu dapat mengalami
masalah etika. Karena pelatihan adalah peluang untuk kemajuan dan peluang yang diperluas,
karyawan yang tidak diikutsertakan dalam pelatihan mungkin berpendapat bahwa mereka tidak
diberi kesempatan yang sama di tempat kerja. SDM harus memastikan untuk memperjelas alasan
bisnis di balik keputusan pelatihannya sehingga karyawan memahami mengapa individu tertentu
menerima pelatihan ketika yang lain tidak.
• Biaya Tenaga Kerja
Profesional SDM harus mengatasi kebutuhan yang bertentangan untuk menjaga biaya tenaga kerja
serendah mungkin dan untuk mengundang upah yang adil. Etika mulai berlaku ketika HR harus
memilih antara tenaga kerja outsourcing ke negara-negara dengan upah rendah dan kondisi hidup
yang keras dan membayar upah yang kompetitif. Meskipun tidak ada yang ilegal tentang kerja
outsourcing, masalah ini memiliki potensi untuk membangun masalah hubungan masyarakat jika
konsumen keberatan menggunakan pekerja bergaji rendah untuk menghemat uang.
6. • Kondisi Kerja yang Adil
Perusahaan pada dasarnya diharapkan untuk menyediakan kondisi kerja yang adil bagi karyawan
mereka di lingkungan bisnis, tetapi bertanggung jawab untuk perawatan karyawan biasanya berarti
biaya tenaga kerja yang lebih tinggi dan pemanfaatan sumber daya (Tutorialspoint, 2018).
Memperhatikan etika bisnis adalah bagian penting dari setiap pemilik bisnis atau
pekerjaan manajer. Fungsi sumber daya manusia berkaitan dengan berbagai tantangan etika;
menjadi departemen yang berhubungan langsung dengan orang-orang yang dipekerjakan oleh
perusahaan, SDM mencakup banyak jebakan etika yang dapat merusak reputasi perusahaan atau
keberlanjutan keuangan jika tidak ditangani dengan benar, untuk itu perlu mempertimbangkan hal
– hal berikut:
✓ Pertimbangan Hukum
Pelanggaran etika dalam sumber daya manusia dapat membawa perusahaan ke dalam dunia
masalah hukum, Perusahaan-perusahaan dengan program etika yang komprehensif di tempat dapat
menghindari masalah mahal mengenai diskriminasi dan permusuhan-lingkungan kerja-masalah,
sehingga biaya yang lebih rendah untuk litigasi dan di luar pengadilan penyelesaian.
✓ Reputasi Perusahaan
Masalah pelanggaran etika dapat membebani perusahaan dalam hal publikasi yang berfokus pada
konsumen atau bisnis, merusak reputasi perusahaan di antara konsumen, mitra strategis potensial,
dan calon karyawan di masa depan.
✓ Loyalitas Karyawan
Memperlakukan karyawan secara etis dapat mengumpulkan kepercayaan dan kesetiaan karyawan
jangka panjang yang memberikan beragam manfaat bagi pengusaha.
✓ Mempromosikan Etika
Pemilik bisnis yang cerdas dan beretika, menempatkan program etika yang komprehensif untuk
menunjukkan komitmen yang teguh terhadap etika di setiap bidang bisnis termasuk sumber daya
manusia (David Ingram, 2018).
Tanpa disadari, kasus pelanggaran etika bisnis merupakan hal yang biasa dan wajar pada
masa kini. Secara tidak sadar, kita sebenarnya menyaksikan banyak pelanggaran etika bisnis dalam
kegiatan berbisnis di Indonesia. Banyak hal yang berhubungan dengan pelanggaran etika bisnis
yang sering dilakukan oleh para pebisnis yang tidak bertanggung jawab di Indonesia. Berbagai hal
tersebut merupakan bentuk dari persaingan yang tidak sehat oleh para pebisnis yang ingin
menguasai pasar, memperluas pangsa pasar, serta mendapatkan banyak keuntungan. Ketiga faktor
tersebut merupakan alasan yang umum untuk para pebisnis melakukan pelanggaran etika dengan
berbagai cara.
Berikut adalah bentuk-bentuk pelanggaran etika bisnis dan contoh pelanggaran etika dalam
kegiatan bisnis di Indonesia:
• Pelanggaran etika bisnis terhadap hukum
• Pelanggaran etika bisnis terhadap transparansi
• Pelanggaran etika bisnis terhadap akuntabilitas
7. • Pelanggaran etika bisnis terhadap prinsip pertanggungjawaban
• Pelanggaran etika bisnis terhadap prinsip kewajaran
• Pelanggaran etika bisnis terhadap prinsip kejujuran
• Pelanggaran etika bisnis terhadap prinsip empati (Intan, 2013).
