1. khilafah1924.org/index.php?option=com_content&task=view&id=275 1/4
search...
Home Tentang Kami Kontak kami Guestbook Search Saturday, 04 May 2013
Menu Utama
HOME
REDAKTUR
Editorial
Flashnews / Dari kami
BERITA
Terbaru
Politik
Lain Lain
ARTIKEL
Siyasah
Ekonomi
Pemikiran
Nafsiyyah
Aqidah
Tsaqofah
Seluruh Katagori
Search
Links
News Feeds
TENTANG KAMI
KALENDER ACARA
KEGIATAN
Konsultasi
Ma'had
Liputan Kegiatan
Hubungi Kami
Anggota / Member
23670 registered
14 today
189 this week
1738 this month
Last: Jeohyncencata
Statistics
Members: 23670
News: 810
Web Links: 2
NATION STATE DAN KHILAFAH*
Written by Redaksi
Saturday, 02 September 2006
NATION STATE DAN KHILAFAH*
Oleh : KH M Shiddiq al-Jawi**
Menolak Pendekatan Empiris
Menghadap-hadapkan nation state dengan Khilafah dalam
kajian empiris tidaklah fair. Sebab di satu sisi, nation state
adalah realitas empirik kontemporer. Sedang di sisi lainnya,
Khilafah tidak ada lagi dalam realitas masa kini. Khilafah yang
hancur tahun 1924 adalah sejarah masa lalu dan baru sebatas
cita-cita masa kini, bukan realitas empirik.
Karena itu, secara empirik nation state dan Khilafah tidak
dapat diperbandingkan. Jika dipaksakan, yang terjadi adalah
ketidakadilan. Mengapa? Karena nation state yang telah
menjadi kenyataan cenderung akan dijadikan hakim untuk
memvonis Khilafah, yang baru sebatas cita-cita. Yang terjadi
adalah semacam pengadilan in absentia oleh pihak berkuasa
atas terdakwa yang tidak hadir dan tidak mampu membela
dirinya. Apakah ini adil? Padahal Allah SWT telah berfirman :
"Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu
kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku
adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa." (QS Al-
Maaidah [5] : 8)
Jika nation state dibandingkan secara paksa dengan Khilafah
dalam kajian empiris, pasti tidak akan adil. Itu sama saja
dengan membandingkan Uni Soviet (yang runtuh 1991) dengan
Amerika Serikat (yang masih eksis saat ini). Jelas orang akan
condong membenarkan dan mendukung Amerika Serikat (AS),
karena AS adalah realitas, bahkan realitas hegemonik. Jadi,
dalam kajian antar ideologi/paham, konsep harus
dibandingkan dengan konsep, realitas harus dibandingkan
dengan realitas. Tidak adil membandingkan atau mengadili
konsep dengan realitas.
Karena itu, supaya adil, pendekatan yang dipakai haruslah di
luar pendekatan empirik, yaitu pendekatan normatif dan
historis. Pendekatan normatif (pemikiran) dilakukan untuk
membandingkan antara nation state sebagai konsep dengan
khilafah sebagai konsep. Pendekatan historis juga dapat
dilakukan, untuk melihat sejauh mana sejarah nation state dan
Khilafah dan interaksi antara keduanya.
Tulisan ini akan membandingkan nation state dan Khilafah
dalam dua pendekatan tersebut, yaitu pendekatan normatif
dan historis.
Normatif : Khilafah Milik Umat Islam
Walaupun Khilafah kini identik dengan Hizbut Tahrir (HT),
namun sebenarnya secara normatif Khilafah bukan merupakan
milik khusus HT, apalagi ajaran bikinan HT. Khilafah
sesungguhnya adalah bagian dari ajaran Islam, seperti halnya
ajaran Islam lainnya semisal sholat, zakat, haji, dan
Flash News
Assalamu'alaikum wr wb
Untuk memberi komentar,
tanggapan, atau ingin
berkonsultasi, silakan kirim
e-mail ke :
shiddiq_aljawi@yahoo.com.
Atau ke nomor hp : 081-
3287-44133.
Popular
BAITUL MAL
TINJAUAN HISTORIS
DAN KONSEP
IDEALNYA
DASAR-DASAR
INTELIJEN (BAGIAN
1)
DASAR-DASAR
INTELIJEN OLEH :
LETJEND (PURN) ZA
MAULANI (MANTAN
KEPALA BAKIN)
MEMAHAMI
KARAKTER SALAFI
KITAB BARU HIZBUT
TAHRIR:
2. khilafah1924.org/index.php?option=com_content&task=view&id=275 2/4
sebagainya. Siapakah pemilik ajaran sholat, zakat, dan haji?