Banyak perusahaan-perusahaan di Indonesia yang menjual sebagian besar sahamnya ke
pihak asing seperti Indosat dan lainnya. Sementara perusahaan ini sangat strategis dan awalnya di
bangun dari sumber daya bangsa ini. Begitu juga perusahaan-perusahaan yang beroperasi di
Indonesia yang menggali sumberdaya dan kekayaan bumi Indonesia tetapi sebagian besar
sahamnya dimiliki asing misalnya seperti Freeport.
Dari kedua contoh kasus ini mengapa bisa terjadi dan bagaimana pula solusinya sehingga
sumberdaya yang di miliki Indonesia sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyatnya.
PT. FREEPORT INDONESIA
Negara Indonesia kaya akan sumber daya alamnya, namun hal itu belum sepenuhnya
mensejahterakan masyarakatnya sendiri, terlihat dari masih banyaknya kemiskinan,
pengangguran. Hal ini di sebabkan salah satunya karena ketidakmampuan sumber daya manusia
untuk mengolah sumber daya alam agar menjadi barang siap jual. Pada akhirnya banyak
eksploitasi alam di lakukan oleh pihak asing, sehingga konsekuensinya keuntungan yang
seharusnya sepenuhnya dimanfaatkan untuk kepentingan negara dan masyarakat sendiri harus
berbagi dengan pihak asing karena belum bisa mengolahnya sendiri.
Seperti salah satu contohnya adalah tambang emas yang ada di pegunungan Grasberg dan
Ertsberg Papua, yang dikuasai oleh salah satu perusahaan tambang besar yang berasal dari
Amerika. Kontrak dari perusahaan tersebut sudah di tanda tangani kurang lebih 49 tahun yang lalu
dimana mayoritas saham yang terdapat pada PT. Freeport Indonesia dimiliki oleh Freeport
McMoRan Copper & Gold Inc, dengan presentase sebanyak 90,64 %, sementara itu sisanya
sebesar 9,36 % dimiliki oleh Pemerintah Indonesia.
Sesuai dengan UU No.4 tahun 2009 tentang mineral dan batu bara dimana pasal 170 UU
minerba Artinya PT Freeport diberikan jangka waktu 5 tahun untuk membuat pabrik pemurnian
(smelter). Jadi, pada tahun 2014 lalu seharusnya PT Freeport Indonesia sudah melakukan
pemurnian hasil tambangnya di Indonesia namun diabaikan. Disini PT Freeport sudah jelas
melanggar etika hukum yang berlaku di negara Indonesia yang sesuai amanat bahwa setiap
perusahaan yang beroperasi di Indonesia harus mengikuti undang - undang yang berlaku.
Sesuai dengan peraturan pemerintah No.1 tahun 2017 tentang pelaksanaan kegiatan usaha
pertambangan pemerintah sudah berbaik hati memberikan IUPK kepada PT Freeport agar dapat
beroperasi kembali, namun harus sesuai dengan peraturan IUPK yang berlaku, tetapi dalam hal ini
Freeport menolaknya dan masih menginginkan KK yang berlaku, malah mengancam pemerintah
dengan cara akan membawa masalah tersebut ke pengadilan arbritase internasional. Sebagai
perusahaan yang mempunyai etika dalam hal ini PT. Freeport harus mengikuti perubahan Kontrak
Karya ke dalam IUPK sesuai dengan peraturan pemerintah No. 1 tahun 2017 jika masih ingin
operasi bisnisnya berjalan.
Berdasarkan teori utilitarianisme, PT. Freeport Indonesia dalam hal ini sangat bertentangan
karena keuntungan yang di dapat tidak digunakan untuk mensejahterakan masyarakat sekitar,
melainkan untuk negara Amerika (Munjiyatsyaiful, 2017) Izin yang akan diberikan pemerintah
kepada PTFI dalam bentuk IUPK merupakan komitmen dalam menjaga iklim investasi sehingga
memberi kepastian dan keamanan kepada investor asing untuk berinvestasi di Indonesia.
8. Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dinilai sukses bernegosiasi dengan
PT Freeport Indonesia (PTFI) untuk melepas mayoritas sahamnya ke PT Indonesia Asahan
Aluminium (Inalum). Alhasil, kepemilikan saham Indonesia pada perusahaan yang mengelola
pertambangan emas terbesar di dunia itu mencapai 51 persen. Dengan ditandatanganinya SPA ini,
Inalum akan resmi memiliki 51 persen saham Freeport Indonesia. Penandatanganan dilakukan oleh
direktur utama Inalum Budi Gunadi Sadikin, CEO Freeport McMoRan Richard Adkerson dan
perwakilan dari Rio Tinto yang ditandatangani pada 27 September 2018, harus melewati tahapan-
tahapan yang tidak mudah. Capaian tersebut perlu ditindaklanjuti dengan kerja keras melibatkan
seluruh pihak, sehingga tujuan pengelolaan sumber kekayaan mineral negara yang lebih baik di
wilayah kerja Freeport Indonesia setelah proses akuisisi dapat tercapai (Eko,Liputan6, 2018).
Dalam mendukung kepastian investasi oleh Freeport dan Inalum, pemerintah memberikan
kepastian mengenai kewajiban perpajakan dan kewajiban bukan pajak baik di tingkat pusat dan
daerah yang menjadi kewajiban PTFI. Dengan selesainya proses divestasi saham PTFI dan
peralihan Kontrak Karya (KK) menjadi IUPK, maka dapat dipastikan bahwa PTFI akan
memberikan kontribusi penerimaan negara yang secara agregat lebih besar dibandingkan pada saat
KK, maka dapat dihasilkan PT Freeport Indonesia yang dapat beroperasi dengan baik untuk
kepentingan seluruh bangsa Indonesia (Eko, Liputan6, 2018).
Kritik
• Sekian lamanya waktu operasi yang dilakukan PT Freeport tersebut harusnya sudah dapat
mensejahterakan masyarakat banyak khususnya di daerah Papua namun hal tersebut belum terjadi.
Biaya CSR yang diberikan kepada rakyat Papua juga terbilang sedikit yaitu tidak mencapai 1
persen keuntungan bersih PT Freeport Indonesia. Justru rakyat Papua membayar lebih mahal
karena harus menanggung akibat berupa kerusakan alam serta punahnya habitat dan vegetasi.
• Eksploitansi alam dilakukan PT Freeport begitu nyata dengan meninggalkan berbagai
lubang galian yang besar yang mengganggu keseimbangan alam di sekitaran tambang.
• Masalah tentang ketetapan mengubah izin Kontrak Karya dengan izin IUPK yang dalam
hal ini seharusnya PT Freeport mengikuti hukum, aturan yang telah berlaku di negara Indonesia.
Pemerintah Indonesia diharapkan bisa lebih tegas dalam menegakkan hukum untuk kesejahteraan
masyarakat.
Saran
• Kegiatan pengelolaan pasca akuisisi harus memberikan manfaat yang lebih baik agar upaya
yang telah dilakukan tidak menjadi sia-sia.
• Inalum yang telah diberikan kepercayaan untuk mengelola kepemilikan saham di Freeport,
perlu segera mempersiapkan langkah-langkah strategis dalam masa transisi pasca akuisisi,
selanjutnya melaksanakan kegiatan secara menyeluruh.
• Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) harus menindaklanjutirnya
dengan mengerahkan para ahli.
• Pentingnya kepastian hak dan pelibatan pemerintah daerah (pemda) di Papua terkait saham
PTFI agar masyarakat Papua dapat memperoleh manfaat maksimal dari perolehan saham PTFI
sebesar sepuluh persen.
• Harus ada alih teknologi agar anak-anak bangsa bisa sepenuhnya mengelola tambang emas
di Grasberg, Papua dan mengimbau Pemda Papua untuk memberikan sosialisasi,
mempersiapkan/memfasilitasi, dan memberikan dukungan anggaran kepada seluruh putra-putri
9. terbaik Papua agar dapat menguasai teknologi guna meningkatkan peran masyarakat dalam
mengelola manajemen PTFI.
• Pemerintah harus memastikan kewajiban PT Freeport untuk membangun pabrik peleburan
(smelter) tembaga berkapasitas 2 sampai 2,6 juta ton per tahun akan terus dimonitor dan dievaluasi
perkembangannya, sehingga diharapkan dapat selesai dalam waktu kurang dari 5 tahun.
• pengelolaan PTFI ke depan, Pemda Papua akan dilibatkan dengan memiliki 10 persen
saham PTFI sehingga masyarakat Papua mendapat manfaat maksimal dari keberadaan PTFI.
• Sejalan dengan program hilirisasi industri pertambangan Indonesia, Inalum dan PTFI akan
terus kami dorong agar proses hilirisasi dapat berjalan dengan baik, tidak berhenti pada
pembangunan smelter tembaga, tetapi juga pengolahan lumpur anoda sebagai produk samping
smelter menjadi emas (Ilyas, Liputan6, 2018).