Tentu bukan milik satu golongan saja, melainkan milik seluruh
kaum muslimin.
Kajian normatif yang objektif akan membuktikan, bahwa
Khilafah adalah benar-benar bagian dari ajaran Islam. Hanya
minoritas umat Islam yang menolak Khilafah secara normatif.
Khilafah bukan sesuatu ajaran asing atau konsep kafir yang
disusupkan ke dalam Islam atau dipaksakan atas kaum
muslimin.
Dalam kitab al-Fiqh ’ala al-Mazhahib al-Arba’ah, karya
Syaikh Abdurrahman al-Jaziry, Juz V hal. 362 (Beirut : Darul
Fikr, 1996) disebutkan :
"Para imam-imam [Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, Ahmad] â
€“rahimahumullah— telah sepakat bahwa Imamah [Khilafah]
adalah fardhu, dan bahwa tidak boleh tidak kaum muslimin
harus mempunyai seorang Imam [Khalifah] yang akan
menegakkan syiar-syiar agama serta menyelamatkan orang-
orang terzalimi dari orang-orang zalim. [Imam-imam juga
sepakat] bahwa tidak boleh kaum muslimin pada waktu yang
sama di seluruh dunia mempunyai dua Imam [Khalifah], baik
keduanya bersepakat maupun bertentangan..."
Dari kutipan di atas, jelas sekali bahwa Imamah (atau
Khilafah) adalah wajib hukumnya menurut Imam Abu Hanifah,
Malik, Syafi’i, dan Ahmad. Kalau ada orang muslim
Indonesia (yang mayoritas bermazhab Imam Syafi'i)
mengatakan Khilafah tidak wajib, lalu imam siapa yang
diikutinya? Tidak jelas. Selain itu, mereka berempat juga
menyepakati kesatuan Imamah [wihdatul Imamah]. Tidak
boleh ada dua imam pada waktu yang sama untuk seluruh
kaum muslimin di dunia.
Mereka yang sepakat tadi adalah empat imam dari kalangan
Ahlus Sunnah. Bagaimana dengan kalangan non Ahlus
Sunnah? Sama saja, merekapun juga mewajibkan Khilafah.
Imam Ibnu Hazm dalam kitabnya al-Fashlu fi al-Milal wa al-
Ahwa` wa an-Nihal Juz IV hal. 78 menyatakan :
"Telah sepakat semua ahlus Sunnah, semua Murji`ah, semua
Syia’ah, dan semua Khawarij mengenai wajibnya Imamah
[Khilafah], dan bahwa umat wajib mentaati imam yang adil
yang akan menegakkan hukum-hukum Allah dan di tengah-
tengah mereka dan mengatur mereka dengan hukum-hukum
syariah yang dibawa Rasulullah SAW..."
Dari dua kutipan di atas, jelaslah bahwa secara normatif,
Khilafah sesungguhnya adalah ajaran milik semua Islam,
karena mereka semua menyepakati akan kewajibannya.
Ketentuan normatif itulah yang diamalkan secara nyata oleh
umat Islam dalam sepanjang sejarah mereka, sejak berdirinya
Daulah Islamiyah tahun 622 M tatkala Rasulullah SAW
berhijrah ke Madinah hingga runtuhnya Khilafah di Turki tahun
1924.
Pada masa-masa akhir Khilafah Utsmani di Turki (abad ke-17
s/d ke-19 M), secara internal terjadi kemerosotan pemikiran di
kalangan umat Islam. Secara eksternal, kaum penjajah terus
melakukan upaya jahatnya untuk menggoncang dan
menggerogoti tubuh negara Khilafah. Salah satunya adalah
berbagai aktivitas missionatis/zending yang menyebarluaskan
tak hanya agama Nashrani yang kafir, tapi juga paham
nasionalisme yang asing. Inilah asal usul masuknya paham
nasionalisme di Dunia Islam.
Sejarah Masuknya Nasionalisme di Dunia Islam
Secara historis, kaum muslimin sesungguhnya tak pernah
mengenal paham nasionalisme dalam sejarahnya yang
panjang selama 10 abad (1000 tahun), hingga adanya upaya
3. khilafah1924.org/index.php?option=com_content&task=view&id=275 3/4
imperialis untuk memecah-belah negara Khilafah pada abad
ke-17 M.