PT INDOSAT
Dampak krisis ekonomi 1998, memberi dampak pada ekonomi nasional sampai sekitar
tujuh tahun sesudahnya. Sebagai presiden saat itu, Megawati dituntut mengambil kebijakan tepat
dan bijak untuk penyelamatan negara. Ia sangat menyadari, Indosat dijual karena terpaksa untuk
menyelamatkan keuangan negara. Keputusan menjual Indosat bukan keputusan pribadi, melainkan
dengan persetujuan dan keputusan DPR-MPR. Di dalam klausul penjualan Indosat disebutkan
bahwa Indonesia masih dapat mengambil alih kembali perusahaan itu saat kas negara mencukupi
(Indra, Kompas, 2014).
Selain proses penjualan saham itu sesuai dengan Ketetapan MPR, APBN, serta Undang-
undang Program Pembangunan Nasional, keputusan tersebut telah melewati Rapat Kerja Komisi
IX DPR, menutup defisit anggaran adalah tujuan pemerintah menjual saham Indosat
Sorotan lain adalah keterlibatan Indonesian Communication Limited (ICL), anak perusahaan
bentukan STT yang maju sebagai pembeli dalam transaksi ini. Memang STT mengajukan
penawaran, tapi yang dinyatakan pemegang saham Indosat adalah ICL. Laksamana Sukardi mentri
BUMN saat itu mengatakan transaksi yang menggunakan perusahaan khusus (special purpose
vehicle) seperti ICL lazim dilakukan di dunia internasional.
Kontroversi divestasi PT Indosat tak lagi bergulir di wilayah ekonomi dan finansial semata,
tapi menggelinding ke ranah politik. Tema-tema penjualan aset bangsa dan dominasi asing pun
lebih mencuat ke permukaan. Apalagi kepemilikan Singapura di perusahaan telekomunikasi
Indonesia menjadi signifikan setelah Singapore Telecomunication menguasai 25 persen saham
Telkomsel, anak perusahaan PT Telkom. Dalam pandangan Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan
Pusat Serikat Karyawan Telkom G Haris, divestasi Indosat telah menciptakan monopoli asing
terhadap telekomunikasi nasional. Temasek sebagai perusahaan induk STT dan Singtel itu secara
tidak langsung menguasai 35 persen saham Telkomsel, 41,94 persen saham Indosat serta 20 anak
perusahaannya, termasuk Satelindo dan PT Indosat Multi Media Mobile (IM3). Belum termasuk
PT Bukaka Singtel Kerja Sama Operasi (KSO) Telkom di Divre VII Indonesia Timur.
Penolakan para karyawan karena kekhawatiran kehilangan pekerjaan jika Indosat jatuh ke
investor baru. Logikanya, penanam modal akan menekankan efisiensi untuk mencapai
pengembalian modal. Cara yang kerap dilakukan yakni mengurangi jumlah pekerja, namun hal ini
ditepis President & CEO STT Lee Theng Kiat yang berkomitmen untuk tidak mengurangi jumlah
karyawan selama tiga tahun mendatang dan berjanji tidak melepas (lock up) saham Indosat
minimum dalam kurun tiga tahun.
Sebenarnya ada upaya lain untuk mencari pemasukan dana dari sektor telekomunikasi
yakni menggabungkan PT Indosat dan PT Telkom. Namun karyawan Telkom menentang rencana
10. tersebut. Menurut mereka, penggabungan kedua perusahaan ini melanggar privatisasi BUMN dan
UU Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Liputan6, 2002).
Singapore Technologies Telemedia Pte Ltd (ST Telemedia) mendapat untung berlipat
dengan menjual seluruh saham PT Indosat Tbk sebesar 40,8% kepada Qatar Telecom QSC (Qtel)
US$ 1,8 miliar atau Rp 16,740 triliun dengan kurs 9.300/US$ untuk membeli saham Indosat dari
tangan STT. Sementara STT ketika membeli Indosat pada 15 Desember 2002 mengeluarkan dana
US$ 630 juta atau Rp 5,62 triliun untuk pembelian 41,94% saham yang setara 434.250.000 saham
seharga Rp 12.950 per saham. Qtel mengumumkan telah membeli 40,8% saham Indosat melalui
akuisisi Asia Mobile Holdings Pte. Ltd (AMH) (detikINET, 2008)
Menurut GBHN, kekuatan perekonomian Indonesia pada dasarnya dapat digolongkan
dalam tiga sektor pemerintah (BUMN) dan koperasi yang diharapkan dapat berkembang dengan
harmonis atau dengan selaras, serasi dan seimbang sehingga mampu meningkatkan taraf hidup
masyarakat.
Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan RI No. 740/KMK 00/1989 yang dimaksud
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) adalah: Badan usaha yang seluruh modalnya dimiliki negara
(Pasal 1 ayat 2a), atau badan usaha yang tidak seluruh sahamnya dimiliki negara tetapi statusnya
disamakan dengan BUMN yaitu (Pasal 1 ayat 2b)
1. BUMN yang merupakan patungan antara pemerintah dengan pemerintah daerah.
2. BUMN yang merupakan patungan antara pemerintah dengan BUMN lainnya.
3. BUMN yang merupakan badan-badan usaha patungan dengan swasta nasional/asing dimana
Negara memiliki saham mayoritas minimal 51% (Anoraga, 1995:1).
Terlepas dari namanya yang berbeda-beda, BUMN sudah ada di Indonesia sejak zaman
perang. Setelah kemerdekaan maka bidang yang dicakupi oleh BUMN pun bertambah banyak,
antara lain karena Pasal 33 UUD 1945 mengamankan, bahwa “cabang-cabang produksi yang
penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara”, namun
memang ada kebutuhan ekonomi yang nyata untuk kehadiran BUMN itu di berbagai bidang.
Melalui UU 1/1967, secara resmi pemodal asing dapat menginvestasikan modalnya di
Indonesia dengan keringanan pajak. Pada pemerintah Soeharto masih mempertahankan sektor-
sektor penting bagi negara. Kemudian muncul Pasal 3 UU 6/1968 disebutkan perusahaan nasional
adalah perusahaan yang sekurang- kurangnya 51% daripada modal dalam negeri yang ditanam
didalammnya dimiliki oleh negara dan/atau, swasta nasional persentase itu senantiasa harus
ditingkatkan sehingga pada tanggal 1 Januari 1974 menjadi tidak kurang dari 75%. Perusahaan
asing adalah perusahaan yang tidak memenuhi ketentuan dalam ayat 1 pasal ini.
Dengan adanya pasal itu, maka asing diperbolehkan untuk memiliki perusahaan strategis
negara yang menguasai hajat hidup orang banyak. Inilah cikal bakal privatisasi di Indonesia yang
tujuan awalnya membangkitkan ekonomi negara ditengah minimnya modal dalam negeri.
Disisi lain, privatisasi kepemilikan perusahaan negara kepada rakyatnya (bukan kepada
saing) secara tidak langsung memang merupakan implementasi dari ekonomi kekeluargaan
(koperasi). Jadi sejarah privatisasi pertama kali di Indonesia adalah ketika diterbitnya UU no
6/1968 pada tanggal 3 Juli 1968.
Di Indonesia, istilah privatisasi sebelumnya dikenal dengan nama “swastanisasi”, baru
setelah berdiri Kantor Menteri (Negara) BUMN, istilah ini menjadi sangat popular. Istilah ini
berkenaan dengan gagasan, kebijakan dan program yang sangat luas cakupannya. Secara makro,
privatisasi berarti pengurangan peran Negara dalam kegiatan bisnis. Dalam sisi mikro, privatisasi
berarti transfer kepemilikan negara kepada masyarakatnya (Moeljono, 2004:49).
11. Alasan dilakukannya privatisasi adalah karena pudarnya keyakinan terhadap teori negara
kesejahteraan seperti yang diperkenalkan oleh John Maynard Keyness (1883-1987) yang juga
merupakan arsitek Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional. Premis dasarnya adalah bahwa
menyerahkan kepemilikan dan pengelolaan sebagai kegiatan ekonomi, apalagi yang strategis,
kepada negara adalah sia-sia. Privatisasi seluruh kegiatan ekonomi adalah jawaban untuk
meningkatkan jaminan kesejahteraan masyarakat, karena dengan demikian mereka akan menjadi
lembaga yang harus bersaing.
Secara membudaya, privatisasi BUMN-BUMN strategis Indonesia pertama kali pada tahun
1991. Meskipun cikal bakal privatisasi umum telah diundangkan pada tahun 1968, namun 1991
menjadi tahun dimana satu persatu perusahaan negara diprivatisasi secara kontinyu. Saat
pemerintah melakukan privatisasi BUMN secara cepat (fast-track privatization) untuk menutup
anggaran dengan tanpa mempertimbangkan aspek ekonomis dari BUMN yang bersangkutan,
menggandeng mitra strategis (melalui strategic sale) dalam proses privatisasi oleh sebagian
pengamat dipandang sebagai tindakan yang merugikan negara.
Privatisasi BUMN idealnya adalah memiliki tujuan sebagai berikut:
• Agar BUMN tersebut lebih maju dan profesional karena menjadi swasta
• Mengurangi campur tangan pemerintah dalam perekonomian
• Mengurangi subsidi pemerintah terhadap BUMN
• Hasil privatisasi dapat digunakan untuk membangun BUMN baru atau proyek strategis lain
untuk kesejahteraan rakyat.