Mereka melancarkan serangan pemikiran melalui para
missionaris dan merekayasa partai-partai politik rahasia untuk
menyebarluaskan paham nasionalisme dan patriotisme.
Banyak kelompok misionaris –sebagian besarnya dari
Inggris, Perancis, dan Amerika-- didirikan sepanjang abad ke-
17, 18, dan 19 M untuk menjalankan misi tersebut. Namun
hinga saat itu upaya mereka belum berhasil.
Barulah pada tahun 1857, penjajah mulai memetik kesuksesan
tatkala berdiri Masyarakat Ilmiah Syiria (Syrian Scientific
Society) yang menyerukan nasionalisme Arab. Sebuah sekolah
misionaris terkemuka --dengan nama Al-Madrasah Al-
Wataniyah-- lalu didirikan di Syiria oleh Butros Al-Bustani,
seorang Kristen Arab (Maronit). Nama sekolah ini
menyimbolkan esensi missi Al-Bustani, yakni paham
patriotisme (cinta tanah air, hubb al-wathan).
Langkah serupa terjadi di Mesir, ketika Rifa'ah Badawi Rafi' At
Tahtawi (w. 1873 M) mempropagandakan patriotisme dan
sekularisme. Setelah itu, berdirilah beberapa partai politik
yang berbasis paham nasionalisme, misalnya partai Turki Muda
(Turkiya Al Fata) di Istanbul. Partai ini didirikan untuk
mengarahkan gerak para nasionalis Turki. Kaum misionaris
kemudian memiliki kekuatan riil di belakang partai-partai
politik ini dan menjadikannya sebagai sarana untuk
menghancurkan Khilafah (Syaikh Afif Az-Zain, Awamil Dhaâ
€™f al-Muslimin, 1993).
Sepanjang masa kemerosotan Khilafah Utsmaniyah, kaum
kafir berhimpun bersama, pertama kali dengan perjanjian
Sykes-Picot tahun 1916 ketika Inggris dan Perancis
merencanakan untuk membagi-bagi wilayah negara Khilafah.
Kemudian pada 1923, dalam Perjanjian Versailles dan
Lausanne, rencana itu mulai diimplementasikan.
Dari sinilah lahir negara-negara dengan konsep nation-state
yaitu Irak, Syria, Palestina, Lebanon, dan Transjordan.
Semuanya ada di bawah mandat Inggris, kecuali Syria dan
Lebanon yang ada di bawah Perancis. Hal ini kemudian diikuti
dengan upaya Inggris untuk merekayasa lahirnya Pakistan.
Jadi, semua negara-bangsa (nation state) ini tiada lain adalah
buatan kekuatan-kekuatan Barat yang ada di bawah mandat
mereka (Taqiyuddin An-Nabhani, ad-Daulah al-Islamiyah,
1994; Ali Muhammad Jarisyah & Muhammad Syarifaz â
€“Zaibak, Asalib al-Ghazw al-Fikri li al-‘Alam al-Islami,
1992)
Lahirnya Indonesia sebagai nation-state juga tak lepas dari
rekayasa penjajah menyebarkan nasionalisme di Dunia Islam.
Hal itu dapat dirunut sejak berdirinya negara-negara bangsa di
Eropa pada abad ke-19. Perubahan di Eropa ini, dan juga
adanya persaingan yang hebat antara kekuatan-kekuatan
Eropa di Asia Tenggara pada paruh kedua abad ke-19,
menimbulkan dampak politis terhadap negara-negara jajahan
Eropa, termasuk Hinda Belanda.
Dampak monumentalnya adalah dicanangkannya Politik Etis
pada tahun 1901. Kebijakan ini pada gilirannya membuka
kesempatan bagi pribumi untuk mendapatkan pendidikan
Barat. Melalui pendidikan Barat inilah paham nasionalisme dan
patriotisme menginfiltrasi ke tubuh umat Islam di Hindia
Belanda, yang selanjutnya mengilhami dan menjiwai lahirnya
berbagai pergerakan nasional di Indonesia, Boedi Utomo, Jong
Java, Jong Sumatra, Jong Islamieten Bond, Jong Celebes,
Sarekat Islam, Muhammadiyah, dan sejenisnya (Hasyim Wahid
dkk, Telikungan Kapitalisme Global, LKiS : Yogyakarta, 2000).
Penutup
Dari kajian normatif dan historis di atas, dapat disimpulkan