Keberhasilan dalam pengelolaan BUMN, pemerintah mendapatkan setoran dividen dari semua
laba BUMN ke APBN juga bisa mendapat pajak yang cukup besar dari hasil penjualan sebagian
BUMN tersebut. Permasalahannya banyak proses privatisasi yang dicurigai mengandung
kepentingan tertentu. Berbagai kepentingan politik menyebabkan BUMN tereksploitasi oleh
politisi (Moeljono, 2004:51). Alhasil, kebanyakan BUMN tidak sehat, dan “disangkakan” yang
terjadi selama ini justru BUMN lebih dieksploitasi oleh para pejabat negara.
Dengan penggunaan teori principal-agent maka nuansa politis sangat kental dalam BUMN,
dikarenakan manajemen perusahaan tidak harus tunduk dan loyal kepada pemilik saham. Oleh
karenanya, para koruptor yang dulunya memiliki saham didalamnya bisa terbebas dari jeratan
hukum.
Menurut pasal 23 UUD 1945 disebutkan bahwa masalah yang menyangkut hajat hidup
orang banyak harus mendapat persetujuan dari DPR. Kebijakan pemerintahan Megawati menjual
Indosat sebagai perusahaan strategis karena ketika itu kondisi ekonomi nasional belum stabil dan
terdapat wacana dapat dilakukan buy back bila dimungkinkan namun butuh kajian mendalam
untuk membeli kembali saham PT Indosat seperti:
Pertama, aspek strategis pertahanan - apakah PT Indosat saat ini masih memiliki nilai dan
keistimewaan strategis di saat satelit dan jaringan komunikasi sudah juga dikuasai oleh operator
lain seperti Telkom.
Kedua, aspek ekonomi - apakah PT Indosat memiliki prospek ekonomi yg memang akan
menguntungkan jika dibeli dibandingkan mengembangkan PT Telkom atau membeli saham
Singtel di Telkomsel?
Ketiga, aspek efektifitas penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) - apakah
lebih penting menggunakan APBN untuk membeli PT Indosat atau menggunakan untuk
infrastruktur, rumah sakit, pembangkit listrik atau lainnya? artinya ide buy back Indosat harus
12. betul-betuk dikaji secara obyektif agar mendapatkan benefit terbaik bagi negara, bukan lagi
sekedar gengsi politik.
Bila dilihat dari perspektif ekonomis, pembelian kembali saham PT Indosat akan
memperkuat posisi operator telekomunikasi di Indonesia, namun sayangnya kinerja PT Indosat
saat ini dinilai tidak terlalu bagus maka strategi yang harus dilakukan pemerintah untuk membeli
kembali saham Indosat tergantung pada perkembangan harga saham perusahaan saat ini dan
kemampuan keuangan negara (Viva, 2014).
Kritik:
❖ Penjualan PT Indosat saat itu dengan harga yang terlalu kecil jika dibanding prospek (2 tahun
kemudian) yang memiliki kinerja yang sangat baik, yang menghasilkan keuntungan yang besar
bagi para pemegang saham.
❖ Penjualan Indosat mendapati sorotan masyarakat sebab dengan prospek positif industri
telekomunikasi di Indonesia, PT Indosat dimungkinkan mendatangkan keuntungan yang
berlimpah.
❖ Kebijakan Pemerintah RI untuk menjual aset-aset Badan Usaha Milik Negara (BUMN) bisa
dijadikan ajang untuk pemutihan korupsi oleh para konglomerat yang terlibat korupsi. Jika
aset-aset tersebut sudah berpindah ke tangan asing kemungkinan pemerintah tidak lagi
mempunyai kewenangan utuh untuk mengurusi aset tersebut.
❖ Dengan memiliki PT Indosat, ST Telemedia ikut mempunyai hak atas PT Satelit Palapa
Indonesia (Satelindo) dan PT Indosat Multi Media Mobile (IM3). Anak-anak perusahaan yang
100% sahamnya dimiliki Indosat itu masing-masing menguasi sekitar 25% dan 10% pangsa
pasar operator ponsel di Indonesia. Dengan demikian, Temasek memiliki posisi dominan
dalam bisnis operator ponsel. Dengan mendominasi pasar, Temasek berpeluang menggunakan
posisi dominannya untuk melakukan persaingan bisnis secara tidak sehat.
❖ Kerugian yang paling berbahaya dari penjualan PT Indosat yaitu kedaulatan.
❖ Dengan kepemilikan silang Temasek itu dikhawatirkan dan diduga pihak/pemerintah
Singapura dapat mengontrol dan mengetahui akan sistem keamanan Indonesia bahkan rahasia
negara. Ini disebabkan salah satunya karena Temasek memiliki 41% pada Indosat yang
merupakan pemilik satelit kebanggaan kita yaitu satelit Palapa, sehingga semua informasi dan
data-data yang seharusnya menjadi rahasia negara dan keamanan nasional akan kedaulatan kita
pun terancam. Keamanan merupakan perisai bagi setiap bangsa atas ancaman yang datang dari
luar maupun dari dalam serta menyangkut kepada masyarakat yang menjadi penghuni suatu
negara (Ceachern, 2001: 419).
❖ Disini dapat dikatakan bahwa Indonesia mengalami ketergantungan Finansial-Industrial.
Melalui teori depedensi, Indonesia sudah terjadi penguasaan kekuatan finansial negara satelit
(pinggiran) oleh negara pusat walaupun secara yuridis-politis negara satelit adalah negara
merdeka. Penguasaan finansial ini ditentukan oleh investasi modal asing yang dimiliki
pemodal negara maju di negara berkembang dengan modal asing yang jumlahnya cukup besar
bahkan hamper melebihi modal investor domestic sehingga sirkulasi modal dapat ditentukan
oleh orang-orang di luar negara pinggiran tersebut. Lebih lanjut, arah industrialisasi ditentukan
oleh pemodal asing, sehingga tenaga kerja dalam negeri tergantung dari industrialisasi tersebut.
Tenaga kerja dalam negeri tidak mampu melakukan persaingan dengan tenaga ahli luar negeri
yang didatangkan oleh pemilik modal luar negeri. Ketimpangan ini juga membawa
ketimpangan upah yang diterima oleh pekerja domestik, sehingga upah pekerja tersebut tidak
mampu meningkatkan kesejahteraan mereka (Musthofa, 2007: 58).
13. ❖ Semestinya BUMN dibesarkan dan dimanfaatkan strategis sebagai penopang ekonomi
khususnya BUMN yang bergerak disektor hulu ekonomi. Sudah saatnya kita melihat kedalam,
jika saja BUMN tidak sehat dan merugi maka adalah tugas pemerintah melalui mentrinya
untuk merestrukturisasi BUMN tersebut hingga sehat dan menopang perekonomian hulu.
❖ Jika kebijakan privatisasi tetap diteruskan oleh pemerintah, maka prosentase penguasaan asing
terhadap aset-aset negara jelas akan semakin membengkak. Hendaknya industri strategis
BUMN menjadi tulang punggung perekonomian negara untuk menyokong sektor hulu
ekonomi negara (dimana swasta ikut serta) seperti tertuang dalam UUD 1945.
❖ Esensinya perusahaan swasta dimiliki oleh individu-individu yang bebas untuk menggunakan,
mengelola dan memberdayakan aset-aset privasinya (teori property rights), mendorong
usahanya agar efisien. Property rights swasta telah menciptakan insentif bagi terciptanya
efisiensi perusahaan. Sebaliknya, BUMN tidak dimiliki oleh individual, tetapi oleh negara
yang secara realitas, pengertian “negara” menjadi kabur seolah-olah justru seperti “tanpa
pemilik”, akibatnya manajemen BUMN menjadi kekurangan insentif untuk mendorong
efisiensi.
Saran
❖ Jika akan memprivatisasi BUMN dengan alasan memberdayakan modal masyarakat, maka hal
ini diperbolehkan dengan syarat saham-sahamnya dijual kepada masyarakat Indonesia dengan
menetapkan maksimum kepemilikan saham, inilah setidak-tidaknya mewarnai ekonomi
gotong royong, ekonomi koperasi, alias ekonomi kekeluargaan, bukan dengan melego
perusahaan strategis hanya kepada segelintir konglomerat (Teriana Akbar Yuloh 2010).
❖ Menurut Menkeu, Sri Mulyani bahwa pembentukan induk usaha (holding) Badan Usaha Milik
Negara (BUMN) bermanfaat bagi Indonesia untuk memperbesar ukuran perusahaan milik
negara maupun ekonomi negara ini. Tujuannya supaya Indonesia memiliki BUMN hebat dan
menjadi the true player in the world.
❖ Sebab BUMN mencerminkan aset yang bisa dibanggakan sebuah negara, misinya bukan hanya
sekadar berorientasi pada keuntungan, namun sebagai agen pembangunan karena itu harus
dikelola secara profesional supaya bisa bersaing dan menciptakan kesejahteraan rakyat.
❖ Pembentukan holding bukan sekadar menyatukan neraca keuangan, akan tetapi yang paling
sulit adalah menggabungkan aktivitas bisnis yang berbeda, tata kelola perusahaan, sosial
ekonomi, maupun dukungan politik. Entitas yang di merger atau diakuisisi ini akan tetap jadi
diri sendiri, tapi akan dikelola dalam satu bentuk holding (Fiki Aryanti, 2016).
❖ Menurut Dirjen Menkeu, latar belakang pembentukan holding BUMN seperti di sektor jasa
keuangan, pertambangan, minyak dan gas (migas), perumahan, jalan tol dan sektor pangan
karena keterbatasan pemerintah menyuntik Penyertaan Modal Negara (PMN) melalui
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sehingga pemikiran untuk memperbesar
size BUMN, lewat merger atau akuisisi. Oleh sebab itu, pembentukan holding harus
memperhatikan proses politik, keuangan, proses budaya perusahaan, dan sosial ekonomi.
Pembentukannya harus jelas mengenai aspek legalitas hukum, aset, dan sosialisasi, termasuk
tenaga kerja karena jangan sampai ada PHK. Setelah proses selesai, presiden dapat
menandatangani pembentukan holding yang dituangkan dalam sebuah peraturan pemerintah
(PP) (Fiki Aryanti, 2016).
14. Sumber referensi
Indra Akuntono, 2014.https://nasional.kompas.com/read/2014/06/24/0505196/ (10 Oktober
2018, Pukul 19:03 WIB)
Intan Permatasari, 2013. http://intanpermatasarii.blogspot.com/2013/10/pelanggaran-etika-
bisnis-yang-sering.html (10 Oktober 2018, Pukul19:27 WIB)
Prachi Juneja,2018 https://www.managementstudyguide.com/ethical-issues-in-hr.htm (10
Oktober 2018, Pukul 19:36 WIB)
Teriana Akbar, 2010.https://sambelalab.wordpress.com/2010/11/09/pemerintahan-megawati-
privatisasi-bumn-ke-tangan-asing-2001-2004/ (10 Oktober 2018, Pukul 19:44 WIB)
Kusbo Sinha, 2018. http://www.yourarticlelibrary.com/business/ethics/7-ethical-issues-faced-by-
human-resource/64101 (10 Oktober 2018, Pukul 19:49 WIB)
David Ingram, 2018. https://smallbusiness.chron.com/importance-ethics-human-resources-
12780.html ( 10 Oktober 2018, Pukul 20:17 WIB)
Mujiyatsyaiful, 2017. https://munjiyatsyaiful.wordpress.com/2017/03/28/pelanggaran-etika-
bisnis-pt-freeport-indonesia/2017 (10 Oktober 2018, Pukul 20:26 WIB)
Pebrianto Eko, 2018.https://www.liputan6.com/bisnis/read/3654423/sri-mulyani-sebut-
pengambilalihan-51-persen-saham-freeport-jadi-proses-luar-biasa (10 Oktober 2018, Pukul
20:56 WIB)
Tiara Gustiwiyana, 2017. https://www.scribd.com/document/344972511/Analisis-Kasus-Pt-
Freeport-Indonesia-Dalam-Sudut-Pandang-Etika-Bisnis (10 Oktober 2018, Pukul 21:17 WIB)
Pebrianto Eko Wicaksono, 2018. https://www.liputan6.com/bisnis/read/3659325/ahli-tambang-
puji-jokowi-bisa-kuasai-51-persen-saham-freeport (10 Oktober 2018, Pukul 21:33 WIB)
Ilyas Istianur Praditya, 2018. https://www.liputan6.com/bisnis/read/3653740/sah-ri-akhirnya-
kuasai-51-persen-saham-freeport-indonesia (10 Oktober 2018, Pukul 21:46 WIB)
Kevin Johnston, 2018. https://smallbusiness.chron.com/ethical-issues-hr-managers-face-
organizations-culture-64550.html (10 Oktober 2018, Pukul 22:16 WIB)
Kevin Johnston, 2018. https://yourbusiness.azcentral.com/list-ethical-issues-human-resource-
management-24052.html (10 Oktober 2018, Pukul 22:38 WIB)
Anonym,2018.https://www.tutorialspoint.com/human_resource_management/human_resource_
management_ethical_issues.htm (10 Oktober 2018, Pukul 23:10 WIB)
Tim Viva, 2014.https://www.viva.co.id/indepth/fokus/515319-mengkaji-wacana-buy-back-
saham-indosat (10 Oktober 2018, Pukul 23:41 WIB)
Fiki Aryanti, 2016. https://www.liputan6.com/bisnis/read/2585399/sri-mulyani-bentuk-holding-
supaya-bumn-ri-jadi-pemain-dunia